Anda di halaman 1dari 17

KISAH KEJUJURAN RASULULLAH DALAM BERDAGANG

Nabi Muhammad SAW mendapat julukan al-Amin, orang yang dapat dipercaya, artinya manusia yang sangat
jujur hingga mendapat predikat terhormat di antara kaumnya. Muhammad memulainya dari sendiri dan berdampak
pada kebaikan untuk orang lain dan orang-orang di sekitarnya. Muhammad muda (12 tahun) kerap mengikuti
pamannya Abdul Muthalib untuk berdagang. Bahkan kadang-kadang ia ikut berdagang hingga ke negeri jauh seperti
Syam (Suriah).

Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah, tidak seperti pedagang pada umumnya, dalam berdagang Muhammad
dikenal sangat jujur, tidak pernah menipu baik pembeli maupun majikannya. Muhammad juga tidak pernah
mengurangi timbangan atau pun takaran. Muhammad juga tidak pernah memberikan janji-janji yang berlebihan,
apalagi bersumpah palsu. Semua transaksi dilakukan atas dasar sukarela, diiringi dengan ijab kabul. Muhammad
pernah tidak melakukan sumpah untuk menyakinkan apa yang dikatakannya, termasuk menggunakan nama
Tuhan.

Pernah suatu ketika Muhammad berselisih paham dengan salah seorang pembeli. Saat itu Muhammad
menjual dagangan di Syam, ia bersitegang dengan salah satu pembelinya terkait kondisi barang yang dipilih oleh
pembeli tersebut. Calon pembeli berkata kepada Muhammad, “Bersumpahlah demi Lata dan Uzza!” Muhammad
menjawab, “Aku tidak pernah bersumpah atas nama Lata dan Uzza sebelumnya.” Kejujuran Muhammad kala itu
cukup sebagai prinsip kuat yang dipegang secara mandiri tanpa melibatkan Tuhan sekali pun. Karena baginya, orang
akan melihat dan merasakan sendiri terhadap kejujuran yang dipegangnya selama berdagang.

Prinsip Muhammad muda ini tentu saja bertolak belakang dengan fenomena keagamaan simbolik di zaman
sekarang. Agama hanya dijadikan simbol, bukan diwujudkan dalam akhlak mulia sehari-hari. Memahami agama
secara hitam dan putih dengan menawarkan murahnya surga. Bahkan, Allah SWT dibawa-bawa dalam aktivitas
duniawi seperti politik praktis demi kepentingan kelompoknya. Dimensi sosial tidak terlepas dari ibadah yang
diamalkan oleh seorang Muslim. Dengan kata lain, keshalehan individual akan menjadi bermakna jika bisa
mewujudkan keshalehan sosial. Hal ini terlihat ketika ibadah puasa yang bersifat sangat pribadi ujung-ujungnya harus
diakhiri dengan mengeluarkan zakat, yaitu ibadah yang memiliki dimensi sosial. Sama halnya shalat yang merupakan
ibadah individual, tetap diakhiri dengan salam lalu menengok ke kanan dan ke kiri sebagai simbol memperhatikan
lingkungan sosial. Hal ini membuktikan bahwa ibadah vertikal harus diamalkan secara horisontal sehingga tercipta
kehidupan yang baik.

DALIL TENTANG KEJUJURAN

1. Perintah Allah untuk dekat dengan orang jujur

ّ ٰ ‫ٰيَٓأيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو ُكونُوا َم َع ال‬


َ‫ص ِدقِين‬
Yaaa ayyuhallaziina aamanuttaqulloha wa kuunuu ma'ash-shoodiqiin.
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang
yang benar (jujur)." (QS. At-Taubah: 119)

2. Kewajiban berbicara jujur dan memenuhi janji

ّ ٰ ‫َواِ َذا قُ ْلتُ ْم فَا ْع ِدلُوْ ا َولَوْ َكانَ َذا قُرْ ٰبى ۚ َوبِ َع ْه ِد هّٰللا ِ اَوْ فُوْ ا ۗ ٰذلِ ُك ْم َو‬
ۚ َ‫صى ُك ْم بِ ٖه لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
Artinya: "Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat." (QS. Al-An'am: 152)

3. Kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan surga

َ ‫ق َويَت ََحرَّى الصِّ ْد‬


‫ق‬ ُ ‫ق يَ ْه ِدى ِإلَى ْالبِرِّ َوِإ َّن ْالبِ َّر يَ ْه ِدى ِإلَى ْال َجنَّ ِة َو َما يَزَ ا ُل ال َّر ُج ُل َيصْ ُد‬ َ ‫ق فَِإ َّن الصِّ ْد‬ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِالصِّ ْد‬
Cَ ‫ُور َوِإ َّن ْالفُج‬
ِ َّ‫ُور يَ ْه ِدى ِإلَى الن‬
‫ار َو َما يَزَ ا ُل‬ Cِ ‫ب يَ ْه ِدى ِإلَى ْالفُج‬ َ ‫ب فَِإ َّن ْال َك ِذ‬ َ ‫صدِّيقًا َوِإيَّا ُك ْم َو ْال َك ِذ‬
ِ ِ ‫َب ِع ْن َد هَّللا‬
َ ‫َحتَّى يُ ْكت‬
‫َب ِع ْن َد هَّللا ِ َك َّذابًا‬
َ ‫ب َحتَّى يُ ْكت‬ َ ‫ال َّر ُج ُل َي ْك ِذبُ َويَت ََحرَّى ْال َك ِذ‬
Artinya: “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada
kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur
dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari
berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan
mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat
di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
4. Kejujuran memberikan ketenangan dan dusta membawa kegelisahan

َ ‫ق طُ َمْأنِينَةٌ َوِإ َّن ْال َك ِذ‬


ٌ‫ب ِريبَة‬ َ ‫َد ْع َما يَ ِريبُكَ ِإلَى َما الَ يَ ِريبُكَ فَِإ َّن الصِّ ْد‬
Artinya: “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih
menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad
1/200)

5. Perintah jujur dalam berbisnis

‫ق‬ َ ‫َّار يُ ْب َعثُونَ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة فُجَّارًا ِإالَّ َم ِن اتَّقَى هَّللا َ َوبَ َّر َو‬
َ ‫ص َد‬ Cَ ‫ِإ َّن التُّج‬
Artinya: “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir
(jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik, dan berlaku jujur.” (HR. Tirmidzi no. 1210 dan
Ibnu Majah no. 2146)

6. Kejujuran akan menuai berbagai keberkahan

‫ َوِإ ْن َكتَ َما َو َك َذبَا‬، ‫ُوركَ لَهُ َما فِى بَي ِْع ِه َما‬ َ َ‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا – َأوْ ق‬
َ ‫ال َحتَّى يَتَفَ َّرقَا – فَِإ ْن‬
ِ ‫ص َدقَا َوبَيَّنَا ب‬ ِ َ‫ان بِ ْال ِخي‬
ِ ‫ْالبَيِّ َع‬
‫ت بَ َر َكةُ بَي ِْع ِه َما‬ْ َ‫ُم ِحق‬
Artinya: “Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum
berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan
dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan
hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)

7. Orang yang tidak jujur termasuk golongan munafik

َ‫ب َوِإ َذا َو َع َد َأ ْخلَفَ َوِإ َذا اْئتُ ِمنَ خَ ان‬


َ ‫ث َك َذ‬ ِ ِ‫آيَةُ ْال ُمنَاف‬
ٌ َ‫ق ثَال‬
َ ‫ث ِإ َذا َح َّد‬
Artinya: “Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji, dan khianat
terhadap amanah.” (HR Bukhari no. 2682 dan Muslim no. 59)

KISAH KEJUJURAN PENJUAL SUSU PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

Pada suatu malam Khalifah Umar bin Khattab melakukan “blusukan” dengan ditemani ajudannya. Di tengah-
tengah blusukan itu, Umar pun merasakan lelah sehingga memutuskan untuk beristirahat.

