Anda di halaman 1dari 52

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini, Indonesia masih menghadapi permasalahan penyakit hewan yang secara
alami dapat menular ke manusia atau sebaliknya yang disebut zoonosis yang dalam kondisi
tertentu berpotensi menjadi wabah atau pandemi yang perlu dikendalikan. ancaman zoonosis di
Indonesia dan dunia cenderung terus meningkat dan berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi,
keamanan, serta kesejahteraan rakyat. Untuk percepatan pengendalian zoonosis diperlukan
langkah-langkah komprehensif dan terpadu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia
usaha, organisasi profesi, lembaga non pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga internasional
serta seluruh lapisan masyarakat serta pihak- pihak terkait lainnya. Dalam rangka mengantisipasi
dan menanggulangi situasi kedaruratan akibat wabah zoonosis, perlu diambil langkah-langkah
operasional dari berbagai sektor yang cepat dalam satu sistem komando pengendalian nasional
yang terintegrasi (PP-RI No.30 tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis)
Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk zoonosis. Dengan
demikian, zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia. Berkembangnya zoonosis
dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan
bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300
penyakit hewan yang dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada
manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat zoonotik, dan
dari 1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61,6% bersumber dari hewan.
Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak
langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau
mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika
seseorang berada pada lingkungan yang tercemar. Penyakit yang diderita ternak selama
pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak tersebut.
Berbagai penyakit ternak saat ini sedang berjangkit di beberapa daerah di Indonesia.
Berdasarkan hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang berasal dari
satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah, seperti tikus
yang dapat menularkan leptospirosis, dan zoonosis dari hewan yang dipelihara manusia. Wabah

1
zoonosis banyak menelan korban jiwa, seperti di Malaysia. Lebih dari 80 orang meninggal dunia
diduga akibat penyakit yang berasal dari babi, yang ditandai dengan peradangan otak
(ensefalitis) yang ditularkan oleh nyamuk. WHO juga mencatat terdapat 310 kasus avian
influenza (AI) atau flu burung dengan 189 kematian pada manusia. Wabah flu babi juga telah
melanda Amerika Serikat dan Meksiko dengan korban meninggal di Meksiko 68 orang, 20 orang
positif flu babi, dan 1.004 orang dinyatakan terinfeksi. Dalam rangka mengantisipasi
merebaknya penyakit yang ditularkan hewan ke manusia, diperlukan pemahaman yang
menyeluruh tentang penyakit-penyakit zoonosis strategis.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan Zoonosis?
1.2.2 Apa sajakah macam-macam dari Zoonosis?
1.2.3 Bagaimana epidemiologi dari penyakit TBC ?
1.2.4 Bagaimana epidemiologi dari penyakit Flu Burung?
1.2.5 Bagaimana epidemiologi dari penyakit Rabies ?
1.2.6 Bagaimana epidemiologi dari penyakit Toxoplasmiosis?
1.2.7 Bagaimana epidemiologi dari penyakit Kurap ?
1.2.8 Bagaimana strategi pengendalian Zoonosis?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari penyakit Zoonosis
1.3.2 Untuk mengetahui macam-macam dari penyakit Zoonosis
1.3.3 Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit TBC
1.3.4 Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit Flu Burung
1.3.5 Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit Rabies
1.3.6 Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit Toxoplasmiosis
1.3.7 Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit Kurap
1.3.8 Untuk mengetahui strategi pengendalian Zoonosis

2
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Definisi Zoonosis


Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan
vertebrata dan manusia. Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk
zoonosis. Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak
langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau
mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika
seseorang berada pada lingkungan yang tercemar.

2.2 Penggolongan Zoonosis


Zoonosis mencakup berbagai penyakit menular yang secara biologis berbeda satu dengan
lainnya. Banyaknya penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis dikarenakan adanya
perbedaan yang kompleks di antara penyakit tersebut. Penyakit zoonosis dapat dibedakan antara
lain berdasarkan penularannya, reservoir utamanya, asal hewan penyebarnya, dan agens
penyebabnya. Berdasarkan agens penyebabnya, zoonosis dibedakan atas zoonosis yang
disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau yang disebabkan oleh jamur.

2.3 Tuberkulosis (TBC)


Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
berbentuk batang dengan panjang 1−4 m. Spesies yang dapat menimbulkan infeksi pada
manusia adalah M. bovis dan M. kansasi. Gejala yang ditimbulkan berupa gangguan pernapasan,
batuk berdarah, badan menjadi kurus dan lemah. Bakteri ini berpindah dari saluran pernapasan
melalui percikan dahak, bersin, tertawa atau berbicara, kontak langsung, atau dari bahan pangan
dan air minum yang tercemar.
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis). Sebagian besar TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya. . Penyakit TBC dapat menyerang padasiapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda,
kaya dan miskin serta dimana saja. Apabila sesorang sudah terpapar dengan bakteri penyebab
tuberkulosis akan berakibat bururk seperti menurunkan daya kerja atau produktivitas kerja dan

3
dapat menyebabkan kematian.Mycobacterium Tuberculosis adalah Bakteri patogen yang dapat
menyebabkan penyakit Tuberculosis.
Klasifikasi Ilmiah dari Mycobacterium Tuberculosis diantaranya :

Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Sub ordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : Mycobacterium Tuberculosis

Gambar 1. Mycobacterium Tuberculosis

Mycobacterium Tuberculosis dapat diklasifikasikan sebagai bakteri parasit fakultatif


intraseluler yang ditransfer melalui udara. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus
dan ada juga yang agak bengkok, mempunyai panjang sekitar 1 sampai 4 µ dan lebar 0,2 sampai
0,8 µ. Mycobacterium tidak selalu ditemukan dalam bentuk berkelompok tetapi juga dapat
ditemukan dalam bentuk sendiri.

4
Sifat-sifat biakan dari Mycobacterium Tuberculosis terdiri dari :
1. Mycobacterium Tuberculosis termasuk bakteri yang bersifat aerob, dimana dalam proses
metabolismenya membutuhkan ketersediaan oksigen.
2. Pertumbuhan dari Mycobacterium Tuberculosis relatif lambat, yaitu waktu generasinya
sekitar 2 sampai 6 minggu, sedangkan kemunculan dalam bentuk koloni pada pembiakannya
sekitar 2 sampai 6 minggu.
3. Pertumbuhan dari Mycobacterium Tuberculosis terjadi pada suhu optimal yaitu pada suhu
37˚C dan Ph optimum sekitar 6,4 sampai 7.
4. Mycobacterium Tuberculosis mampu tumbuh subur dalam biakan atau eugonik.
Perbenihannya dapat dilengkapi dengan penambahan telur, gliserol, kentang, daging atau
asparagin.
5. Berkembang biak dengan cara membelah diri setiap 16 sampai 20 jam.
6. Mycobacterium Tuberculosis bersifat parasit terhadap inangnya.

2.3.1 Distribusi Penyakit

Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis


menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya
selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980 an jumlah kasus yang dilaporkan
mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi
yang prevalensi HIV-nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh penduduk yang datang
dari daerah prevalensi TB tinggi

2.3.2 Cara Penularan


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan dahak, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman.

5
d. Percikan dapat bertahan selama beberapajam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
e. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dariaprunya. Makin tinggu derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak makin menular pasien tersebut
f. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.3.3 Gejala klinis pasien TB

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

2.3.4 Diagnosis TB
a. Amnesia baik terhadap pasien maupun keluarganya.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak)
d. Pemeriksaan patologi anatomi.
e. Rontgen dada.
f. Uji tuberkulin

2.3.5 Patogenesis Mycobacterium Tuberculosis


a. Infeksi terjadi biasanya melalaui debu/titik cairan (droplet) yang mengandung
kuman Tuberkolosis dan masuk kejalan nafas.
b. Penyakit timbul setelah kuman menetap dan berkembang biak dalam
paru-paru/kelenjar getah bening regional. Tuberkulosis dimulai ketika nuklei
droplet mencapai alveoli. Ketika seseorang menghirup udara yang mengandung
tetesan sebagian besar menjadi tetesan yang lebih besar bersarang di saluran
pernapasan bagian atas (hidung dan tenggorokan), disana infeksi tidak mungkin

6
untuk berkembang. Namun, inti droplet yang lebih kecil mungkin mencapai
kantung udara kecil paru-paru (alveoli), di mana infeksi dimulai.
1) Perkembangan penyakit tergantung pada:
a) Dosis kuman yang masuk
b) Daya tahan dan sensitivitas hospes
2) Kelainan patologi yang terjadi:
a. Tipe Aksudatif
Terdiri dari inflamasi yang akut dengan edema, sel-sel leukosit
polimorfonuklear dan menyusul kemudian sel-sel monosityang mengelilingi
basil tuberkolosis. Kelainan terlihat pada jaringan paru, mirip pneumonia
bakteri. Penyembuhan dapat secara sempurna. Dalam masa ini tuberkulin
adalah + (positif).
b. Tipe Produktif
Apabila sudah matang prosesnya lesi (luka) berbentuk granuloma yang
kronik, terdiri 3 zona:
1. Zona sentral
2. Sel raksasa, berinti banyak dan mengandung kuman tuberkulosis
3. Zona tengah
4. Terdiri dari sel-sel epiteloidyang tersusun radial
5. Zona luar
6. Terdiri dari fibroblas,limfosit dan monosit.

2.3.6 Pengobatan

Pengobatan Primer untuk infeksi mycobacterium adalah kemoterapi spesifik. Dua


obat utama untuk mengobati tuberolosis adalah isomiazid dan rifampin. Obat lini pertama
yaitu pirazinamid, etambutol dan sreptomisin. Obat lini kedua lebih toksik atau kurang
dan obat lini kedua ini harus digunakan hanya pada keadaan tertentu yang parah
(misalnya: gagal pengobatan, obat multiple). Obat lini kedua meliputi kanamisin,
kapreomisin, etionamid, dll. Resistansi obat pada M.tubercolosis adalah masalah yang
sudah tersebar luas. Dan adanya kemungkinan terdapat resistansi obat ini pada pasien
isologi M.Tubercolosis harus dijadikan pertimbangan dalam memilih pengobatan.

7
2.3.7 Pencegahan dan Pengendalian
Program-program kesehatan masyarakat sengaja dirancang untuk deteksi dini dan
pengobatan kasus dan sumber infeksi secara dini. Tujuan mendeteksi dini seseorang
dengan infeksi tuberkulosis adalah untuk mengidentifikasikan siapa saja yang akan
memperoleh keuntungan dari terapi pencegahan untuk menghentikan perkembangan
tuberkulosis yang aktif secara klinis. Pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan
yaitu sebagai berikut.

