Putu A. Arkananta
(19/441396/EK/22414)
Clanissa Puspita
18/429414/EK/22023
Alifah Khanza
20/458334/EK/22924
International Business
2021
Overview
Amerika Serikat merupakan negara adidaya yang sangat multikultural. Dengan pasar yang
luas dan strategis, perusahaan di Amerika Serikat turut mempertimbangkan root culture dalam
menjalankan bisnis mereka. Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini muncul budaya-budaya
baru yang mendisrupsi pasar dan perilaku konsumen secara keseluruhan. Lantas, bagaimana
pengaruh emerging culture ini terhadap perilaku konsumen? Bagaimana kaitannya dengan root
culture? Penulis menggunakan analisis case untuk menjelaskan fenomena yang terjadi.
National culture terdiri atas sekumpulan kepercayaan dan kebiasaan dalam satu kelompok
tertentu dan menjadi pembeda dengan kelompok yang lainnya (Hofstede, 1980). Dalam menulis
artikel ini, penulis menggunakan Hofstede’s cultural dimensions untuk meneliti lebih jauh
hubungan national cultures dengan consumer behaviour. Penulis mencoba menggunakan lima
dimensi national cultures untuk dapat menjelaskan secara mendetail terkait dengan national
culture di USA.
Individualism versus Collectivism (COL) merupakan dimensi yang pertama. Dimensi ini
merujuk pada hubungan kausalitas antara individu dengan budaya. Dalam kultur individualis,
hubungan antar individu bersifat renggang sehingga tiap individu hanya memiliki intensi untuk
melindungi dirinya dan sanak terdekatnya. Sedangkan, budaya kolektivisme merujuk pada nilai
kebersamaan yang tinggi, hubungan antar grup yang kuat sepanjang waktu.
Uncertainty Avoidance (UAI) adalah range sejauh mana anggota dalam satu budaya
merasa terancam akibat ketidakpastian akan sesuatu. Salah satu contohnya adalah bentuk
ketidakpercayaan pada e-commerce akibat ketidakpastian yang ada. Uncertainty avoidance ini
berpengaruh terhadap adopsi teknologi di suatu negara. Negara dengan uncertainty avoidance
yang tinggi cenderung untuk mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru (Srite &
Karahanna, 2006).
Long-term versus short-term orientation (LTO) adalah orientasi waktu dari satu budaya.
Negara dengan short-term orientation merujuk pada orientasi jangka pendek dimana kebijakan di
negara tersebut merujuk pada masa lalu. Sedangkan pada negara dengan budaya long-term
berfokus pada orientasi masa depan. Dalam long-term oriented culture, business trust sangatlah
diperlukan.
Power distance (PDI) adalah budaya yang menjelaskan bagaimana masyarakat
menanggapi inequality antar anggota dalam masyarakat dan bagaimana masyarakat dengan power
yang rendah menerima inequality yang ada. Dalam low power distance cultures, kesempatan yang
ada bagi masyarakat menjadi lebih kecil, begitu juga dengan kemampuan kolaboratif mereka yang
lebih tinggi dalam hal decision making.
Masculinity versus femininity (MAS) menjelaskan peran gender dalam satu budaya.
Budaya maskulinitas merujuk pada kekuatan, kesuksesan, dan menjunjung tinggi pencapaian.
Sedangkan buaya feminin merujuk pada pemerataan, kesetaraan wewenang, dan menjunjung
tinggi nilai kesejahteraan.
Dalam menentukan pengaruh dari national culture suatu negara terhadap perilaku
pelanggan, diperlukan penilaian yang kompleks karena perilaku konsumen dalam satu aspek dapat
dipengaruhi oleh dua atau lebih dimensi.
● Brand conscious. Kesadaran terhadap merek dipengaruhi oleh dua dimensi yakni large
power distance dan budaya individualis. Dalam hal ini, Amerika merupakan negara yang
sangat individualis dimana hal ini turut berpengaruh pada brand conscious.
● Recreation conscious / hedonistic shopping. Consumer behavior untuk belanja secara
hedon erat dengan tiga dimensi yakni individualism, low uncertainty avoidance, dan
maskulinitas. USA memenuhi ketiga dimensi ini sehingga dapat disimpulkan bahwa USA
merupakan negara dimana consumers senang melakukan hedonistic shopping.
● Price-value decision making style. Terdapat tiga dimensi yang erat yakni collectivism,
uncertainty avoidance, dan yang paling berpengaruh yakni long-term orientation. USA
cenderung netral dalam hal ini, USA di satu sisi memiliki budaya individualis namun juga
long-term orientation culture. Konsumen moderately using price-value decision making
style.
● Confusion by over choice. USA termasuk negara dengan confusion by over choice yang
tidak begitu tinggi karena budaya long-term orientation.