Saat Khalifah dan ajudannya beristirahat, ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan anak
gadisnya.

“Wahai anakku, oploslah susu yang kamu perah tadi dengan air,” perintah seorang ibu.

Lalu, si gadis menolak perintah ibunya dengan mengatakan, “Apakah Ibu tidak pernah mendengar perintah
Amirul Mukminin, Umar bin Khattab kepada rakyatnya untuk tidak menjual susu yang dicampur air?”

“Iya, Ibu pernah mendengar perintah tersebut,” jawab sang ibu.

Kemudian ibunya berkilah, “Mana Khalifah? Apakah dia melihat kita? Ayolah anakku laksanakan perintah ibumu
ini, kan cuma sedikit kok ngoplosnya!”

“Dia tidak melihat kita, tapi Rabb-nya melihat kita dan demi Allah saya tidak akan melakukan perbuatan yang
dilarang Allah dan melanggar seruan Khalifah Umar untuk selama-lamanya” Gadis tersebut menolak dengan yakin dan
tegas.

Setelah mendengar percakapan gadis dengan ibunya tersebut, Umar dan ajudannya langsung pulang.
Sesampai di rumah, Umar bercerita tentang pengamalaman blusukan tadi malam dan meminta putranya, ‘Ashim bin
Umar untuk menikahi gadis yang shalihah tersebut.

Dari pernikahan ‘Ashim dengan gadis tersebut, Umar dikaruniai cucu permpuan bernama Laila atau yang biasa
disebut Ummu Ashim dan dari Ummu Ashim telahir Umar bin Abdul Aziz khalifah kelima yang terkenal sangat adil,
zuhud, dan bijaksana.
KISAH PERMOHONAN MAAF SAUDARA NABI YUSUF AS KEPADA NABI YUSUF AS

Dikisahkan dalam sebuah riwayat, bahwa nabi Yusuf dimasukan ke dalam sebuah sumur oleh saudara-
saudaanyakarena kedengkian mereka terhadap Yusuf yang sangat disayangi ayahnya. Nabi ya’qub (ayah nabi Yusuf)
meyakini bahwa suatu saat Yusuf akan menjadi seorang nabi. Sehingga nabi Yaqub sangat menyayanginya. Hal ini
membuat saudara-saudara nabi Yusuf kesal. Akhirnya, mereka merencanakan sebuah kejahatan dengan memasukan
Yusuf ke dalam sebuah sumur dan meninggalkannya. Sejak itu pula, nabi Yusuf terpisah dengan nabi Ya’qub dan
keluarganya selama 40 tahun.

Singkat cerita, nabi Yusuf menjabat sebagai seorang bendahara kerajaan Mesir dan mengelola pergudangan
gandum untuk masyarakat Mesir dan sekitarnya yang sedang menghadapi masa paceklik. Suatu hari, para saudara
Yusuf datang ke Mesir untuk membeli gandum dan bertemu dengan nabi Yusuf.

Yusuf menjelaskan tentang identitasnya,

Maka saudara-saudaranya pun meminta maaf kepadanya dan mengakui kesalahannya, lalu Yusuf
memaafkannya dan memintakan ampunan kepada Allah untuk mereka, lalu Yusuf bertanya kepada mereka tentang
ayahnya. Dari berita yang disampaikan, Yusuf mengetahui bahwa ayahnya telah buta matanya karena kesedihannya
atas kehilangan Yusuf, lalu Yusuf berkata kepada mereka, “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu
letakkanlah dia ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku.”

Kemudian mereka membawa gamisnya dan keluar dari Mesir menuju kampung mereka di Palestina. Di tengah
perjalanan, sebelum kafilah itu datang, Nabi Ya’qub telah merasakan wangi Nabi Yusuf, ia berkata, “Sesungguhnya
aku mencium wangi Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)“.

Keluarganya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu.”

Pertemuan Yusuf dengan Ayahnya

Setelah berlalu beberapa hari, saudara-saudara Yusuf kembali kepada ayahnya dan memberitahukan kabar
gembira tentang saudara mereka Yusuf, lalu mereka mengeluarkan gamis Yusuf dan meletakkan ke wajah ayahnya,
maka penglihatannya pun kembali normal.

Ketika itu, saudara-saudara Yusuf meminta kepada ayahnya agar memintakan ampunan untuk mereka
kepada Allah, maka Nabi Ya’qub menjanjikan akan memintakan ampunan untuk mereka nanti di waktu sahur, karena
waktu tersebut lebih mustajab.

Selanjutnya Ya’qub beserta anak-anaknya (Bani Israil) pergi meninggalkan Palestina menuju Mesir, dan saat
mereka masuk ke negeri Mesir, maka mereka disambut dengan sambutan yang besar. Yusuf juga memuliakan kedua
orang tuanya dan menempatkannya di kursinya. Ketika itu, Ya’qub dan istrinya beserta sebelas anaknya tidak
sanggup menahan dirinya untuk sujud sebagai penghormatan kepada Yusuf, dan ingatlah Yusuf akan mimpinya
terdahulu ketika ia masih kecil; dan bahwa matahari dan bulan adalah ibu dan bapaknya, sedangkan sebelas bintang
adalah saudara-saudaranya. Yusuf berkata, “Wahai ayahku Inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya
Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia
membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah setan
merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang
Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Yusuf: 100)

Ketika Nabi Yusuf memegang pemerintahan Mesir, maka Yusuf menggunakan kesempatan itu untuk
mengajak rakyatnya menyembah Allah dan setelah selesai urusannya dan ia merasa bahwa hidupnya tidak lama, ia
pun berkata sambil mengakui nikmat Allah, menyukurinya dan berdoa agar tetap di atas Islam sampai akhir hayat,
Yusuf berkata, ” Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan
telah mengajarkan kepadaku sebahagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah
pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang
yang saleh.” (QS. Yusuf: 101)

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya
tentang orang yang paling mulia? Beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa.” Maka para sahabat berkata,
“Bukan ini maksud pertanyaan kami?” Beliau pun bersabda, “Yaitu Yusuf seorang Nabi Allah putera Nabi Allah putera
Nabi Allah putera kekasih Allah.”
KISAH MEMINTA MAAF
Kisah Sahabat Ukasyah bin Mihshan yang Menuntut Rasulullah SAW

Semua bermula setelah Surat An-Nashr diturunkan. Surat ini menandai wafat Rasulullah dalam waktu yang tidak lama
setelah surat ini diturunkan. Demikian penafsiran Sahabat Ibnu Abbas, pakar tafsir di era sahabat.

‫) فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا‬2( ‫) ورأيت الناس يدخلون في دين هللا أفواجا‬1( ‫إذا جاء نصر هللا والفتح‬

Tentang Surah An-Nashr ini, Jabir bin Abdillah dan Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa setelah surat ini turun,
Rasulullah SAW berkata, “Wahai Jibril. Jiwaku sudah terasa lelah.”

Jibril AS mengatakan, “Akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia. Dan, pasti Tuhanmu akan memberikan (sesuatu)
kepadamu dan kamu merasa ridha.”

Rasulullah lantas memerintahkan Bilal agar memanggil orang-orang untuk melaksanakan berkumpul di Masjid. Kaum
Muslim segera berdatangan ke Masjid Nabawi, kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar. Dari atas mimbar beliau
memuji Allah kemudian menyampaikan khotbah yang membuat hati bergetar dan air mata berderai tangis.

