Laporan DKP2
Laporan DKP2
Kelompok Diskusi 8:
1.1 Pemicu
Revolusi KIA adalah satu program yang telah dicanangkan Gubernur
Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam rangka perecepatan pencapaian
MDGs, yang diawali tahun 2009. Program tersebut merupakan lintas
sektoral. Persiapan dalam bidang kesehatan adalah melengkapi fasilitas-
fasilitas kesehatan supaya dapat menangani kegawatdaruratan maternal dan
neonatus, dengan melengkapi Puskesmas menjadi Pelayanan Obstetrik dan
Neonatus Emergency Dasar serta Rumah sakit umum daerah menjadi RSU
PONEK (komprehensif). Khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan,
didapatkan hasil-hasil sebagai berikut :
2
1.2 Klarifikasi dan definisi
a. MDGs : Millenium Development Goals (Tujuan pembangunan
millenium).
b. PONEK : Pelayanan obstetri dan neonatal komprehensif di rumah
sakit.
c. KIA : Kesehatan ibu dan anak
3
1.5 Analisis masalah
Kesehatan
Revolusi KIA MGDs
ibu
Evaluasi SKN
1.6 Hipotesis
Masalah kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu belum
tercapainya tujuan revolusi KIA yang dipengaruhi oleh sumber daya
kesehatan dan sumber daya masyarakat.
4
2. Jelaskan mengenai program MDGs dalam meningkatkan angka
kesehatan ibu!
3. Apa faktor risiko internal dan eksternal yang mempengaruhi kematian
neonatus di Indonesia?
4. Jelaskan mengenai revolusi KIA!
5. Jelaskan mengnai RSU PONEK!
6. Jelaskan mengenai puskesmas PONED!
7. Bagaimana peran dan fungsi puskesmas pada pelayanan:
a. Kesehatan primer
b. Ibu dan anak
8. Jelaskan tentang SKN 2012!
9. Gambaran KIA di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terbaru
10. Apa saja fasilitas yang harus ada dalam RSU PONEK?
11. Faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian peningkatan mortalitas
pada anak?
12. Faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian peningkatan mortalitas
pada ibu?
13. Faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian peningkatan BBLR?
14. Bagaimana gambaran kehidupan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara
Timur?
15. Bagaimana evaluasi program KIA terhadap SKN?
16. Bagaimana gambaran permasalahan KIA di Timor Leste?
17. Bagaimana perbandingan pencapaian penanggulangan kematian
maternal di Indonesia dibandingkan dengan negara Timor Leste?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
tahun 1995. Berdasarkan data-datatersebut, target yang harus dicapai adalah
97. Melihat kecenderungan saat ini, Indonesia tidak akan mencapai target.
Indikator kedua yaitu proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga
kesehatan terlatih, saat ini menunjukkan angka 73%.
b. Target 5B: Mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi untuk
semua pada 2015. Penggunaan kontrasepsi oleh wanita usia 15-49 tahun
meningkat menjadi 61.0%. Perawatan antenatal juga mengalami peningkatan.
Akan tetapi, dengan keterbatasan data, sulit untuk mengukur sejauh mana
pencapaian target akses untuk kesehatan reproduksi.
Gambar grafik 2.3 menunjukkan bahwa “tingkat kematian ibu” telah turun
dari 390 menjadi sekitar 307 per 100.000 kelahiran. Artinya, seorang perempuan
yang memutuskan untuk mempunyai empat anak memiliki kemungkinan
meninggal akibat kehamilannya sebesar 1,2%. Angka tersebut bisa jauh lebih
tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dan terpencil. Satu survei di
Ciamis, Jawa Barat, misalnya, menunjukkan bahwa rasio tersebut adalah 56117.
Target MDGs adalah untuk menurunkan rasio hingga tiga perempatnya dari angka
tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio saat itu adalah sekitar 450, target MDGs
adalah sekitar 110.1
7
Sekitar 60% persalinan di Indonesia berlangsung di rumah. Dalam kasus
seperti ini, para ibu memerlukan bantuan seorang ”tenaga persalinan terlatih”.
Untungnya banyak perempuan yang mendapatkan bantuan tersebut. Seperti
tampak pada gambar 2.4, pada 2007 proporsi persalinan yang dibantu oleh tenaga
persalinan terlatih, baik staf rumah sakit, pusat kesehatan ataupun bidan desa,
telah mencapai 73%. Sekali lagi angka ini sangat bervariasi di seluruh Indonesia,
mulai dari 39% di Gorontalo hingga 98% di Jakarta.1
2.3 Apa faktor risiko internal dan eksternal yang mempengaruhi kematian
neonatus di Indonesia?
Menurunkan angka kematian anak merupakan salah satu tujuan MDGs 2015.
Di Indonesia angka kematian bayi sangat tinggi, pada tahun 2007 terjadi kematian
32 anak per 1.000 kelahiran. Hal ini berarti setiap 1 jam terdapat 10 kematian bayi.
Contohnya adalah di RSUPN Cipto Mangunkusumo, angka kematian neonatus
mencapai 30% dari angka kematian 42,7% per 1000 kelahiran hidup pada 2009.
Berdasarkan Riskesdes 2007 penyebab kematian adalah:2
1. Neonatus (0-6 hari) à asfiksia (37%), prematuritas (34%), dan sepsis (12%)
2. Neonatus (7-28 hari) à sepsis (20,5%), kelainan kongenital (19%),
pneumonia (17%), RDS (14%), dan prematuritas (14%).
