Anda di halaman 1dari 9

ASIDOSIS TUBULAR RENAL DISTAL

Asidosis tubular renal (ATR) merupakan suatu tubulopati ginjal, dimana terdapat
ketidakmampuan ginjal untuk menjaga perbedaan pH normal antara darah dan lumen tubulus
ginjal. Pada kondisi ini terjadi gangguan pengasaman urin disebabkan gangguan ekskresi ion
hidrogen, gangguan reabsorbsi bikarbonat, atau keduanya sehingga mengakibatkan asidosis
metabolik. ATR ditandai dengan adanya asidosis metabolik dengan senjang anion plasma
normal, hiperkloremik dan laju filtrasi glomerulus normal. Asidosis tubular renal terbagi menjadi
3 tipe utama, yaitu ATR tipe 1 (ATR distal/ATRd), tipe 2 (ATR proximal/ATRp), dan tipe 4 (ATR
hiperkalemia/ATRh) seperti terlihat pada Tabel 1.

Gambaran klinis pada ATR dapat mencakup kelainan pertumbuhan tulang, kelemahan atau
kelumpuhan otot, deposit kalsium di ginjal, anoreksia, muntah, konstipasi, diare, dehidrasi, dan
poliuria. ATRd dapat disebabkan kelainan primer idiopatik atau sekunder sebagai bagian dari
penyakit lain misalnya penyakit sistemik herediter, autoimun, nefrokalsinosis, atau akibat
paparan dengan obat tertentu seperti amfoterisin B.

Dasar kelainan ATRd ialah gangguan sekresi ion H+ pada tubulus distal. Pembentukan NH4+
terjadi di tubulus proksimal dari hasil metabolisme asam amino glutamin yaitu NH3 + glukosa +
CO2+ HCO3-. NH3 yang terbentuk akan berikatan dengan ion H + membentuk NH4+ yang
selanjutnya bergabung dengan Cl- menjadi NH4Cl dan kemudian diekskresi bersama urin,
sedangkan HCO3- yang baru dibentuk masuk sirkulasi sistemik melalui vena renalis. NH4+ yang
tidak keluar bersama urin akan masuk ke hepar melalui sirkulasi sistemik dan dimetabolisme
menjadi urea menggunakan sejumlah ion HC03

Asidosis metabolik pada ATRd disebabkan gangguan sekresi ion H + dan gangguan produksi
HCO3- karena produksi NH4+ berkurang. Hiperkloremia terjadi karena gangguan ekskresi ion Cl -
dalam bentuk NH4Cl. Pada ATRd terjadi gangguan pengasaman urin distal sehingga penderita
tidak mampu menurunkan pH urin < 6,0 selama beban asam dan < 5,5 selama asidosis sistemik
berat. Reabsorbsi HCO3- umumnya normal tapi karena pH urin tinggi, maka HCO3 - lolos dari
reabsorpsi proksimal. Pembuangan Na+ di urin bersama dengan HCO3- menyebabkan
hipokalemia.

Gejala klinik ATRd umumnya tidak spesifik. Gejala klinis umumnya muncul berkaitan dengan
kondisi asidosis metabolik, hiperkloremia, hipokalemia. Hipokalemia pada ATRd biasanya lebih
ringan pada ATRp karena pembuangan HCO3- dan Na+ pada ATRd lebih sedikit dari pada ATRp.

