Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

BIMBINGAN DAN KONSELING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

“MASALAH PRIBADI DAN SOSIAL YANG DIHADAPI ANAK


BERKEBUTUHAN KHUSUS”

Dosen Pengampu:

Dr. Sulistiyana, M.Pd

Muhammad Arsyad, M. Psi., Psikolog

Disusun oleh kelompok 1:

Amalia Oktavia 2010123220021

Clarissa Rahel 2010123220009

Nur Ayu Amelia 2010123220045

Purnanda Azzahra 2010123320013

Rizki Dina Khalisha 2010123220029

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus yang berjudul "Masalah
Pribadi dan Sosial yang Dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus" ini tepat pada
waktunya.

Dengan adanya penyusunan makalah ini, diharapkan para pembaca dan


penulis dapat memahami, menguasai serta memberikan ilmu yang telah
disampaikan pada makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
dosen pengampu mata kuliah bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus
yang telah membimbing kami sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.

Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-


dalamnya kepada Ibu Dr. Sulistiyana, S.Pd., M.Pd dan Muhammad Arsyad, M.
Psi., Psikolog yang telah membantu kami baik moril maupun materil serta rekan-
rekan yang telah mendukung kami dalam membuat makalah ini.

Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah yang kami buat masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun kami
harapkan agar penulis menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Banjarmasin, 25 Februari 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Permasalahan................................................................................................1
C. Metode Penulisan..........................................................................................2
D. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
E. Manfaat Penulisan.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Pengertian Masalah Pribadi dan Sosial.........................................................3
B. Masalah Pribadi yang Dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus......................4
C. Masalah Sosial yang Dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus........................9
D. Cara Mengatasi Masalah Pribadi Anak Berkebutuhan Khusus..................10
E. Cara Mengatasi Masalah Sosial Anak Berkebutuhan Khusus....................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................22
A. Kesimpulan.................................................................................................22
B. Saran............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23
LAMPIRAN...........................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di masa sekarang ini banyak sekali orang yang mengalami
masalah baik yang datang dari lingkungan masyarakat maupun psikologis
individu itu sendiri. Masalah-masalah yang dihadapi terkadang tidak dapat
diatasi oleh orang itu sendiri dan memerlukan bimbingan dari orang lain.
Tidak setiap individu mengalami perkembangan yang normal.
Banyak diantara mereka yang dalam perkembangannya mengalami
hambatan, gangguan, keterlambatan, atau memiliki faktor-faktor resiko
sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan
atau intervensi khusus. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai
anak berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak-anak yang tumbuh
dan berkembang dengan berbagai macam perbedaan dengan anak-anak
pada umumnya. Istilah anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak
mengacu pada sebutan untuk anak-anak penyandang cacat, tetapi lebih
mengacu kepada layanan khusus yang dibutuhkan anak-anak dengan
kebutuhan khusus.
Dalam membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi tentu memerlukan adanya
layanan bimbingan konseling di sekolah luar biasa. Dimana bimbingan
adalah suatu proses membantu individu memahami diri sendiri dan dunia
yang ada disekitarnya sedangkan konseling adalah sarana yang digunakan
untuk membantu mereka menyelesaikan atau mengatasi masalah yang
dihadapi.

B. Permasalahan
1. Apa yang dimaksud dengan masalah pribadi dan sosial?
2. Apa masalah pribadi yang dihadapi anak berkebutuhan khusus?

1
3. Apa masalah sosial yang dihadapi anak berkebutuhan khusus?
4. Bagaimana cara mengatasi masalah pribadi pada anak berkebutuhan
khusus?
5. Bagaimana cara mengatasi masalah sosial pada anak berkebutuhan
khusus?

C. Metode Penulisan
Jenis metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah
ini adalah studi literatur review dengan mencari dan menggali data dari
literatur yang terkait dengan apa yang ada pada rumusan masalah. Studi
literatur bisa didapat dari berbagai sumber baik itu jurnal, buku,
dokumentasi, internet dan pustaka.

D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan masalah pribadi dan
sosial.
2. Untuk mengetahui masalah pribadi yang dihadapi anak berkebutuhan
khusus.
3. Untuk mengetahui masalah sosial yang dihadapi anak berkebutuhan
khusus.
4. Untuk mengetahui cara mengatasi masalah pribadi pada anak
berkebutuhan khusus.
5. Untuk mengetahui cara mengatasi masalah sosial pada anak
berkebutuhan khusus.

E. Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan makalah diatas maka manfaat dari
penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat memahami dan
mempelajari tentang arti masalah pribadi dan sosial, masalah pribadi dan
social yang dihadapi anak berkebutuhan khusus serta cara mengatasinya
yang dapat menambah wawasan bagi para pembaca.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Masalah Pribadi dan Sosial


1. Masalah pribadi
Masalah pribadi adalah masalah-masalah yang dialami dan dihadapi
oleh manusia sebagai individu (pribadi).dan individu yang mengalami
masalah tersebut tidak ingin masalahnya diketahui oleh orang banyak
dan berusaha untuk menutupinya karena ia akan merasa malu jika
masalahnya diketahui oleh orang lain.
2. Masalah sosial
Terdapat beberapa definisi dari masalah sosial menurut para ahli,
yaitu:
1) Masalah atau problema adalah perbedaan antara das sollen (yang
seharusnya, yang diinginkan, yang dicita-citakan, yang
diharapkan) dengan das sein (yang nyata, yang terjadi). Dengan
kata lain masalah adalah perbedaan antara yang ideal dan real,
misalnya kita mencita-citakan masyarakat yang sejahtera, ternyata
yang terjadi banyak masyarakat yang masih miskin.
2) Menurut Horton dan Leslie dalam Suharto (2000), masalah sosial
adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang yang tidak
menyenangkan serta menuntut pemecahan aksi sosial secara
kolektif.
3) Parillo yang di kutip Soetomo dalam Pengorganisasisan dan
Pengembangan Masyarakat: empat komponen dalam memahami
pengertian masalah sosial, yaitu:
a. Masalah itu bertahan untuk suatu periode tertentu.
b. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau
mental, baik pada individu maupun masyarakat.
c. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar
sosial dari satu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.

3
d. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.
Masalah sosial merupakan persoalan yang timbul secara langsung atau
bersumber langsung dari suatu kondisi maupun proses sosial antara
lain:
1. Masalah sosial pertama (Primary Sosial Problem) adalah kondisi
yang berpengaruh terhadap konsekuensi yang beragam dan
bermacam-macam bagi masyarakat.
2. Masalah sosial kedua (Secondary Sosial Problem) adalah kondisi
yang merugikan diakibatkan secara umum dari masalah sosial yang
lebih berpengaruh dan pada gilirannya mengakibatkan masalah
sosial tambahan.
3. Masalah sosial ketiga (Tertiary Sosial Problem) adalah kondisi
yang merugikan langsung maupun tidak langsung mengakibatkan
masalah yang lebih dominan.

B. Masalah Pribadi yang Dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus


a. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku:
1. Tunalaras, yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian
diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.
2. Anak dengan gangguan komunikasi bisa disebut tunawicara, yaitu
anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau
kelancaran bicara,yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk
bahasa,isi bahasa,atau fungsi bahasa.
3. Hiperaktif, secara psikologis hiperaktif adalah gangguan tingkah laku
yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala
utama tidak mampu mengendalikan gerakan dan memusatkan
perhatian.

b. Anak dengan Gangguan Intelektual:

4
1. Tunagrahita, yaitu anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-
rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
komunikasi maupun sosial.
2. Anak Lamban belajar (slow learner), yaitu anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita
(biasanya memiliki IQ sekitar 70-90).
3. Anak berkesulitan belajar khusus, yaitu anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus, terutama
dalam hal kemampuan membaca,menulis dan berhitung atau
matematika.
4. Anak berbakat, adalah anak yang memiliki bakat atau kemampuan dan
kecerdasan luar biasa yaitu anak yang memiliki potensi kecerdasan
(intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task
commitment) diatas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga
untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
5. Autisme, yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh
adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan
gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
6. Indigo adalah manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan khusus
yang tidak dimiliki manusia pada umumnya.

c. Permasalahan yang Dihadapi Anak Berbakat


Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CIBI) yang lebih
dikenal dengan anak keberbakatan saja, termasuk ke dalam Anak
Berkebutuhan Khusus, karena dengan kemampuan intelektual dan non
intelektualnya yang tinggi justru akan membuat anak mengalami kesulitan
dalam berinteraksi sosial atau tidak mampu bersosialisasi dengan baik,
sehingga anak akan merasa dirinya berbeda/aneh atau lingkungan yang
melabelkan aneh karena memiliki kebiasaan-kebiasaan yang tidak lazim.

5
Secara umum, permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak berbakat di
antaranya, yaitu:
1. Labeling Memberikan label pada anak berbakat bahwa ‘ia berbakat’
dapat menimbulkan harapan terhadap kemampuan anak tersebut dan
dapat mengakibatkan beban mental jika anak tersebut tidak dapat
memenuhi apa yang diharapkan oleh si pemberi label.
2. Memberi Nilai (Grading) dalam Bentuk Angka Pemberian angka bagi
anak berbakat dapat menimbulkan permasalahan jika angka yang
dimilikinya tidak menggambarkan kemampuannya. Angka seringkali
tidak cermat, artinya sering kurang mencerminkan kemampuan yang
sebenarnya. Terutama bagi anak berbakat, penilaian dalam bentuk
angka turut berbicara, karena mereka sangat sensitif, angka ini
menjadi kepedulian yang besar yang terkadang juga terlalu berlebihan.
Disarankan agar pemberian angka harus dilakukan secara hati-hati dan
lebih mengacu kepada penilaian berdasarkan kriteria. Mengatasi
penilaian yang kurang cermat bagi anak berbakat dapat dilakukan
dengan self-diagnose. Pemeriksaan kembali pekerjaan dapat
menjadikan siswa menyadari apa kesalahannya dan mengapa
kesalahan-kesalahan tersebut dibuatnya.
3. Underachievement Underachievement pada anak berbakat adalah
kinerja anak yang secara signifikan berada di bawah potensinya
(Kitano and Kirty, 1996). Anak tidak menunjukkan perilaku sesuai
tingkat intelektualnya dikarenakan kurangnya stimulus dan
kepercayaan dari lingkungan, misalnya anak berbakat yang seperti
tidak mampu menuntaskan soal-soal ujian karena merasa jenuh oleh
situasi monoton ketika pembelajaran. Hal ini dapat terjadi karena anak
berbakat mengalami berbagai tekanan baik dari rumah, sekolah
maupun teman sebayanya.
4. Konsep diri Konsep diri terbentuk bukan hanya dari cara orang lain
memandang tentang dirinya, tetapi juga ketika dirinya menghayati
pengalaman tersebut. Anak-anak yang berbakat memiliki sikap yang