8
Kematian neonatal adalah akhir kehidupan, ketiadaan nyawa dalam
organisme biologis. Kematian neonatal adalah kematian Neonatal yang berumur 0
sampai 29 hari.3 Setiap tahun diperkirakan delapan juta Neonatal lahir mati atau
meninggal pada bulan pertama dari kehidupannya. Sebagian besar dari kematian
ini terjadi di Negara berkembang. Angka kematian neonatal di Indonesia pada
tahun 2001 adalah 25 per 1000 kelahiran hidup, dan angka tersebut masih
termasuk dalam kategori tinggi bila dibandingkan dengan angka kematian
neonatal dunia yaitu 28 per 1000 kelahiran hidup.
a. Infeksi
Infeksi adalah terkena hama, kemasukan bibit penyakit, atau peradangan,
serta pengembangan parasit dalam tubuh. Beberapa tanda dan gejala infeksi yaitu
Malas minum, gelisah, frekuensi pernapasan meningkat, berat badan tiba-tiba
turun, pergerakan kurang, diare, selain itu dapat terjadi edema, purpura, ikterus,
hepatospleno megalia dan kejang, serta pada bayi BBLR seringkali terjadi
hipotermia dan sklerema. Infeksi yang terbanyak Pada masa antenatal. Pada masa
antenatal. kuman masuk ke tubuh janin melalui peredaran darah ibu ke plasenta
dan selanjutnya infeksi melalui serkulasi umbilikalis masuk ke janin. Infeksi
intranatal lebih sering terjadi dengan cara kuman dari vagina naik dan masuk
kedalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Pecah ketuban lebih dari 12 jam
akan menjadi penyebab timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat terjadi
walaupun ketuban masih utuh. Janin terkena infeksi karena inhalasi likuor yang
septic sehingga terjadi pneumonia congentinal atau karena kuman memasuki
peredaran darahnya dan menyebabkan seplikerta. Infeksi intranatal dapat juga
terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat dalam vagina
misalnya blennorhoe. Sedangkan infeksi terjadi akibat penggunaan alat-alat
perawatan yang tidak steril, tindakan yang tidak antiseptik, atau dapat juga terjadi
akibat infeksi silang, misalnya tetanus neonatorum, omfalitis, dan lain-lain.4
b. Asfiksia
Asfiksia adalah perubahan patologis yang disebabkan oleh kekurangan
oksigen dalam udara pernapasan yang mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnia.
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif akibat penimbunan CO2 dan asidosis.
9
Bila proses ini berlangsung terlalu jauh maka dapat mengakibatkan kerusakan
pada otak dan kematian. Asfiksia juga bisa mempengaruhi fungsi organ fital
lainnya. Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernafas spontan dan teratur dalam 1 menit setelah lahir. Biasanya terjadi pada
bayi yang dilahirkan dari ibu dengan kelahiran kurang bulan (<34 minggu), dan
kelahiran lewat waktu.6 Kasus asfiksia berat bayi akan mengalami asidosis
sehingga memerlukan perbaikan dan resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan
gejala yang muncul pada asfiksia berat seperti Frekuensi jantung kecil, yaitu <40
kali per menit, tidak ada usaha nafas pada neonatal, Tonus otot lemah bahkan
hampir tidak ada.
c. BBLR
BBLR adalah bayi baru lahir yang berat badannya 2500 gram atau kurang.
Menurut WHO BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau
sama dengan 2500 gram.Bayi lahir dengan BBLR memiliki kemungkinan untuk
meninggal selama masa neonatal sebanyak 20-30 kali lebih besar dibandingkan
dengan bayi yang lahir dengan berat cukup. Neonatal berat lahir rendah (BBLR)
ialah Neonatal yang lahirnya dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada saat
lahir. Masalah yang muncul pada Neonatal BBLR meliputi asfiksia, gangguan
nafas, hipotermia, hipoglikemi, masalah pendarahan, dan rentan terhadap
pemberian ASI yang kurang. Masalah-masalah tersebut sangat rentan terhadap
timbulnya kematian neonatal.5
Persalinan prematur adalah persalinan belum cukup umur di bawah 37
minggu atau berat lahir kurang dari 2500 gram. Persalinan prematur merupakan
penyebab tertinggi kematian neonatus, tumbuh kembang janin sering terlambat.
Salah satu penyebab utama kematian neonatus tersebut adalah asfiksia atau
sindrom gawat nafas. Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang melampaui
usia 292 hari (42 minggu) dengan gejala kemungkinan komplikasinya.
Komplikasi dapat terjadi pada ibu dan janin, komplikasi pada janin diantaranya
adalah oligohidramnion yang mengakibatkan asfiksia dan gawat janin intrauterine,
dan aspirasi air ketuban disertai mekonium yang mengakibatkan gangguan
pernafasan janin dan gangguan sirkulasi bayi setelah lahir.
10
2.4 Jelaskan mengenai revolusi KIA!
Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu bentuk
upaya percepatan penurunan angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir
dengan berbagai program melalui persalinan pada fasilitas pelayanan kesehatan
yang memadai. Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan anak dengan
meningkatkan pelayanan kesehatan ibu, maka Dinas Kesehatan Provinsi NTT
pada tahun 2009 mencanangkan suatu gerakan yang disebut ‘Revolusi KIA”.
Dalam Revolusi KIA ada enam elemen. Pertama, orang yang menolong harus
memadai. Kedua, peralatan kesehatan harus sesuai standar. Ketiga, obat dan
bahan yang dibutuhkan. Keempat, bangunan yang sesuai dengan standar dan
fungsi. Kelima, sistem pelayanan yang bagus. Keenam, anggaran yang memadai.7
Alhasil, terdapat peningkatan jumlah persalinan oleh tenaga kesehatan di
pelayanan kesehatan terlihat sejak adanya Revolusi KIA. Faktor pendukung utama
dari keberhasilan ini adalah sistem reward dan punishment, dan pemberdayaan
masyarakat yang sudah berjalan baik, antara lain diaktifkannya ambulan
masyarakat, papan bulin di kantor kades, bendera bumil, stiker bumil, kemitraan
bidan dan dukun (bikun), kader aktif sebagai pendamping ibu hamil, ibu bersalin,
dukun yang kooperatif, tabungan ibu bersalin, dan adanya peraturan desa.7
11
1. Untuk menanggulangi kasus kegawatdaruratan obstetric dan neonatal
sehingga dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB).
2. Diharapkan dapat menurunkan derajat kesakitan dan meminimalkan jumlah
kematian para ibu dan bayi di Indonesia. Hal ini terkait pula dengan fakta
bahwa AKI dan AKB di Indonesia yang menempati urutan atas di ASEAN.
3. PONED dan PONEK diadakan juga bertujuan untuk menghindari rujukan
yang lebih dari dua jam dan untuk memutuskan rantai rujukan itu sendiri.
Ruang lingkup PONEK:8
1. Batasan yang boleh dilakukan oleh Bidan. Dalam PONEK, bidan boleh
memberikan pelayanan sebagai berikut: 1) Injeksi antibiotika; 2) Injeksi
uterotonika; 3) Injeksi sedative; 4) Plasenta manual; 5) Transfusi darah; dan
6) Perawatan neonatal secara intensif.
