Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Naskah Akademik ini disusun berkaitan dengan disahkannya UU Cipta Kerja oleh
Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020, sehingga terdapat perubahan
dalam proses perizinan bangunan gedung yang tertuang pada pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang Banugnan Gedung bahwa pelaksanaan kontruksi bangunan gedung dilakukan
setelah mendapatkan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Dengan pasal tersebut
perizinan IMB dihapuskan digantikan dengan perizinan PBG (Persetujuan Bangunan
Gedung), yang mana tertuang pada PP no 16 Tahun 2021
PP no 16 Tahun 2021 disahkan pada tanggal 2 Februari 2021 tentang “ Peraturan
Pelaksanaan Undang – Undang no 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Pada PP
no 16 Tahun 2021 pasal 1 angka 17 meyebutkan bahwa PBG adalah perizinan yang
diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/ atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar
teknis bangunan gedung.
Standar teknis yang dimaksud antara lain standar perencanaan dan perancangan
bangunan gedung, standar pelaksanaan dan pengawasan kontruksi bangunan gedung,
dan standar Pemanfaatan banguan gedung.

B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat permasalahan yang
dapat diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu :
1. Bagaimana proses pengurusan PBG terhadap bangunan baru dan bangunan
eksisting?
2. Apa yang menjadi pemenuhan standar teknis sebagai syarat perizinan PBG?
3. Bagaimana bila bangunan yang diajukan izin PBG tidak memenuhi standar teknis?
4. Bagaimana perubahan retribusi dengan dihilangkannya IMB menjadi PBG?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan
Naskah Akademik adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui proses perizinan PBG terhadap bangunan baru maupun bangunan
eksisting.
2. Mengetahui standar – standar teknis yang harus dipenuhi dalam pengurusan izin
PBG.
3. Mengetahui tindak lanjut/ solusi dari bangunan yang diajukan PBG belum
memenuhi standar teknis.
4. Mengetahui perhitungan retribusi PBG dengan hilangnya IMB dalam perizinan
bangunan gedung.

D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik tentang PBG (Persetujuan Bangunan Gedung)
dilakukan melalui studi kepustakaan/ literature dengan menelaah berbagai data sekunder
seperti peraturan perundang-undangan terkait, baik di tingkat undang-undang maupn
peraturan pelaksanaannya dan berbagai dokumen hokum terkait.
Guna melengkapi studi kepustakaan dan literature, dilakukan pula diskusi (focus
group discussion) dan wawancara serta kenyataan uji konsep denganberbagai pihak
berkepentingan atau stakeholders terkait penyelenggaraan PBG.
BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Kajian Teoritis
1. Pengurusan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung)
PBG merupakan perizinan baru dengan disahkannya PP no 16 tahun 2021,
sehingga dalam pengurusannya akan terdapat perbedaan antara bangunan baru
dengan bangunan yang sudah terbangun. Berdasarkan PP no 16 tahun 2021 untuk
pengurusan PBG bangunan baru yaitu sbb :
a. Diajukan sebelum pelaksanaan konstruksi
b. Pemeriksaan pemenuhan standar teknis terhadap dokumen sbb:
 Dokumen Perencanaan
 Dokumen Manajemen Konstruksi
c. Pernyataan pemenuhan standar teknis oleh Tim Penilai Ahli
d. Pendaftaran melalui SIMBG untuk pemeriksaan dokumen
e. Penerbitan PBG
Sesuai dengan PP no 16 tahun 2021 pasal 346 ayat 3 yaitu bangunan gedung
yang sudah berdiri dan belum memiliki PBG, maka untuk memperoleh PBG harus
mengurus SLF. Sehingga pengurusan bangunan yang sudah berdiri sbb :
a. Diajukan pengurusan SLF
b. Pemeriksaan pemenuhan standar teknis terhadap dokumen sbb:
 Dokumen Kajian Teknis
 Dokumen Daftar Simak
 Dokumen Administrasi Kelengkapan pengajuan SLF
c. Pernyataan pemenuhan standar teknis oleh Tim Penilai Ahli
d. Penerbitan SLF dengan dilanjutkan untuk pendaftaran PBG
Pada PP no 16 tahun 2021 pasal 11 ayat 2 dalam hal terdapat perubahan fungsi
dan / atau klasifikasi bangunan gedung, pemilik diwajibkan untuk mengurus PBG
perubahan.
2. Pemenuhan Standar Teknis
Pemenuhan standar teknis menjadi persyaratan utama untuk memperoleh PBG,
menurut PP no 16 tahun 2021 pasal 1 ayat 50 standar teknis adalah acuan yang
memuat ketentuan, kriteria, mutu, metode, dan / atau tata cara yang harus dipenuhi
dalam proses penyelenggaraan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung. Dalam pemenuhan standar teknis terdapat beberapa
aspek yaitu sbb:
a. Arsitektur
b. Struktur
c. Mekanikal
d. Elektrikal
3. PBG Tidak Memenuhi Standar Teknis
Pada PP no 16 tahun 2021 pada saat proses pemeriksaan dokumen dan kondisi
bangunan tidak memenuhi standar teknis. Sehingga pengkaji teknis menyusun hasil
pemeriksaan dan rekomendasi penyesuaian Bangunan Gedung.

B. Kerangka Acuan dan Standar Evaluasi


Dalam proses pengurusan PBG hal yang paling penting untuk dipenuhi yaitu
standar teknis. Standar teknis dalam bangunan gedung terdapat beberbagai bidang yang
harus diperhatikan yaitu bidang arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal. Dalam
bidang – bidang tersebut terdapat regulasi/ aturan yang harus dipenuhi sbb :
1. Bidang Arsitektur
Tabel 2. 1 Standar Evaluasi Bidang Arsitektur

No Standar evaluasi Keterangan

1. Regulasi Kabupaten/ Kota  GSB (Garis Sempadan Bangunan)


terkait tata ruang
 KDB (Koefisien Dasar Hijau)
 KDH (Koefisien Dasar Hijau)
 KLB (Koefisien Luas Bangunan)
 KBG (Ketinggian Bangunan Gedung)
 KTB (Koefisien Tapak Basement)
2. Lampiran II Permen PUPR Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
Nomor 14/PRT/M/2018 perumahan kumuh dan permukiman kumuh
bab evakuasi

3. SNI 03-1746-2000 Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana


jalan keluar untuk penyelamatan terhadap
bahaya kebakaran pada bangunan gedung bab
evakuasi
4. SNI 03-1735-2000 Tata cara perencanaan akses bangunan dan
akses lingkungan untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.

5. SNI 03-6575-2001 Tata cara perancangan system pencahayaan


buatan pada bangunan gedung

6. SNI 03-6572-2001 Ttata cara perancangan sistem ventilasi dan


pengkondisian udara pada bangunan gedung

7. Time Saver Standar Sebagai acuan perhitungan kenyamanan ruang


gerak dalam ruang.