6
sangat ambivalent terhadap keberbakatannya, dan cenderung
mempersepsikan dirinya secara positif, namun mengganggap bahwa
lingkungannya yaitu teman sebaya dan gurunya memiliki pandangan
negatif terhadap dirinya (Dinie Ratri Desiningrum, 2016).

d. Problem Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu


1. Kurang percaya diri Percaya diri pada siswa tunarungu sekilas terlihat
baik, namun pada kenyataannya mereka sering mengalaminya jika
bertemu dengan orang yang belum mereka kenal sebelumnya. Kurang
percaya diri pada siswa hanya dialami oleh anak tunarungu yang
belum mendapatkan bimbingan dalam artian tidak aktif di sekolah
(jarang masuk sekolah). Sedangkan untuk anak yang sudah mendapat
bimbingan intensif dan aktif dalam kegiatan sekolah mampu
mengatasinya dengan baik.
2. Kurang mandiri Pengertian mandiri adalah hal atau keadaan dapat
berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.Sedangkan maksud
dari kurang mandiri yaitu keter-gantungan siswa pada orang lain.
Ketika berada di sekolah siswa dibiasakan untuk menyesuaikan
keadaan agar bisa mandiri dengan guru pendamping yang berbeda.
Namun kenyataanya masih ada siswa bergantung pada guru yang
sama.
3. Cenderung kaku Sikap cenderung kaku yang penulis maksud adalah
sikap datar tanpa ekspresi yang ditunjukkan siswa ketika
mengekspresikan sesuatu yang telah selesai dilakukan. Ketika
kegiatan keterampilan selesai, guru pembimbing bertanya kepada
siswa “bagaimana latihan hari ini, senang atau tidak nak?” kemudian
anak menjawab “senang”. Siswa sudah dapat merespon apa yang
dikatakan pembimbing dengan baik namun tidak terlihat ekspresi
wajah serta gerakan tubuh seperti orang yang sedang dalam keadaan
gembira atau senang pada umumnya. Mereka cukup mengekspresikan
perasaan yang dialami dengan kata-kata saja.

7
4. Egosentris Menurut pengertian, orang egois cenderung
memperhatikan dirinya sendiri. Mereka hanya peduli dan memusatkan
perhatian pada penampilan, kesenangan dan keinginan dirinya lebih
dari minatnya terhadap masyarakat. Perspektif mereka berpusat pada
kepedulian akan kebutuhan dirinya sendiri. Sifat egosentris pada siswa
tunarungu lebih cenderung pada tindakan yang dapat membuat dirinya
senang tanpa memperdulikan orang lain disekitarnya.

e. Faktor Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu


1. Kondisi fisik Masyarakat sering menilai seseorang dari kondisi fisik
yang terlihat pada orang tersebut. Ketika masyarakat mengetahui
bahwa seseorang memiliki keterbatasan, tentu mereka akan
memandangnya dengan sebelah mata. Kondisi yang demikian ini akan
berpengaruh pada permasalahan sosial dan salah satunya adalah
penyesuaian diri. Kondisi fisik yang dimiliki anak tunarungu tidak
berbeda dengan anak-anak lainnya. Mereka memiliki kondisi yang
baik dan tidak terlihat adanya keterbatasan. Namun ketika kita
mencoba berinteraksi dengan anak tunarungu, maka akan nampak
jelas kekurangan-kekurangan yang dimilikinya terutama pada masalah
pendengaran
2. Keluarga Keluarga yang mempunyai anak tunarungu sebagian besar
kurang memiliki kesadaran untuk menyekolahkan anak di sekolah
khusus atau sekolah luar biasa. Mereka menerima kondisi anaknya
apapun itu sebagai titipan dari Allah. Orang tua beranggapan bahwa
keterbatasan yang dialami oleh anak hanya masalah pendengaran saja,
sehingga mereka tidak perlu menyekolahkannya.
3. Lingkungan Lingkungan yang tidak mendukung akan keberadaan
anak tunarungu akan menambah dampak negatif pada anak.
Masyarakat beranggapan bahwa berinteraksi atau berbicara dengan
anak tunarungu hanya akan membuang-buang waktu saja, mereka
tidak dapat mengerti apa yang sedang kita tanyakan atau bicarakan

8
sehingga masyarakat lebih memilih untuk diam dan tidak menanyakan
sesuatu hal pada anak tunarungu. Anak tunarungu seharusnya tidak
dipandang sebelah mata. Mereka memang memiliki keterbatasan
pendengaran namun mereka juga mampu berinteraksi dengan orang
lain walaupun dengan pengucapan dan lafal yang terbata-bata (Fitri
Lestari, 2015).