2. Kriteria Rumah Sakit. 1) Memiliki fasilitas rawat inap; 2) Memiliki
Puskesmas binaan; 3) Rumah sakit tipe C.
Hambatan dan kendala dalam penyelenggaraan PONED dan PONEK adalah:8
a. Mutu Sumber Daya Manusia yang rendah
b. Sarana-prasarana yang kurang
c. Keterampilan yang kurang
d. Koordinasi antara puskesmas PONED dan rumah sakit PONEK dengan
puskesmas non PONED belum maksimal.
e. Kebijakan yang kontradiktif
f. Pembinaan terhadap pelayanan emergensi neonatal belum memadai.
12
obstetri dan neonatal dasar. Puskesmas PONED merupakan puskesmas yang siap
24 jam, sebagai rujukan antara kasus-kasus rujukan dari polindes dan puskesmas.
Polindes dan puskesmas non perawatan disipakan untuk mealkukuan pertolongan
pertama gawat darurat obstetri dan neonatal (PPGDON) dan tidak disiapkan untuk
melakukan PONED. PONED diadakan bertujuan untuk menghindari rujukan yang
lebih dari 2 untuk memutuskan mata rantai rujukan itu sendiri.9
Dalam PONED bidan boleh memberikan:9
a. Injeksi antibiotika
b. Injeksi uterotonika
c. Injeksi sedative
d. Plasenta manual
e. Ekstraksi vacuum
f. Tranfusi darah
g. Operasi SC
Indikator Kelangsungan Dari Puskesmas Poned:9
a. Kebijakan tingkat PUSKESMAS
b. SOP (Sarana Obat Peralatan)
c. Kerjasama RS PONED
d. Dukungan Diskes
e. Kerjasama SpOG
f. Kerjasama bidan desa
g. Kerjasama Puskesmas Non PONED
h. Pembinaan AMP
i. Jarak Puskesmas PONED dengan RS
Hambatan dan kendala dalam penyelenggaraan PONED dan yaitu:9
a. Mutu SDM yang rendah
b. Sarana prasarana yang kurang
c. Ketrampilan yang kurang
d. Koordinasi antara Puskesmas PONED dan RS PONEK dengan Puskesmas
Non PONED belum maksimal
e. Kebijakan yang kontradiktif (UU Praktek Kedokteran)
13
f. Pembinaan terhadap pelayanan emergensi neonatal belum memadai
Tugas Puskesmas Poned
a. Menerima rujukan dari fasilitas rujukan dibawahnya, Puskesmas pembantu dan
Pondok bersalin Desa
b. Melakukan pelayanan kegawatdaruratan obstetrik neonatal sebatas wewenang
c. Melakukan rujukan kasus secara aman ke rumah sakit dengan penanganan pra
hospital.
Syarat Puskesmas Poned adalah:9
a. Pelayanan buka 24 jam
b. Mempunyai Dokter, bidan, perawat terlatih PONED dan siap melayani 24
jam
c. Tersedia alat transportasi siap 24 jam
d. Mempunyai hubungan kerjasama dengan Rumah Sakit terdekat dan Dokter
Spesialis Obgyn dan spesialis anak
Petugas Pelaksana Poned:9
a. Dokter umum 2 orang
b. Bidan 8 orang
c. Perawat
d. Petugas yang telah mendapat pelatihan PONED
Pelayanan Yang Dilaksanakan:9
a. Pelayanan KIA/KB
b. Pelayanan ANC & PNC
c. Pertolongan Persalinan normal
d. Pendeteksian Resiko tinggi Bumil
e. Penatalaksanaan Bumil Resti
f. Perawatan Bumil sakit
g. Persalinan Sungsang
h. Partus Lama
i. KPD
j. Gemeli
Faktor Pendukung Keberhasilan Poned Puskesmas:9
14
a. Adanya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JKRS, Jamkesmas)
b. Sistem rujukan yang mantap dan berhasil
c. Peran serta aktif bidan desa
d. Tersedianya sarana/prasarana, obat dan bahan habis pakai
e. Peran serta masyarakat, LSM, lintas sektoral dan Stage Holder yang
harmonis.
f. Peningkatan mutu pelayanan perlu menyesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi serta kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan
standart pelayanan minimal.
15
5. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat;
6. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas;
7. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
8. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,
dan cakupan Pelayanan Kesehatan; dan
9. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat,
termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon
penanggulangan penyakit.
b. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Dalam menyelenggarakan fungsi Penyelenggaraan UKP tingkat
pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas berwenang untuk:
1. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu;
2. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif;
3. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat;
4. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengu menyelenggarakan
Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan
pasien, petugas dan pengunjung;
5. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan
kerja sama inter dan antar profesi;
6. Melaksanakan rekam medis;
7. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan
akses Pelayanan Kesehatan;
8. Melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
9. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
10. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan
Sistem Rujukan.
16
2.7.2 Ibu dan anak
Secara umum, terdapat enam program kesehatan pokok yang
dilakukan oleh Puskesmas, yaitu promosi kesehatan, kesehatan lingkungan,
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, kesehatan ibu dan anak,
perbaikan gizi masyarakat serta penyembuhan penyakit dan pelayanan
kesehatan. Pada kasus di pemicu, program Puskesmas yang paling menonjol
adalah terkait kesehatan ibu dan anak. Program yang dapat dilaksanakan
oleh Puskesmas terkait pemicu adalah melalui upaya kesehatan ibu dan anak
yang dapat dilakukan dengan pelayanan Puskesmas PONED, pemberdayaan
masyarakat, pengadaan fasilitas memadai terkait kesehatan ibu dan anak,
sosialisasi pada masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ibu dan anak,
pendataan dan evaluasi terkait kesehatan ibu dan anak, penelitian dan
pengembangan terkait permasalahan kesehatan ibu dan anak serta
berinteraksi secara internal maupun eksternal dalam pemecahan masalah.11
17
untuk keberhasilan pembangunan nasional. Tujuan SKN adalah terselenggaranya
pembangunan kesehatan oleh semua komponen bangsa, baik Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum, badan usaha,
dan lembaga swasta secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Subsistem SKN
dikelompokkan sebagai berikut:12
1. Subsistem Upaya Kesehatan
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh
potensi bangsa Indonesia sebagai ketahanan nasional. Upaya kesehatan
diselenggarakan oleh Pemerintah (termasuk TNI dan POLRI), pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota, dan/atau masyarakat/swasta melalui upaya peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan pemulihan kesehatan, di
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan.