“Wahai manusia. Nabi model apa aku ini bagi kalian?” Para sahabat menjawab, “Semoga Allah memberikan balasan
kebaikan sebab kenabianmu. Engkau bagi kami bagaikan ayah yang penyayang, saudara yang bijak dan baik hati.
Engkau telah menyampaikan risalah Allah dan engkau telah mengajak ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak dan
dengan tutur kata yang santun. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan yang lebih besar dari balasan yang
diterima oleh nabi lainnya.” Nabi berkata, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian. Barang siapa
yang pernah aku zalimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezalimanku itu.” Tidak seorang pun berdiri.
Rasulullah lantas mengulangi ucapannya itu, dan tidak seorang pun yang berdiri. Rasulullah mengulangi kata-kata itu
untuk ketiga kalinya, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian. Barang siapa yang pernah aku
zalimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezalimanku itu, sebelum aku dibalas pada hari kiamat nanti.”
Tiba-tiba ada seorang kakek berdiri. Kakek itu melangkah melewati barisan jamaah hingga ia sampai di hadapan
Rasulullah. Kakek itu bernama Ukasyah bin Mihshan. Ukasyah lantas berkata, “Demi ayah dan ibuku. Andai engkau
tidak mengucapkan kalimat itu sampai tiga kali, pasti aku tidak akan maju. Dulu, aku pernah bersamamu dalam satu
perang. Setelah perang selesai, dan kita mendapatkan kemenangan, kita segera pulang. Untaku dan untumu berjalan
sejajar. Aku turun dari unta, mendekatimu karena aku ingin mencium pahamu. Namun, tiba-tiba engkau mengangkat
pecut dan pecut itu mengenai perutku. Aku tidak tahu, apakah kejadian itu engkau sengaja atau engkau ingin
memecut unta.” Rasulullah langsung berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan memecutmu dengan
sengaja. Wahai Bilal. Pergilah engkau ke rumah Fathimah, dan ambilkan pecut yang tergantung.” Bilal langsung
berangkat menuju rumah Fathimah. Tangan Bilal menepuk kepala sambil teriak histeris, “Luar biasa. Ini Utusan Allah
meminta dirinya untuk diqisas (dibalas)!” Sampai di rumah Fathimah, Bilal mengetuk pintu dan berkata, “Wahai Putri
Rasulullah. Ambilkan pecut yang tergantung itu. Serahkan kepadaku.” Fathimah bertanya, “Wahai Bilal. Apa yang
akan dilakukan ayahku dengan pecut ini? Bukan hari ini adalah hari haji, bukan hari perang.” Bilal menjawab, “Wahai
Fathimah. Kamu pasti tahu akhlak ayahmu. Beliau menitipkan satu agama. Beliau akan meninggalkan dunia ini. Dan,
beliau memberikan kesempatan pada siapa pun untuk membalas (qisas) kesalahannya.” Fathimah lantas berkata,
“Wahai Bilal. Siapa orang yang tega menuntut balas (qisas) dari Rasulullah?! Katakanlah kepada Hasan dan Husein,
agar keduanya saja yang menerima pembalasan itu, sebagai pengganti Rasulullah. Minta orang itu membalas
(melakukan qisas) kepada Hasan dan Husein, dan jangan membalas Rasulullah.” Bilal kembali ke masjid dan
meyerahkan pecut itu kepada Rasulullah. Rasulullah SAW lantas menyerahkan pecut itu kepada Ukasyah. Abu Bakar
dan Umar segera berdiri dan berkata kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah. Balaslah kepada kami berdua. Kami ada di
hadapanmu. Jangan engkau balas Rasulullah.” Rasulullah berkata kepada Abu Bakar dan Umar, “Diamlah kalian
berdua, wahai Abu Bakar dan Umar. Allah tahu ketinggian derajat kalian berdua.” Ali pun berdiri dan berkata, “Wahai
Ukasyah. Sepanjang hidupku, aku selalu bersama Rasulullah. Sungguh aku tidak tega melihat Rasulullah dipecut. Ini
badanku. Balaslah. Pecutlah aku seratus kali. Jangan kau balas Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Wahai Ali. Duduklah.
Allah tahu derajatmu dan niat baikmu.” Selanjutnya Hasan dan Husein juga berdiri dan berkata, “Wahai Ukasyah.
Engkau kan tahu bahwa kami adalah darah daging Rasulullah. Engkau membalas kepada kami sama dengan engkau
membalas Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Duduklah, buah hatiku. Allah tidak akan melupakan kemuliaan kalian.”
Rasulullah kemudian berkata kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah. Silakan. Pecutlah aku.” “Wahai Rasulullah. Ketika
engkau memecut perutku, perutku dalam keadaan terbuka,” kata Ukasyah. Rasulullah SAW langsung menyingkap
pakaian hingga perutnya terbuka. Jamaah semakin histeris melihat pemandangan itu. Mereka menangis menjadi-jadi.
Mereka menegur Ukasyah, “Apakah engkau betul-betul akan memecut Rasulullah, wahai Ukasyah?!..” Ukasyah lantas
melihat perut Rasulullah, dan dia tak kuasa menahan diri, langsung merangsek tubuh Rasulullah SAW dan menciumi
perutnya. “Demi ayah dan ibuku, siapa orang yang tega melakukan pembalasan kepadamu, wahai Rasulullah,” ujar
Ukasyah. Rasulullah berkata, “Lastas katakanlah, kau ingin membalas atau memaafkan aku?” Ukasyah, “Sungguh aku
telah memaafkanmu karena aku berharap mendapatkan ampunan dari Allah pada hari Kiamat.” Rasulullah berkata,
“Siapa yang ingin melihat temanku di surga nanti, lihatlah kakek ini.” Kaum Muslim langsung berdiri mengerubungi
Ukasyah dan menciumi keningnya. Mereka berkata kepada Ukasyah, “Alangkah beruntungnya kamu. Alangkah
beruntungnya kamu. Kamu akan mendapatkan derajat yang sangat tinggi, berdampingan dengan Rasulullah di
surga.“ Setelah peristiwa tersebut, Rasulullah jatuh sakit selama delapan belas hari. Tepat pada hari Senin, Rasulullah
wafat, meninggalkan dunia yang fana ini. Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Ia dijamin masuk
surga, bahkan pasti berada di tempat paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah. Namun, beliau begitu hati-hatinya
terhadap manusia. Ia tidak ingin meninggalkan dunia ini, sementara masih ada orang yang “sakit hati” kepadanya.
Beliau minta dibalas (diqisas) agar dirinya tidak dibalas di akhirat. Fitnah, dusta, caci-maki dan kezaliman lainnya yang
disebarkan akan menjadi tanggung jawab penyebarnya di akhirat nanti. Herannya, para penyebar fitnah dan para
pencaci tenang-tenang saja. Padahal, Nabi begitu gelisah hanya karena satu kesalahan yang tak disengaja terhadap
Sahabat Ukasyah. Fasyhad. Qad ballaghtul qishah…

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/kisah-sahabat-ukasyah-bin-mihshan-yang-menuntut-rasulullah-saw-yTLSk

DALIL MEMINTA MAAF

1. Hadis tentang Meminta Maaf dan Kezaliman


َ‫ َم ْن َأتَاهُ َأ ُخوْ هُ ُمتَنَصِّ الً فَ ْليَ ْقبَل َذلِك‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ي ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ رضي هللا عنه ق‬ َ ‫ر ُِو‬
َ ْ‫ي ْال َحو‬
‫ض‬ َّ َ‫ فَِإ ْن لَ ْم يَ ْف َعلْ لَ ْم يَ ِر ْد َعل‬،ً‫ِم ْنهُ ُم ِحقّا ً َكانَ َأوْ ُمب ِْطال‬
Artinya: “Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Barangsiapa pernah melakukan kezaliman
terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta
dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat).

(Kelak) jika dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai
kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibebankan kepadanya.” (HR
Bukhari)

2. Hadis tentang Meminta Maaf Lebih Dulu


َ ‫ َو َما ت ََو‬،‫ ِإاَّل ِع ًّزا‬،‫ َو َما زَ ا َد هللاُ َع ْبدًا بِ َع ْف ٍو‬،‫ال‬
ُ‫اض َع َأ َح ٌد هَّلِل ِ ِإاَّل َرفَ َعهُ هللا‬ ٍ ‫ص َدقَةٌ ِم ْن َم‬ ْ ‫ص‬
َ ‫ت‬ َ َ‫َما نَق‬
Artinya: "Sedekah itu tidak mengurangi harta dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan
pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang
merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)."

