Anda di halaman 1dari 50

B.

Kanker Payudara
1. Definisi
Kanker payudara merupakan keganasan pada jaringan payudara yang
dapat berasal dari epitel duktus maupun lobulusnya (Kemenkes, 2015). Kanker
payudara bisa berawal dari bagian berbeda pada payudara, antara lain (American
Cancer Society, 2017a):

 Kebanyakan kanker payudara berawal dari duktus yang membawa asi ke


puting (kanker duktal)
 Beberapa berawal dari gland tempat asi diproduksi (kanker lobulus)
 Ada beberapa tipe kanker payudara yang jarang seperti phylodes tumor dan
angiosarkoma

2. Tipe Kanker Payudara


Tipe kanker payudara berdasarkan lokasi, sebagai berikut:

a. Ductal carcinoma in situ


Tipe ini dikarakteristikkan dengan proliferasi sel malignan pada
duktus dan lobulus, tanpa adanya invasi pada jaringan sekitar, oleh karena itu
tipe ini merupakan tipe kanker non -invasif dan disebut sebagai kanker
payudara stadium 0. Penatalaksanaan dianjurkan untuk DCIS ini karena
berpotensi berkembang menjadi kanker invasif. BCT (breast conservation
therapy) yaitu pembedahan unnutk mengangkattumor payudara dan jaringan
sekitar tumor tanpa mengangnkat bagian lain dari payudara mungkin cocok
untuk kanker jenis ini dengan lesi yang terlokalisir dan kecil ( kurang dari 4
cm). Apabila lesi lebih luas atau lesi pada banyak bagian penatalaksanaan
lebih cocok dengan total mastektomi. Tambahan radioterapi setelah BCT
tampaknya signifikan dalam menurunkan kejadian rekuren ipsilateral

b. Invasif karsinoma
1) Karsinoma duktal infiltrat
Merupakan tipe yang umum terjadi berdasarkan tipe histologis
sebanyak 80% dari kanker payudara. Tumor ini teraba karena keras pada
saat palpasi, biasanya bermetastase ke nodus aksila. Prognosis kanker
jenis ini jelek dibandingkan yang lain
2) Karsinoma lobular infiltrat
Terjadi pada 10 – 15% kanker payudara. Tumor jenis ini terjadi
sebagai penebalan pada payudara. Lebihsering multicentric dengan area
penebalan terjadi pada beberapa titik di satu atau dua mammae.
3) Karsinoma medular
Terjadi pada 5 – 7 % kanker payudara dan tubbuh dalam kapsul di
duktus. Tipe tumor ini bisa membesar, tapi prognosisnya pada umumnya
bagus, sering terjadi pada waita yang lebih muda dibawah 50 tahun.
c. Kanker mucinous
Terjadi pada 3 % kanker payudara, dan biasanya pada wanita berusia
60 – 70 tahun. Memproduksi mukus dan biasanya pertumbuhannya lambat
dan memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan yang lain.
d. Kanker duktus tubulas
Terjadi pada 2 % kanker payudara dan pada wanita berusia55 tahun
ke atas. Adanya mikrokalsifikasi merupakan kekhasan dari tumor ini.
Prognosis biasanya baik karena metastase axillari sangat jarnag terjadi pada
tipe ini.
e. Karsinoma inflamasi
Merupakan tipe yang jarang pada kanker payudara dengan gejala
yang berbeda dari yang lain. Tumor terlokalisir lembut dan sangat sakit serta
kulit diatasnya merah dan kehitaman. Penyakit ini juga bisa menyebar ke
bagian tbuh lain dengan cepat, kemoterapi memiliki peran penting untuk
mengontrol perkembangan penyakit ini. Prognosis jelek.

f. Penyakit paget
Kanker payudara yang dimulai di duktus dan melibatkan puting,
areola, dan kulit sekitar. Lesi dengan rasa gatal dan terbakar merupakan gejala
khas dari tipe ini.
(Smeltzer & Bare, 2017)

Ada empat subtipe kanker payudara, seperti tabel berikut (Watkins, 2019):

Subtipe Imunohistokemistri Prognosis keterangan

Luminal A  Estrogen reseptor Baik  Suptipe yang


positif paling sering
 Progesteron reseptor  Biasanya tumor
positif stadium rendah
 HER-2 negatif  Biasa didiagnosis
pada stadium awal
 Responsif
terhadap terapi
hormonal seperti
SERMs dan
inhidbitor
aromatase

Luminal B  Estrogen reseptor Sedang  Cenderung


positif stadium tinggi
 Progesteron reseptor  Kecendrungan
positif untuk kambuh
 HER-2 negatif atau lebih sering
positif daripada luminal
A

HER-2 Positif  Estrogen reseptor Jelek  Beberapa tumor


negatif mungkin bisa
 Progesteron reseptor menerima
negatif antibodi anti-
 HER-2 positif HER-2
monoklonal
 Tidak semua
tumor berespon
terhadap antibodi
anti-HER-2
monoklonal
 Pada beberapa
pasien resisten
terhadap antibodi
anti-HER-2
monoklonal
(khususnya
trastuzumab)

Triple negatif  Estrogen reseptor Jelek  Biasanya pada


(basal) negatif wanita berkulit
 Progesteron reseptor hitam
negatif  Usia saat diagnosa
 HER-2 negatif biasanya lebih
muda
 Tidak menerima
terapi hormon
atau terapi HER-2
 Cenderung agresif
dengan resiko
kekambuhan
tinggi

3. Fakator Resiko
a. Usia
Resiko kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia. Probabilitas
wanita di Amerika Serikat terkena kanker payudara sepanjang hidup sebanyak
1 dari 8 orang, 1 dari 202 orang dari lahir sampai usia 39 tahun, 1 dari 26
orang pada usia 40-59 tahun, dan 1 dari 28 orang pada usia 60 – 69 tahun.
b. Riwayat personal
Kebanyakan kanker pada penyintas kanker payudara adalah kanker
metakronus kontralateral payudara. Faktor yang berhubungan dengan
peningkatan resiko kanker payudara kali kedua termasuk diagnosa sebelumnya
DCIS, stadium IIB, reseptor hormon kanker negatif dan usia muda.
c. Patologi payudara
Penyakit proliferasi payudara berhubungan dengan peningkatan resiko
kanker payudara
d. Riwayat keluarga
Resiko wanita terkena kanker payudara lebih tinggi apabila memiliki
rwayat keluarga dengan penyakit ini. Wanita yang ibunya terdiagnosis
sebelum usia 50 tahun memiliki resiko 1,69, wanita dengan ibu terdiagnosis
kanker ayudara pada usia 50 tahun atau lebih 1,37 kali lebih besar
dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat keluarga kanker payudara. Riwayat
saudara perempuan yang terdiagnosis kanker payudara pada usia sebelum 50
tahun memiliki resiko 1,66 kali lebih besar, dan 1,52 kali apabila terdiagnosa
pada usia setelah 50 tahun dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
e. Predisposisi genetik
20 – 25 % pasien kanker payudara memiliki riwayat keluarga yang
terdiagnosa penyakit sama tapi hanya 5 – 10 % yang menunjukkan autosomal
dominan. Predisposisi alel berperan dalam 40 – 85 % resiko sepanjang hidup
termasuk mutasi BRCA1 dan BRCA2, mutasi gen TP53 yang mengakibatkan
sindrome Li-Fraumeni, PTEN mengakibatkan sinfrom cowden. Setengah dari
sindrom predisposisi kanker payudara berhubungan dengan mutasi BRCA1
dan BRCA2. Resiko kanker payudara sepanjang hidup berkisar antara 65 – 81
% pada carier mutasi BRCA1 dan 45 – 85 % pada mutasi BRCA2.
f. Hormonal
1) Menarche awal
Menarche pada usia yang lebih muda merupakan faktor resiko di antara
wanita pre post menopaus berkembang menjadi kanker payudara.
Menarche yang lebih lambat 2 tahun berhubungan dengan pengurangan
resiko 10 %, wanita yang menarche pada usia muda (13 tahun)
menunjukkan peningkatan resiko dua kali pada resiko hormon reseptor
positif tumor.
2) Kelahiran dan usia saat kehamilan pertama
Wannita nulipara meningkatkan resiko kanker payudara dibandingkan
ddengan wanita melahirkan. Dibandingkan denngan wanita yang nulipara,
angka kejadian kumulatif kanker payudara pada wanita yang melahirkan
pertama di usia 20, 25, dan 35 tahun 20 % lebih rendah, 10 % lebih rendah
dan 5 % lebih tinggi.
3) Menyusui
Penelitian membuktikan bahwa menyusui memiliki efek protektif kanker
payudara. Menyusui memperlambat kembalinya siklus ovulari reguler dan
menurunkan level endogenus sex.
4) Testosteron
Level hormon sex endogen yang tinggi meningkatkan resiko kanker
payudara pada wanita pre post menopaus. Level testosteron beredar yang
tinggi meningkatkan resiko kanekr payudara
5) Usia saat menopaus
Menopaus pada usia yaang lebih tua berhubungan dengan peningkatan
resiko kanker payudara. Setiap satu tahun keterlambatan menopaus
berkontribusi dalam peningkatan resiko sebanyak 3%, dan setiap 5 tahun
keterlambatan menopaus berkontribusi dalam peningkatan resiko kanker
payudara sebanyak 17%.
g. Paparan hormon eksogen
Penelitian menngungkapkan bahwa terdapat hubungan antara
penggunaan terapi penggantian hormon (HRT) dengan kanker payudara.
Kanker payudara yang berhhubngan dengan penggunaan HRT adalah reseptor
hormon positif
h. Faktor gaya hidup
1) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol berhubungan dengan peningkatan resiko kanker
payudara walaupun dengan level konsumsi yang rendah (5.0 – 9.9 g /hari)
2) Aktifitas fisik
Aktifitas fisik yang kosnsiten berhubungan dengan penurunan resiko
kanker payudara. Aktivitas sedang berkontribusi menurunkan resiko 2 %,
dan aktifitas berat menurunkan resiko 5%.
3) Obesitas
Obesitas khususnya pada wanita postmenopaus meningkatkan resiko
kanker payudara. Insulin resisten dan hiperinsulinemia merupakan faktor
resiko komoribid yang berhubungan dengan besitas termasuk penyaikt
kardiovaskuler dan diabetes. Insulin memiliki efek anabolisme pada
metabolisme seluler. Hiperinsulinemia merupakan faktor resiko bagi
kanker payudara pada wanita non diabetes post menopaus.
4) Radiasi
Paparan radiasi dari berbagai sumber termasuk penatalaksanaan medis dan
leddakan nuklir meingkatkan resiko kanker payudara.
(Shah, Rosso, & David Nathanson, 2014)