Gejala umumnya yang terjadi berupa muntah, dehidrasi, konstipasi, poliuria, retardasi
pertumbuhan. Gejala lain yang berkaitan dengan hipokalemia seperti kelemahan otot atau
parese cukup sering ditemukan. Nefrokalsinosis dapat merupakan komplikasi bila terlambat
diobati dan potensial menyebabkan gagal ginjal kronik. Saat ini kondisi nefrokalsinosis jarang
ditemukan karena diagnosis dini dan pengobatan adekuat. Rikets dan osteomalasia juga jarang
ditemukan kecuali bila tidak diobati. Kehilangan K+ bersama urin menyebabkan hipokalemia
ringan sampai berat dengan kelumpuhan berkala bahkan dapat terjadi kegawatan akut
denganGejala umumnya yang terjadi berupa muntah, dehidrasi, konstipasi, poliuria, retardasi
pertumbuhan. Gejala lain yang berkaitan dengan hipokalemia seperti kelemahan otot atau
parese cukup sering ditemukan. Nefrokalsinosis dapat merupakan komplikasi bila terlambat
diobati dan potensial menyebabkan gagal ginjal kronik. Saat ini kondisi nefrokalsinosis jarang
ditemukan karena diagnosis dini dan pengobatan adekuat. Rikets dan osteomalasia juga jarang
ditemukan kecuali bila tidak diobati. Kehilangan K+ bersama urin menyebabkan hipokalemia
ringan sampai berat dengan kelumpuhan berkala bahkan dapat terjadi kegawatan akut.

Clinical approach to renal tubular acidosis in adult


Patients
Asidifikasi urin normal melibatkan reabsorpsi bikarbonat di tubulus proksimal dan ekskresi
hydrogen ion di tubulus distal. Penurunan salah satu dari fungsi ini akan menyebabkan
Asidosis tubulus ginjal/ renal tubular acidosis (RTA). Semua bentuk RTA ditandai oleh anion
gap normal (hiperkloremik) asidosis metabolik.

Langkah pertama dalam menilai pasien dengan suspek RTA adalah dengan menghitung serum
anion gap dengan rumus :

Na+ + {Cl- - HCO3-}

Ketika didapatkan asidosis metabolik dengan anion gap normal, anion gap urin dapat dihitung
untuk memperkirakan secara tidak langsung kadar NH4+ urin dengan rumus sebagai berikut :

{Urine Na+ + Urine K+ } – Urine Cl-

Kadar klorida urin yang tinggi menyebabkan gap negatif yang biasanya disertai dengan
peningkatan jumlah NH4+ seperti yang terjadi pada pembuangan bikarbonat di
gastrointestinal dan tubulus proksimal ginjal. Anion gap urin positif menunjukkan
kemungkinan diagnosa RTA distal yang ditandai dengan penurunan jumlah NH4 + dan klorida
dalam urin.

Kehilangan bikarbonat melalui saluran cerna (akibat diare, adanya fistula) harus disingkirkan
dengan anamnesis riwayat perjalanan penyakit secara rinci dan pemeriksaan fisik.

Meskipun Nilai pH urin terlihat bervariasi diantara ketiga jenis RTA, hanya pasien dengan
complete RTA distal tipe I yang memiliki pH urin > 5,3 bahkan selama periode asidosis
metabolik berat.

Normalnya, 80–85% dari bikarbonat yang difiltrasi akan direabsorbsi di tubulus proksimal
dengan bantuan enzim karbonat anhidrase. Epitel sel tubulus proksimal mensintesis H2CO3
melalui karbonat anhidrase. H2CO3 kemudian akan terionisasi menjadi H + dan HCO3-. Proses
pertukaran molekul Na+ - H+ membentuk H2CO3 dalam lumen dan NaHCO3 di dalam sel, yang
kemudian diserap ke dalam darah vena peritubulus. Efek yang akan dihasilkan adalah
reabsorpsi satu molekul HCO3 - dan satu molekul Na+ dari lumen tubulus ke dalam aliran darah
untuk setiap molekul H + yang disekresikan. Sekitar 10% dari bikarbonat yang difiltrasi akan
direabsorpsi di ansa Henle dan sisanya sekitar 5-10% direabsorbsi di tubulus kolektivus. Itu
proses reabsorpsi bikarbonat di bagian distal tubulus melibatkan pertukaran HCO3Cl -.

Tubulus distal mensekresikan asam dalam bentuk ion H+ yang dihasilkan di dalam sel dari
disosiasi ion H2O (H2O = H + dan OH-). Ion OH- akan bergabung dengan CO2 membentuk HCO3 -
oleh enzim karbonat anhidrase intraseluler. Jadi, sekresi setiap ion H + ke dalam lumen
dikaitkan dengan pembentukan satu ion HCO3 - baru dalam sel tubulus yang akan
dikembalikan ke plasma.