1. Pengobatan pasien tuberkulosis aktif dengan segera dan efektif serta tindak lanjut
terhadap kontak mereka melalui uji tuberculin, foto rontgen sinar X, dan pengobatan
yang sesuai secara saksama adalah tujuan utama pengendalian tuberkulosis kesehatan
masyarakat.
2. Pengobatan obat pada orang asimtomatik yang uji tuberkulinnya positif pada kelompok
umur yang paling rentan terhadap timbulnya komplikasi (misalnya, anak-anak) dan
pada orang yang uji tuberkulinnya positif yang harus menerima obat-obatan
imunosupresif sangat mengurangi reaktivasi infeksi.
3. Resistansi seorang pejamu: faktor-faktor nonspesifik dapat mengurangi resistansi
pejamu sehingga membantu konversi inverse asimtomatik menjadi sebuah penyakit.
Faktor-faktor tersebut meliputi kelaparan, gastrektomi, dan supresi imunitas selular
dengan obat (misalnya kortikosteroid) atau infeksi.
4. Imunisasi: Berbagai macam basil tuberkel avirulen, terutama BCG (bacillus Calmette-
Guerin, organisme attenuated bovine), telah digunakan untuk menginduksi sejumlah
tertentu resistansi pada orang yang sangat terpajan dengan infeksi.
5. Eradikasi tuberkulosis meliputi penggabungan kemoterapi yang efektif, identifikasi
kontak dan kasus serta tindak lanjut yang tepat, penanganan orang yang terpajan pada
pasien dengan tuberkulosis infeksius, dan terapi kemoprofilaktik pada kelompok-
kelompok populasi yang berisiko tinggi.

8
2.4 Flu Burung
Flu burung (AI) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus AI jenis H5N1.
Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi. Virus
menular melalui cairan/lendir yang berasal dari hidung, mulut, mata (konjuntiva), dan kotoran
(feses) dari unggas yang sakit ke lingkungan; kontak langsung dengan ternak sakit; melalui
aerosol (udara) berupa percikan cairan/lendir dan muntahan cairan/lendir, air, dan peralatan yang
terkontaminasi virus AI. Virus tahan hidup dalam air selama 4 hari pada suhu 22°C dan 30 hari
pada 0°C. Virus mati dengan desinfektan amonium kuatener, formalin 2,5%, iodoform kompleks
(iodin), senyawa fenol, dan natrium/kalium hipoklorit. Pada kandang ayam, virus AI tahan
hingga 2 minggu setelah pemusnahan ayam. Virus berada pada feses yang basah dan bertahan
selama 32 hari. Gejala klinis flu burung pada unggas yaitu jengger, pial, dan kulit perut yang
tidak ditumbuhi bulu berwarna biru ke unguan (sianosis), borok pada kaki, kadang-kadang
terdapat cairan dari mata dan hidung, pembengkakan pada muka dan kepala, pendarahan di
bawah kulit (subkutan), pendarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki,
batuk, bersin, ngorok, diare, dan akhirnya menyebabkan kematian. Gejala klinis pada manusia
ditandai dengan demam suhu 38°C, batuk, nyeri tenggorokan, radang saluran pernapasan atas,
pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Masa inkubasi pada unggas berlangsung 1 minggu,
sedangkan pada manusia 1sampai 3 hari setelah timbul gejala sampai 21 hari.
Flu burung merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus influenza yang
menular pada hewan (zoonosis) yang dalam perkembangannya mengalami perubahan pada
struktur genetis sehingga dapat menular pada manusia. Selain itu flu burung adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus influenza yang menyerang burung/unggas/ayam. Salah satu tipe yang
perlu diwaspadai adalah yang disebabkam oleh virus influenza dengan kode genetik H5N1(H=
Haemagglutinin, N= Neuramidase) yang selain dapat menular dari burung ke burung, dan juga
menular dari burung ke manusia.
Menurut Departemen Kesehatan R.I flu burung adalah penyakit menular dikalangan
hewan(unggas dan babi) yang disebabkan oleh virus influenza tipe A (H5N1).Virus ini juga
dapat menyerang manusia.

9
2.4.1 Penyebab
Virus influensa adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang,
merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan tersegmentasi sampai
mencapai delapan lipatan dan berpolaritas negatif. Virus influensa merupakan nama
generik dalam keluarga Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C
berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya.
Penyebab flu burung adalah virus influensa tipe A. Virus ini dapat berubah bentuk
(Drift, Shift) dan dapat menyebabkan epidemic dan pandemic. Virus ini terdiri dari
Hemaglutinin (H) dan Neuramidse (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi
kode subtype flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia terdapat jenis H1N1,
H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada binatang H1-H5 dan N1-N9.
Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtype
A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22° C dan
lebih dari 30 hari pada 0° C. Virus akan mati pada pemanasan 60° C selama 30 menit
atau 56° C selama 3 jam dan dengan detergent, desinfektan misalnya formalin, serta
cairan yang mengandung iodine (Iwandarmansjah, 2007).

2.4.2 Pejamu Alami


Burung- burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam ordo Anseriformis
(bebek dan angsa) dan Charadiformis (burung camar dan burung-burung pantai), adalah
pembawa (carrier) seluruh varietas subtipe dari virus influensa A dan sebagai reservoir
alami untuk semua jenis virus influensa (Webster 1992, Fouchier 2003, Krauss 2004,
Widjaja 2004). Semua spesies burung rentan terinfeksi, beberapa unggas domestik
(ayam, kalkun, balam, puyuh dan merak) rentan terhadap infeksi virus influensa.
Virus influensa tipe A unggas tidak menimbulkan penyakit pada pejamu alami
mereka. Sebaliknya, virus tersebut tetap dalam suatu keadaan statis yang evolusioner.
Apabila virus tersebut menular ke spesies unggas yang rentan, dapat timbul gejala- gejala
sakit dan bersifat ringan, pada umumnya hanya mengakibatkan terjadinya penurunan
produksi telur yang bersifat ringan (unggas petelur) atau menurunkan penambahan berat
badan (unggas pedaging). Tetapi strain – strain dari subtipe H5 dan H7 berpotensi untuk
mengalami mutasi menjadi bentuk yang sangat patogen setelah mengalami perpindahan

10
dan adaptasi terhadap pejamu yang baru, sebenrnya bentuk yang patogen merupakan
hasil perbuatan manusia yang mempengaruhi keseimbangan sistem alami.

2.4.3 Kelompok Resiko Tinggi


Kelompok yang perlu diwaspadai dan beresiko tinggi terinfeksi flu burung
adalah :
a. Kontak erat (dalam jarak 1 meter) seperti merawat, berbicara atau bersentuhan
dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang sudah konfirm.
b. Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong,
mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam,unggas liar, bangkai unggas
atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah di
mana infeksi dengan H5N1 pada hewan atau manusia telah dicurigai atau
dikonfirmasi dalam bulan terakhir.
c. Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna
di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang
terinfeksi H5N1 dalam satu bulan terakhir.
d. Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar), misalnya
kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1.
e. Memegang / menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboraturium atau tempat lainnya.

2.4.4 Gejala
Gejala penyakit flu burung dapat dibedakan menjadi dua yaitu gejala pada unggas
dan gejala pada manusia.
a. Gejala pada unggas :
1) Pembengkakan pada kepala
2) Ada cairan yang keluar dari hidung dan mata
3) Diare
4) Batuk,bersin, dan ngorok
5) Pendarahan dibawah kulit (subkutan)
6) Pendarahan titik (ptechie) pada ayam

11
7) Jengger dan kulit yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan
8) Borok di kaki
9) Kematian mendadak
b. Gejala pada manusia :
1) Demam (suhu badan diatas 38° C)
2) Batuk, sesak nafas dan mengeluarkan lendir bening dari hidung
3) Sakit tenggorokan
4) Hilang nafsu makan
5) Diare dan muntah-muntah
6) Peradangan di paru-paru (pneumonia)
7) Kematian dengan cepat jika tidak segera diatasi.

2.4.5 Masa Inkubasi


Masa inkubasi pada flu burung dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Masa inkubasi pada unggas : 1 minggu
b. Masa inkubasi pada manusia : 1-3 hari, masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5
hari sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari.

2.4.6 Penularan
1. Penularan antara sesama unggas
- Siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai oral-fekal (mulut-tinja). Selain
itu dapat menular dengan cara langsung yakni kontak langsung dari pejamu ke
pejamu dan tidak langsung melalui air dan benda-benda lain yang tercemar.
- Resiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan terjadi apabila unggas
peliharaan dibiarkan bebas berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan
oleh burung liar atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran
burung liar pembawa virus. Unggas dapat terinfeksi jika bersentuhan langsung
dengan hewan pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang membawa virus atau
bersentuhan dengan benda-benda yang tercemar bahan mengandung virus.
2. Penularan ke manusia

12
- Resiko penularan langsung dari unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka
yang telah bersentuhan dengan unggas ternak yang sudah terinfeksi, atau dengan
permukaan benda yang tercemar kotoran unggas. Resiko terpapar diperkirakan
cukup substantif sewaktu penyembelihan, pencabutan bulu, pemotongan dan
persiapan unggas untuk dimasak yang berarti orang yang menyembelih atau
mempersiapkan unggas yang sakit untuk dimakan dapat terinfeksi, sementara
anggota keluarga yang ikut memakan daging unggas tersebut tidak mengalami
infeksi.
- WHO menganjurkan agar daging dimasak sampai matang sehingga seluruh bagian
daging mencapai suhu internal 70° C, dimana virus influensa dapat dimatikan
sehingga aman untuk dimakan meskipun daging mentahnya telah tercemar virus
H5N1 (WHO, 2005).