2. Subsistem Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Untuk mendapatkan dan mengisi kekosongan data kesehatan dasar dan/atau
data kesehatan yang berbasis bukti perlu diselenggarakan kegiatan penelitian dan
pengembangan kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi dan sumber daya
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pengelolaan penelitian dan pengembangan
kesehatan terbagi atas penelitian dan pengembangan biomedis dan teknologi dasar
kesehatan, teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik, teknologi
intervensi kesehatan masyarakat, dan humaniora, kebijakan kesehatan, dan
pemberdayaan masyarakat. Penelitian dan pengembangan kesehatan
dikoordinasikan penyelenggaraannya oleh Pemerintah.
3. Subsistem Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni: Pemerintah,
Pemerintah Daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.
Pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan berkesinambungan
memegang peran yang vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Pembiayaan pelayanan
kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public good) yang menjadi
18
tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan
pembiayaannya bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan
tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembiayaan pelayanan
kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan
dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya diharapkan akan
mencapai universal health coverage sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
4. Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumber daya manusia
kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis, dan kualitasnya, serta
terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan
kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang termasuk kelompok tenaga
kesehatan, sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang dimiliki terdiri dari tenaga
medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan dan kebidanan, tenaga kesehatan
masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik,
tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lainnya, diantaranya termasuk
peneliti kesehatan.
5. Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Subsistem ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin: aspek keamanan,
khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang
beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat
esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan
penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di
bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri.
6. Subsistem Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan
Subsistem ini meliputi kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum
kesehatan, dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan
kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen
kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, regulasi,
19
sinkronisasi, dan harmonisasi berbagai subsistem SKN agar efektif, efisien, dan
transparansi dalam penyelenggaraan SKN tersebut.
7. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan
perorangan, keluarga dan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-
mata sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek
atau penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan. Oleh karenanya
pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk
swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan.
Dalam pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat meliputi pula upaya
peningkatan lingkungan sehat oleh masyarakat sendiri dan upaya peningkatan
kepedulian sosial dan lingkungan sekitar.
Upaya pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat akan berhasil
pada hakekatnya apabila kebutuhan dasar masyarakat sudah terpenuhi.
Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada hakekatnya merupakan
fokus dari pembangunan kesehatan.
20
penyebab kematian ibu secara tidak langsung, seperti kondisi penyakit kanker,
tuberkulosis atau penyakit lainnya yang diderita oleh ibu. Bila berbicara mengenai
tempat yang dipilih untuk bersalin, rumah masih menjadi pilihan yang cukup
besar di Indonesia, yaitu 29,6%, sehingga jika terjadi komplikasi pada saat
persalinan, pertolongan pertama akan terlambat diberikan.
21
Tabel 2.2 Persentase tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa
Tenggar Timur15
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa sebagian besar masyarakat NTT
masih meilih melakukan persalinan di rumah meskipun pada beberapa kabupaten
lebih dari 50% masyarakanya memilih ke pelayanan kesehatan. Kabupaten Sabu
Raijua adalah kabupaten tertinggi dengan minat melahirkan di rumah terbesar
dengan persentase sebesar 84,8%, diikuti oleh kabupaten Manggarai Timur, yaiut
81,1%.
Pertolongan persalinan di Indonesia sangat tinggi di berbagai provinsi di
atas target Rencana Strategis (Renstra) yang telah ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan RI, yaitu sebesar 89%. Provinsi NTT menduduki peringkat 3 besar
terakhir (paling rendah) dengan angka 74,08%. Hal ini dapat dilihat pada tabel di
bawah.
22
Gambar 2.5 Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan menurut
provinsi tahun 2013.14
23
Tabel 2.3 Persentase penolong persalinan kualifikasi tertinggi menurut
kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur.15
Gambar 2.6 Angka kematian neonatorum, bayi dan balita tahun 1992-2012.16
24
Angka kematian anak di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun
1991. Pada tahun 2012, kejadian mortalitas neonatum, bayi dan balita
menunjukkan angka terendah yaitu 19, 32 dan 40 per 100.000 kelahiran hidup.
Tabel 2.4 Persentase berat badan lahir dari anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur.15
Salah satu faktor yang mempengaruhi angka kematian anak adalah berat
badan yang rendah saat lahir.17 Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar anak di
NTT lahir dengan berat badan normal.15
25
2.10 Apa saja fasilitas yang harus ada dalam RSU PONEK?18
1. Sumber Daya Manusia
Memiliki tim PONEK esensial yang terdiri dari:
a. 1 dokter spesialis kebidanan kandungan
b. 1 dokter spesialis anak
c. 1 dokter di Unit Gawat Darurat
d. 3 orang bidan (1 koordinator dan 2 penyelia)
e. 2 orang perawat
Tim PONEK ideal ditambah:
a. 1 dokter spesialis anestesi/perawat anestesi
b. 6 bidan pelaksana
c. 10 perawat (tiap shift 2-3 perawat jaga)
d. 1 petugas laboratorium
e. 1 pekarya kesehatan
f. 1 petugas administrasi
2. Prasarana dan Sarana
a. Ruangan maternal yang terdiri atas kamar bersalin, unit perawatan
intensif/eklampsia/sepsis.
b. Ruangan neonatal yang terdiri atas unit perawatan intensif, unit
perawatan khusus, area laktasi, area pencucian inkubator.
c. Ruang operasi
d. Ruangan penunjang harus disediakan seperti ruang perawat/bidan,
kantor perawat, ruang rekam medik, toilet staf, dan ruang staf medik.