4. Manifestasi Klinis
a. Benjolan
Adanya benjolan pada payudara dan ketiak merupakan gejala yang umum
dirasakan, 80 % pasien melaporkan gejala ini.

b. Retraksi papilla mammae


Periksa payudara sendiri (SADARI) merupakan cara signifikan untuk mengetahui
ukuran, kondisi kulit, perubahan siklus dan tekstur mammae. Gambaran yang
harus, keluarnya cairan yang bukan asi pada papilla, kulit papilla bersisik atau
berbintik, retraksi papilla.
c. Nyeri yang menetap pada satu atau dua payudara.
(Ikhuoria & Bach, 2018)

Gambar 1. Tanda dan gejala kanker payudara


Sumber: Breast Cancer : A Guide for Journalist on Breasat Cancer and its
Treatment (Roche, 2016)

5. Penyebaran
Kanker payudara bisa menyebar ketika sel kanker masuk kedalam aliran darah atau
sistem limfe dan dibawa ke bagian lain tubuh. Sistem limfe merupakan

6. Pemeriksaan dan diagnostik


C. Carcinoma Colorectal
1. Definisi
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar
yaitu kolon dan rektum (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Kanker kolorektal dikarakteristikkan dengan pertumbuhan sel – sel abnormal
yang terjadi pada kolon atau rektum. Kolon dan rektum (kolorektal) adalah
bagian usus besar yang merupakan akhir dari sistem pencernaan yang memproses
makanan menjadi energi dan membersihkan tubuh dari bahan sisa atau materi
fekal (American Cancer Society, 2017b).

Gambar 2. Kanker kolorektal

2. Etiologi
Penyebab pasti dari kanker kolorektal belum diketahui, mungkin berhubungan
dengan residu rendah, diet tinggi lemak dan masukan buah dan sayur yang tidak
adekuat (Black & Hawks, 2014). Kanker kolorektal bisa terjadi dalam bentuk sporadis
maupun herediter. Bentuk sporadis biasanya terjadi pada lanjut usia tanpa adanya
riwayat keluarga dan herediter biasanya terjadi pada individu yang lebih muda dengan
riwayat keluarga positif seperti familial adenomatus poliposis (FAP) dan kanker
kolon nonpoliposis herediter (HNPC atau Lynch Syndrome) (Mishra, 2016). HNPC
adalah penyakit autosomal dominan biasanya pada kolon kanan dan berhubungan
dengan kanker pada organ lain (khususnya endometrium, saluran kemih, ovarium, dan
intestinal). Dasar genetis HNPC telah diklarifikasi dengan teridentifikasinya mutasi
gen melibatkan kesalahan pasangan DNA. FAP merupakan penyakit autosomal
dominan ditandai dengan kehadiran ratusan bahkan ribuan polip yang tersebar
disepanjang kolon dan beberapa dengan manifestasi ekstra kolon temasuk adenoma
pada intestinal, tumor desmoid, osteoma, gen yang bertanggung jawab ketika
bermutasi pada penyakit ini telah diketahui (kromosom 5q21) (Leon & Percesepe,
2014).

Beberapa faktor resiko yang berperan dalam pencetus terjadinya kanker kolon.

Interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan merupakan dasar terjadinya

kanker kolon. Usia merupakan faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi (Mishra,

2016). Diantara faktor lingkungan yang beragam, beberapa diantaranya yaitu

komponen diet seperti lemakhewani, daging sapi dan konsumsi alkohol, kurangnya

aktivitas fisik, berat badan berlebih, dan merokok berhubungan dengan peningkatan

resiko kanker kolorektal. Sedangkan buah, sayuran, serat tidak mudah larut, vitamin

antioksidan ( khususnya A,C E), kalsium, folat, latihan fisik dan obat anti inflamasi

menunjukkan efek protektif (Leon & Percesepe, 2014).

3. Manifestasi Klinis
Kanker kolorektal merupakan penyakit dnegan onset yang tiba – tiba, dimana
tanda dan gejala tidak akan muncul sampai pada saat tahap lanjut. Manifestasi klinis
paling umum yaitu anemia defisiensi besi, pendarahan rektal, nyeri perut, dan
obstruksi intestinal (Lewis, Dirkensen, Heitkemper, Li, & Bucher, 2014). Gejala yang
ditimbulkan akibat kanker kolon beragam tergantung dari beberapa faktor antara lain,
tumor pada kolon kanan berploriferasi dengan membentuk ulserasi mukosa sehingga
terjadi pendarahan dan anemia bahkan bisa menyebabkan melena. Gejala obstruktif
lebih sering terjadi pada tumor di kolon kiri sehingga mengakibatkan perubahan
kebiasaan fekal serta kemungkinan terjadinya hematokezia atau feses bercampur
darah. Pasien awalnya akan mengalami episode sub akut obstruksi (kolik abdomen,
obstipasi, dan distensi abdomen yang lepas setelah flatus atau gerakan). Pada saat
obstruksi meningkat pada level kritis akan terjadi penumpukan fekal dan dilatasi
kolon proksimal. Obstruksi menetap mengakibatkan iskemia dan perforasi caecum
dengan kontaminasi fekal pada peritoneal sehingga terjadi peritonitis, shock septik
dan kegagalan multi organ. Gejala paling umum yang terjadi pada kanker rektum
adalah pendarahan per rektum yang sering disalah artikan sebagai hemoroid atau
fisura in ano sehingga mengakibatkan terlambatnya penegakkan diagnosis. Kanker
rektum bagian atas dimanifestasikan dengan pendarahan per rektum, lesi obstruktif
mengakibatkan nyeri suprapubik dengan distensi abdomen. Kanker rektum bagian
tengah memiliki karakteristik perasaan tidak puas setelah defekasi akibat distensi
ampula rektal. Akumulasi mukus dengan darah pada rektum menyebabkan pasien
diare pada pagi hari yang hanya terdiri dari darah dan mukus. Banyaknya produksi
mukus pada aadenoma vilus rektum mengakibatkan malnutrisi karena kehilangan
elektrolit yang mengikuti diselektrolitemia. Pasien akan mengalami tenesmus yaitu
adanya keinginan yang kuat untuk defekasi namun tidak ada feses. (Mishra, 2016).

4. Patofisiologi

Arsitektur dasar dari kolon dikarakteristikkan oleh kelenjar (crypts) yang


terdiri dari sel columnar dan mucin. Pada kodisi normal, batas zona proliferasi pada
bagian bawah crypts dimana sel bermigrasi ke bagian atas dan kemudian keluar ke
permukaan mukosa, seluruh prosesnya memakan waktu 4 – 6 hari. Pada tahap awal
tumourogenesis, sel epitelial kolon tidak mampu untuk menekan sintesis DNA selama
migrasi dari dasar ke permukaan crypt berkembang melabihi kapasitas proliferasi.
Mengakibatkan zona proliferasi meluas dan sel S-fase didistribusikan melalui semua
kelenjar. Oleh karena itu, karsinogenesis kolorektal dimulai dengan gangguan general
replikasi sel dan diferensiasi yang terjadi lebih dahulu dan kemudian bersamaan
dengan berkembangnya lesi morfologi. Perkembangan kanker kolorektal muncul
sebagai proses multitahap dimana lesi dalam tahap progresi yanng berbeda dari ACF
sampai adenoma dengan ukuran berbeda (Leon & Percesepe, 2014).
Kanker kolorektal bisa terjadi melalui salah satu atau kombinasi dari tiga

mekanisme berbeda yaitu instabilitas kromosom (CIN), CpG island methylator

phenotype (CIMP) dan microsatellite instability (MSI). Meknisme klasik CIN dimulai

dengan akuisisi mutasi pada PAC yang diikuti dengan utasi onkogen KRAS dan

inaktivasi gen supresor tumor, TP53. Aneuploidy dan kehilangan heterozygisity

(LOH) merupakan penyebab utama pada tumor CIN yang tidak hanya berkontribusi

terhadap kebanyakan tumor sporadik tapi juga pada kasus polip adenomatosus
familial yag berhubungan dengan mutasi germline pada gen APC (Hamza, Aglan, &

Hanaa, 2017).

Gen APC mengatur kematian sel dan mutasi gen ini menyebabkan perubahan

proliferasi yang selanjutnya berkembang menjadi adenoma. Transisi dari adenoma

menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor tumor p53. Dalam

keadaan normal protein dari gen p53 menghambat proliferasi se yang mengalami

kerusakan DN. Mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA teta dapat

melakukan replikasi yang menghsilkan sel – sel dengan kerusakan DNA yang lebih

parah. Replikasi sel – sel dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromoson yang

berisi beberaa alele, hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supressor tumor yang

lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan transformasi akhir

menuju keganasan (Abdullah, 2006).