2. Bidang Struktur
Tabel 2. 2 Standar Evaluasi Bidang Struktur

No Standar evaluasi Keterangan

1. SNI 1727 Tahun 2013 Peraturan Pembebanan Indonesia untuk geding


dan Bangunan lain

2. SNI 1726 Tahun 2019 Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk


Struktur Bagunan Gedung

3. SNI 2836 Tahun 2008 Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan
pondasi untuk konstruksi bangunan gedung
dan perumahan

4. SNI 03-1968-1990 Analisa Saringan Agregat Halus dan Kasar

3. Bidang Mekanikal
Tabel 2. 3 Standar Evaluasi Bidang Mekanikal

No Standar evaluasi Keterangan

1. Permenaker No. 06 Tahun Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator


2017 dan Eskalator

2. SNI 6390-2020 Tentang Tata Udara

3. SNI 8153-2015 Sistem Plambing Pada Bangunan Gedung

4. SNI 03-7065-2005 Plambing

5. SNI 03-1735-2000 Tentang Tata Cara Perencanaan Akses


Bangunan Dan Akses Lingkungan Untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung

6. NPFA-10 Satandar Untuk Portable Fire Extinguisher


4. Bidang Elektrikal
Tabel 2. 4 Standar Evaluasi Bidang Elektrikal

No Standar evaluasi Keterangan

1. SNI 04-0225-2000 Tentang Pesyaratan Umum Instalasi Listrik


(PUIL – 2000)

2. SNI 04-0225-2011 Tentang Persayaratan Umum Instalasi Listrik


(PUIL – 2011

3. SNI 03-7015-2004 Proteksi Petir

4. SNI 04-7018-2004 Sistem Pasokan Daya Listrik Darurat dan


Siaga

5. IEC 364-4-443 Tentang Perlengkapan Listrik

6. IEC 364-4-442 Tentang Pemutus Listrik

7. IEC 364-5-554 Tentang Pembumian

8. Standar Penerangan Buatan


Dalam Gedung

9. Peraturan Menteri Pekerjaan Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran


Umum No. 26/PRT/M/2008 Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan

10. Standard NFPA 72/1993, atau Tentang Kewajiban memasang CCTV


edisi terakhir

11. Standard NEC/ 1996, atau


edisi terakhir
BAB III
TINJAUAN PEMENUHAN STANDAR TEKNIS DALAM PBG

A. Tinjauan Bidang Arsitektur


1. Proses PBG didalam Bidang Arsitektur
 Proses Bangunan Baru

Dok. Manajemen Kontruksi


Dok. Perencanaan Arsitektur Bidang Arsitektur

PBG
Dok. As Built Drawing Dok. Pemanfaatan Bangunan
Arsitektur Gedung

Diagram 3. 1 Proses Bangunan Baru

 Proses Bangunan Eksisting (sudah terbangun)

PENGUMPULAN DATA ARS


Dokumen IMB
As Built Drawing

OBSERVASI LAPANGAN
Pengecekan IMB dengan kondisi eksisting
Pengecekan As Built Drawing dengna kondisi eksisting
Pengecekan dengan regulasi/ aturan Kabupaten/ Kota terkait tata ruang
Pengecekan Kondisi fisik bangunan gedung
Pengecekan akses sirkulasi dan evakuasi (sirkulasi kendaraan, sirkulasi manusia
dan sirkulasi evakuasi)
Pengecekan kenyaman bangunan (pencahayaan, penghawaan, kebisingan,
pandangan dan ruang gerak)

OUTPUT
Daftar Simak
Kajian Teknis
Rekomendasi
Diagram 3. 2 Proses PBG Bangunan Eksisting (sudah terbangun)
2. Pemenuhan Standar Evaluasi
Standar evaluasi bidang arsitektur dalam pelaksanaan PBG berkaitan dengan
kepadatan dan ketinggian bangunan gedung menurut PP no 16 tahun 2021 Pasal 22
yaitu, KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan), KBG
(Ketinggian Bangunan Gedung), KDH (Koefisien Dasar Hijau) dan KTB
(Koefisisen Tapak Basement)
Dan berkaitan dengan jarak bebas bangunan gedung menurut PP no 16 tahun
2021 pasal 23, yaitu GSB (Garis Sempadan Bangunan), Jarak Gedung dengan Batas
Persil dan Jarak Antar Bangunan Gedung. Didalam pasal 23 terdapat aspek –aspek
didalamnya. Aspek – aspek tersebut yaitu,
- Aspek keselamatan terkait proteksi kebakaran,
- Aspek kesehatan terkait sirkulasi udara dan pencahayaan,
- Aspek kenyamanan terkait kebisingan,
- Aspek kemudahan eksesbilitas dan akses evakuasi,
- Aspek ketinggian bangunan gedung yang ditetapkan dalam ketentuan intensitas
bangunan gedung
 Garis Sempadan Bangunan
GSB (Garis Sempadan Bangunan) berdasarkan PP no 16 tahun 2021 Pasal 1
Ayat 9 adalah garis yang mengatur batasan lahan yang tidak boleh dilewati
dengan bangunan yang membatasi fisik bangunan kea rah depan, belakang.
Maupun samping. Berikut contoh gambar gambar sempadan bangunan :

Gambar 3. 1 Garis Sempadan Bangunan


 Koefisien Dasar Bangunan
KDB (Koefisien Dasar Bangunan) berdasarkan PP no 16 tahun 2021 Pasal 1
ayat 12 adalah angka presentase berdasarkan perbandingan antara luas seluruh
lantai dasar bangunan gedung terhadap luas lahan perpetakan atau daerah
perencanaan sesuai KRK (Keterangan Rencana Kota). Berikut cara perhitungan
dari KDB :

LUAS DASAR BANGUNAN


KDB= × 100 %
LUAS LAHAN
Contoh :
Luas Tanah : 2.500 m²
Luas Dasar Bangunan : 1.250 m²
1.250
KDB= ×100 %
2.500
KDB= 50%
 Koefisien Dasar Hijau
KDH (Koefisien Dasar Hijau) berdasarkan PP no 16 tahun 2021 Pasal 1 ayat
12 adalah presentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka diluar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/ penghijauan terhadap
luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK (Keterangan Rencana
Kota). Berikut cara perhitungan dari KDH :

LUAS RUANG TERBUKA


KDH = ×100 %
LUAS LAHAN
Contoh :
Luas Tanah : 2.500 m²
Luas Ruang Terbuka : 500 m²
500
KDH= ×100 %
2.500
KDH= 20%
 Koefisien Lantai Bangunan
KLB (Koefisien Lantai Bangunan) berdasarkan PP no 16 tahun 2021 Pasal 1
ayat 14 adalah angka presentase perbandingan antara luas seluruh lantai banugnan
gedung terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK
(Keterangan Rencana Kota). Berikut cara perhitungan dari KLB :
LUAS LANTAI BANGUNAN
KLB=
LUAS LAHAN
Contoh :
Luas Tanah : 2.500 m²
Luas Lantai Bangunan : 10.000 m²
10.000
KLB=
2.500
KLB= 4
 Ketinggian Bangunan Gedung
KBG (Ketinggian Bangunan Gedung) berdasarkan PP no 16 tahun 2021 Pasal
1 ayat 11 adalah angka maksimal jumlah lantai bangunan gedung yang
diperkenankan.