3. Prasarana dan Sarana Penunjang
a. Unit transfusi darah
b. Laboratorium
c. Radiologi dan USG
26
a. Jarak antara kelahiran yang pendek
b. Kembar
c. BBLR
d. Komplikasi pada saat kehamilan
e. Usia ibu >35 tahun saat melahirkan
f. Multipara
g. Bayi laki-laki
h. Kondisi higenitas, misalnya jenis air untuk konsumsi anak
27
cenderung lebih mendapat perawatan antenatal atau perawatan sebelum
melahirkan dibandingkan mendapat perawatan kebidanan yang seharusnya
diterima selama persalinan atau pasca persalinan. Nyatanya, lebih dari
separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah
melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Perdarahan hebat adalah penyebab yang paling utama dari kematian ibu di
seluruh dunia. Di berbagai negara, paling sedikit seperempat dari seluruh
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan; proporsinya berkisar antara
kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun wanita dapat bertahan
hidup setelah mengalami perdarahan pasca persalinan, namun ia akan
menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan
mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan. Perdarahan hebat dari
rahim setelah persalinan merupakan masalah yang serius. Biasanya selama
persalinan ibu kehilangan darah sebanyak 0,5 liter. Ketika plasenta lepas dari
rahim, pembuluh darah rahim terbuka. Kontraksi rahim membantu
menutupnya pembuluh darah ini sampai mengalami pemulihan lengkap. Jika
setelah proses persalinan rahim tidak berkontraksi atau jika sejumlah kecil
plasenta tertinggal di dalam rahim sehingga rahim tidak dapat berkontraksi,
maka darah yang hilang akan lebih banyak. Robekan pada vagina atau serviks
juga bisa menyebabkan perdarahan hebat.
b. Riwayat Penyakit
Ibu yang mempunyai riwayat penyakit mempunyai risiko 6,4 kali lebih
besar untuk terjadi kematian ibu dibandingkan yang tidak mempunyai riwayat
penyakit. Setelah dianalisis dalam multivariat menujukkan peningkatan nilai
OR, yaitu ibu yang mempunyai riwayat penyakit mempunyai risiko 25,4 kali
lebih besar untuk terjadi kematian ibu dibandingkan yang tidak mempunyai
riwayat penyakit. Jenis penyakit yang diderita ibu antara lain hipertensi,
jantung, asma bronkiale, anemia, leukimia, typoid dan TB paru.
Hal ini sesuai dengan penelitian (Brobin et all, 2001) yang menyatakan
penyakit yang berpengaruh terhadap kematian ibu adalah anemia dan malaria.
28
(Rogo, 2002) menyatakan penyakit yang berhubungan dengan kematian ibu
adalah jantung, hipertensi, epilepsi dan asma bronkiale.23,24
Penyakit menahun seperti tuberkulosis, penyakit jantung ginjal, malaria,
hepatitis, anemia dn malnutrisi merupakan penyakit yang menyumbang
kematian ibu di negara berkembang.
c. Riwayat Persalinan
Ibu yang mengalami kelainan saat persalinan mempunyai risiko 25,0 kali
lebih besar untuk terjadi kematian ibu dibandingkan yang tidak mengalami
kelainan persalinan. Setelah dianalisis dalam multivariat menujukkan
penurunan nilai OR, yaitu ibu yang mengalami kelainan saat persalinan
mempunyai risiko 13,1 kali lebih besar untuk terjadi kematian ibu
dibandingkan yang tidak mengalami kelainan persalinan. Jenis kelainan
persalinan yang diderita oleh ibu dalam penelitian ini antara lain partus macet,
persalinan patologis, persalinan vakum dan persalinan caesar.
Hal ini sesuai dengan penelitian (Tharaux et all, 2006) yang menyatakan
kematian maternal lebih besar pada wanita dengan operasi caesar di
bandingkan persalinan lewat vaginal. Jika selama proses persalinan
berlangsung terjadi komplikasi seperti tidak ada kemajuan dalam persalinan,
denyut jantung yang abnormal, ketuban pecah dini, kelainan posisi bayi, bayi
kembar, distosia bahu, prolapsus korda umbilikalis maka akan dilakukan
tindakan seperti induksi persalinan, persalinan dengan bantuan forseps/vakum
atau persalinan saesar. Dengan di induksi maka kontraksi rahim menjadi kuat,
dan bila tidak menunjukkan kemajuan persalinan dapat menyebabkan
gangguan denyut jantung pada bayi maupun pada ibunya. Pemakain
forsep/vakum dapat menyebabkan memar pada wajah dan robekan pada kulit
kepala bayi, pada ibu dapat menyebabkan robekan pada vagina yang bisa
menyebabkan perdarahan. Pada persalinan caesar bila ibu tidak dianjurkan
untuk segera latihan berjalan akan menyebabkan emboli paru dan
kemungkinan perdarahan lebih banyak.25
29
2.13 Faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian peningkatan BBLR?
Penyebab terjadinya bayi BBLR secara umum bersifat multifaktorial,
sehingga kadang mengalami kesulitan untuk melakukan tindakan pencegahan.
Namun, penyebab terbanyak terjadinya bayi BBLR adalah kelahiran prematur.
Semakin muda usia kehamilan semakin besar resiko jangka pendek dan jangka
panjang dapat terjadi.Berikut ini adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan
bayi BBLR secara umum yaitu sebagai berikut:26
1. Faktor Ibu
a. Penyakit : 26
1) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia sel berat, perdarahan
antepartum, hipertensi, preeklampsi berat, eklampsia, infeksi selama
kehamilan (infeksi kandung kemih, dan ginjal),
2) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual (PMS),
penyakit tipoid, hepatitis, ISPA, bronkitis, atau TBC.
b. Ibu : 26
1) Angka kejadian prematuritas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20
tahun atau lebih dari 35 tahun.
2) Jarak kehamilan yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
3) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
c. Keadaan sosial ekonomi :26
1) Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah.
2) Mengerjakan aktivitas fisik beberapa jam tanpa istirahat.
3) Keadaan gizi yang kurang baik.
4) Pengawasan antenatal yang kurang.
d. Sebab lain :26
Ibu perokok, ibu peminum alkohol, ibu pecandu obat narkotik.
2. Faktor janin : 26
a. Kelainan kromosom.
b. Infeksi janin kronik (inklusi sitomegali, rubella bawaan)
c. Disautonomia familial.
d. Radiasi.
30
e. Kehamilan ganda/kembar (gemeli).
f. Aplasia pancreas.
3. Faktor plasenta :26
a. Berat plasenta berkurang atau berongga atau keduanya (hidramnion).
b. Luas permukaan berkurang.
c. Plasentitis vilus (bakteri, virus, dan parasite).
d. Infark.
e. Tumor (korioangioma, mola hidatidosa).
f. Plasenta yang lepas.
g. Sindrom plasenta yang lepas.
h. Sindrom transfusi bayi kembar (sindrom parabiotik).
4. Faktor lingkungan :26
a. Bertempat tinggal di dataran yang tinggi.
b. Terkena radiasi.
c. Terpapar zat beracun.
