Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN TEORI PADA PRE - EKLAMPSI

1.Pengertian

Pre eklampsi adalah penyakit dengan tanda - tanda hipertensi, edema dan protenuria yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ke-3, tetapi dapat terjadi
sebelumnya.

2.Penyebab

Penyebab dari pre - eklampsi ini belum diketahui sampai sekarang. Tetapi telah banyak
teori yang mencoba menerangkan sebab - sebab dari penyakit tersebut,

Diantaranya :

 Sebab bertambahnya frekuensi dari frimigravida, kehamilan ganda, hydramnion, mola


hidatidosa.
 Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan
 Sebab terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalanm uterus.
 Sebab timbulnya hipertensi, edema, dan proteinuria.
 Sebab jarangnya terjadi eklampsi pada kehamilan berikutnya.

Dari beberapa teori diatas tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.

Dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab pre eklampsi adalah iskemia plasenta,
tidak hanya satu factor yang dapat menyebabkan pre eklampsi, melainkan banyak factor yang
sering kali sukar ditentukan.

3.Klasifikasi

Pre eklampsi di golongkan dalam 2 golongan, yaitu :

 Pre eklampsi ringan.


 Pre eklampsi berat.

4.Tanda / Gejala

a.Pre eklampsia ringan:

 Tekanan darah sistolik > 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6
jam.
 Tekanan darah diastolik > 90 atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6
jam.
 Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.
 Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan.

b. Pre eklampsia berat:

 Tekanan darah 160/110 mmHg.


 Oliguria, urine kurang dari 400 cc/ 24 jam.
 Proteinuria lebih dari 3 gr/liter.
 Nyeri epigastrum dan muntah - muntah.
 Gangguan penglihatan.
 Nyeri kepala.
 Edema baru dan sianosis.
 Gangguan kesadaran.
 Kadar enzim hati meningkat disertai ikterus.
 Perdarahan pada retina.
 Tromnbosit kurang dari 100.000/ mm.

5. Patofisiologi Pre eklampsi

Vasospasme merupakan dasar patofisiologis untuk pre eklampsi. Konsep ini diajukan
pertama kali oleh Velhard 1918, dibuat berdasarkan pengamatan langsung terhadap
pembentukan darah kecil pada pangkal kuku, dan perubahan histologist pada berbagai organ.

Hinselman 1947 menemukan beberapa ukuran arteriol pada dasar kuku pada pre
eklampsi dengan bukti adanya spasme yang menghasilkan daerah - daerah konstriksi dan dilatasi
yang silih berganti.

Landesman dan kawan - kawan 1954, menjelaskan adanya penyempitan ukuran arteriol
nyata yang terjadinya hingga kapiler secara intermiten hilang. Bukti selanjutnya menunjukan
bahwa penyempitan vaskuler memegang peranan penting pada pre eklampsi, dibuktikan oleh
frekuensio ditemukannya spasme arteriol retina yang biasanya segmental. Penyempitan arteriol
menyebabkan dan menerangkan terjadinya hipertensi arteriol, kemungkinan vasopasme juga
membahayakan pembuluh darah sendiri karena peredaan darah dalam vasorum terganggu,
sehingga terjadi kerusakan vaskuler, mengimgat keutuhan endotel dapat terganggu oleh segmen
pembuluh darah yang melebar dan terenggang. Lebih lanjut angiotensin II tampaknya
mempengaruhi langsung sel endotel dengan membuatnya berkontraksi. Semua factor ini
menimbulkan kebocoran unsur - unsur pembuluh darah seperti trombosit dan fibrinogen yang
tertimbun pada Lapisan sub endotel. ( Brunner dan Gravas 1975).

Perubahan vaskuler yang disertai dengan hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya
diperkirakan menimbulkan perubahan nekrosis dan kelainan organ akhir lainnya yang sering
dijumpai pada pre eklampsia berat. pada skema ini menimbulkan fibrin kemungkinan terjadi
secara mencolok seperti pada kasus - kasus yang fatal.

