Anda di halaman 1dari 18

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Topik : Endometriosis

Sasaran : Wanita Usia Subur

Hari/Tgl : Selasa, 13 September 2022

Waktu : 45 Menit

Tempat : Puskesmas Sungai Betung

A. Analisis Situasi

1. Peserta Penyuluhan : Wanita Usia Subur

2. Ruangan Penyuluhan : Aula Kantor Desa

3. Pemberi Materi : Yuliana Muluveras Ranawati Nazarius

B. Tujuan

1. Tujuan Umum:

Setelah mengikuti penyuluhan tentang endometriosis pada

wanita usia subur, diharapkan pada wanita usia subur di

Puskesmas Sungai Betung dapat mengerti dan menjelaskan

tentang apa saja yang terjadi pada endometriosis serta akibat

endometriosis dan pengobatan yang akan diberikan.

2. Tujuan Khusus:

Setelah mengikuti penyuluhan tentang endometriosis,

diharapkan wanita usia subur dapat:

a. Menjelaskan pengertian endometriosis.

b. Menjelaskan etiologi endometriosis.

c. Menjelaskan prevalensi endometriosis.

d. Menjelaskan klasifikasi endometriosis.

e. Menjelaskan gejala klinis endometriosis.


f. Menjelaskan diagnosis endometriosis.

g. Menjelaskan pemeriksaan fisik endometriosis.

h. Menjelaskan deteksi dini endometriosis.

i. Menjelaskan pengobatan endometriosis.

j. Menjelaskan faktor risiko endometriosis.

C. Materi

1. Pengertian endometriosis.

2. Etiologi endometriosis.

3. Prevalensi endometriosis.

4. Klasifikasi endometriosis.

5. Gejala klinis endometriosis.

6. Diagnosis endometriosis.

7. Pemeriksaan fisik endometriosis.

8. Deteksi dini endometriosis.

9. Pengobatan endometriosis.

10. Faktor risiko endometriosis.

D. Metode dan Media

1. Metode : Diskusi Pribadi atau Kelompok

2. Media : Powerpoint

E. Kegiatan Diskusi

Kegiatan
No. Topik Waktu Kegiatan Diskusi
Peserta
1. Pembukaan 5 menit - Mempersiapkan materi -
dalam bentuk PPT Memperh
- Membuka kegiatan diskusi atikan
dan mengucapkan salam
- Menjawab
salam
2. Pelaksanaan 30 - Menyampaikan sekilas -
menit tentang materi yang akan Memperhatika
didiskusikan tentang n
endometriosis
- Pemandu masuk untuk
memandu jalannya kegiatan
diskusi tersebut - Peserta
- Menyampaikan materi sangat
diskusi antusias
- Menyampaikan hasil akhir
dari kegiatan penyuluhan di - Mendengarkan
depan forum - Peserta
memperhatika
n
3. Evaluasi 5 menit - Pemandu mengevaluasi - Replay materi
hasil penyuluhan yang telah
disampaikan
4. Penutup 5 menit - Kesimpulan dari penyuluhan - Mendengarkan
- Mengucapkan salam - Menjawab
penutup, mengakhiri salam
pertemuan serta
mengucapkan terima kasih
F. Sumber Buku

Abadi, K. C., 2014,


Universitas
Andalas Padang (Skripsi).
Djuwantono, T, 2015,
Universitas
Padjadjaran Bandung (Skripsi).
Halim, B. & Adiwinata, T, 2021, ,
Medicinus, 34(3).
Hendarto, H, 2015,
Surabaya, Airlangga University Press (AUP).
HIFERI, 2017, Jakarta,
Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia.
Iskandar, 2021, , Averrous: Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh, 7(2).
Luqyana, S. D. & Rodlani, 2019,
, JIMKI, 7(2).
Suparman, E, 2012, , Jurnal Biomedik,
4(2).

MATERI PENYULUHAN

ENDOMETRIOSIS

A. Definisi
Endometriosis adalah penyakit inflamasi kronis, berkembang

secara progresif dengan keluhan utama adalah nyeri. Sebagian besar

penderita endometriosis datang ke dokter atau ke rumah sakit dengan

keluhan nyeri yang berhubungan dengan haid, walaupun sebagian lagi

keluhan nyeri tersebut muncul tak terduga tidak terkait dengan haid.

Berbagai teori telah menerangkan bagaimana nyeri terjadi pada

endometriosis, namun terdapat dua penyebab yang diterima, yaitu:

akibat aktivitas sitokin inflamasi pada peritoneum dan iritasi serta

infiltrasi saraf di sekitar lesi endometriosis.