PH yang rendah di tubulus kolektivus disebabkan oleh sekresi aktif H+ dan konsentrasi
bikarbonat yang rendah sehingga meningkatkan transfer amonia dari meduler interstitium ke
dalam cairan luminal. Amonia akan berikatan dengan ion H+ dalam luminal di saluran menjadi
NH4+ di lumen tubulus dan dibuang Bersama dengan urin. Untuk setiap molekul NH4 + yang
diekskresikan, satu molekul HCO3 + akan dikembalikan ke sirkulasi sistemik dari tubulus
proksimal. Dalam keadaan tidak adanya pH asam di tubulus kolektivus, maka amonia dalam
interstitium meduler akan dikembalikan ke liver oleh sirkulasi sistemik di mana ia akan diubah
menjadi urea.

Proximal renal tubular acidosis (type II RTA)

Tipe II RTA terjadi dalam dua fase :

Periode transien pembuangan HCO3+


Ketika kapasitas reabsorpsi tubulus proksimal ginjal terganggu, maka akan lebih sedikit
HCO3+ yang akan kembali di reabsorpsi pada segmen ini. Peningkatan HCO3 pada tubulus
distal ginjal akibat gangguan reabsorpsi bikarbonat akan menyebabkan bikarbonaturia.
Periode pembuasangan bikarbonat ini akan menghasilkan kontraksi volume ECF dan
hiperaldosteronisme sekunder sehingga dapat menyebabkan hipokalemia. Reabsorpsi
klorida meningkat secara sekunder akibat kontraksi volume ekstraseluler. Tubulus
kolektivus akan menurunkan ekskresi asam sehingga menyebabkan asidosis metabolik
hiperkloremik sebagai hasil akhir. Selama periode ini, Fe HCO3 tinggi dengan pH urin
yang basa (>6) dan anion gap urin menjadi negatif.

Pengeluaran bikarbonat urin berlanjut sampai level plasma HCO3 mencapai level yang
rendah (12–18 meq/l), sebagian besar bikarbonat akan diserap kembali sebagai hasil dari
peningkatan
reabsorpsi tubulus distal, menghasilkan pH urin yang rendah (< 5,3).

RTA proksimal (tipe II) pada anak-anak disebabkan oleh defek genetik pada
transmembrane transporter yang bertanggung jawab dalam proses asidifikasi tubulus
proksimal. RTA tipe II juga sering dikaitkan dengan cystinosis dan penggunaan obat
kemoterapi golongan Ifosfamid yang digunakan dalam pengobatan tumor atau keganasan.
Dua penyebab paling sering dari RTA tipe II pada orang dewasa adalah multiple myeloma
dan penggunaan inhibitor karbonat anhidrase.
Gangguan reabsorpsi bikarbonat pada tubulus proksimal muncul bersamaan dengan
gangguan zat yang direabsorbsi oleh tubulus proksimal (fosfat, glukosa, asam amino,
kalsium, sitrat dan asam urat sering menyertai pembuangan bikarbonat). Hal ini
dimanifestasikan sebagai sindrom Fanconi dan sebagian besar kasus RTA tipe II
disebabkan oleh kelainan ini.

Diagnosis and treatment of proximal


(type II) RTA

Diagnosis RTA tipe II dapat dicurigai pada setiap pasien dengan asidosis
metabolik dengan anion gap normal, meskipun dengan nilai pH urin di bawah
5,3 dan anion gap urin negatif ataupun positif.
Ketika pasien dalam kondisi Steady state diobati dengan terapi alkali (natrium
bikarbonat IV 0,5-1,0 meq/kg/jam), plasma HCO3 akan meningkat di atas
ambang batas dan bikarbonaturia menghasilkan pH urin > 7,5 dan FeHCO3 >
15-20%.

Mengkoreksi HCO3- mendekati nilai normal (22– 24 mEq⁄ l) direkomendasikan


pada anak-anak untuk mempertahankan tumbuh kembang normal, tetapi tidak
dianjurkan pada orang dewasa. Pasien dengan RTA proksimal (tipe II)
cenderung menjadi hipokalemia apabila terapi alkali dimulai.
Ketika dosis besar alkali tidak efektif atau tidak dapat ditoleransi dengan baik,
penambahan obat diuretik distal dapat meningkatkan reabsorpsi natrium di
tubulus proksimal. Amiloride lebih disukai daripada tiazid karena efek hemat
kalium.

