Anda di halaman 1dari 13

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN

BENCANA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN


PENYUSUNAN RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA

BAB II ALOKASI DAN PERAN PELAKU KEGIATAN


PENANGGULANGAN BENCANA
A. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait..............
B. Peran dan Potensi Masyarakat.....................................................
C. Pendanaan.....................................................................................
D.

BAB II
ALOKASI DAN PERAN PELAKU
KEGIATAN PENANGGULANGANBENCANA

Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


menyebutkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan
bencana di tingkat nasional dengan didukung kementerian/Lembaga terkait, seperti
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNI, Polri, Badan Pencarian dan
Pertolongan (Basarnas), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG),
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), dan
kementerian/lembaga terkait lain.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi, kabupaten dan kota
merupakan penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat
daerah dengan didukung Organisasi Perangkat Daerah (OPd) terkait. Dalam masa
tanggap darurat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat akan membentuk Pos
Komando (Posko) Tanggap Darurat, yang bertugas untuk melakukan upaya
penanganan darurat (Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2016).

A. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait


Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana, dalam melaksanakan penanggulangan becana di
daerah akan memerlukan koordinasi dengan sektor. Secara garis besar
dapat diuraikan peran lintas sektor sebagai berikut :
1. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan
pembangunan daerah
2. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik
termasuk obat-obatan dan para medis
3. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang,
dan kebutuhan dasar lainnya untuk para pengungsi
4. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah,
penyiapan lokasi dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan
sarana dan prasarana.
5. Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi
cuaca/meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi
dan komunikasi
6. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan
mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana geologi
dan bencana akibat ulah manusia yang terkait dengan
bencana geologi sebelumnya
7. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan
pengerahan dan pemindahan korban bencana ke daerah
yang aman bencana.
8. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra
bencana
9. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya
mitigatif khususnya kebakaran hutan/lahan
10. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan
mengendalikan upaya yang bersifat preventif, advokasi, dan
deteksi dini dalam pencegahan bencana.
11. Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya
mitigatif di bidang bencana tsunami dan abrasi pantai.
12. Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan
kajian dan penelitian sebagai bahan untuk merencanakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra
bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
13. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan
pengamanan saat darurat termasuk mengamankan lokasi yang
ditinggalkan karena penghuninya mengungsi.

B. Peran dan Potensi Masyarakat


1. Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana
sekaligus korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu
menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak
berkembang ke skala yang lebih besar.
2. Swasta
Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta
cukup menonjol pada saat kejadian bencana yaitu saat
pemberian bantuan darurat. Partisipasi yang lebih luas dari
sektor swasta ini akan sangat berguna bagi peningkatan
ketahanan nasional dalam menghadapi bencana.
3. Lembaga Non-Pemerintah
Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya memiliki
fleksibilitas dan kemampuan yang memadai dalam upaya
penanggulangan bencana. Dengan koordinasi yang baik
lembaga Non Pemerintah ini akan dapat memberikan
kontribusi dalam upaya penanggulangan bencana mulai dari
tahap sebelum, pada saat dan pasca bencana.
4. Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian
Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika
dilakukan berdasarkan penerapan ilmupengetahuan dan
teknologi yang tepat. Untuk itu diperlukan kontribusi
pemikiran dari para ahli dari lembaga-lembaga pendidikan
dan penelitian.
5. Media
Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini
publik. Untuk itu peran media sangat penting dalam hal
membangun ketahanan masyarakat menghadapi bencana
melalui kecepatan dan ketepatan dalam memberikan informasi
kebencanaan berupa peringatan dini, kejadian bencana serta
upaya penanggulangannya, serta pendidikan kebencanaan
kepada masyarakat.
6. Lembaga Internasional
Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari
lembaga internasional, baik pada saat pra bencana, saat tanggap
darurta maupun pasca bencana. Namun demikian harus
mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.
Sebagai gambaran lebih rinci, dapat diperiksa pada tabel contoh
berikut :