Endometriosis adalah adanya kelenjar endometrium dan stroma

pada ekstrauterin dan dapat diduga berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan. Seperti jaringan

endometrium yang dari tempat asalnya, jaringan ini berespon

terhadap fluktuasi hormon dari siklus menstruasi. Laparotomi atau

laparoskopi dapat menegakkan diagnosis dengan endometriosis,

tetapi karena lesi mungkin kecil, atipikal atau disebabkan oleh

patologi penyakit lain selain endometriosis, biopsi jaringan dapat

membuktikan diagnostik.

Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan

endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri.

Jaringan ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma yang terdapat

di dalam miometrium ataupun di luar uterus, bila jaringan

endometrium terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis.

Endometriosis disebut sebagai estrogen dependent disease karena

pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan endometrium

ektopik tersebut dibutuhkan stimulasi dari hormon estrogen.


B. Etiologi

Sampai saat ini etiologi endometriosis yang pasti belum jelas.

Beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis dengan

berbagai teori, yakni teori implantasi dan regurgitasi metaplasia,

hormonal, serta imunologik.

Teori implantasi dan regurgitasi mengemukakan adanya darah

haid yang dapat mengalir dari kavum uteri melalui tuba falopii, tetapi

tidak dapat menerangkan terjadinya endometriosis di luar pelvis. Teori

metaplasia menjelaskan terjadinya metaplasia pada sel-sel

yang berubah menjadi endometrium. Perubahan tersebut terjadi akibat

iritasi dan infeksi atau pengaruh hormonal pada epitel . Dari

aspek endokrin, hal ini bisa diterima karena epitel germinativum

ovarium, endometrium, dan peritoneum berasal dari epitel yang

sama.

Teori endometriosis dapat dikaitkan dengan aktivitas sistem imun.

Teori imunologik menerangkan bahwa secara embriologik, sel epitel

yang membungkus peritoneum parietal dan permukaan ovarium

memiliki asal yang sama oleh karena itu sel-sel endometriosis akan

sejenis dengan mesotel. Telah diketahui bahwa CA-125 merupakan

suatu antigen permukaan sel yang semula diduga khas untuk ovarium.

Endometriosis merupakan proses proliferasi sel yang bersifat destruktif

dan akan meningkatkan kadar CA-125. Oleh karena itu, antigen ini

dipakai sebagai penanda kimiawi.

C. Prevalensi

Secara pasti angka kejadian endometriosis sulit diketahui, namun

diduga berkisar antara 2-10% pada populasi perempuan umum.


Penentuan secara kuantitas kejadian endometriosis sulit, hal ini

disebabkan beberapa faktor, yaitu didapatkan endometriosis yang

asimtomatis, modalitas pencitraan (imaging) mempunyai sensitivitas

rendah dan diagnostik pasti dilakukan memakai tindakan pembedahan

laparoskopi. Telah dilaporkan angka kejadian endometriosis per tahun

berdasarkan penggunaan tindakan pembedahan, yaitu 1,6 kasus per

1000 perempuan usia 15-49 tahun. Kejadian endometriosis pada

perempuan dengan keluhan dismenorea (nyeri haid) adalah 40-80%,

sedangkan pada perempuan dengan infertilitas sekitar 20-50%. Data di

Klinik Fertilitas Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

tahun 1987 sampai 1991 melalui tindakan laparoskopi diagnostik

didapatkan data bahwa infertilitas disertai endometriosis berkisar

23,8% dan pada tahun 1992 sampai 1993 meningkat menjadi 37,2%,

terakhir pada tahun 2002 berkisar 50%. Speroff menyebutkan

prevalensi endometriosis tanpa gejala diperkirakan sebesar 4% didapat

pada perempuan yang menjalani sterilisasi elektif, sedangkan data

yang lain menyatakan berkisar 2-50% terjadi pada perempuan

asimtomatis didapatkan saat pemeriksaan laparoskopi, tergantung

pada kriteria diagnosis yang dipakai dan populasi yang dipelajari. Pada

remaja ditemukan berkisar 25-47% dengan keluhan nyeri panggul.

D. Klasifikasi

Klasifikasi endometriosis yang digunakan saat ini berdasarkan

klasifikasi menurut ASRM (American Society for Reproductive

Medicine) yang telah direvisi pada tahun 1997. Klasifikasi tersebut

adalah:
1. Stadium 1 (minimal) dengan skor 1-5 yaitu implantasi di

superfisial peritoneum dan ovarium serta adhesi yang tipis pada

satu atau kedua ovarium.