2.4.7 Epidemiologi
1. Unggas ternak
(a) Pada akhir tahun 2003, flu burung pada unggas yang berpatogenesis tinggi
jarang terjadi pada ternak. Sejak tahun 1959 ada 24 wabah primer di seluruh
dunia yang pernah dilaporkan. Kebanyakan terjadi di Eropa dan benua
Amerika, tidak ada satupun wabah H5N1 di Asia yang terjadi pada tahun 2004.
Wabah flu burung pada unggas yang berpatogenesis tinggi mencuat di akhir
tahun 2003. Dari pertengahan desember 2003 sampai ke awal Februari 2004,
wabah yang disebabkan oleh H5N1 HPAI garis Asia dilaporkan telah
menyerang unggas di Korea Selatan,Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja,
Republik Demokratik Rakyat Lao, Indonesia dan China. Kejadian wabah
terjadi serentak di banyak negara oleh virus influensa H5N1 yang sangat
patogen pada unggas yang sebelumnya belum pernah terjadi. H5N1 sekarang
dianggap menjadi endemik di beberapa bagian dari Indonesia (sampai akhir
Maret 2006 menjangkau 26 dari 31 provinsi) dan Vietnam, sebagian kamboja,
China, Thailand dan juga di Republik Demokratik Rakyat Lao.
(b) Saat musim panas dan awal musim gugur tahun 2005, wabah H5N1 dilaporkan
untuk pertama kalinya di wilayah yang secara geografis berdekatan dengan

13
Mongloia, Kazakhstan dan Siberia Selatan, timbul dugaan bahwa virus tersebut
telah disebarkan oleh kawanan unggas berpindah. Penyebaran wabah ini
kemudian meluas di sepanjang jalur perpindahan unggas dari Asia Dalam ke
Timur Tengah dan Afrika, mengenai Turki, Romania, Kroasia, dan
semenanjung Krimea di akhir tahun 2005.
2. Manusia
(a) Tanggal 30 Desember 2005, sebanyak 142 kasus infeksi influensa unggas pada
manusia telah dilaporkan dari berbagai wilayah. Pada saat itu penularan pada
manusia masih terbatas di Kamboja, Indonesia, Thailand, dengan episenter di
Vietnam (65,5% dari seluruh kasus), Sebanyak 72 orang (50,7%) telah
meninggal. Jumlah tersebut kini sudah bertambah lagi terutama dengan
meluasnya penyebaran dan bertambahnya kematian di Indonesia. Juga dari
beberapa negara lain (Turki, Irak) sudah ada laporan tentang kasus influensa
unggas ini pada manusia.
(b) Berikut tabel jumlah kasus dan kematian manusia akibat influensa unggas
H5N1 yang dilaporkan ke WHO sampai tanggal 24 Maret 2006.

2003 2004 2005 2006 Total


Negara Kasus Mati Kasus Mati Kasus Mati Kasus Mati Kasus Mati
Azerbaijan 0 0 0 0 0 0 7 5 7 5
Kamboja 0 0 0 0 4 4 1 1 5 5
China 0 0 0 0 8 5 8 6 16 11
Indonesia 0 0 0 0 17 11 12 11 29 22
Irak 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2
Thailand 0 0 17 12 5 2 0 0 22 14
Turki 0 0 0 0 0 0 12 4 12 4
Vietnam 3 3 29 20 61 19 0 0 93 42
Total 3 3 46 32 95 41 42 29 186 105
Tabel 1. Jumlah kasus dan kematian manusia akibat influensa unggas H5N1

14
Di Indonesia persebaran unggas dan manusia sampai dengan 26 Mei 2006
menjangkit beberapa provinsi di Indonesia, berikut peta persebarannya :
 Unggas

Gambar 2. Persebaran unggas di beberapa provinsi di Indonesia

 Manusia

Gambar 3. Persebaran unggas di beberapa provinsi di Indonesia

Sedangkan di Jawa Timur data dari Dinas Kesehatan Jawa Timur distribusi kasus
flu burung pada manusia berdasarkan waktu terlihat seperti tabel berikut :

15
Tahun Kasus Meninggal
2006 5 3
2007 2 2
2008 0 0
2009 1 1
2010 1 0
2011 0 0
Total 9 6
Tabel 2. distribusi kasus flu burung pada manusia di Jawa Timur

Gambar 4. Peta Penyebaran Flu Burung pada manusia di Jawa Timur

2.4.8 Bahaya Pandemi


Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menandai awal terjadinya pandemi:
- Sebuah virus subtipe HA, yang tidak pernah menyerang manusia minimal satu
generasi, kini muncul (atau muncul kembali)
- Menginfeski serta mengalami replikasi secara efisien dalam tubuh manusia
- Secara mudah menyebar dan bertahan dalam populasi manusia.
H5N1 hanya memenuhi dua dari tiga syarat di atas: artinya, untuk sebagian besar
umat manusia ada subtipe baru dan sudah menular serta menimbulkan penyakityang berat
dan sangat mematikan, dan sebagian besar manusia tidak ada kekebalan terhadap virus

16
sejenis H5N1. H5N1 garis Asia berhasil memperoleh sifat-sifat yang memungkinkan ia
dapat menular secara efisien dan bertahan dari manusia ke manusia. Baik sifat-sifat itu
diperoleh melalui adaptasi secara berangsur ataupun melalui reasortasi dengan virus yang
sudah beradaptasi dalam tubuh manusia.

2.4.9 Dampak Ekonomi


Wabah influensa unggas yang sangat patogen secara keseluruhan dapat
mengakibatkan kehancuran bagi industri ternak unggas, apalagi bagi peternak individual,
di wilayah yang terserang. Kerugian ekonomis biasanya hanya sebagian yang secara
langsung diakibatkan oleh kematian unggas yang terinfeksi H5N1. Berbagai upaya yang
dilakukan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut juga memerlukan biaya yang besar.
Bagi negara berkembang yang memerlukan unggas dan telur sebagai sumber utama
protein, dampak wabah ini terhadap keadaan gizi rakyatnya juga sangat besar. Sekali
wabah sudah meluas, pengendaliannya semakin sulit dilakukan dan mungkin memerlukan
waktu sampai bertahun-tahun.

2.4.10 Diagnosis Flu Burung


Diagnosis flu burung meliputi :
a. Rapid Test
Alat ini berbentuk kotak plastik kecil yang didalamnya terdapat kertas putih
dengan kode C (control) dan T (test) yang sudah ditetesi antibodi virus flu
burung yang berperanan mendeteksi antigen virus. Jika unggas terkena flu
burung, antigen virus pada unggas terikat dengan antibodi yang ada dalam
kertas, sehingga akan memunculkan dua garis vertikal pada area C dan T.
Keuntungan metode ini adalah kecepatannya karena kita langsung dapat
mengetahui hasilnya.
b. HI (Hemaglutinasi Inhibisi)
Alat ini untuk melihat antibodi terhadap Hemaglutinin (H). Uji ini lebih sensitif
dari pada rapid test dan cukup murah, meskipun membutuhkan waktu lebih lama
(sekitar 3 hari).

17
c. AGP (Agar Gel Presipitation)
Alat ini untuk melihat antibodi terhadap Neuraminidase (N).
d. VN (Virus Netralisasi)
Alat ini untuk mengetahui pembentukan antibodi.
e. Isolasi Virus
f. PCR (Polimerase Chain Reaction)
Alat ini untuk memastikan adanya virus influensa A subtipe H5N1. Metode ini
masih jarang digunakan pada hewan. Uji ini sebenarnya sensitif dan akurasinya
tinggi, tetapi mungkin karea membutuhkan biaya mahal, sehingga masih jarang
dipergunakan.
Pada manusia, selain pemeriksaan laboraturium diatas, ada pula pemeriksaan
laboraturium yang meliputi :
1) Pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan Hb, hitung jenis leukosit,
hitung total leukosit, trombosit, laju endapan darah, albumin, globulin, SGPT,
SGOT, ureum, kreatinin, serta analisa gas darah.
2) Pasien pemeriksaan mikrobiologi meliputi Rapid test, ELISA, dan pemeriksaan
antigen (HI, IF/FA).
Sedangkan dalam mendiagnosis kasus flu burung ada 4 kriteria yang ditetapkan
yaitu:
1. Kasus dalam investigasi
Seseorang yang telah diputuskan oleh dokter setempat untuk diinvestigasi terkait
kemungkinan infeksi H5N1. Kegiatan yang dilakukan berupa surveilans semua
kasus ILI dan Pneumonia di rumah sakit serta mereka yang kontak dengan pasien
flu burung di rumah sakit.
2. Kasus Suspek H5N1
Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38° C disertai satu atau lebih
gejala di bawah ini :
- Batuk
- Sakit tenggorokan
- Pilek
- Sesak napas

18
Dan disertai satu atau lebih dari pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum
mulainya gejala :
- Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, berbicara atau bersentuhan
dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang sudah konfirmasi.
- Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong,
mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai
unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam
wilayah di mana infeksi dengan H5N1 pada hewan atau manusia telah dicurigai
atau dikonfirmasi dalam bulan terakhir.
- Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau
manusia yang terinfeksi H5N1 dalam satu bulan terakhir.
- Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar),
misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1.
- Memegang/ menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.
- Ditemukan leukopeni (nilai hitung leukosit di bawah nilai normal).
- Ditemukan adanya titer antibodi terhadap H5 dengan
- Pemeriksaan uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA untuk
influenza A tanpa subtipe.
- Foto toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada serial
foto.
3. Kasus Probabel H5N1
Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini :
a. ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5, minimum 4 kali, dengan
pemeriksaan uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA.
b. hasil laboratorium terbatas untuk Influenza H5 (terdeteksinya antibodi spesifik H5
dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji netralisasi (dikirim ke
Laboratorium Rujukan).
Atau seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran napas akut
yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya yang secara epidemiologis berkaitan dengan

19
aspek waktu, tempat dan pajanan terhadap suatu kasus probabel atau suatu kasus
H5N1 yang terkonfirmasi.
4. Kasus H5N1 terkonfirmasi
Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel dan disertai
satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium
influenza nasional, regional atau Internasional yang hasil pemeriksaan H5N1-nya
diterima oleh WHO sebagai konfirmasi :
a. Isolasi virus H5N1
b. Hasil PCR H5N1 positif
c. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen
konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7 hari setelah awitan
gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80.
d. Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil
pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi
lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5
positif.

2.4.11 Pencegahan
Menurut Iwandarmansjah (2007), pencegahan flu burung dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
a. Pada unggas :
1. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung
2. Vaksinasi pada unggas yang sehat
b. Pada Manusia :
1. Kelompok berisiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang)
a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja
b. Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu
burung
c. Menggunakan alat pelindung diri, misalnya dengan : masker dan
pakaian kerja
d. Meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja

20
e. Membersihkan kotoran unggas setiap hari
2. Masyarakat umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan
istirahat cukup.
b. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :
- Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada
tubuhnya)
- Memasak daging ayam sampai dengan suhu kurang lebih 80°C
selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu kurang lebih
64°C selama 4,5menit.