Classic distal renal tubule acidosis


(type I RTA)

Renal tubular asidosis tipe I dengan anemia hemolitik


stomatositosis

Renal tubular asidosis adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan gangguan reabsorpsi
bikarbonat (HCO3-) di tubulus proksimal atau gangguan pengasaman urine (sekresi ion H +) di
tubulus distal dan ditandai oleh asidosis metabolik hiperkloremik, anion gap plasma yang
normal dan fungsi glomerulus normal.

Renal tubular asidosis baru dikenal sebagai kelainan tubulus ginjal berupa gangguan
reabsorpsi HCO3- atau gangguan sekresi ion H+ oleh Albright pada tahun 1946. Gejala klinik
renal tubular asidosis umumnya non-spesifik sehingga sering lolos dari diagnosis dan
terlambat atau tidak mendapat pengobatan.

Renal tubular asidosis dapat digolongkan atas empat pembagian yaitu renal tubular asidosis
tipe I atau dikenal tipe distal akibat kegagalan pengasaman urine pada tubulus distal, renal
tubular asidosis tipe II atau tipe proksimal akibat kegagalan rearbsorpsi HCO3- pada tubulus
proksimal, renal tubular asidosi tipe III atau tipe campuran tipe I-II serta renal tubular asidosis
tipe IV yang disebabkan defisiensi aldosteron atau resistensi tubulus distal terhadap
aldosteron (pseudo-aldosteronisme).

Renal tubular asidosis tipe I memiliki dua penyebab, yakni: primer dan sekunder. Penyebab
primer adalah mutasi pada anion exchanger AE1 yang di-encode oleh SLC4A1 (ditemukan pada
permukaan basolateral α-intercalated cell), mutasi pada a4 atau B1 subunit dari v H+ATPase
(ditemukan pada permukaan apical α-intercalated cell).3 Penyebab sekunder adalah penyakit
autoimun (Sindrom Sjogren, lupus, hipergammaglobulinemia, sirosis biliar primer, penyakit
tiroid autoimun), toksin (ifosfamid, lithium karbonat, toluene, amphotericin B), nefrokalsinosis,
sickle cell disease, transplantasi ginjal (kemungkinan efek toksik dari calcineurin inhibitor),
obstruksi kronik saluran kemih, sirosis hepatis.

Prevalensi renal tubular asidosis secara epidemiologi pada populasi umum belum diketahui
secara pasti. Beberapa penelitian terkait yang ada hanya pada kelompok tertentu. Penelitian di
Thailand memperkirakan prevalensi renal tubular asidosis tipe I ini adalah sekitar 2,8% dari
kejadian renal tubular asidosis itu sendiri.

Renal tubular acidosis is highly prevalent in critically ill patients


Ketidakseimbangan status asam basa, terutama asidosis metabolik adalah masalah umum
yang terjadi pada pasien sakit kritis di ICU. Asidosis metabolik dengan serum anion gap /SAG
normal (hiperkloremik asidosis) ditandai dengan penggantian bikarbonat dengan klorida yang
disebabkan oleh pembuangan bikarbonat baik ekstrarenal dan intrarenal ataupun akibat
disfungsi sekresi H+ oleh ginjal. Asidosis hiperkloremik biasanya terlihat akibat pembuangan
bikarbonat karena diare, fistula usus atau pankreas, dan renal tubular asidosis (RTA).
Prevalensi RTA dan perubahan metabolisme yang mendasarinya telah dipelajari pada pasien
paska transplantasi ginjal dan pada pasien osteoporosis. Namun, penelitian pada pasien sakit
kritis masih jarang.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Richard et all. pada pasien sakit kritis yang dirawat di
ruang intensif, mayoritas (23 dari 31) pasien dengan RTA menunjukkan RTA tipe II, sedangkan
8 dari 31 pasien menunjukkan karakteristik RTA tipe I. Tidak ada perbedaan statistik antara
pasien dengan dan tanpa RTA dalam kategori usia, jenis kelamin, BMI, tingkat keparahan
penyakit, lama perawatan di ICU atau rawat inap di rumah sakit.