Jalur CIMP dikarakteristikkan dengan hipermetilasi dari bermacam gen


supresor tumor kebanyakan MGMT dan MLH1. Hipermetilasi ini sering
berhubungan dengan mutasi BRAF dan instabilitas mikrosatelit. Jalur MSI
melibatkan inaktivitas gen yanng mengakibatan urutan berulang yang pendek.
Aktivitas ini terjadi pada kanker kolorektal dengan gen DNA mismatch repair
(MMR) yang merupakan kondisi pada Lynch Syndrome (Hamza et al., 2017).
Sistem stadium (Staging) digunakan untuk menentukan luas dan eksistensi
kanker, sistem yang paling banyak digunakan adalah TNM, sebagai berikut:

Tumor primer (T)

Tx Tumor primer tidak bisa dikaji

T0 Tidak ada bukti tumor primer

Tis Karsinoma insitu

T1 Tumor invasi submukosa

T2 Tumor invasi muskularis propria


T3 Tumor invasi melalui muskularis
propria menuju jaringan
pericolorectal

T4a Penetrasi tumor ke permukaan


peritoneum visera

T4b Tumor invasi organ terdekat

Kelenjaar getah bening (N) Metastase (M)

Nx Nodus linfe regional M0 Tidak ada metastase jauh


tidak dapat diakses

N1 Metasstase 1- 3 nodus M1 Metastase jauh


limfe regional

N1a Metastase 1 nodus M1a Metastase pada 1 organ


lmfe regional

N1b Metastase 2-3 nodus M1b Metastase pada lebih dari 1 organ
limfe regional

N1c Tumor pada subserosa,


mesentri atau jaringan
perirekal tanpa
metastase nodus limfe

N2 Metastase ≥ 4 nodus
limfe

N2a Metastase 4 – 7 nodus


limfe

N2b Metastase ≥ 7 nodus


limfe
Gambar 3. Stadium kanker kolorektal

5. Pemeriksaan Diagnostik
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bedah pada kanker kolorektal beragam tergantung
pada lokasi dan luasnya kanker, antara lain prosedur lokal seperti polipektomi,
transisi lokal transanal, serta transanal endoscopic microsurgery (TEM) dan
prosedur yang lebih invasif yang melibatkan reseksi transabdominal seperti
low anterior resection (LAR), protektomi dengan eksisi mesorektal total
(TME) dan koloanal anastomosis, reseksi abdominoperineal (APR) (Benson
et al., 2018).

Eksisi transanal dilakukan pada kanker rektum dengan syarat ukuran


massa kurang dari 3 cm, bisa digerakkan, terletak kurang dari 8 cm dari linea
dentata. Jika lesi bisa diidentifikasi secara adekuat di rektum, bisa dilakukan
transanal endoscopic microsurgery (TEM). Keuntungannya adalah morbiditas
dan mortalitas minimal serta pemulihan yang cepat setelah operasi.
Kolektomi dan reseksi KGB regional en bloc dilakukan pada kanker kolon
yang masih bisa direseksi dan tidak ada metastase jauh. Reseksi harus legkap
untuk mencegah adanya KGB postif yang tertinggal. Reseksi
abdominoperineal dan sphincter saving reseksi anterior merupakan tindakan
bedah untuk kanker rektum (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Apabila lesi terletak di tengah samai atas rektum atas, LAR
diperpanjang 4 – 5 cm dibawah tepi distal tumor menggunakan TME, yang
diikuti dengan pembentukan colorectal anastomosis, namun apabila tidak
memungkinkan dibutuhkan prosedur kolostomi. APR dengan TME harus
dilakukan ktika tumor melibatkan sfingter anal atau otot levator, APR juga
dilakukan pada kasus dimana reseksi negatif margin tumor akan menyebabkan
kehilangan fungsi sfingter anal dan inkontinensia. APR melibatkan reseksi en
bloc rectosigmoid, rektum, dan anus yang juga meliputi mesentery,
mesorectum (TME), dan jaringan lunak perianal dan membutuhkan prosedur
kolostomi (Benson et al., 2018).
a. Tatalaksana sistemik
1) Kemoterapi
 5 – FU
 Leucovorin
 Capecitabine
 Oxaliplatin
 irinotecan
2) Terapi biologis
 Bevacizumab
 Cetuximab
 Zif-Aflibercep
 Panitumumab
D. Kanker Nasofaring
1. Definisi

Gambar 1. Anatomi Nasopharing

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan epitel


yang muncul dari nasofaring, daerah posterior rongga
hidung. Situs asal yang paling umum adalah di Fossa of
Rosenmuller. NPC tersebar luas di wilayah geografis
tertentu seperti Cina, Asia Tenggara, India, Kutub Utara,
Timur Tengah, dan Afrika Selatan. Distribusi ini
disebabkan oleh beberapa faktor risiko yang menempatkan
populasi tertentu pada risiko NPC. Saat ini, insiden NPC di
seluruh dunia sedang meningkat dan akan terus meningkat
dalam beberapa dekade mendatang karena populasi berisiko
juga terus bertambah. Saat ini, tren sedang berkembang
menuju diagnosis pasien muda dengan NPC. Tren ini dapat
dikaitkan dengan beberapa faktor risiko penting, memiliki
implikasi klinis, dan secara signifikan memengaruhi
strategi pengelolaan. Studi epidemiologi menunjukkan
bahwa ras dan etnis minoritas tertentu memiliki tingkat
penyakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
Kaukasia pada umumnya. Temuan ini dapat

dikaitkan dengan faktor genetik, perilaku, dan lingkungan.

Gambar 2. Carsinoma Nasoparing

Secara histologis tumor dicirikan oleh sel epitel ganas


yang berasal dari skuamosa tetapi tidak memiliki
keratinisasi dan diklasifikasikan sebagai tidak

berdiferensiasi atau berdiferensiasi buruk .


Gambar 1.Karsinoma nonkeratinisasi nasofaring. (A) Subtipe
tidak terdiferensiasi. (B) Karsinoma berdiferensiasi
buruk.

Tumor dengan salah satu dari dua histologi yang


terkait erat ini, awalnya disebut oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) sebagai KNF tipe 2 dan 3, sekarang
dianggap sebagai entitas klinis tunggal, KNF yang tidak
berdiferensiasi (nonkeratinizing) (Chan, Bray, dan
McCarron, 2015). Salah satu ciri khas dari histologi tumor
ini adalah adanya infiltrasi limfositik yang kaya yang
kandungan

dan signifikansi biologisnya masih kurang dipahami.


Perhatikan bahwa ada juga tumor nasofaring berdiferensiasi
baik (keratinisasi), awalnya disebut WHO sebagai KNF tipe
1, yang tidak hanya berbeda secara histologis dari
karsinoma yang tidak berdiferensiasi tetapi memiliki
patogenesis dan epidemiologi yang sangat berbeda.
2. Etiologi

Faktor risiko yang dapat diidentifikasi untuk KNF


telah diselidiki secara ekstensif. Faktor tersebut antara lain
latar belakang genetik, infeksi virus, kebiasaan makan,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, serta paparan
karsinogen lingkungan lainnya. Faktor risiko ini dapat
bekerja sendiri atau dalam kombinasi dalam memulai dan
mendorong kejadian karsinogenik. Etiologi KNF
multifaktorial dan melibatkan interaksi kompleks antara
faktor genetik, lingkungan, dan makanan. Konsumsi ikan
asin dan makanan asap serta infeksi virus Epstein Barr
(EBV) adalah faktor risiko NPC yang paling menonjol.
Faktor genetik dan riwayat keluarga yang positif juga sangat
terkait dengan perkembangan KNF. Faktor risiko dan
ethiopatogenesis dari KNF diantaranya.
a) Sejarah Keluarga
Sejarah keluarga adalah prediktor terkuat dari
perkembangan KNF. Dengan kata lain, seseorang dari
keluarga yang didiagnosis dengan KNF memiliki
kemungkinan lebih tinggi untuk mengembangkan
NPC. Pentingnya riwayat keluarga dalam kaitannya
dengan kelangsungan hidup pasien juga sedang
diselidiki. Riwayat keluarga sebagai penentu utama
waktu kelangsungan hidup pasien secara keseluruhan
telah menjadi kontroversi dan tetap menjadi fokus
penelitian saat ini. Ouyang (2013), mempelajari bahwa
dari 1773 pasien KNF terdapat 207 pasien (11,7%)
dengan kerabat memiliki riwayat keluarga KNF.
(Ouyang et al., 2013 ). Selanjutnya, skrining anggota
keluarga dengan riwayatkeluarga positif akan
membantu dalam diagnosis penyakit dini dan
intervensi terapeutik dini yang mengarahpada
prognosis dan kelangsungan hidup yang lebih
baik.Ren et al., mendokumentasikan bahwa risiko
KNF berhubungan positif dengan riwayat kanker
kepala danleher (HNCA) di antara orang tua. Studi
lain oleh Liu, Chang, Liu ...dan

We (2017), mengungkapkan bahwa seseorang


denganriwayat keluarga tingkat pertama KNF
ditemukan memiliki risiko KNF lebih dari empat kali
lipat lebihtinggi dibandingkan dengan individu yang
tidak memiliki sejarah seperti itu. Risiko berlebih lebih
tinggi pada ibu dibandingkan dengan riwayat ayah dan
sedikit lebih kuat untuk saudara kandung dengan KNF
dibandingkan dengan riwayat orang tua
b) Distribusi Etnik dan Ras
KNF diketahui sangat terkait dengan etnis. Pola
penyebaran etnis dan ras yang mencolok dari KNF
mungkin terkait dengan faktor lingkungan dan
geografis lainnya. Pemeriksaan distribusi geografis
KNF di seluruh dunia mengungkapkan area signifikan
dengan insiden tinggi yang terletak di mana mayoritas
penduduknya berasal dari Cina, Kanton, atau Afrika,
dan di Arktik di mana konsumsi ikan asin dan sayuran
yang diawetkan tinggi. Implikasi dari migrasi populasi
ke wilayah geografis lain untuk kejadian KNF juga
penting untuk disoroti.
Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa terdapat
risiko pengembangan NPC yang terus-menerus pada
individu yang bermigrasi dari area dengan insiden
tinggi ke area dengan insiden rendah. Menariknya,
risiko KNF di antara orang Tionghoa selatan yang
tinggal di Singapura, Malaysia, dan Jepang sebanding
dengan penduduk asli di Tiongkok selatan. Insiden
KNF juga lebih tinggi pada migran Afrika Utara ke
Israel dan keturunan mereka dibandingkan pada
penduduk asli Israel. Meskipun kejadian KNF di
antara orang Cina di Amerika Serikat tetap 10 20 kali
lebih tinggi daripada di antara orang kulit putih dan
kulit hitam AS, itu kira-kira setengahnya lebih tinggi
dari yang diamati di Cina bagian selatan. Tren ini juga
terlihat di antara orang Cina yang bermigrasi ke
Inggris dan Australia (Chang & Adami, 2006). Risiko
tampaknya menurun dengan durasi tinggal yang lebih
lama dan dengan generasi penerus di Barat. Selain itu,
risiko KNF meningkat di antara pria kulit putih yang
lahir di China atau Filipina dibandingkan dengan
mereka yang lahir di Amerika Serikat serta di antara
pria asal Prancis yang