2.4.12 Pengobatan
Menurut Yuliarti (2006), pengobatan bagi penderita flu burung meliputi :
a. Pasien dirawat dalam ruang isolasi selama kurang lebih 7 hari untuk menghindari
penularan lewat udara. Meskipun sampai saat ini belum ada bukti kuat bahwa flu
burung dapat menular dari manusia ke manusia, tetapi tetap harus waspada akan
penyebaran virus flu burung dan kemungkinan virus akan melakukan mutasi
maupun “perkawinan” dengan virus flu burung subtipe lain dan dapat menular antar
manusia.
b. Pemberian oksigen bila terdapat sesak nafas yang mengarah kepada gagal nafas.
c. Hidrasi dengan pemberian cairan parenteral (infus).
d. Pengobatan terhadap gejala flu seperti pemberian penurun panas dan penghilang
pusing, dekongestan, dan antitusif.
e. Pemberian obat anti virus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari.
f. Pemberian obat Amantidin diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam
waktu 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi
dalam 2 dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari

21
2.5 Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi tingkat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan
oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia.
Virus rabies ditularkan ke manusia melalu gigitan hewan misalnya oleh anjing, kucing, kera,
rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila.
Dalam perjalanan waktu rabies tidak hanya menyerang anjing dan manusia, tetapi
menyerang juga hewan lain termasuk hewan liar. Dikenal 2 macam siklus rabies, yakni rabies di
lingkungan pemukiman (urban rabies) dan rabies di alam bebas atau hutan (sylvatic rabies).
Siklus urban rabies umumnya terjadi pada anjing geladak yang dibiarkan bebas tanpa
pemeliharaan khusus (stray dog). Kadang-kadang anjing ini menyerang kucing, kera,dan sesekali
menyerang ruminansia, babi, atau hewan lain. Manusia paling sering tertular rabies lewat anjing,
tetapi sangat jarang tertular dari kucing, kera ata hewan lain. Sylvatic rabies bersikls pada hewan
liar, seperti pada rubah di Eropa, skunk di Amerika dan Kanada, dan Kelelawar pengisap darah
di Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Meksiko. Sesekali hewan pembawa sylvatic rabies
mendekati pemukiman dan kemudian menggigit hewan piaraan dan terjadilah urban rabies.

2.5.1. Etimologi
Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno rabhas yang artinya melakukan
kekerasan/kejahatan. Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa yang artinya
kegilaan. Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut yang berasal dari bahasa
Indojerman Dhvar yang artinya merusak dan wut yang artinya marah. Dalam bahasa
Prancis, rabies disebut rage berasal dari kata benda robere yang artinya menjadi gila.

2.5.2 Penyebab
Penyebab rabies adalah virus dari genus Lyssa virus, termasuk keluarga
Rhabdoviridae. Ciri virus rabies berbentuk memanjang atau bentuk basil. Satu sisinya
bentuk bulat, sedangkan sisi satunya tumpul seperti bentuk peuru berukuran (130-300)
nm panjang dan diameter 70 nm, dengan tiga lapis sampul lipoprotein berisi peplomer
virus-spesifik dan bentukan gelembung pada ujung tumpul dari partike. Sampul dan
selaput protein membungkus nukleokapsid berbentuk tabung panjang. Helices dalam
memiliki 30-35 kumparan berbentuk silinder dengan diameter 50 nm dan panjang 150

22
nm, virus ini memiliki kepadatan ringan C5Cl dari 1,20 g/cm3. Melalui pemnenan sel
terinfeksi diperoleh data di samping memiliki ciri virus, terdapat partikel berbentuk
peluru yang panjangnya kurang dari 50 nm dan partikel bentuk batang dengan ukuran 2 –
3 kali panjang normalnya. Dalam beberapa kultur laboratorium dihasilkan juga partikel
cacat yang menghalangi infeksi seluler.
Hasil analisis virion rabies yang dimurnikan mengandung sekitar 2% - 30% RNA
dan beberapa karbohidrat, sekitar 25% lipid, dan lebih dari 50% protein. Bentuk
elektroforetik memperlihatkan 4 bentuk protein utama yaitu G, N, M1, M2 dan satu
protein minor, L. Lipid hanya ditemukan di selaput luar virion dengan sedikit berbeda
dalam komposisi selaput plasma dari sel induk semang. Tonjolan permukaan terdiri atas
glikoprotein G yang berperan penting dalam imunisasi oleh induksi vaksin dan dalam
identifikasi serologi dari virus rabies, sebagaimana antigen spesifik terhadap antibodi
netralisasi dibentuk, ditempatka di glikoprotein. Virus rabies menghemaglutinasika sel
darah mera angsa, yang merupakan faktor penting dalam beberapa prosedur diagnosis.
Secara relatif virus rabies tahan terhadap pemanasan sampai dengan derajat panas
tertentu,. Pada pemanasam 56o C, virus dapat tahan sampai 30 menit dan pemanasan
kering sampai dengan 100o C masih tahan hidup selama 2 – 3 menit. Apabila disimpan di
dalam gliserin 50%, virus dapat tahan hidup sampai satu tahun. Di dalam gliserin yang
tidak diencerkan, virus tahan hidup beberapa lama dalam suhu kamar dan tahan berbulan-
bulan dalam temperatur 4o C. Dalam keadaan kering beku denga penyimpanan 4o C virus
dapat tahan sampai bertahun-tahun, dan penyimpanan suhu -70o C virus tahan sampai
waktu tak terbatas. Di dalam air liur dengan suhu udara panas dapat tahan selama 24 jam.
Waktu paro kurang lebih 4 jam pada temperatur 40o C, dan 30 detik pada temperatur 60o
C. Protein serum dan chelating agent melindunginya terhadap inaktifasi panas.
Peyimpanan yang dilakukan dengan cara pendinginan cepat dan perawatan kering akan
memberikan katahanan virus yang lebih lama bila dibandingkan dengan cara pendinginan
yang lambat. Cara penyimpana yang disarankan adalah membekukan suspensi dan
menyimpannya pada suhu -30o C sampai -60o C. Mutu penyimpanan ini menjadi semakin
mantap apabila ke dalam jaringan tersebuut ditambahkan suatu substansi protein atau
asam amino, misalnya serum, susu steril, atau kuning telur.

23
Virus rabies menjadi mudah mati oleh pengaruh sinar matahari dan sinar ultra
violet, zat kimia Hg Cl2, pengaruh keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak, isalnya
ether dan kloroform, Na deoksikolat, dan air sabun. Oleh Beta propiolakton 1 : 6.000,
virus ini tahan dalam waktu 2 jam atau formalin 0,05% pada shu 33o C selama 7 jam.
Virus dalam larutan mengandung fenol 0,5% dengan suhu 4o C masih efektif selama
beberapa bulan.
Ketahanan virus rabies terhadap pengaruh fisik dan lingkungan bervariasi,
tergantung pada besar partikel jaringan yang d simpan, namun pada umumnya sangat
labil. Dalam kondisi lingkungan biasa, virus akan mati. Virus dapat juga dimatikan
dengan berbagai konsentrasi fenol, kloroform, formalin, Hg Cl2, asam mineral, dan ether.
Tetapi penggunaan sublimat dalam beberapa tingkatan konsentrasi tertentu dari asam dan
basa hanya mampu menginaktifkan.
Seperti halnya dengan virus neuropatik yang lain, ukuran standar dari kemampuan
virus rabies untuk memperbanyak diri dan merusak jaringan saraf pada hewan hidup
dilakukan dengan inokulasi intraserebral dari berbagai tingkat pengenceran suspensi
jaringan yang terinfeksi ke dalam mencit dewasa muda. Pengenceran 10 x lipat
diperitungkan 50% hasil akhir mortalitas pada mencit terinokulasi atau titer intraserebral
tikus diperhitungkan dengan metode Reed dan Muench (1938). Titrai tikus ini merupakan
suatu cacra yang bermanfaat di laboratorium dan penerapannya praktis untuk seleksi
isolat dari virus fixed dengan titer yang cukup tinggi untuk digunakan antara lain sebagai
benih virus dalam kaitannya dengan produksi vaksin rabies untuk pengujian potensi
vaksin dan untuk melakukan uji serum netralisassi atau serum neutralization test (SNT).
Karena virus fixedpada mencit telah kehilangan sifat yang menciri terhadap virus liar
maka standar titrasi dapat dibuat dengan konsistensi yang wajar dan massuk akal untuk
kinerja uji.
Beragai jenis antibiotika misalnya pinisilin dan streptomisin tidak berpengaruh
pada ketahanan dan kehidupan virus. Di laboratorium, antibiotik sering digunakan untuk
mematikan bakteri kontaminan yang terdapat di dalam spesimen atau bahan uji sewaktu
peneliti atau penyidik mengisolasi virus.

24
2.5.3 Patogenesis dan Patologi
Cara-cara bagaimana virus rabies berjalan dari luka ke otak hanya sebagian yang
dimengerti. Karena virus meekat pada dan menembus sel dengan cepat seara in vitro,
adalah mungkin bahwa virus tetap tidak atif dalam luka untuk masa waktu yang lama.
Lagipula, walaupun virus terbukti naik ke akson dari perifer ke medulla spinalis,
kecepatan penyebaran (3 mm/jam) adalah jauh sangat cepat untuk menjelaskan masa
inkubasi penyakit yang lama.
Virus mula-mula bermultiplikasi dalam sel otot serat lintang, yang padanya
melekat melalui beberapa reseptor, mungkin termasuk reseptor asetilkolin nikotinal.
Dapat dihipotesiskan bahwa antibodi, interferon, dan faktor hospes ain kemudian bekerja
pada virus ketika ia meninggalkan otot serat lintang; jika faktor-faktor ini tidak cukup
protektif, virus akhirnya meekat pada saraf. Selanjutnya rabies mungkin tidak dapat
dihindarkan. Kemungkinan bahwa virus harus mengatasi perintang lain dalam perjalanan
dari neuron yang terinfeksi pertama sampai ke neuron lain ditunjukkan oleh pemeriksaan
mikroskop elektron, yang memperagakan lewatnya virus dari sel ke sel yang berdekatan .
Lesi dasar dalam otak adalah peghancuran neuron dalam batang otak dan medulla.
Korteks serebri biasanya normal bila tidak adda anoksia yang lama sebelum meninggal.
Hipokampus, talamus, dan ganglia basalis sering menunjukkan penghancuran neuronal
dan infiltrat glia. Patologi yang paling berat adalah nyata di pons dan serambi ventrikel
ke empat. Spasme otot inspirasi yang menyebabkan kenaikan gejala hidrofobia mungkin
karena penghancuran hambatan neuron batang otak sampai neuron nukleus ambiguus,
yang mengendalikan inspirasi. Hidrofobia tidak tetrjadi pada penyakit lain karena hanya
rabies yang menggabung ensefalitis batang otak dengan korteks utuh dan
mempertahankan kesadaran.
Benda Negri, panjang, tanda patologus rabies, merupakan inklusi sitoplasmik
yang terdapat dalam neuron, ia terdiri dari nukleokapsid virus tergumpal. Tidak adanya
benda Negri tidak mengesampingkan rabies, pewarnaan antibodi fluoresen potongan-
potongan otak atau pulasan mungkin positif bila tidak ada. Pada binatang, seperti
manusia, rabies menimbulkan ensefalitis sebagai gejala utama. Namun, sesudah
pembentukan ensefalitis, virus menyebar ke bawah mengikuti saraf dari otak. Virus ini
memperbanyak diri pada banyak organ, tetapi organ yang penting pada penularan adalah

25
kelenjar ludah. Tidak semua binatang gila mengandung virus dalam ludahnya, dan
walaupun virus ada, jumlahnya bervariasi. Musang berbau terutama mengandung banyak
virus dalam dalam saliva. Walaupun anjing dapat engandung virus dalam ludah selama
beberapa hari sebelum gejala-gejala terjadi, penularan pada manusia dari anjing yang
tampk normal selama 10 hari atau lebih sesudah kejadian gigitan tidak dilaporkan.
Variabilitas virus dalam saliva menjelaskan kenyataan bahwa kurang dari setengah
gigitan oleh binatang yang terbukti gila yang tidak diobati akan menderita rabies.
Cakaran oleh kuku binatang gila berbahaya karena binatang menjilati kuku-
kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin
infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan
bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan dan menghirup aerosol
yang diciptakan oleh kelelawar. Aerosol virus rabies yang secara tidak sengaja dihasilkan
dalam laboratorium berbahaya untuk pekerja laboratorium.
Pada umumnya, jika yang digigit binatang tidak meninggal dalam 10 hari, rabies
tidak mungkin, walaupun jarang binatang gila yang hidup di darat akan sembuh dari
rabies. Kelelawar sebaliknya, sering terinfeksi selama masa yang lama tanpa
menunjukkan gejala.
Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies
yang tidak terdiagnosis pada resipien sehat telah direkam dengan cukup sering sehingga
memerlukan pengesampingan donor mati dari penyakit neurologis yang tidak terjelaskan.
Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan
jarang terjadi.

