Anda di halaman 1dari 3

Prestasi berasal dari kata prestise yang berarti kebanggaan.

Dengan kata lain setiap


pekerjaan yang bisa membuat orang lain dan diri sendiri bangga, itu sudah layak disebut
prestasi. Mahasiswa berprestasi membanggakan para dosen dan melambungkan reputasi
institusi. Mereka menjadi figur panutan yang dianggap lebih unggul daripada mahasiswa
yang lain. Mereka juga mampu menarik perhatian dunia dengan kemampuan ‘istimewa’
mereka. Persis seperti magnet yang menarik besi-besi tak bermuatan. Sayangnya, kata
‘prestasi’ yang ada pada bahasa Indonesia sangatlah sempit jika digunakan untuk
menguraikan makna “prestasi” yang sesungguhnya. Prestasi tidak hanya terbatas pada
kemampuan memenangkan berbagai macam perlombaan, atau sekedar memiliki pengagum
yang banyak. Prestasi adalah sebuah kerja nyata untuk masyarakat baik itu secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dan dilakukan dengan istiqomah. Karenanya,
janganlah terlalu fokus mengejar prestasi. Mengapa? Lagi-lagi kita perlu mengembalikan
makna asal dari prestasi, yaitu prestise (kebanggaan). Kalau asal bangga tetapi tidak diiringi
dengan kerja nyata untuk masyarakat, maka itu adalah prestasi semu. Seharusnya sebagai
mahasiswa kita fokus untuk mengejar kontribusi, bukan lagi ‘sekedar’ prestasi. Dengan
memperbanyak kontribusi, semakin besar peluang kita untuk meraih prestasi. Meskipun
nantinya tidak ada piala dan medali yang disematkan kepada kita, setidaknya orang lain bisa
merasakan manfaat dari apa yang kita kerjakan. Jika mentok tidak ada yang memberikan
apresiasi atas kinerja kita, tidak ada yang menganggapnya, apalagi menghargainya, kita
perlu meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui atas segara sesuatu.

“Dan Katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan’.” (QS At-Taubah[9]:105)
Cukuplah deretan piala itu menghiasi etalase-etalase di ruang tamu rumah kita. Itu hanyalah
simbol yang bisa lenyap dan hancur. Yang mengabadi adalah kontribusi kita untuk
masyarakat dan untuk seluruh umat manusia. Itulah prestasi yang sesungguhnya. Sebuah
Prioritas Jangan salah sangka dengan pernyataan saya pada pembahasan sebelumnya. Tidak
ada niatan untuk mendiskreditkan mereka yang ber-‘prestasi’, karena prestasi merupakan
hal yang wajar untuk dikejar. Bahkan Islam menganjurkan agar pemeluknya untuk
senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan.

“…maka berlomba-lombalah kamu dalam hal kebaikan…” (QS Al-Baqarah[2]:148)


Barangkali perlu diingatkan kepada mereka para peraih prestasi –temasuk diri saya sendiri-,
bahwa prestise (kebanggaan) hanyalah sekelumit dampak yang bisa kita ambil dari ranah
kontribusi yang begitu luas. Bisa jadi orang tidak bangga dengan pekerjaan kita, tetapi ada
ungkapan yang lebih tinggi dari hanya sekedar bangga. Kita tidak akan bangga dengan apa
yang dilakukan oleh para petani, tetapi kita sangat menghargainya. Para korban bencana
alam memang tidak bangga dengan apa yang dilakukan oleh para relawan, namun mereka
sudah pada tingkatan haru. Seorang anak yang memiliki orang tua penyayang, tidak hanya
bangga dengan ibu-bapaknya. Dia merasa sangat beruntung. Seorang pasangan suami-istri
yang saling memadu kasih, tidak hanya merasa bangga satu sama lain. Lebih dari itu, mereka
sama-sama merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, tidak selamanya kebanggaan itu membawa
dampak yang baik. Kita bisa melihat fenomena suporter sepak bola yang ada di Indonesia.
Karena kebanggan yang berlebih, para suporter rela berdesak-desakan di tribun penonton,
hanya untuk melihat tim mereka berprestasi. Kalau tim kesayangan mereka mendapatkan
juara, mereka akan berpawai di jalan-jalan untuk meluapkan kegembiraan. Lantas, adakah
dampak signifikan bagi mereka setelah tim yang mereka bangga-banggakan meraih
prestasi? Barangkali tidak ada. Bahkan tidak sedikit dari kejadian-kejadian itu yang
membawa petaka. Mulai dari luka-luka sampai hilangnya nyawa. Sebenarnya kalau
mahasiswa ingin berprestasi, tidak perlu memikirkan sejauh itu. Yang ditekankan di sini
adalah masih banyak yang perlu kita raih daripada sekedar kebanggaan. Untuk meraih
prestasi yang benar-benar ‘prestasi’, maka jadilah seperti nasi. Dia merupakan makanan
pokok yang dibutuhkan oleh semua orang. Tidak seperti obat ataupun racun. Obat memang
menyembuhkan, tetapi ia hanya dibutuhkan pada saat-saat tertentu saja. Pada saat yang
lain, ia bisa menjadi zat yang berbahaya untuk dikonsumsi. Apalagi racun, tidak ada yang
mau meminumnya kecuali orang-orang depresi yang sudah tidak tahan hidup di dunia ini.