3. Hadis tentang Meminta Maaf dan Kemuliaan


Di dalam riwayat lainnya, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah Allah memberi tambahan kepada seseorang hamba
yang suka memberi maaf melainkan kemuliaan.” (HR. Muslim)

Dan hadis lain yang masih memiliki keterkaitan dengan hal ini adalah: “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk
tak bersapaan dgn saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari.” (HR Muslim)
KEUTAMAAN MEMINTA MAAF

Dalam Alquran Allah SWT berfirman:

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


َ‫ف َواَ ْع ِرضْ ع َِن ْال َجا ِهلِ ْين‬
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199)

1. Memperbaiki Silaturahmi
Selaturahmi akan meningkatkan rasa kedamaian dari pihak-pihak yang pernah berseteru atau pernah mengalami
kekeliruan karena suatu hal.

Berdamai dengan diri sendiri juga menjadi keutamaan setelah seseorang telah berusaha untuk meminta maaf
terlebih dahulu atas kesalahan yang pernah diperbuat.

Hadis dari Abu Hurairah RA yang telah disebutkan di atas menunjukkan betapa pentingnya meminta maaf.
Bahkan, terdapat ‘ancaman’ kerugian yang luar biasa bagi orang yang terlambat meminta maaf.

Misalnya dengan terhapusnya amal-amal baik yang pernah dilakukan atau ditambahkannya amal-amal buruk
orang yang pernah dizalimi kepada tumpukan amal buruknya.

2. Kesalahan Karena Memutus Silaturahmi


Meski Rasulullash SAW tetap menganjurkan orang yang dizalimi untuk meminta maaf, tapi orang yang berbuat
zalim yang lebih mungkin dihukumi memutus silaturrahim.

Padahal Alquran mengancam dengan keras tindakan memutuskan silaturrahim ini. Terkait dengan hal ini, Allah
SWT berfirman dalam Alquran:
ٰۤ ُ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ول ِٕىكَ لَهُ ُم‬ ‫ضا‬ َ ْ‫َوالَّ ِذ ْينَ يَ ْنقُضُوْ نَ َع ْه َد ِ ِم ْن ۢ بَ ْع ِد ِم ْيثَاقِ ٖه َويَ ْقطَعُوْ نَ َمٓا اَ َم َر ُ بِ ٖ ٓه اَ ْن يُّو‬
ِ ۙ ْ‫ص َل َويُ ْف ِس ُدوْ نَ فِى ااْل َر‬
ۤ
ِ ‫اللَّ ْعنَةُ َولَهُ ْم سُوْ ُء ال َّد‬
‫ار‬
Artinya: “Orang-orang yang merusakkan janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (yakni, silaturrahim), dan mengadakan kerusakan di bumi. Orang-
orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka jahanam).” (QS
Ar-Ra’d: 25)

Rasulullah SAW juga menegaskan hal ini dengan sabdanya: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus
(silaturahim)” (HR. Bukhari)

3. Kesalahan Akan Menjadi Beban


Perbuatan salah yang dilakukan kepada orang lain akan menjadi beban yang terus memberatkan hati jika belum
dimaafkan. Perasaan bersalahpun akan terus menghantui.

Karena termasuk penyambung dalam silaturahmi, Rasulullah SAW menunjukkan bahwa meminta maaf bukan
sesuatu yang akan menghinakan, tapi merupakan tindakan yang amat mulia.

Sedemikian mulianya sehingga terbukanya pintu surga dan keterbebasan dari neraka sebagai ganjarannya.
Terkait dengan ini, Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa saja yang senang diberi lebih banyak rezeki dan umur panjang, maka dia harus menjalin hubungan baik
(silaturrahim) dengan orangtua dan saudaranya.” (HR Bukhari)

Dalam hadis tentang meminta maaf ini menunjukkan bagaimana Islam memuliakan silaturahmi, sehingga
meminta maaf merupakan bagian dari mempertahankan hal tersebut.

Islam memberi pahala bagi orang yang mampu maaf memaafkan dengan hati ikhlas dan ringan. Perbuatan yang
dipandang kecil namun sungguh dibutuhkan usaha yang besar.
MACAM-MACAM MEMINTA PERTOLONGAN
Isti’anah atau meminta pertolongan ada 5 macam, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin rahimahullah.

1. Isti’anah kepada Allah Ta’ala


Yaitu isti’anah yang mengandung kesempurnaan sikap merendahkan diri dari seorang hamba kepada Rabbnya,
dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya, serta meyakini bahwa hanya Allah yang bisa memberi kecukupan
kepadanya.

Isti’anah seperti ini tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allah Ta’ala. Dan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

ُ ‫ِإيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َوِإيَّاكَ نَ ْست َِع‬


‫ين‬
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (QS. Al-
Fatihah: 4).

Karenanya, memalingkan isti’anah jenis ini kepada selain Allah Ta’ala merupakan perbuatan kesyirikan yang
mengeluarkan pelakunya dari agama.

2. Isti’anah kepada makhluk dalam perkara yang makhluk tersebut mampu melakukannya
Hukum bagi isti’anah jenis ini tergantung pada perkara yang dimintai pertolongan padanya. Jika perkara tersebut
berupa kebaikan maka boleh dilakukan oleh orang yang meminta tolong, sementara yang dimintai tolong
disyariatkan untuk memenuhinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
‫وا َعلَى ْالبرِّ َوالتَّ ْق َوى‬
ْ ُ‫اون‬
َ ‫َوتَ َع‬
“Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah: 2).

Jika permintaan tolongnya pada perbuatan dosa maka hukumnya haram bagi yang meminta tolong dan juga bagi
memberikan pertolongan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala

‫وا َعلَى اِإل ْث ِم َو ْال ُع ْد َوان‬


ْ ُ‫اون‬
َ ‫َوالَ تَ َع‬
“Dan janganlah kalian tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS.Al-Maidah: 2).

Adapun jika perkaranya adalah perkara mubah maka itu dilakukan boleh yang meminta pertolongan dan bagi
orang yang dimintai pertolongan. Bahkan orang yang menolong ini bisa jadi akan mendapatkan pahala karena
telah berbuat baik kepada orang lain. Dan jika demikian keadaannya maka justru menolong ini menjadi
disyariatkan bagi dirinya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
َ‫َوَأحْ ِسنُ َو ْا ِإ َّن هّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬
“Dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS.Al-Baqarah:
195)

3. Isti’anah kepada makhluk yang masih hidup dan hadir (ada di tempat), tapi dalam perkara yang dia
tidak mampu melakukannya

Hukumnya adalah perbuatan sia-sia dan tidak ada gunanya. Misalnya minta tolong kepada orang yang lemah
untuk mengangkat sesuatu yang berat.