Gambar 3. 2 KRK mengenai ketinggian bangunan

 Koefisien Tapak Basement


KTB (Koefisien Tapak Basement) berdasarkan PP no 16 tahun 2021 Pasal 1
ayat 15 adalah angka presentase berdasarkan perbandingan antara luas tapak
basement terhadap luas lahan perpetakan atau didaerah perencanaan sesuai KRK
(Keterangan Rencana Kota). Berikut cara perhitungan dari KTB :

LUAS TAPAK BASEMENT


KTB = ×100 %
LUAS LAHAN
Contoh :
Luas Tanah : 2.500 m²
Luas Tapak Basement : 750 m²
750
KTB= ×100 %
2.500
KTB= 30%
 Lampiran II Permen PUPR no 14/PRT/M/2018
Didalam lampiran II Permen PUPR no 14/PRT/M/2018 terdapat acuan dalam
menentukan kebutuhan bukaan pintu eksit dan tangga eksist dalam evakuasi.
Berikut contoh perhitungan bukaan pintu eksist dan tangga eksit :

Gambar 3. 3 Langkah Pertama Perhitungan Kebutuhan Bukaan Eksit dan Tangga Eksit
Gambar 3. 4 Langkah Kedua Perhitungan Kebutuhan Bukaan Eksit dan Tangga Eksit
Gambar 3. 5 Langkah Ketiga Perhitungan Kebutuhan Bukaan Eksit dan Tangga Eksit

 SNI 03-1746-2000
SNI 03-1746-2000 adalah sni yang mengatur tata cara perencanaan dan
pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran
pada bangunan gedung. Dalam SNI 03-1746-2000 terdapat beberapa aspek yaitu
sbb:
a) Tata cara pemasangan signage evakuasi

Gambar 3. 6 Contoh Pemasangan Signage Evakuasi

b) Tata cara bukaan eksit dan keandalan pintu eksit


Bukaan pintu eksist dalam SNI 03-1746-2000 jika difungsikan dalam
keadaan eksist dibuka dengan cara didorong karena dalam kondisi evakuasi
pengguna akan berlarian dan akan memudahkan jika pintu dibuka dengan
cara di dorong. Untuk ketahanan pintu terhadap api yaitu 2 jam.

Gambar 3. 7 Gambar Pintu Eksit

c) Standar keandalan tangga darurat


Tangga darurat harus memiliki TKA paling tidak 2 jam sehingga dinding
selubung dalam tangga darurat memiliki material tahan api.
Gambar 3. 8 Gambar Tangga Darurat

d) Standar ukuran tangga darurat


Pada SNI 03-1746-2000 terdapat peraturan mengenai ukuran tangga eksit
yaitu sbb :

Gambar 3. 9 Standar Ukurang Tangga Eksit

 SNI 03-1735-2000
SNI 03-1735-2000 mengatur tentang tata cara perencanaan akses bangunan
dan akses lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan. Yang
berisikan sbb :

Gambar 3. 10 Volume Bangunan unutk Penentuan Jalur Akses Damkar


Gambar 3. 11 Standar Jalan Akses Damkar

 SNI 03-6575-2001
SNI 03-6575-2001 merupakan acuan yang digunakan dalam tata cara
perancangan system pencahayaan buatan pada bangunan gedung, dengan standar
sbb :

Gambar 3. 12 Contoh Standar Kenyamanan Pencahayaan

 SNI 03-6572-2001
SNI 03-6572-2001 sebagai acuan tata cara perancangan sistem ventilasi dan
pengkondisian udara pada bangunan gedung.
Gambar 3. 13 Standar Kenyamanan Penghawaan Ruang

 Time Saver Standar


Time saver standar menjadi acuan untuk menghitung kenyamanan didalam
ruang. Sehingga dapat diketahui dalam suatu bangunan gedung dapat menampung
okupansi sebanyak berapa orang.
Gambar 3. 14 Standar Acuan Kenyamanan Ruang Gerak

B. Tinjauan Bidang Struktur


1. Proses PBG di Bidang Struktur
 Proses Bangunan Baru

Dok. Manajemen Kontruksi


Dok. Perencanaan Struktur Bidang Struktur
PBG
Dok. As Built Drawing Dok. Pemanfaatan Bangunan
Struktur Gedung

Diagram 3. 3 Proses Bangunan Baru


 Proses Bangunan Eksisting (sudah terbangun)

PENGUMPULAN DATA ARS


As build Drawing
Dokumen IMB
Dokumen Pemeliharaan
(Bangunan Sudah Jadi)
Dokumen Hasil Uji dan
pengujian saat pelaksanaan
Dokumen Sertifikat Dari
Instansi terkait
Dokumen Teknis
Comisioning struktur

OBSERVASI VISUAL PENGUJIAN


Pengecekan Mutu bahan dan pengecekan
sambungan. Hammer Test
Membandingkan Asbuilt Drawing dengan Rebar Detector
Eksisting Pengecek Kemiringan
Dokumentasi

PEMODELAN ULANG SESUAI KONDISI EKSISTING


Menggunakan Peraturan yang berlaku
Analisa Output Model/ Perhitungan Ulang
struktur bawah dan struktur atas
Perbandingan Dengan Hasil Pelaksanaan

OUTPUT
Daftar Simak
Kajian Teknis
Rekomendasi

Diagram 3. 4 Proses PBG Bangunan Eksisting (sudah terbangun)

2. Pemenuhan Standar Evaluasi


 Tinjauan Keandalan Bangunan
Setiap bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya harus sesuai
fungsi dan klasifikasinya, harus memenuhi ketentuan aspek keselamatan
Gedung sesuai pasal 28 pada PP. nomor 16 tahun 2021 diantaranya adalah
ketentuan bangunan Gedung terhadap beban muatan. Dimana dalam
struktur,pembebanan bangunan harus memperhatikan SNI 1727 2018.
SNI 1727 2018 : Dalam SNI tersebut berisi tentang peraturan
pembebanan minimum untuk perencanaan bangunan Gedung.
Ketentuan teknis mengenai standar system bangunan Gedung dalam PP.
Nomor 16 tahun 2021 ayat 1, struktur dibagi menjandi 2 bagian yaitu struktur
bawah dan struktur atas, tinjauan tersebut dilakukan dengan cara memeriksa
kelengkapan dokumen teknis. Dari pemeriksaan dokumen tersebut dapat
diidentifikasi atau dibandingkan antara perencanaan dan pelaksanaan di
lapangan secara visual yang selanjutnya dikaji terhadap peraturan atau standart
yang berlaku.
Standar yang berlaku diantaranya :

 Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung, SNI-1727-2018 .


