DISUSUN OLEH :
Kelompok 2
1. Azzahra Aprighozie Attaya Salsabilla (01031381823176)
2. Diah Fitriani (01031381924150)
3. Dienda Octavianie Salsabiella Z (01031381924108)
Dosen Pengampu :
Achmad Soediro, SE, M.COMM, AK
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberi rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah tentang “Aspek Keperilakuan pada Etika
Akuntan” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah akuntansi keperilakuan. Makalah ini
sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini. Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semuanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1. Dilema Etika............................................................................................3
2.2. Etika Akuntan.........................................................................................4
2.3. Kode Etik Akuntan.................................................................................7
2.3.1. Prinsip Dasar....................................................................................8
2.3.2. Pendekatan Kerangka Konseptual.................................................8
2.3.3. Ancaman dan Perlindungan...........................................................9
2.3.4. Benturan Kepentingan..................................................................11
2.3.5. Penyelesaian Konflik Etika...........................................................12
2.3.6. Komunikasi dengan Penganggung Jawab Tata Kelola..............12
2.4. Peran Penalaran Moral........................................................................13
2.5. Model Pengambilan Keputusan Etis...................................................13
2.5.1. Teori Penalaran Moral dar Kohlberg..........................................13
2.5.2. Ukuran Moral Reasoning..............................................................15
2.5.3. Pendekatan Kognitif Lingkungan Terhadap Pengambilan
keputusan Etis..............................................................................................17
2.5.4. Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis..........................18
2.6. Riset Perilaku Etis Akuntan.................................................................19
2.7. Implikasi bagi Riset Mendatang..........................................................20
BAB II PENUTUP...............................................................................................21
3.1. Kesimpulan............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etika (Yunani Kuno “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan”)
merupakan sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat
yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar
dan penilaian moral. Dalam hal ini yang menjadi perspektif objeknya
adalah perbuatan, sikap, atau tindakan manusia. Sedangkan pengertian
etika secara umum adalah aturan, norma, kaidah, ataupun tata cara yang
biasa digunakan sebagai pedoman atau asas suatu individu dalam
melakukan perbuatan dan tingkah laku. Penerapan norma berkaitandengan
sifat baik dan buruknya individu di dalam bermasyarakat.
Paktisi akuntansi sering mengalami delima ketika menghadapi
masalah etika saat melakukan aktivitas professional. Kegagalan praktisi
akuntansi akuntansi menjaga kepercayaan menyebabkan hilangnya
kredibilitas mereka. Karena belakangan ini profesi akuntan telah menarik
minat masyarakat luas. Profesi akuntan dianggap menjadi profesi yang
membanggakan dan memiliki perstise yang tinggi. Besar harapan
masyarakat terhadap akuntan dalam upaya mengurangi kecurangan
menjadi berbanding terbalik dengan yang terjadi dalam dunia bisnis akhir
ini. Dengan sejumlah pelanggaran ikut terdegradasi, khususnya akuntan
pemerintahan. Praktik pelanggaran etika dapat ditelusuri dari laporan
dewan kehormatan IAI dan Pengurus Pusat IAI pada tiap laporan
pertanggungjawaban pengurus. Menelaah pengembangan riset mengenai
perilaku etis akuntan dan menyelidiki area potensial riset di masa
mendatang.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dilema etika?
2) Apa saja etika dan kode etik akuntan?
3) Bagaimana peran penalaran moral?
4) Bagaimana model pengambilan keputusan etis?
1
5) Apa saja riset perilaku etis akuntan dan implikasi bagi riset
mendatang?
1.3 Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui dilema etika.
2) Untuk mengetahui etika dan kode etik akuntan.
3) Untuk mengetahui peran penalaran moral.
4) Untuk mengetahui model pengambilan keputusan etis.
5) Untuk mengetahui riset perilaku etis akuntan dan implikasi bagi riset
mendatang.
2
BAB II PEMBAHASAN
3
pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor sehingga auditor
dihadapkan kepada pilihan keputusan antara yang etis dan tidak etis.
4
memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab
profesi dalam mengatur dirinya sendiri.
2. Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam
kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik,
dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. Atas kepercayaan
yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerus
menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang
tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan
integritas setinggi mungkin.
3. Integritas
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari
timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang
melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi
anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas
mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan
berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa.
Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh
keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak
disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima
kecurangan atau peniadaan prinsip.
4. Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari
benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan anggota. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap
adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau
5
bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak
lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus
menunjukkan objektivitas mereka dalam berbagai situasi.
6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai
atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila
ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa
standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan
bahwa terdapat panduan mengenai sifat-sifat dan luas kewajiban
kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu
diungkapkan.
6
7. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi
profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat
mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga,
anggota yang lain, staf, pemberi kerja, dan masyarakat umum.