C. Masalah Sosial yang Dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus


Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan,
tatatertib, norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang
dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini , misalnya kompensasi
berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma
maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto, 1979). Mackie (1957)
mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori kelainan
perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat
lingkungannya (dalam Kirk,1970).
Tindakan atau perbuatan yang dilakukan merugikan diri sendiri
maupun orang lain. Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori
mengalami kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan
neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent).
Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara
penggolongan dibedakan menjadi:
1) tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem
sebagai bentuk gangguan emosi,
2) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk
kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.

Hal yang lebih penting dari itu adalah akibat anak-anak dengan
kebutuhan khusus adalah anak-anak cacat atau hambatan fisik, mental,

9
intelektual, sosial, atau emosional, seperti: anak-anak dengan autisme, tuli,
buta, retradasi mental, cacat fisik dan lain-lain dapat memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap proses pertumbuhan atau perkembangan
dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Jika kondisi ini tidak
ditangani dengan baik, perkembangan kemampuan anak mengalami kendala
dan beban orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Tujuan penanganan
yang dilakukan oleh semua ahli akan berdampak positif bagi anak-anak
dengan kebutuhan khusus. Dalam berbagai aspek seperti di bidang
akademik mampu mengikuti pelajaran dengan baik, di bidang sosial anak-
anak mampu bersosialisasi dengan masyarakat dan di bidang emosi anak
dapat menyalurkan emosi menjadi hal-hal positif. Orang tua atau keluarga
sebagai penyedia layanan utama untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus,
pada umumnya masih kurang memiliki kesadaran dan tanggung jawab
untuk memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi anak-anak. Ini
karena kurangnya pengetahuan orang tua atau keluarga tentang cara
merawat, mendidik, memelihara dan memenuhi kebutuhan anak-anak ini.
Orangtua atau keluarga adalah faktor yang paling penting dalam
memfasilitasi pertumbuhan dan perlindungan anak-anak dengan kebutuhan
khusus.

D. Cara Mengatasi Masalah Pribadi Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus memiliki permasalahan pribadi, maka
untuk mengatasi permasalahan tersebut harus melibatkan kerja sama
dengan berbagai pihak, seperti orang tua, guru, sekolah, dan masyarakat
untuk mengurangi permasalahan yang mungkin akan menjadi besar
(Nurhasanah, 2021).
Selain itu, masalah pribadi yang dihadapi anak berkebutuhan
khusus juga dapat dibantu diatasi melalui layanan bimbingan dan
konseling, yaitu layanan informasi, konseling individual, dan konseling
kelompok (Sahara, dkk., 2020).

10
Layanan-layanan tersebut diberikan bertujuan untuk membentuk
kepribadian anak berkebutuhan khusus yang tangguh, sehingga mereka
dapat hidup secara mandiri di lingkungan masyarakat. Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mendorong kepribadian ABK, yaitu dengan
memberikan layanan konseling pendekatan multikultural. Pendekatan ini
dapat menjadi salah satu cara, sebab adanya keunikan dan karakteristik
yang berbeda, serta permasalahan yang dihadapi ABK, terutama
menyangkut perkembangan kepribadiannya. Adanya keunikan dan
perbedaan tersebut dapat disebut sebagai kultur, maka konseling
multikultural merupakan salah satu pendekatan yang cocok membantu
ABK mengatasi permasalahan dan mengembangkan kepribadiannya
(Sanyata, dalam Khoirunnisa, 2018).
Menurut Khoirunnisa (2018), sebelum ingin mengatasi
permasalahan pribadi yang dihadapi ABK, maka kita perlu
mengkelompokkan ABK tersebut.
Dari hasil penelitian Liando (dalam Hidayat, 2021), mengatakan
terdapat beberapa hal yang harus dilaksanakan guru saat melakukan
bimbingan di jam pelajaran, yaitu:
1. Berusaha beradaptasi dengan kondisi pribadi ABK dengan
mengembangkan kepercayaan dan keyakinan diri ABK
2. Bersikap hangat, lembut, ramah, tenang, dan berupaya tidak menekan
ABK
3. Tidak kasar
4. Memberikan perhatian
5. Memberikan arahan ABK atas perilaku tidak baik yang mereka
tunjukkan
6. Bersikap empati, terbuka, menerima, dan memperlakukan ABK secara
wajar
7. Memberikan motivasi untuk mengembangkan pribadinya
8. Memahami pribadi ABK yang tengah memiliki masalah dalam
hidupnya

11
9. Memberikan informasi mengenai pentingnya nilai-nilai karakter
10. Berusaha memahami, mengenal, menerima, mengarahkan, dan
mewujudkan potensi ABK apa adanya.