Berdasarkan tipe BBLR, penyebab terjadinya bayi BBLR dapat
digolongkan menjadi sebagai berikut: 26
1. BBLR tipe KMK (Kecil untuk Masa Kehamilan), disebabkan oleh :26
a. Ibu hamil yang kekurangan nutrisi.
b. Ibu memiliki hipertensi, preeklampsia atau anemia.
c. Kehamilan kembar, kehamilan lewat waktu.
d. Malaria kronik, penyakit kronik.
e. Ibu hamil merokok.
2. BBLR tipe prematur disebabkan oleh :26
a. Berat badan ibu yang rendah, ibu hamil yang masih remaja, kehamilan
kembar.
b. Pernah melahirkan bayi prematur sebelumnya.
c. Cervical imcompetence (mulut rahim yang lemah hingga tak mampu
menahan berat bayi dalam rahim).
d. Perdarahan sebelum atau saat persalinan (antepartum hemorrhage).
e. Ibu hamil yang sedang sakit.
31
f. Kebanyakan tidak diketahui penyebabnya.
Faktor-Faktor Ibu yang Mempengaruhi Terjadinya BBLR :26
1. Status gizi ibu hamil
Status gizi sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan
janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan
selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan
dengan berat badan normal. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mengetahui status gizi ibu hamil, salah satu caranya dengan memantau
pertambahan berat badan selama hamil. Berat badan ibu hamil harus memadai,
bertambah sesuai dengan umur kehamilan. Berat badan ibu yang kurang akan
beresiko melahirkan bayi dengan berat badan kurang atau Berat Bayi Lahir
Rendah .
2. Status Ekonomi
Status ekonomi dinyatakan dengan pendapatan keluarga. Pendapatan
memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian BBLR. Keluarga
dengan pendapatan tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan. Sebaliknya keluarga dengan pendapatan rendah akan mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan gizi. Pada ibu hamil, kekurangan nutrisi
sangat berpengaruh pada kondisi janin yang dikandung. Ekonomi seseorang
mempengaruhi dalam pemilihan makanan yang akan dikonsumsi sehari-hari.
seorang dengan ekonomi yang tinggi kemudian hamil maka kemungkinan besar
sekali gizi yang dibutuhkan tercukupi ditambah lagi adanya pemeriksaan
membuat gizi ibu semakin terpantau. Ibu hamil dengan kekurangan zat gizi yang
penting bagi tubuh akan menyebabkan anak lahir dengan berat badan rendah.
3. Usia Ibu
Usia reproduktif yang optimal bagi seorang ibu adalah 20-35 tahun . Pada
usia tersebut rahim sudah siap menerima kehamilan, mental ibu sudah matang dan
mampu merawat bayi dan dirinya. Pada usia kurang dari 20 tahun, organ-organ
reproduksi (rahim, vagina, payudara) belum matang dan belum siap untuk
menerima kehamilan. Pada usia di atas 35 tahun, fungsi-fungsi organ repoduksi
mulai menurun, sehingga tidak bagus untuk menjalani kehamilan . Salah satu efek
32
dari proses degeneratif (penurunan fungsi organ) adalah sklerosis (penyempitan)
pembuluh darah arteri kecil dan arteriole miometrium menyebabkan aliran darah
ke endometrium tidak merata dan maksimal sehingga dapat mempengaruhi
penyaluran nutrisi dari ibu ke janin dan membuat gangguan pertumbuhan janin
dalam rahim.
4. Pengawasan ANC (Antenatal Care)
Perawatan ibu selama kehamilan sangat menentukan kesehatan ibu dan bayi
yang dikandungnya. Selama kehamilan berbagai program yang termasuk paket
pelayanan ANC adalah 5T (Timbang berat badan, Ukur tekanan darah, Ukur
tinggi fundus, Tablet Fe, Imunisasi TT) diharapkan ibu secara rutin mengontrol
kehamilannya minimal 4 kali selama kehamilan dengan sebaran, 1 kali pada
trimester 1, 1 kali pada trimester ke dua dan 2 kali pada trimester ke
tiga .Pemeriksaan kadar Hb (haemoglobin dalam darah) pada ibu hamil juga perlu
dilakukan agar kesehatan ibu hamil dapat terpantau, khususnya terhadap penyakit
anemia (kurang darah). Anemia merupakan salah satu penyebab terbanyak dari
kematian ibu di Indonesia. Kurangnya asupan makanan yang mengandung zat
besi, adalah penyebab anemia. Pemeriksaan Hb dilakukan minimal 2 kali selama
hamil, yakni pada awal kehamilan dan pada usia 30 minggu, serta sering diulang
menjelang persalinan. Untuk mencegah anemia sebaiknya ibu hamil meminum
tablet tambah darah (zat besi) minimal 90 tablet selama hamil. Pada ibu hamil
yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupun
mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur juga
lebih besar .
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan ibu hamil juga sangat berperan dalam kualitas
perawatan bayinya. Informasi yang berhubungan dengan perawatan kehamilan
sangat dibutuhkan, sehingga akan meningkatkan pengetahuannya. Penguasaan
pengetahuan erat kaitannya dengan tingkat pendidikan seseorang.Penelitian
menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik
pula pengetahuannya tentang sesuatu. Pada ibu hamil dengan tingkat
pendidikanrendah kadang ketika tidak mendapatkan cukup informasi mengenai
33
kesehatannya maka ia tidak tahu mengenai bagaimana cara melakukan perawatan
kehamilan yang baik .
6. Penyakit/komplikasi Selama Kehamilan
Beberapa komplikasi langsung dari kehamilan seperti anemia, perdarahan,
preeklamsia/eklamsia, hipertensi, ketuban pecah dini (KPD) dan kelainan lainnya,
keadaan tersebut mengganggu kesehatan ibu dan juga pertumbuhan janin dalam
kandungan sehingga meningkatkan resiko kelahiran bayi dengan berat rendah.