lahir di Afrika Utara dibandingkan dengan mereka


yang lahir di Prancis selatan.
c) Faktor Genetik
a. Antigen Leukosit Manusia
Antigen leukosit manusia (HLA) adalah salah satu
daerah yang paling banyak dipelajari dalam genom
manusia dan molekul HLA diekspresikan secara luas
pada permukaan sel. Umumnya, HLA menghadirkan
antigen spesifik untuk limfosit T dan dengan demikian
memodulasi respons imun terhadap penyakit inflamasi
dan ganas. HLA adalah faktor genetik yang kuat
terkait dengan NPC dan penelitian telah
mendokumentasikan bahwa pasien NPC yang lebih
muda memiliki mekanisme patologis yang berbeda
yang menyebabkan NPC dibandingkan dengan pasien
NPC yang lebih tua karena perbedaan HLA. HLA
terdiri dari keluarga gen Kelas I dan Kelas II dalam
kompleks histokompatibilitas utama, yang terletak di
lengan pendek kromosom 6 ( Lye dkk., 2015; Nor
Hashim dkk., 2012 ). Mereka menghadirkan peptida
antigenik ke sel-T spesifik untuk memulai respons
imun yang dimediasi sel terhadap infeksi EBV. Gen
HLA Kelas II yang dikodekan oleh DR, DQ, dan DP
gen diekspresikan dalam sel kekebalan dan penting
dalam pengaturan respons imun terhadap antigen asing
dan diskriminasi diri dari antigen non-sel. HLA Kelas
II sangat polimorfik karena perbedaan rantai B dan
perbedaan alelik DQa dan DPa rantai ( Chang dan
Adami, 2006 ).
b. Onkogen Tumor dan Gen Penekan Tumor
Onkogen dan gen penekan tumor (TSG) adalah faktor
yang diketahui terlibat dalam proses karsinogenesis
yang mengarah pada perkembangan banyak kanker.
Beberapa onkogen seperti raf-kinase, myc, abl, erb,
ras, dan c-Kak terkait dengan kanker payudara, kanker
paru-paru, kanker lambung, dan kanker usus besar.
TSG terutama mengatur siklus sel yang
mempertahankan sel dalam bentuk dan karakter
normalnya sehingga menghindari peristiwa biologis
yang menyebabkan karsinogenesis. P53 manusia
adalah gen penekan yang paling dominan, dan pada
sebagian besar kanker, mutasi P53
mengarah pada pembentukan kanker. Dalam
patogenesis NPC, ekspresi berlebih dari p53 yang
telah terlibat dalam kanker. Perubahan epigenetik
terutama metilasi sitosin-guanin dinukleotida (CpG)
telah terbukti sama pentingnya dengan kelainan
genetik selama inisiasi dan perkembangan tumor.
Sebaliknya, perubahan genetik pada tumor seperti
penghapusan homozigot atau hilangnya
heterozigositas menunjukkan lokus potensial untuk
TSG kritis. Beberapa TSG kritis dalam wilayah
tertentu yang dinonaktifkan oleh mekanisme genetik
atau epigenetik telah diidentifikasi untuk NPC dan
tumor lain.
d) Virus Epstein Barr (EBV)
EBV termasuk dalam kelompok virus herpes dan
menyebabkan infeksi tanpa gejala seumur hidup pada
95% orang di seluruh dunia. Virus ini juga telah
ditetapkan sebagai oncovirus kelas I oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO). Itu tetap dalam sel B
memori dengan jumlah salinan rendah dari virus
episom dalam fase laten pada individu yang sehat. Ini
memiliki implikasi klinis yang kuat dalam pengelolaan
NPC. Aktivitas tumorigenik EBV pertama kali
ditemukan pada kanker masa kanak-kanak yang umum
terjadi pada anak-anak Afrika Selatan, limfoma
Burkitt. Virus ini mampu menginfeksi dan
menghancurkan sel B serta sel epitel. EBV dapat
diaktifkan kembali pada waktu tertentu dan dapat
beralih dari fase laten ke litik dengan produksi partikel
virus. Inilah yang memicu peningkatan respon imun,
yang menyebabkan lonjakan antibodi yang tinggi
terhadap antigen spesifik seperti antigen dini (EA) dan
antigen kapsid virus (VCA). Infeksi sel B merupakan
proses yang sangat efisien dibandingkan dengan
infeksi sel epitel. Infeksi sel B melibatkan interaksi
yang rumit antara protein permukaan pada sel B. Virus
ini telah dikaitkan dengan beberapa penyakit
berbahaya yaitu limfoma Burkitt dan limfoma
Hodgkin.
Patogenesis EBV terkait dengan lingkungan mikro
imun yang ditekan dari inang serta perubahan
inflamasi yang berkontribusi pada perkembangan
perubahan ganas. Amir et al., (2008), melakukan
penelitian pada 100 pasien dan mendokumentasikan
bahwa pasien KNF memiliki antibodiEBV IgA dan

IgG yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok


HNCA dan kelompok kontrol lainnya Sensitivitas dan
spesifisitas tinggi diamati dalampenelitian ini
menggunakan beban DNA EBV per ng DNA
(sensitivitas 96% dan spesifisitas 97%) danbeban
DNA EBV per DNA. β- DNA globin (sensitivitas 95%
dan spesifisitas 96%) (Zheng, Lu, Li, & Jia,2015).
Subtipe histologis tumor merupakan faktor lain
yangmempengaruhi tingkat deteksi DNA EBV plasma
pada pasien KNF (Fung, Lam, & Chan, 2016).
Didaerah endemik, sebagian besar kasus NPC tidak
berkeratin dan tidak berdiferensiasi (WHO tipe III)
dantumor ini biasanya mengandung genom EBV.
e) Faktor Makanan
Konsumsi ikan asin dan sayuran yang diawetkan
diketahui terkait dengan risiko KNF. Di sebagian besar
negara di mana mayoritas pasiennya adalah orang
China, seperti China, Singapura, Taiwan, dan Korea,
ikan asin dan sayuran yang diawetkan banyak
dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari dan tersedia
di supermarket. Persiapan sayuran asin yang disebut
suan cai adalah acar kubis tradisional Cina yang
biasanya dibuat dengan fermentasi lambat diikuti
dengan pengawetan dengan garam dan air garam. Ini
mirip dengan sauerkraut yang umum di Eropa Tengah
dan Timur, yang juga terbukti meningkatkan risiko
KNF (Chang dan Adami, 2006). Tingkat nitrosamin
yang berbeda, yang bersifat karsinogenik, dikaitkan
dengan berbagai jenis dan proses fermentasi yang
digunakan. Ikan asin seperti ikan asin ala Kanton telah
dikategorikan sebagai karsinogen golongan 1 (ringan)
oleh International Agency for Research on Cancer.
Ikan asin lainnya dikategorikan sebagai karsinogen
golongan IV (parah). Karsinogen ini dapat
mengganggu pos pemeriksaan siklus sel dan
menyebabkan kelainan spesifik yang mendorong
karsinogenesis. Etiologi utama untuk KNF termasuk
kerentanan genetik dan paparan usia dini terhadap
karsinogen (misalnya, makanan yang diawetkan selain
ikan asin seperti hati sapi dan telur asin) secara
signifikan terkait dengan peningkatan risiko KNF
(Adham, 2012).

3. Patofisiologis

Karsinoma nasofaring merupakan munculnya


keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang
menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan
dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian
akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi
yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma
nasofaring adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke
jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi
perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa (Averdi Roezin, 2001):
1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial
menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran
Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian
ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii
anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N. I dan N.
VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf
kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut
Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah
diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II -N.VI).
2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang
secara ekstrakranial menembus fascia faringobasilaris yaitu
sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen
spinosum, foramen ovale dan sebagainya), di mana di
dalamnya terdapat N. IX dan XII; disebut penjalaran
retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari
saraf otak yaitu N. VII dan N. XII beserta nervus simpatikus
servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX
dan N. XII disebut Sindrom Retroparotidean/Sindrom
Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami
gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam
sistem anatomi tubuh.
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan
salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses
metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring,
penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi
akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan
submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar
getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di
lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar
ini sel

tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar


menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher
bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel
kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada
otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala
yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan
gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
4. Metastasis jauh sel-sel kanker dapat ikut mengalir
bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang,
hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan
prognosis sangat buruk.

4. Maniefetasi

A. Gejala Klinis
Gejala-gejala dari karsinoma nasofaring dapat dibagi
atas 2 macam berdasarkan metastasenya, yaitu (Roezin,
2001):
1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala
yang dapat timbul di waktu tumor masih tumbuh
dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:
a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung
sembuh; epistaksis berulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan lendir hidung sehinga
berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah,
encer/kental, berbau.
b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba
eustachii oleh tumor, sehingga terjadi tuba oklusi,
menyebabkan penurunan tekanan dalam kavum
timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak
nyaman di telinga sampai otalgia.
2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat
berupa:
a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
menimbulkan gangguan N. IV (N. Trochlearis) dan N.
VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.

b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada


leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase
dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke
otak dan mencapai saraf-saraf kranialis, antara lain:
- Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini
merupakan metastase secara hematogen.
- Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
- Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai
N.IX N.X
N.XI (N. Accessorius), N.XII (N. Hypoglossus).
Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: lidah, palatum,
faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M.
Trapezius. Pada sindrom ini akan terjadi keluhan
trismus, afoni dikarenakan paralisis pita suara,
gangguan menelan, dan kelumpuhan nervus
simpatikus servicalis (Horner Sindrom) (Yueniwati,
2016)
5. Pemeriksaan penunjang

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang.
2.1.5.1 Anamnesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala
mata dan saraf, serta gejala metastasis / leher. Gejala
tersebut mencakup hidung tersumbat, lendir bercampur
darah, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan
neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul
benjolan pada leher (Tan dan Loh, 2015).
2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis dan status
lokalis.Pemeriksaan nasofaringdapat dilakukan dengan
rinoskopi posterior dan nasofaringoskop(fiber/rigid).