2.5.4 Manifestasi atau Gejaa Klinis


Masa inkubasi rabies adalah sangat berbeda-beda. Masa inkubasi yang sangat
lama ini telah diuraikan dan masa ingkubasi 7 tahun baru-baru ini diperkuat dengan
identifikasi strain. Sebaliknya, masa inkubasi hanya 9 hari telah menyertai pemajanan
yang berat. Biasanya masa inkubasi adalah 20 – 180 hari dengan puncak pada 30 – 60
hari. Masa inkubasi cenderung lebih pendek pada anak dan individu yang padanya rabies
berkembang walaupun divaksinasi.

26
Biasanya pada fase prodomal rabies, berakhir 2 – 10 hari. Gejala nonspesifik yang
lazim adalah demam, malaise, nyeri kepala, anoreksia, dan muntah. Penderita mungkin
terganggu oleh kecemasan yang tidak jelas. Gejala-gejala khas pada stadium ini adalah
nyeri, gatal, atau parestesia pada tempat luka.
Penyakit kemudian masuk fase neurologis akut, dari varietas mengamuk atau
paralitik, yang berakhir 2 – 10 hari. Pada yang pertama, hidrofobia merupaka tanda
patognomonis. Upaya untuk menelan air, termasuk ludah, menyebabkan aspirasi ke
dalam trakea. Hidrofobia nampak merupakan refleks protektif saluran pernafasan yang
berlebihan, mungkin diperantarai oleh disfungsi saraf pada daerah batang otak tertentu.
Akhirnya komponen psikologis memperburuk spasmenya, dan bahkan melihat air
membangkitkan teror. Aerofobia mungkin ada dan dipandang oleh beberapa ahli juga
patognomonis rabies. Aerofabia didapatkan dengan mengipaskan aliran udara melewati
muka, yang menyebabkan spasme otot faring dan leher yang berat.
Gambaran neurologis pada kasus khas dapat terdiri dari ledakan hiperktivitas,
disorientasi, dan perilaku menyerang yang aneh, berselang seling dengan masa tenang.
Selama masa tenang penderita mungkin sadar mengenai apa yang sedang terjadi dan
mungkin mampu menyampaikan rasa takutnya. Salah satu ekspresi wajah adalah
cemberut tanpa harapan. Penderita mungkin mengeluh nyeri faring, kesulitan menelan
dan serak,. Kejang lazim, bila ada hipoksia yang disertai dengan hiperventilasi.
Beberapa penderita anjing gila mengalami meningismus atau bahka opistotonus.
Cairan serebrospinal dapat menggambarkan iritasi meningeal, dengan berbagai kenaikan
sel (terutama limfosit) dan protein, atau mungkin normal. Angka sel darah putih perifer
sering menunjukkan leukositosis polimorfonuklear. Pada sekitar 20% penderita, paralisis
simetrik asendens dengan flaksiditas dan penurunan refleks tendon mendominasi seluruh
fase akut. Perjalanan ini terutama lazim sesudah gigitan kelelawar. Pada penderita
lainnya, paralisis berkembang ke arah akhir fase neurologis akut.
Jika penderita tidak meninggal karena henti kardiorespirasi selama stadium akut,
ia masuk ke dalam koma. Dengan perawatan intensif modern, kehidupan mungkin
diperpanjang, tetapi banyak komplikasi terjadi selama koma. Yang paling berarti adalah
miokarditis, ditampakkan dengan hipotensi dan aritmia. Virus rabies telah ditemukan dari
jantung, yang menunjukkan radang pada autopsi. Juga menonjol adalah disfungsi

27
pituitaria yang diekspresikan sebagai diabetes insipidus atau sekresi hormon antidiuretik
yang tidak tepat. Penyembuhan dari gejala rabies pada manusia sangat jarang; hanya
empat kasus yang telah dilaporkan.
Gejala sakit yang akan dialami seseorang yang terinfeksi rabies meliputi 4 stadium:
1. Stadium prodromal
Dalam stadium prodomal sakit yang timbul pada penderita tidak khas, menyerupai
infeksi virus pada umumnya yang meliputi demam, sulit makan yang menuju taraf
anoreksia, pusing dan pening (nausea), dan lain sebagainya.
2. Stadium sensoris
Dalam stadium sensori penderita umumnya akan mengalami rasa nyeri pada daerah
luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (hipersalivasi), dilatasi
pupil, hiperhidrosis, hiperlakrimasi.
3. Stadium eksitasi
Pada stadium eksitasi penderita menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap
ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara (aerofobia), ketakutan
pada cahaya (fotofobia), dan ketakutan air (hidrofobia).[9] Kejang-kejang terjadi akibat
adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernapasan. [8]
Hidrofobia yang terjadi pada penderita rabies terutama karena adanya rasa sakit yang
luar biasa di kala berusaha menelan air.
4. Stadium paralitik
Pada stadium paralitik setelah melalui ketiga stadium sebelumnya, penderita
memasuki stadium paralitik ini menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh
ke bawah yang progresif. Karena durasi penyebaran penyakit yang cukup cepat maka
umumnya keempat stadium di atas tidak dapat dibedakan dengan jelas. [9] Gejala-
gejala yang tampak jelas pada penderita di antaranya adanya nyeri pada luka bekas
gigitan dan ketakutan pada air, udara, dan cahaya, serta suara yang keras. [9] Sedangkan
pada hewan yang terinfeksi, gelaja yang tampak adalah dari jinak menjadi ganas,
hewan-hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang, serta ekor dilengkungkan
di bawah perut.

28
2.5.5 Diagnosis
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Satu-
satunya uji yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap adanya virus rabies adalah
dengan uji antibodi fluoresensi langsung (direct fluorescent antibody test/ dFAT) pada
jaringan otak hewan yang terinfeksi. Uji ini telah digunakan lebih dari 40 tahun dan
dijadikan standar dalam diagnosis rabies. Prinsipnya adalah ikatan antara antigen rabies
dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar
sehingga memudahkan deteksi. Namun, kelemahannya adalah subjek uji harus disuntik
mati terlebih dahulu (eutanasia) sehingga tidak dapat digunakan terhadap manusia. Akan
tetapi, uji serupa tetap dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang
belakang, atau air liur penderita walaupun tidak memberikan keakuratan 100%. Selain
itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel kornea mata
walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali diagnosis
post mortem setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal.

2.5.6 Penanganan
Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. Rabies dapat diobati, namun
harus dilakukan sendini mungkin sebelum menginfeksi otak dan menimblkan gejala. Bila
gejala mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini. Kematian
biasanya terjadi beberapa hari setelah terjadinya gejala pertama.
Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau berpotensi
rabies (anjing, sigung, rakun, rubah, kelelawar) segera cuci luka dengan sabun atau
pelarut lemak lain di bawah air mengalir selama 10 – 15 menit lalu beri antiseptik alkohol
70% atau betadine. Orang-orang yang belum diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan
diberikan suntikan tetanus. Orang-orang yang belum pernah mendapat vaksin rabies akan
diberikan suntikan globulin imun rabies yang dikombinasikan dengan vaksin. Separuh
dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan separuhnya disuntikkan ke otot, biasanya
di daerah pinggang. Dalam periode 28 hari diberikan 5 kali suntikan. Suntikan pertama
untuk menentukan risiko adanya virus rabies akibat bekas gigitan. Sisa suntikan diberikan
pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Kadang-kadang terjadi rasa sakit, kemerahan, bengkak, atau
gatal pada tempat penyuntikan.

29
2.5.7 Pencegahan
Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah
terjadi gigitan olelh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak dapat dimatikan
(letal). Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus
atau segera setelah terkena gigitan. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kepada
orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu:
 Dokter hewan.
 Petugas laboratorium.
 Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada
anjing banyak ditemukan.
 Para penjelajah gua kelelawar.
Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi seiring
berjalannya waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi
terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi setiap tahun. Pentingnya
vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara
pencegahan yang harus diperhatikan.

2.6 Toxoplasmosis
2.6.1 Sejarah Toxoplasma

Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan oleh Nicole dan Manceaux tahun
1908 pada limfa dan hati hewan pengerat Ctenodactylus gundi di Tunisia Afrika dan pada
seekor kelinci di Brazil. Lebih lanjut Mello pada tahun 1908 melaporkan protozoa yang
sama pada anjing di Italia, sedangkan Janku pada tahun 1923 menemukan protozoa
tersebut pada penderita korioretinitis dan oleh Wolf pada tahun 1937 telah di isolasinya
dari neonatus dengan ensefalitis dan dinyatakan sebagai penyebab infeksi kongenital pada
anak. Walaupun perpindahan intra-uterin secara transplasental sudah diketahui, tetapi
baru pada tahun 1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas ketika ditemukan daur
seksualnya pacta kucing.
Pada tahun 1969 posisi T. gondii dalam klasifikasi masih belum pasti, namun
pada tahun 1970 dapat ditetapkan bahwa T. gondii termasuk kelas Sporozoa yang mirip

30
dengan Isospora. Pada tahun 1970, ditemukan secara serentak di beberapa negara bahwa
T. gondii ternyata memproduksi ookista di dalam tubuh kucing yang tidak dapat
dibedakan dengan suatu ookista yang kemudian disebut Isospora bigemina. Dengan kata
lain, ookista ini berisi dua sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit. Di
Indonesia toksoplasmosis mulai diteliti pakar ilmu kesehatan pada tahun 1972 baik pada
manusia ataupun pada hewan.

