Anda di halaman 1dari 53

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Manajemen Penanggulangan Bencana1

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana

Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu


untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan
observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana.
Manajemen bencana menurut University of Wisconsin sebagai serangkaian
kegiatan yang didesain untuk mengendalikan situasi bencana dan darurat dan
untuk mempersiapkan kerangka untuk membantu orang yang renta bencana untuk
menghindari atau mengatasi dampak bencana tersebut
Manajemen bencana menurut Universitas British Columbia ialah proses
pembentukan atau penetapan tujuan bersama dan nilai bersama (common value)
untuk mendorong pihak-pihak yang terlibat (partisipan) untuk menyusun rencana
dan menghadapi baik bencana potensial maupun aktual. Mekanisme manajemen
bencana terdiri dari:

1. Mekanisme internal atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi


bencana yang secara umum melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam
manajemen bencana dan kerapkali disebut mekanisme manajemen bencana
alamiah, terdiri dari keluarga, organisasi sosial informal (pengajian,
pelayanan kematian, kegiatan kegotong royongan, arisan dan sebagainya)
serta masyarakat lokal.

2. Mekanisme eksternal atau formal, yaitu organisasi yang sengaja dibentuk


untuk tujuan manajemen bencana, contoh untuk Indonesia adalah
BAKORNAS PB, SATKORLAK PB dan SATLAK PB.

3
4

2.1.1. Tujuan1

Secara umum, manajemen penanggulangan bencana bertujuan untuk:

a. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta


benda dan lingkungan hidup
b. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan
penghidupan korban
c. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke
daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak
huni dan aman.
d. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/
transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan
kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana.
e. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut.
f. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.

Adapun tujuan lainnya adalah sebagai berikut:

a. Menghindari kerugian pada individu, masyarakat dan Negara melalui


tindakan dini. Tindakan ini merupakan pencegahan, tindakan ini efektif
sebelum bencana itu terjadi. Tindakan penghindaran biasanya dikaitkan
dengan beberapa upaya. Pertama penghilangan kemungkinan sebab. Kalau
bencana itu bisa disebabkan oleh kesalahan manusia, tindakan penghilangan
sebab tentunya bisa dilakukan. Tentunya hal ini akan sulit bila penyebabnya
adalah alam yang memiliki energi di luar kemampuan manusia untuk
melakukannya. Pergeseran lempeng bumi yang menyebabkan gempa bumi
tektonik, misalnya, merupakan sebab yang sampai saat ini belum diatasi
manusia. Oleh karena itu tindakan penghindaran bencana alam lebih
diarahkan pada menghilangkan, atau mengurangi kondisi yang dapat
menimbulkan bencana. Kondisi yang dimaksud adalah struktur bangunan
yang sesuai untuk kondisi gempa yang dapat bangunan tahan terhadap
goncangan, sehingga dapat menghindari kerugian fisik, ekonomi, dan
lingkungan.

b. Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat dan Negara berupa


kerugian yang berkaitan dengan orang, fisik, ekonomi, dan lingkungan bila
bencana tersebut terjadi, serta efektif bila bencana itu telah terjadi. Tetapi
perlu diingat, piranti tindakan meminimalisasi kerugian itu telah dilakukan
jauh sebelum bencana itu terjadi. Contoh bencana alam dengan cepat akan
menimbulkan masalah pada kesehatan akibat luka parah, bahkan meninggal,
maka tindakan minimalisasi yang harus dilakukan sejak dini adalah
penyebaran pusat-pusat medis ke berbagai wilayah, paling tidak sampai
tingkat kecamatan.

c. Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan masyarakat


yang terkena bencana. Ada juga yang menyebut tindakan ini sebagai
pengentasan. Tujuan utamanya adalah membantu individu dan masyarakat
5

yang terkena bencana supaya dapat bertahan hidup dengan cara melepaskan
penderitaan yang langsung dialami. Bantuan tenda, pembangunan kembali
perumahan yang hancur, memberi subsidi, termasuk kedalam kategori ini.
Pemberian pemulihan kondisi psikis individu dan masyarakat yang terkena
bencana juga perlu karena bertujuan untuk mengembalikan optimisme dan
kepercayaan diri.

d. Untuk memperbaiki kondisi sehingga individu dan masyarakat dapat


mengatasi permasalahan akibat bencana. Perbaikan kondisi terutama
diarahkan kepada perbaikan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik,
penyediaan air bersih, sarana komunikasi, dan sebagainya.

2.1.2. Struktur Tim Tanggap Darurat1

Komando Tanggap Darurat Bencana dibentuk dengan


tahapan sebagai berikut

1. Informasi awal kejadian bencana,


2. Penugasan Tim Reaksi Cepat (TRC) BNPB/BPBD,
3. Hasil kaji cepat dan masukan dari para pihak terkait
disampaikan kepada Kepala BPBD
Kabupaten/Kota/Provinsi/BNPB,
4. Masukan dan usulan dari Kepala BPBD
Kab/Kota/Provinsi/BNPB kepada
Bupati/Walikota/Gubernur/Presiden untuk menetapkan
status/ tingkat bencana,
5. Penetapan status tingkatan bencana oleh Walikota/
Bupati/ Gubernur/ Presiden
6. Penunjukan Komandan Penanganan Darurat Bencana oleh
Bupati/ Walikota/ Gubernur /Presiden, dan
7. Kepala BPBD Kabupaten/ Kota /Provinsi /BNPB meresmikan
pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana yang
dilakukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan
Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana serta
melakukan mobilisasi SDM, Peralatan, logistik, dan dana
Dari instansi/lembaga terkait dan/atau masyarakat.

Sebagai langkah awal upaya PB adalah mengumpulkan


informasi awal kejadian bencana. Pokok-pokok informasi awal ini
meliputi (1) Apa (jenis bencana), (2) Kapan (waktu kejadian
bencana), (3) Dimana (lokasi kejadian bencana), (4) Berapa
(besaran dampak kejadian bencana), (Penyebab (penyebab
kejadian bencana), dan (5) Bagaimana (upaya penanganan).
Sebagai sumber informasi adalah pelaporan instansi/lembaga
terkait, media massa, masyarakat, internet, dan informasi lain
yang dapat dipercaya. Di BNPB dan BPBD, baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota mempunyai satu tim yang disebut Tim
6

Reaksi Cepat (TRC). Tugas TRC ini adalah melakukan pengkajian


bencana dan dampaknya secara cepat dan tepat, serta
pendampingan dalam rangka penanganan darurat bencana.

Berdasarkan skema di atas, alokasi penangunggalangan bencana lintas sektoral


adalah sebagai berikut:

1. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait

Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan memerlukan


koordinasi dengan sektor. Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas
sektor sebagai berikut :

a. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan


daerah

b. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik


termasuk obat-obatan dan para medis.

c. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan


dasar lainnya untuk para pengungsi
7

d. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan


lokasi dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan prasarana.

e. Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi


cuaca/meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi dan
komunikasi

f. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan


mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana geologi dan bencana
akibat ulah manusia yang terkait dengan bencana geologi sebelumnya

g. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan


pemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana.

h. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan


penanggulangan bencana pada masa pra bencana

i. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif


khususnya kebakaran hutan/lahan

j. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan upaya yang


bersifat preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana.

k. Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di


bidang bencana tsunami dan abrasi pantai.

l. Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan kajian dan


penelitian sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi.

m. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat


termasuk mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena penghuninya
mengungsi.

2. Peran dan Potensi Masyarakat

a. Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus
korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani bencana
sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke skala yang lebih besar.

b. Swasta
Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup
menonjol pada saat kejadian bencana yaitu saat pemberian bantuan
darurat. Partisipasi yang lebih luas dari sektor swasta ini akan sangat
berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi bencana.
8

c. Lembaga Non-Pemerintah
Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya memiliki fleksibilitas
dan kemampuan yang memadai dalam upaya penanggulangan bencana.
Dengan koordinasi yang baik lembaga Non Pemerintah ini akan dapat
memberikan kontribusi dalam upaya penanggulangan bencana mulai dari
tahap sebelum, pada saat dan pasca bencana.

d. Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian


Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan
berdasarkan penerapan ilmupengetahuan dan teknologi yang tepat. Untuk
itu diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-lembaga
pendidikan dan penelitian.

e. Media
Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Untuk
itu peran media sangat penting dalam hal membangun ketahanan
masyarakat menghadapi bencana melalui kecepatan dan ketepatan dalam
memberikan informasi kebencanaan berupa peringatan dini, kejadian
bencana serta upaya penanggulangannya, serta pendidikan kebencanaan
kepada masyarakat.

f. Lembaga Internasional
Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari lembaga
internasional, baik pada saat pra bencana, saat tanggap darurta maupun
pasca bencana. Namun demikian harus mengikuti peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggaraan Komando Tanggap Darurat meliputi (1)


Rencana operasi, (2) Permintaan sumberdaya, (3) Pengerahan
sumberdaya, dan (4) Pengakhiran. Pelaksanaan ini didukung
dengan fasilitas komando posko (tanggap darurat dan lapangan),
personil, gudang, sarana dan prasarana, transportasi, peralatan,
alat komunikasi, serta informasi bencana dan dampaknya.
Rencana operasi merupakan perencanaan dengan rencana
tindakan menjadi acuan bagi setiap unsur pelaksana komando.
Permintaan sumberdaya dilakukan oleh Komandan dengan
mengajukan permintaan sumberdaya kepada Kepala BPBD/BNPB.
Selanjutnya Kepala BPBD/BNPB meminta dukungan sumberdaya
kepada instansi/lembaga terkait upaya PB. Instansi/lembaga
wajib segera memobilisasi sumberdaya ke lokasi bencana.
Pengerahan sumberdaya dilakukan melalui pengiriman
didampingi personil instansi/lembaga dan penyerahannya
dilengkapi dengan administrasi sesuai dengan ketentuan berlaku.
Dalam hal ini BNPB/BPBD mendukung mobilisasi sumber daya.
Untuk pengakhiran dilakukan oleh Kepala BNPB/BPBD dengan
membuat rencana pengakhiran dengan Surat Perintah (SPRINT)
Pengkahiran. Selanjutnya Komando Tanggap Darurat Bencana
dibubarkan sesuai waktu dengan SK Pembubaran.
9

Proses tanggap darurat dinyatakan selesai dengan adanya


pernyataan resmi Gubernur/Bupati/Walikota. Dengan selesainya
tanggap darurat maka fungsi Pos Komando Tanggap Darurat
kembali ke Pusdalops, dan tugas Incident Commander (IC)
menjadi selesai, serta semua sumberdaya kembali ke posisi
semula/sumbernya. Tahap upaya PB selanjutnya adalah masuk
ke dalam masa transisi ke proses rehabilitasi dan rekonstruksi
pascabencana, serta kehidupan/kegiatan sosial-ekonomi
masyarakat sudah mulai berjalan.
Dalam setiap kegiatan mesti ada evaluasi dan pelaporan.
Komandan Tanggap Darurat Bencana melakukan rapat evaluasi
setiap hari dan membuat rencana kegiatan hari selanjutnya.
Hasil evaluasi menjadi bahan laporan harian kepada Kepala
BNPB/BPBD dengan tembusan kepada Pimpinan
Instansi/Lembaga terkait. Untuk pelaporan dilakukan dengan
mekanisme sebagai berikut (1) Instansi/lembaga/organisasi
terkait dalam penanganan darurat bencana wajib melaporkan
kepada Kepala BNPB/BPBD sesuai kewenangannya dengan
tembusan kepada Komandan Tanggap Darurat Bencana, (2)
Pelaporan meliputi pelaksanaan Komando Tanggap Darurat
Bencana, jumlah/kekuatan sumberdaya manusia, jenis dan
jumlah peralatan/logistik, serta sumberdaya lainnya termasuk
sistem distribusinya secara tertib dan akuntabel, (3) Komandan
Tanggap Darurat Bencana sesuai tingkat kewenangannya
mengirimkan laporan harian, laporan khusus, dan laporan
insidentil pelaksanaan operasi tanggap darurat bencana kepada
Kepala BNPB/BPBD dengan tembusan kepada instansi/
lembaga/organisasi terkait, dan (4) Kepala BPBD melaporkan
kepada Bupati/Walikota/Gubernur dan Kepala BNPB, Kepala BNPB
melaporkan kepada Presiden.