2. Stadium 2 (ringan) dengan skor 6-15 yaitu implantasi superficial

dan agak dalam pada peritoneum dan ovarium, adhesi tipis dan

kista coklat kecil di ovarium.

3. Stadium 3 (sedang) dengan skor 16-40 yaitu implantasi dalam di

peritoneum, kista di ovarium, adhesi yang padat di tuba falopi

dan/atau obliterasi culdesac posterior parsial

4. Stadium 4 (berat) dengan skor >40 yaitu implantasi dalam di

peritoneum, kista coklat besar, banyak adhesi padat dan obliterasi

culdesac komplit.

E. Gejala Klinis

Gejala tersering yang dikeluhkan oleh pasien endometriosisadalah

nyeri dan/atau infertilitas. Nyeri yang dimaksud meliputi dismenorea,

dyspareunia, dan diskezia. Diketahui 83% perempuan dengan

endometriosis mengeluhkan salah satu atau lebih dari gejala-gejala

tersebut, sedangkan sebanyak 29% perempuan tanpa endometriosis

yang mengeluhkan gejala tersebut.

Gejala klinis pasien Endometriosis

Gejala Persentase (%)

Nyeri Haid 62

Nyeri Pervis kronis 57

Dyspareunia dalam 55

Keluhan intestinal siklik 48


Infertilitas 40

Nyeri haid (dismenorea) merupakan nyeri yang paling sering

dikeluhkan. Adapun nyeri haid terkait endometriosis sering dimulai

sebelum menstruasi muncul, dan terus bertahan selama menstruasi

berlangsung atau bahkan lebih lama. Keluhan nyeri tersebut berada dari

dalam pelvis, menyebar, terkadang terasa menjalar hingga ke punggung,

paha, dan dapat menimbulkan gejala lain seperti diare. Nyeri pelvis

kronis adalah nyeri hebat pada area pelvis selama lebih dari 6 bulan

yang dapat berakibat pasien tidak mampu melakukan kegiatannya

sehari-hari hingga memerlukan pengobatan. Dyspareunia dalam yang

berkaitan dengan endometriosis umumnya terjadi sebelum menstruasi

yang kemudian terasa semakin nyeri di awal menstruasi.

Keluhan intestinal siklik yang paling sering dilaporkan pasien

seperti perut terasa kembung (96%), diare (27%), maupun konstipasi

(16%). Sedangkan infertilitas terkait endometriosis dapat disebabkan

oleh:

1. Gangguan pada adneksa sehingga menghalangi dan menghambat

secara anatomis penangkapan ovum saat ovulasi.

2. Dampak terhadap perkembangan oosit.

3. Berkurangnya reseptivitas endometrium.

F. Diagnosis

Penegakkan diagnosis endometriosis tidak bisa dikatakan mudah,

sejumlah penelitian mendapatkan angka diagnosis endometriosis

yang terlambat hingga 7-10 tahun sampai diagnosis endometriosis

berhasil ditegakkan. Penelitian lainnya melaporkan bahwa di Spanyol


dan Inggris penegakkan diagnosis dapat terlambat hingga 8 tahun,

berbeda dengan di Norwegia selama 6 tahun, di Italia 7-10 tahun,

dan 4-5 tahun di Irlandia dan Belgia. Sejumlah faktor menjadi

penyebab keterlambatan penegakkan diagnosis endometriosis,

seperti onset awal dari gejala, nyeri yang dianggap normal oleh

dokter, dan penggunaan kontrasepsi secara intermiten sehingga

terjadi supresi hormon. Selain itu, adanya misdiagnosis di awal menjadi

peran penting pada terlambat ditegakkannya diagnosis endometriosis.

Jaringan endometriosis tetap memiliki aktivitas sama dengan

endometrium sesungguhnya sehingga akan terus aktif selama masih

terdapat hormon di dalam tubuh. Setelah menopause, keluhan

endometriosis akan menghilang, Gejala yang sering dijumpai ialah nyeri

haid (dismenorea) yang terjadi 1-3 hari sebelum haid, dan dengan

semakin banyaknya darah haid yang keluar keluhan dismenorea akan

mereda.

