1.Pengertian
Pre eklampsi adalah penyakit dengan tanda - tanda hipertensi, edema dan protenuria yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ke-3, tetapi dapat terjadi
sebelumnya.
2.Penyebab
Penyebab dari pre - eklampsi ini belum diketahui sampai sekarang. Tetapi telah banyak
teori yang mencoba menerangkan sebab - sebab dari penyakit tersebut,
Diantaranya :
Dari beberapa teori diatas tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab pre eklampsi adalah iskemia plasenta,
tidak hanya satu factor yang dapat menyebabkan pre eklampsi, melainkan banyak factor yang
sering kali sukar ditentukan.
3.Klasifikasi
4.Tanda / Gejala
Tekanan darah sistolik > 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6
jam.
Tekanan darah diastolik > 90 atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6
jam.
Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.
Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan.
Vasospasme merupakan dasar patofisiologis untuk pre eklampsi. Konsep ini diajukan
pertama kali oleh Velhard 1918, dibuat berdasarkan pengamatan langsung terhadap
pembentukan darah kecil pada pangkal kuku, dan perubahan histologist pada berbagai organ.
Hinselman 1947 menemukan beberapa ukuran arteriol pada dasar kuku pada pre
eklampsi dengan bukti adanya spasme yang menghasilkan daerah - daerah konstriksi dan dilatasi
yang silih berganti.
Landesman dan kawan - kawan 1954, menjelaskan adanya penyempitan ukuran arteriol
nyata yang terjadinya hingga kapiler secara intermiten hilang. Bukti selanjutnya menunjukan
bahwa penyempitan vaskuler memegang peranan penting pada pre eklampsi, dibuktikan oleh
frekuensio ditemukannya spasme arteriol retina yang biasanya segmental. Penyempitan arteriol
menyebabkan dan menerangkan terjadinya hipertensi arteriol, kemungkinan vasopasme juga
membahayakan pembuluh darah sendiri karena peredaan darah dalam vasorum terganggu,
sehingga terjadi kerusakan vaskuler, mengimgat keutuhan endotel dapat terganggu oleh segmen
pembuluh darah yang melebar dan terenggang. Lebih lanjut angiotensin II tampaknya
mempengaruhi langsung sel endotel dengan membuatnya berkontraksi. Semua factor ini
menimbulkan kebocoran unsur - unsur pembuluh darah seperti trombosit dan fibrinogen yang
tertimbun pada Lapisan sub endotel. ( Brunner dan Gravas 1975).
Perubahan vaskuler yang disertai dengan hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya
diperkirakan menimbulkan perubahan nekrosis dan kelainan organ akhir lainnya yang sering
dijumpai pada pre eklampsia berat. pada skema ini menimbulkan fibrin kemungkinan terjadi
secara mencolok seperti pada kasus - kasus yang fatal.
6. Penanganan
Istirahat cukup.
Penanganan simtomatis.
Berobat jalan.
Pengawasan antenatal ( hamil ).
a.1 Penanganan PER pada kehamilan < 37 minggu
Jika belum ada perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
Pantau tekanan darah, urin ( Proteinuria ), reflex, dan kondisi janin.
Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pre-eklamsia dan
eklamsia.
Lebih banyak istirahat.
Diet biasa ( tidak perlu dier rendah garam ).
Tidak perlu obat-obatan.
Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di RS :
o Diet biasa.
o Pantau tekanan darah 2 x sehari, dan urin (proteinuria) 1 x sehari.
o Tidak peril diberi obat-obatan.
o Tidak perlu diuretk, kecuali terdapat edema paru, dekompensasi cordis
atau gagal ginjal akut.
o Jika tekanan darah diastolic turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan : nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda pre-
eklamsia berat, control 2 x seminggu untuk memantau tekanan darah, urin,
keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda pre-eklamsia berat, jika
tekanan diastolic naik lagi, maka dirawat di RS lagi.
o Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan
dan observasi kesehatan janin.
o Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan
terminasi kehamilan, dan jika tidak, rawat sampai aterm.
o Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai pre-eklamsia berat.
Jika serviks matang, pecahkan ketubah dan induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan prostaglandin atau kateter
Folley atau lakukan seksio sesaria.
b.Prinsip Penanganan pre eklampsi berat :
Penanganan pre-eklamsia berat dan eklamsia sama, kecuali bahwa persalinan harus dalam 12
jam setelah timbulnya kejang pada eklamsia. Semua kasus pre-eklamsia berat harus ditangani
secara aktif. Penanganan koservativ tidak dianjurkan karena gejala dan tanda eklamsia seperti
hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering tidak sahih.
Jika tekanan tekanan diastolik tetap > 110 mmHg, berikan obat antihipertensi, samapai
tekanan diastolik dianatara 90-100 mmHg.
Pasang infuse dengan jarum besar ( 16 gauge atau lebih besar )
Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi over load cairan.
Kateterisasi urin untuk mementau pengeluaran urin dan proteinuria
Jika jumlah urin < 30 ml per jam : hentikan magnesium sulfat ( MgSO4 ) dan berikan
cairan I.V ( NaCl 0,9% atau RL ) pada kecepatan 1 liter per 8 jam, dan pantau
kemungkinan edema paru .
Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan
kematian ibu dan janin.
Observasi tanda-tanda vital, reflex, dan denyut jantung janin setiap jam.
Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.
Hentikan pemberian cairan I.V dan berikan diuretic misalnya furosemid 40mg I.V sekali
saja jika ada edema paru.
Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan sederhana ( bedside clotting test ) . Jika
pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
b.3 Antikonvulsan
Magnesium sulfat ( MgSO4 ) merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi
kejang pada pre- eklamsia berat dan eklamsia.
Dosis Awal
o MgSO4 4 g I.V sebagai larutan 40% selama 5 menit.
o Segera lanjutkan dengan pemberian 10 g larutan MgSO4 50%, masing-masing 5 g
di bokong kanan dan kiri secara I.M dalam, ditambah 1 ml lignokain 2% pada
semprit yang sama. Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4.
o Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2 g ( larutan 40% ) I.V
selama 5 menit.
Dosis pemilaharaan
o MgSO4 1-2 g per jam per infuse, 15 tetes/menit atau 5 g MgSO4 I,M tiap 4 jam.
o Lakukan pemberian MgSO4 sampai pasca persalinan atau kejang berakhir.
Sebelum pemberian MgSO4, periksa :
o Frekuensi pernapasan minimal 16 x / menit.
o Reflek patella +
o Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.
Berhentikan pemberian MgSO4, jika :
o Frekuensi pernapasan < 16 x / menit.
o Reflek patella –
o Urin < 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.
Siapkan antidotum :
o Jika terjadi henti napas : lakukan ventilasi ( masker dan balon, ventilator ) berikan
kalsium glukonat 1 g ( 20 ml dalam larutan 10% ) I.V perlahan-lahan samapai
pernapasan mulai lagi.
Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan risiko terjadinya depresi
pernapasan neonatal. Dosis tunggal diazepam jarang menimbulkan depresi pernapasan neonatal.
Pemberian terus menerus secara intravena meningkatkan risiko depresi peningkatan pada bayi
yang sudah mengalami iskemia uteroplasental dan persalinan premature. Pengaruh diazepam
dapat berlangsung beberapa hari.
Pemberian intravena
Dosis awal
-diazepam 10 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit.
-Jika kejang berulang, ulangi dosis awal.
Dosis pemeliharaan
- Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan ringer laktat per infuse.
- Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg/jam.
- Jangan berikan > 100 mg/24 jam.
Jika pemberian I.V. tidak mungkin, diazepam dapat diberikan per rectal, dengan dosis
awal 20 mg dalam semprit 10 ml tanpa jarum.
Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan 10 mg/jam atau lebih,
bergantung pada berat badan pasien dan respons klinik.
b.4 Antihipertensi
Jika tekanan diastolik 110mmHg atau lebih, berikan obat antihipertensi. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan tekanan diastolic di antara 90-100 mmHg dan mencegah pendarahan serebral.
Obat pilihan adalah hidralazin.
b.5 Persalinan
Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil. Penundaan persalinan
meningkatkan risiko ibu dan janin.
Perisa serviks
Jika serviks matang,lakukan, pemecahanketuban, lalu induksi persalinan dengan oksitasin
atau prostaglandin.
Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam ( pada eklampsia) atau
dalam 24 jam (pada preeclampsia), lakukan seksio seksarea.
Jika denyut jantung janin < 100/menit atau > 180/menit lakukan seksio sesarea.
Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio sesarea.
jJika anestesia untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau jika janin mati atau terlalu kecil :
- Usahakan lahir pervaginam;
- - matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin, atau kateter foley.
Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir.
Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolic masih 110 mmHg atau lebih.
Pantau urin.
b.7 Rujukan
HIPERTENSI KRONIK
KEJANG
FENITOIN
Dosis awal
Infus Fenitoin 1 g (18 mg/kgBB) dalam 50-100 ml NaCl selama 30 menit. Jangan
masukkan fenitoin dalam cairan lain (bukan NaCl) karena akan terjadi kristalisasi.\
- Bilang dengan NaCl sebelum dan sesudah infus fenitoin.
- Jangan berikan infus fenitoin melebihi 50 mg per menit, karena dapat terjadi denyut
jantung irregular, hipotensi, dan depresi pernapasan.
Dosis Pemeliharaan
Beri fenitoin 100 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit atau peroral setiap 8 jam dimulai
12 jam sesudah dosis awal.
Keseimbangan cairan
Ukur cairan yang masuk dan keluar.
Jika terdapat edema paru:
- Berikan oksigen 4 liter per menit dengan masker atau januka nasal.
- Berikan furosemid 40 mg i.v. dosis tunggal
Jika produksi urin kurang (<30 ml/jam)
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Neonatus (AKN), Angka Kematian Bayi
(AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan beberapa indicator status kesehatan
masyarakat. Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan Negara
ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI 228
per 100.000 kelahiran hidup, AKB per 1.000 kelahiran hidup, AKN 19 per 1000 kelahiran hidup,
AKABA 44 per 1.000 kelahirah hidup.
Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Development Goals/MDGs, 2000) pada tahun
2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tiga-seperempatnya dalam kurun waktu
1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita menurun sebesar dua-pertiga
dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu Indonesia mempunyai komitmen untuk
menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 KH, Angka Kematian Bayi dari 68
menjadi 23/1.000 KH, dan Angka Kematian Bayi 97 menjadi 23/1000 KH pada tahun 2015.
Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah
persalinan (SKRT, 2001). Penyebab langsung kematian Ibu adalah perdarahan (28%), eklampsia
(24%) dan infeksi (11%). Penyabab tidak langsung kematian Ibu antara lain Kurang Energi
Krinis/KEK pada kehamilan 27% dan anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia pada ibu
hamilini akan meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu bandingkan dengan ibu yang tidak
anemia. Sedangkan berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung kematian ibu
adalah perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (8%) dan lain-lain (33%).