2.1.3. Fase1,2

Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas tiga tahap, yaitu:

1. Pra bencana

a. Dalam situasi tidak ada potensi terjadinya bencana


Dalam situasi tidak ada potensi terjadinya bencana akan dilakukan
penanggulangan dengan yang meliputi perencanaan penanggulangan,
pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemanduan dalam
perencanaan pembangunan, analisis resiko, pelaksanaan, penegakan
rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan persyaratan standar
teknis penanggulangan bencana, yang segala kegiatan tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kita dalam menghadapi
bencana. Perencanaan penanggulangan bencana berupa pengenalan
dan pengkajian ancaman bencana, pemahaman tentang kerentanan
10

masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan


pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan
penanggulangan dampak bencana, dan alokasi tugas, kewenangan, dan
sumber daya yang tersedia. Pengurangan risiko bencana, terdiri atas
pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif
penanggulangan bencana, pengembangan budaya dasar bencana,
peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana, dan
penerapan upaya fisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.
Sedangkan pencegahan meliputi identifikasi dan pengenalan secara
pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana, kontrol terhadap
penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba
dan atau berangsung berpotensi menjadi sumber bahaya bencana,
pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan atau
berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana,
penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup dan penguatan
ketahanan sosial. Pemanduan dalam perencanaan pembangunan
dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana
penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan
daerah, dilakukan secara berkala dan dikoordinasikan oleh suatu
badan. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan
peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan
sanksi terhadap pelanggaran.

b. Dalam situasi ada potensi terjadinya bencana


Dalam situasi ada potensi terjadinya bencana, biasanya akan
dilakukan tindakan-tindakan penanggulangan bencana, meliputi
tindakan kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana, dan
penyusunan rencana kontingensi. Kesiapsiagaan merupakan upaya
untuk menghadapi situasi darurat, hal ini bertujuan agar warga
mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana.
Kesiapsiagaan dilakuakn untuk memastikan upaya cepat dan tepat
untuk menghadapi bencana. Pada peringatan dini dilakukan untuk
pengambilan tindakan cepat dalam rangka menanggulangi risiko
terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi atau meredam risiko
pada saat terjadinya bencana yang mencakup semua langkah yang
diambil untuk mengurangai skala bencana di masa mendatang. Pada
tahap ini juga terjadi proses penyusunan rencana kontingensi2. IASC,
Federasi Internasional, dan BNPB menekankan lebih baik memiliki
rencana kontingensi saat tidak diperlukan daripada tidak memilikinya
saat benar-benar diperlukan. Perencanaan kontingensi dikerjakan
secara khusus untuk krisis yang sedang timbul atau diperkirakan. Pada
umumnya, perencanaan kontingensi harus segera dimulai ketika
potensi bencana yang merusak teridentifikasi, baik itu jenis bencana
yang sering maupun jarang terjadi. Proses kontingensi mungkin saja
11

dipicu oleh tanda-tanda peringatan dini, khususnya untuk kejadian


yang datangnya lambat seperti kekeringan, letusan gunung berapi, dan
epidemik. Namun bagaimanpun juga, bencana yang jarang terjadi tapi
sangat merusak seperti tsunami perlu segera dibuat ketika hasil kajian
bahaya dan risiko mengindikasikan adanya potensi ancaman tersebut.
Peringatan dini merupakan alat penting untuk menentukan
pengambilan tindakan secara detail. Perencanaan kontingensi berubah
menjadi aksi terencana ketika peringatan dini keluar dan
mengindikasikan bencana akan segera tiba. Rencana ini harus dikaji,
ditinjau, diuji, dan diperbarui secara rutin untuk memvalidasi
relevansinya. Waktu yang baik untuk memutakhirkan rencana adalah
setelah bencana besar terjadi. Kejadian ini juga menjadi saat yang baik
untuk memicu pembuatan rencana baru jika belum ada rencana yang
pernah dibuat.

2. Tanggap Darurat

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan tanggap darurat


meliputi:

a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan


sumber daya, untuk mengidentifikasi: cakupan lokasi bencana, jumlah
korban, kerusakan prasarana, dan sarana, gangguan terhadap fungsi
pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya
alam maupun buatan.
b. Penentuan status keadaan darurat bencana
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana melalui
upaya: pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan darurat, dan
atau evakuasi korban.
d. Pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan air bersih dan
sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan
psikososial, dan penampungan dan tempat hunian.
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu dengan memberikan
prioritas kepada kelompok rentan (bayi, balita, dan anak-anak, ibu
yang sedang menyusui/mengandung, penyandang cacat, dan orang
lanjut usia)

3. Pasca Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana


meliputi:

a. Rehabilitasi, meliputi kegiatan: perbaikan lingkungan daerah bencana,


perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan
rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan,
rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya,
pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan
12

ketertiban, dan pemulihan fungsi pemerintahan serta pelayanan


publik.

b. Rekonstruksi, dilakukan melalaui kegiatan pembangunan yang lebih


baik, melalui: pembangunan kembali prasarana dan sarana,
pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan
kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang
bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga daan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, peninggalan kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya, serta peningkatan fungsi pelayanan
publik, dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

2.2. Sampel Darah dan Saliva3,4,5,6

Darah merupakan cairan yang terdapat pada semua hewan tingkat tinggi
yang berfungsi mengirimkan zat O2, mengangkut bahan kimiawi, dan
mengandung sel-sel imun. Sampel darah adalah spesimen darah yang diambil
untuk dilakukan identifikasi baik untuk keperluan medis dan kepentingan
penyelidikan.
Saliva adalah suatu cairan oral yang kompleks dan tidak
berwarna yang terdiri atas campuran sekresi dari kelenjar
ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral.Saliva dapat
disebut juga kelenjar ludah atau kelenjar air liur. Melalui darah
dan saliva, kita dapat mengidentifikasi golongan darah dan
DNA korban untuk kepentingan penyelidikan.

2.2.1. Golongan3

Golongan darah sistem ABO yang selanjutnya disebut


golongan darah merupakan salah satu indikator identitas
seseorang. Pada orang hidup, golongan darah sering digunakan
untuk kepentingan transfusi dan donor, sementara pada orang
yang sudah meninggal, kegunaan golongan darah lebih tertuju
pada identifikasi. Pada beberapa kasus kriminal dan non kriminal
misalnya kasus ragu keturunan (disputed parentage), golongan
darah bisa menjadi petunjuk identitas seseorang. Pada beberapa
kasus kematian dengan barang bukti berupa bercak darah,
identifikasi golongan darah ini penting sekali dalam kaitannya
dengan kecocokan golongan darah pada barang bukti karena
golongan darah memberikan data identitas yang spesifik.
Penentuan golongan darah dari jenazah yang masih baru
bisa dilakukan langsung dengan metode aglutinasi direk.
Penentuan golongan darah pada bercak darah yang sudah kering
lebih sulit bila dibandingkan dengan penentuan golongan darah
dari darah yang masih segar, terlebih lagi bila bercak darah
13

tersebut sangat tua, hal ini disebabkan sel-sel darah telah


hancur.
Penentuan golongan darah pada bercak darah yang sudah kering
masih dimungkinkan karena antigen yang terdapat pada
permukaan sel tetap utuh walaupun sel-selnya telah hancur,
dengan pemeriksaan tertentu antigen tersebut dapat direaksikan
dengan antibodi sehingga golongan darah tetap dapat
ditentukan, dengan kata lain penetapan golongan darah
dilakukan secara tidak langsung.
Metode forensik konvensional untuk identifikasi golongan
darah adalah aglutinasi direk, kombinasi antigen-antibodi yang
terdiri dari absorpsi, elusi absorpsi, inhibisi absorpsi dan
beberapa metode lain. Metode- metode inilah yang sering
digunakan dalam identifikasi forensik Pada identifikasi korban
jenazah yang telah membusuk ataupun hangus terbakar, sering
sekali identifikasi forensik konvensional tidak dapat ditegakkan,
sehingga diperlukan cara identifikasi forensik lainnya yang lebih
akurat yaitu analisis Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) walaupun
demikian pemeriksaan golongan darah dengan metode
konvensional masih banyak digunakan dalam kasus forensik,
hal ini disebabkan masih sangat tingginya biaya untuk
pemeriksaan DNA.

2.2.1.1. Metode

2.2.1.1.1. Sampel Darah

Metode Keuntungan Kerugian


Pemeriksaan
Aglutinasi Direct Cepat dan ringkas Pemeliharaan sampel sulit
Biaya murah Sulit diperiksa pada mayat
membusuk karen sel darah
telah rusak
Observasi langsung Kontaminasi Bakteri
Perubahan antigenisitas oleh
bakteri
Elusi Absorbsi Ringkas Butuh keterampilan dengan
teknik tertentu
Biaya murah Membutuhkan waktu
pemeliharaan sampel
Pemeriksaan ulang mudah Observasi tidak langsung

Tabel 2.1. Perbandingan Metode Pemeriksaan Golongan Darah

A. Aglutinasi Direct3
14

Pada metode ini, penetuan golongan darah dapat dilakukan seacara langsung
seperti penentuan paada golongan darah orang yang masih hidup, yaitu meneskan
1 tetes antiserum ke atas 1 tetes darah dan didlihatabterjadinya aglutinasi.
Aglutinasi yang terjadi pada suatu anti serumnmerupakan golongan darah bercak
yang diperiksa, contoh bila terjadi aglutionasi pada anti serum A maka golongan
darah bercak tersebut adalah A. Metode ini hanya dapat digunakan pada mayat
yang belum meninggal terlalu lama dan selama sel darah tidak rusak.

Gambar 2.2. Metode Aglutinasi Direct

B. Absorpsi Elusi3

Untuk sel darah yang rusak tidak buisa digunakan metode aglutinasi
directmelainkan harus digunakan metode elusi absorpsi. Sebelum melakukan
metode ini, ada langkah-langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu untuk
memastikan bercak tersebut adalah darah dan apakah bercak darah tersebut adalah
berasal dari darah manusia atau hewan. Langkah-langkah yang harus dilakukan
pada pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut:

a. Persiapan
Bercak yang menempel pada suatu objek dapat dikerok kemudian direndam
dalam larutan fisiologis, atau langsung direndam dengan larutan garam
fisiologis bila menempel pada pakaian.

b. Pemeriksaan Penyaringan (presumptive test)


Ada banyak tes penyaring yang dapat dilakukan untuk membedakan apakah
bercak tersebut berasal dari darah atau bukan, karena hanya yang hasilnya
positif saja yang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
15

Prinsip pemeriksaan penyaringan:


H2O2 > H2O + On
Reagen -> perubahan warna (teroksidasi)

Pemeriksaan penyaringan yang biasa dilakukan adalah dengan reaksi


benzidine dan reaksi fenoftalin. Reagen dalam reaksi benzidine adalah larutan
jenuh Kristal Benzidin dalam asetat glacial, sedangkan pada reaksi fenoftalin
digunakan reagen yang dibuat dari Fenolftalein 2g + 100 ml NaOH 20% dan
dipanaskan dengan biji biji zinc sehingga terbentuk fenolftalein yang tidak
berwarna. Hasil positif menyatakan bahwa bercak tersebut mungkin darah
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan hasil negative
pada kedua reaksi tersebut memastikan bahwa bercak tersebut bukan darah.

1. Reaksi Benzidine (Test Adler)


Dahulu Benzidine test pada forensik banyak dilakukan oleh Adlers
(1904). Tes Benzidine atau Test Adler lebih sering digunakan
dibandingkan dengan tes tunggal pada identifikasi darah lainnya. Karena
merupakan pemeriksaan yang paling baik yang telah lama dilakukan.
Pemeriksaan ini sederhana, sangat sensitif dan cukup bermakna. Jika
ternyata hasilnya negatif maka dianggap tidak perlu untuk melakukan
pemeriksaan lainnya. Cara pemeriksaan reaksi Benzidin: Sepotong kertas
saring digosokkan pada bercak yang dicurigai kemudian diteteskan 1
tetes H202 20% dan 1 tetes reagen Benzidin. Hasil positif pada reaksi
Benzidin adalah bila timbul warna biru gelap pada kertas saring.

2. Reaksi Phenolphtalein (Kastle Meyer Test)


Prosedur test identifikasi yang sekarang ini, mulai banyak menggunakan
Phenolphtalein. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kastle (1901,1906),
zat ini menghasilkan warna merah jambu terang saat digunakan pada test
identifikasi darah.Cara Pemeriksaan reaksi Fenolftalein: Sepotong kertas
saring digosokkan pada bercak yang dicurigai langsung diteteskan reagen
fenolftalein. Hasil positif pada reaksi Fenoftalin adalah bila timbul warna
merah muda pada kertas saring.

c. Pemeriksaan Meyakinkan/Test Konfirmasi Pada Darah


Setelah didapatkan hasil bahwa suatu bercak merah tersebut adalah darah maka
dapat dilakukan pemeriksaan selanjutnya yaitu pemeriksaan meyakinkan darah
berdasarkan terdapatnya pigmen atau kristal hematin (hemin) dan
hemokhromogen. Terdapat empat jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk memastikan bercak darah tersebut benar berasal dari manusia, yaitu :

1. Cara kimiawi

Terdapat dua macam tes yang dapat dilakukan untuk memastikan


bahwa yang diperiksa itu bercak darah, atas dasar pembentukan kristal-
16

kristal hemoglobin yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau dengan
mikroskopik. Tes tersebut antara lain tes Teichmann dan tes Takayama.

b) Test Teichman (Tes kristal haemin)4


Pertama kali dilakukan oleh Teicmann (1853). Test diawali dengan
memanaskan darah yang kering dengan asam asetat glacial dan
chloride untuk membentuk derivate hematin. Kristal yang terbentuk
kemudian diamati di bawah mikroskop, biasanya Kristal muncul
dalam bentuk belah-belah ketupat dan berwarna coklat. Cara
pemeriksaan: Seujung jarum bercak kering diletakkan pada kaca
obyek tambahkan 1 butir kristal NaCL dan 1 tetes asam asetat glacial,
tutup dengan kaca penutup dan dipanaskan. Hasil positif dinyatakan
dengan tampaknya Kristal hemin HCL yang berbentuk batang
berwarna coklat yang terlihat dengan mikroskopik. Kesulitan metode
ini adalah untuk mengontrol panas dari sampel karena pemanasan
yang terlalu panas atau terlalu dingin dapat menyebabkan kerusakan
pada sampel.