Standar ini memuat beban minimum, tingkat bahaya, kriteria yang
terkait, dan sasaran kinerja yang diharapkan untuk bangunan gedung, struktur
lain dan komponen nonstrukturalnya yang memenuhi persyaratan peraturan
bangunan. Beban, kombinasi pembebanan dan kriteria terkait yang diberikan
dalam standar ini harus digunakan untuk perancangan dengan metode kekuatan
atau perancangan dengan metode tegangan izin yang terdapat dalam spesifikasi
desain untuk material structural konvensional. Kombinasi pembebanan dan
kekuatan desain dianggap mampu memberikan tingkat kinerja yang diharapkan
dalam ketentuan standar ini. Prosedur penerapan dengan cara alternatif untuk
menunjukkan kinerja yang dapat diterima juga dijelaskan dalam standar ini.
 Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung, SNI-03-1729-
2015
Desain dari komponen struktur dan sambungan harus konsisten dengan
perilaku dimaksud dari system portal dan asumsi yang dibuat dalam analisis
struktur. Kecuali dibatasi oleh peraturan bangunan Gedung yang berlaku.
 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung, SNI-
1726-2019
Standar ini memuat persyaratan minimum mengenai beban, tingkat
bahaya, kriteria yang terkait, dan sasaran kinerja yang diperkirakan untuk
bangunan gedung, struktur lain, dan komponen nonstrukturalnya yang
memenuhi persyaratan peraturan bangunan. Beban, kombinasi pembebanan,
dan kriteria terkait yang diberikan dalam standar ini harus digunakan untuk
perancangan dengan metode kekuatan atau perancangan dengan metode
tegangan izin yang terdapat dalam spesifikasi desain untuk material struktural
konvensional. Kombinasi pembebanan dan kekuatan desain dianggap mampu
memberikan tingkat kinerja yang diharapkan dalam ketentuan standar ini.
Prosedur penerapan dengan cara alternatif untuk menunjukkan kinerja yang
dapat diterima juga dijelaskan dalam standar ini.
 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung, SNI 2847-
2019
Standar meliputi ketentuan- ketentuan untuk perancangan beton
struktural termasuk beton polos, beton dengan penulangan nonprategang,
prategang atau keduanya, kolom komposit dengan profil baja struktural, pipa
atau selubung dan pengangkuran ke beton.
 Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia PUBI – 1982, Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Pemukiman, DPU, 1985.
Bahan bangunan merupakan salah satu unsur utama di dalam industri
konstruksi. Banyak jenis-jenis bahan bangunan baru yang timbul karena
kemajuan teknologi. Oleh karena itu perlu untuk diketahui persyaratan-
persyaratan dalam penggunaan, mutu, serta jenis dari bahan bangunan tersebut.
Adapun sebagai referensi penyusunan Persyaratan Umum Bahan Bangunan di
Indonesia ini adalah Standard Industri Indonesia yang dikeluarkan oleh
Departemen Perindustrian serta ketentuan-ketentuan yang berlaku di
linghkungan Departemen Pekerjaan Umum. Persyaratan-persyaratan bahan
bangunan tersebut meliputi bahan bangunan bukan logam seperti antara lain
bahan perekat (semen, kapur, pozolan dan lainnya); bahan tambahan untuk
beton (bahan kimia pembantu untuk beton); agregat (pasir, kerikil dan batu
pecah untuk beton); barang-barang dari semen; batu alam; bahan bangunan
keramik; bahan tahan api; kayu dan barang-barang dari kayu dan bahan
bangunan dari logam besi/baja seperti baja tulangan; bronjong dan kawat
bronjong; baja lembaran serta alat pengunci dan penutup
a) Struktur bawah (Pondasi)
Struktur pondasi memerlukan data-data soil test atau pengujian tanah
dan tipe pondasi yang direncanakan. Fungsi dari pondasi sendiri adalah untuk
meneruskan beban dari struktur bagian atas dan tengah menuju ke lapisan
tanah dibawahnya. Pondasi footplat dan tiang pancang pada bangunan adalah
bagian dari struktur yang berfungsi untuk menerima dan mentransfer
(menyalurkan) beban dari struktur atas ke tanah penunjang yang terletak pada
kedalaman tertentu. Sifat dinamis gaya, gerak tanah yang diharapkan, dasar
desain untuk kekuatan dan kapasitas energi struktur dan properti dinamis tanah
harus disertakan dalam penentuan kriteria pondasi.
b) Struktur Atas
Struktur bangunan terdiri dari beberapa komponen struktur yaitu :
- Kolom
Kolom dari suatu bangunan merupakan salah satu elemen dari
struktur rangka yang mengalami desak dan pemakaiannya selalu
dihubungkan dengan elemen struktur yang lain yaitu balok sebagaai
kesatuan baik sebagaai portal ruang maupun portal bidang. Kolom
berfungsi menahan gaya-gaya pada kolom itu sendiri dan menyalurkan
gaya-gaya yang bekerja pada balok dan pondasi.
- Balok
Balok berfungsi sebagai penyangga struktur bangunan yang ada di
atasnya seperti struktur kalom dan plat, Balok merupakan elemen
pelimpah beban kombinasi pada plat dan atau atap.

- Plat
Plat lantai merupakan suatu konstruksi yang menumpu langsung
pada balok. Pelat lantai dirancang dapat menahan beban mati dan beban
hidup secara bersamaan sesuai kombinasi pembebanan yang bekerja di
atasnya.
- Rangka Atap
Struktur atap adalah bagian bangunan yang menahan/mengalirkan
beban-beban dari atap yang kemudian diteruskan ke pondasi melalui
kolom dan balok. Rangka atap yang digunakan pada bangunan eksisting.
 Observasi Visual
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Repuplik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2018: Pemeriksaan visual / observasi
visual secara lengkap dapat dilihat pada daftar simak : “K.2.1. Pemeriksaan
system struktur bangunan” berikut k obsevasi visual pada daftar simak
pemeriksaan system struktur bangunan :

Tabel 3. 1Pemeriksaan observasi visual pada kolom


Pemeriksaan Lapangan Keterangan

LAMPIRAN MENERANGKAN BAHWA KONDISI


FOTO KONDISI KOLOM BAIK TIDAK MENGALAMI
EKSISTING KERUSAKAN STRUKTUR

Tabel 3. 2 Pemeriksaan observasi visual pada Balok

Pemeriksaan Lapangan Keterangan

LAMPIRAN MENERANGKAN BAHWA KONDISI


FOTO KONDISI BALOK BAIK TIDAK MENGALAMI
EKSISTING KERUSAKAN STRUKTUR

Tabel 3. 3 Pemeriksaan observasi visual pada Plat

Pemeriksaan Lapangan Keterangan


LAMPIRAN
MENERANGKAN BAHWA KONDISI
FOTO KONDISI
PLAT BAIK TIDAK MENGALAMI
EKSISTING
KERUSAKAN STRUKTUR

Tabel 3. 4 Pemeriksaan observasi visual pada Rangka Kuda-kuda

Pemeriksaan Lapangan Keterangan

LAMPIRAN
MENERANGKAN BAHWA KONDISI
FOTO KONDISI
KUDA-KUDA BAIK TIDAK
EKSISTING
MENGALAMI KERUSAKAN
STRUKTUR

 Pengujian Mutu
1. Non Destruktif
Pengujian struktur bangunan yang bersifat tidak merusak pada kondisi visual
pada eksisting.
a) Pengujian Hammer Test (ASTM C 805-02)
Pada evaluasi / pemeriksaan ke laikan Gedung kali ini juga
dilakukan pengujian non destruktif atau tidak merusak dengan
pengambilan sample acak pada semua bangunan dan diuji
menggunakan hammer test.
Tabel 4. 1 Pengujian Hammer Test

PROCEDURE FOR SCHMIDT REBOUND HAMMER TEST

1) Persiapan.
- Menyusun rencana jadwal pengujian, mempersiapkan peralatan-
peralatan serta perlengkapan- perlengkapan yang diperlukan.
- Mencari data dan informasi termasuk diantaranya data tentang
letak detail konstruksi, tata ruang dan mutu bahan konstruksi
selama pelaksanaan bangunan berlangsung.
- Menentukan titik test.
- Titik test untuk kolom diambil sebanyak minimum 5 (lima) titik,
masing-masing titik test terdiri dari 7 (tujuh) titik tembak, begitu
juga untuk elemen konstruksi yang lain.
2) Tata Cara Pengujian.
- Sentuhan ujung plunger yang terdapat pada ujung alat hammer
test pada titik-titik yang akan ditembak dengan memegang
hammer sedemikian rupa dengan arah tegak lurus atau miring
bidang permukaan beton yang akan ditest.
- Plunger ditekan secara periahan-lahan pada titik tembak dengan
tetap menjaga kestabilan arah dari alat hammer. Pada saat ujung
plunger akan lenyap masuk kesarangnya akan terjadi tembakan
oleh plunger terhadap beton, dan tekan tombol yang terdapat
dekat pangkal hammer.
- Lakukan pengetesan terhadap masing-masing titik tembak yang
telah ditetapkan semula dengan cara yang sama.
- Tarik garis vertikal dari nilai pantul yang dibaca pada grafik 1
yaitu hubungan antara nilai pantul dengan kekuatan tekan beton
yang terdapat pada alat hammer sehingga memotong kurva yang
sesuai dengan sudut tembak hammer.
- Besar kekuatan tekan beton yang ditest dapat dibaca pada sumbu
vertikal yaitu hasil perpotongan garis horizontal dengan sumbu
vertikal. Oleh karena itu mutu beton yang dinyatakan dengan
kekuatan karakteristik α bk didasarkan atas kekuatan tekan
beton yang diperoleh pada saat pengetesandilaksanakan perlu
dikonversi menjadi kekuatan tekan beton umur 28 hari.
Tabel 4. 2 Rebound hammer test