8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesional sesuai
dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai
dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama
penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah
standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional
Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-
undangan yang relevan.
7
2.3.1. Prinsip Dasar
Akuntan profesional mematuhi prinsip dasar etika yaitu
integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional,
kerahasiaan, dan perilaku profesional.
8
Akuntan Profesional pada saat itu, sehingga kepatuhan pada prinsip
dasar etika tidak berkurang.
Ketika menerapkan kerangka konseptual, Akuntan
Profesional mungkin menemui situasi ketika ancaman tidak dapat
dihilangkan atau dikurangi sampai ke tingkat yang dapat diterima,
baik karena ancaman itu terlalu signifikan atau karena perlindungan
yang tepat tidak tersedia atau tidak dapat diterapkan. Dalam situasi
tersebut, Akuntan Profesional menolak atau menghentikan
keterlibatannya pada kegiatan atau jasa profesional terkait atau,
ketika diperlukan, mundur dari perikatan (bagi Akuntan Profesional
dalam Praktik Publik) atau dari organisasi tempatnya bekerja (bagi
Akuntan Profesional dalam Bisnis). Ketika Akuntan Profesional
mengidentifikasi adanya pelanggaran terhadap setiap ketentuan Kode
Etik ini, maka Akuntan Profesional mengevaluasi signifikansi
pelanggaran tersebut dan dampaknya terhadap kemampuan Akuntan
Profesional untuk mematuhi prinsip dasar etika. Akuntan Profesional
sesegera mungkin mengambil tindakan apa pun yang dimungkinkan
untuk mengatasi dampak pelanggaran. Akuntan Profesional
menentukan perlu tidaknya melaporkan pelanggaran tersebut,
misalnya kepada pihak yang terkena dampak pelanggaran, Ikatan
Akuntan Indonesia, regulator atau otoritas pengawasan yang terkait.
9
(a) Ancaman kepentingan pribadi (self-interest threat), yaitu
ancaman yang terkait dengan kepentingan keuangan atau
kepentingan lain yang akan memengaruhi pertimbangan atau
perilaku Akuntan Profesional secara tidak layak;
(b) Ancaman telaah pribadi (self-review threat), yaitu ancaman yang
terjadi akibat dari Akuntan Profesional tidak dapat sepenuhnya
melakukan evaluasi atas pertimbangan yang dilakukan atau jasa
yang diberikan oleh Akuntan Profesional lain pada Kantor
Akuntan atau organisasi tempatnya bekerja yang akan digunakan
oleh Akuntan Profesional untuk melakukan pertimbangan
sebagai bagian dari jasa yang sedang diberikan;
(c) Ancaman advokasi (advocacy threat), yaitu ancaman yang terjadi
ketika Akuntan Profesional akan mempromosikan posisi klien
atau organisasi tempatnya bekerja sampai pada titik yang dapat
mengurangi objektivitasnya;
(d) Ancaman kedekatan (familiarity threat), yaitu ancaman yang
terjadi ketika Akuntan Profesional terlalu bersimpati pada
kepentingan klien atau organisasi tempatnya bekerja, atau terlalu
mudah menerima hasil pekerjaan mereka, karena hubungan yang
dekat dan telah berlangsung lama dengan klien atau organisasi
tempatnya bekerja; dan
(e) Ancaman intimidasi (intimidation threat), yaitu ancaman yang
terjadi ketika Akuntan Profesional dihalangi untuk bertindak
secara objektif karena tekanan yang nyata atau dirasakan,
termasuk upaya memengaruhi Akuntan Profesional secara tidak
sepantasnya.
10
(a) Perlindungan yang diciptakan oleh profesi, perundangundangan,
atau peraturan;
Persyaratan pendidikan, pelatihan, dan pengalaman untuk
memasuki profesi.
Persyaratan pengembangan profesional berkelanjutan.
Peraturan tata kelola perusahaan.
Standar profesi.
Prosedur pemantauan dan pendisiplinan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia atau regulator.
Telaahan eksternal oleh pihak ketiga yang diberi kewenangan
yang sah atas laporan, hasil, komunikasi, atau informasi yang
dihasilkan oleh Akuntan Profesional.
11
(b) Kepentingan Akuntan Profesional terkait dengan permasalahan
tertentu berbenturan dengan kepentingan pihak lain yang
menggunakan jasa Akuntan Profesional. 100.18 Bagian B dan C
menjelaskan benturan kepentingan bagi Akuntan Profesional
dalam Praktik Publik dan Akuntan Profesional dalam Bisnis.