2.1.5.3 Pemeriksaan Diagnostik


a. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologik berupa CT scan/MRI


nasofaring potongan koronal,aksial, dan sagital,
tanpa dan dengan kontras berguna untuk melihat
tumorprimer dan penyebaran ke jaringan sekitar
dan penyebaran kelenjar getahbening. Untuk
metastasis jauh dilakukan pemeriksaan foto toraks,
bone scan, dan USG abdomen.10-13
Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow
Band Imaging)merupakan pemeriksaan radiologik
yang sangat baik digunakan untuk follow up terapi
pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan
residif.
b. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Karsinoma nasofaring dibuktikan melalui
pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen
berasal dari biopsi nasofaring.Hasil biopsi
menunjukkan jenis keganasan dan derajat
diferensiasi. Pengambilanspesimen biopsi dari
nasofaring dapat dikerjakan dengan bantuan
anestesi
lokal ataupun dengan anestesi umum.10
1) Biopsi Nasofaring
Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA
dari biopsi nasofaring.Sementara biopsi
Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau
biopsiinsisional/eksisional kelenjar getah
bening leher bukan merupakandiagnosis pasti.
Biopsi dilakukan dengan menggunakan tang
biopsi yangdimasukkan melalui hidung atau
mulut dengan tuntunan rinoskopiposterior atau
tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber.
Pelaporan diagnosis karsinoma nasofaring
berdasarkan kriteria WHO yaitu:
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO 1)
2. Karsinoma tidak berkeratin: berdiferensiasi
(WHO 2) dan tidak berdiferensiasi (WHO 3)
3. Karsinoma basaloid skuamosa

Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan


adalah hematologik berupa pemeriksaan darah
perifer lengkap, LED, hitung jenis, Alkali
fosfatase, LDH, dan fungsi liver seperti SGPT-
SGOT.
Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum
dilakukan jika dari biopsi dengan anestesi lokal
tidak didapatkan hasil yang positif sedangkan
gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan
ciri karsinoma nasofaring, atau suatu kanker
yang tidak diketahui primernya (Unknown
Primary Cancer).Prosedur eksplorasi
nasofaring dengan anestesi umum dapat
langsungdikerjakan pada penderita anak,
penderita dengan keadaan umum kurang baik,
keadaan trismus sehingga nasofaring tidak
dapat diperiksa, penderita yang tidak
kooperatif, dan penderita yang laringnya
terlampau sensitif, atau dari CT Scan paska
kemoradiasi/ CT ditemukan kecurigaan
residu/rekuren, dengan Nasoendoskopi
Nasofaring menonjol.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher


Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras
sebagai metastasistumor ganas nasofaring
yaitu, internal jugular chain superior,
posteriorcervical triangle node, dan
supraclavicular node jangan di biopsi
terlebihdulu sebelum ditemukan tumor
induknya yang mungkin dilakukan adalah
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH).

2.1.5.4 3 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari kanker nasofaring adalah
malignum, prosesnon keganasan (TB
kelenjar), dan metastasis (tumor sekunder).\

6. Penatalaksanaan

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi


keduanya, dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai
dengan gejala. Koordinasi antara

bagian THT, Onkologi Radiasi, dan Onkologi Medik


merupakan hal penting yang harus dikerjakan sejak awal.
Sebelum dilakukan terapi radiasi dan kemoterapi dilakukan
persiapan pemeriksaan gigi, mata, dan neurologi. Penderita
dengan status performa kurang baik atau penderita yang
status performanya menurun selama pengobatan, sebaiknya
disarankan rawat inap agar dapat dilakukan monitor ketat
untuk mencegah timbulnya efek samping yang berat. Terapi
dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya,
dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan
gejala. Berikut pedoman modalitas terapi pada KNF
menurut KPKN (Chan, 2012 dan NCCN, 2016).
Stadium dini Stadium I Radiasi saja
Stadiun Intermediet Stadium II Kemoradiasi konkuren
Stadium lokal lanjut Stadium III Kemoradiasi konkuren
+/- kemoterapi adjuvan
Perencanaan terapi radiasi Stadium IV Kemoterapi induksi,
problematik (tumor yang diikuti dengan
berbatasan dengan organ at kemoradiasi konkuren
risk, misal: kiasna optikum)

2.1.6.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam
tatalaksana kanker nasofaring yang telah diakui sejak lama
dan dilakukan di berbagai sentra dunia. Radioterapi dalam
tatalaksana kanker nasofaring dapat diberikan sebagai terapi
kuratif definitif dan paliatif.
a. Radoterapi Kuratf Definitif
Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas
terapi tunggal dapat diberikan pada kanker
nasofaring T1N0M0 (NCCN Kategori 2A), konkuren
bersama kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3,T2-
T4 N0-3 (NCCN kategori 2A). Radiasi diberikan
dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher
dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III,
IV lokal).

Radiasi dapat diberikan berupa radiasi eksterna,


radiasi intrakaviter, dan booster sebagai tambahan.
Radiasi eksterna yang mencakup gross tumor
(nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher,
dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-
4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan
dosis 50 Gy. Selain itu, radiasi intrakaviter dapat
diberikan sebagai radiasi booster pada tumor primer
tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, diberikan
dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2 x. Selanjutnya, bila
diperlukan booster pada kelenjar getah bening
diberikan penyinaran dengan elektron.
Teknik radiasi yang dapat diberikan pada pengobatan
kanker nasofaring adalah Teknik konvensional 2
dimensi dengan pesawat Cobalt-60 atau LINAC,
Teknik konformal 3 dimensi (3D Conformal
Radiotherapy) dengan pesawat LINAC, Teknik
Teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (I
MRT) dengan pesawat LINAC, dan brakhiterapi.
Teknik Intensity Modulated Radiation Therapy
(IMRT) di dunia telah menjadi standar (NCCN grade
2A) dan teknik lain dapat diterima asalkan spesifikasi
dosis dan batasan dosis terpenuhi.
2.1.6.2 Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer
terutama diberikan pada pasien dengan T2-T4 dan N1-
N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan
preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali,
setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum
dilakukan radiasi. Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan
kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau adjuvan.
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah
dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi
adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan
Cisplatin/5- FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap
seminggu sekali.
Adapun terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring
kasus Rekuren/Metastatik adalah:
a. Terapi Kombinasi
• Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
• Cisplatin/5-FU

• Carboplatin
• Cisplatin/gemcitabine
• Gemcitabine
• Taxans + Patinum +5FU
b. Terapi Tunggal
• Cisplatin
• Carboplatin
• Paclitaxel
• Docetaxel
• 5-FU
• Methotrexate
• Gemcitabin
2.1.6.3 Dukungan Nutrisi
Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering
mengalami malnutrisi dengan prevalensi 35% dan
sekitar 6,7% mengalami malnutrisi berat. Prevalensi
kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF)
dapat mencapai 67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat
mempengaruhi respons terapi, kualitas hidup, dan
survival pasien. Pasien KNF juga sering mengalami
efek samping terapi, berupa mukositis, xerostomia,
mual, muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain.
Berbagai kondisi tersebut dapat meningkatkan
meningkatkan stres metabolisme, sehingga pasien
perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara
optimal. Tatalaksana nutrisi dimulai dari skrining,
diagnosis, serta tatalaksana, baik umum maupun
khusus, sesuai dengan kondisi dan terapi yang
dijalani pasien. Selain itu, pasien KNF memiliki
angka harapan hidup yang cukup baik, sehingga para
penyintas tetap perlu mendapatkan edukasi dan
terapi gizi untuk meningkatkan keluaran klinis dan
kualitas hidup pasien.

2.1.6.4 Farmakoterapi
Pasien kanker yang mengalami anoreksia memerlukan
terapi multimodal, yang meliputi pemberian obat-
obatan sesuai dengan kondisi pasien di lapangan:
a. Progestin
Menurut studi meta-analisis MA bermanfaat dalam
meningkatkan selera makan dan meningkatkan BB
pada kanker kaheksia, namun tidak memberikan efek
dalam peningkatan massa otot dan kualitas hidup
pasien. Dosis optimal penggunaan MA adalah sebesar
480–800 mg/hari. Penggunaan dimulai dengan dosis
kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila selama dua
minggu tidak memberikan efek optimal.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling
banyak digunakan. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien kaheksia
dapat meningkatkan selera makan dan kualitas hidup
pasien.
c. Siproheptadin
Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT3,
yang dapat memperbaiki selera makan dan
meningkatkan BB pasien dengan tumor karsinoid.
Efek samping yang sering timbul adalah mengantuk
dan pusing. Umumnya digunakan pada pasien anak
dengan kaheksia kanker, dan tidak direkomendasikan
pada pasien dewasa.

7. Komplikasi

Efek samping jangka panjang dari radioterapi orbita


yakni katarak, matakering dengan pembentukan scar
sekunder di kornea, kehilangan lapisanpenunjang kulit
seperti rambut dan alis mata, dan atrofi lemak orbita.
Padabayi, terapi tersebut dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhan tulang orbita.Selama minggu-minggu
awal radioterapi, pasien mungkin akan mengalami rasa
mual, mulut kering, perubahan rasa, kehilangan nafsu
makan, dll. Di minggu-minggu berikutnya, pasien
mungkin akan menderita sariawan, penggelapan warna
kulit, nyeri tenggorokan, dan rambut rontok, dll.
Namun hal ini akan reda secara berangsur-angsur
beberapa minggu

setelah selesainya tindakan pengobatan. Namun


beberapa pasien akan tetap merasakan mulut yang
kering karena kelenjar ludah mereka menghasilkan
lebih sedikit air liur akibat tindakan radioterapi. Selain
itu, pasien mungkin akan mengalami kondisi berikut
ini:
- Bisa mengalami otitis media (radang telinga bagian
tengah), yang menyebabkan kehilangan
pendengaran parsial.
- Bisa merasakan kaku pada sendi
temporomandibular (rahang sendi), sehingga
menyebabkan sensasi ‘kejang mulut’.
- Sebagian kecil pasien bisa merasakan gangguan
pada fungsi endokrin atau fungsi saraf mereka.
E. Leukemia
Dalam keadaan normal, produksi sel darah spesifik dari prekursor sumsum
tulang diatur berdasarkan kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengontrol
produksi ini terganggu, maka sel – sel tersebut mengalami proliferasi yang berlebihan.
Leukemia adalah proliferasi neoplastik dari salalh satu tipe sel yaitu granulosit,
monosit, dan limfosit. Leukemia diklasifikasikan berdasarkan jenis sel yang terlibat
antara lain limfoid (meerujuk pada sumsum tulang memproduksi limfosit), myeloid
(merujuk pada sumsum tulang yang memproduksi sel darah non-limfoid). Selanjutnya
leukemia diklasifikasikan sebagai akut atau kronik berdasarkan waktu yang
dibutuhkan sampai gejala muncul dan fase yang dibutuhkan sel untuk berdiferensiasi .