● Brand loyal decision-making style. Consumer behavior ini dipengaruhi oleh budaya
kolektivisme. USA merupakan negara dengan budaya kolektivisme yang rendah sehingga
konsumen cenderung tidak begitu brand loyal.
Budaya populer adalah budaya yang disukai oleh banyak masyarakat [Malinowska &
Lebek, 2016]. Terdapat pengertian lainnya mengenai budaya populer, yakni budaya masyarakat
yang terdiri dari unsur-unsur kebudayaan yang tersebar luas di semua lapisan masyarakat dan
mampu mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat dan juga suatu kebudayaan yang kemudian
menjadikan masyarakatnya sebagai target utama pemasaran produk budayanya [Octora, 2021].
Budaya populer dipandang lebih menarik, terutama untuk kalangan muda, karena bersifat
mengikuti trend pada zaman tersebut serta lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari pada
masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan budaya populer bersifat
sementara. Burton (2011) mengatakan bahwa hal yang merajai budaya populer adalah produksi
dari konsumsi barang-barang material dan bukan seni-seni sejati. Gagasan Burton tersebut
menunjukkan sifat lainnya dari budaya populer yakni mengandung unsur konsumerisme, di mana
manusia menjadi target utama dari produknya. Namun, budaya populer tidak selalu dipandang
menarik. Ada beberapa yang termasuk ke dalamnya kerap disebut sebagai hal-hal yang kurang
berkualitas, sehingga budaya populer tidak selalu digemari oleh semua kalangan.
USA’s Popular Culture
Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbanyak ketiga
di dunia. Dilansir dari laman milik United States Census Bureau, total populasi di Amerika Serikat
mencapai 332.715.037 tertanggal 6 September 2021. Hal tersebut tidaklah terlalu mengejutkan
mengingat tercatat terdapat satu migran internasional tiba di Amerika Serikat setiap 645 detik.
Banyaknya imigran yang berada di negara tersebut menjadikan semakin terbukanya kesempatan
untuk bertukar budaya.
Saat ini, terdapat banyak kebudayaan tengah hits di Amerika Serikat. Jika kita
membicarakan tentang budaya populer, rasanya tak mungkin bagi kita untuk melewatkan musik.
Berbagai penyanyi populer di dunia berasal dari Amerika Serikat, misalnya Ariana Grande dan
masih banyak lainnya. Berbagai lagu yang dibawakan oleh penyanyi tersebut sukses merajai chart
musik global. Ariana Grande juga telah meraup jutaan, bahkan miliaran keuntungan melalui
penjualan album. Tak hanya itu, ia juga menggelar konser di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali
Indonesia. Tercatat dalam konser tersebut seluruh tiket ludes terjual yang menandakan tingginya
antusiasme masyarakat Indonesia, khususnya
penggemar Ariana dalam menyambut idolanya.
Berdasarkan klasifikasi budaya oleh Hofstede yang sudah disampaikan sebelumnya, salah
satunya Amerika Serikat sangat menjunjung tinggi sikap individualisme sehingga mereka
berambisi untuk meraih tujuan hidup tanpa campur tangan dari pihak lain. Hal tersebut
membuktikan teori yang disampaikan oleh Sproles dan Kendall bahwa negara dengan tingkat
individualisme tinggi akan mengutamakan kualitas daripada harga ketika membeli suatu barang
(Leng & Botelho, 2009). Akan tetapi, fenomena terjadinya penyebaran virus corona nyatanya
juga berdampak pada perubahan perilaku konsumen di Amerika Serikat. Pada masa krisis ini,
mereka akan membeli barang yang lebih bernilai dan dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas
sehari-hari.
Untuk memahami lebih lanjut tentang pengaruh budaya Amerika Serikat terhadap perilaku
konsumen setempat maka penulis akan memaparkan analisis pada sektor food and beverage,
terutama fast food yang telah menjadi ikon Amerika Serikat hingga sekarang.
Budaya fast-food telah menjadi bagian dari budaya Amerika Serikat bahkan sudah
dijadikan sebagai gaya hidup, terutama bagi kalangan masyarakat kontemporer. Fast food pada
hakikatnya telah memberikan peningkatan yang sangat signifikan terhadap efisiensi, kenyamanan,
dan kebersihan yang menjadi nilai-nilai dasar bagi konsumen di Amerika Serikat. Kesuksesan
industri ini tidak lepas dari tingkat konsumsi masyarakat sekitar, terutama pada komunitas modern
sekarang, dimana pada tahun 1970 orang Amerika menghabiskan $6 miliar untuk membeli fast
food dan pada tahun 2000 menjadi lebih dari $110 miliar. Kesuksesan industri fast food di
Amerika Serikat sejalan dengan faktor-faktor budaya nasional setempat dalam memberikan
pengaruh terhadap perilaku konsumen. Berdasarkan laporan foodservice research company, yaitu
Technomic menyebutkan bahwa lima restoran fast food yang paling diminati oleh penduduk
Amerika Serikat pada tahun 2020 meliputi Mcdonalds, Starbucks, Chick-fil-A, Taco Bell, dan
Wendy’s (Eatthis, 2020). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumen peduli terhadap reputasi
merek yang sudah terkenal di seluruh dunia. Akibat Amerika Serikat memiliki budaya
maskulinitas, individualisme, dan low uncertainty avoidance yang tinggi maka faktor hedonistic
shopping terhadap fast food juga berpengaruh, dimana menurut data Statista menunjukkan bahwa
masyarakat yang mengkonsumsi fast food empat sampai enam kali dalam seminggu meningkat
dari tahun 2016 hingga 2018, yaitu sejumlah 10,55%, 14,47%, dan 15,8%.