12
berkomunikasi di dalam struktur tata kelola organisasi, setelah
mempertimbangkan sifat dan pentingnya keadaan dan permasalahan
tertentu yang akan dikomunikasikan. Jika Akuntan Profesional atau
Kantor Akuntan berkomunikasi dengan bagian tertentu dari
penanggung jawab tata kelola, misalnya komite audit atau lain yang
perseorangan, maka Akuntan Profesional atau Kantor Akuntan
menentukan perlu tidaknya berkomunikasi dengan seluruh
penanggung jawab tata kelola agar mereka mendapatkan informasi
yang cukup.
13
Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya
tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral.
Pengembangan psikologi moral dimulai dari karya psikolog
Piaget. Berdasarkan pada karya Piaget, Klien kemudian
mengembangkan teori keputusan moral yang memasukkan
serangkaian pengembangan keseimbangan (equilibrium) yang ada
dalam diri seorang individu. Menurut teori ini, individu secara
berurutan mengalami kemajuan ke tingkat atau tahap moral
reasoning yang lebih tinggi sebagai bagian dari proses pertambahan
usia.
Kolhberg menyamakan tiga tingkatan ini dengan tiga jenis
hubungan yang berbeda antara diri, aturan, dan harapan masyarakat.
Pada tingkat prakonvensional, seorang individu terutama
memperhatikan efek aksi yang dipilih terhadap dirinya. Pada tingkat
ini, karena aturan dan harapan sosial bersifat eksternal terhadap
dirinya, maka keduanya tidak dipertimbangkan dalam proses
pengambilan keputusan. Seorang individu pada tingkat ini umumnya
mengikuti hukum masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat
karena hal tersebut menguntungkan. Seorang individu pada tingkat
pascakonvensional mendefinisikan nilai pribadi dalam pengertian
individual yang dipilih dari prinsipprinsip dan membedakan dirinya
dari aturan dan harapan orang lain. Individu tidak harus berada di
atas hukum, melainkan sebaliknya bertindak dengan cara yang pada
umumnya konsisten dengan hukum masyarakat dan sesuai dengan
perhatian masyarakat. Pada masing-masing tingkatan terdapat dua
tahap perkembangan, sehingga secara total terdapat enam jenis
keseimbangan yang terpisah.
Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kolhberg
adalah bagian yang integral dari model kognitif komprehensif
pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest menyatakan bahwa
penalaran etis (ethical reasoning) hanya merupakan bagian dari
14
kapasitas individu secara keseluruhan untuk membangun kerangka
dan memecahkan masalah etis. Rest (1979) selanjutnya
mengidentifikasi empat komponen dalam menentukan perilaku
moral, yaitu:
1) Sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah
situasi).
2) Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar
secara moral).
3) Motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya)
4) Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk
mengimplementasikan aksi moral).
15
Sebagai alternatif dari MJI, Rest mengembangkan pengujian
definisi masalah (definition of issue test—DIT), yang berupa
kuesioner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan
ukuran objektif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis
(bukan berupa skor tunggal).
Dalam konteks domain spesifik (misalnya, akuntansi),
pengendalian DIT sebagai ukuran kapasitas etis menjadi semakin
diperdebatkan. Sementara perilaku etis ditemukan berhubungan
dengan tingkat moral reasoning yang lebih tinggi (seperti diukur oleh
DIT), studi perbandingan telah menunjukkan bahwa tingkat moral
reasoning akuntansi profesional secara konsisten berada jauh di
bawah temuan untuk nonakuntan. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika DIT dikritik sebagai ukuran tingkat moral
reasoning akuntan yang buruk. Fogarty, misalnya, menyerang
penggunaan DIT berdasarkan beberapa alasan, menyatakan bahwa
sebagai ukuran kognitif, DIT mengabaikan motivasi dan
karakteristik berbasis emosi lainnya. Ia juga mempertahankan bahwa
akuntan seharusnya dianalisis pada tingkat kelompok dan bukan
tingkat individual.
Asumsi implisit dalam seluruh studi yang menggunakan DIT
adalah bahwa semakin tinggi skor DIT semakin baik. Misalnya,
Kolhberg menyatakan bahwa ketika seorang individu mengalami
kemajuan melalui tahapan tersebut, mereka mengatasi gaya
pemikiran lama dan memandang dirinya sebagai individu tidak
memadai dan sederhana. Sementara, Kolhberg menyatakan bahwa
individu bergerak di sepanjang tahap naik seperti anak tangga. Hal
yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang menjadi preferensi dari
akuntan adalah tahap yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahap
yang lebih rendah? Misalnya, akun dapat memilih profesi berbasis
aturan di mana penyimpangan dari aturan tersebut tidak dibolehkan.
16
Dengan demikian, pembenaran etis akuntan mungkin didasarkan
pada ekspektasi mengenai posisi mereka (misalnya, masyarakat
menjadi pengawas bisnis).
17
yaitu utilitarianisme, yang penting dalam pengambilan keputusan
etis.