Fisiologi pengaturan asam basa oleh ginjal


Keseluruhan mekanisme ekskresi urin asam atau basa oleh ginjal adalah sebagai
sebagai berikut: Sejumlah besar ion bikarbonat disaring secara terus menerus ke
dalam tubulus, dan bila ion bikarbonat diekskresikan ke dalam urin, keadaan ini
menghilangkan basa dari darah. Sebaliknya, sejumlah besar ion hidrogen juga
disekresikan ke dalam lumen tubulus oleh sel-sel epitel tubulus, jadi menghilangkan
asam dari darah. Bila lebih banyak ion hidrogen yang disekresikan daripada ion
bikarbonat yang disaring, akan terdapat kehilangan asam dari cairan ekstraseluler.
Sebaliknya, bila lebih banyak bikarbonat yang disaring daripada hidrogen yang
diekskresikan, akan terdapat kehilangan basa.
Pengaturan keseimbangan konsentrasi ion hidrogen ini dilakukan ginjal melalui tiga
mekanisme dasar, yaitu :
1. Sekresi ion hidrogen di tubulus ginjal

Sekresi ion hidrogen berlangsung di sel-sel epitel tubulus proksimal, segmen tebal
asenden ansa henle, dan tubulus distal ke dalam cairan tubulus. 2
Proses sekresi
dimulai ketika CO2 berdifusi ke dalam sel tubulus atau dibentuk melalui metabolisme
sel di dalam epitel tubulus. CO2 akan berikatan dengan H2O membentuk H2CO3
melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim karbonik anhidrase. H 2CO3 segera
berdisosiasi membentuk H+ dan ion bikarbonat (HCO3-). HCO3- mengikuti gradien
konsentrasi melalui membran basolateral akan pergi ke cairan intertisial ginjal dan ke
aliran darah kapiler peritubular. Bersama dengan itu H + akan disekresikan ke lumen
tubular, tergantung daerah lumen, proses ini berlangsung melalui transport aktif
primer pompa H-ATPase, transport aktif primer pompa H, K-ATPase, di tubulus
distal dan kolligens, serta transport-imbangan Na/H di tubulus proksimal. 2.3,4,6.
Sekresi ion hidrogen melalui transport-imbangan Na/H terjadi ketika natrium
bergerak dari lumen tubulus ke bagian dalam sel, natrium mula-mula bergabung
dengan protein pembawa di batas luminal membran sel; pada waktu yang
bersamaan , ion hidrogen di bagian dalam sel bergabung dengan protein pembawa.
Natrium bergerak ke dalam sel melalui gradien konsentrasi yang telah dicapai oleh
pompa natrium kalium ATP-ase di membran basolateral kemudian menyediakan
energi untuk menggerakkan ion hidrogen dalam arah yang berlawanan dari dalam sel
ke lumen tubulus.Jadi untuk setiap ion hidrogen yang disekresikan ke dalam lumen
tubulus, satu ion bikarbonat masuk ke dalam darah.