Gambar 2.3. Gambaran Mikroskopis Hasil Positif Tes Teichman

b. Test Takayama (Tes kristal B Hemokromogen)4


17

Gambar 2.4. Gambaran Mikroskopis Hasil Positif Tes Takayama

Apabila heme sudah dipanaskan dengan seksama dengan


menggunakan pyridine dibawah kondisi basa dengan tambahan sedikit
gula seperti glukosa, Kristal pyridine ferroprotoporphyrin atau
hemokromogen akan terbentuk. Tempatkan sejumlah kecil sampel
yang berasal dari bercak pada gelas objek dan biarkan reagen
takayama mengalir dan bercampur dengan sampel. Setelah fase
dipanaskan, lihat di bawah mikroskop. Hasil positif dinyatakan
dengan tampaknya kristal halus berwarna merah jambu yang terlihat
dengan mikroskopik.Kelebihan metode ini adalah test dapat dilakukan
dan efektif dilakukan pada sampel atau bercak yang sudah lama dan
juga dapat memunculkan noda darah yang menempel pada baju.
Selain itu test ini juga memunculkan hasil positif pada sampel yang
mempunyai hasil negative pada test Teichmann. (1)

c. Pemeriksaan Wagenaar4
Seujung jarum bercak kering diletakkan pada kaca obyek, letakkan
juga sebutir pasir, lalu tutup dengan kaca penutup sehingga antara
kaca obyek dan kaca penutup terdapat celah untuk penguapan zat.
Kemudian pada satu sisi diteteskan aseton dan pada sisi lain di tetes
kan HCL encer, kemudian dipanaskan. Hasil positif bila terlihat
Kristal aseton hemin berbentuk batang berwarna coklat. Hasil
negative selain menyatakan bahwa bercak tersebut bukan bercak
darah, juga dapat dijumpai pada pemeriksaan terhadap bercak darah
yang struktur kimiawinya telah rusak, misalnya bercak darah yang
sudah lama sekali, terbakar dan sebagainya.

2. Cara serologik5

Pemeriksaan serologik berguna untuk menentukan spesies dan


golongan darah. Untuk itu dibutuhkan antisera terhadap protein manusia
18

(anti human globulin) serta terhadap protein hewan dan juga antisera
terhadap golongan darah tertentu. Prinsip pemeriksaan adalah suatu reaksi
antara antigen (bercak darah) dengan antibody (antiserum) yang dapat
merupakan reaksi presipitasi atau reaksi aglutinasi.

a. Test Presipitin Cincin


Test Presipitin Cincin menggunakan metode pemusingan sederhana
antara dua cairan didalam tube. Dua cairan tersebut adalah
antiserum dan ekstrak dari bercak darah yang diminta untuk
diperiksa.Cara pemeriksaan: Antiserum ditempatkan pada tabung
kecil dan sebagian kecil ekstrak bercak darah ditempatkan secara
hati-hati pada bagian tepi antiserum. Biarkan pada temperatur
ruang kurang lebih 1,5 jam. Pemisahan antara antigen dan antibody
akan mulai berdifusi ke lapisan lain pada perbatasan kedua cairan.
Akan terdapat lapisan tipis endapan atau precipitate pada bagian
antara dua larutan. Pada kasus bercak darah yang bukan dari
manusia maka tidak akan muncul reaksi apapun.

b. Reaksi presipitasi dalam agar


Gelas obyek dibersihkan dengan spiritus sampai bebas lemak,
dilapisi dengan selapis tipis agar buffer. Setelah agak mengeras,
dibuat lubang pada agar dengan diameter kurang lebih 2 mm, yang
dikelilingi oleh lubang-lubang sejenis. Masukkan serum anti-
globulin manusia ke lubang di tengah dan ekstrak darah dengan
berbagai derajat pengenceran di lubang-lubang sekitarnya.
Letakkan gelas obyek ini dalam ruang lembab (moist chamber)
pada temperature ruang selama satu malam. Hasil positif
memberikan presipitum jernih pada perbatasan lubang tengah dan
lubang tepi.

3. Pemeriksaan Mikroskopik4

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat morfologi sel darah merah. Cara
pemeriksaan: darah yang masih basah atau baru mengering ditaruh pada kaca
obyek kemudian ditambahkan 1 tetes larutan garam faal, dan ditutup dengan kaca
penutup, lihat dibawah mikroskop. Cara lain, dengan membuat sediaan apus
dengan pewarnaan Wright atau Giemsa. Pemeriksaan mikroskopik kedua sediaan
tersebut hanya dapat menentukan kelas dan bukan spesies darah tersebut. Kelas
mamalia mempunyai sel darah merah berbentuk cakram dan tidak berinti,
sedangkan kelas lainnya berbentuk oval atau elips dan tidak berinti Bila terlihat
adanya drum stick dalam jumlah lebih dari 0,05%, dapat dipastikan bahwa darah
tersebut berasal dari seorang wanita. Kelebihan dari pemeriksaan mikroskopik
adalah dapat terlihatnya selsel leukosit berinti banyak. Dapat terlihat
adanya drum stick pada pemeriksaan darah seorang wanita.

Setelah melakukan prosedur-prosedur di atas, lalu akan dilakukan penentuan


golongan darah metode absorpsi elusi dengan prosedur:
19

1. Dua atau tiga benang yang mengandubf bercak kering difiksasi dengan
metil alkohol selama 15 menit
2. Benang diangkat, dibiarkan mengeribg, kemudian diuraikan menjadi serat-
serat halus menggunakan sebuah jarum
3. Lakukan juga terhadao benang yang tidak mengandung bercak darah
sebagai kontrol negatif
4. Masukan srat benang ke dalam 2 tabung reaksi
5. Tetskan serum anti A ke dalam tabung pertama dan serum anti B kedalam
tabung kedua HINGGA serabut benang tersebut terendam seluruhnya
6. Simpan tabung-tabung tersebut ke dalam lemari pendingin bersuhu 4 c
selama 1 tahun
7. Cuci dengan larutan garam faal dingin 4 c sebanyak 56 kali
8. Tambahkan 2 tetes suspensi 2% sel indikator (sel darah merah golongan A
pada tabung pertama dan B pada tabung ke dua
9. Putar dengan kecepatan 1000 RPM selama 1 menit
10. Bila tidak terjadi aglutinasi cuci sekali lagi dan kemudian ntambahkan 1-2
tetes larutan garam faal dingin panaskan pada suhu 56 c selama 10
menit pada kecepatan 1000 PM.

1.2.1.1.2. Saliva5

Saliva merupakan cairan yang sangat penting di rongga mulut yang


dihasilkan oleh kelenjar saliva mayor dan minor. Pemeriksaan dengan saliva dapat
menjadi alat yang berguna dalam berbagai jenis kasus kriminal, meskipun
pemeriksaan saliva tidak diminta sesering pemeriksaan untuk air mani atau darah.
Pemeriksaan saliva masih memiliki banyak keterbatasan, saat ini metode yang
paling banyak digunakan di labolatorium forensik untuk pemeriksaan saliva
adalah deteksi amylase yaitu enzim yang ditemukan di air liur. Analisis saliva
dapat digunakan untuk beberapa kasus misalnya:

Cara Pengambilan Sampel

a) Bekas gigitan

Metode: Double swabbing.


Alat Dan Bahan : Dua cotton bud steril dan 3 ml air salin.
Prosedur:

1. Basahi satu ujung cotton bud dengan air


2. Aplikasikan ujung cotton bud ini ke daerah dimana terdapat saliva
dengan gerakan memutar dan tekanan ringan
3. Biarkan cotton bud pertama ini mengering di lingkungan bebas
kontaminasi
4. Segera setelah swab pertama diambil, aplikasikan ujung cotton bud
kedua yang kering ke daerah bekas saliva yang sudah dibasahi oleh
cotton bud pertama. Gunakan gerakan memutar dan tekanan ringan
5. Biarkan cotton bud kedua ini mengering di lingkungan bebas
kontaminasi selama paling tidak 30 menit
20

6. Setelah kering, kedua cotton bud dimasukkan ke satu tempat, ditutup


dan ditandai
7. Sampel bisa dikirim ke laboratorium untuk diuji

b) Bercak Air Liur

Prosedur pengambilan sample saliva dari air liur yang telah mengering sebagai
berikut:

1. Ambil sepotong bahan dari benda yang terkena noda air liur, lalu
simpan di dalam tabung tes
2. Masukkan 3-4 ml air salin, lalu rendam selama kurang lebih 12 jam.
Lalu beri label sebagai 'Extract'.
3. Dari ekstrak, 0,5 ml diambil lalu disimpan dalam tabung reaksi yang
lain dan sisanya 3,5 ml disimpan dalam inkubator di 37oC selama
setengah jam.
4. Setelah keluar dari incubator, 0,5 ml ekstrak ditambahkan
5. Lalu tambahkan 0,75 ml asam sulfat (H2SO4) dan 0,25 ml natrium
tungstat
6. Larutan ini disentrifus selama 10 menit.
7. Lalu 2 ml tembaga sulfat (CuSO4) basa ditambahkan
8. Larutan ini disimpan selama 10 menit dalam air mandi mendidih.
9. Larutan siap untuk di periksa

c) Mukosa Oral
Metode: Buccal Swab.
Alat dan bahan: Cotton bud steril.
Prosedur:

1. Aplikasikan ujung cotton bud dengan di daerah mukosa 10 kali,


dengan sedikit memutar ujung cotton bud setiap kali melakukan swab
2. Ulangi langkahnya dari awal pada mukosa bukal di kontralateral
3. Biarkan kedua swab mengering di lingkungan bebas kontaminasi
selama paling tidak 30 menit
4. Masukkan kedua swab di pembungkus, kemudian masukkan ke
container yang sejuk, kering, bebas sinar UV.
5. Sampel siap dikirim ke laboratorium

Pendeteksian Golongan Darah

1. Golongan Sekretor dan Non-sekretor

Individu yang termasuk golongan sekretor adalah individu yang


memiliki gen SeSe atau Sese, dimana mereka dapat mensekresikan antigen
golongan darahnya pada sekresi dan cairan tubuhnya selain pada sel darah
merah. Individu sekretor mensekresikan substansi antigen yang identik
secara imunologik dengan substansi pada eritrositnya. Sedangkan
golongan non sekretor yang memiliki genotip sese, hanya mensekresikan
21

sedikit sekali atau tidak sama sekali antigen golongan darahnya ke cairan
tubuhnya sehingga cairan tubuhnya tidak mengandung antigen tersebut.
Hal ini diketahui dari penelitian Yamakami pada tahun 1926 yang
menemukan adanya antigen A dan B pada saliva, lalu pada tahun 1930,
Lehrs dan Putkonen menyatakan bahwa karakter tersebut bersifat
dimorphic dengan ditemukannya golongan non-sekretor yang tak memiliki
antigen pada salivanya, selain golongan sekretor. Beberapa ahli kemudian
menemukan bahwa substansi antigen golongan darah tersebut tidak hanya
terdapat pada sel darah merah, tapi tersebar secara meluas pada seluruh
tubuh manusia, baik pada jaringan lunak maupun keras. Selain itu
substansi A, B, dan H juga terdapat sebagai mukopolisakarida dalam
sekresi kelenjar seperti saliva, keringat, dan cairan lambung.
Pada akhirnya diketahui bahwa sekresi mukopolisakarida ini
dikontrol oleh gen Se dan se, dimana Se dominan terhadap se. Pada
individu sekretor, penentuan golongan darah selain dapat dilakukan
menggunakan sampel darahnya, juga dapat dilakukan menggunakan
sampel cairan tubuh seperti saliva, dimana antigen pada cairan tubuhnya
biasanya terdapat dalam bentuk larut (soluble form glycoprotein).
Sedangkan pada individu non-sekretor, penentuan golongan darahnya
hanya dapat dilakukan dengan prosedur konvensional menggunakan sel
darah merahnya.