4. Isti’anah kepada orang-orang mati secara mutlak (yakni baik yang telah mati itu nabi, atau wali,
apalagi selain mereka) atau kepada orang yang masih hidup dalam perkara gaib yang mereka ini
tidak mampu melakukannya
Isti’anah jenis ini adalah kesyirikan, karena dia tidak mungkin melakukannya kecuali dia meyakini bahwa orang-
orang ini mempunyai kemampuan tersembunyi dalam mengatur alam. Dalil-dalil bahwa isti’anah bentuk seperti ini
adalah haram dan merupakan kesyirikan adalah sebagai berikut,
Allah Ta’ala berfirman:
ِ ‫َوِإ ْن يَ ْم َس ْسكَ هَّللا ُ بِضُرٍّ فَاَل َك‬
‫اشفَ لَهُ ِإاَّل هُ َو ۖ َوِإ ْن يَ ْم َس ْسكَ بِخَ ي ٍْر فَه َُو َعلَ ٰى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬
Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan
Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS.
Al-An’am: 17).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


ِ ‫ َوِإ ْن َي ْم َس ْسكَ هَّللا ُ بِضُرٍّ فَاَل َك‬. َ‫ون هَّللا ِ َما اَل َي ْنفَعُكَ َواَل َيضُرُّ كَ ۖ فَِإ ْن فَ َع ْلتَ فَِإنَّكَ ِإ ًذا ِمنَ الظَّالِ ِمين‬
ُ‫اشفَ لَه‬ ِ ‫ع ِم ْن ُد‬ ُ ‫تَ ْد‬ ‫َواَل‬
ِ ‫ُصيبُ بِ ِه َم ْن يَ َشا ُء ِم ْن ِعبَا ِد ِه ۚ َوهُ َو ْال َغفُو ُر الر‬
‫َّحي ُم‬ ِ ‫هُ َو ۖ َوِإ ْن ي ُِر ْدكَ بِخَ ي ٍْر فَاَل َرا َّد لِفَضْ لِ ِه ۚ ي‬ ‫ِإاَّل‬
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat
kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang zalim”. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada
yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang
dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-
hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yunus: 106-107).

Allah Subhanahu berfirman:


ُ ‫َوالَّ ِذينَ تَ ْد ُعونَ ِم ْن ُدونِ ِه اَل يَ ْست َِطيعُونَ نَصْ َر ُك ْم َواَل َأ ْنفُ َسهُ ْم يَ ْن‬
َ‫صرُون‬
“Dan mereka yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya
sendiri” (QS. Al-A’raf: 197).

Allah Subhanahu berfirman:

ِ ْ‫ت َواَل فِي اَأْلر‬


ٍ ْ‫ض َو َما لَهُ ْم فِي ِه َما ِم ْن ِشر‬
‫ك َو َما‬ َ َ‫ون هَّللا ِ ۖ اَل يَ ْملِ ُكونَ ِم ْثق‬
َ ‫ال َذ َّر ٍة فِي ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ ِ ‫قُ ِل ا ْد ُعوا الَّ ِذينَ زَ َع ْمتُ ْم ِم ْن ُد‬
ٍ ‫لَهُ ِم ْنهُ ْم ِم ْن ظَ ِه‬
‫ير‬
“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki
(kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam
(penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya” (QS.
Saba`: 22).

Allah –Azza wa Jalla– berfirman:

ُ ‫س َو ْالقَ َم َر ُكلٌّ يَجْ ِري َأِل َج ٍل ُم َس ّمًى ۚ ٰ َذلِ ُك ُم هَّللا ُ َربُّ ُك ْم لَهُ ْال ُم ْل‬
ۚ‫ك‬ َ ‫ار فِي اللَّي ِْل َو َس َّخ َر ال َّش ْم‬
َ َ‫ار َويُولِ ُج النَّه‬ِ َ‫يُولِ ُج اللَّي َْل فِي النَّه‬
‫ ِإ ْن تَ ْد ُعوهُ ْم اَل يَ ْس َمعُوا ُدعَا َء ُك ْم َولَوْ َس ِمعُوا َما ا ْست ََجابُوا لَ ُك ْم‬.‫ير‬ ٍ ‫ط ِم‬ ْ ِ‫َوالَّ ِذينَ تَ ْد ُعونَ ِم ْن ُدونِ ِه َما يَ ْملِ ُكونَ ِم ْن ق‬
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika
kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat
memperkenankan permintaanmu” (QS. Fathir: 13-14).

5. Isti’anah dengan perantaraan amal-amal sholeh dan keadaan-keadaan yang dicintai oleh Allah
Isti’anah jenis ini disyariatkan berdasarkan perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

‫صالَ ِة‬
َّ ‫صب ِْر َوال‬ ْ ُ‫ا ْست َِعين‬
َّ ‫وا بِال‬

“Minta tolonglah kalian dengan sabar dan shalat” (QS.Al-Baqarah: 153).


BERTERIMA KASIH
Bagi orang Islam, akan lebih baik jika kita mengutarakan terima kasih dengan ucapan terima kasih dalam Salam.

Saat kita diberikan sesuatu seperti hadiah atau sebuah pertolongan dari seseorang maka hal yang lazim dan wajib
dilakukan adalah mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah memberi kita pada pemberian yang kita terima.

Ucapan Terima Kasih dalam Islam Sebagai Wujud Syukur Kepada Allah
Sesuai dengan tata krama yang berlaku pada masyarakat pada umumnya ketika kita mendapatkan sesuatu dan
menerima sesuatu, hendaknya setelahnya kita mengucapkan terima kasih sebagai wujud penghargaan kepada orang
yang telah memberikan kita pemberian. Untuk memberi ucapan terima kasih dalam Islam tentu ada aturan atau tata
cara dalam hadis yang mengaturnya. Bagaimana hadis yang membahasnya?

Ucapan Terima Kasih dalam Islam: Kalimat dan Hadis yang Membahasnya (1)

Ucapan terima kasih dalam islam dapat diutarakan dengan ucapan jazakallahu khairaan. Ucapan ini memiliki arti
semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik bagimu. Ucapan terima kasih dalam islam ini merupakan sebaik-
baiknya ucapan terima kasih antara satu orang islam dengan orang islam yang lainnya.

Hal ini dikarenakan ucapan terima kasih dalam islam ini sama seperti kita telah mendoakan pada kebaikan untuk
orang yang telah memberikan kita pada pemberian. Tata cara mengucapkannya cukup mudah, ucapan “jazakallahu
khairaan” khusus untuk orang islam laki-laki, untuk orang islam perempuan dapat mengucapkan “jazakillahu
khairaan” dan ucapan untuk orang yang lebih dari satu Anda dapat mengucapkannya dengan “jazakumullahu
khairaan”

Ucapan ini tentu telah dicontohkan oleh Nabi ketika Nabi mendapatkan pemberian dari umat islam lainnya. Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda:

َ َ‫خ ْي ًرا َفق َْد َأ ْبل‬


‫غ فِى‬ َ ‫ك الل َُّه‬
َ ‫ج َزا‬
َ ‫ه‬
ِ ِ‫عل‬
ِ ‫ل لِ َفا‬ ِ ‫ع ِإلَ ْي‬
َ ‫ه َم ْع ُروفٌ َفقَا‬ َ ِ‫صن‬
ُ ‫ن‬ ِ َّ‫ول الل‬
ْ ‫ « َم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ه‬ ُ ‫س‬ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل قَا‬
َ ‫ن َز ْي ٍد قَا‬ َ ‫ن ُأ‬
ِ ‫سا َم َة ْب‬ ْ ‫َع‬

‫» ال َّث َنا ِء‬.

Artinya: Usamah bin Zaid berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang dibuatkan
kepadanya kebaikan, lalu ia mengatakan kepada pelakunya: “Jazakallah khairan (semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan), maka sungguh ia telah benar-benar meninggikan pujian.” (HR. Tirmidzi)

Ucapan terima kasih dalam islam ini juga merupakan sebaik-baiknya ucapan yang diucapkan pada orang yang telah
memberikan pemberian pada kita. Hal ini seperti pada hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad yang berbunyi: “Barang
siapa yang diberikan kepadanya sebuah kebaikan, hendaklah ia membalasnya dan barang siapa yang tidak sanggup
maka sebutlah (kebaikan)nya, dan barang siapa yang menyebut (kebaikan)nya, maka sungguh ia telah bersyukur
kepadanya dan barang siapa yang puas dengan sesuatu yang tidak ia miliki, maka ia seperti seorang yang memakai
pakaian palsu.” (HR. Ahmad)
ADAB MEMINTA IZIN

Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau
perbuatan berbahaya yang dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum muslimin
orang yang benar-benar memahami tuntunan syari’at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan
mendalami agamanya. Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain
tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si
empunya tak menjawab salamnya. Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele
yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka
sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa
mudharat yang sangat berbahaya. Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang
biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak
dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram.
Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-
akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama? Syari’at
Islam adalah syari’at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan
manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi
kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab meminta izin atau disebut
isti’dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini.

MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM


Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta
izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ْ ‫ُم لَ َعلَّك‬
َ‫ُم تَ َذك َُّرون‬ ْ ‫خ ْي ُُر لَّك‬
َ ‫ُم‬ ْ ‫ِموا َعلَى َأ‬
ْ ‫هلِ َها َذلِك‬ ُ ّ ‫سل‬ ُ ‫س َتْأ ن‬
َ ‫ِسوا َو ُت‬ ْ َ‫ح َّتى ت‬
َ ‫ُم‬
ْ ‫خلُوا ُب ُيوتًا غَ ْي َر ُب ُيوتِك‬ َ ‫“ يَاَأيُّ َها الَّذ‬Hai, orang orang
ُ ‫ِين َءا َم ُنوا الَتَ ْد‬
yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat”.[An Nur:27].

Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah
dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya
Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba’ [1], jadayah [2] dan
dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa
mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda: “‫ُم أأدخل‬ ْ ‫ال َُم َعلَ ْيك‬¤¤‫الس‬
َّ ْ ‫ع َف ُق‬¤¤ِ
‫ل‬¤¤ ْ ‫“ ”ا ِْرج‬Keluarlah,
ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An
Nasa’i]

HENDAKLAH BERDIRI DI SISI KIRI ATAU KANAN PINTU


Bagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat di depan pintu.
Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak.
Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr, ia berkata:
‫ال َُم‬¤ ‫“الس‬
َّ ‫ل‬
ُ ‫ ْو‬¤‫ ِر َويَ ُق‬¤ ‫س‬َ ‫ن َأ ْو اَأل ْي‬ َ ‫ه اَأل ْي‬
ِ ‫م‬ ِ ¤ ِ‫ِن ُر ْكن‬ ْ ‫ه َولَك‬
ْ ‫ِن م‬ ْ ‫ِن تِ ْلقَا َء َو‬
ِ ‫ج ِه‬ ْ ‫اب م‬
َ َ‫ل الب‬
ِ ِ‫س َت ْقب‬
ْ َ‫م ي‬ َ َ‫م ِإذَا َأتَي ب‬
ْ َ‫اب َق ْو ٍم ل‬ َ َّ ‫سل‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ِ‫ل هللا‬
ُ ‫صل َّى‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ُ ‫س ْو‬
‫ُم‬‫ك‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬
ْ ْ َ ُ َّ ‫َم‬ ‫ال‬‫الس‬ ‫ُم‬
ْ ْ َ‫ك‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫”ع‬ “

Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di
samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam “assalamu ‘alaikum, assalamu ‘alaikum”, karena
saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai”. [Hadist riwayat Abu Dawud].

Abu Dawud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata: “Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini
adalah Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu – datang lalu berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk meminta izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri menghadap pintu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

“ ‫ِن ال َّنظَ ِر‬


َ ‫َان م‬
ُ ‫ستِْئ ذ‬
ْ ‫اال‬
ِ ‫ما‬َ َّ ‫كذَا – َفِإن‬ َ ‫ك – َأ ْو‬
َ ‫ه‬ َ ‫ه‬
َ ‫كذَا َع ْن‬ َ ” “Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin disyari’atkan
untuk menjaga pandangan mata”.

BILA TIDAK DIIZINKAN HENDAKLAH IA KEMBALI Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫م‬
¤ٌ ‫ملُونَ َعلِي‬
َ ‫ما تَ ْع‬
َ ِ‫هللا ب‬ ْ ‫ه َو ا ْزكَى لَك‬
ُ ‫ُم َو‬ ُ ‫ج ُعوا‬
ِ ‫ج ُعوا فَا ْر‬ ُ ‫ل لَك‬
ِ ‫ُم ا ْر‬ ْ ‫ح َّتى ُيْؤ ذَنَ لَك‬
َ ‫ُم َوِإن قِي‬ َ ‫ها‬
َ ‫خلُو‬ َ ‫َّم تَج ُِدوا فِي َهآ َأ‬
ُ ‫حدًا َفال َ تَ ْد‬ ْ ‫“ َفِإن ل‬

Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika
dikatakan kepadamu “Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [An Nur:28]. Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin
sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima
tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara mengizinkan atau menolak
tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, Beliau bersabda: “ ْ‫ص ِرف‬ َ ‫م ُيْؤ ذَنْ لَ ُه َف ْليَ ْن‬ ْ َ‫ُم ثَالَثًا َفل‬ ْ ‫ح ُدك‬ َ ‫اس َتَأذَنَ َأ‬ ْ ‫“ ”ِإذَا‬Jika salah seorang
dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah”. [Hadits riwayat Al Bukhari dan
Muslim]. LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAIN Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang
tuntunan syari’at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak
terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Beliau
bersabda: “ ٍ‫اح‬¤¤‫ج َن‬ ُ ‫ِن‬ َ ¤‫انَ َعلَ ْي‬¤¤‫ا َك‬¤¤‫ه َم‬¤
ْ ‫كم‬ ْ ‫ َأ‬¤‫ا ٍة َف َف َق‬¤‫ص‬
ُ ¤‫ت َع ْي ُن‬ َ ‫ح‬ ُ ¤‫خ َذ َف ْت‬
ُ ِ‫ه ب‬¤ َ ‫ن َف‬
ٍ ‫ر ِإ ْذ‬¤ َ ‫ع َعلَ ْي‬
ِ ¤‫ك بِ َغ ْي‬ ْ ِ‫“ ”لَ ْو َأنَّ ا ْم َرًأ ا‬Sekiranya ada seseorang yang
َ َ‫طل‬
mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa
atasmu”. [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim]. Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa’idi
Radhiyallahu ‘anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika
melihatnya, Beliau bersabda: “Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu
dengan sisir ini”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata.”
[Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim]. Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki
rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti
rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga
tempat-tempat umum, seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya. Kini muncul pertanyaan, apakah kita
juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.
SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MASUK MENEMUI IBUNYA Seorang anak laki laki yang telah
baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya. Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Al
Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah
Ibnul Yaman: “Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?” Maka ia menjawab: “Jika engkau
tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai.” [Hadits mauquf shahih]. Demikian juga
riwayat dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dan berkata:
“Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?” Maka ia menjawab: “Tidaklah dalam semua keadaannya
ia suka engkau melihatnya.” [Hadits mauquf shahih]. SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK
MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYA Demikian juga seorang laki laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk
menemui saudara perempuannya. Di dalam kitab Al Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari
Atha’. Dia berkata, aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara
perempuanku?” Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi pertanyaanku: “Dua orang saudara perempuanku berada di bawah
tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui
mereka?” Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?” [Hadits mauquf
shahih]. Baca Juga Adab-Adab Jamuan Dan Adab-Adab Menghadiri Undangan PERINTAH KEPADA ORANG TUA AGAR
MENGAJARI ANAK-ANAK DAN PARA PELAYANNYA TENTANG KEHARUSAN MEMINTA IZIN PADA TIGA WAKTU Di dalam Al
Qur’an surat An Nur ayat 58, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta
izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di
tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas
mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang
lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Dalam ayat di
atas Allah memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh
meminta izin kepada mereka pada tiga waktu. Pertama : Sebelum shalat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu
itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka. Kedua : Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”,
yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.
Ketiga : Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur. Pelayan dan anak-anak diperintahkan agar tidak
masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau
sedang melakukan hal-hal yang bersifat pribadi. Oleh sebab itu, Allah mengatakan: “Itulah tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada
dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu”, yakni jika mereka masuk pada waktu di luar tiga
waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas
mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian,
karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan lainnya. Para pelayan yang biasa keluar masuk diberi
dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan
meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kucing: “ ‫ن‬ َ ‫ِن الط َّ َّوافِ ْي‬
َ ‫ة ِإن َّ َها م‬
ٍ ‫س‬
َ ‫ج‬
َ ‫ت بِ َن‬ َ ‫ِإن َّ َها لَ ْي‬
ْ ‫س‬
ِ‫ُم َأ ْو َوالط َّ َّوافَات‬
ْ ‫”علَ ْيك‬
َ “Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu”. Selanjutnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti
orang-orang yang sebelum mereka meminta izin”, yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada tiga
waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap
waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta izin.
Al Auza’i meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, ia mengatakan: “Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin
kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah
mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu.” Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang
berkaitan dengan adab-adab isti’dzan. Mudah-mudahan dapat memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam
membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia dan di
dunia dan akhirat.
KISAH KEJUJURAN SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI KETIKA DIRAMPOK