2. Reabsorpsi ion bikarbonat yang terfiltrasi


Ion bikarbonat yang disaring akan direabsorbsi oleh ginjal untuk mencegah
kehilangan kehilangan bikarbonat dalam urin.Sekitar 80-90 persen reabsorbsi
bikarbonat (dan sekresi ion hidrogen) berlangsung di dalam tubulus proksimal
sehingga hanya sejumlah kecil ion bikarbonat yang mengalir ke dalam tubulus distal
dan duktus kolligens. Ion-ion bikarbonat tidak mudah menembus membran luminal
sel-sel tubulus ginjal, oleh karena itu, ion-ion bikarbonat yang disaring oleh
glomerulus tidak dapat diabsorbsi secara langsung.2
Ion bikarbonat yang disaring pada glomerulus akan bereaksi dengan ion hidrogen
yang disekresikan oleh oleh sel-sel tubulus membentuk H2CO3 oleh kerja enzim
karbonik anhidrase, yang kemudian berdisosiasi menjadi CO2 dan H2O. CO2 dapat
bergerak dengan mudah memlewati membran tubulus, oleh karena itu CO2 segera
berdifusi masuk ke dalam sel tubulus , tempat CO2 bergabung kembali dengan H2O ,
di bawah pengaruh enzim karbonik anhidrase, untuk menghasilkan molekul H 2CO3
yang baru. H2CO3 ini kemudian berdisosiasi membentuk ion bikarbonat dan ion
hidrogen, ion bikarbonat kemudian berdifusi melalui membran basolateral ke dalam
cairan interstisial dan dibawa naik ke darah kapiler peritubular.2,3,4
Efek bersih dari reaksi ini adalah reabsorbsi ion bikarbonat dari tubulus, walaupun
ion-ion bikarbonat yang sebenarnya memasuki cairan ekstraseluler tidak sama
dengan yang disaring ke dalam tubulus.2

3. Produksi ion bikarbinat baru


Bila ion-ion hidrogen disekresikan ke dalam kelebihan bikarbonat yang difiltrasi ke
dalam cairan tubulus, hanya sebagian kecil dari kelebihan ion hidrogen ini yang dapat
diekskresikan dalam bentuk ion hidrogen dalam urin. Alasan untuk ini adalah bahwa
pH minimal urin adalah sekitar 4,5. Bila terdapat kelebihan ion hidrogen dalam urin,
ion hidrogen akan bergabung dengan penyangga selain bikarbonat dan ini akan
menghasilkan pembentukan ion bikarbonat baru yang dapat masuk ke dalam darah,
dengan demikian membantu mengganti ion bikarbonat yang hilang dari cairan
ekstraseluler pada keadaan asidosis. Penyangga paling penting untuk mekanisme ini
adalah penyangga phospat dan amonia.

Hyperchloremic acidosis is frequent in critically ill patients. Renal tubular acidosis


(RTA) occurs when the kidneys are unable to maintain normal acid-base homeostasis
because of tubular defects in acid excretion or bicarbonate ion reabsorption. Accurate
diagnosis of RTA plays an important role in optimal patient management. The
diagnosis of distal versus proximal RTA involves assessment of urinary acid and
bicarbonate secretion.

Treatment options include alkali therapy in patients with distal or proximal RTA and
lowering of serum potassium concentrations through dietary modification.

Asidosis hiperkloremik sering terjadi pada pasien sakit kritis. Renal tubular acidosis
(RTA) terjadi ketika ginjal tidak mampu mempertahankan homeostasis asam-basa
normal karena gangguan tubulus ginjal dalam ekskresi asam atau reabsorpsi ion
bikarbonat. Diagnosis yang akurat dari RTA memainkan peranan penting dalam
manajemen pasien yang optimal. Diagnosis distal versus proksimal RTA melibatkan
penilaian keasaman urin dan sekresi ion bikarbonat.
Kami melaporkan pasien seorang laki-laki usia 53 tahun dengan diagnosa post
amputasi below knee dextra ec ALI Rutherford III, Syok sepsis, dan Suspek renal tubular
asidosis hiperkloremik (RTA) tipe II. Pasien dilakukan perawatan di ruang Intensive care unit
(ICU).
Pasien dilakukan tatalaksana renal tubular asidosis tipe II dengan pemberian terapi
alkali yakni natrium bikarbonat intravena dengan dosis 0,5-1,0 meq/kg/jam. Pasien
mengalami perbaikan klinis dengan peningkatan pH dan HCO3 plasma.

We report a male patient 53 year old with diagnosis post amputation of below knee dextra ec
ALI Rutherford III, septic shock, and suspected hyperchloremic renal tubular acidosis (RTA)
type II. The patient was treated in the Intensive Care Unit (ICU).
The patient was treated as type II renal tubular acidosis with alkaline therapy sodium
bicarbonate at a dose of 0.5-1.0 meq/kg/hour intravenous. The patient experienced clinical
improvement with an increase in plasma pH and HCO3.

Anda mungkin juga menyukai