2.6.2 Epidemiologi
Toxoplasma gondii ditemukan di seluruh dunia. Infeksi terjadi, di mana ada
kucing yang mengeluarkan ookista bersama tinjanya. Ookista ini adalah bentuk yang
infektif dan dapat menular pacta manusia atau hewan lain. Seekor kucing dapat
mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Di dalam tanah yang
lembab dan teduh, ookista dapat hidup lama sampai lebih dari satu tahun. sedangkan
tempat yang terkena sinar matahari langsung dan tanah kering dapat memperpendek
hidupnya. Bila di sekitar rumah tidak ada tanah, kucing akan berdefekasi di lantai atau
tempat lain, di mana ookista bisa hidup cukup lama bila tempat tersebut lembab. Cacing
tanah mencampur ookista dengan tanah, kecoa dan lalat dapat menjadi vektor mekanik
yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan. Di Indonesia tanah
yang mengandung ookista Toxoplasma belum diselidiki.
Ookista ini dapat hidup lebih dari satu tahun di tanah yang lembab. Bila ookista
tertelan oleh tikus, tikus terinfeksi dan akan terbentuk kista dalam otot dan otaknya. Bila
tikus dimakan oleh kucing, maka kucing akan tertular lagi. Bila ookista ini tertelan oleh
manusia atau hewan lain, maka akan terjadi infeksi. Misalnya kambing, sapi dan kuda
pemakan rumput yang mungkin tercemar tinja kucing yang mengandung ookista, dapat
terinfeksi. Juga ayam dan burung yang mencari makan di tanah (misal cacing tanah) juga
dapat terinfeksi. Manusia juga dapat terinfeksi. Manusia juga dapat tertular dengan
ookista di tanah, misalnya bila makan sayursayuran mentah yang tercemar tinja kuning,
atau setelah berkebun lupa mencuci tangan sewaktu mau makan. Anak balita yang
bermain di tanah juga dapat terinfeksi oleh ookista.
Penyebaran Toxoplasma gondii sangat luas, hampir di seluruh dunia, termasuk
Indonesia baik pada manusia maupun pada hewan. Sekitar 30% dari penduduk Amerika

31
Serikat positif terhadap pemeriksaan serologis, yang menunjukkan pernah terinfeksi pada
suatu saat dalammasa hidupnya. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi
atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara
dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang
yang menangani dagig mentah seperti juru masak.
Kista T,gondii dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -40C sampai tiga
minggu. Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu - 15°C
selama tiga hari dan pada suhu -20°C selama dua hari. Daging dapat menjadi hangat pada
semua bagian dengan suhu 65°C selama empat sampai lima menit atau lebih maka secara
keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap
konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat (WHO, 1979).
Konsumsi daging mentah atau daging yang kurang masak merupakan sumber
infeksi pada manusia. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif
parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran T.
gondii. Jalur alami dari infeksi T. gondii pada manusia telah difokuskan pada tertelannya
ookista dan kista parasit ini secara tidak sengaja, kecuali perpindahan secara kongenital.
Pentingnya peranan kista dalam perpindahan tersebut dapat diabaikan, sesuai dengan
rendahnya tingkat prevalensi pada hewanhewan potong atau hewan pedaging, maka
ookistanya dapat menjadi sumber utama bagi infeksi pada manusia. Prevalensi zat anti T.
gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti pada ketinggian yang berbeda di
daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tinggi.
Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropik. Pada umumnya prevalensi zat
anti T. gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria
dan wanita.

32
2.6.3 Morfologi dan Klasifikasi
Klasifikasi Ilmiah dari Toxoplasma gondii sebagai berikut :
Dunia : Animalia
Sub Dunia : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Sub Kelas : coccidiasina
Bangsa : Eucoccidiorida
Sub Bangsa : Eimeriorina
Suku : Sarcocystidae
Marga : Toxoplasma Gambar 6. Takizoit Toxoplasma Gondii II
Jenis : Toxoplasma gondii.

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga


bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi
sporozoit). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung
lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai
selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti
mitokondria dan badan golgi. Tidak mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta tidak
berpigmen. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan
mamalia termasuk manusia dan kucing sebagal hospes definitif. Takizoit ditemukan pada
infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit dapat memasuki tiap sel yang berinti
(gambar 5). Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah
membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi
beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit.
Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung,
dan otot bergaris.

33
Gambar 5. Takizoit Toxoplasma Gond

Keterangan: A. takizoit dalam sel mononuklear besar


B. takizoit bebas dalam darah

Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista
mengikuti bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari T. gondii. Pada
infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh dan terutama di otak.
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai dinding,
berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan
selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-
masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah
benda residu. Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, karena
berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian.

2.6.4 Daur Hidup


Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari T. gondii. Di dalam
usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit. Inti
trofozoit membelah menjadi banyak sehingga terbentuk skizon. Skizon matang pecah dan
menghasilkan banyak merozoit (skizogoni). Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur
seksual. Merozoit masuk ke dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan
mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi
pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Di luar tubuh
kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang masing-
masing berisi empat sporozoit (sporogoni) (Krahenbuhl dan Remington, 1982). Bila
ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam atau burung,
maka di dalam tubuhhospes perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan

34
takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara
berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista
biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).
Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi maka
berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi. Jika hospes
perantara yang dimakan kucing mengandung kista T. gondii, maka masa prepatennya 2 -3
hari. Tetapi bila ookista tertelan langsung oleh kucing, maka masa prepatennya 20 -24
hari. Dengan demikian kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista dari pada oleh ookista.

2.6.5 Cara Infeksi dan Gejala Klinis

Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara yaitu makan daging
mentah atau kurang rnasak yang mengandung kista T. gondii, ternakan atau tertelan
bentuk ookista dari tinja kucing, rnisalnya bersarna buah-buahan dan sayur-sayuran yang
terkontaminasi. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor
penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii.
Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat laboratoriurn lain
yang terkontaminasi oleh T. gondii. Infeksi kongenital. Terjadi intra uterin melalui
plasenta (WHO, 1979 ; Levine, 1990). Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh
akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit
menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel
inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak,
di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap
kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase kronik, terbentuk kista-
kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa
menimbulkan peradangan lokal.

Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya,
toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan
toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian
besar asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi
kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan

35
penyakit lain Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang
menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer,
ada kemungkinan bahwa 5O% akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital.
Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala
klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan
rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala. Pada infeksi akut, limfadenopati sering
dijumpai pada kelenjer getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas
dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis
berupa ruam makulopapuler yang mirip kelainan kulit pada demam titus, sedangkan pada
jaringan paru dapat terjadi pneumonia interstisial.

Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang


tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa
minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad
klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrade
sabin yang disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya karena
parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem syaraf
penderita. Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya
retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang
dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena
toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital.

Akibat kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi
bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu
selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga
terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti
ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir
prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata.
Infeksi T. gondii pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan manifestasi
penyakit dari tingkat ringan, sedang sampai berat, tergantung kepada derajat

36
imunodefisiensinya. Pada penderita imunodefisiensi, infeksi T. gondii menjadi nyata,
misalnya pada penderita karsinoma, leukemia atau penyakit lain yang diberi pengobatan
kortikosteroid dosis tinggi atau radiasi. Gejala yang timbul biasanya demam tinggi,
disertai gejala susunan syaraf pusat karena adanya ensefalitis difus. Gejala klinis yang
berat ini mungkin disebabkan oleh eksaserbasi akut dari infeksi yang terjadi sebelumnya
atau akibat infeksi baru yang menunjukkan gejala klinis yang dramatis karena adanya
imuno-defisiensi. Pada penderita AIDS, infeksi T. gondii sering menyebabkan ensefalitis
dan kematian. Sebagian besar penderita AIDS dengan ensefalitis akibat T. gondii tidak
menunjukkan pembentukan antibodi dalam serum.

2.6.6 Pengobatan Toxoplasmosis


Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine dengan
trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan menghambat siklus p-
amino asam benzoat dan siklus asam folat. Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine
ialah 25 – 50 mg per hari selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 –
6.000 mg sehari selama sebulan.
Karena efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka
dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan. Trimetoprinm
juga ternyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan
kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih
kalah efektifitasnya. Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif
tetapi efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester pertama
dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian disusl 2
minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga
ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu
penderita toxoplasmosis.

37
2.7 Kurap (Ringworm)

2.7.1 Definisi
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi kulit yang secara spesifik
disebabkan oleh kelompok jamur berbentuk miselium dan bersifat keratofilik. Penyakit
ini bersifat superfisial, meliputi lapisan keratin kulit dan apendiksnya (bulu, rambut, kuku
dan tanduk), yang disebabkan oleh golongan jamur. Berbagai genus dan spesies jamur
yang secara kolektif disebut sebagai dermatofit adalah penyebab dermatofitosis. Penetrasi
jamur pada lapisan kulit dapat menembus semua lapisan kulit, namun umumnya terbatas
pada stratum korneum. Dermatofitosis ini dapat menular antar sesama hewan, dan antara
manusia dengan hewan (antropozoonosis) dan hewan ke manusia (zoonosis) dan
merupakan penyakit mikotik yang tertua di dunia. Berdasarkan habitat, jamur penyebab
ringworm dikelompokkan menjadi : jamur geofilik (di tanah), zoofilik (pada hewan), dan
anthropofilik (pada manusia).
Kucing biasanya tertular oleh Microsporum canis, sedangkan anjing
kemungkinan tertular oleh Microsporum canis, Microsporum gypseum atau Trichophyton
mentagrophytes. Kurap (Ringworm) di kulit dan rambut kepala biasanya membuat kulit
botak dan bersisik. Orang yang terinfeksi ringworm di kulit mereka terdapat lesi
berbentuk gelang kemerah-merahan dan mungkin terasa gatal. Lesi dapat kering dan
bersisik atau basah dan kulit terasa keras.

Gambar 6. Bentuk Jamur dan Tempat Infeksi Ringworm

38
2.7.2 Etiologi
Dermatofitosis disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga
genus yaitu genus: Mikrosporon, Trikofiton dan Epidermofiton. Dari 41 spesies dermafito
yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia
dan binatang yang terdiri dari 15 spesies Trikofiton, 7 spesies Mikrosporon dan 1 spesies
Epidermafiton. Selain sifat keratinofilik ini, setiap spesies dermatofita mempunyai
afinitas terhadap hospes tertentu. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang
binatang, dan kadang-kadang menyerang manusia. Misalnya : Mirosporon canis dan
Trikofiton verukosum. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan
dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Mikrosporon gipsium.