TNI/POLRI
Dep.ESDM
Pilihan Instansi

Depdagri
Tindakan
Dep PU
Depkes
Depsos
BNPB
BMG

Kegiatan LSM

dll
Pra bencana 1. Pembuatan Peta Rawan
saat tidak terja- 2.Penyuluhan
di bencana 3.Pelatihan
4.Pengembangan SDM
5.Analisis risiko & bahaya
6 Litbang
7.Dan lain-lain
Pra bencana 1 Pembentukan POSKO
saat terdapat 2.Peringatan
Potensi bencana 3..Rencana Kontinjensi
4.Dan lain-lain
Pada Saat 1.Pernyataan Bencana
Tanggap 2. Bantuan Darurat
Darurat 3.Dan lain-lain
Pasca Bencana 1. Kaji Bencana
2. Rehabilitasi
3. Rekonstruksi
O = Penanggung Jawab
∆= Terlibat Langsung
+ = Terlibat Tidak Langsung

C. Pendanaan
Sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan Penanggulangan
bencana terintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan
yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau
kabupaten/kota. Kegiatan sektoral dibiayai dari anggaran masing-masing sektor
yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan khusus seperti pelatihan, kesiapan,
penyediaan peralatan khusus dibiayai dari pos-pos khusus dari anggaran
pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Pemerintah
dapat menganggarkan dana kontinjensi untuk mengantisipasi diperlukannya dana
tambahan untuk menanggulangi kedaruratan. Besarnya dan tatacara akses serta
penggunaannya diatur bersama dengan DPR yang bersangkutan. Bantuan dari
masyarakat dan sektor non-pemerintah, termasuk badan-badan PBB dan
masyarakat internasional, dikelola secara transparan oleh unit-unit koordinasi.
Contoh rekapitulasi (matriks) Rencana Penanggulangan Bencana :
No Kagiatan Pelaku Sumber dana Keterangan
1 Pambuatan Dinas PU DIPA
Tanggul
2 Penyuluhan BNPB, Pemerintah : DIPA
Pengurangan Depkes, LSM : Mandiri
Risiko LSM
.. dan
seterusnya

D. Rencana Aksi Daerah


Pengurangan Risiko Bencana adalah sebuah pendekatan sistematis
yaitu mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-risiko bencana,
bertujuan untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi
terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun
bahaya-bahaya lain yang menimbulkan kerentanan.
Pengurangan Risiko Bencana merupakan tanggung jawab
lembaga- lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan maupun
lembaga- lembaga bantuan kemanusiaan dan harus menjadi bagian
terpadu dari kerja-kerja organisasi semacam ini, bukan sekedar kegiatan
tambahan atau kegiatan terpisah yang dilakukan sesekali saja. Oleh
karenanya, upaya Pengurangan Risiko Bencana sangat luas. Dalam setiap
sektor dari kerja pembangunan dan bantuan kemanusiaan terdapat
peluang untuk melaksanakan prakarsa-prakarsa Pengurangan Risiko
Bencana.
Konsep Pengurangan Risiko Bencana melihat bencana sebagai
sebuah permasalahan kompleks yang menuntut adanya penanganan
kolektif yang melibatkan berbagai disiplin dan kelompok kelembagaan yang
berbeda. Ini merupakan hal penting untuk dipertimbangkan dalam
melihat karakteristik-karakteristik masyarakat yang tahan bencana,
karena lembaga-lembaga harus menentukan sendiri di mana akan
memfokuskan upaya-upaya mereka dan bagaimana akan bekerjasama
dengan para mitra untuk menjamin agar aspek-aspek penting lain dari
ketahanan tidak terlupakan. Penting diperhatikan bahwa tabel-tabel
yang dimuat dalam catatan panduan ini dimaksudkan sebagai sebuah
sumber bagi berbagai macam organisasi yang bekerja di tingkat lokal
dan tingkat masyarakat, bersama dengan organisasi-organisasi lain
ataupun sendiri-sendiri: unsur- unsur ketahanan tertentu mungkin lebih
relevan bagi beberapa organisasi dan konteks tertentu daripada bagi
organisasi dan konteks lainnya.
Tindakan-tindakan Pengurangan Risiko Bencana selanjutnya
diwadahi dalam dokumen Rencana Aksi Daerah ( RAD ) yang berlaku
untuk periode tiga tahunan, yaitu dokumen daerah yang disusun melalui
proses koordinasi dan partisipasi stake holder yang memuat landasan,
prioritas, rencana aksi serta mekanisme pelaksanaan dan
kelembagaannya bagi terlaksananya pengurangan Risiko bencana di
daerah. Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana yang
selanjutnya disebut RAD PRB secara substansi merupakan kumpulan
program kegiatan yang komprehensif dan sinergis dari seluruh
pemangku kepentingan dan tanggungjawab semua pihak yang terkait.
RAD PRB berisi prioritas dan strategi pemerintah daerah untuk
mengurangi risiko bencana dalam rangka membangun kesiapsiagaan
dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Dalam menentukan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko (Rencana
Aksi Daerah) ini memang harus didahului dengan penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana, karena aktivitas pengurangan risiko adalah
tindakan yang lebih rinci dari rencana penanggulangan bencana.
Perbedaan antara Rencana Penanggulangan Bencana dengan
Rencana Aksi Daerah, terutama pada kedalaman. Jika rencana
penanggulangan bencana itu merupakan rencana yang menyeluruh dari
pra bencana sampai pasca bencana, akan tetapi terbatas pada apa
kegiatan yang akan dilaksanakan dan siapa pelakunya serta sumber
dana yang akan dipakai, maka rencana aksi ini hanya terbatas pada pra
bencana (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan), akan tetapi lebih
rinci, yaitu sampai pada kapan dilaksanakan, di mana dilaksanakan,
berapa dana yang dibutuhkan dll. (Peraturan Kepala BNPB Nomor 4
Tahun 2008)
Contoh Tabel Matrik Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana

No Kagiatan Pelaku Lokasi Besarnya Sumber dana Waktu


Anggaran Pelaksanaan
1 Pambuatan Dinas DIPA
Tanggul PU
2 Penyuluhan BNPB, Pemerintah: DIPA
Pengurangan Depkes, LSM:Mandiri
Risiko LSM
dan seterusnya

E. Koordinasi saat Penanggulangan Bencana


Koordinasi Saat Tanggap Darurat Situasi darurat yang mendadak ditandai
oleh kebutuhan-kebutuhan yang sangat banyak. Hal-hal yang harus
diprioritaskan saling berebut untuk mendapatkan perhatian segera. Infrastruktur
transportasi dan komunikasi hilang atau rusak, bantuan kemanusiaan lambat,
atau datang sangat cepat dan bantuan warga yang melimpah namun tak
terorganisir, institusi pemerintahan setempat lumpuh karena tidak siap dengan
banyaknya tuntutan kerja. Dalam situasi ini, bayangan tentang kekacauan segera
muncul. Koordinasi diartikan sebagai tindakan-tindakan sengaja untuk
menyelaraskan antara respon dengan tujuan. Koordinasi dapat memaksimalkan
dampak respon dan mencapai sinergi-sebuah situasi di mana efek respon yang
terkoordinasi lebih besar daripada akumulasi tiap respon yang berjalan sendiri-
sendiri. Namun dari berbagai pengelaman ketika berhadapan dengan bencana,
secara umum koordinasi selalu bermasalah bahkan menjadi sumber masalah.
Padahal prinsip
utama dalam penanggulangan bencana adalah semakin terkoordinasi semakin
baik.
Kurangnya koordinasi ditandai oleh antara lain adanya kesenjangan dalam
pelayanan kepada masyarakat yang terkena dampak bencana, terjadi duplikasi
usaha/ program, bantuan tidak sesuai atau tidak terbagi secara merata dan cepat,
penggunaan sumber daya tidak efisien, kesimpangsiuran informasi, lamban
dalam merespon kondisi yang berubah-ubah, dan munculnya rasa frustrasi baik
di tingkat organisasi pemberi bantuan, petugas, maupun korban selamat terhadap
berbagai hal terkait dengan bantuan. Jika koordinasi berhasil dilakukan dengan
baik, koordinasi ini berkontribusi besar terhadap keselamatan dan pemulihan
korban. Dengan koordinasi, bantuan tersampaikan secara manusiawi, netral, dan
tidak memihak, efektivitas manajemen bencana meningkat, visi bersama tentang
hasil-hasil terbaik dari sebuah situasi dapat terbangun, dan pendekatan dalam
pemberian pelayanan dapat berlangsung secara benar dan integratif.
Fungsi koordinasi dimulai dengan terbentuknya hubungan kerja dan
pembagian
informasi secara reguler. Saat fungsi koordinasi meningkat, maka tentu ada
perubahan pada organisasi pemberi bantuan dalam melaksanakan programnya.
Karena pemberi bantuan bekerja sama, individu dan organisasi harus
menyesuaikan upaya-upaya mereka berdasarkan kebutuhan yang terus berubah
dan menyesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan organisasi lain. Koordinasi
bukan hasil dari satu organisasi memberitahu organisasi lain tentang apa yang
harus mereka kerjakan dan bagaimana mereka bekerja. Koordinasi berawal dari
kesediaan bekerja sama, dan meskipun ada yang berfungsi memimpin, ada
partisipasi dan kesetaraan yang di dalam prosesnya.
Tentu saja koordinasi membutuhkan biaya. Koordinasi membutuhkan waktu
dan sumber daya lain. Koordinasi mungkin menyebabkan sebuah organisasi
jutsru harus berdiri di barisan belakang, menutup operasi di sebuah area,
mengambil tantangan yang sulit, atau mengurangi profil organisasi. Namun
demikian, koordinasi memberikan nilai tambah seperti yang disebutkan di atas.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para pemberi bantuan untuk melihat dan
menghasilkan nilai tambah dari arti koordinasi yang jauh melebihi biaya yang