Endometriosis pada ovarium akan menyebabkan terjadinya kista

endometriosis. Bila ukuran kista endometriosis tersebut sudah >5 cm,

sering menimbulkan gejala penekanan. Gejala-gejala lain yang

mengarah pada endometriosis ialah infertilitas, nyeri pelvis, nyeri

senggama, nyeri perut merata, nyeri suprapubik, disuria, hematuria,

benjolan pada perut bawah, serta gangguan miksi dan defeksi.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:

1. Ultrasonografi (USG). Pada USG dapat dilihat adanya uterus yang

membesar secara difus dan gambaran penebalan dinding uterus

terutama pada bagian posterior dengan fokus-fokus ekogenik,

rongga endometriosis eksentrik, adanya penebalan dengan


gambaran hiperekoik, kantung-kantung kistik 5-7 mm yang

menyebar menyerupai gambaran sarang lebah.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Terlihat adanya penebalan

dinding miometrium yang difus.

3. Serum CA 125. Serum CA 125 merupakan tumor marker yang umum

digunakan pada kanker ovarium. Pada endometriosis juga terjadi

peningkatan kadar CA 125. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas

yang rendah, karena kadar CA 125 juga meningkat pada keadaan

infeksi radang panggul, mioma, dan trimester awal kehamilan.

Sehingga CA 125 biasanya hanya digunakan sebagai monitor

prognostik pascaoperatif endometriosis. Apabila kadar CA 125

tinggi berarti prognostik kekambuhannya tinggi. Bila didapati CA

125 >65 mIU/ml praoperatif menunjukkan derajat beratnya

endometriosis.

4. Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk

mendiagnosis endometriosis. Pada endometriosis yang tumbuh di

ovarium dapat terbentuk kista yang disebut endometrioma.

Biasanya isinya berwarna cokelat kehitaman sehinggga juga

disebut juga kista cokelat.

5. Pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan pasti dari lesi

endometriosis yaitu didapatkan adanya kelenjar dan stroma

endometrium.

G. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan

pemeriksaan inspeksi pada vagina dengan menggunakan spekulum.

Pada pemeriksaan dengan spekulum ini dapat ditemukan lesi


proliferative merah pada forniks posterior yang dapat berdarah jika

terkena sentuhan. Selanjutnya pemeriksaan diteruskan dengan

pemeriksaan bimanual dan palpasi rektovagina.

Melalui pemeriksaan bimanual dapat dinilai ukuran, posisi, dan

mobilitas dari uterus. Palpasi rektovagina diperlukan untuk mempalpasi

ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk menemukan

nodul endometriosis. Nyeri tekan lokal dan nodularitas ligamentum

uterosacral dapat menjadi satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik

yang mendukung diagnosis endometriosis. Pemeriksaan yang

dilakukan saat haid dapat meningkatkan peluang deteksi nodul

endometriosis dan menilai nyeri. Diagnosis

perlu dipertimbangkan apabila pada pemeriksaan

klinis didapat indurasi atau nodul pada dinding rektovagina atau pada

forniks posterior vagina.

H. Deteksi Dini

Endometriosis bukanlah penyakit yang mudah untuk didiagnosis.

Dengan gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa nyeri dan

dianggap sebagai nyeri biasa. Diagnosis dari endometriosis dapat

dilakukan di pelayanan kesehatan primer. Para ahli merekomendasikan

deteksi dini endometriosis, yaitu dengan uji diagnostik empiric. Pasien

yang datang dengan keluhan nyeri haid akan mendapatkan OAINS juga

KIR sebagai uji diagnostik empiric selama 3 bulan. Apabila keluhan

tidak membaik, maka pasien perlu dirujuk ke lini sekunder untuk

pemeriksaan dan penanganan selanjutnya.

I. Pengobatan
Berdasarkan prinsip umpan balik negatif, pengobatan

endometriosis awalnya masih menggunakan estrogen. Dewasa ini,

estrogen tidak terlalu disukai lagi dan mulai ditinggalkan. Efek samping

yang ditimbulkan kadang-kadang dapat berakibat hingga berlanjut

kematian. Salah satu efek samping yang sangat dikhawatirkan ialah

terjadinya hiperplasia endometrium yang dapat berkembang menjadi

kanker endometrium.

Dari berbagai jenis hormon yang telah dipakai untuk pengobatan

endometriosis dalam dua dasawarsa terakhir ini, ternyata danazol

termasuk golongan hormon sintetik pria turunan androgen dengan

substitusi gugus alkil pada atom C-17 ol. Efek antigonadotropin

Danazol ini terjadi dengan cara menekan FSH dan LH, sehingga terjadi

penghambatan steroidogenesis ovarium. Pemberian danazol

mengakibatkan jaringan endometriosis menjadi atrofi dan diikuti

dengan aktivasi mekanisme penyembuhan dan resorpsi penyakit.

