Anda di halaman 1dari 61

Kode/Rumpun Ilmu : 421/Teknik Sipil

LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN PEMULA

STUDI IMPLIKASI PENERAPAN SNI GEMPA 1726:2012


TERHADAP KINERJA STRUKTUR GEDUNG
DI KABUPATEN PIDIE JAYA

Tahun ke -1 dari rencana 1 tahun

TIM PENGUSUL :
Suhaimi, ST., MT (NIDN: 0113018502)
R. Dedi Iman Kurnia, ST., MT (NIDN: 0130097902)

UNIVERSITAS ALMUSLIM
NOVEMBER 2018

0
1
RINGKASAN

Pada tanggal 7 Desember 2016 telah terjadi gempa bumi di kabupaten Pidie Jaya yang
menimbulkan banyak korban jiwa akibat keruntuhan bangunan. Umumnya bangunan tersebut
telah dibangun sebelum dikeluarkannya SNI gempa 1726:2012. Hal ini menjadi latar
belakang dilakukannya penilitian untuk melihat respons struktur dan kinerja bangunan yang
sebelumnya telah didesain menggunakan SNI 2002 terhadap desain yang menggunakan SNI
2012 di kabupaten Pidie Jaya. Peta zonasi gempa tahun 2010 yang dituangkan dalam
peraturan baru beban gempa untuk gedung (SNI 1726:2012) harus digunakan sebagai dasar
untuk perencanaan beban gempa untuk gedung di Indonesia sebagai pengganti peraturan
gempa tahun 2002 (SNI 03-1726-2002). Penerapan peta zonasi dan peraturan gempa yang
baru berdampak pada kinerja struktur gedung yang telah direncanakan dengan menggunakan
peraturan gempa tahun 2002. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Implikasi penerapan
SNI 1726:2012 terhadap kinerja struktur gedung yang telah dibangun sebelumnya dengan
menggunakan peraturan gempa tahun 2002 di kabupaten Pidie Jaya. Metode penelitian adalah
simulasi yang dilakukan dengan software ETABS v.9.6.0. Gedung yang ditinjau adalah
gedung pendidikan 3 lantai pada kondisi tanah lunak, sedang dan keras yang terletak di 3 kota
di wilayah kabupaten Pidie Jaya. Dari hasil penilitian didapatkan peningkatan gaya geser
dasar dan simpangan lantai (total drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 pada
tanah keras dan tanah sedang lebih besar dibandingkan peningkatan yang terjadi pada gedung
yang terletak pada tanah lunak. Gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki
perbedaan simpangan lantai yang lebih besar pada kondisi tanah sedang dan keras untuk
berbagai lokasi, sedangkan pada kondisi tanah lunak simpangan lantai yang terjadi relatif
sama untuk berbagai lokasi. Gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki nilai
story drift yang lebih kecil dibandingkan gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
kecuali gedung GTKLP. Peningkatan gaya – gaya dalam menyebabkan kebutuhan tulangan
juga semakin besar. Peningkatan tulangan yang paling besar terjadi pada gedung yang
terletak di kota Lueng Putu dan yang paling kecil pada gedung yang terletak di kota Ulee
Gle. Pengaruh yang paling besar penerapan SNI 1726:2012 untuk kabupaten Pidie Jaya
terjadi untuk gedung yang terletak pada kondisi tanah keras. Kinerja struktur gedung yang
ditinjau pada penelitian ini berada pada level IO dan DC untuk tanah lunak dan tanah sedang,
sedangkan pada lokasi tanah keras gedung yang ditinjau memiliki kinerja IO untuk semua
lokasi.

Kata kunci : Implikasi, Peta Zonasi Gempa, SNI 03-1726-2002, SNI 1726:2012

2
PRAKATA

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
melimpahkan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Laporan Akhir Penelitian
Dosen Pemula (PDP) yang berjudul “Studi Implikasi Penerapan SNI Gempa 1726:2012
Terhadap Kinerja Struktur Gedung di Kabupaten Pidie Jaya”.
Penelitian dan penyusunan laporan akhir ini telah terlaksana dengan bantuan dari
berbagai pihak, rekan dosen sejawat, laboran dan mahasiswa. Oleh karena itu peneliti
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Peneliti juga
mengucapkan terima kasih kepada LLDIKTI wilayah XIII dan Kemenristekdikti yang telah
memfasilitasi penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan lancar.
Peneliti menyadari bahwa laporan akhir ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan,
besar harapan kami semua pihak yang membaca dapat memberikan saran dan masukan
supaya penelitian dan penulisan laporan yang akan dilakukan dimasa mendatang dapat lebih
sempurna.
Semoga penelitian dan laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca
maupun pihak – pihak yang membutuhkannya.