Istilah Tinea dipakai untuk semua infeksi oleh dermatofita dengan dibubuhi
tempat bagian tubuh yang terkena infeksi, sehingga diperoleh pembagian dermatofitosis
sebagai berikut :
1. Tinea capitis : bila menyerang kulit kepala dan rambut
2. Tinea corporis : bila menyerang kulit tubuh yang berambut (globrous skin).
3. Tinea cruris : bila menyerang kulit lipat paha, perineum, sekitar anus dapat meluas
sampai ke daerah gluteus, perut bagian bawah dan ketiak atau aksila.
4. Tinea manus dan tinea pedis : Bila menyerang daerah kaki dan tangan, terutama
telapak tangan dan kaki serta sela-sela jari.
5. Tinea unguium : bila menyerang kuku
6. Tinea barbae : bila menyerang daerah dagu, jenggot, jambang dan kumis.
7. Tinea imbrikata : bila menyerang seluruh tubuh dengan memberi gambaran klinik
yang khas.

2.7.3 Identifikasi
1. Tinea Barbae, Tinea capitis dan Tinea Imbrikata
Penyakit jamur yang muncul sebagai papula kecil dan menyebar periferal,
meninggalkan bercak bersisik yang menyebabkan botak sementara. Rambut yang
terinfeksi menjadi rapuh dan mudah patah. Kadang-kadang muncul luka basah
bernanah yang disebut kerion. Favus dari kulit kepala merupakan varietas dari

39
Tinea capitis yang disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Ciri-cirinya berbau
seperti tikus, membentuk crusta cekung (scutulae), yang menempel pada kulit
kepala. Rambut yang terkena tidak patah namun berubah menjadi abu-abu dan
suram, terkadang rontok dan menyebabkan kebotakan yang permanen. T.capitis
biasanya disebabkan Trikofiton Tonsurans, T. violaseum, mentagrofites,
Mikosporon kanis, M.gipseum, Trikofiton schoenleini, dan T. gypsum.

Gambar 7. Tinea Capitis dan Tinea Barbae

2. Tinea Cruris dan Tinea Corporis


Penyakit jamur kulit yang menyerang selain kulit kepala, jenggot dan kaki
dengan lesi rata, menyebar dan berbentuk cincin. Tepi luka biasanya berwarna
merah, vesiculair atau pustulair mungkin kering dan bersisik atau lembab
berkerak. Ketika lesi menyebar ke arah periferal, bagian tengah terkadang bersih,
meninggalkan kulit yang nampak normal. Membedakannya dengan kandidiasis
inguinal penting oleh karena pengobatannya berbeda. T.imbrikata adalah bentuk
yang khas dari Tinea korporis yang disebabkan oleh Trikofiton konsentrikum.
Gambaran klinik berupa makula yang eritematous dengan skuama yang
melingkar. Apabila diraba terasa jelas skuamanya menghadap ke dalam. Pada
umumnya pada bagian tengah dari lesi tidak menunjukkan daerah yang lebih
tenang, tetapi seluruh makula ditutupi oleh skuama yang melingkar. Penyakit ini
sering menyerang seluruh permukaan tubuh.
Penyebab utama T.cruris adalah Epidermofiton flokkosum, Trikofiton rubru dan
T.mentografites. Penyebab utama T.corporis adalah : T.violaseum, T.rubrum,
T.metagrofites, Mikrosporon gipseum, M.kanis dan M.audolini.

40
Gambar 8. Tinea Corporis dan Tinea Cruris

3. Tinea Manus dan Tinea Pedis


Tinea pedis disebut juga Athlete's foot = "Ring worm of the foot". Penyakit jamur
ini dikenal dengan adanya kaki yang pecah-pecah dan mengelupas, terutama
diantara jari kaki, atau luka lepuh yang mengandung cairan. Pada kasus yang
berat, lesi vesikuler muncul di beberapa bagian tubuh, terutama tangan;
dermatofitid ini tidak mengandung jamur tetapi merupakan reaksi alergi terhadap
produk jamur.
Penyebab utamanya ialah : T .rubrum, T .mentagrofites, dan Epidermofiton
flokosum.

Gambar 9. Tinea Pedis

4. Tinea Unguium
Penyakit jamur kronis yang terjadi pada satu atau lebih kuku jari tangan atau
kaki. Kuku secara perlahan menjadi tebal, berubah warna dan rapuh, nampak
akumulasi dari material yang seperti keju dari bawah kuku atau kuku mengapur dan
rapuh. Penyebab utama adalah : T.rubrum, T.metagrofites.

41
Gambar 10. Tinea Unguium

2.7.4 Penyebaran
Ringworm ditemukan pada hampir semua penjuru dunia. Di Australia, tinea
capitis umumnya ditemukan pada anak-anak kulit putih pada umur muda sampai
menjelang akil-balik. Pada suku Aborigin, tinea capitis ditemukan pula pada orang
dewasa. Pada waktu terjadi wabah ringworm pada sapi perah asal Australia di Kabupaten
Boyolali (1980-an), beberapa pekerja kandang dilaporkan ikut tertular.
Ringworm bisa sangat tahan lama di lingkungan dan dapat terbawa ke benda-
benda furnitur, karpet, debu, kipas angin, dll dan dapat mengkontaminasi hewan
peliharaan selama beberapa bulan bahkan tahun. Ringworm juga dapat tersebar pada alat-
alat grooming, mainan, dan selimut, atau bahkan pada pakaian dan tangan manusia.
Ringworm juga dapat ditemukan pada bulu hewan dari lingkungan yang terkontaminasi
tanpa menimbulkan gejala apapun.
Secara spesifik penyebarannya adalah sebagai berikut:
1. Tinea Barbae, Tinea capitis dan Tinea Imbrikata
Infeksi Tinea capitis yang disebabkan oleh Trichophyton tonsurans sekarang
mewabah di daerah perkotaan di Amerika Serikat bagian timur, Puerto Rico,
Meksiko dan Australia. Infeksi M. canis pada manusia ditemukan di daerah
perkotaan dan pedesaan dimana kucing dan anjing di daerah tersebut terinfeksi. Pada
masa lampau, M. audouinii menyebar di Amerika Serikat terutama di daerah
perkotaan; infeksi T. verrucosum dan T. mentagrophytes var mentagrophytes
ditemukan terutama di daerah perkotaan dimana penyakit ini ada pada hewan ternak,
kuda, tikus dan binatang liar.

42
2. Tinea Cruris dan Tinea Corporis
Tersebar di seluruh dunia dan relatif sering ditemukan. Infeksi pada pria lebih sering
terjadi daripada wanita.
3. Tinea Manus dan Tinea Pedis
Tersebar di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang umum. Orang dewasa lebih
sering terkena daripada anak-anak, dan laki-laki lebih sering daripada perempuan.
Infeksi lebih sering dan lebih parah pada musim panas.
4. Tinea Unguium
Dapat ditemukan dimana-mana dan umum terjadi.

2.7.5 Reservoir
1 Tinea Barbae, Tinea capitis dan Tinea Imbrikata
Manusia sebagai reservoir untuk T. tonsurans, T. schoenileinii dan T. audouinii;
sedangkan binatang terutama anjing, kucing dan hewan ternak merupakan reservoir
organisme selain yang disebutkan di atas.
2. Tinea Cruris dan Tinea Corporis
Manusia, binatang dan tanah; tinea cruris hampir selalu pada pria.
3. Tinea Manus dan Tinea Pedis
Manusia
4. Tinea Unguium
Manusia; jarang pada binatang atau tanah.

2.1.6 Penularan
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu
yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Dermatofit ditularkan
karena kontak dengan rambut atau kulit yang terinfeksi dan elemen fungi pada hewan, di
lingkungan atau fomite (seperti, sisir, sikat, alat pencukur, kasur, pengangkutan sangkar
burung, dll). M. canis dapat berasal dari debu, ventilasi, dan penyaring perapian tertutup.
Spora M. canis dapat terus hidup di lingkungan sampai 18 bulan. Untuk itulah, sangat

43
penting dalam mengurus lingkungan. Jamur penyebab ringworm tumbuh subur di daerah
panas dan basah. Ringworm menyukai orang-orang yang memiliki hasil air berlebih
seperti berkeringat dan luka kecil pada kulit, rambut kepala dan kuku.
Baik tinea capitis, tinea cruris, maupun tinea pedis, umumnya menular secara
kontak langsung antara manusia dan hewan tertular atau tanah dan barang-barang
tercemar. Pada hewan, penularan oleh jamur-jamur ini tidak selalu diikuti dengan lesi
kulit pada tinea cruris, penularan dapat pula terjadi lewat peralatan kamar mandi seperti
bath tub.
Pada hewan, penularan secara kontak langsung umumnya terjadi pada hewan
yang dikandangkan dalam jumlah banyak di ruang terbatas, misalnya sapi yang dipelihara
dengan sistem feed-lot.
Beberapa cara penularan jamur :
1. Tinea Barbae, Tinea capitis dan Tinea Imbrikata
Langsung dari kulit ke kulit atau kontak tidak langsung, terutama dari kursi di
bioskop, melalui penjepit rambut di salon atau tukang cukur, melalui barang-barang
yang biasa ada di toilet seperti sisir atau sikat rambut, atau baju dan topi yang
terkontaminasi dengan rambut dari orang yang terinfeksi maupun dari binatang.
2. Tinea Cruris dan Tinea Corporis
Kontak langsung atau tidak langsung dengan kulit dan kulit kepala dari orang yang
terinfeksi, lesi dari binatang; lantai yang terkontaminasi; tiang pancuran kamar
mandi, bangku dan benda-benda sejenis.
3. Tinea Pedis dan Tinea Manus
Kontak langsung atau tidak langsung dengan lesi kulit orang yang terinfeksi atau
lantai yang terkontaminasi, tiang pancuran kamar mandi atau barang-barang lain
yang digunakan orang yang terinfeksi.
4. Tinea Unguium
Diperkirakan sebagai penjalaran dari infeksi kulit yang diperoleh karena penularan
langsung dari orang yang terinfeksi atau secara tidak langsung karena kontak dengn
lantai yang terkontaminasi atau tiang pancuran kamar mandi dengan tingkat
penularan yang rendah, bahkan pada anggota keluarga yang terdekat.

44
Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di
kulit tergantung dari beberapa faktor :
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik
atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur ini berbeda pula satu
dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh
Misalnya : Trikofiton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermatofiton flokosum
paling sering menyerang lipat pada bagian dalam.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari
paling sering terserang penyakit jamur ini.

4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan


Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini
lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit Tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang
dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari
dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-
faktor tadi masih ada faktor-faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi,
sepatu dan sebagainya) , faktor transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilan,
dapat mempermudah penyakit jamur ini.