Pada endometriosis derajat berat dan luas, pembedahan

atraumatik merupakan pilihan utama karena sudah diketahui bahwa

endometrioma yang lebih besar dari 1 cm tidak menyusut selama

pengobatan medikamentosa. Pengangkatan endometrioma saat

operasi dilakukan karena faktor-faktor mekanik antara lain perlekatan

yang mengganggu mekanisme penangkapan ovum hanya dapat

ditanggulangi dengan pembedahan; oleh karena itu, sekuele

endometriosis merupakan indikasi primer untuk pembedahan.

Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien endometriosis

adalah obat-obatan, hormonal, bedah, serta kombinasi obat dan bedah.

Pilihan pengobatan tergantung pada keadaan individu pasien, yang

meliputi (1) gejala yang muncul dan keparahannya, (2) lokasi dan
keparahan endometriosis, dan (3) keinginan untuk memiliki anak

selanjutnya. Belum ada pengobatan endometriosis yang menjanjikan

kesembuhan yang permanen.

Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan:

1. Pengobatan Simtomatik. Pengobatan dengan memberikan anti nyeri

seperti paracetamol 500 mg 3 kali sehari, Non Steroidal Anti

Inflammatory Drugs (NSAID) seperti ibuprofen 400 mg tiga kali

sehari, asam mefenamat 500 mg tiga kali sehari. Tramadol,

parasetamol dengan codein, Gamma Amino Butiric Acid (GABA)

inhibitor seperti gabapentin.

2. Kontrasepsi Oral. Penanganan terhadap endometriosis dengan

pemberian pil kontrasepsi dosis rendah. Kombinasi monofasik

(sekali sehari selama 6-12 bulan) merupakan pilihan pertama yang

sering dilakukan untuk menimbulkan kondisi kehamilan palsu

dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi jaringan

endometrium. Kombinasi pil kontrasepsi apa pun dalam dosis

rendah yang mengandung 30-35 μg etinilestradiol yang digunakan

secara terus-menerus bisa menjadi efektif terhadap penanganan

endometriosis. Membaiknya gejala dismenorea dan tingkat

kambuh pada tahun pertama terjadi sekitar 17-18%. Kontrasepsi

oral merupakan pengobatan dengan biaya lebih rendah

dibandingkan dengan lainnya dan bisa sangat membantu

terhadap penanganan endometriosis jangka pendek, dengan

potensi keuntungan yang bisa dirasakan dalam jangka panjang.

3. Progestin. Progestin memungkinkan efek antiendometriosis dengan

menyebabkan desidualisasi awal pada jaringan endometrium dan

diikuti dengan atrofi. Medroxyprogesterone Acetate (MPA) adalah


hal yang paling sering diteliti dan sangat efektif dalam meringankan

rasa nyeri. Dimulai dengan dosis 30 mg per hari dan kemudian

ditingkatkan sesuai dengan respons klinis dan pola perdarahan.

MPA 150 mg yang diberikan intramuskuler setiap 3 bulan, juga

efektif terhadap penanganan rasa nyeri pada endometriosis.

Pemberian suntikan progesterone depo seperti suntikan KB dapat

membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan. Efek

samping progestin adalah peningkatan berat badan, perdarahan

lecut, dan nausea. Pilihan lain dengan menggunakan alat

kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang mengandung progesteron,

levonorgestrel dengan efek timbulnya amenorea dapat

digunakan untuk pengobatan endometriosis. Strategi

pengobatan lain meliputi didrogestron (20-30 mg perhari baik

itu terus-menerus maupun pada hari ke 5-25) dan lynestrenol 10 mg

per hari.

4. Danazol. Danazol dapat menyebabkan level androgen berada dalam

jumlah yang tinggi dan estrogen dalam jumlah yang

rendah sehingga menekan berkembangnya endometriosis dan

timbul amenorea yang diproduksi untuk mencegah implant baru

pada uterus sampai ke rongga peritoneal. Cara praktis

penggunaan danazol adalah memulai perawatan dengan 400-800

mg per hari, dapat dimulai dengan memberikan 200 mg dua kali

sehari selama 6 bulan. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu untuk

mencapai amenorea dan menghilangkan gejala-gejala. Efek

samping yang paling umum adalah peningkatan berat badan, akne,

hirsutisme, vaginitas atrofik, kelelahan, pengecilan payudara,


gangguan emosi, peningkatan kadar LDL kolesterol, dan kolesterol

total.