3) Hasil Pengujian Hammerr Test


Hasil pengujian kuat tekan dari hammer test akan kami jadikan
dasar pemodelan ulang guna anlisa yang lebih lanjut, Berikut hasil
kuat tekan beton berdasarkan pengujian tersebut dapat dilihat pada
tabel 4.5:
Tabel 4. 3 Hasil Kuat tekan beton

b) Pengujian Leeb hardness Tester (ASTM A 956-06)


Metode pengujian ini mencakup penentuan kekerasan baja, baja
tuang, dan besi tuang, Penentuan nilai parameter alat dibandingkan /
dikoreksi dengan standar refrensi ASTM A 956-06.
Gambar 3. 15 Pengujian Leeb hardness Tester

Procedure
1) Sambungkan perangka terhubung ke indicator dan instrument lalu
nyalakan alat.
2) Tumbukan dan tekan secara berlahan dengan benda uji dengan satu
tangangan kemudian tangan lain menekan tombol power.
3) Nilai kekerasan leeb akan terbaca pada indicator alat
4) Untuk mencegah kesalahan cincin penyangga dasar alat harus
dipegang pas dan tegak lurus ke permukaan benda uji.
5) Jarak Antara dua titik tumbukan tidak boleh kurang dari dua
diameter tepi alat.
6) Titik test untuk kolom diambil sebanyak minimum 5 (lima) titik,
masing-masing titik test terdiri dari 9 (Sembilan) titik tembak, begitu
juga untuk elemen konstruksi yang lain.
Gambar 3. 16 Impact Device

7) Hasil Pengujian Leeb Hardness Tester


Hasil pengujian kuat tekan baja dengan leeb hardness tester akan
kami jadikan dasar pemodelan ulang guna anlisa yang lebih lanjut,
Berikut hasil kuat tekan beton berdasarkan pengujian tersebut dapat
dilihat pada Gambar 4.3:

Gambar 3. 17 Kuat tekan baja dengan leeb hardness tester

c) Pengujian Rebar Detector


Pengujian rebar detector ini dilakukan untuk mengetahui berapa
jumlah tulangan, jarak tulangan dan tebal selimut beton. Pengujian yang
dilakukan pada diambil beberapa semple acak pada bangunan.
Gambar 3. 18 Pengujian Rebar detector

1) Hasil Pengujian Rebar Detector


Adapun hasil dari rebar Scanner sebagai berikut :
2. Pengujian material dan kekuatan (Destruktif)
Pengujian ini biasanya bersifat pengambilan benda uji pada komponen
struktur, yang kemudian akan diujikan oleh Lembaga / lab untuk
menetukan kekuatan atau mutu bangunan diantaranya adalah :
1. Metoda core drill 

Gambar 3. 19 Pengambilan sambple core drill

Sumber (https://ronymedia.wordpress.com/2010/05/27/core-drill-test/ )

metoda pengambilan sampel beton pada suatu struktur bangunan. Sampel


yang diambil (bentuk silinder) selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk
dilakukan pengujian seperti Kuat tekan, Karbonasi dan Pullout test.
Pengujian kuat tekan (ASTM C-39) dari sampel tersebut diatas biasanya
lebih dikenal dengan pengujian “Beton Inti”. Alat uji yang digunakan
adalah mesin tekan dengan kapasitas dari 2000 kN sampai dengan 3000
kN.
3. EVALUASI STRUKTUR
Evaluasi struktur ini dilakukan untuk mengetahui ke laik kan dan mengetahui
kondisi struktur terkini bangunan tersebut. Untuk dapat mengevaluasi dan
menyimpulkan performa struktur, maka perlu dilakukan pemodelan analisa
struktur dengan kondisi struktur yang terpasang atau eksisting untuk mendapatkan
kapasitas suatu elemen struktur. Perhitungan kaapasitas penampang dengan
kekuatan material actual akan dibandingkan dengan hasil gaya dalam yang
didapat dari analisa struktur.
a. Data teknis hasil dari pengujian material
Mutu Beton : Mutu beton diambil dari hasil hammer test
terendah)
Mutu Baja : Sesuai Pengujian
b. Pemodelan

Gambar 3. 20 Pemodelan

c. Kriteria Pembebanan
Kombinasi dan faktor beban yang digunakan dalam perencanaan ini
mengacu pada standar yang berlaku di atas yaitu:
1. Kuat perlu U untuk menahan beban mati D:
U = 1,4 D
2. Kuat perlu U utuk menahan beban mati D, beban hidup L, dan juga beban
atap A atau beban hujan R, yaitu:
U = 1,2.D + 1,6.L + 0,5 ( A atau R )
3. Kuat perlu U yang diambil dalam memperhitungkan perencanaan
ketahanan struktur terhadap beban gempa adalah:
U = 1,2.D + 1,0.L ± 1,0.E
4. Atau
U = 0,9.D ± 1,0.E
5. dimana :
D = Beban mati,
L = Beban hidup,
W = Beban angin,
E = Beban gempa
6. Beban hidup yang bekerja pada struktur :
- Beban mati
- Berat sendiri konstruksi
7. Beban dinding (pasangan bata) ½ batu : 2.50 kg/m2

8. Berat jenis material adalah sebagai berikut :

Baja : 78,5 kN/m3


Beton bertulang : 24,0 kN/m3
Beton rabat : 22,0 kN/m3
Beban hidup merata :
Ruang diatas lantai pertama : 1,92 kN/m2
Loteng yang dapat dihuni : 1,44 kN/m2
Tangga dan jalan keluar : 4,79 kN/m2
Beban Atap (air hujan) : 0,96 kN/m2
d. Pemodelan ulang struktur terhadap gempa
 Beban Gempa
Besarnya Beban Gempa Rencana (V) yang terjadi di tingkat dasar dari
bangunan gedung dihitung dengan persamaan :
Beban lateral rencana dihitung sesuai persamaan
V = Cs . Wt
Keterangan :
V = base shear
Cs = koefisien gempa
Wt = berat struktur efektif
 Dimana C adalah nilai Faktor Respons Gempa yang didapat dari Spektrum
Respon Gempa Rencana. Wt adalah berat total struktur yang ditetapkan
sebagai jumlah dari beban-beban berikut ini
 beban mati total dari struktur bangunan gedung
 Bila digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus
diperhitungkan tambahan beban sebesar 0,5 kPa.
 Pada gudang-gudang dan tempat-tempat penyimpanan barang, maka
sekurang- kurangnya 25% dari beban hidup rencana harus diperhitungkan
 Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung R
adalah Faktor Reduksi Gempa, yang besarnya ditetapkan : 2,2  R =  .
f1 Rm, dimana f1 adalah faktor tahanan lebih beban dan bahan yang
terkandung di dalam struktur bangunan gedung, yang nilainya ditetapkan
sebesar f1 = 1,6.  adalah nilai faktor daktilitas struktur bangunan gedung.
Jika R = 2,2, maka struktur bangunan gedung akan berperilaku elastik
pada saat terjadi gempa. Nilai R ditentukan berdasarkan SNI 1726-2019.
 Pengaruh Gempa pada Struktur Bawah
 Struktur bawah pada dasarnya tidak boleh mengalami plastifikasi lebih
dulu daripada struktur atas. Untuk menjamin hal ini, struktur bawah harus
dapat memikul beban gempa maksimum sebesar Vm=f.Vn, dengan f
adalah nilai kuat lebih total struktur. Dengan persyaratan ini, kombinasi
beban terfaktor untuk perencanaan pondasi terhadap beban gempa adalah:
U = 1,2.D + 1,0.L ± 1,0.Ef
Atau
U = 0,9.D ± 1,0.Ef
Sedangkan untuk kondisi layan, kombinasi beban yang diperhitungkan
hádala: U = 1,0.D + 1,0.L ± 0,7.Ef
Atau
U = 0,9.D ± 0,7.Ef
 Analisis dinamis yang dilakukan adalah Analisis beban Gempa Statik
Ekivalen dan analisis dinamis respons spectrum untuk Struktur Gedung
Tidak Beraturan. Modal Analisis digunakan untuk menentukan respon
struktur antar tingkat.
a. DLokasi gedung di zona gempa