34
tertinggi adalah Kota Kupang 14.930 jiwa/km2 dan kepadatan penduduk yang
terendah di Kabupaten Sumba Timur sebesar 35 jiwa/km2.27
2. Keadaan Pendidikan
Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki penduduk merupakan indikator pokok
kualitas pendidikan formal. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-
rata penduduk suatu negara mencerminkan semakin tingginya taraf intelektualitas
bangsa dan negara tersebut. Di Provinsi NTT pada tahun 2014 penduduk NTT
yang berumur 10 tahun ke atas adalah sebesar 3.816.048 orang. Dari angka
tersebut atas kepemilikan ijazah yang dimiliki adalah sebagai berikut: persentase
penduduk Provinsi NTT berusia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah
bersekolah atau tidak memiliki ijazah SD atau tidak tamat SD adalah sebesar
36,27%, yang memiliki ijazah atau tamat SD/MI sebesar 32,61%, memiliki ijazah
atau tamat SMP/MTs sebesar 12,74%, memiliki ijazah atau tamat SMA sebesar
13,83% dan yang memilik atau tamat Universitas adalah sebesar 4,56%.27
Dilihat dari jenis kelamin, ijazah/STTB yang dimiliki oleh penduduk laki-
laki ternyata masih lebih baik jika dibandingkan yang dimiliki perempuan kecuali
pada tamatan SD, sedang pada tamat SMP, SLTA/SMK lebih tinggi pada laki-laki,
utnuk pendidikan Diploma perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, namun
untuk pendidikan S1/S2/S3 anatara perempuan dan laki-laki hampir sama.27
3. Keadaan Lingkungan
a. Akses terhadap air bersih
Di Provinsi NTT pada tahun 2015, akses terhadap air minum yang
berkualitas dari berbagai jenis sumber air, baik perpipaan maupun non perpipaan
yang memiliki standar kelayakan adalah sebesar 30%. Akses berkelanjutan
terhadap air minum layak ini yang paling tinggi persentasenya adalah di
Kabupaten Ngada yaitu sebesar 75,88%, disusul dengan Kabupaten Manggarai
66,01% dan Kabupaten Flores Timur 62,95%. Namun ada beberapa Kabupaten
yang tidak tersedia datanya seperti Kabupaten TTU, Alor, Sumba Barat Daya,
Sumba Barat, Sumba Timur dan Sabu Raijua.27
b. Tempat-tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) Sehat
35
Data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se-Provinsi
NTT tahun 2015 memperlihatkan bahwa jumlah TTU yang diperiksa hanya 6.753
buah, dan yang memenuhi syarat sebesar 4.409 buah (65%), jika dibandingkan
dengan tahun 2014 berarti ada penurunan dimana jumlah TUPM yang diperiksa
sebanyak 4.028 buah, yang masuk dalam kategori sehat sebanyak 2.254 buah
(61,4%).27
Tempat Pengolahan Makanan (TPM) adalah suatu tempat yang digunakan
untuk pengolahan makanan. Jumlah TPM yang diperiksa pada tahun 2015 adalah
sebesar 4.101 buah yang terdiri dari Jasa Boga, Rumah makan/Restoran, Depot
Air Minum dan Makanan jajanan. Dari hasil pemeriksaan yang memenuhi syarat
sebesar 2.489 buah (61%), sedangkan yang tidak memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 1.612 buah (39%).27
36
Sedangkan untuk mendukung data primer dan data sekunder, maka pengumpulan
data untuk mengetahui persentase penilaian ibu hamil terhadap kinerja program
dilakukan dengan penyebaran kuesioner.28
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja Program Revolusi KIA di
Kabupaten Manggarai Barat belum mencapai hasil optimal. Hal ini dapat dilihat
dari indikator akses pelayanan antenatal, cakupan kunjungan ibu hamil, cakupan
penanganan komplikasi obstetri, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan,
cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan, cakupan peserta KB aktif, dan
deteksi faktor resiko serta komplikasi oleh masyarakat yang pada tahun 2010
persentasenya mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan persentase ini
disebabkan oleh ketersediaan sarana-prasarana kesehatan yang masih rendah yang
tidak didukung dengan ketersediaan anggaran yang besar untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas layanan kesehatan.28
Selain itu kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan yang belum optimal
menyebabkan tingkat layanan kesehatan di Kabupaten Manggarai Barat belum
berjalan dengan baik. Berikutnya adalah sistem koordinasi lintas sektor yang
masih terbatas menyebabkan proses pelaksanaan program Revolusi KIA belum
berjalan dengan lancar sesuai tujuan yang ingin dicapai. Merespon masalah diatas,
ada beberapa alternatif kebijakan yang ditawarkan peneliti guna meningkatkan
kinerja program Kesehatan Ibu Anak. Optimalisasi peran serta agen pelaksana
program Revolusi KIA perlu dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan kinerja
Program Revolusi KIA di Kabupaten Manggarai Barat yaitu melalui keikutsertaan
pegawai pada kursus-kursus, pelatihan teknis fungsional dalam bidang tugas
menuju aparatur yang profesional. Optimalisasi peran serta agen pelaksana
program Kesehatan Ibu – Anak dilakukan dengan efektif dan efisien guna
menghemat anggaran pembiayaan kesehatan.28
Kegiatan Evaluasi dan kontrol terhadap kinerja agen pelaksana program
Kesehatan dilapangan perlu dilakukan dengan konsisten guna meningkatkan
profesionalitas dari agen pelaksana program. Selain itu jaringan kerjasama
diantara instansi-instansi perlu ditingkatkan dan dikembangkan ke jaringan yang
37
lebih luas untuk meningkatkan daya promosi bagi masyarakat dan mempercepat
proses pencapaian tujuan dari program Kesehatan Ibu – Anak.28
Evaluasi tahun 2009 Sampai 2012 AIPMNH mendukung peningkatan status
56 Puskesmas menjadi Puskesmas PONED, di 14 kabupaten. Evaluasi dilakukan
pada akhir tahun 2012 di 28 Puskesmas, dengan menggunakan standar pelayanan
PONED nasional; 18 di antaranya dilakukan dengan perbandingan antara baseline
(2010) dan endline (2012). Perbandingan data baseline dan endline menunjukkan
17 dari 18 Puskesmas masih memiliki setidaknya satu bidan dan perawat yang
terlatih PONED, tetapi hanya 10 Puskesmas yang masih memiliki dokter terlatih
PONED. Sepuluh dari 18 Puskesmas tersebut menerima sertifikat penuntasan
pelatihan PONED, dan 5 di antaranya mendapat SK Bupati atau Dinkes untuk
menyediakan pelayanan PONED. Namun, hanya 14 Puskesmas yang memiliki air
bersih dan 13 memiliki toilet, meskipun 16 dari 18 Puskesmas tersebut memenuhi
standar kebersihan, meningkat dari 11 Puskesmas pada data baseline tahun 2010.