2. Penentuan Status Sekretor

Untuk mengetahui apakah seseorang itu bersifat sekretor atau


nonsekretor dapat ditentukan dengan tes penentuan status sekretor
(secretory test). Pada tes ini prinsip yang digunakan adalah Aglutinasi-
inhibisi, yang prosesnya terdiri dari 2 tahap, yaitu:

a) Penetralan antibodi
Pada tahap ini saliva dicampur dengan antiserum komersial (Anti-A
atau Anti-B) yang telah dilarutkan dengan aquades sehingga titer
antibodinya akan mendekati level antigen di dalam saliva, kemudian
biarkan untuk beberapa waktu agar keduanya bereaksi. Jika
subyeknya sekretor maka antigen golongan darah yang larut dalam
saliva akan bereaksi dengan dan menetralkan antibodi dalam
antiserum.

b) Aglutinasi-inhibisi
Pada tahap selanjutnya ditambahkan sel darah merah sesuai dengan
golongan darah yang akan dites ke dalam campuran tersebut. Jika
subyeknya sekretor, maka tidak terjadi aglutinasi sebab tidak ada lagi
antibodi yang tersisa untuk menggumpalkan sel darah merah, karena
sebelumnya telah bereaksi dengan antigen golongan darah di dalam
saliva. Reaksi yang menunjukkan aglutinasi negatif ini
diinterpretasikan status sekretornya positif. Namun jika subyeknya
non-sekretor, maka tidak ada antigen golongan darah di dalam saliva
sehingga antibodi di dalam antiserum tidak akan dinetralkan dan
22

akan bebas bereaksi dengan sel darah merah yang ditambahkan.


Reaksi aglutinasi positif menunjukkan hasil tes status sekretor yang
negatif.

3. Metode Pendeteksian Golongan Darah Menggunakan Saliva

Pendeteksian golongan darah melalui material selain darah dapat


dilakukan dengan cara tidak langsung, yaitu dengan metode absorpsi-
inhibisi (untuk cairan tubuh, misal : saliva, semen, dan sebagainya),
absorpsi-elusi (untuk bahan padat, misal : tulang, rambut, gigi, dan
sebagainya), dan absorpsi campuran (untuk bahan padat).
Pendeteksian golongan darah dengan cara aglutinasi langsung tidak
mungkin dilakukan untuk deteksi antigen dalam cairan tubuh seperti pada
saliva. Hal ini dikarenakan antigen/substansi golongan darah dalam cairan
tubuh terdapat dalam bentuk yang larut (soluble form). Metode yang
digunakan untuk pemeriksaan golongan darah melalui saliva adalah
metode absorpsi-inhibisi, yaitu bila terdapat suatu bahan yang
mengandung antigen yang sesuai dengan antiserum yang ditambahkan
maka akan terjadi proses absorpsi yang spesifik. Proses absorpsi ini akan
mengakibatkan titer antiserum berkurang (inhibisi). Sehingga jika
kemudian ditambahkan sel darah merah yang sesuai kepada antiserum
yang telah terikat dengan antigen dalam bahan, maka tidak akan
ditemukan aglutinasi karena antiserum telah berikatan dengan antigen
dalam bahan sehingga tidak dapat lagi berikatan dengan antigen pada
dinding sel darah merah. Inhibisi aktifitas antiserum ini ditentukan dengan
membandingkannya dengan titer antiserum mula-mula.

Pemeriksaan golongan darah mempunyai berbagai manfaat dan


mempersingkat waktu dalam identifikasi. Golongan darah penting untuk diketahui
dalam hal kepentingan transfusi, donor yang tepat serta identifikasi pada kasus
kedokteran forensik seperti identifikasi pada beberapa kasus criminal

1.2.1.1.3. Pulpa5,6

Identifikasi golongan darah dapat dilakukan melalui sediaan yang diambil


dari bagian tubuh di antaranya akar rambut, tulang, jaringat ikat, kuku, saliva, dan
cairan darah itu sendiri. Dalam ilmu kedokteran gigi forensik, identifikasi
golongan darah dapat diketahui dari analisa jaringan pulpa gigi. Analisa gololngan
darah dari pulpa gigi merupakan identifikasi golongan darah untuk pelaku
maupun korban dilakukan dengan cara absorpsi elusi. Analisa laboratories dengan
metode absorpsi elusi dari jaringan pulpa gigi dibuat sebagai berikut:
23

Gambar 2.5. Aglutinasi melalui Sampel Pulpa

1. Gigi yang masih terdapat dijadikan bahan


2. Gigi tersebut dihancurkan dalam lubang besi sampai menjadi bubuk
3. Gigi tersebut lalu dimasukkan ke dalam tiga buah tabung yang masing-
masing-masing-masing berisi antiserum A, antiserum B, dan antiserum D.
4. Ketiga tabung tersebut lalu disimpan di dalam lemari pendingin suhu 5
derajat Celcius selama 24 jam
5. Isi tabung dengan saline solution sebanyak 7%
6. Larutan saline dibuang, tetapi endapan jangan
7. Teteskan 2 tetes aquades pada masing-masing-masing-masing tabung
8. Panaskan tabung pada suhu 56 derajat Celcius selama 12 menit
9. Tabung tersebut kemudian diangkat dalam tungku pemanas
10. Kemudian di dalam tabung tersebut diteteskan sel indikator A,B,D dengan
konsentrasi 3%
11. Ketiga tabung tersebut disentrifus dengan alat pemutar agar terjadi
aglutinasi
12. Perhatikan tabung yang mengalami aglutinasi

2.2.1.2. Interpretasi7
24

Gambar 2.6. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Golongan Darah

Keterangan:

1. Pada golongan darah A terdapat aglutinasi pada tetesan darah yang diberi
reagen anti A .
2. Pada golongan darah B terdapat aglutinasi pada tetesan darah yang diberi
reagen anti B.
3. Pada golongan darah AB terdapat aglutinasi pada tetesan kedua darah
tersebut.
4. Pada golongan darah O tidak terdapat aglutinasi pada kedua darah
tersebut.
Aglutinasi merupakan salah satu cara dimana antibodi menandai antigen
untuk dihancurkan. Apabila di dalam sel darah seseorang tidak terdaat aglutinogen
A maka dalam plasma akan terbentuk antibodi yang disebut aglutinin A (anti A).
Apabila dalam sel darah merah tidak terdapat aglutinogen B maka dalam plasma
darah terdapat anti B. Berarti golongan darah AB yang memiliki aglutinogen A
dan B tidak memiliki agluitin.

Genotip Golongan darah Aglutinogen Aglutinin


OO O - Anti A dan B
OA / AA A A Anti B
OB / BB B B Anti A
AB AB A dan B -
Tabel 2.2. Golongan Darah

2.2.1.3. Pencatatan pada Antemortem dan


Postmortem8
25

Antemortem adalah data-data fisik khas korban sebelum meninggal. Mulai


dari pakaian atau aksesoris yang terakhir kali dikenakan, barang bawaan, tanda
lahir, tato, bekas luka, cacat tubuh, foto diri, berat dan tinggi badan, serta sampel
DNA.data-data ini biasanya didapatkan dari keluarga, ataupun dari instansi di
mana korban pernah berhubungan semasa hidup. Misalnya pihak keluarga
memberikan data fisik korban, menyebutkan umur, warna kulit, ciri fisik seperti
sidik jari, tanda lahir atau susunan gigi berdasarkan data dari dokter gigi jika yang
bersangkutan pernah melakukan pemeriksaan gigi.

Data postmortem adalah data-data fisik yang diperoleh melalui personal


identification setelah korban meninggal. Seperti sidik jari, golongan darah,
konstruksi gigi dan foto diri korban pada saat ditemukan lengkap dengan barang-
barang yang melekat di tubuhnya dan sekitarnya, bahkan termasuk isi kantong
pakaiannya.Selain foto diri yang detail, juga ada foto rontgen. Ini untuk
mengetahui apakah ada ciri khusus berupa pen penyambung tulang serta susunan
gigi geligi korban. Ciri fisik yang spesifik akan sangat membantu identifikasi
korban.

Di dalam sejarah perkembangan teknologi biologi, DNA menjadi data


super penting. Ini merupakan asam nukleat yang menyimpan informasi genetika
dan menentukan jenis rambut, warna kulit bahkan sifat-sifat khusus dari manusia.
Data DNA umumnya terletak di dalam inti sel korban ini akan dibandingkan
dengan data DNA kerabat. Peluang mendapat kecocokan akan lebih besar bila
contoh DNA korban dibandingkan dengan contoh DNA yang diambil dari ibunda
atau anak kandung korban. Selain DNA dan susunan gigi, sidik jari merupakan
data primer lainnya untuk mengidentifikasi seseorang. Profil sidik jari itu akan
'terekam' saat membuat KTP, paspor, mendapatkan SIM, SKKB atau lainnya yang
melibatkan otoritas kepolisian. Data yang terekam dari sidik jari itu kemudian
dicocokkan dengan data-data sekunder berupa visual, foto, properti jenazah, tinggi
badan atau ras. Di luar itu semua, masih ada lagi manifes penumpang berisi nama
dan nomor tempat duduk dalam pesawat yang bisa sedikit banyak membantu
identifikasi. Tim forensik dari DVI akan menentukan apakah temuan postmortem
sesuai dengan data antemortem atau data dari sidik jari jasad bersangkutan.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data postmortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data
antemortem yang sesuai. Sebaliknya, bila data yang dibandingkan terbukti cocok
maka dikatakan identifikasi positif dan selanjutnya jenazah diserahkan kepada
pihak keluarga atau ahli waris untuk segera dimakamkan. Dalam pencatatan data
post mortem ada form yang diisi oleh ahli DNA , sebelum melakukan test
biasanya dilakukan pengambilan sampel. Pada skenario mengacu kepada dua
sampel yaitu saliva dan darah , berikut merupakan contoh data post mortem pada
pemeriksaan data post mortem
26

Gambar 2.7. Profil DNA Post Mortem pada Formulir E4

Dari data di atas terdapat empat specimen yang dibutuhkan dalam


pemeriksaan , tujuan agar mencapai akurasi yang diharapkan oleh tim dvi , pada
kesempatan kita menggunakan sampel darah dan saliva , adapun syarat yang harus
dipenuhi ketika mengambil sampel.

Setelah memiliki data post mortem pada primary identifiers, tim DVI
melanjutkan pemeriksaan selanjutnya dengan mengisi form berwarna kuning yang
biasanya dikenal sebagai data ante mortem , berikut adalah contoh dari data ante
mortem.
Data yang tertera di bawah ini merupakan data ante mortem yang diisi
dengan cara interview dengan keluarga korban, dalam mengetahui kecocokan
korban dengan keluarga biasanya keluarga yang bersangkutan ikut berperan dalam
pengecekan DNA, yang bertujuan untuk membandingkan DNA korban dengan
pihak keluarga, membandingkan data postmortem korban dengan data
antemortem korban. apabila cocok maka korban dikembalikan kepada pihak
keluarga melalui jalur hukum yang sudah ditetapkan.
27

Gambar 2.8. Profil DNA Ante Mortem pada Formulir E4

2.2.2. DNA

Perkembangan tes DNA bermula ketika penemuan tentang


bersatunya ovum dan sperma untuk dapat terjadinya embrio dan
individu baru yang dikemukakan oleh sarjana Belanda Regnier de
Graaf pada tahun 1672. Pada tahun 1869 seorang ahli ilmu kimia
Jerman bernama Friedrich Miescher menemukan zat fosfor yang
sangat tinggi pada nukleus sel selain dari protein, karbohidrat,
lemak dan asam yang selanjutnya disebut asam nukleat. L.
Spallanzani kemudian pada Tahun 1785, melakukan penemuan
yaitu tidak akan terjadi pembuahan dan pertumbuhan embrio
pada katak jika cairan mani yang telah disaring spermanya
dicampur dengan telur betina jenis yang sama.
Pada tahun 1872 Miescher kemudian menemukan asam
nukleat pertamanya dari sperma ikan paus dan inti-inti sel dalam
nanah. Pada Tahun 1875 O. hertwig menemukan bahwa inti ovum
bersatu dengan inti sperma dan disebut gamet dan pada tahun
1883 E.van Beneden menemukan dua helai benang pada gamet
dan empat helai benang pada zigotnya. Pada tahun 1888
W.Walder menemukan benang inti pada zigot tersebut dan
disebut kromosom. Pada tahun 1930 ilmuwan J. Belling
28