F. Limfoma

G. Carcinoma Prostat

H. Carcinoma Lidah
Pengertian Kanker Lidah
Kanker rongga mulut adalah keganasan yang terjadi di dalam rongga mulut yang
dibatasi vermilion bibir dibagian depan dan arkus faringeus anterior di bagian belakang.
Kanker rongga mulut meliputi kanker bibir, lidah, bukal, dasar mulut, palatum, dan
arkus faringeus anterior (Muttaqin, 2011).

Kanker lidah adalah suatu tumor yang terjadi didasar mulut, kadang- kadang meluas
kearah lidah dan menyebabkan gangguan mobilitas lidah. Kanker lidah (2/3 anterior).
Sebagian besar (40%) dari kanker rongga mulut adalah kanker lidah. Lokasi tumor
paling sering adalah tepi lateral pada perbatasan antara bagian tengah dengan 1/3
belakang lidah.

2.1.2 Etiologi
Beberapa faktor yang berperan terhadap timbulnya karsinoma lidah adalah sebagai
berikut :
a. Tembakau
Penggunaan tembakau dalam waktu lama merupakan faktor utama yang penting dan
berhubungan erat dengan timbulnya karsinoma lidah. Beberapa penelitian menunjukkan

36
bahwa hampir 90% penderita karsinoma lidah mempunyai riwayat penggunan
tembakau dan meningkat dengan kebiasaan merokok. Insiden karsinoma lidah pada
penderita yang merokok diperkirakan 6 kali lebih sering terjadi dibandingkan pada
penderita yang tidak merokok. Tembakau digunakan dengan cara dikunyah atau
dihisap. Efek penggunaan tembakau yang tidak dibakar ini erat hubungannya dengan
timbulnya leukoplakia dan lesi mulut lainnya termasuk lidah.
Tembakau mengandung banyak molekul karsinogenik seperti hidrokarbon polisiklik,
nitrosamin, nitrosodicthanolamine, nitrosoproline dan polonium. Paparan tembakau
menyebabkan perubahan yang progresif dari mukosa mulut dan penggunaan dalam
waktu lama menyebabkan transformasi keganasan terutama perubahan dalam ekspresi
mutasi p53.

Efek karsinogenik dari tembakau sebagian besar dirangsang oleh zat kimia yang
terdapat pada asap rokok. Asap rokok merangsang perubahan genetik termasuk mutasi
gen, gangguan kromosom, mikronuklei, perubahan kromatin, rusaknya rantai DNA.
Mutasi gen menyebabkan hiperaktif onkogen, gangguan proliferasi, mencegah
apoptosis dan gangguan kelangsungan hidup sel. Selain itu juga mutasi gen akan
menginaktifkan tumor supresor yang secara normal berperan untuk mencegah
perubahan sel-sel menjadi ganas.

Nitrosamin merupakan zat kimia utama yang bersifat mutagen dalam asap rokok. Zat
kimia yang lain adalah tobacco-specific nitrosamines (TSNAs) yang berasal dari
alkaloid utama tembakau, nikotin, nornikotin, anabasin dan anatabin. Nitrosonomikotin
dan 4-(N-methyl-N-nitrosamino)-I-(3-pyridyl)- I-butanone berasal dari nikotin dan
karsinogen poten. Asap rokok mengandung berbagai mutagenik dan karsinogenik
termasuk nitroso-compounds, hidrokarbon aromatik polisiklik heterosiklik amin.
Sebagian besar karsinogen dan mutagen dimetabolisme menjadi bentuk yang lebih aktif
dalam tubuh manusia dan menyebabkan gangguan kromosom.

b. Alkohol
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara konsumsi alkohol yang tinggi
terhadap terjadinya karsinoma sel skuamosa lidah. Minuman alkohol mengandung
bahan karsinogen seperti etanol, nitrosamin, urethane contaminant. Alkohol merupakan
zat pelarut yang dapat meningkatkan permeabilitas sel terhadap bahan karsinogen dari

37
tembakau. Alkohol merupakan salah satu faktor yang memudahkan terjadinya
leukoplakia karena penggunaan alkohol dapat menimbulkan iritasi pada mukosa.

Selain itu penggunaan alkohol dalam waktu lama dapat meningkatkan respon enzim
sitokrom p450 yang berfungsi untuk mengaktivasi protokarsinogen menjadi karsinogen.

Kemungkinan mekanisme yang lain adalah rusaknya aktivitas makrofag dan


berkurangnya jumlah T limfosit. Alkohol juga menurunkan aktivitas enzim yang
berperan untuk perbaikan DNA sehingga terjadi peningkatan kerusakan kromosom.

Kombinasi kebiasaan merokok dan minum alkohol menyebabkan efek sinergis sehingga
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya karsinoma lidah. Alkohol
menyebabkan dehidrasi dan rasa panas yang mempengaruhi selaput lendir mulut.
Peningkatan permeabilitas mukosa ini menimbulkan rangsangan menahun dimana
timbul proses kerusakan dan pemulihan jaringan yang berulangulang sehingga
mengganggu keseimbangan sel dan sel mengalami displasia.

c. Infeksi virus
Virus dapat menyebabkan keganasan dengan mengubah struktur DNA dan kromosom
sel yang diinfeksinya. Virus human papilloma (HPV) berhubungan dengan timbulnya
karsinoma lidah. HPV subtipe 16, 18, 31 dan 33 merupakan jenis yang dilaporkan
paling sering berhubungan dengan timbulnya displasia dan karsinoma sel skuamosa.
Virus human papilloma merupakan virus DNA rantai ganda yang menyerang sel pitel.

d. Faktor Gigi dan Mulut


Keadaan rongga mulut dengan higyen yang jelek ikut berperan memicu timbulnya
karsinoma lidah. Iritasi kronis yang terus menerus berlanjut dari gigi yang kasar atau
runcing, gigi yang karies, akar gigi dan gigi palsu yang letaknya tidak sesuai akan dapat
memicu terjadinya keganasan.

2.1.3 Manifestasi Klinis


a. Tanda awal umumnya berupa ulkus tanpa nyeri yang tidak sembuh-sembuh. Kemudian
membesar dan menekan atau menginfiltrsi jaringan sekitar yang megakibatkan nyeri
lokal, otalgia ipsilateral dan nyeri mandibula (Suyatno, 2010).

38
Gambar 2.1
Ulkus Pada Lidah

b. Infiltrasi ke otot-otot ini mengakibatkan gerakan lidah terbatas sehingga proses menelan
bolus makanan dan bicara terganggu. Kanker ini dapat menginfiltrasi jaringan
sekitarnya seperti dasar mulut (floor of mouth, FOM), dasar lidah dan tonsil (Suyatno,
2010).
c. Sejalan dengan kemajuan kanker pasien dapat mengeluhkan nyeri tekan, kesulitan
mengunyah, menelan, dan berbicara, batuk dengan sputum bersemu darah atau terjadi
pembesaran nodus limfe servikal.

2.1.4 Patofisiologi
Dasar lidah memainkan peran penting dalam berbicara dan menelan. Selama fase faring
menelan, makanan dan cairan yang mendorong ke arah oropharing dari rongga mulut
oleh lidah dan otot-otot pengunyahan. Laring terangkat, efektif menekan katup
tenggorok dan memaksa makanan, cair, dan air liur ke dalam kerongkongan
hypopharynx dan leher rahim.

Meskipun laring menghasilkan suara, lidah dan faring adalah organ utama yang
membentuk suara. Kerugian jaringan dari dasar daerah lidah mencegah penutupan yang
kedap air dengan laring selama tindakan menelan. Ketidaksesuaian ini memungkinkan
makanan dan cairan untuk melarikan diri ke dalam faring dan laring, koreografer
dengan hati-hati mengubah refleks menelan dan sering mengakibatkan aspirasi. Baik
neurologis penurunan dan perubahan dalam tindakan terkoordinasi menelan dari
penyakit berbahaya di daerah ini dapat merusak mempengaruhi pada kemampuan
berbicara dan menelan.

39
Squamous sel karsinoma pada lidah sering timbul pada daerah epithelium yang tidak
normal, tetapi selain keadaan tersebut dan mudahnya dilakukan pemeriksaan mulut, lesi
sering tumbuh menjadi lesi yang besar sebelum pasien akhirnya datang ke dokter gigi.
Secara histologis tumor terdiri dari lapisan atau kelompok sel-sel eosinopilik yang
sering disertai dengan kumparan keratinasi. Menurut tanda histology, tumor termasuk
dalam derajat I – IV (Broder). Lesi yang agak jinak adalah kelompok pertama yang
disebut carcinoma verukcus oleh Ackerman. Pada kelompok ini, sel tumor masuk,
membentuk massa papileferus pada permukaan. Tumor bersifat pasif pada daerah
permukaannya, tetapi jarang meluas ke tulang dan tidak mempunyai anak sebar. Lidah
mempunyai susunan pembuluh limfe yang kaya, hal ini akan mempercepat metastase
kelenjar getah bening dan dimungkinkan oleh susunan pembuluh limfe yang saling
berhubungan kanan dan kiri.

Tumor yang agak jinak cenderung membentuk massa papiliferus dengan penyebaran
ringan kejaringan didekatnya. Tumor paling ganas menyebar cukup dalam serta cepat
ke jaringan didekatnya dengan penyebaran permukaan yang kecil, terlihat sebagai ulser
nekrotik yang dalam. Sebagian besar lesi yang terlihat terletak diantara kedua batas
tersebut dengan daerah nekrose yang dangkal pada bagian tengah lesi tepi yang terlipat
serta sedikit menonjol. Walaupun terdapat penyebaran lokal yang besar, tetapi anak
sebar tetap berjalan. Metastase haematogenus terjadi pada tahap selanjutnya.

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

a. CT-scan atau MRI dilakukan untuk menilai detail lokasi tumor, luas ekstensi tumor
primer.

b. USG hepar, Foto thorax dan bone scan untuk evaluasi adanya metastasis jauh.

c. Biopsi

d. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy), dilakukan pada tumor primer yang metastasis
ke kelenjar getah bening leher.

e. Biopsi insisi atau biopsi cakot (punch) dilakukan bila tumor besar (>1 cm).

f. Biopsi eksisi dilakukan pada tumor yang kecil (1 cm atau kurang) (Suyatno, 2010).