Peningkatan dalam hal ketersediaan alat juga ditemukan di 17 dari 18 Puskesmas,
dengan 30 item peralatan dan 26 obat-obatan esensial yang tersedia.28
Meski demikian, masih ditemukan ketiadaan atau kerusakan alat, dimana
ada 2 Puskesmas yang kehabisan persediaan sarung tangan, dan hanya setengah
dari 19 Puskesmas yang memiliki kanula. Penilaian terhadap pelayanan
menunjukkan bahwa 14 dari 18 Puskesmas memberikan pelayanan emergensi 24
jam sehari, dan 12 dari 18 Puskesmas memberikan pelayanan emergensi sesuai
SOP. Hasilnya, di 18 Puskesmas terjadi peningkatan 228 kasus emergensi ibu
yang ditangani (164-nya adalah perdarahan post-partum), dan 187 peningkatan
kasus emergensi neonatus(110-nya adalah asfiksia). Hambatan dalam membangun
kapasitas PONED antara lain:28
1. Kurangnya infrastruktur utama di fasilitas kesehatan (air, listrik, ruang yang
memadai dan privasi untuk pasien)
2. Kurangnya peralatan dan obat-obatan esensial dan pasokan seperti oxytocin
dan oksigen
38
3. Mutasi tenaga kunci kesehatan yang sering terjadi, khususnya dokter yang
umumnya adalah dokter PTT yang dikontrak berdasarkan batas waktu
tertentu
4. Kurangnya supervisi atau akses untuk mendapatkan pelayanan dokter
spesialis saat terjadi emergensi, karena dokter spesialis tidak berada di tempat
atau sibuk di RSUD
5. Tempat tinggal anggota tim PONED jauh dari Puskesmas sehingga tidak bisa
merespons cepat saat terjadi kasus emergensi
6. Tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah dan kasus yang jarang
terjadi sehingga sulit untuk mempertahankan keterampilan yang telah
diperoleh
7. Kurangnya kemampuan RSUD dalam memberikan pelatihan dan
pendampingan kepada Puskesmas PONED
39
ini tidak dapat diprediksi dan kebanyakan tidak bisa dicegah, namun hal
tersebut dapat diterapi dengan perawatan terampil yang dapat dicapai.
Praktik antenatal dan postnatal care masiih belum umum di Timor-
Leste. Walaupun banyak juga wanita yang mengikuti antenatal care,
yaitu sebanyak 86% berdasarkan TLDHS 2009/10, jumlah kunjungan
antenatal secara radikal berbeda dari setiap dengan daerah lain (70.5%
di Emera, 96% di Dili dan Liquica).29
2. Kesehatan Anak
Seperti yang tercantum dalam National Development Plan, Timor-
Leste berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan anak. Indikator
kemajuan pada tahun 2030 yaitu akan berkurangnya angka kematian
balita dari 60 menjadi 27; penurunan angka kematian bayi dari 44
menjadi 21 dan 15 kematian per 1000 kelahiran di tahun 2030.
Strategi:29
a. Mengembangkan kebijakan kesehatan anak secara komprehensif
b. Meningkatkan kapasitas sistem kesehatan untuk mendukung
penyampaian pencegahan secara preventif, perawatan bayi baru
lahir esensial, dan pelayanan Community Case Management (CCM)
c. Meningkatkan akses dan kesetaraan pelayanan imunisasi
d. Memperbaiki sistem rujukan untuk merespon kebutuhan spesifik
kesehatan anak.
40
700
ANGKA KEMATIAN IBU DI INDONESIA DAN VIETNAM
660 (PER 100.000 KELAHIRAN BAYI)
660
600
PERIODE 2003-2015
557
500
400
Indonesia
300
Timor
Leste
200
212
165
100
126
0
2003
2005
2010
2015
41
BAB III
KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
43
13. Mahendradhata Y et al. The Republic Indonesia Health System Review. New
Delhi: WHO; 2017.
14. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Infodatin: Situasi kesehatan ibu.
Jakarta: Kemenkes RI; 2014.
15. Ompusunggu S et al. Riset kesehatan dasar dalam angka Provinsi Nusa
Tenggara Timur 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
16. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Profil anak
Indonesia 2015. Jakarta: KPP&PA; 2015.
17. Febriyuna N. Determinants of infant mortality in Indonesia. Hague: Institute
of Sosial Studies; 2015.
18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1051/MENKES/SK/2008 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) 24 Jam di Rumah
Sakit.
19. Febriyuna N. Determinants of infant mortality in Indonesia. Hague: Institute
of Sosial Studies; 2015.
20. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019. Jakarta; 2015.
21. Panchal S, Arria AM, Labhsetwar SA. 2002. Maternal Mortality during
Hospital Admission for Delivery: A Retrospective Analysis using a State
Maintained Database. Journal Anesth Analg. Volume 93: 134-141.
22. Gutierrez. R, Gustavo, Vera.E, de Lean P, Vargas LF. 2007. Risk Factors of
Maternal Death in Mexico. Birth, Volume 34, pp. 21-25.
23. Brobin JB, Hakimi M, Pelletier D, 2001. An Analysis of Anemia and
Pregnancy-Related Maternal Mortality. Journal of Nutritional .Volume 131.
24. Rogo, KO. 2002. Maternal Mortality. Current Obsetrics and Gynaecology.
Volume 12.
25. Tharaux CD, Carmona E, Colle MB, Helene M, Breart, Gerard MD. 2006.
Postpartum Maternal Mortality and Cesarean Delivery. Journal Obstetrics and
Gynecoloy. Volume 108 pp.541-548.
44
26. Proverawati Atikah, & Ismawati Cahyo, S. (2010). BBLR : Berat Badan
Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika.
27. Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Profil Kesehatan Provinsi
Nusa Tenggara Timur Tahun 2015. Kupang; 2016.
28. Chellys Zanky Tibo Lengo. Kinerja Program Revolusi KIA (Kesehatan Ibu-
Anak) PEMDA Kabupaten Manggarai Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur.
[Yogyakarta] : Universitas Gadjah Mada,
2011.Ttesis.http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail
&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=53649.
29. Ministry of Health. National Health Sector Strategic Plan 2011-2030. Timor-
Leste; 2011.
45