dibutuhkan. Untuk mencapai koordinasi terbaik, prosesnya harus:
1. Partisipatif
Koordinasi terjadi melalui legitimasi yang didapatkan dari ketelibatan.
Tugas koordinasi harus muncul dalam sebuah struktur dan proses yang
disepakati dan didukung oleh semua aktor yang terlibat dalam situasi
darurat. Koordinator harus mendapatkan dan memelihara kepercayaan
dari aktor lain, menciptakan atmosfer saling menghormati dan
bersahabat. Aktor-aktor perlu terlibat dalam memutuskan kebijakan,
prosedur, strategi, dan rencana yang akan mempengaruhi mereka.
2. Tidak memihak
Proses koordinasi tidak dapat dibuat untuk menguntungkan satu
organisasi di atas organisasi yang lain melainkan mengidentifikasikan
kompetensi yang berbeda-beda dari berbagai aktor. Koordinasi harus
memperjuangkan prinsip ketidakberpiha kan yaitu pemberian bantuan
hanya berdasarkan kebutuhan tanpa memandang ras, agama, afiliasi
politik, gender, atau usia; pemberian bantuan harus diberikan oleh aktor
yang paling mungkin mencapai hasil yang diharapkan.
3. Transparan
Koordinasi membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan membutuhkan
transparansi, aliran informasi yang lancar, pengambilan keputusan yang
terbuka dan dinyatakan secara publik, alasan atau argumen yang jujur
terhadap keputusan yang diambil serta tanggung jawab atas setiap
keputusan yang telah diambil dan disepakati.
4. Berguna
Proses koordinasi harus menghasilkan produk, proses, dan hasil yang
berguna. Ini dapat meliputi sebuah landasan bersama bagi pengambilan
keputusan, kesempaatan menggunakan sumber daya bersama, sebuah
tempat untuk pengakuan dan dukungan pemberi dana, atau sebuah
tempat yang nyaman untuk berbagi rasa frustrasi dan mencoba ide-ide
baru.
Ada dua aspek koordinasi, yaitu koordinasi strategis dan koordinasi
operasional di mana keduanya saling berkaitan:
1. Koordinasi strategis
Koordinasi strategis berkaitan dengan keseluruhan arah dari sebuah
program bantuan kemanusiaan. Koordinasi ini meliputi penyusunan
tujuan-tujuan dan pembuatan analisis strategis terhadap masalah. Ini
membutuhkan alokasi tugas dan tanggung jawab berdasarkan mandat
dan kapasitas, dan memastikan bahwa tugas dan tanggung jawab
tersebut dicerminkan dalam rencana strategis. Ini meliputi advokasi
prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini memastikan bahwa mobilisasi
sumber daya dari program dihasilkan oleh sebuah proses yang
diselenggarakan untuk merespon prioritas-prioritas yang disepakati.
Ini memonitor dan mengevaluasi keseluruhan pelaksanaan program
untuk memastikan bahwa perubahan keadaan dan hambatan
diidentifikasi dan direspon dengan cara yang
disepakati. Untuk melakukannya, koordinasi strategis menangani
operasional secara umum ketika isu tersebut dipandang memiliki
dampak terhadap program secara keseluruhan.
2. Koordinasi operasional
Koordinasi operasional berkaitan dengan dua syarat. Pertama adalah
kebutuhan untuk melakukan koordinasi yang bersifat substantif
tentang sektor kegiatan, wilayah geografis, atau kelompok penerima
manfaat tertentu dalam kerangka kerja strategis bantuan
kemanusiaan. Ini untuk memastikan bahwa aktivitas dari berbagai
aktor dalam setiap sektor diselenggarakan dengan cara
yang saling melengkapi dan berdasarkan rencana yang disepakati.
Kedua adalah koordinasi berkaitan dengan pelayanan umum bagi
aktor-aktor kemanusiaan. Koordinasi ini memastikan bahwa hal-hal
seperti keamanan, komunikasi, dan sistem logistik umum dapat