menemukan metode teknis mikroskop yang mempermudah


pengamatan kromosom serta dengan reaksi Fuelgen kemudian
diketahui bahwa DNA berada di dalam kromosom.82 Pada tahun
1953, James Watson dan Francis Crick mendefinisikan DNA
sebagai polimer yang terdiri dari 4 basa dari asam nukleat, dua
dari kelompok Purin: Adenin dan Guanin dan dua lainnya dari
kelompok Pirimidin : Sitosin dan Timin. Keempat nukleobasa
tersebut terhubung dengan glukosa fosfat.
Maurice Wilkins dan Rosalind Franklin menemukan bahwa
molekul DNA berbentuk heliks yang berputar setiap 3,4 nm,
sedangkan jarak antar molekul nukleobasa adalah 0,34 nm,
hingga dapat ditentukan bahwa terdapat 10 molekul nukleobasa
pada setiap putaran DNA. Setelah diketahui bahwa diameter
heliks DNA sekitar 2 nm, baru diketahui bahwa DNA terdiri bukan
dari 1 rantai, melainkan 2 rantai heliks. Crick, Watson, dan
Wilkins mendapatkan hadiah Nobel Kedokteran pada 1962 atas
penemuan ini. Franklin, karena sudah wafat pada waktu itu, tidak
dapat dianugerahi hadiah ini.
Pada tahun 1984 genetikawan Inggris Alec Jeffreys
menemukan DNA Profiling/Pemrofilan DNA dan untuk pertama
kalinya digunakan untuk mendakwa Colin Pitchfork pada 1988
dalam kasus pembunuhan Enderby di Leicester, Inggris. Sejak
saat itu, perkembangan tes DNA telah merevolusi hampir segala
bidang di ilmu kedokteran. 84 Dewasa ini, ratusan produk dan
teknologi telah diproduksi oleh penemuan DNA ini, salah satunya
adalah untuk kepentingan forensik.
Dalam lingkup dunia forensik, tindak pidana yang identik
dengan kekerasan, darah atau sebagian kecil dari jaringan otot
bisa saja tertinggal di tempat kejadian perkara atau di atas baju
atau di barang-barang lainnya dari milik korban atau tersangka.
Jika terjadi tindak pidana pemerkosaan, maka sejumlah kecil dari
semen/cairan sperma dapat ditemukan pada tubuh korban. Jika
terdapat jaringan otot dan semen yang cukup, laboratorium
forensik dapat melakukan tes untuk menyimpulkan golongan
atau bagian jaringan otot. Tes DNA dapat mengidentifikasi
kesalahan seseorang dengan tingkat kepastian yang lebih
tinggi,dikarenakan dasar sekuens DNA setiap individu itu unik.
Pada penerapan forensik ini,teknologi DNA yang digunakan
adalah analisis RFLP. Hasil daripada analisis tersebut yaitu
potongan fragmentasi yang dipisahkan dengan electrophoresis.
Metode ini digunakan untuk membandingkan sampel DNA dari
tersangka (tersangka tindak pidana pembunuhan contohnya),
korban, dan sejumlah kecil semen, darah atau jaringan otot
lainnya yang ditemukan pada tempat kejadian perkara

2.2.2.1 Teknik9
29

2.2.2.1.1. Analisis Polymerase chain reaction (PCR)9

Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk


membuat jutaan kopi DNA dari sampel biologis. Amplifikasi DNA
dengan menggunakan PCR menyebabkan analisis. DNA pada
sampel biologis hanya membutuhkan sedikit sampel dan dapat
diperoleh dari sampel yang halus seperti rambut. Kemampuan
PCR untuk mengamplifikasi sejumlah kecil DNA memungkinkan
untuk menganalisa sampel yang sudah terdegradasi sekalipun.
Namun, tetap saja harus dicegah kontaminasi dengan materi
biologis yang lain selama melakukan identifikasi, koleksi dan
menyiapkan sampelnya. Prinsip kerja dari PCR adalah menggandakan
segmen DNA tertentu dengan memanfaatkan enzim sebagai penginisiasi
replikasi. Komponen komponen reaction mixture PCR yaitu DNA template,
primer, DNA polimerase, buffer / dapar, dan dNTPS. Pertama, DNA template.
Fungsi DNA template di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk
pembentukan molekul DNA baru yang sama. DNA template ini dapat berupa
DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asalkan di
dalam DNA template tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju.
Penyiapan DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan
menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA
kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar (DNA
yang dipakai dalam praktikum Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
dilakukan oleh praktikan yaitu DNA kromosom larva udang yang diisolasi
menggunakan teknik Wizard Genomic DNA Purification Kit. Kedua, primer
yaitu suatu polimer asam nukleat pendek (oligonukleotida) yang mempunyai
urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat,
dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates), buffer PCR, dan enzim DNA
polimerase (Reece 2004: 153).Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA
target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH)
pada ujung 3 yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Pemilihan primer
yang tidak sesuai dapat menyebabkan tidak terjadinya reaksi polimerasi antara
gen target dengan primer
30

Gambar 2.9. Mesin PCR

. Terdapat dua dua jenis primer dalam suatu reaksi PCR yaitu
primerreverse dan forward yang bekerja pada dua untai berbeda
(sense dan antisense) dalam satu DNA. Syarat syarat primer meliputi panjang
primer, kandungan GC, dan melting temperature. Panjang primer berkisar antara
18 30 basa. Primer dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan
spesifisitas primer rendah sehingga memungkinkan terjadinya mispriming.
Kandungan GC yang ideal dalam primer adalah sekitar 50%. Melting
temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah.
Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tmprimer akan berpengaruh di
dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Suhu optimalnya berkisar antara
50 0C sampai 60 0C. Selain itu, juga tidak boleh terjadi self dimmer, pair dimmer,
atau hairpin. Ketiga, polimerase DNA merupakan enzim yang stabil dalam
pemanasan. Umumnya digunakan enzim Taq DNA polimerase (Taq = Thermus
aquaticus). Enzim ini tetap stabil mengamplifikasi DNA walaupun amplifikasi
berjalan pada suhu mendekati titik didih air. Polimerase DNA berfungsi sebagai
katalis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini juga
diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Keempat, buffer yaitu untuk menjaga
keseimbangan pH medium. Umumnya buffer PCR mengandung senyawa MgCl 2.
MgCl 2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA
polimerase. MgCl 2 tersebut juga akan meningkatkan interaksi primer dengan
templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP Kelima, dNTPs
merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin trifosfat),
dTTP (deoksitimidin trifosfat), dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP
(deoksiguanosin trifosfat). dNTPs bertindak sebagai building block DNA yang
diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus OH
pada ujung 3 dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan
untai DNA template. Siklus PCR meliputi tiga tahap yaitu denaturasi,
annealing, dan elongasi (ekstensi).
31

a) Denaturasi
Pada tahap ini jika larutan DNA dipanaskan, maka energi termal akan
memecahkan ikatan hidrogen dan ikatan lain yang menentukan kestabilan
heliks ganda, akibatnya kedua untai akan memisah atau mengalami
denaturasi. Molekul DNA heliks tunggal dari proses denaturasi cukup
stabil. Jika suhu diturunkan, molekul tersebut biasanya tidak mengalami
renaturasi menjadi molekul DNA heliks ganda asal tetapi membentuk pola
kusut, namun untai yang saling komplemen dapat mengalami renaturasi
secara perlahan-lahan. Sifat ini menjadi dasar teknik hibridisasi asam
nukleat

a) Annealing
Tahap ini merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer
merupakan tahap yang penting dalam PCR karena jika terdapat sedikit saja
kesalahan pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil
akhir produk DNA yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini
antara lain suhu annealing dan primer. Annealing umumnya berlangsung
pada suhu 54 C. Secara umum suhu annealing yang digunakan yaitu 54 0C.
Pemilihan suhu annealingberkaitan dengan Tm primer yang digunakan
untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung
berdasarkan (Tm 5) 0C sampai dengan (Tm + 5) 0C. Secara
teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) +
4(C+G)]

b) Elongasi
Setelah primer menempel pada untai DNA target, enzim DNA polimerase
akan memanjangkan sekaligus membentuk DNA yang baru dari gabungan
antara primer, DNA cetakan, dan nukleotida. Jika dilakukan pengulangan
terhadap ketiga tahapan tersebut, maka untai DNA yang baru dibentuk
akan kembali mengalami proses denaturasi, penempelan, dan pemanjangan
untai DNA menjadi untai DNA yang baru. Pengulangan proses PCR akan
menghasilkan amplifikasi DNA cetakan baru secara eksponensial.
32

Gambar 2.10. Siklus dalam PCR

Selama satu siklus yang terdiri dari tiga fase tersebut, suhu pada mesin
PCR akan di kontrol oleh Thermal Cycler. Thermal Cycler merupakan suatu
alat yang dapat mengatur suhu sesuai dengan urutan dan waktu yang
diinginkan. Saat melakukan metode PCR harus dilakukan kontrol positif yang
diperlukan untuk mengetahui reaksi PCR berjalan baik atau tidak. Selain itu,
juga harus dilakukan kontrol negatif untuk mencegah kontaminasi pada PCR
Teknik PCR memiliki beberapa kelebihan, yaitu reaksi sangat spesifik dan
akurat, mudah dilakukan secara otomatis dan waktu relatif lebih cepat dari
teknik lain. Kekurangan dari PCR adalah biaya relatif mahal, rentan
terkontaminasi, dan tidak dapat mengekspresikan mutasi. Saat ini PCR sudah
digunakan secara luas untuk berbagai macam kebutuhan, di antaranya solasi
DNA, DNA sequencing, forensik, dan diagnose penyakit.

2.2.2.1.1.1. RFLP (Restriction fragment length polymorphism)9

RFLP adalah salah satu aplikasi analisis DNA asli pada penelitian
forensik. Dengan perkembangan dan adanya teknik analisis DNA yang lebih baru
dan lebih efisien, RFLP tidak lagi digunakan karena membutuhkan sampel DNA
yang relatif banyak. Selain itu sampel yang bisanya diperoleh juga biasanya sudah
terdegradasi oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau jamur, tidak dapat
digunakan untuk RFLP. RFLP merupakan teknik sidik DNA berdasarkan deteksi
33

fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Awalnya DNA diisolasi dari
sampel yang kemudian dipotong dengan enzim khusus restriction endonuclease.
Enzim ini memotong DNA pada pola sekuen tertentu yang disebut restriction
endonuclease recognition site (sisi yang dikenali oleh enzim restriksi). Ada atau
tidaknya sisi yang dikenali ini di dalam sampel DNA menghasilkan fragmen DNA
dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya potongan fragmen tersebut akan
dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 0,5%. Fragmen DNA kemudian
dipindahkan dan difiksasi pada pada membran nilon dan dihibridisasi spesifik
dengan pelacak (probe) DNA berlabel radioaktif yang akan berikatan dengan
sekuen DNA komplementernya pada sampel. Metode ini akhirnya munculah pita-
pita yang unik untuk setiap individu.

Gambar 2.11. PCR-RFLP dalam Elektroforesis

Hasil daripada metode ini yaitu potongan fragmentasi yang


dipisahkan dengan electrophoresis. Metode ini digunakan untuk
membandingkan sampel DNA dari tersangka (tersangka tindak
pidana pembunuhan contohnya), korban, dan sejumlah kecil
semen, darah atau jaringan otot lainnya yang ditemukan pada
tempat kejadian perkara. Dalam lingkup korban bencana metode
ini digunakan untuk membandingkan sampel dna keluarga dan
sampel dna korban atau perbandingan sampel dna korban ante
mortem dan post mortem. Radioaktif tes menandai bagian yang
menpunyai tanda tertentu RFLP. Bahkan sebagian kecil dari
tanda RFLP dari seseorang individu dapat memberikan sebuah
DNA fingerprint, atau desain spesifik dari bagian, yang digunakan
untuk keperluan forensik, dimana kemungkinan dari 2 orang
yang bukan kembar untuk memiliki sifat yang sama dari tanda
RFLP adalah sangat kecil.

2.2.2.1.1.2. STR (Short Tandem Repeat)9


34

Gambar 2.12. Hasil Analisis STR

Tes DNA dilakukan dengan cara mengambil DNA dari


kromosom sel tubuh (autosom) yang mengandung area STR
(short tandem repeats), suatu area ini tidak memberi kode untuk
melakukan sesuatu. STR inilah yang bersifat unik karena berbeda
pada setiap orang. Perbedaannya terletak pada urutan pasang
basa yang dihasilkan dan urutan pengulangan STR. Pola STR ini
diwariskan dari orang tua.Aplikasi teknik ini misalnya pada tes
DNA untuk paternalitas (pembuktian anak kandung) yaitu tes
DNA untuk membuktikan apakah seorang anak benar-benar
adalah anak kandung dari sepasang suami dan istri. Cara
memeriksa tes DNA dilakukan dengan cara mengambil STR dari
anak. Selanjutnya, di laboratorium akan dianalisa urutan untaian
STR ini apakah urutannya sama dengan seseorang yang
dijadikan pola dari seorang anak. Urutan tidak hanya satu-
satunya karena pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat nomor
kromosom. Misalnya, hasil pemeriksaan seorang anak ditemukan
bahwa pada kromosom nomor 3 memiliki urutan kode AGACT
dengan pengulangan 2 kali. Bila ayah atau ibu yang mengaku
orang tua kandungnya juga memiliki pengulangan sama pada
nomor kromosom yang sama, maka dapat disimpulkan antara 2
orang itu memiliki hubungan keluarga. Seseorang dapat
dikatakan memiliki hubungan darah jika memiliki urutan dan
pengulangan setidaknya pada 16 STR yang sama dengan kelurga
kandungnya, maka kedua orang yang dicek memiliki ikatan
saudara kandung atau hubungan darah yang dekat. Jumlah ini
cukup kecil dibandingkan dengan keseluruhan ikatan spiral DNA
dalam tubuh kita yang berjumlah miliaran. Sementara itu,
Federal Bureau of Investigation (FBI) menggunakan satu set dari
13 daerah STR khusus untuk CODIS. CODIS merupakan program
software yang mengoperasikan database dari profil DNA local,
daerah dan nasional dari tersangka, bukti tindak kriminalitas
yang belum selesai kasusnya dan orang hilang. Kemungkinan
bahwa dua individu mempunyai
13 loci yang sama pada profil DNAnya adalah sangat jarang.
35