E. Cara Mengatasi Masalah Sosial Anak Berkebutuhan Khusus


Ada kalanya anak berkebutuhan khusus menghadapi masalah
dalam hubungannya dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya.
Selain karena kekurang mampuan anak berkebutuhan khusus untuk
berhubungan dengan lingkungan sosialnya juga dipengaruhi oleh
hambatan/gangguan /kelainan yang disandangnya. Anak berkebutuhan
khusus kadang kesulitan dalam mencari teman bermain, ada yang merasa
minder dan terasing dalam kegiatan kelompok atau pekerjaan-pekerjaan
kelompok, kesulitan dalam situasi sosial yang baru dan juga permasalahan
lainnya yang diakibatkan oleh keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan
oleh hambatan/gangguan/ kelainan yang dialaminya atau disandangnya
(Kustawan, 2013).
Sebagai contoh anak berkebutuhan khusus yang mengalami
hambatan penglihatan (tunanetra) ketika berkunjung pada suatu tempat,
selain memiliki kesulitan dalam bersosialsiasi dengan anak-anak pada
suatu tempat yang dikunjunginya juga mengalami permasalahan dengan
orientasi ruang dan mobilitasnya. Seringkali anak tunanetra tertekan
dengan situasi ini dan diperburuk ketika anak-anak di tempat ini tidak
memiliki empati.
Sikap menolak atau memandang rendah dari masyarakat terhadap
anak-anak berkebutuhan khusus bisa membuat luka atau membuat hancur
hatinya. Oleh karena itu perlu sekali ada gerakan-gerakan penyadaran
kepada masyarakat dari pihak sekolah, dinas/instansi/badan/balai/lembaga
terkait untuk lebih bersikap humanis dan menghargai hak asasi manusia,
sehingga tidak ada lagi sikap-sikap yang menolak dan mendiskriminasi
karena mereka memiliki hak-hak yang sama dengan anak-anak atau anak-
anak lainnya (Kustawan, 2013).

12
1. Anak Tunarungu
Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak
dapat mendengar. Tidak dapat mendengar tersebut dapat
dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar sama sekali.
Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada
umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang
ketunarunguan pada saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa
suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya,
atau bahkan tidak berbicara sama sekali, anak tersebut hanya
berisyarat (Atmaja, 2018).
Dengan ketunarunguan dapat mengakibatkan kurang
kepercayaan dirinya dan merasa asing dari lingkungan masyarakat
tempat mereka tinggal, sehingga menimbulkan kekurangan dalam
interaksi sosial dengan lingkungan tersebut. Dengan demikian semua
ini mengakibatkan pada diri muncul adanya suatu keterasingan antara
mereka dengan anak normal yang mendengar lainnya. Selain itu pada
anak tunarungu punya pandangan yang negatif atau bertindak kurang
menyenangkan terhadap lingkungan. Melihat gejala yang tampak ini
akan dapat mempengaruhi kepada perkembangan kepribadian unak
tunarungu (Pratiwi, 2011).
Dalam upaya pengembangan psikologis dan sosial anak
tunarungu dapat dilakukan dengan pendekatan pelayanan pendidikan
full inclusion (integrasi penuh) melalui konselor teman sebaya dengan
sistem mentoring dan kita dapat membantu anak tunarungu dalam
mengoptimalisasikan dirinya demi tercapai keberhasilan baik
akademik, pengembangan emosi maupun sosialnya serta dapat
berinteraksi dengan lingkungan.
Full inclusion (integrasi penuh) adalah sistem pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk dapat
bersama-sama belajar di sekolah umum. Tujuan full inclusion adalah
untuk meningkatkan kompetensi anak tunarungu dalam hubungan

13
teman sebayanya. Melalui full inclusion, kita bisa memandang anak
tunarungu sama dengan anak normal lainnya, tidak ada suatu jarak
atau pemisahan antara anak normal dengan anak tunarungu.
Semakin maju perkembangan teknologi, istilah AVT atau
Auditory Verbal Therapy mulai diperkenalkan sebagai metode baru
untuk menangani anak difabel khususnya tunarungu. Auditory Verbal
Therapy (AVT) adalah sebuah metode terapi untuk mengajarkan anak
dengan gangguan pendengaran atau tuna rungu agar mampu
mendengar dan berbicara dengan menggunakan alat bantu difabel,
seperti misalnya alat bantu dengar (ABD), FM system, maupun
Cochlear Implant (CI).