6. Penanganan

a. Prinsip Penanganan pre eklampsi ringan :

 Istirahat cukup.
 Penanganan simtomatis.
 Berobat jalan.
 Pengawasan antenatal ( hamil ).
a.1 Penanganan PER pada kehamilan < 37 minggu
Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
 Pantau tekanan darah, urin ( Proteinuria ), reflex, dan kondisi janin.
 Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pre-eklamsia dan
eklamsia.
 Lebih banyak istirahat.
 Diet biasa ( tidak perlu dier rendah garam ).
 Tidak perlu obat-obatan.
 Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di RS :
o Diet biasa.
o Pantau tekanan darah 2 x sehari, dan urin (proteinuria) 1 x sehari.
o Tidak peril diberi obat-obatan.
o Tidak perlu diuretk, kecuali terdapat edema paru, dekompensasi cordis
atau gagal ginjal akut.
o Jika tekanan darah diastolic turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan : nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda pre-
eklamsia berat, control 2 x seminggu untuk memantau tekanan darah, urin,
keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda pre-eklamsia berat, jika
tekanan diastolic naik lagi, maka dirawat di RS lagi.
o Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan
dan observasi kesehatan janin.
o Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan
terminasi kehamilan, dan jika tidak, rawat sampai aterm.
o Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai pre-eklamsia berat.

a.2 Penanganan pada kehamilan > 37 minggu

 Jika serviks matang, pecahkan ketubah dan induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
 Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan prostaglandin atau kateter
Folley atau lakukan seksio sesaria.
b.Prinsip Penanganan pre eklampsi berat :

 Rawat di Rumah sakit.


 Pemberian sedative.
 Pengakhiran kehamilan.

Penanganan pre-eklamsia berat dan eklamsia sama, kecuali bahwa persalinan harus dalam 12
jam setelah timbulnya kejang pada eklamsia. Semua kasus pre-eklamsia berat harus ditangani
secara aktif. Penanganan koservativ tidak dianjurkan karena gejala dan tanda eklamsia seperti
hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering tidak sahih.

b.1 Penanganan kejang

 Beri obat antikonvulsan


 Perlengkapan untuk penanganan kejang
 Beri oksigen 4 – 6 liter permenit
 Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat terlalu keras
 Bringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi risiko aspirasi
 Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu

b.2 Penanganan umum

 Jika tekanan tekanan diastolik tetap > 110 mmHg, berikan obat antihipertensi, samapai
tekanan diastolik dianatara 90-100 mmHg.
 Pasang infuse dengan jarum besar ( 16 gauge atau lebih besar )
 Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi over load cairan.
 Kateterisasi urin untuk mementau pengeluaran urin dan proteinuria
 Jika jumlah urin < 30 ml per jam : hentikan magnesium sulfat ( MgSO4 ) dan berikan
cairan I.V ( NaCl 0,9% atau RL ) pada kecepatan 1 liter per 8 jam, dan pantau
kemungkinan edema paru .
 Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan
kematian ibu dan janin.
 Observasi tanda-tanda vital, reflex, dan denyut jantung janin setiap jam.
 Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.
 Hentikan pemberian cairan I.V dan berikan diuretic misalnya furosemid 40mg I.V sekali
saja jika ada edema paru.
 Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana ( bedside clotting test ) . Jika
pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.

b.3 Antikonvulsan
Magnesium sulfat ( MgSO4 ) merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi
kejang pada pre- eklamsia berat dan eklamsia.

Cara pemberian MgSO4 :

 Dosis Awal
o MgSO4 4 g I.V sebagai larutan 40% selama 5 menit.
o Segera lanjutkan dengan pemberian 10 g larutan MgSO4 50%, masing-masing 5 g
di bokong kanan dan kiri secara I.M dalam, ditambah 1 ml lignokain 2% pada
semprit yang sama. Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4.
o Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2 g ( larutan 40% ) I.V
selama 5 menit.
 Dosis pemilaharaan
o MgSO4 1-2 g per jam per infuse, 15 tetes/menit atau 5 g MgSO4 I,M tiap 4 jam.
o Lakukan pemberian MgSO4 sampai pasca persalinan atau kejang berakhir.
 Sebelum pemberian MgSO4, periksa :
o Frekuensi pernapasan minimal 16 x / menit.
o Reflek patella +
o Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.
 Berhentikan pemberian MgSO4, jika :
o Frekuensi pernapasan < 16 x / menit.
o Reflek patella –
o Urin < 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.
 Siapkan antidotum :
o Jika terjadi henti napas : lakukan ventilasi ( masker dan balon, ventilator ) berikan
kalsium glukonat 1 g ( 20 ml dalam larutan 10% ) I.V perlahan-lahan samapai
pernapasan mulai lagi.

Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan risiko terjadinya depresi
pernapasan neonatal. Dosis tunggal diazepam jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal.
Pemberian terus menerus secara intravena meningkatkan risiko depresi peningkatan pada bayi
yang sudah mengalami iskemia uteroplasental dan persalinan premature. Pengaruh diazepam
dapat berlangsung beberapa hari.

Catatan : Diazepam hanya dipakai jika MgSO4 tidak tersedia.

Pemberian intravena

 Dosis awal
-diazepam 10 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit.
-Jika kejang berulang, ulangi dosis awal.
 Dosis pemeliharaan
- Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan ringer laktat per infuse.
- Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg/jam.
- Jangan berikan > 100 mg/24 jam.

Pemberian melelui rectum

 Jika pemberian I.V. tidak mungkin, diazepam dapat diberikan per rectal, dengan dosis
awal 20 mg dalam semprit 10 ml tanpa jarum.
 Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan 10 mg/jam atau lebih,
bergantung pada berat badan pasien dan respons klinik.

b.4 Antihipertensi

Jika tekanan diastolik 110mmHg atau lebih, berikan obat antihipertensi. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan tekanan diastolic di antara 90-100 mmHg dan mencegah pendarahan serebral.
Obat pilihan adalah hidralazin.

 Berikan hidralazin 5 mg I.V. pelan-pelan 5 menit sampai tekanan darah turun.Ulang


setiap jam jika perlu atau berikan hidralizin 12.5 mg I.M. setiap 2 jam.
 Jika hidralazin tidak tersedia, berikan :
- Labetolol 10 mg I.V.:
 Jika respons tidak baik (tekanan diastolic tetap>110 mmHg), berikan labetolol 20
mg I.V.:
 Naikkan dosis sampai 40 mg dan 80 mg jika respons tidak baik sesudah 10 menit.
- ATAU berikan nifedipin 5 mg sublingual. Jika tidak baik setelah 10 menit, beri
tambahan 5 mg sublingual.
- Metildopa 3 x 259 – 500 mg/hari.

b.5 Persalinan

Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil. Penundaan persalinan
meningkatkan risiko ibu dan janin.

 Perisa serviks
 Jika serviks matang,lakukan, pemecahanketuban, lalu induksi persalinan dengan oksitasin
atau prostaglandin.
 Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam ( pada eklampsia) atau
dalam 24 jam (pada preeclampsia), lakukan seksio seksarea.
 Jika denyut jantung janin < 100/menit atau > 180/menit lakukan seksio sesarea.
 Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio sesarea.
 jJika anestesia untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau jika janin mati atau terlalu kecil :
- Usahakan lahir pervaginam;
- - matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin, atau kateter foley.

Catatan : Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa :

 Tidak terdapat koagulopati.


 Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum, sedang anestesia spinal
berhubungan dengan risiko hipotensi. Risiko ini dapat dikurangi dengan memberikan
500 – 1000 ml cairan I.V. sebelum anestesia.
 Jika anestesia umum tidak tersedia, janin mati, atau kemungkinan hidup kecil,
lakukan persalinan pervaginam.

b.6 Perawatan pascapersalinan

 Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir.
 Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolic masih 110 mmHg atau lebih.
 Pantau urin.

b.7 Rujukan

 Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap,jika :


- Terdapat oliguria (urin kurang dari 400 ml per 24 jam) selama 48 jam setelah
persalinan.
- Terdapat koagulopati, atau sindrom HELLP ;
- Koma berlanjut lebih dari 24 jam sesudah kejang.

KOMPLIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

 Jika pertumbuhan janin terhambat, lakukan terminasi kehamilan.