Ketika Syekh Abdul Qadir Al-Jailani masih kecil, ia sudah banyak belajar tentang ilmu agama. Suatu ketika Abdul Qadir
kecil meminta izin kepada ibunya untuk pergi ke kota Baghdad (sekarang masuk dalam wilayah irak). Ia berkeinginan
untuk mengunjungi rumah orang-orang saleh dan alim di sana serta menimba Ilmu sebanyak-banyaknya dari mereka.
Sang ibu memberi izin dan merestui keinginannya. Sebelum Abdul Qadir berangkat, ibunya memberikan uang
sebanyak 40 dinar sebagai bekal perjalanan. Uang itu sengaja disimpan di saku yang dibuat khusus di bawah ketiak
bajunya agar aman. Ibunya juga tak lupa untuk berpesan agar ia senantiasa berkata jujur dalam setiap keadaan, baik
keadaan sulit maupun senang. Ia memperhatikan betul nasehat dan pesan ibunya, kemudian ia keluar dengan
mengucapkan salam.

Ibunya berkata "pergilah nak, aku telah menitipkan keselamatanmu kepada Allah, agar kamu mendapatkan
pemeliharaan dari-Nya".
Abdul Qadir kecilpun pergi bersama dengan rombongan kafilah unta yang juga sedang melakukan perjalanan ke kota
Baghdad. Dalam perjalanan mereka dalam keadaan baik-baik saja, namun ketika mereka melintasi suatu tempat yang
bernama Hamdan, tiba-tiba ada enam puluh orang perampok yang mengendarai kuda menghampiri dan merampok
seluruh harta rombongan kafilah.

Yang unik dari peristiwa ini, tidak ada satupun dari perampok-perampok itu menghampiri Abdul Qadri, sampai pada
akhirnya salah seorang dari perampok itu menghampiri dan bertanya kepadanya, "wahai orang fakir, apa yang kamu
bawa?".

Abdul Qadri menjawab dengan polos, "aku membawa empat puluh dinar".
Perampok itu bertanya lagi, "dimana kamu meletakkannya?"
"Aku meletakkannya di saku baju yang terjahit rapat di bawah ketiakku."
Orang itu tidak percaya dan menganggap bahwa Abdul Qadir sedang meledeknya, kemudian ia meninggalkan boca
laki-laki kecil itu.
Berselang beberapa waktu, datang lagi seorang perampok dan bertanya dengan pertanyaan yang sama, Abdul Qadir
menjawab pula dengan jawaban yang sama. Jawaban jujur yang ia lontarkan tidak mendapatkan respon yang serius,
dan perampok itu pergi meninggalkan Abdul Qadir begitu saja.
Kedua perampok tersebut menceritakan apa yang mereka alami kepada pimpinan mereka sehingga pimpinan itu
merasa heran dan mererintahkan anak buahnya untuk memanggil bocah jujur itu. "Panggil Abdul Qadri ke mari!".

Ketua perampok itu bertanya kepada Abdul Qadir saat ia sampai, "apa yang kamu bawa?"
Jawab Abdul Qadir, "empat puluh dinar."
"Dimana kamu meletakannya?" tanya kepala perampok itu lagi.
"Uang itu berada di saku yang terjahit yang terjahit rapat di bawah ketiakku."

Pimpinan perampok itu, kemudian memerintahkan kepada anak buahnya untuk menggeledah bagian ketiak Abdul
Qadir, dan mereka menemukan uang sebanyak empat puluh dinar. Siakpnya yang polos dan jujur itu membuat
perampok-perampok itu heran dan menggeleng kepala mereka. Seandainya saja ia berbohong, para perampok itu
tidak akan mengetahui apa yang ia bawa, apalagi waktu itu penampilan Abdul Qadri kecil sangatlah sederhana
layaknya orang miskin.

"Apa yang mejadikan dirimu berkata yang sebenarnya?"


"Ibuku yang memerintahkan aku untuk berkata benar, aku tidak punya keberanian untuk durhaka terhadapnya,"
jawab Abdul Qadir.
Ketua perampok itu mendengar jawaban dan pernyataan Abdul Qadir, dia kemudian merasa menyesal yang sangat
mendalam dan menangis tersedu-sedu. "Engkau tak berani ingkar kepada janji ibumu, sedangkan aku sudah
bertahun-tahun ingkar kepada janji Tuhanku."
Pimpinan perampok itu kemudian menyatakan tobat kepada Allah di hadapan Abdul Qadir, anak kecil yang namanya
kelak akan menjadi harum di mata dunia sebagai Sulthanul Auliya' Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Apa yang dilakukan
pimpinan perampok ini kemudian diikuti oleh seluruh anak buahnya. (Kisah ini ditulis ulang dari website NU online)
Dari kisah kejujuran syekh Abdul Qadir Al-Jailani ketika dirampok ini, kita bisa mengambil banyak pelajaran dan
hikmah, diantaranya bahwa kejujuran dan kebenaran merupakan hal yang sangat penting walau kita dalam keadaan
apapun. Ketika dalam keadaan senang, kita harus berlaku jujur dan benar begitu pula dalam keadaan susah. Karena
apa yang kita lakukan dengan benar itu bukan saja bermanfaat kepada kita tetapi juga bermanfaat bagi orang lain,
bahkan menjadi jalan dakwah untuk menyadarkan orang lain dari ketidak benaran dan kemunafikan.
KASIH SAYANG RASULULLAH TERHADAP ANJING DAN PERTOLONGAN SEORANG WANITA

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sayangilah siapa atau apa saja yang ada di bumi, maka kalian akan disayangi
yang ada di langit.” Risalah Islam yang dibawa Rasulullah SAW menganjurkan manusia untuk menebar kasih
sayang. Bahkan, Allah SWT pun memiliki sifat Mahapengasih dan Mahapenyayang!

Kasih sayang yang ditunjukkan Rasulullah SAW tidak hanya untuk keluarganya, sahabatnya, atau bahkan
orang-orang yang memusuhi beliau. Tidak ada batas untuk kebajikan yang beliau tebar.

Salah satu target kasih sayang Nabi SAW ialah hewan dan tetumbuhan. Berikut kisah yang dikutip dari Kitab
al-Maghazi.

Waktu itu, Rasulullah SAW memimpin pasukan Muslimin dalam ajang pembebasan Makkah ( fathu Makkah).
Dari Madinah, berbondong-bondong manusia mengikuti arak-arakan ini.

Nabi SAW telah berpesan, agar tidak ada pertumpahan darah. Kaum Muslimin mematuhinya.

Dalam perjalanan, beliau tiba-tiba melihat seekor anjing sedang merebahkan diri dekat sumur. Anjing itu
terdengar mengeluarkan suara, seakan-akan membujuk anak-anaknya agar tetap menyusu kepadanya. Sementara,
deru-derap pasukan Rasulullah SAW kian mendekati hewan tersebut.

Maka, Nabi SAW memerintahkan seorang sahabat untuk menjaga anjing-anjing tersebut supaya tidak ada satu
tentara pun yang menyakiti mereka.