b. Kondisi tanah di lokasi gedung termasuk ke dalam


kategori tanah Sedang.
c. Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang
termasuk dalam kategori risiko I,III,IV termasuk, tapi
tidak dibatasi untuk Bangunan industri, Fasilitas
manufaktur, Pabrik (Tabel 1. Pasal 4.1.2 SNI 03-
1726-2019)
d. Untuk gedung dengan tipe Sistem Rangka Beton
Bertulang Pemikul Momen, nilai faktor modifikasi
respons

PEMBEBANAN STRUKTUR
Faktor Reduksi dan kombinasi pembebanan menurut SNI Faktor reduksi kekuatan
yang dimaksud adalah:
a. Phi_bending = 0,8
b. Phi_tension = 0,8
c. Phi_compression(Tied) = 0,65
d. Phi_compression(Spiral) = 0,7
e. Phi_shear = 0,75 Kombinasi Pembebanan (Pasal 11.2)

Kombinasi Pembebanan Non-Gempa:


U = 1,4 B. Mati
U = 1,2 B. Mati + 1,6 B. Hidup+ 0,5 (B. Atap atau B. Air Hujan)
Kombinasi Pembebanan Gempa:
U = 1,2 B.Mati + 1,0 B.Hidup ± 1,0 Gempa X U = 1,2 B.Mati + 1,0 B.Hidup ± 1,0 Gempa
U = 1,2 B.Mati + 1,0 B.Hidup ± 0,5 Gempa X± 0,5 Gempa Y U = 0,9 B.Mati ± 1,0 Gempa
U = 0,9 B.Mati ± 1,0 Gempa Y
U = 0,9 B.Mati ± 0,5 Gempa X± 0,5 Gempa Y

Dari Peta Gempa Kala Ulang 2500 Th


http://rsa.ciptakarya.pu.go.id/2021/

Didapatkan Nilai
Gambar 3. 21 Program Respons Spektra Peta Gempa Indonesia 2019

4. Hasil Evaluasi
Dalam hasil evaluasi dilakukan kajian struktur bangunan yang berisi kajian
struktur bawah bangunan yang terdiri dari pemeriksaan pondasi dan sloof dan
kajian struktur atas bangunan yang terdiri pemeriksaan dari kolom, balok, plat dan
rangka kuda-kuda.:
1. Struktur Bawah
Pemeriksaan Pondasi
Dari data uji tanah / soil test dan data joint reaction pemodelan ulang
dilakukan sample pemeriksaan dari pondasi adalah membandingkan kondisi
eksiting dengan data asbuilt drawing dengan perhitungan ulang yang
dilakukan dengan data pengujian.
2. Struktur Atas
a. Pemeriksaan Kolom
Pemeriksaan kolom juga dilakukan dengan membandingkan
tulangan kolom yang ada dengan data as built drawing.

Pengujian dan as Buil drawing Perhitungan ulang


b.

Pemeriksaan Balok
Perbandingan kolom dengan pengujian dan as Built drawing. Dari
pengujian yang dilakukaan dan data as built drawing pada bangunan
kemudian tulangan dicek apakah tulangan yang digunakan sudah
memenuhi.

Pengujian dan as Buil drawing Perhitungan ulang


c. Pemeriksaan Plat
Dari As Built drawing detail plat dilakukan pengecekan dengan
perhitungan ulang dengan mutu material dari pengujian dan dari data
pembebanan terbaru.
d. Jika dalam Analisa dan observasi visual ditemukan adaya komponen
struktur yang tidak sesuai maka harus dilakukan perkuatan pada
bangunan.
1. Memperpendek Bentang Struktur dengan Konstruksi Beton / 
Konstruksi Baja
2. Perbesaran Dimensi Konstruksi Beton
3. Penambahan Plat Baja
4. External pre-stressing.
5. FRP (Fiber Reinforced Polymer)
C. Tinjauan Bidang Mekanikal
1. Proses PBG di Bidang Mekanikal
 Proses Bangunan Baru

Dok. Manajemen Kontruksi


Dok. Perencanaan Mekanikal Bidang Mekanikal
PBG
Dok. As Built Drawing Dok. Pemanfaatan Bangunan
Mekanikal Gedung

Diagram 3. 5 Proses Bangunan Baru

 Proses Bangunan Eksisting (sudah terbangun)


PENGUMPULAN DATA
MEKANIKAL
As build Drawing
Dokumen IMB
Dokumen Pemeliharaan
Dokumen Hasil Uji dan
pengujian saat
pelaksanaan
Dokumen Sertifikat Dari
Instansi Terkait
Data comingsioningtest
Dokumen Teknis

OBSERVASI VISUAL
PENGUJIAN
Pengecekan Terhadap Seluruh Sisem
Pengujian Terhadap Suhu dan
Mekanikal.
Kelembaban.
Pengecekan Terhadap Sistem Proteksi
Pengujian Terhadap Sistem Proteksi
Kebakaran.
Kebakaran.
Dokumentasi

Pengecekan Keseuaian Dokumen


dan Kondisi Eksisting Terhadap
Aturan – Aturan Terkait

OUTPUT
Daftar Simak
Kajian Teknis
Rekomendasi

Diagram 3. 6 Proses PBG Bangunan Eksisting (sudah terbangun)


No Standar evaluasi Keterangan

1. Permenaker No. 06 Tahun Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator


2017 dan Eskalator

2. SNI 6390-2020 Tentang Tata Udara

3. SNI 8153-2015 Sistem Plambing Pada Bangunan Gedung

4. SNI 03-7065-2005 Plambing

5. SNI 03-1735-2000 Tentang Tata Cara Perencanaan Akses


Bangunan Dan Akses Lingkungan Untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung

6. NPFA-10 Satandar Untuk Portable Fire Extinguisher

2. Pemenuhan Standar Evaluasi


 Sistem Proteksi Kebakaran

Sistem Proteksi menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26


Tahun 2008 terbagi menjadi 2 yaitu sistem proteksi aktif dan sistem proteksi
pasif. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kajian proteksi kebakaran
adalah:

a) Bahaya kebakaran dari alat atau material yang ada


b) Tingkat toksik dari material dan asap yang diproduksi
c) Luas dari ruangan
d) Frekuensi dari operasi yang berbahaya
e) Jarak dari instalasi lain yang berbahaya
f) Akses yang tersedia untuk memadamkan kebakaran
g) Kemampuan dari tim pemadam kebakaran
h) Waktu respons dari petugas pemadam kebakaran terdekat
i) Sumber daya yang tersedia untuk tim pemadam kebakaran

 Permen PU No. 20 Tahun 2009 Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di


Perkotaan. Adalah peraturan yang mengatur salah satunya pasal 6(2) tentang dalam
melaksanakan pengendalian proteksi kebakaran, pemerintah kabupaten/kota wajib
menggunakan pedoman teknis manajemen proteksi kebakaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 sebagai landasan dalam mengeluarkan perizinan dan atau pemeriksaan yang
diperlukan.