2.2.2.2. Prosedur

Untuk melakukan proses amplifikasi dan analisis DNA,


prosedur yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

A. Isolasi DNA

Gambar 2.13. Isolasi DNA

Alat:
1. Centrifuge
2. Vacuum
3. Tabung ependorf 1,5 ml
4. Pipet - Box tempat menyimpan es
5. Tip
6. Pinset
7. Mikropipet

Bahan :
1. Tris HCl - Ethanol 70 %
2. EDTA
3. dH2O
4. NaCl
5. Nonidet P40 (NP40)
6. Kantung Plastik
7. SDS
8. Chloroform
9. Es
10. Ethanol absolute
36

11. RNAse free DNAse

Cara Kerja:
1. Siapkan tabung ependorf 1,5 ml, darah sapi/domba
dimasukkan dengan volume 500 l.
2. Siapkan buffer pengekstrak DNA, larutan yang digunakan
untuk ekstraksi DNA sel darah sapi adalah : Larutan I (10
mM Tris pH 7,6; 10 mM KCl; 10 mM MgCl2), Larutan II (10
mM Tris pH 7,6; 10 mM KCl; 10 mM MgCl2 + 0,5 M NaCl;
0,5% SDS; 2 mM EDTA), larutan Nonidet P40 (NP40)
3. Tambahkan 500 l Larutan I ke dalam tabung ependorf
yang telah terisi darah
4. Campurkan dengan cara dibolak-balik sampai campuran
larutan tampak encer/jernih
5. Tambahkan larutan 12 l NP 40 lalu balik-balik secara
perlahan
6. Campurkan dengan cara dibolak-balik sampai homogen
7. Lakukan sentrifuse suspensi (point 6) pada kecepatan 2000
rpm, 10 menit, suhu 4C, lalu supernatant dibuang.

Gambar 2.14. Centrifuge

8. Tambahkan 200 l larutan II, lalu campurkan hingga pellet


larut
9. Tambahkan fenol 40 l, dan lakukan vortex
10. Lakukan sentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan
12.000 rpm
11. Ambil Supernatan
12. Tambahkan 20 l chloroform, isoamil alcohol (24:1), lalu
lakukan vortex
13. Lakukan sentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan
12.000 rpm
37

14. Ambil lapisan paling atas, lalu masukkan ke tabung


ependorf baru
15. Tambahkan 40 l chloroform, isoamil alcohol (24:1), lalu
dilakukan vortex
16. Lakukan sentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan
12.000 rpm
17. Ambil Supernatan
18. Tambahkan 2 volum ethanol absolute (96%) dingin, tabung
dibolak-balik dengan hati-hati, benang-benang diamati
(warna putih kekuningan)
19. Lakukan sentrifuse kembali selama 5 menit, kecepatan
12.000 rpm, suhu 4C, suoernatan dibuang (hati-hati
jagnan sampai DNA ikut terbuang)
20. Cuci Pellet DNA dengan 100 l ethanol 70%
21. Lakukan sentrifuse kembali selama 5 menit, kecepatan
12.000 rmp, suhu 4C, supernatant dibuang (hati-hati
jangan sampai DNA ikut terbuang)
22. Keringkan Pellet DNA dengan vacuum/aspirator
23. Larutkan DNA dengan 25 l TE (10 mM Tris-HCl pH 8,0 dan
1 mM NaEDTA pH 8,0)
24. Simpan DNA hasil isolasi pada suhu -20C Tahap Purifikasi

B. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Alat:
1. Mesin PCR
2. Vortex
3. Tabung eppendorf
4. Tube PCR - Mikropipet
5. Centrifuge
6. Tabung PCR
7. Tip

Bahan:
1. dH2O
2. Mg+ - 10 X buffer PCR
3. Agarose
4. dNTP
5. DNA Taq polymerase DNA template

Cara Kerja:

1. Larutkan DNA genomic hasil isolasi sehinga didapatkan


konsentrasi sebesar 10 ng/l
2. Buat larutan PCR yang terdiri atas :
a. 3 l template DNA (10ng/l)
b. 2,5 10X buffer PCR
38

c. 1 l mixed dNTP
d. 0,5 l masing-masing primer (5 M)
e. 0,1 l DNA taq polymerase (5U/l)
f. 18 l dH2O
3. Campurkan PCR mix solution menggunakan vortex
4. Spin PCR mix solution menggunakan centrifuge
5. Masukkan masing-masing tabung yang berisi larutan PCR ke
dalam mesin PCR
6. Lakukan pengesetan program PCR
7. Setelah reaksi PCR selesai ( 3 jam), ambil tabung yang
berisi larutan PCR dari dalam mesin PCR
8. Sampel hasil PCR dapat disimpan pada suhu 4C untuk
disimpan atau dapat digunakan langsung.

C. Deteksi DNA Melalui Elektroforesis

Alat:
1. Microwave
2. pH meter
3. Flask
4. Timbangan
5. Comb
6. Box plastik
7. Timbangan
8. Elektrophoresis apparatus
9. Spatula
10. Power suplly Mikropipet
11. Tray untuk mencetak gel
12. Tip
13. Spatula
14. Timer
15. Magnetic stirrer
16. Gelas ukur 1 liter
17. Gelas beaker
18. Tabung eppendorf

Bahan:
1. 1X buffer TAE (Tris Base, Acetic Acid, EDTA)
2. Sampel DNA produk PCR
3. dH2O
4. Molekuler weigt maker
5. Tape
6. Agarose
7. Sucrose
8. Bromophenol blue
9. Ethidium Bromide
39

Cara Kerja:

1. Menutup bagian samping tray dengan menggunakan


karet penutup
2. Memanaskan gel agarose 0,8% dengan menggunakan
microwaxe sampai mencair sempurna
3. Menunggu larutan agarose agak dingin
4. Menuangkan larutan agarose ke dalam tray, dan hindari
gelembung udara 5. Memasukkan Comb ke dalam
agarose
5. Setelah agarose menjadi gel dengan sempurna (paling
cepat 15 menit), karet dan comb dilepas dengan hati-hati
agar gel tidak patah. Gel agarose siap untuk digunakan
untuk melakukan electrophoresis
6. Memasukkan gel agarose yang telah beku ke dalam
electrophoresis apparatus
7. Memasukkan buffer electrophoresis (TBE 1X) ke dalam
electrophoresis apparatus hingga gel terendam
8. Membuang gelembung udara dengan menggunakan
mikropipet
9. Menambahkan 0,2 vol buffer loading ke dalam masing-
masing sample DNA yang akan diuji
10. Dilakukan Votex dan spain dengan kecepatan maksimum
11. Loading dengan hati-hati setiap sample DNA ke dalam
well, hindari DNA sample keluar well
12. Selain itu loading juga control negative (larutan PCR tanpa
sample DNA, kontrol positif (larutan PCR dengan sample
DNA yang dapat teramplifikasi) dan moleculas weigt
marker
13. Menyalakan power supply. Kondisi elektroforesis adalah 75
mA
14. Proses elektroforesis berlangsung selama 90 menit
15. Setelah proses elektroforesisi selesai, gel diangkat dari
apparatus
16. Gel direndam dalam larutan ethidium bromide pada
plastic box
17. Meletakkan gel pada box shaker, diamkan 20 menit
18. Setelah selesai, keluarkan gel dari elektroforesis
apparatus
19. Cuci gel dengan air selama 15 menit untuk
menghilangkan kelebihan ethidium bromide pada gel
20. Gel siap diamati/ diambil fotonya.

2.2.2.3 Perbedaan DNA Tiap Individu10


40

Gambar 2.15. Struktur DNA

Dahulu kala, para peneliti menyatakan bahwa materi


genetik berada di dalam struktur yang disebut kromosom dalam
inti sel (nukleus). Pada tahun 1927, Griffith dan Avery
mengungkapkan bahwa suatu senyawa mengekspresikan sifat-
sifat yang berbeda tetapi belum mengetahui dengan jelas
penyebabnya. Penelitian lebih lanjut oleh Avery, MacLeod, dan
McCarthy pada tahun 1944 menunjukkan bahwa perbedaan
ekspresi sifat tersebut karena struktur seperti tangga, terdiri dari
dua pita yang berlawanan arah, yang akhirnya dikenal dengan
DNA. Penemuan struktur DNA oleh James Watson dan Francis
Crick pada tahun 1953 merupakan temuan penting dalam
perkembangan genetika di dunia. Model struktur DNA hasil
analisis Watson dan Crick mampu menjelaskan bagaimana DNA
membawa informasi genetis sebagai cetak biru (blueprint) yang
dapat dicopy dan diperbanyak saat sel membelah sehingga sel-
sel baru juga mengandung informasi genetis yang sama. Inilah
mengapa sifat dan ciri fisik seseorang berasal dari pewarisan
orang tua dan nantinya akan diturunkan ke anak cucunya.
Terjadinya pewarisan sifat dari kedua orang tua, ayah dan ibu ke
anak turunannya adalah akibat terjadinya peleburan kromosom
dari sel sperma dan sel telur. Masing- masing sel kelamin
memiliki 22 autosom dan satu gonosom yaitu X atau Y.
Peleburan dua set sel kelamin sekaligus menyatukan
kromosom pada sel sperma dan sel telur. Sel telur yang telah
41

dibuahi, bakal calon anak atau zigot, mengandung dua set gen
dalam kromosom dengan demikian untuk setiap pasangan
kromosom yang bersesuaian, kita mewarisi satu kromosom dari
ayah dan satu kromosom dari ibu. Ini menjelaskan mengapa ada
sifat dan karakter tubuh kita yang mirip ayah dan di sisi lain ada
sifat dan karakter tubuh kita yang mirip ibu. Struktur double helix
DNA berbentuk dua pita berlawanan arah seperti spiral. Sumber
gambar: tutorvista.com Semua kandungan DNA yang ada pada
sel dinamakan genom. Genom manusia terdiri dari genom inti sel
(nukleus) dan genom mitokondria.
Genom mitokondria (ekstranuklear), mengandung lebih
banyak kromosom, sehingga jika pada kromosom inti, masing-
masing hanya terdiri dari 2 copy, maka kromosom mitokondria
tersusun dari ribuan copy. Penyakit yang disebabkan oleh mutasi
pada gen di dalam mitokondria biasanya diwariskan dari ibu ke
anak karena mitokondria seorang manusia adalah hasil
pewarisan dari ibu. Hal ini disebabkan mitokondria lebih banyak
ditemukan di dalam sel telur daripada sperma. Setelah fertilisasi
mitokondria dari spermatozoa juga akan mati sehingga hanya
meninggalkan mitokondria dari sel telur .

2.2.2.3.1. Reproduksi Seksual

Semua organisme yang bereproduksi secara seksual,


melakukannya dengan fusi gamet betina dan jantan. Setiap
gamet adalah sel haploid dengan hanya memiliki setengah
jumlah kromosom dengan sel somatik yang normal. Dalam kasus
manusia, karena setiap sel somatik memiliki 46 kromosom,
gamet haploid akan memiliki 23 kromosom. Karena setiap gen
memiliki dua alel, berbagai kombinasi kemungkinan alel genetik
yang terdapat dalam gamet akan 223. Hal ini berlaku untuk
kedua gamet, maka kedua gamet akan terdapat 223
kemungkinan, yang secara kasar diterjemahkan menjadi 8 juta
kombinasi kromosom yang mungkin. Ketika gamet laki-laki dan
perempuan menjalani fertilisasi acak, kemungkinan isi kromosom
mungkin yang akan berkembang biak (223 X 223) dan sekarang
sekitar 70 triliun kemungkinan kromosom. Oleh karena itu,
dengan cara ini, variasi genetik diperkenalkan dan memastikan
dalam keturunan setiap organisme dengan reproduksi seksual.
Variasi ini hanya akan meningkat jika individu itu sendiri tidak
terkait erat (gen lebih besar).