Selain kisah di atas, Nabi SAW juga menunjukkan rasa belas kasihannya kepada anjing. Suatu hari, di Madinah
beliau melihat seekor anjing yang memiliki tanda besi panas di wajahnya. Betapa iba hati beliau menyaksikan hewan
tersebut! Kemudian, Rasulullah SAW menyuruh Muslimin untuk tidak memberi tanda pada muka hewan, dan
melarang pula untuk menyiksa hewan.

Anjing memang memiliki najis--yakni air liurnya. Namun, hal itu tak berarti hewan tersebut tak boleh dikasihani.
Rasulullah SAW juga pernah menuturkan suatu kisah tentang seorang pelacur pada zaman Bani Israil. Perempuan
yang sehari-hari tenggelam dalam dosa besar itu suatu hari menemukan anjing yang berputar-putar mengitari sumur.

Pelacur ini menyadari, anjing tersebut sedang kehausan. Maka, ia pun menjulurkan sepatunya ke dalam sumur
untuk mewadahi air. Lantas, dengan benda itu ia memberi minum kepada anjing tersebut. Rasulullah SAW bersabda,
dosa-dosa sang pelacur kemudian diampuni oleh Allah SWT lantaran kasih sayangnya terhadap anjing itu.

5 Hewan yang Berjasa pada Nabi Muhammad SAW, Menyelamatkan Sang Rasul

Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang dicintai oleh para pengikutnya. Bukan hanya itu, saking mulianya,
beliau juga dicintai oleh makhluk lain seperti malaikat dan jin. Tak ketinggalan, hewan-hewan ternyata juga begitu
menghormati Rasulullah. 

Semasa hidupnya, ada sejumlah hewan yang tercatat berjasa terhadap beliau. Bahkan beberapa di antaranya pernah
menyelamatkan Nabi Muhammad SAW saat beliau sedang dalam bahaya. Ingin tahu hewan apa sajakah itu? Simak
kisahnya berikut ini!

1. Qaswa, unta yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad SAW


Qaswa atau Al-Qaswa merupakan unta betina yang dibeli Nabi Muhammad SAW dari sahabatnya, Abu Bakar. Ia
menjadi saksi perjuangan sang Rasul dalam menyebarkan agama Islam. 

Dilansir buku The Great Story of  Muhammad dari Maghfirah, Qaswa juga terlibat dalam menentukan area hijrah saat
Nabi Muhammad SAW meninggalkan Mekkah. Saat itu, rombongan terus berjalan namun si unta ini tiba-tiba berhenti
di suatu tempat yang ternyata merupakan Madinah. Sang Rasul pun akhirnya menentukan bahwa itulah tempat
hijrahnya. 

Unta yang telah kehilangan satu telinganya ini juga membawa Nabi Muhammad SAW dalam peperangan. Ia pula yang
mengantarkan sang Rasul kembali ke Mekkah untuk merebut kekuasaan dari bangsa Quraisy. 
Setelah sang nabi wafat, Qaswa menolak untuk makan dan minum karena ia sangat sedih. Unta yang istimewa itu
pun akhirnya mati menyusul tuannya. Dilansir Islamic  Encyclopedia, sumber lain mengatakan bahwa ia tiba-tiba
menghilang entah ke mana setelah Nabi Muhammad SAW wafat. 

2. Muezza, kucing paling spesial di mata sang Rasul


Berikutnya ada Muezza. Ia merupakan seekor kucing betina yang begitu spesial di mata Nabi Muhammad SAW.
Melaluinya, Rasul menunjukkan seperti apa seharusnya kita memperlakukan hewan. 

Beliau sering kali mengajak Muezza saat melakukan khotbah di hadapan para pengikutnya dan aktivitas religius lain.
Kucing itu sering kali duduk di pangkuan beliau. Dalam kisah lain, Muezza tampak tertidur pulas di atas jubah Nabi
Muhammad SAW yang sedang dipakainya. Beliau rela memotong pakaian itu ketika ingin salat agar si kucing tak
terganggu. 

Melalui Muezza pula, kita mengetahui bahwa air liur kucing itu suci dan tidak akan membatalkan wudu. Nabi
Muhammad SAW tak ragu minum dan menyucikan diri dari air yang baru saja diminum oleh kucing tersebut. 

3. Laba-laba dari Gua Tsur


Hewan yang satu ini sangat spesial karena berhasil menyelamatkan nyawa Nabi Muhammad SAW. Ia adalah laba-laba
dari Gua Tsur. Seperti apa kisahnya?

Berawal dari sang Rasul yang saat itu tengah berperang, beliau kemudian dikejar-kejar oleh kaum kafir Quraisy.
Untuk menyelamatkan diri dan agar tak dibunuh, beliau bersembunyi di dalam Gua Tsur. Akan tetapi, mulut gua
tersebut masih terbuka sehingga orang dari luar bisa melihat bagian dalam. 

Allah SWT kemudian memerintahkan seekor laba-laba untuk membuat sarang hingga menutupi mulut gua. Ketika
kaum Quraisy melewati area tersebut, salah seorang dari mereka ingin mengecek ke dalam. Akan tetapi, ia dihentikan
oleh kelompoknya sendiri yang mengatakan, "Gua ini telah lama ditinggalkan orang, lihat saja tebalnya sarang laba-
laba di mulutnya itu,". 

Berkat bantuan dari si laba-laba, Nabi Muhammad SAW yang telah bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari pun
selamat. Kisah ini bahkan diabadikan dalam salah satu surat di Al-Qur'an. 

4. Burung merpati yang membantu Nabi Muhammad SAW bersembunyi


urung merpati (pexels.com/Gratisography)

Ternyata bukan hanya laba-laba yang menyelamatkan Nabi Muhammad SAW dari kejaran kaum Quraisy. Ada pula
seekor merpati yang diutus oleh Allah SWT untuk membantunya.

Burung ini sengaja bertelur tepat di depan sarang laba-laba agar kaum Quraisy semakin yakin bahwa Gua Tsur tidak
pernah disentuh oleh manusia mana pun. Sebab burung tidak akan menaruh telurnya di area dekat manusia agar tak
terancam. 

Karena peristiwa ini, semua orang yang ada di Mekkah dilarang untuk menangkap burung merpati. Apalagi
memburunya. Mereka dibiarkan berkeliaran di pelataran Masjidil Haram dan setiap sudut kota. 

5. Anjing yang membela Nabi Muhammad SAW


https://www.youtube.com/embed/P5FL8kdqaP0

Kisah berikutnya terjadi jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Diriwayatkan dari Ad-Durar Al-Kaminah oleh Ibnu
Hajar al-Asqani, sempat ada seorang pimpinan Mongolia yang menghina-hina sang Rasul di sebuah pertemuan. 

Secara kebetulan, di dekat area pertemuan itu, ada seekor anjing penjaga yang diikat dengan tali kekang. Setelah si
pimpinan berbicara, anjing itu tiba-tiba terlepas dan mencakar wajahnya. 

Melihat kejadian ini, orang-orang yang datang berkomentar, "Mungkin anjing itu marah melihatmu menghina
Muhammad,". Si pimpinan masih mengelak dan berkata bahwa mungkin anjing berontak karena melihat gerakan
tangannya. 
Lagi, ia kembali menghina Nabi Muhammad SAW dengan perkataan yang lebih kasar. Anjing itu kembali berontak dan
menggigit tenggorokannya. 

Walaupun tak ada yang tahu niat asli anjing tersebut, orang-orang yang menyaksikan kejadian itu percaya bahwa
makhluk itu ingin membela sang Rasul. 

Itulah sejumlah hewan yang dikenal berjasa terhadap Nabi Muhammad SAW. Kisah mereka bisa menjadi inspirasi
bagi umat Islam untuk lebih menghormati dan meneladani beliau. 

Anda mungkin juga menyukai