“…sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.”
(HR Bukhari)
Kita mendapati bahwa prioritas utama kita dalam berkontribusi adalah kemanfaatan bagi
orang lain. Untuk apa kita berpayah-payah berprestasi sedangkan masih banyak urusan
umat yang belum terselesaikan? Untuk apa berpayah-payah berprestasi sedangkan
dampaknya hanya terhenti pada taraf bangga? Sekali lagi bukan untuk mendiskreditkan
mereka yang berprestasi. Hanya kembali mengingatkan bahwa masih banyak yang perlu kita
raih daripada sekedar kebanggaan. Setelah Paham, Berprestasilah! Saya takut setelah
membaca tulisan pada pembahasan sebelumnya jadi banyak di antara kita yang enggan
mengikuti perlombaan dan kompetisi dengan alasan, “yang penting kontribusi”. Sungguh,
saya sama sekali tidak berniat untuk menghambat potensi berprestasi yang kita miliki. Saya
hanya ingin mengubah mindset dari semangat berprestasi kita. Setiap manusia memiliki
potensi untuk berprestasi. Ketika kita ingin mengejar sebuah prestasi, sebenarnya yang kita
kejar adalah potensi yang ada pada diri kita sendiri. Jadi tidak ada alasan untuk tidak
berprestasi. Kuncinya, “Perbanyak kontribusi, prestasi akan mengikuti.” Semoga
mencerahkan.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "“Berprestasi, Jadilah
Seperti Nasi!”", Klik untuk baca:

Seharusnya sebagai guru ataupun siswa kita fokus untuk mengejar kontribusi, bukan lagi
‘sekedar’ prestasi. Dengan memperbanyak kontribusi, semakin besar peluang kita untuk
meraih prestasi. Meskipun nantinya tidak ada piala dan medali yang disematkan kepada
kita, setidaknya orang lain bisa merasakan manfaat dari apa yang kita kerjakan. Jika mentok
tidak ada yang memberikan apresiasi atas kinerja kita, tidak ada yang menganggapnya,
apalagi menghargainya, kita perlu meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui atas segara
sesuatu.

“Dan Katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan’.” (QS At-Taubah[9]:105)
Cukuplah deretan piala itu menghiasi etalase-etalase di ruang tamu rumah kita. Itu hanyalah
simbol yang bisa lenyap dan hancur. Yang mengabadi adalah kontribusi kita untuk
masyarakat dan untuk seluruh umat manusia. Itulah prestasi yang sesungguhnya
Untuk meraih prestasi yang benar-benar ‘prestasi’, maka jadilah seperti nasi. Dia merupakan
makanan pokok yang dibutuhkan oleh semua orang. Tidak seperti obat ataupun racun. Obat
memang menyembuhkan, tetapi ia hanya dibutuhkan pada saat-saat tertentu saja
Ketika kita ingin mengejar sebuah prestasi, sebenarnya yang kita kejar adalah potensi yang
ada pada diri kita sendiri. Jadi tidak ada alasan untuk tidak berprestasi. Kuncinya,
“Perbanyak kontribusi, prestasi akan mengikuti.

Anda mungkin juga menyukai