2.2.2.3.2. Crossover pada Meiosis


42

Gambar 2.16. Meiosis

Proses pindah silang (crossover) digunakan dalam pemetaan


genetik untuk memahami urutan gen pada kromosom. Semua
individu menghasilkan makhluk mirip dirinya dengan proses yang
disebut reproduksi. Kita dapat mengklasifikasikan reproduksi
menjadi dua tipe dasar, seksual dan aseksual. Semua prokariota
dan eukariota beberapa berkembang biak dengan metode
aseksual. Ini termasuk proses seperti tunas, pembelahan biner,
fragmentasi, perbanyakan vegetatif, partenogenesis, dan lain-
lain.
Selama profase I tahap meiosis, rekombinasi genetik terjadi
melalui pindah silang dari lengan kromosom homolog. Pindah
silang pada dasarnya mengacu pada pertukaran materi genetik
antara kromosom tersebut, dan itu terjadi ketika lengan kromatid
kakak tumpang tindih selama proses sinapsis (segregasi
kromosom homolog). Tumpang tindih ini menyebabkan
pembentukan chiasmata, yang memungkinkan DNA pada kedua
lengan untuk berinteraksi satu sama lain. Hal ini
memperkenalkan variasi dalam genom sejak perubahan lokasi
gen mempengaruhi cara diwariskan pada keturunan (hukum
rekombinasi). Sebagai contoh, jika kita mempertimbangkan dua
gen A dan B yang bersama-sama mewarisi karena mereka dekat
dan pindah silang akan menyebabkan gen A akan bergeser ke
43

lokasi baru pada kromatit, maka kedua gen tidak akan lagi
diturunkan bersama-sama, sebagai gantinya mereka akan
mewarisi secara independen satu sama lain karena mereka
terpisah secara spasial. Pewarisan independen ini akan
menyebabkan variasi dalam genom organisme.
Kebanyakan eukariota berkembang biak dengan reproduksi
seksual. Di sini, materi genetik dari dua organisme bergabung
untuk menimbulkan individu baru. Proses ini berlangsung dengan
bantuan dua mekanisme yang mendasari meiosis: proses
pembentukan gamet dan fertilisasi- penggabungan dari gamet
jantan dan betina. Meiosis adalah jenis khusus dari pembelahan
sel yang berlangsung hanya dalam sel seks khusus atau gamet.
Pembelahan ini akan mengurangi jumlah kromosom
setengahnya, itu diperlukan untuk pembentukan sel-sel haploid
(n) dari sel diploid (2n). Proses ini diperlukan untuk pemeliharaan
jumlah kromosom pada individu.
Meiosis dapat didefinisikan sebagai pembelahan
pengurangan yang terjadi pada sel germinal primordial. Setiap
sel diploid akan menimbulkan empat sel anak haploid pada akhir
dari pembelahan meiosis. Sebelum meiosis, ketika sel ada dalam
fase S dari siklus sel, replikasi DNA berlangsung untuk
menghasilkan dua salinan identik dari setiap helai kromosom. Ini
salinan identik disebut kromatid sister. Selama meiosis,
kromosom biasanya ditemukan berpasangan, ada satu
kromosom yang berasal dari ibu dan yang lainnya adalah berasal
dari ayah. Sepasang kromosom dikenal sebagai kromosom
homolog. Meiosis dapat dibagi dalam dua tahap: meiosis I dan
meiosis II. Pada tahap profase dari meiosis I pindah silang dari
kromosom akan terjadi, dan kromosom homolog dipisahkan
menjadi dua sel anak. Pada meiosis II, kromatid ditarik terpisah
dari satu sama lain untuk menimbulkan empat sel anak haploid.
Meiosis mengurangi jumlah kromosom menjadi setengah, yang
menjadi dua kali lipat sekali lagi dalam proses fertilisasi dan
menimbulkan zigot diploid baru.
44

Gambar 2.17. Proses Pindah Silang

Pindah silang hanyalah pertukaran materi genetik antara


dua kromosom homolog yang menimbulkan kromosom
rekombinan. Pada profase I, kromosom homolog berjejer
memanjang atau berpasangan dengan satu sama lain, dan
pertukaran materi genetik antara dua kromosom berlangsung,
yang dikenal sebagai pindah silang. Pasangan kromosom
homolog yang dikenal sebagai sinapsis, dan titik di mana
kromosom ini berpasangan satu sama lain dikenal sebagai
kiasma (Chiasmata). Proses pindah silang atau rekombinasi
dimulai oleh protein Spo 11. protein ini membentuk kompleks
dengan protein lain seperti RAD50 dan MRE11A, dan NBS 1 yang
diperlukan untuk memecah DNA beruntai ganda. Peristiwa
pindah silang umum terjadi pada setiap gametogenesis
(peristiwa pembentukan gamet) pada kebanyakan makhluk
hidup, seperti tumbuhan, hewan dan manusia. Pindah silang
terjadi ketika meiosis I (akhir profase I atau permulaan metafase
I), yaitu ketika kromosom telah mengganda menjadi dua
kromatid. Pada waktu kromosom-kromosom hendak memisah
(yaitu pada anafase I), kromatid-kromatid yang bersilang itu
melekat dan putus dibagian kiasma, kemudian tiap potongan itu
melekat pada kromatid sebelahnya secara timbal nalik.
Berhubung dengan itu gen-gen yang terletak pada bagian yang
pindah itu akan berpindah pula tempatnya ke kromatid
sebelahnya (homolognya).
45

Gambar 2.18. Kromosom Pindah Silang pada Meiosis

Pindah silang dibedakan atas 2 yaitu :

1. Pindah silang tunggal, ialah pindah silang yang terjadi pada


satu tempat. Dengan terjadinya pindah silang itu akan
terbentuk 4 macam gamet. Dua macam gamet memiliki
gen-gen yang sama dengan gen-gen yang dimiliki induk
(parental), maka dikatakan gamet-gamet tipe parental.
Dua gamet lainnya merupakan gamet-gemet baru, yang
terjadi sebagai akibat adanya pindah silang. Gamet-gamet
ini dinamakan gamet-gamet tipe rekombinasi. Gamet-
gamet tipe parental dibentuk jauh lebih banyak
dibandingkan dengan gamet-gamet tipe rekombinasi.

2. Pindah silang ganda, ialah pindah silang yang terjadi pada


dua tempat. Jika pindah silang ganda (double crossing
over) berlangsung diantara dua buah gen yang terangkai
(misalnya gen A dan B), maka terjadinya pindah silang
ganda itu tidak akan nampak dalam fenotip, sebab gamet-
gamet yang dibentuk hanya dari tipe parental saja, atau
dari tipe rekombinasi saja, atau dari tipe parental dan tipe
rekombinasi akibat pindah silang tunggal. Akan tetapi jika
diantara gen A dan B masih ada gen ketiga, misalnya gen
C, maka terjadinya pindah silang ganda antara gen A dan B
akan tampak.

Proses pindah silang ini menjadi penting untuk beberapa


alasan. Pertama, pindah silang membantu untuk membawa
46

menyeret acak materi genetik selama proses pembentukan


gamet. Hal ini menyebabkan pembentukan gamet yang akan
menimbulkan individu yang secara genetik berbeda dari orang
tua dan saudara mereka. Kedua, variasi genetik ini diperlukan
untuk meningkatkan kemampuan populasi untuk bertahan hidup.
Keragaman genetik yang lebih besar akan mengurangi
kemungkinan pewarisan sifat merusak dalam populasi, dan oleh
karena itu, membantu meningkatkan kebugaran dari individu-
individu dari populasi. Ketiga, variasi genetik yang meningkat
juga berarti variasi yang lebih besar dalam kerentanan terhadap
penyakit. Jadi, jika ada menjadi epidemi penyakit, variabilitas ini
akan mencegah seluruh populasi tidak mengalami pemusnahan.
Keempat, manfaat lain dari variasi genetik adalah bahwa
beberapa ciri yang akan meningkatkan kemampuan individu
untuk bertahan hidup dapat diperkenalkan pada populasi karena
dengan proses pindah silang ini setiap individu menjadi unik.
Keunikan antar individu ini dapat mempermudah proses
pengidentifikasian dalam dunia kedokteran forensik

2.2.3.Media Identifikasi DNA11

Kini dengan analisis dan teknologi DNA kasus-kasus yang


sulit terungkap menjadi lebih mudah terungkap dan terpecahkan.
Seperti kita ketahui bahwa DNA adalah bahan dasar yang
membangun seluruh ciri genetik seseorang. DNA terdapat pada
setiap sel manusia, dan seluruh sel memiliki DNA yang sama satu
dengan yang lainnya. Misalnya, DNA yang ada pada sel kulit
sama dengan DNA yang terdapat pada sel darah maupun DNA
pada sel rambut dan lain sebagainya. Selain itu DNA bersifat unik
yakni setiap DNA seseorang berbeda dengan DNA orang yang
lain. Karena sifat inilah maka DNA bisa dipakai sebagai penanda
identitas individu, garis keturunan, dan etnis. DNA terdapat pada
darah, sel kulit, otot, sel-sel otak, tulang, gigi, rambut, saliva,
jantung, mukosa, urine dan pada seluruh sel manusia. Analisis
DNA manusia bertujuan untuk mengarakterisasi DNA seseorang
untuk mengidentifikasi susunan DNA-nya. Barang bukti DNA
dapat diambil dari barang bukti biologis, baik dalam keadaan
utuh maupun tidak utuh lagi. Hal ini berbeda dengan analisis
sidik jari, yang mudah rusak atau hilang dan akurasinya sangat
bergantung dengan keutuhannya. Tes DNA dapat dilakukan
hanya dengan barang bukti DNA yang jumlahnya sedikit. Hal ini
karena digunakannya teknik yang disebut Polymerase Chain
Reaction (PCR) atau reaksi polimerasi berantai. Teknik ini-
ditemukan oleh seorang ahli biologi molekuler yang bernama
Kary Mullis-bertujuan untuk menggandakan atau mengamplifikasi
DNA, agar memiliki DNA yang cukup jumlahnya untuk
dikomparasi atau dibandingkan dalam suatu tes. Penggunaan
47

DNA dalam memecahkan suatu kasus dilakukan dengan


membandingkan DNA tersangka dengan barang bukti DNA yang
didapatkan di tempat kejadian perkara. Hasil perbandingan
tersebut dapat membantu menemukan siapa pelaku kejahatan
yang sebenarnya, baik pada kasus kejahatan maupun dalam hal
menentukan pelaku bom bunuh diri secara akurat. Beberapa
sumber yang paling sering menjadi sumber DNA antara lain
adalah:

1. Darah
Dari darah, bisa didapat banyak sekali informasi genetika
seseorang. Sel darah adalah tempat mendapatkan sumber
DNA terbaik dari manusia. Jumlah darah yang dapat
dianalisis kurang lebih sebanyak 50 mikroliter atau setara
dengan 0,05 cc.

2. Jaringan lunak
Jaringan lunak pada semua daerah tubuh manusia adalah
contoh yang baik untuk mengambil sampel DNA. Namun,
seringkali proses pengambilan sampel DNA pada bagian ini
dilakukan melalui operasi atau perlakuan invasif pada
seseorang yang akan diambil contoh dari sampel DNAnya.

3. Tulang dan Gigi


Jika seseorang telah meninggal sehingga dagingnya
membusuk atau komponen jaringannya rusak, salah satu
cara yang umum dilakukan oleh dokter forensik untuk
mengambil contoh sel DNA adalah dengan mendapatkannya
dari tulang dan gigi mayat tersebut. Karena tulang dan gigi
adalah jaringan yang sulit hancur dan kuat bertahan bahkan
hingga ratusan tahun.

4. Air liur
Cara pengambilan sampel DNA yang paling populer
dilakukan dan minim menimbulkan risiko ialah melalui
pengambilan air liur. Hanya dengan cotton bud yang diseka
pada permukaan mulut seseorang, maka seorang dokter
dapat cukup materi DNA orang tersebut.

5. Akar rambut
Pada beberapa kasus kejahatan, seringkali korban atau
pelaku meninggalkan jejak rambut yang rontok. Pada akar
rambut yang rontok ini terdapat materi DNA yang sering
menjadi bahan untuk pengambilan sampel.

6. Sel kulit mati


48

Sel kulit mati adalah petunjuk yang luar biasa untuk


pekerjaan detektif dan polisi. Karena manusia sering
melepaskan sel kulit mati, hal ini sangat membantu untuk
investigasi lebih lanjut. Di luar kasus yang melibatkan
kepolisian, cara mengambil sel kulit mati didapatkan dengan
cara yang sama dengan pengambilan air liur. Sel kulit pada
dinding mulut adalah alasan utama untuk melakukan
pengambilan sampel DNA dengan cara tersebut.

7. Sperma
Pada contoh kasus penyiksaan secara seksual, sperma
menjadi salah satu sumber yang penting dalam pencarian
sampel DNA. Karena kepala dari sperma adalah sumber
penting DNA. 5 Mikroliter air mani sama jumlahnya dengan
50 mikroliter darah.