Amerika Serikat sebagai negara dengan popularitas selebriti yang sangat tinggi memiliki
pengaruh terhadap perilaku konsumen dalam membeli suatu merek. Kepopuleran para musisi,
aktor, artis, dan entertainer lainnya sering dimanfaatkan perusahaan untuk menarik pelanggan
sehingga secara tidak langsung budaya populer Amerika Serikat yang mayoritas berkaitan dengan
industri hiburan memiliki peran yang besar dalam memimpin pola konsumsi masyarakat. Seperti
yang dilansir oleh Insider, Bella Hadid beberapa waktu terlihat mengonsumsi salah satu merk fast
food ternama, yaitu McDonald’s ketika dia menghadiri New York Fashion Week pada 2017 dan
dia juga membagikan cerita tentang produk McDonald’s yang dipesan olehnya di sosial media
Instagram pada tahun 2018. Hal tersebut berdampak positif bagi McDonald’s karena masyarakat,
terutama anak muda menjadi percaya terhadap kualitas dan kelezatan yang ditawarkan oleh
restoran.
Persaingan di industri fast food semakin hari semakin ketat dan kondisi pandemi
menyadarkan perusahaan untuk memperbarui strategi dalam menyesuaikan perubahan pola
konsumen di Amerika Serikat. Sebagai negara liberal, terdapat banyak ketidakpastian karena
adanya inovasi-inovasi yang terus dikembangkan Amerika Serikat untuk menguasai dunia. Hal ini
menyebabkan budaya di negara ini terus berganti sehingga perilaku konsumen masyarakatnya juga
akan berubah sesuai dengan pergantian zaman. Menurut data yang dirilis oleh Deloitte pada tahun
2019, proporsi kaum milenial di Amerika Serikat mencapai 44% dan terus menunjukkan
peningkatan hingga sekarang. Akibatnya, perilaku pembelian konsumen semakin didominasi oleh
kekuatan teknologi.
Kondisi pandemi mengharuskan masyarakat untuk membatasi aktivitas di luar rumah,
tetapi kehadiran teknologi mampu menyelamatkan industri fast food karena terjadi peningkatan
online delivery yang cukup signifikan pada tahun 2020. Selain itu, kemajuan teknologi di Amerika
Serikat juga menyebabkan banyaknya pengguna sosial media, dimana terjadi interaksi antar
individu sehingga kondisi ini bisa mengubah budaya masyarakat yang awalnya sangat bersifat
individualisme menjadi kolektivisme. Dengan meluasnya jaringan komunikasi tersebut maka
industri fast food mengoptimalkan media informasi untuk bersaing dengan kompetitor dalam
menawarkan berbagai macam promo yang menarik. Hal ini mengindikasikan bahwa budaya
Amerika Serikat yang pada awalnya mementingkan kualitas dan kenyamanan menjadi beralih
untuk mempertimbangkan harga karena kondisi ekonomi yang lesu akibat virus corona.
Grafik 3. Pertumbuhan Revenue Perusahaan Food Delivery di United States (SEC Filings)
Summary
American Fast Food Culture Cultural Studies Essay. (n.d.). Retrieved from UKEssays:
https://www.ukessays.com/essays/cultural-studies/american-fast-food-culture-cultural-
studies-essay.php#citethis
Aslamiyah, M. 2013. Identitas diri mahasiswa penyuka budaya pop korea di malang. Skripsi. UIN
Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Charm, T., Coggins, B., Robinson, K., & Wilkie, J. (2020, Agustus). The great consumer shift:
Ten charts that show how US shopping behavior is changing. Retrieved from McKinsey:
https://www.mckinsey.com/business-functions/marketing-and-sales/our-insights/the-
great-consumer-shift-ten-charts-that-show-how-us-shopping-behavior-is-changing
Darmawan, A. T. 2004. Komunitas fotografi di kota bandung sebagai gejala budaya populer.
Skripsi. Universitas Pasundan. Bandung.