 Jika terjadi penurunan kesadaran atau koma, kemungkinan terjadi pendarahan
serebral:
- Turunkan tekanan darah pelan-pelan;
- Berikan terapi suportif.
 Jika terjadi gagal jantung, ginjal, atau hati, berikan terapi suportif.
 Jika uji beku darah menunjukan gangguan tekanan darah, kemungkinan terdapat
koagulopati.
 Jika pasien mendapat infuse dan pasang kateter, perhatikanupaya pencegahan infeksi.
 Jika pasien mendapat cairan per infus, perlu dipantau jumlah cairan masuk dan keluar
agar tidak terjadi overload cairan.

HIPERTENSI KRONIK

 Anjurkan istirahat lebih banyak.


 [Pada hipertensi kronik, penurunan tekanan darah ibu akan mengganggu perfusi serta
tidak ada bukti-bukti bahwa tekanan darah yang normal akan memperbaiki keadaan
janin dan ibu.
- Jika pasien belum hamil sudah mendapat antihipertensi, dan terkontrol dengan
baik, lanjutkan pengobatan tersebut;
- Jika tekanan diastolic 110 mmHg atau lebi, atau tekanan siatolik 160 mmHg
atau lebih berikan antihipertensi.
- Jika terdapat proteinuria atau tanda-tanda dan gejala lain, pikirkan
superimposed preeclampsia, dan tangani seperti preeclampsia.
 Pantau pertumbuhan dan kondisi janin.
 Jika tidak ada komplikasi, tunggu sampai aterm.
 Jika denyut jantung janin < 100/menit atau > 180/menit, tangani seperti gawat janin.
 Jika terdapat pertumbuhan janin terhambat, nilai serviks dan pertimbangkan terminasi
kehamilan:
- Jika serviks matang, lakukan amniotomi dan induksi persalinan dengan
oksitosin atauprostaglandin.
- Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan prostaglandin atau
kateter foley.

KEJANG

 Jika terjadi kejang, berikan diazepam 10 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit.


 Jika didiagnisis sebagai kelampsia, cegah kejang selanjutnyadengan MgSO4.
 Jika eklapsia dapat disingkirkan, berikan fenitoin.

FENITOIN

Dosis awal

 Infus Fenitoin 1 g (18 mg/kgBB) dalam 50-100 ml NaCl selama 30 menit. Jangan
masukkan fenitoin dalam cairan lain (bukan NaCl) karena akan terjadi kristalisasi.\
- Bilang dengan NaCl sebelum dan sesudah infus fenitoin.
- Jangan berikan infus fenitoin melebihi 50 mg per menit, karena dapat terjadi denyut
jantung irregular, hipotensi, dan depresi pernapasan.

Dosis Pemeliharaan

 Beri fenitoin 100 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit atau peroral setiap 8 jam dimulai
12 jam sesudah dosis awal.

Keseimbangan cairan
 Ukur cairan yang masuk dan keluar.
 Jika terdapat edema paru:
- Berikan oksigen 4 liter per menit dengan masker atau januka nasal.
- Berikan furosemid 40 mg i.v. dosis tunggal
 Jika produksi urin kurang (<30 ml/jam)
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Neonatus (AKN), Angka Kematian Bayi
(AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan beberapa indicator status kesehatan
masyarakat. Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan Negara
ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI 228
per 100.000 kelahiran hidup, AKB per 1.000 kelahiran hidup, AKN 19 per 1000 kelahiran hidup,
AKABA 44 per 1.000 kelahirah hidup.
Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Development Goals/MDGs, 2000) pada tahun
2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tiga-seperempatnya dalam kurun waktu
1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita menurun sebesar dua-pertiga
dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu Indonesia mempunyai komitmen untuk
menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 KH, Angka Kematian Bayi dari 68
menjadi 23/1.000 KH, dan Angka Kematian Bayi 97 menjadi 23/1000 KH pada tahun 2015.
Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah
persalinan (SKRT, 2001). Penyebab langsung kematian Ibu adalah perdarahan (28%), eklampsia
(24%) dan infeksi (11%). Penyabab tidak langsung kematian Ibu antara lain Kurang Energi
Krinis/KEK pada kehamilan 27% dan anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia pada ibu
hamilini akan meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu bandingkan dengan ibu yang tidak
anemia. Sedangkan berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung kematian ibu
adalah perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (8%) dan lain-lain (33%).

Anda mungkin juga menyukai