 Permen PU No. 26 Tahun 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada
Bangunan Gedung & Lingkungan. Pasal 2 (1)Peraturan Menteri ini dimaksudkan untuk
menjadi acuan bagi penyelenggara bangunan gedung dalam mewujudkan penyelenggaraan
bangunan gedung yang aman terhadap bahaya kebakaran. (2) Peraturan Menteri ini
bertujuan untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung dan lingkungan yang aman bagi
manusia, harta benda, khususnya dari bahaya kebakaran, sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya gangguan kesejahteraan sosial. (3) Lingkup peraturan menteri ini meliputi
sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungannya mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pada tahap pemanfaatan, sehingga
bangunan gedung senantiasa andal dan berkualitas sesuai dengan fungsinya.

Tabel 3. 5 Tabel Jarak Antar Bangunan Gedung

Jarak minimum antar bangunan tersebut tidak dimaksudkan untuk menentukan garis
sepadan bangunan.
 Permenaker No. 04 Tahun 1980 Syarat – Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat
Pemadam Api Ringan. Pemasangan dan perawatan APAR harus dilakukan dengan benar
untuk memudahkan penggunaan dan menjamin keandalan APAR tersebut pada saat
digunakan.
4 Poin Standar Penempatan APAR yang benar.
• Mudah diakses dan tidak terhalang oleh benda atau gangguan lainya.
• Diberi tanda APAR yang jelas dan sesuai standar
• Minimal 15 cm dari lantai atau idealnya adalah 125 cm dari lantai.

Jarak antara APAR satu dengan lainnya adalah 15 meter, atau bisa disesuaikan
dengan saran ahli
 SNI 03-1735-2000 Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung. Pada bangunan bukan hunian,
seperti pabrik dan gudang serta bangunan hunian dengan ketinggian lantai hunian di atas
10 m, harus disediakan jalur akses dan ruang lapis perkerasan yang berdekatan dengan
bangunan untuk peralatan pemadam kebakaran. Jalurakses tersebut harus mempunyai lebar
minimal 6 m dan posisinya minimal 2 m dari bangunan dan dibuat minimal pada 2 sisi
bangunan. Ketentuan jalur masuk harus diperhitungkan berdasarkan volume kubikasi
bangunan seperti ditunjukkan dalam table

 NFPA-10, Standar untuk Portable Fire Extinguisher. Sistem proteksi kebakaran aktif
adalah sistem proteksi kebakaran yang secara lengkap terdiri atas sistem pendeteksian
kebakaran baik manual ataupun otomatis, sistem pemadam kebakaran berbasis air seperti
sprinkler, pipa tegak dan slang kebakaran, serta sistem pemadam kebakaran berbasis bahan
kimia, seperti APAR dan pemadam khusus. Menurut Health and Safety Executive Inggris,
fungsi dari sistem proteksi aktif adalah untuk memadamkan api, mengendalikan kebakaran
atau menyediakan pengendalian paparan sehingga efek domino bisa dikendalikan.

Gambar 3. 22 Tabung APAR

Gambar 3. 23 Sistem hydrant


Gambar 3. 24 Sistem Hydrant

Gambar 3. 25 Sistem Hydrant

Seluruh sistem proteksi kebakaran yang ada pada bangunan harus


dilakukan pengujian terhadap keandalan dan kelaikan. Pengujian dapat
dilakukan oleh pihak ketiga, Disnaker, dan Damkar.
Gambar 3. 26 SK Disnaker Sistem Hydrant
Gambar 3. 27 Laporan Hasil Pemeriksaan Hydrant

 Sistem Transportasi vertikal


Transportasi vertikal adalah moda transportasi digunakan untuk
mengangkut sesuatu benda dari bawah ke atas ataupun sebaliknya. Ada berbagai
macam tipe transportasi vertikal diantaranya: lift, travator, eskalator dan
dumbwaiter. Dari tipe pengangkut vertikal ini masing-masing mempunyai fungsi
angkut yang berbeda. Lift sering dijumpai di gedung perkantoran, travator lebih
banyak di bandar udara, sedangkan eskalator lebih banyak di pusat pertokoan
besar atau mall sedangkan dumbwaiter lebih banyak digunakan di rumah
sakit dan hotel .

Gambar 3. 28 Transportasi vertikal

Kajian terhadap sistem transportasi vertikal pada bangunan gedung berupa


pengecekan kondisi fisik peralatan, pengukuran terhadap alat apakah sesuai
dengan aturan yang ada, pengujian terhadap alat transportasi tersebut terlebih lift
harus dilakukan uji terdapat pertukan udara didalam lift dan sistem keselamatan.
Berikut aturan yang menjadi dasar kajian kelaikan.

 Permen No.03/MEN/1999, Tentang syarat-syarat keselamatan lift pengangkut


orang dan barang.
(1)Kapasitas angkut lift harus dicantumkan dan dipasang dalam kereta serta
dinyatakan dalam jumlah orang dan atau jumlah bobot muatan yang diangkut dalam
kilogram (kg).

(2) Kapasitas angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan
kapasitas angkut yang dinyatakan dalam ijin pemakaian lift.

(3) Penetapan jumlah orang yang dapat diangkut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berdasarkan Standar Nasional Indonesia yang berlaku.

 SNI 03 – 2190.2 – 2000, Syarat-syarat umum konstruksi lift pelayanaan (dumb


waiter) yaitu Lift Pelayan (dumbwaiter) ialah lift yang mempunyai kereta atau kotak
kemas dengan luas lantai tidak lebih dari 1 (satu) m2 dan tinggi tidak lebih dari
1,2 (satu koma dua) meter digunakan khusus untuk mengangkut barang termasuk lift yang
atas keputusan Direktur dinyatakan sebagai lift pelayan.
 Permenaker No. 06 Tahun 2017 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator dan
Eskalator. Pada pasal 2 peraturan tersebut menyebutkan.
1. Pengurus dan/atau pengusaha wajib menerapkan syarat K3 Elevator dan Eskalator
2. Syarat K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan dan/atau standar dibidang Elevator dan Eskalator.
3. Standar bidang Elevator dan Eskalator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Standar Nasional Indonesia; dan/atau
b. Standar Internasional.

 Sistem Penghawaan
Sistem penghawaan pada bangunan gedung berfungsi untuk menjaga
kelembaban dan suhu pada suatu ruangan. Kelembaban dan suhu pada ruangan
sudah atur sedimikian rupa sesuai dengan fungsi ruang tersebut. Aturan
mengenai sistem penghawaan sebagai berikut :

a) SNI 6390-2020 Tentang Tata Udara. Standar ini disusun sebagai pedoman bagi
semua pihak yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengelolaan bangunan gedung, khususnya pada sistem tata udara, untuk mencapai
penggunaan energi yang efisien.

b) Permenkes No. 07 Tahun 2019 Tentang Kesehatan Lingkungan Rumah


Sakit.Standar baku mutu, kelembaban dan tekanan udara menurut jens ruang.
Pengkondisian udara pada suatu bangunan memiliki berbagai jenis
refrigerant yang digunakan. Refrigerant tersebut perlu dikaji apakah sedah
memnuhi persyaratan yang berlaku pada saat ini. Berikut macam – macam
sistem pengkonsian udara.
Cara pengukuran suhu dan kelembaban pada bangunan gedung dilakukan
pada dua waktu yaitu siang hari dan malam hari, jika bangunan tersebut
beroprasi 24 jam. Dari hasil pengukuran tersebut dapat diambil kesimpulan
apakah suhu dan kelembaban pada ruang tersebut sudah memenuhi standart atau
belum memenuhi standar SNI 03 – 6572 – 2001 tentang Tata Cara Perancangan
Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara Pada Bangunan Gedung.
Gambar 3. 1 Standar Kenyamanan Penghawaan Ruang

Tabel 3. 6 Tabel Pengukuran Suhu

HASIL TANGGAL
SESUAI /
NO RUANGAN PENGUKUR STANDART PENGAMBILAN KETERANGAN
TIDAK SESUAI
AN (ºC) UJI

1.