Sementara SEM dikritik gagal untuk memasukkan kerangka
kerja psikolog dalam proses ethical reasoning, Flory merespons
dengan menunjukkan bagaimana ukuran ini secara teoretis berbeda
dari karya pengembangan moral Kolhberg dan Rest, serta bahwa
ukuran ini mungkin menjadi alat yang lebih baik untuk memahami
proses moral reasoning akuntan. Cohen selanjutnya menunjukkan
bahwa SEM adalah ukuran sensitivitas moral, yang merupakan
komponen pertama model Rest. Dengan cara yang sama, Shaub
membuat model dari kemampuan auditor untuk mengenali konflik
etika sebagai fungsi dari orientasi etika lainnya
(idealisme/relativisme), serta komitmen profesional dan
organisatoris.
18
yang sesungguhnya. Ia menyatakan bahwa sementara riset sekarang
menggunakan ukuran etis alternatif (misalnya, tahapan Kolhberg),
orang berperilaku agak etis atau kurang etis, ini adalah masalah ini
atau itu. Terakhir, ia mempertanyakan penggunaan metodologi
positivistik saat ini, dengan mencatat bahwa etika adalah masalah
nilai (apa yang seharusnya) dan bukan fakta (apa ini). Lebih lanjut,
masalah ini semakin rumit dengan adanya fakta bahwa individu yang
berbeda mungkin menyampaikan sasaran normatif yang berbeda,
yang didasarkan pada konteks dan individu masing-masing.
Sementara kerangka kerja teoretis yang dibahas dalam bagian
ini sering kali bertentangan, konflik tersebut seharusnya tidak
dilepaskan dari pentingnya riset yang dilakukan. Sebaliknya,
perbedaan tersebut merendahkan kekayaan dari masalah subjek dan
menyoroti area penyelidikan teoretis selanjutnya. Bagian selanjutnya
menyainpaikan contoh bagaimana model pengambilan keputusan etis
yang berbeda digunakan untuk membahas pertanyaan-pertanyaan
yang memengaruhi profesi akuntansi.
19
2.7. Implikasi bagi Riset Mendatang
Berdasarkan fakta bahwa mayoritas riset perilaku etis akuntan
didasarkan pada teori moral reasoning dari Kohlberg (dan DIT yang
berhubungan), maka logis untuk memulai diskusi mengenai pertanyaan etis
tidak terpecahkan yang memengaruhi profesi akuntan dari titik ini.
Misalnya, pernyataan Kolhberg bahwa tingkat moral reasoning yang lebih
tinggi disukai daripada yang lebih rendah perlu dilihat relevansinya terhadap
profesi akuntansi. Sementara Kolhberg menyatakan bahwa individu
bergerak di sepanjang tahap seperti anak tangga, apakah hal ini
mengimplikasikan bahwa bagi akuntan, tahap yang lebih tinggi merupakan
tahap yang lebih disukai dibandingkan dengan tahap yang lebih rendah?
Ketika masyarakat mengawasi bisnis, pembenaran etika akuntan mungkin
didasarkan pada harapan masyarakat terhadap posisi mereka. Dengan kata
lain, publik mungkin mengharapkan tingkat moral reasoning yang lebih
rendah (secara khusus empat tahap) bagi akuntan sebagai anggota dari
profesi yang berbasis aturan.
Banyak riset telah diselesaikan guna menjawab pertanyaan etika
yang dihadapi oleh akuntan. Meskipun demikian, masih lebih banyak lagi
yang perlu diteliti. Peneliti akuntansi keperilakuan beruntung menjadi
bagian dari profesi yang kaya dalam masalah subjek dan ragam subjek.
Indentifikasi yang kontinu dan eksplorasi terhadap masalah etika yang unik
dalam profesi akuntansi dapat memberikan pedoman bukan hanya untuk
mengembangkan model bidang yang spesifik, melainkan juga pemahaman
tentang pengambilan keputusan etis pada umumnya.
20
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Akuntan merupakan profesi yang keberadaanya sangat tergantung
pada kepercayaan masyarakat. Sebagai profesi, seorang akuntan dalam
menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi etikanya. bahwa setiap
profesional wajib menaati etika profesinya terkait dengan pelayanan yang
diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas.Akuntan di
dalam aktivitas auditnya memiliki banyak hal yang harus
dipertimbangkan, karena auditor mewakili banyak konflik kepentingan
yang melekat dalam proses audit (built-in conflict of interest).
Sering kali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor
berada dalam konflik audit. Konflik ini akan menjadi dilema etika ketika
auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi
dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin dijanjikan di
sisi lainnya. Akuntan sebagai profesi untuk memenuhi fungsi auditing
harus tunduk pada kode etik profesi dan melaksanakan audit terhadap
laporan keuangan dengan cara tertentu.
21
DAFTAR PUSTAKA
22