dikelola dengan perhitungan yang sebaik-baiknya untuk merespon
persyaratan-persyaratan operasional yang terus berubah
F. Pengkajian Cepat Bencana
1. Pengkajian Cepat
Kajian cepat merupakan pengkajian situasi dan kebutuhan dalam tahap
kritis segera sesudah bencana. Kajian cepat diperlukan untuk menentukan
jenis bantuan yang dibutuhkan melalui suatu respon. Pada tahap awal
situasi darurat, khususnya bencana yang terjadi secara tiba-tiba, ada
banyak ketidakpastian tentang masalah- masalah apa yang sebenarnya
terjadi. Ketidakpastian ini meliputi: wilayah yang terkena dampak, jumlah
orang yang membutuhkan pertolongan segera, tingkat kerusakan pada
sarana umum masyarakat, tingkat ancaman lanjutan, dan kemungkinan-
kemungkinan tentang pertolongan yang bisa dilakukan. Dalam situasi ini,
para pengambil keputusan perlu memulai dengan membangun sebuah
gambaran tentang di mana orang-orang berada, bagaimana kondisi
mereka, apa yang mereka butuhkan, pelayanan-pelayanan apa yang masih
tersedia dan sumber daya apa saja yang selamat dari bencana. Sistem yang
baik harus memberikan perhatian khusus pada prioritas-prioritas yang
dinyatakan langsung oleh orang- orang yang terkena dampak,
mengidentifikasikan sumber daya yang mereka miliki, dan tingkat
kemampuan mereka dalam menghadapi situasi tersebut. Pengkajian cepat
bertujuan:
 Mengidentifikasikan dampak bencana terhadap masyarakat,
infrastruktur, dan kapasitas masyarakat untuk pulih.
 Mengidentifikasikan kelompok-kelompok paling rentan dalam
masyarakat.
 Mengidentifikasikan kemampuan respon pemerintah daerah
setempat dan kapasitas internalnya dalam memimpin tanggap
darurat dan pemulihan.
 Mengidentifikasikan tingkat respon yang dibutuhkan secara lokal,
nasional, dan internasional (jika dibutuhkan).
 Mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan paling mendesak dalam
bantuan dan cara-cara memenuhinya secara efektif.
 Membuat rekomendasi yang akan menentukan prioritas tindakan
dan sumber daya yang dibutuhkan untuk respon segera.
 Memberikan gambaran tentang masalah-masalah khusus tentang
perkembangan situasi.
 Memintaperhatian terhadap wilayah geografisatau
sektor yang membutuhkan pengkajian mendalam.
2. Tim Pengkaji
Tim pengkajian terdiri dari para ahli dalam berbagai bidang dan kemampuan teknis
yang beragam. Mereka akan memberikan perspektif yang lebih luas dalam
mengumpulkan dan menganalisis informasi. Tim ini terdiri dari anggota- anggota
dari berbagai lembaga, organisasi, atau departemen dan sejak awal harus
menetapkan tujuan dan pembagian tugas pengkajian cepat bersama. Kualifikasi dari
tim:
 Pengetahuan tentang wilayah yang terkena bencana
 Terlatih
 Pengetahuan tentang metode dan alat-alat pengkajian
 Pengalaman dalam observasi dan analisis masalah
 Kemampuan mengambil keputusan
 Pengetahuan tentang mekanisme koordinasi antar lembaga dalam situasi
darurat
3. Proses Pengkajian Cepat
a. Administrasi informasi yang sudah tersedia sebelumnya
Pengkajian cepat harus menggunakan informasi yang berkaitan dengan zona
darurat sebelumnya. Informasi bisa bersumber dari Pusdalops nasional dan
daerah. Informasi meliputi: lokasi bencana dan cakupan wilayah yang terkena
dampak.
b. Pengorganisasian pengkajian cepat
Pengkajian cepat membutuhkan sistem kerja yang sudah jelas sebelum ben- cana.
Sistem kerja meliputi:
 Alat-alat (tools) yang akan digunakan
 Metode pengumpulan informasi
 Subyek informasi kunci (institusi, kelompok, dan individu)