45
2.1.7 Gejala Klinis
a. Pada Hewan
1. Pada anjing dan kucing, M. canis menimbulkan lesi pada kulit cukup spesifik,
yakni berbentuk bulat oval dengan pinggir merah, yang meluas secara cepat, dan
berdiameter 1-4 cm. Ditemukan pula bentuk yang dikenal dengan nama
erythematous plaque. Pada bentuk ini, kulit sedikit terangkat dan menimbulkan
keropeng. Di bawah keropeng sering terjadi infeksi bakteria. Plaque semacam ini
disebut kerion dan dapat lepas sendiri. Bulu yang terserang mudah patah,
sehingga tampak sebagai bulu yang menempel pendek pada kulit. Pada anjing,
lesi lebih parah dibandingkan dengan pada kucing.
2. Pada kuda, lesi umumnya kering, menonjol (terangkat), bersisik, terutama terdapat
pada daerah pelana, tali pelana, dan quarter belakang. Lesi ini dapat berlanjut
menjadi tukak (ulcus) yang disertai eksudat purulen, sehingga menyebabkan
sejumlah rambut bertaut.
3. Pada babi, infeksi ringworm bersifat kronik namun subklinik, dengan kerugian
relatif kecil atau tanpa kerugian ekonomi sama sekali.
4. Pada sapi, ringworm umumnya terjadi pada sapi muda dengan morbiditas sampai
40%. Apabila sapi tersebut ditempatkan dalam kandang terbatas dalam jumlah
banyak (overcrowded), maka kesempatan penularan secara kontak sangat besar.
Lesi diawali dengan lesi berbentuk bulat, agak bersisik disertai alopesia dan
tersebar disana-sini. Lesi-lesi yang berdekatan dapat menyatu dan ditutupi oleh
kerak tebal yang menempel dengan kuat pada lapisan kulit dibawahnya. Apabila
kerak ini dilepas akan keluar darah dan meninggalkan bekas berwarna merah.
Penyembuhan spontan dapat terjadi pada sapi. Bekas lesi nampak kering,
mengelupas dan alopesia. Ringworm pada sapi umumnya berkaitan dengan
masalah kebersihan kandang dan kebersihan sapi itu sendiri.
b. Pada Manusia
1. Masa inkubasi pada manusia bervariasi antara 10 – 14 hari. Tinea capitalis
ditandai dengan adanya alopesia pada satu atau lebih lokasi dikepala dan diikuti
dengan pengelupasan epidermis sehingga berwarna abu-abu kotor. Rambut
mudah patah, lepas dan pudar. Terkadang ditemukan pula folikulitis. Dapat pula

46
terjadi granulomatosa berwarna merah yang apabila pecah meninggalkan
jaringan parut dan menimbulkan alopesia permanen. Lesi tinea cruris umumnya
diawali dengan macula kecil berwarna merah, yang diikuti dengan batas-batas
peradangan di bagian luar dan bagian tengah bersisik, serta berlanjut dengan
persembuhan dibagian tengah. Lesi kulit tersebut sangat bervariasi. Bentuk
cincin (ring) tunggal atau banyak sering disertai peradangan ringan yang diikuti
dengan vesikel yang jelas, ekudasi, pustule, dan berkerak.
2. Tinea cruris lebih sering terdapat pada orang lelaki dewasa. Pada wanita,
umumnya terjadi di daerah genitor-crural yang disebabkan oleh pakaian dalam
terlalu ketat. Lesi yang spesifik berupa bercak-bercak bersisik warna merah
disertai pruritus di daerah lipatan genitor-crural yang menyebar ke bawah.
3. Tinea pedis yang disebut athlete’s foot umumnya terjadi pada celah interdigit ke-
3 dan ke 4. Lesi berupa fisura (fissure) dikelilingi oleh epidermis berwarna putih,
yang apabila dikelupas akan meninggalkan warna kemerah-merahan. Lesi
demikian dapat dikelirukan dengan infeksi Candida albicans. Terkadang disertai
keringat dan bau tidak sedap, dan dapat ditemukan vesikel. Lesi akan menyebar
ke bagian dorsal kaki atau ke bagian telapak membentuk kerak kering. Infeksi
T.rubrum sering menyerang kuku kaki dan menyebabkan penyimpangan
pertumbuhan kuku, kehilangan warna, dan pelepasan kuku. Telapak kaki, tumit,
dan sisi kaki dapat mengalami hyperkeratosis secara difus disertai sedikit
peradangan dan bersisik; terkadang terdapat pula lesi ditangan atau kuku tangan.

2.1.8 Faktor-Faktor yang Beresiko Tinggi Terinfeksi Ringworm.


1. Umur: infeksi ringworm tidak menyerang umur-umur tertentu dan semuanya
rentan terhadap infeksi ringworm, tapi hewan muda kurang dari 1 tahun lebih
rentan terhadap ringworm.
2. Species dan hewan peliharaan: kucing lebih rentan terhadap ringworm dibanding
anjing, terutama kucinng persia yang berbulu lebat.
3. Kekebalan/imunitas: Kondisi dimana sedang hamil/menyusui, malnutrisi, stres,
kanker.

47
4. Kondisi dimana keadaan tubuh sebelumnya telah terdapat parasit yang
mendukung terjadinya ringworm.

2.1.9 Diagnosis
Baik pada hewan maupun manusia, Microspora sp. Dapat ditunjukkan dengan
adanya fluorescent pada rambut apabila disinari dengan lampu Wood. Perlu diperhatikan
bahwa fluorescent tidak terlihat pada Trichophyton sp. Oleh karena itu, hasil negative
fluorescent hanya negative untuk Microspora sp.
Kerokan kulit dan potongan rambut untuk pemeriksaan mikroskopik secra
langsung dengan menambahkan KOH 10%, sedangkan untuk kultur sebaiknya bahan-
bahan tersebut dimasukkan ke dalam amplop kertas diberi label yang jelas dan tidak di
dalam botol. Identifikasi jamur yang bertanggung jawab sebagai penyebab penyakit
didasarkan atas bentuk koloni, morfologi secara mikroskopik, dan kebutuhan nutrisi
jamur.

2.1.10 Pencegahan dan Pengobatan


Ringworm temasuk zoonosis, maka manusia harus berhati-hati dalam menjaga
kebersihan, baik kandang maupun lingkungan rumah atau penampungan (Hasan, 2008).
Pencegahan terhadap penyakit ringworm yang dapat dilakukan diantaranya adalah :
1. Harus diingat bahwa tidak ada vaksin pembasmi ringworm.
2. Tidak ada pengujian absolute yang bisa dipercaya.
3. Hewan terserang ringworm sebaiknya diisolasi untuk mengurangi kesempatan kontak
dengan manusia atau hewan lain.
4. Peralatan yang digunakan untuk merawat hewan misalnya sikat, tali, dsb. direndam
dalam air panas atau diganti dengan yang baru apabila hewan telah sembuh.
5. Menjaga hewan agar selalu bersih, kering, menyembuhkan hewan atau mencegah
infeksi dari parasit-parasit lain, menjaga hewan agar tidak stress.
6. Tidak mencampur anak hewan dengan hewan dewasa.
7. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika faktor-
faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan lambat. Daerah

48
intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus dikeringkan betul dan
diberi bedak pengering atau bedak anti jamur.
8. Alas kaki harus pas betul dan tidak terlalu ketat.
9. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang
menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool atau bahan
sintetis.
10. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas.
Pada manusia, gresiovulvin per os dapat diberikan untuk jangka waktu 28 hari.
Secara topikal dapat diberikan fungisida seperti miconazole, clotrimazole, atau
tolftate. Pada anjing, griseovulvin juga memberikan kesembuhan yang baik.

2.3 Strategi Pengendalian Zoonosis


Pengendalian zoonosis dilaksanakan oleh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah
sesuai dengan tugas dan fungsi masing- masing secara terkoordinasi, dan terintegrasi dalam satu
kesatuan dengan memperhatikan ketentuan Peratuan Perundang-undangan.
Strategi Pengendalian Zoonosis dilakukan dengan:
a. Mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan meningkatkan
upaya pengendalian zoonosis pada sumber penularan;
b. Penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka membangun sistem pengendalian
zoonosis, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan, strategi dan program;
c. Perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan,
penanggulangan kejadian luar biasa/wabah dan pandemi serta pemusnahan sumber
zoonosis pada hewan apabila diperlukan;
d. Penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis baru;
e. Peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis;
f. Penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, logistik,
pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran
pengendalian zoonosis;
g. Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis;

49
h. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihak-pihak lain.
(Peraturan Presiden tentang Pengendalian Zoonosis Nomor 30 tahun 2011)

50
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan
vertebrata dan manusia. Zoonosis pada manusia dan hewan merupakan kendala dalam usaha
peternakan dan kesehatan manusia.. Zoonosis mencakup berbagai penyakit menular yang secara
biologis berbeda satu dengan lainnya. Berdasarkan agens penyebabnya, zoonosis dibedakan atas
zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau yang disebabkan oleh jamur. TBC,
Flu burung, Rabies, Toxoplasmiosis, dan Kurap merupakan salah satu contoh penyakit zoonosis
yang sering timbul di masyarakat. Kelima penyakit tersebut merupakan penyakit menular yang
apabila tidak segera diobati dapat berakibat kematian. Sebelum mengupayakan tindakan yang
tepat dalam menangani kelima penyakit tersebut, maka kita harus mengetahui definisi, klasifikasi
dari masing-masing penyakit diatas, bagaimana distribusi penyakitnya, cara penularannya, gejala
klinis apa yang ditimbulkan, pengobatan dan yang terakhir adalah upaya pencegahan tersebar
luasnya penyakit zoonosis tersebut.

3.2 Saran
Dalam upaaya pencegahan dan pemberantasan penyakit zoonosis, penyakit ini harus
mendapat perhatian yang serius dari lembaga terkait untuk menekan penyebarannya. Pemerintah
memerlukan beberapa strategi dalam pengendalian zoonosis ini, dimana peran dan kepedulian
masyarakat untuk membantu Pemerintah dalam memberantas penyakit ini sangatlah penting.
Karena tanpa adanya peran serta dari masyarakat, segala peraturan yang telah disusun oleh
Pemerintah menjadi tidak berguna. Untuk itu kerjasama dari masyarakat dan Pemerintah dalam
pengendalian penyakit ini harus seimbang.

51
DAFTAR PUSTAKA

Oxorn, Harry, dkk.Ilmu Kebidanan : Patologi dan Fisisologi Persalinan.


http://www.penyakithewan.com/2013/02/jenis- penyakit-yang-sering-terjadi-pada.html
http://www.medicineNet.com
http://www.depkes.go.id/downloads/waspadai.pdf
http://www.influenzareport.com/influenzareport_indonesian.pdf
http://www.depkes.go.id/downloads/flu_H1N1/tata_laksana_avian_influenza.pdf
http://dinkes.jatimprov.go.id/userimage/dokumen/Upaya%20Penanggulangan%20Flu
%20Burung%20di%20Jawa%20Timur.pdf

52

Anda mungkin juga menyukai