2.

3.

Tabel 3. 7 Tabel Pengukuran Kelembaban

HASIL TANGGAL
SESUAI/TIDAK
NO RUANGAN PENGUKURAN STANDART PENGAMBILAN KETERANGAN
SESUAI
(%RH) UJI

1.

2.

3.
 Instalasi Air Bersih, Air Kotor, & Air Bekas
Instalasi air atau plumbing pada bangunan merupakan bagian dari instalasi
plumbing yang terdapat pada bangunan gedung. Kajian pada instalasi plumbing
meliputi jenis pipa yang digunakan, ukuran pipa yang digunakan, dan keandalan
pada sistem tersebut. Beberapa aturan yang menjadi dasar kajian sistem
plumbing pada bangunan gedung. Instalsai plumbing wajib di kaji sesuai
dengan:

a) SNI 8135 – 2015 Sistem Plumbing Pada Bangunan Gedung adalah jaringan
pemipaan meliputi penyediaan air minum, penanganan air limbah, bangunan
penunjang, perpipaan distribusi dan drainase, termasuk semua sambungan.
Alat – alat dan perlengkapan yang terpasang di dalam persil dan bangunan
gedung dan pemanas air dan ventilasi untuk tujuan yang sama. Berikut contoh
yang diatur pada SNI 8135 – 2015 tentang penandaan pipa.
Pada pengecekan visual terhadap instalasi air bersih, kotor, & bekas
biasanya meliputi kebocoran instalasi, pemasangan yang tidak sesuai, pemilihan
bahan material yang tidak sesuai. Jika hal tersebut ditemukan pada bangunan
yang dikaji maka akan dilakukan perbaikan terhadap kerusakan atau temuan
tersebut.

Gambar 3. 29 Meter PDAM

Gambar 3. 30 Gambar Roof Tank dan Instalasi

Selain melakukan pengujian terhadap instalasi plumbing pada bangunan


gedung, pengecekan dokumen terkait air bersih, air kotor, dan air bekas
termasuk dalam kajian tetang kelaikan bangunan gedung. Untuk pemanfaatan air
bersih ynag masih menggunakan sumur dalam perlu dilengkapi dengan surat ijin
pengeboran, & surat ijin pemanfaatan air tanah. Untuk air kotor dan air bekas
dokumen ijin pembuangan air limbah yang dikeluarkan dinas terkait harus
dimiliki oleh pemilik bangunan gedung, dan secara berkala dilakukan pengujian
terhadapat air limbah yang dibuang menuju drainase.

Gambar 3. 31 Ijin Pengeboran Air Tanah


Gambar 3. 32 Izin Pembuangan Air Limbah
Gambar 3. 33 Hasil Pengujian Air Limbah
Gambar 3. 34 Laporan Hasil Pengujian Limbah Cair
D. Tinjauan Bidang Elektrikal
1. Proses PBG di Bidang Elektrikal
 Proses Bangunan Baru

Dok. Manajemen Kontruksi


Dok. Perencanaan Elektrikal Bidang Elektrikal
PBG
Dok. As Built Drawing Dok. Pemanfaatan Bangunan
Elektrikal Gedung

Diagram 3. 7 Proses Bangunan Baru

 Proses Bangunan Eksisting (sudah terbangun)

PENGUMPULAN DATA ARS


Dokumen IMB
Dokumen Perencanaan
Gambar As built
Dok. Pengujian/ test
comisioning
Dok. Sertifikat dari Dinas
Terkait
Dokumen Teknis

OBSERVASI VISUAL
PENGUJIAN
Pengecekan Terhadap Seluruh bangunan
Pengujian beban RST
dengan kesesuaian SNI
Pengujian Infrared Thermografi
Pengecekan semua item ME
Pengujian Lux
Dokumentasi
Pengujian Grounding
Wawancara

OUTPUT
Daftar Simak
Kajian Teknis
Rekomendasi
Diagram 3. 8 Proses PBG Bangunan Eksisting (sudah terbangun)
2. Pemenuhan Standar Evaluasi
 SNI 04-0225-2000/ SNI 04-0225-2011
SNI 04-0225-2000 adalah SNI tentang Persyaratan umum instalasi listrik
(PUIL 2000), kini sudah di perbarui/ di revisi menjadi SNI 04-0225-2011
tentang persyaratan umum instalasi listrik (PUIL 2011) dimana SNI ini
mengatur proteksi bahaya kelistrikan seperti yang tertera pada PP Nomor 16
Tahun 2021, dimana sumber listrik, instalasi listrik, panel listrik dan system
pembumian harus aman dari bahaya tersebut. Berikut contoh gambar pada
peraturan SNI 04-0225-2011

Gambar 3. 35 Standart Proteksi Terhadap Kejut Listrik

 SNI 03-7015-2004
SNI 03-7015-2004 adalah sni yang mengatur tata cara perencanaan dan
pemasangan proteksi petir konvensional maupun Elektrostatic. Peraturan ini
mengatur juga tentang penempatan posisi kepala proteksi petir. Berikut
gambar dibawah ini menunjukan tabel penempatan terminasi udara sesuai
dengan tingkat proteksi.

Gambar 3. 36 Terminiasi udara seusai dengan tingakt proteksi petir

 SNI 04-7018-2004
SNI 04-7018-2004 adalah sni yang mengatur system pasokan daya listrik
berupa Sumber energi (generator), konverter dan perlengkapan komponen
sebagai cadangan listrik lainnya. Berikut gambar di bawah ini sebagai acuan
ketentuan system pasokan daya listrik darurat dan siaga.
Gambar 3. 37 Ketentuan sakelar pemindah sumber energi cadangan

 SNI 03-6197-2020
SNI 03-6197-2020 adalah sni untuk mengacu standar terkait tata cara
perencanaan cahaya buatan dan standart penerangan LUX. Berikut gambar di
bawah menunjukan standart LUX.
Gambar 3.12 Standart LUX Bangunan Gedung

 Permen PU No.26/PRT/M/2008
Permen PU No.26/PRT/M/2008 ini adalah persyaratan teknis system proteksi
kebakaran pada bangunan Gedung dan lingkungan. Di dalamnya terdapat
beberapa persyaratan ketentutan pemasangan deteksi kebakaran. Berikut
gambar contoh ketentuan Permen PU No.26/PRT/M/2008.
Gambar 3. 38 Ketentuan Alarm Asap

 NFPA 72/1993, atau edisi terakhir


NFPA 72/1993 adalah standar penentu jarak pemasangan fire alarm yang
terdapat pada bangunan Gedung.

Gambar 3. 39 Standart Penentu Jarak Pemasangan Fire Alarm


 SNI 03-3985-2000
SNI 03-3985-2000 ini adalah SNI yang mengatur jarak antar detector/ system
fire alarm, berikut table jarak fire alarm.

Gambar 3. 40 tabel standar detector

Anda mungkin juga menyukai