5. Gestrinon. Gestrinon bekerja sentral dan perifer untuk

meningkatkan kadar testosterone dan mengurangi kadar Sex

Hormon Binding Globuline (SHGB), menurunkan nilai serum

estradiol ke tingkat folikular awal (antiestrogenik), mengurangi

kadar Luteinizing Hormone (LH), dan menghalangi lonjakan LH.

Amenorea sendiri terjadi pada 50-100% perempuan. Gestrinon

diberikan dengan dosis 2,5-10 mg, dua sampai tiga kali

seminggu, selama enam bulan. Efek sampingnya sama dengan

danazol tapi lebih jarang.

6. Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa). GnRHa akan

menciptakan keadaan yang hipogonadotropik hipogonadisme,

dimana ovarium tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid.

GnRHa dapat diberikan intramuskular, subkutan, intranasal.

Biasanya dalam bentuk depot satu bulan ataupun depot tiga bulan.

Efek samping antara lain vagina kering, kelelahan, sakit kepala,

pengurangan libido, depresi, atau penurunan densitas tulang.

Berbagai jenis GnRHa antara lain leuprolide, busereline, dan

gosereline. Untuk mengurangi efek samping dapat disertai

dengan terapi add back dengan estrogen dan progesteron

alamiah. GnRHa diberikan selama 6-12 bulan.

7. Aromatase Inhibitor. Fungsinya menghambat perubahan C19

androgen menjadi C18 estrogen. Aromatase P450 banyak

ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ reproduksi

seperti endometriosis, adenomiosis, dan mioma uteri.


Selain penatalaksanaan medis, dapat juga dilakukan

penatalaksanaan bedah. Pembedahan pada endometriosis adalah

untuk menangani efek endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri panggul,

sebfertilitas, dan kista. Pembedahan bertujuan menghilangkan gejala,

meningkatkan kesuburan, menghilangkan bintik-bintik dan kista

endometriosis, serta menahan laju kekambuhan. Penanganan bedah

yang dapat dilakukan antara lain:

1. Penanganan Pembedahan Konservatif. Tujuan dari pembedahan ini

adalah untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan

melepaskan perlengkatan serta memperbaiki kembali struktur

anatomi reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan

eksisi, ablasi kauter, ataupun laser. Sementara itu kista

endometriosis <3 cm di drainase dan di kauter dinding kista,

kista >3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan jaringan

ovarium yang sehat. Penanganan pembedahan dapat

dilakukan secara laparotomi ataupun laparoskopi.

Penanganan dengan laparoskopi menawarkan keuntungan lama

rawatan yang pendek, nyeri pasca operatif minimal, lebih

sedikit perlengkatan, visualisasi operatif yang lebih baik

terhadap bintik-bintik endometriosis. Penanganan konservatif

dapat menjadi pilihan pada perempuan yang masih muda,

menginginkan keturunan, memerlukan hormon reproduksi,

mengingat endometriosis ini merupakan suatu penyakit yang

lambat progresif, tidak cenderung ganas, dan akan regresi bila

menopause. Terapi obat-obatan dapat dilakukan untuk

mengurangi jumlah endometriosis sebelum operasi, dan untuk


memfasilitasi penyembuhan segera dan mencegah kekambuhan

setelah operasi.

2. Penanganan Pembedahan Radikal. Dilakukan dengan

histerektomi dan bilateral salfingo-ooforektomi. Ditujukan pada

perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun bedah

konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi.

Setelah pembedahan radikal diberikan terapi substitusi hormon.

3. Penanganan Pembedahan Simtomatis. Dilakukan untuk

menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy atau LUNA

(Laser Uterosacral Nerve Ablation).

J. Faktor Risiko

Berdasarkan beberapa sumber, dapat disimpulkan resiko tinggi

terjadinya endometriosis ditemukan pada:

1. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita

endometriosis.

2. Wanita usia produktif yaitu 15-44 tahun.

3. Wanita dengan siklus menstruasi kurang dari 28 hari atau siklus

menstruasi 28-34 hari.

4. Usia menarche yang lebih awal dari normal.

5. Lama waktu menstruasi kurang dari 6 hari atau lebih dari 6 hari.

6. Adanya orgasme ketika menstruasi.

7. Terpapar toksin dari lingkungan.

8. Defek Anatomi.

9. Mengkonsumsi alkohol.

10. Pernah mengkonsumi kontrasepsi oral.

Anda mungkin juga menyukai