2. Anak Tunanetra
Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak yang mengalami
gangguan penglihatan disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat
(Atmaja, 2018).
Orang tua mempunyai peran penting dalam perkembangan
sosial anak. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu
menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya
akan merasa kecewa, sedih, malu, dan berbagai bentuk emosi lainnya.
Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan,
mungkin akan diliputi oleh rasa marah.
Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka karena
anaknya yang cacat itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap
penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan meskipun untuk orang tua
tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun.
Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di
antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan pada perkembangan
emosi dan sosial anak.

14
Kemampuan yang paling berpengaruh oleh ketunanetraan untuk
penyesuaian sosial adalah kemampuan mobilitas, yaitu keterampilan
untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Keterampilan
mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu
kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu objek
dengan objek lainnya di dalam lingkungan.
Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah
merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra
untuk memproses informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan
metode urutan (sequential mode) yang menggambarkan titik-titik di
dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan, atau dengan metode
peta kognitif yang memberikan gambaran topografis tentang
hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan.

3. Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kekurangan atau
keterbatasan dari segi mental intelektual/kecerdasannya yang di
bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik, komunikasi, maupun sosial (Pratiwi, 2011).
Masalah sosial dan emosi yang terjadi pada anak tunagrahita
yaitu suka menyendiri, mudah dipengaruhi, kurang dinamis, kurang
pertimbangan/kontrol diri, kurang konsentrasi, mudah dipengaruhi,
tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain (Pratiwi, 2011).
Penanganan yang perlu diberikan kepada anak tunagrahita ini
adalah lebih fokus pada life skill dan kemampuan merawat diri.
Sebagian besar, muatan pendidikan bagi anak tunagrahita difokuskan
pada kedua hal tersebut. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan,
gengsi, atau kebahagiaan hidup seseorang. Pandangan ini memberikan
pemahaman bahwa anak tunagrahita akan berpeluang besar dalam
meraih kesuksesan hidup jika mampu mengembangkan kecerdasan
lain di luar IQ seperti bakat, hubungan sosial, kematangan emosional,

15
kecerdasan spiritual dan banyak hal yang harus bisa dioptimalkan dari
anak berkebutuhan khusus tunagrahita (Atmaja, 2018).

4. Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan
anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal, sebagai
akibat bawaan, luka penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna
sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara
khusus (Atmaja, 2018).
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari
konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan
menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar,
bermain dan perilaku salah lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak
diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan
merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak
dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya
problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri,
kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem
emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan
gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka
tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya (Atmaja, 2018).
Agar memiliki kesanggupan untuk membuat suatu yang berguna
baik buat dirinya maupun orang lain, penyandang tunadaksa
melakukan rehabilitasi. Menurut kebutuhannya jenis rehabilitasi
tunadaksa terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi vokasional, dan
rehabilitasi psikososial.

5. Anak Tunalaras

16
Tunalaras merupakan sebutan untuk anak berkeliaran emosi dan
perilaku. Tunalaras adalah ketidakmampuan seseorang menyesuaikan
diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari
norma-norma yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari, anak
tunalaras sering disebut anak nakal sehingga dapat
meresahkan/mengganggu lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat (Atmaja, 2018).
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan
sekolah, antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana
pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik.
Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan
takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan
berkeluyuran pada jam pelajaran. Sebaliknya sikap guru yang
terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin
mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan
tindakan-tindakan menentang peraturan. Di lingkungan masyarakat
sekitar anak pun bisa menjadi pemicu timbulnya perilaku
menyimpang atau tunalaras seperti sikap masyarakat yang negatif
ditambah banyak hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan
anak.
Maka dari itu berikanlah contoh yang baik pada anak, beri
perhatian pada anak agar perilaku anak tidak menyimpang terlalu
jauh. Usaha lain untuk anak tunalaras yaitu memeriksakannya ke
klinik psikiatri anak (Atmaja, 2018).

6. Anak Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak
yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan
anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial,
dan perilaku.

17
Masalah di bidang interaksi sosial anak autisme yaitu suka
tempat yang sepi atau menyendiri, menghindari kontak mata secara
langsung, kurang suka untuk bermain bersama teman sebayanya, dan
menolak untuk bermain bersama teman sebayanya.
Penanganan anak autisme dapat dilakukan melalui terapi. Saat
ini, ada berbagai terapi autisme, baik yang diakui oleh dunia medis
maupun yang masih berdasarkan  ilmu tradisional. Ada terapi
perilaku, terapi balur, metode ABA, dan masih banyak lagi (Sudana,
2013).