2.2.4. Tingkat Akurasi12

Dua metode paling familiar untuk mengidentifikasi DNA


dan golongan darah adalah dengan melakukan pengambilan
sampel darah dan saliva tingkat keakuratan sampel darah dan
saliva adalah sama, namun prosedurnya berbeda. Maing-masing
pengambilan sampel ini mempunyai keunggulan dan kelemahan
masing-masing. Tidak ada penelitian yang membuktikan apakah
sampel darah lebih unggul dari saliva atau sebaliknya. Tingkat
keakuratan ini justru relative bergantung pada kemampuan
laboran dalam mengidentifikasi.
Saliva memiliki kandungan DNA lebh dari 74%, sama
seperti yang terkandung dalam darah, tingkat keakuratan
keduanya hamper mencapai 100%. Hanya saja kualitas saliva ini
mudah terkontaminasi bakteri. Tetapi memiliki kelebihan antara
lebih terjangkau harganya dan terhindar dari infeksi.
2.2.5. Keunggulan dan Kelemahan13,14

NO SALIVA DARAH PULPA


.
KEUNGGULA 48% lebih Potensi Dapat
N murah untuk digunakan
daripada terkontami sebagai
sampel. nasi lebih opsi
kecil terakhir
Tidak- dibandingk apabila cara
menimbulk an dengan lain sudah
an infeksi. cara yang tidak
lain. mungkin
Metode untuk
lebih Sampel dilakukan.
49

mudah cepat
dengan untuk Pulpa
keakuratan didapatkan, terindungi
yang sama tetapi tidak dari
dengan secepat jaringan
yang lain. manggunak keras
an saliva, sehingga
Prosesnya namun pada
cepat, tidak lebih cepat kondisis
sakit, dan dibandingk mayat
non-invasif. an dengan busuk/terba
pulpa. kar, masih
Tidak memungkin
melukai kan untuk
kulit. dilakukan
identifikasi
DNA dan
golongan
darah.
KELEMAHAN Mudah Merupakan Metode yang
terkontamin metode sangat
asi, bakteri yang destruktif
dapat invasif, karena
menyerang merusak mengharus
sel yang jaringan kan ektraksi
mengandun dan gigi yang
g DNA menimbul akan di
apabila kan rasa identifikasi.
tidak sakit pada Prosedur
disimpan orang sangat
dan hidup. kompleks
dikeringkan. Pada kasus sehingga
Sel darah mayat membutuhk
tidak dapat hangus an
dilihat, dan busuk seseorang
sehingga sulit yang ahli
pemeriksaa dilakukan dalam
n visual tindakan mengidenti
hanya bisa pengambil fikasi DNA
dilakukan an sampel dan
pada darah dan pembuluh
golongan lebih sulit darah
darah, dibandingk melalui
sedangkan an sampel pulpa.
identifikasi saliva.
DNA
membutuhk
50

an proses
lanjut.

Tabel 2.3. Keunggulan dan Kelemahan

2.2.6. Syarat Darah dan Saliva untuk Identifikasi15

2.2.6.1. Darah

Syarat yang harus dipenuhi ketika mengambil sampel darah untuk identifikasi
adalah:

1. Pemastian bahwa sampel darah benar-benar darah manusia bukan


merupakan darah hewan
2. Ketika mengambil sampel darah , jarum dilepaskan sebelum tabung
vakum terisi penuh sehingga mengakibatkan masuknya udara kedalam
tabung dan merusak sel darah merah
3. Penusukan yang tidak sekali kena menyebabkan cairan jaringan sehingga
dapat mengaktifkan pembuluh darah . selain itu juga dapat berpotensi
menyebabkan hematoma , tusukan jarum yang tidak tepat benar masuk ke
dalam vena menyebabkan darah bocor dengan akibat hematoma
4. Kulit yang ditusuk masih basah oleh alcohol menyebabkan hemolysis
sampel akibat kontaminasi oleh alkohol.

2.2.6.2. Saliva

Adapun syarat yang harus diperhatikan pada pengambilan sampel saliva adalah
sebagai berikut:

1. Saliva harus dijaga konsistensinya sejak swabbing sampai proses


identifikasi agar tidak terjadi kontaminasi
2. Pada saliva yang tidak diperoleh dari mulut , melainkan saliva kering
harus dilakukan stainning terlebih dahulu
3. Meskipun bakteri umumnya tidak mengganggu DNA (terutama bakteri
tanah, tetapi sebaiknya kontaminasi dihindari )
4. Proses pengambilan saliva harus sesuai prosedur yang benar agar
mendapatkan sampel yang terbaik dalam identifikasi DNA.

2.2.7. Indikator Keberhasilan16

Identifikasi DNA dan golongan darah melalui sampel darah dan saliva
merupakan cara yang efektif dan mempunyai kekurangan dan kelebihannya
masing-masing-masing-masing. Pada sampel dengan profil yang baik, tingkat
keakuratan kedua cara ini mencapai hampir 100%.. Tetapi yang menjadi kendala
51

dalam dunia forensik adalah umumnya sampel yang diperoleh biasanya tidak
cukup baik dibandingkan dengan orang hidup. Indikator keberhasilan identifikasi
golongan darah dan DNA melalui sampel darah dan saliva ini sangat bergantung
pada kondisi sampel tersebut. Semakin baik sampel, maka semakin tinggi pula
tingkat akurasinya. Sebaliknya, semakin buruk sampel makan semakin buruk pula
akurasinya.
Indikator keberhasilan ini juga akan sangat bergantung pada prosedur
pengambilan sampel serta cara mengidentifikasinya. Ketepatan prosedur tentu
akan berimplikasi pada meningkatnya tingkat akurasi. Maka dari itu proses
identifikasi golongan darah dan DNA dalam dunia forensik ini sangat bergantung
pada keahlian yang melakukan identifikasi.

2.3. Tim Identifikasi

DVI Commander

Dokter Forensik

Tim Identifikasi Dokter Gigi

Ahli DNA

Tim INAFIS

Susunan tim tersebut bekerja sesuai keahliannya masing-masing-masing-masing.


Seorang DVI commander bertugas membawahi dan mengkoordinir tiap anggota
agar setiap anggota dapat bekerja sinergis dan tidak tumpang tindih. Seorang
dokter spesialis forensik bertugas mengautopsi korban, identifikasi jenazah, dan
sebagainya. Dalam hal ini ia dibantu oleh seorang dokter gigi. Apabila terjadi
kasus mayat terbakar atau membusuk sehingga jaringan lunak tidak dapat
diidentifikasi, maka seorang dokter spesialis forensik membutuh seorang dokter
gigi. Dalam hal ini, seorang dokter gigi akan membantu mengidentifikasi korban
melalui jaringan keras yang terdapat pad tubuhnya, yakni gigi. Gigi merupakan
jaringan yang paling mudah bertahan apabila terjadi suatu bencana, sehingga
sering kali gigi dijadikan sebagai alat identifikasi. Seorang dokter gigi, dianggapk
sebagai profesi ahli yang mampu menganalisi anatomi, fisiologi, dan morofologi
gigi dalam kepentingan penyelidikan17. Setelah itu, ada pula ahli DNA yang
berperan untuk menganalisis DNA, umumnya analisis DNA ini menggunakan
52

mesin PCR yang selalnjutnya bisa menggunakan metode STR atau RFLP.
Selanjutnya, ada tim INAFIS yakni tim yang memiliki keahlian dalam
mengidentifikasi sidik jari.

2.4. Peran Dokter Gigi dalam Identifikasi17

Peran dokter gigi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam


pengidentifikasian. Pemanfaatan ilmu kedokteran gigi untuk membantu proses
identifikasi mulai dilakukan sejak tenggelamnya kapan penumpang Tampo Mas II
di perairan Masalembo tahun 1981. Umumnya, korban yang membutuhkan
keahlian dokter gigi fornsik adalah korban yang hangus terbakar dan mengalami
pembusukan tingkat lanjut yang sulit untuk dikenali dan tidak dapat dilakukan
identifikasi melalui pemeriksaan konvensional.
Ilmu kedokteran gigi forensic berkontribusi besar dalam pengungkapan
identitas, contohnya pada kasus bom Bali, korban yang dapat teridentifikasi
melalui gigi 50%, korban kecelakaan Situ Bondo 60%, dan korban jatuhnya
pesawat Garuda di Yogyakarta mencapai 66,67%. Identifikasi tersebut penting
sekali dilakukan terhadap korban meninggal massal karena merupakan
perwujudan HAM dan penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal, serta
untuk menentukan seseorang secara hukum apakah masih hidup atau sudah
meninggal. Selain itu juga berkaitan dengan masalah pemberian santunan,
warisan, asuransi, pensiun, maupun pengurusan pernikahan kembali bagi
pasangan yang ditinggalkan. Identifikasi tersebut dapat dilakukan secara visual,
gigi-geligi, pemeriksaan medis, antropomeri, sidik jari, dan DNA. Sidik jari, gigi-
geligi dan DNA merupakan ukuran identifikasi primer (primery identifiers),
sedang visual, antropomeri dan pemeriksaan medis merupakan ukuran
identiifikasi sekunder (secondary identifiers).
Gigi merupakan salah satu sarana identifikasi yang dipercaya. Beberapa
alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dijadikan bahan identifikasi yaitu
pertama gigi merupakan bagian terkeras dari tubuh manusia yang sedikit sekali zat
anorganiknya sehingga tidak mudah rusak dan terletak didalam rongga mulut.
Kedua, manusia memiliki 32 gigi yang masing-masing mempunyai lima
permukaan. Dengan asumsi jumlah penduduk 3 milyar, maka kemungkinan
potensi kesamaannya adalah 1:2 milyar.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, benda bukti gigi sudah sejak lama
disadari mempunyai peran yang besar dalam identifikasi personal dan
pengungkapan kasus kejahatan. Bagi para aparat penegak hukum dan pengadilan,
pembuktian melalui gigi merupakan metode yang valid dan terpercaya (reliable),
sebanding dengan nilai pembuktian sidikjari dan penentuan golongan darah.
Seorang dokter gigi forensik harus memiliki beberapa kualifikasi sebagai berikut:

1. Kualifikasi sebagai dokter gigi umum


Kualifikasi terpenting yang harus dimiliki oleh seorang dokter gigi
forensik adalah latar belakang kedokteran gigi umum yang luas, meliputi
semua spesialisasi kedokteran gigi. Sebagai seorang dokter gigi umum,
kadang-kadang ia perlu memanggil dokter gigi spesialis untuk
membantunya memecahkan kasus.
53

2. Pengetahuan tentang bidang forensik terkait


Seorang dokter gigi forensik harus mengerti sedikit banyak tentang
kualifikasi dan bidang keahlian forensik lainnya yang berkaitan dengan
tugasnya, seperti penguasaan akan konsep peran dokter spesialis forensik,
cara autopsi dan sebagainya.

3. Pengetahuan tentang hukum


Seorang dokter gigi forensik harus memiliki pengetahuan tentang aspek
legal dari odontologi forensik, karena ia akan banyak berhubungan dengan
para petugas penegak hukum, dokter forensik dan juga pengadilan. Dalam
hal kasus kriminal ia juga harus paham mengenai tata cara penanganan
benda bukti yang merupakan hal yang amat menentukan untuk dapat
diterima atau tidaknya suatu bukti di pengadilan
Terkait dengan penentuan golongan darah dan DNA, dokter gigi dapat
melakukan hal sebagai berikut:

1. Identifikasi golongan darah melalui saliva


2. Identifikasi golongan darah melalui pulpa
3. Identifikasi DNA melalui saliva dan jaringan sel dalam rongga mulut.

Ketiga hal tersebut merupakan ranah kerja dari seorang dokter gigiterkait
dengan pengambilan sampel untuk identifikasi golongan darah dan DNA. Peran
dokter gigi dalam hal ini sangatlah penting karena pengambilan sampel pada
pulpa memerlukan tindakan ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini merupakan hal
yang dianggap keahlian seorang dokter gigi. Maka, peran dokter gigi sangat
diperlukan terutama untuk kasus mayat busuk atau mayat terbakar.

2.5. Proses dan Kendala Identifikasi Mayat18


54

Gambar 2.19. Skema Pemeriksaan Jenazah

Kendala yang dihadapi terutama untuk mayat-mayat yang rusak misalnya


hangus terbakar, busuk, atau tinggal kerangka adalah tingkat keakuratan pada saat
pengujian DNA dan golongan darah akan menurun, hal ini dikarenakan semakin
lama korban dibiarkan maka kualitas sampel juga akan semakin buruk. Untuk
mayat yang baru saja meninggal dunia pemeriksaan dapat dilakukan
menggunakan sampel darah korban yang diidentifikasi golongannya
menggunakan metode aglutinasi direct. Hal ini dikarenakan sampel darah korban
masih bagus dan belum rusak. Untuk kasus mayat yang sudah busuk atau hangus
terbakar, kendalanya menjadi lebih kompleks. Hal ini dikarenakan telah rusaknya
sel darah, media atau sumber DNA yang dapat digunakan juga semakin terbatas.
Terlebih lagi mayat-mayat ini akan mengeluarkan bau yang tidak sedap yang akan
mengganggu proses pemeriksaan. Pada mayat yang tinggal kerangka, maka
sumber DNA yang dapat dijadikan sampel semakin terbatas. Pengambilan sampel
pada tengkorak hanya dapat dilakukan melalui jaringan keras korban. Namun
ketiga kondisi mayat ini tidak menutup kemungkinan untuk dapat dilakukan
proses identifikasi. Proses pengidentifikasian pada kondisi mayat ini akan berbeda
dengan mayat yang baru saja meninggal dunia. Umumnya, perbedaan yang paling
55

mencolok adalah bagian yang dijadikan sumber DNA dan metode yang
digunakan. Untuk mengidentifikasi korban dengan sel darah yang telah rusak,
maka dilakukan metode absorpsi elusi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Sedangkan untuk mayat yang tinggal kerangka, sampel DNA dapat diperoleh
melalui gigi dan tulang.

Anda mungkin juga menyukai