 Tempat-tempat yang akan dikunjungi
 Pembagian tanggung jawab anggota tim
 Sumber daya yang tersedia untuk pengkajian termasuk logistik
 Ketepatan waktu dan kesempatan informasi
 Bentuk dan proses analisis informasi
 Mekanisme komunikasi dan penyebaran hasil
c. Pemilihan sumber-sumber informasi
Sumber informasi terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer terdiri dari otoritas setempat, perwakilan masyarakat dan anggota
masyarakat, institusi dan organisasi setempat. Sumber sekunder terdiri dari
database, dokumen dan formulir dari institusi dan organisasi, dan pers (termasuk
divisi litbang dari organisasi pers).
d. Pengumpulan informasi/data
Pengumpulan informasi dapat dilakukan dengan berbagai teknik misalnya
wawancara dengan otoritas setempat, observasi lapangan, wawancara dengan
kelompok fokal (focal group misalnya Forum DRR setempat), kunjungan dari
rumah ke rumah, wawancara dengan subyek informasi kunci, pertemuan-
pertemuan, dan tinjauan terhadap dokumen. Agar pengumpulan data cukup
mewakili suara yang beragam maka hindari generalisasi pendapat atau “sistem
perwakilan” suara. Jika bisa bertanya kepada laki-laki maka pengumpulan
informasi juga harus bisa menangkap pendapat perempuan, anak-anak dan
orang tua/manula serta orang dengan kebutuhan khusus.
e. Pemrosesan dan validasi informasi
Validasi informasi diawali dari pemilihan sumber informasi dan menggabungkan
nilai tambah dari pengetahuan terhadap situasi pada tingkat lokal. Validasi juga
dilakukan dengan membandingkan informasi yang dimiliki dengan informasi
dari institusi atau organisasi lain yang juga memiliki informasi tentang kejadian
bencana. Tujuannya untuk mengurangi kesenjangan atau ketidakakuratan
informasi.
f. Analisis informasi dan pembuatan laporan
Analisis harus terintegrasi dengan mempertimbangkan tipe dan besarnya
bencana, zona yang terkena dampak, populasi yang terkena dampak, tingkat
kerusakan/kematian/kerugian, respon sosial dan institusional, tingkat reaksi,
kebutuhan, bantuan, kuantitas dan kualitas pelayanan/penyediaan kebutuhan
(kesehatan, air, energi, tempat tinggal, pembuangan sampah), keseimbangan
penggunaan layanan, tawaran dan kebutuhan bantuan kemanusiaan.
g. Pelaporan atau aliran informasi
Aliran informasi yang kuat dan sebuah sistem informasi dari berbagai tingkat,
misalnya lokal, propinsi, dan nasional sangatlah penting. Informasi yang penting
untuk menindaklanjuti kejadian bencana harus berkelanjutan dan dinamis pada
hari-hari sesudah bencana.
h. Proses pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan merupakan proses kolektif dan individual dari institusi,
departemen, dan lembaga yang terlibat dalam pengkajian. Tiap lembaga
memiliki mekanisme pengambilan keputusan tersendiri dan kebijakan respon
tersendiri, namun jika memungkinkan, keputusan antar lembaga sebaiknya
terkoordinasi dan terintegrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab
penyelenggaraan penanggulangan bencana
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Modul 2 Manajemen Penanggulangan Bencana 2017 Balai Uji Coba Sistem
Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi II- akses
(https://simantu.pu.go.id/epel/edok/
6e01a_02._Modul_2_Manajemen_Penanggulangan_Bencana.pdf)
Buku Saku Tanggap, Tangkap, Tangguh Menghadapi Bencana Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Edisi 2017 akses:
( https://siaga.bnpb.go.id/hkb/po-content/uploads/documents/Buku_Saku-
10Jan18_FA.pdf )

Anda mungkin juga menyukai