2.1.6 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan Perawatan pemulihan setelah operasi :

40
1) Setelah operasi pasien kanker rongga mulut diberikan makanan cair, setelah satu
minggu kemudian berubah menjadi semi cair.
2) Setelah operasi perhatikan warna, suhu dan elastisitas flap pasien kanker rongga
mulut, apabila suhu flap menurun, menunjukkan warna hijau keunguaan dan
semakin memburuk, segera laporkan ke dokter.
3) Apabila pasien kanker rongga mulut setelah operasi tidak dapat berbicara, tidak
dapat mengatakan gejala tidak enak yang dirasakan, perlu secara teliti mengamati
ada tidaknya gejala dysphoria (cemas, gelisah, tidak tenang), nasal inflamasi dan
gejala penyumbatan saluran pernafasan lainnya pada kanker rongga mulut dan
segera melaporkan kepada dokter.

b. Penatalaksanaan Medis
1) Lesi kecil (T1, T2) terapi utama adalah pembedahan dan radioterapi.
Radioterapi mungkin dapat memberiikan hasil kuratif pada lesi T1 dan T2 dengan
preservasi struktur anatomi dan fungsi yang normal. Namun radioterapi sering
menimbulkan kompllikasi berupa edema lidah yang memerlukan trakeostomi,
xerostomia, disgeusia dan osteoradionekrosis, hal ini mengakibatkan tindakan
kurang diminati (Suyatno, 2010).
2) Terapi pembedahan pada kanker lidah adalah eksisi luas dengan batas sayatan
bebas tumor (konfirmasi potong beku).
Tindakan ini memerlukan partial glosectomy dan umumnya pasca operasi fungsi
baik. Lokal kontrol untuk 5 tahun pada T1 adalah 85% dan T2 adalah 80%. Pada
T3 dan T4 terapi utama adalah pembedahan. Hasil kuratif hanya bisa dicapai
dengan reseksi en bloc yang komplet daris emua tumor dan jaringan sekitar dengan
sayatan secara mikroskopis bebas tumor. RND (Radical Neck Dissection) harus
dilakukan pada klinis N positif, RND adalah pengangkatan kelenjar getah bening
leher level I sampai V, musculus sternokleidomastoid, vena jugularis interna, dan
nervus assesoris (en bloc). Batas diseksi, superior adalah musculus trapezius,
anterior adalah tepi lateral musculus sternohiod dan batas bagian dalam adalah
fasia servikal yang menutupi musculus levator scapulae dan scalenus. SND
(selective neck dissection) level 1-3 dilakukan pada N0 SND harus dilakukan oleh
tingginya insiden occult metastasis kelenjar getah bening leher.

41
SND adalah pengangkatan kelenjar getah bening pada level tertentu yang
mempunyai risiko tinggi metastasis dengan mempertahankan nervus assesorius,
vena jugularis interna dan musculus sternokleidomastoid. Pembedahan
memberikan kuratifitas yang lebih baik dibandigkan radioterapi dan
memungkinkan untuk evaluasi patologi dari faktor prognositik. Terkadang
dibutuhkan rekonstruksi langsung (myocutaneous flap atau vacular free flap) untuk
mempertahankan fungsi dan kosmetik (Suyatno, 2010).

2.1.7 Komplikasi
1. Komplikasi akut yang mungkin terjadi :
a. Muskositis oral
Merupakan inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema dan adanya ulser.
b. Kandidiasis oral
Disebabkan oleh jamur candida albicansdan ditemukan pada pasien yang menerima
radioterapi.
c. Dysgeusia
Merupakan respon awal hilangnya rasa pengecapan, dimana salah satunya dapat
disebabkan oleh terapi radiasi.
d. Xerostomia atau mulut kering
Ditemukan pada pasien yang menerima radioterapi tergantung pada dosis yang
diterima kelenjar salifa dan volume jaringan kelenjar yang menerima radiasi.
2. Komplikasi kronis yang dapat terjadi :
a. Karies gigi atau radiasi
Disebabkan oleh paparan radiasi dimana mempunyai onset dan progresi yang cepat
sampai mengalami kerusakan yang lengkap pada semua gigi.
b. Osteordionekrosis atau ORN
Merupakan nekroseiskemik tulang yang disebabkan oleh radiasi yang menyebabkan
rasa sakit karna kehilangan banyak struktur tulang.
c. Necrose pada jaringan lunak
Merupakan ulser yang terdapat pada jaringan yang teradiasi, tanpa adanya proses keganasan.
Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini berhubungan dengan dosis, waktu, dan volume
kelenjar yang teratasi

42
I. Carcinoma Paru

J. Carcinoma Gaster
pengertian kanker lambung
Kanker lambung atau kanker perut atau disebut juga kanker gaster adalah kanker yang
terjadi ketika sel-sel abnormal (kanker) tumbuh pada lapisan lambung. Sebagian besar kanker
lambung merupakan jenis adenokarsinoma (sel kanker yang mengeluarkan lendir serta cairan
lainnya). Jenis kanker lambung lainnya adalah tumor karsinoid gastrointestinal, tumor stroma
gastrointestinal, dan limfoma. Infeksi bakteri H. pylori adalah penyebab utama kanker
lambung. Faktor risiko lain untuk kanker lambung antara lain gastritis kronis, usia tua, jenis
kelamin laki-laki, banyak mengonsumsi makanan asin, diasapi, atau makanan yang
diawetkan dan jarang mengonsumsi buah dan sayuran, merokok, anemia pernisiosa,
mempunyai riwayat operasi perut, serta mempunyai riwayat keluarga yang pernah menderita
kanker lambung (National Cancer Institute, 2006).
Perkembangan kanker lambung cenderung lambat, sebelum sel kanker berkembang,
perubahan pra-kanker sering terjadi pada lapisan dalam (mukosa) lambung. Perubahan awal
ini jarang menimbulkan gejala sehingga sering tidak terdeteksi (American Cancer Society,
2017).
Kanker lambung paling sering ditemukan pada stadium lanjut, kecuali di Asia Timur yang
sudah melakukan deteksi menggunakan program screening. Deteksi dini kanker lambung
sangat diperlukan untuk mengurangi jumlah penderita kanker lambung. Oleh karena itu di era
sekarang ini sangat diperlukan peogram screening dan perawatan multimodalitas
menggunakan kemoterapi, radioterapi yang canggih (Tsunehiro Takahashi, 2013).
2.3 Faktor risiko kanker lambung
Seperti kanker pada umumnya, belum diketahui secara pasti apa penyebab utama
munculnya sel abnormal yang lantas berkembang menjadi kanker pada dinding lambung.
Namun, infeksi bakteri penyebab luka dinding lambung yaitu H.pylori diketahui dapat
memicu timbulnya kanker melalui berbagai proses peradangan seperti gastritis. Kondisi
kesehatan seperti mengalami penyakit anemia pernisiosa dan memiliki polip pada dinding
lambung juga meningkatkan risiko terjadinya kanker lambung. Hal lainnya yang juga
meningkatkan risiko kanker lambung sebagai berikut (Czyzewska, 2013):
a. usia
Jumlah penderita kanker lambung meningkat secara progresif seiring
bertambahnya usia. Dari kasus yang didiagnosis antara tahun 2005 dan 2009 di

43
Amerika Serikat, sekitar 1% kasus terjadi antara usia 20 dan 34 tahun, sedangkan
29% terjadi antara 75 dan 84 tahun (25). Selama periode ini, usia rata-rata saat
diagnosis kanker lambung adalah 70 tahun.
b. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko terkena kanker lambung lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Sekitar 1,8 sampai dengan 2 kali lebih tinggi laki-laki terkena kanker
lambung dibandingkan dengan perempuan. Secara umum persentase menunjukkan
68% kasus lambung terjadi pada laki-laki dan hanya 32% terjadi pada perempuan.

c. Obesitas
Hasil penelitian menunjukkan 2,3 kali lipat peningkatan risiko tertular kanker
lambung di kardiomi pada orang yang terkena obesitas. Telah ditunjukkan bahwa
obesitas pada pria adalah faktor risiko perkembangan kanker lambung sekaligus
perkembangan kanker colorectal, kanker hati dan kantong empedu. Pada
gilirannya, obesitas pada wanita dikaitkan dengan peningkatan risiko
pengembangan tumor hati, pankreas dan payudara.
d. Diet
Asupan makanan yang mengandung garam, asap ataupun yang diasinkan,
misalnya daging panggang atau ikan asap diketahui meningkatkan faktor risiko
terjadinya kanker lambung. Sedangkan makanan yang diawetkan, makanan yang
kaya akan daging merah, serta kekurangan vitamin dan antioksidan diketahui
mengurangi kemungkinan terjadinya kanker. Garam dan konsumsi makanan asin
menyebabkan kenaikan risiko terjadinya kanker lambung 50% sampai dengan
100%. Hal ini terjadi karena natrium klorida merusak selaput lendir perut yang
menyebabkan infeksi dan akibatnya memudahkan kolonisasi dan pertumbuhan
helicobacter pylori. Mengurangi jumlah sayuran dan buah yang dikonsumsi dalam
setiap hari juga dapat meningkatkan risiko terkena kanker lambung sekitar 30%.
sampai dengan 50%. Hal ini terkait dengan efek antioksi dan zat yang
terkandung dalam sayuran seperti asam askorbat (vitamin C), karotenoid dan ta-
copherol. Mengurangi jumlah produk yang diawetkan secara kimiawi dalam
makanan yang tertelan juga berkontribusi untuk mengurangi risiko terjadinya
kanker lambung. Antioksidan seperti vitamin C dan E, beta-karoten, atau zat
mikro seperti selenium,
seng atau magnesium memiliki pelindung efek.
44
e. Penggunaan alcohol dan rokok
Penggunaan alkohol dan rokok diperkirakan meningkatkan risiko terkena kanker
lambung, penderita kanker lambung di Indonesia naik sekitar lima kali lipat
karena mengonsumsi rokok, hal ini disebabkan oleh efek karsinogenik yang
terkandung di dalam rokok. Karsinogen adalah zat yang mampu membentuk
ikatan kovalen dengan DNA, yang mengubah fungsi DNA yang benar dan dapat
menyebabkan perkembangan kanker lambung. Demikian pula seseorang yang
mengonsumsi alkohol memiliki risiko tinggi terkena kanker lambung dan tumor
pada saluran pencernaan lainnya (kanker mulut, tenggorokan, laring dan
kerongkongan). Etanol bukan merupakan zat yang mengandung karsinogen,
namun zat nitrosamin terdapat pada minuman beralkohol, terutama di vodka, zat
tersebut dapat meningkatkan risiko terkena kanker lambung.
f. Mengkonsumsi obat – obatan