7. Anak ADHD
ADHD singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder
atau yang dalam bahasa Indonesia berarti gangguan pemusatan
perhatian disertai hiperaktif. Istilah ini memberikan gambaran tentang
suatu kondisi medis yang disahkan secara internasional mencakup
disfungsi otak, di mana individu mengalami kesulitan dalam
mengendalikan impuls, menghambat perilaku, dan tidak mendukung
rentang perhatian mereka. Secara umum ADHD menjelaskan kondisi
yang memperlihatkan ciri kurang konsentrasi, hiperaktif, dan impulsif
yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas
mereka (Atmaja, 2018).
Anak-anak dengan ADHD sering mengalami kesulitan dalam
hubungan sosial, yang dapat mengakibatkan konflik dengan anggota
keluarga atau penolakan oleh anak-anak lain seusianya. Kekurangan
dalam kemampuan sosial dikombinasi dengan tingkah laku hiperaktif,
impulsif, dan kurang perhatian dapat menyebabkan anak dengan
ADHD bertindak dengan cara yang dianggap tidak ramah, suka
memerintah, kasar, tidak berpikir, atau aneh. Mereka akan kesulitan
dalam mencari teman. Anak dengan ADHD, seperti anak cacat lain,
lebih sering menjadi sasaran untuk diolok-olok.

18
Anak dengan ADHD sepatutnya mendapatkan pelayanan
pendidikan khusus di sekolah. Jika sekolah tidak mempunyai
sarananya, sebaiknya hubungi lembaga yang mempunyai tenaga ahli
dalam mengatasi ADHD, misalnya klub Anak-Anak Berkesulitan
Belajar (Klub AABB).
Anak-anak hiperaktif merupakan anak yang unik dengan semua
tingkah lakunya. Pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya, tidak
terkoordinasi dengan baik. Mereka mempunyai banyak sekali ide yang
spontan dilakukan tanpa ada penuturan kata-kata yang runtut. Rasa
suka dan tidak suka, juga langsung diekspresikan sehingga tidak
jarang membuat orang lain tersinggung, sementara mereka sendiri
tidak mempedulikannya. Hal seperti inilah yang sering membuat
mereka tidak mudah diterima oleh teman-temannya dan
lingkungannya sehingga menyebabkan kualitas hubungan sosial
mereka memburuk. Saat tidak diterima, mereka mudah sedih, dan
spontan melawan atau membalasnya. Dengan sikap seperti itu, teman-
teman dan lingkungannya bahkan tak sedikit orang tua dan gurunya
semakin tidak menyukainya dan memberikan label "Anak Nakal"
kepada anak-anak hiperaktif. Mereka menjadi tidak bisa diam dan
selalu mencari kegiatan atau orang-orang yang bereaksi sama dengan
dirinya karena selalu terdorong untuk bergerak.
Brain gym bisa menjadi alternatif dalam penanganan peserta
didik hiperaktif. Senam otak (brain gym) mampu berdampak pada
perilaku hiperaktif. Brain gym ini bertujuan untuk mengalihkan
aktivitas-aktivitas berlebih yang ingin dilakukan anak-anak ADHD
dan mengontrol sikap dan tingkah lakunya (Atmaja, 2018).

8. Anak Disleksia
Kata Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu, Dys yang
artinya sulit, dan Lex yang berasal dari kata legein yang artinya
berbicara. Anak yang menderita disleksia biasanya kurang memiliki

19
kemampuan untuk menghubungkan kata atau simbol-simbol tulisan.
Secara umum disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan
belajar pada seseorang yang disebabkan aleh kesulitan pada orang
tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
Kata Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu, Dys yang
artinya sulit, dan Lex yang berasal dari kata legein yang artinya
berbicara. Anak yang menderita disleksia biasanya kurang memiliki
kemampuan untuk menghubungkan kata atau simbol-simbol tulisan.
Secara umum disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan
belajar pada seseorang yang disebabkan aleh kesulitan pada orang
tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
Kondisi anak disleksia yang mengakibatkan kesulitan menulis
dan membaca membuat sebagian anak disleksia mengalami depresi
dan kehilangan rasa percaya diri karena kesulitan mengikuti pelajaran
di sekolah dan terkadang juga dikucilkan oleh teman-temannya.
Meningkatkan rasa percaya diri pada anak disleksia juga
merupakan salah satu cara mengatasi kesulitan belajar pada anak
disleksia. Dengan mengembalikan dan meningkatkan rasa percaya diri
anak, akan membuat anak disleksia memiliki semangat belajar yang
lebih tinggi untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialaminya.
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang bisa mengatasi
disleksia, untuk itu terapi merupakan bentuk penanganan yang paling
tepat untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia.  Terapi
yang bisa Anda gunakan untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak
disleksia adalah Terapi Gelombang Otak Dyslexia Treatment (Atmaja,
2018). Pendekatan yang efektif lainnya untuk anak seperti ini adalah
dengan menerapkan modifikasi perilaku saat pelaksanaan
pembelajaran (Delphie dkk, 2009).