Aspirin adalah salah satu obat yang meningkatkan risiko terkena kanker
lambung. Seseorang yang secara teratur mengonsumsi aspirin berisiko terjangkit
kanker lambung meningkat hingga 30%. Aspirin meningkatkan permeabilitas
membran bakteri luar yang menyebabkan faktor risiko terkena kanker lambung
meningkat.

g. Infeksi helicobacter pylori ( H. pylori)


Infeksi kronis bakteri helicobacter pylori (bakteri yang menyebabkan ulkus
peptikum atau tukak lambung) dapat meningkatkan faktor risiko terkena kanker
lambung. Telah dipastikan bahwa pasien dengan infeksi H. pylori berisiko terkena
kanker lambung meningkat tujuh kali lipat dibandingkan dengan seseorang yang
tidak terinfeksi bakteri tersebut. Infeksi H. pylori berhubungan dengan gen CagA+
dan VacA yang berkontribusi terhadap munculnya risiko terjadinya
karsinogenesis. Selain itu, helicobacter pylori menghasilkan urease yang
memecah urea menjadi amonia dan karbon dioksida. Amonia menetralisir asam
klorida yang terkandung dalam cairan perut yang menyebabkannya meningkatnya
kadar pH sehingga memudahkan bakteri bertahan dan reproduksi. Peradangan
kronis yang disebabkan oleh infeksi helicobacter pylori dapat mengakibatkan
kerusakan pada DNA sel dengan mengganggu proses oksida sekaligus
meningkatkan tingkat bentuk reaktif oksigen.

45
h. Infeksi virus Epstein bar
Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus herpes gamma, yang menyebabkan
limfonitis oportubistik. Prosentase seseorang yang terkena kanker lambung yang
disebabkan oleh EBV berbeda-beda disetiap negara, berkisar antara 1,3% sampai
dengan 20,1%, rata-rata sekitar 10%.
i. Status social ekonomi
Diseluruh dunia pada tahun 2002, tercatat sekitar 2/3 kasus kanker lambung
berkembang di negara-negara yang kurang berkembang. Negara-negara di Afrika
memiliki risiko tinggi terkena kanker lambung. Hal ini disebabkan karena
diagnosis dan status perawatan medis yang tidak mencukupi di negara tersebut.
Faktor status sosial lain juga tergantung dari jenis pekerjaannya, misalnya
pekerjaan sebagai penjual daging, petani atau nelayan memiliki risiko terkena
kanker lambung karena terpapar zat herbisida atau zat nitrat selama bekerja yang
dapat meningkatkan risiko terkena kanker lambung.
j. Migrasi
Penelitian mengenai penurunan jumlah penderita kanker lambung diketahui
karena migrasi dari suatu daerah yang memiliki risiko tinggi terkena kanker
lambung ke daerah yang memiliki risiko rendah terkena kanker lambung.
Penelitian yang dilakukan terhadap imigran Amerika Serikat dari negara-negara
dengan risiko tinggi terkena kanker lambung seperti Jepang atau Polandia telah
menunjukkan bahwa jumlah generasi warga Jepang atau Polandia yang terkena
kanker lambung semakin menurun.
k. Penyakit ulkus peptic
Seseorang yang terkena kanker lambung sering disebabkan karena mempunyai
penyakit ulkus peptik yang terdapat di perut atau duodenum.
l. Riwayat keluarga penderita lambung

Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga terkena kanker lambung juga


memiliki risiko terkena kanker lambung. Faktor ini telah dipelajari dibanyak
daerah seperti Asia Timur, Amerika Utara, Eropa Utara dan negara-negara di
wilayah Mediterania. Sekitar 10% sampai dengan 15% seseorang terkena kanker
lambung memiliki riwayat keluarga yang terkena kanker lambung.
2.4 Gejala Kanker lambung

46
Sebagian besar penderita kanker lambung memilik gejala-gejala sebagai berikut
(American Cancer Society, 2017):
a. Nafsu makan menurun
b. Penurunan berat badan
c. Cepat Kenyang saat makan
d. Mulas atau gangguan pencernaan
e. Mual
f. Muntah
Kanker lambung pada stadium awal atau belum parah hanya mengalami muntah
tanpa darah, namun apabila kanker lambung yang sudah pada tahap yang lebih
parah, umumnya mengalami muntah darah
g. Pembengkakan pada perut karena penumpukan cairan
h. anemia
Gejala kanker lambung pada tahap awal biasanya sulit dikenali karena gejalanya
hampir sama dengan masalah lambung lainnya, misalnya tukak lambung. Karena
itu diperlukan pemeriksaan dokter untuk memastikan diagnosis. Apabila
seseorang merasakan gejala-gejala tersebut, seharusnya segera memeriksakan diri
ke dokter agar dapat ditangani sedini mungkin.
2.5 deteksi dini kanker lambung
Menurut National Cancer Institute (2006), deteksi dini kanker lambung dapat
dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. Pemeriksaan fisik dan riwayat
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk memeriksa tanda-tanda umum kesehatan,
termasuk memeriksa tanda-tanda yang tidak biasa seperti benjolan atau hal
lain. Selain itu pemeriksaan riwayat penyakit seseorang juga diperlukan untuk
mendeteksi adanya penyakit kanker lambung.
b. Tes darah
Tes darah merupakan prosedur dimana sampel darah diambil untuk mengukur
jumlah zat tertentu yang dilepaskan ke dalam darah oleh organ dan jaringan di
tubuh. Jumlah zat yang tidak biasa (lebih tinggi atau lebih rendah dari
normal) bias menjadi tanda-tanda seseorang mengidap penyakit tertentu.
c. Complete blood count (CBC)
Prosedur di mana sampel darah ditarik dan diperiksa sebagai berikut:
a) Jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.
47
b) Jumlah hemoglobin (protein yang membawa oksigen) di dalam sel darah.
c) Bagian sampel terdiri dari sel darah merah.
d. Upper endoscopy
Upper Endoscopy merupakan proses untuk melihat bagian kerongkongan,
perut, dan duodenum untuk memeriksa area abnormal. Endoskopi (tabung
tipis dan ringan) dilewatkan melalui mulut ke tenggorokan kemudian ke
kerongkongan.
Gambar 2.2 merupakan proses deteksi dini kanker lambung menggunakan
proses upper endoscopy.

Gambar 2. 2 Proses Upper Endoscopy


e. Barium Swallow
Barium Swallow merupakan proses dimana pasien minum cairan yang
mengandung barium (senyawa logam putih perak) dan mengalir melalui
kerongkongan dan masuk ke dalam perut. Kemudian hasil serangkaian sinar-
X pada lapisan cairan kerongkongan dan perut diambil untuk mencari daerah
abnormal.
Gambar 2.3 merupakan proses deteksi dini kanker lambung menggunakan
proses barrium swallow.

48
Gambar 2. 3 Proses Barium Swallow
f. CT-Scan
CT-Scan adalah sinar-X yang menghasilkan gambar penampang rinci tubuh.
Jika pada tes sinar-X, gambar yang diambil hanya dari satu arah. Pada CT-
Scan, terdapat banyak gambar yang dapat diambil dari berbagai arah. Lalu
gambargambar irisan bagian tubuh ini akan digabungkan untuk dipelajari
kembali oleh dokter.
g. Biopsy
Biopsy adalah proses pengangkatan sel atau jaringan sehingga bisa dilihat
dengan menggunakan mikroskop untuk memeriksa tanda-tanda kanker.
Biopsy perut biasanya dilakukan selama proses endoscopy.

2.7 Klasifikasi
Menurut National Cancer Institute (2006), klasifikasi stadium kanker lambung
adalah sebagai berikut:
1) Stadium 0
Sel kanker hanya terdapat pada lapisan sel dinding lambung. Gejala-gejala pada
kanker lambung stadium 0 sulit dikenali, sehingga apabila sudah diketahui lebih
awal bahwa seseorang sudah terkena kanker lambung maka dapat melakukan
penanggulangan lebih awal juga. Sehingga penyebaran sel sel kanker pun dapat
dicegah untuk tidak mengganggu organ lainnya.
2) Stadium I

49
Apabila kanker pada stadium 0 tidak ditemukan penanggulangan secara
tepat, maka sel kanker akan terus berkembang. Perkembangan sel kanker ini
menyebabkan stadium 0 akan meningkat menjadi stadium I. Stadium I dibagi
menjadi dua bagian. Bagian yang pertama menunjukkan penyebaran sel kanker
masih di organ lambung, sedangkan bagian kedua telah menjangkiti kelenjar di
sekitar organ.
3) Stadium II
Pada peningkatan stadium I ke stadium II, pertumbuhan sel kanker sudah mulai
tidak dapat ditanggulangi. Kanker biasanya telah menyebar ke seluruh dinding
lambung dan seluruh kelenjar di sekitarnya.

4) Stadium III
Stadium III merupakan salah satu jenis stadium yang paling
mengkhawatirkan. Sel kanker pada stadium III ini menyebar ke seluruh bagian
mulai dari organ, kelenjar, bahkan otot telah merasakan akibat dari penyebaran
kanker tersebut, Biasanya penyebaran sel kanker pada tahap ini pun kemudian
menjadi sangat agresif dan penuh efek membahayakan.
5) Stadium IV
Pada tahapan kanker ini, biasanya penderita telah mulai tidak bisa melakukan
banyak hal. Aktivitas telah sangat terbatas dan proses pengobatan juga sudah
semakin sulit dilakukan. Beberapa operasi mungkin juga dilakukan dengan
resiko
tinggi seperti kegagalan dan meninggal.
2.8 Penatalaksanaan Kanker Prostat
Beberapa panduan penatalaksanaan kanker prostat yang umum digunakan adalah

K. Spaced Occupied Lession

L. Carcinoma Ginjal

50

Anda mungkin juga menyukai