9. Anak Berbakat

20
Anak gifted, berbakat, superior adalah anak yang mempunyai
potensi unggul di atas potensi yang dimiliki oleh anak-anak normal.
Para ahli dalam bidang anak-anak gifted memiliki pandangan sama
yaitu keunggulan lebih bersifat bawaan (keturunan/genetis).
Keunggulan lain yang telah disepakati oleh para ahli ialah anak-anak
gifted mempunyai superioritas dalam bidang akademik (Pratiwi,
2011).
Selain mempunyai kemampuan bawaan, anak berbakat juga
harus terus mendapat dukungan dari keluarga dengan cara berlatih dan
mengasah kemampuan dirinya agar menjadi lebih matang. Santrok
(2002) mengemukakan anak berbakat yang tidak melakukan latihan-
latihan untuk pengembangan bakatnya lebih cenderung menjadi
pengacau, gemar membolos dan kehilangan minat berprestasi, serta
kadang-kadang anak ini menjadi anak pasif dan apatis di sekolah
(Delphie dkk, 2009).
Hindari sikap sering memarahi anak ketika anak berbuat tidak
seperti teman sebayanya. Anak genius mempunyai sikap emosional
negatif, seperti egois, intoleran, dan suka menyendiri. Hindari juga
sikap suka membanggakan anak genius atau berbakat karena dapat
menjadikan dirinya sombong sehingga dapat menghambat sikap
sosialnya yang nantinya akan berakibat dia dijauhi oleh teman-
temannya.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setiap makhluk hidup pastinya tidak pernah terlepas dari masalah
baik itu masalah pribadi maupun sosial. Bukan cuma anak normal saja
yang mempunyai masalah, tetapi anak berkebutuhan khusus pun juga
pastinya memiliki masalah yang terjadi dikehidupannya.
Anak berkebutuhan khusus kebanyakan mengalami masalah seperti
dijauhi oleh teman-temannya, tidak percaya diri, susah bersosialisasi,
dikucillkan dari masyarakat, dsb. Maka dari itu, Orang tua atau keluarga
sebagai penyedia layanan utama untuk anak-anak dengan kebutuhan
khusus, mesti memiliki kesadaran dan tanggung jawab. Dengan
membawanya untuk melakukan terapi, memberikan mereka perhatian dan
kasih sayang, bersikap empati, juga selalu berikan motivasi.
Perlu juga adanya gerakan-gerakan penyadaran kepada masyarakat
dari pihak sekolah, dinas/instansi/badan/balai/lembaga terkait untuk lebih
bersikap humanis dan menghargai hak asasi manusia, sehingga tidak ada
lagi sikap-sikap yang menolak dan mendiskriminasi karena ABK memiliki
hak-hak yang sama dengan anak-anak lainnya.

B. Saran
Dalam penyusunan tugas makalah ini, penulis menyadari bahwa
apa masih banyak terjadi kesalahan-kesalahan, baik dari segi isi materi dan
sistematika penulisannya. Oleh karena itu, penulis meminta saran dan
pemikiran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini,
sehingga menjadi satu bahan bacaan yang dapat bermanfaat bagi pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, N. (2013). Mengenal anak berkebutuhan khusus. Magistra, 25(86), 1.

Atmaja, J. R. (2018). Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Delphie, Bandi, Dwi Anita Alfiani, Dyah Pusporini, dan Fatkhiyatul Azminah.
(2009). Psikologi Perkembangan (Anak Berkebutuhan Khusus).
Yogyakarta: KTSP.

Dinie Ratri Desiningrum. 2016. PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN


KHUSUS. Yogyakarta: Psikosain

Fitri Lestari. METODE GURU BK DALAM MENGATASI PROBLEM


PENYESUAIAN DIRI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.
INKLUSI, Vol. 2, No. 2,

Hidayat, A. N., Mutaqien, K., & Setiasij, O. (2021). PERANAN IMPLEMENTASI


MANAJEMEN IKLIM BUDAYA SEKOLAH (IMIBS) DALAM
MENGEMBANGKAN KARAKTER ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(ABK). INCLUSIVE: Journal of Special Education, 6(1).

Khoirunnisa, L. U. (2018). Bimbingan Dan Konseling Dengan Teknik


Multikultural Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusi. e-
Jurnal Mitra Pendidikan, 2(5), 456-468.

Kustawan, Dedi. (2013). Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan


Khusus. Jakarta Timur: Luxima.

Nurhasanah, L. (2021, August). Bimbingan dan Konseling sebagai Wadah


Meningkatkan Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
In Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas
Ahmad Dahlan (Vol. 1).

Pratiwi, MM Shinta. (2011). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang:


Semarang University Press.

23
Sahara, Y., Putri, W. F., Mardiyah, S., Della, A. S., & Pane, F. S. (2020).
PROSES KONSELING POPULASI KHUSUS TERHADAP ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK). ITTIHAD, 5(1).

Sudana, Antonius Aris. (2013). Konsep Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.


Yogyakarta: Familia.

Yunaz, H. (2018). Restorasi Sosial Untuk Indonesia Maju dan Bermartabat.


Kemenko PMK.

http://konselorfrisca.blogspot.com/2012/10/mengidentifikasi-masalah-umum-
dan.html?m=1

24
LAMPIRAN

Link Youtube Video Presentasi Kelompok : https://youtu.be/FJxEdj_BofA

25

Anda mungkin juga menyukai