Pidie Jaya, 11 November 2018

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................ 1


RINGKASAN ................................................................................................................... 2
PRAKATA ................................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 4
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 6
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 6
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 8


2.1 Konsep Gedung Tahan Gempa .................................................................. 8
2.2 Gempa Rencana ......................................................................................... 8
2.3 Peta Zonasi Gempa ..................................................................................... 8
2.4 Perbandingan Spektra Desain SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012 ..... 9
2.5 Analisis Ragam Spektrum Respons ........................................................... 9
2.6 Respons Spektra ......................................................................................... 10
2.7 Simpangan Antar Lantai............................................................................. 10
2.8 Perencanaan Gempa Berbasis Kinerja ..................................................... 12
2.9 Analisa Pushover ...................................................................................... 14
2.10 Properti Sendi ........................................................................................... 14
2.11 Kurva Beban Dorong Statik ....................................................................... 15
2.12 Performance Point ..................................................................................... 17
2.13 Target Perpindahan..................................................................................... 18
2.14 Pola Beban Dorong .................................................................................... 18
2.15 Metode Spektrum Kapasitas....................................................................... 19
2.16 Tahapan Analisa Pushover ......................................................................... 20
2.17 Daktilitas .................................................................................................... 20

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................................................... 23


3.1 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 23
3.2 Manfaat Penelitian....................................................................................... 23

4
BAB IV. METODE PENELITIAN .................................................................................. 24
4.1 Data Struktur Bangunan ............................................................................. 24
4.2 Mutu Bahan dan Dimensi Elemen Struktur ............................................... 25
4.3 Sistem Struktur dan Pemodelan ................................................................. 26
4.4 Tahapan Penelitian ..................................................................................... 26

BAB V. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ........................................................ 28


5.1 Hasil Uji Hammer Test............................................................................... 28
5.2 Analisa Struktur .......................................................................................... 31
5.3 Simpangan Antar Lantai (Story drift)......................................................... 32
5.4 Momen Lentur dan Kebutuhan Tulangan Pada Balok ............................... 41
5.5 Kurva Kapasitas ......................................................................................... 44
5.6 Evaluasi Kinerja Struktur Berdasarkan Metode Spektrum Kapasitas ........ 52

BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ......................................................... 45


BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 57


LAMPIRAN

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gempa Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan gempa yang
terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 2016 juga telah terjadi
gempa bumi di kabupaten Pidie Jaya yang menimbulkan banyak korban jiwa akibat
keruntuhan bangunan. Hal ini menjadi latar belakang dilakukannya penilitian untuk melihat
respons struktur dan kinerja bangunan yang sebelumnya telah didesain menggunakan SNI
2002 terhadap desain yang menggunakan SNI 2012 di kabupaten Pidie Jaya. Ada perbedaan
yang signifikan pada beberapa koefisien gempa pada SNI 1726:2012 sebagai pengganti SNI
03-1726-2002, diantaranya peta zonasi gempa pada SNI 03-1726-2002 dibagi kepada 6
wilayah gempa, sedangkan pada SNI 1726:2012 peta zonasi gempa dibagi berdasarkan
parameter percepatan gempa Ss (percepatan batuan dasar pada periode pendek) dan S1
(percepatan batuan dasar pada periode 1 detik). Fasilitas pendidikan mendapatkan prioritas
yang lebih tinggi pada SNI 1726:2012 sebagai gedung yang tahan terhadap gempa, hal ini
dapat dilihat dari faktor keutamaan gempa yang bernilai 1,5 sedangkan pada SNI 03-1726-
2002 faktor keutamaan gempa untuk gedung pendidikan bernilai 1.
Dengan diterapkannya SNI 1726:2012 sebagai pedoman untuk perencanaan gedung
yang tahan gempa, maka akan terjadi perbedaan desain struktur gedung. Berdasarkan SNI 03-
1726-2002 kabupaten Pidie Jaya berada pada zona dengan risiko gempa sedang yaitu zona 4,
sedangkan berdasarkan SNI 1726:2012 kabupaten Pidie Jaya berada pada zona dengan risiko
gempa tinggi yaitu dengan kategori desain seismik D (KDS D). Oleh karena itu penelitian ini
perlu dilakukan untuk melihat perbedaan kinerja struktur gedung yang terletak di kabupaten
Pidie Jaya sebagai dampak penerapan SNI 1726:2012.
Studi yang dilakukan pada penelitian ini adalah simulasi gedung pendidikan yang
terletak di wilayah Kabupaten Pidie Jaya yaitu Kota Ulee Gle, Kota Trienggadeng dan Kota
Lueng Putu. Gedung yang direncanakan terdiri dari 3 lantai yang terletak pada tanah lunak,
sedang dan keras. Analisis struktur dilakukan dengan bantuan software ETABS v 9.6.0.
Analisa pushover digunakan untuk mengkaji level kinerja struktur gedung.

6
1.2 Rumusan Masalah
Setelah diberlakukannya SNI 1726:2012 sebagai pengganti SNI 03-1726-2002 untuk
pedoman dalam perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan gedung, terjadi perbedaan
penentuan parameter dan koefisien dalam pembebanan gempa maupun penetapan wilayah
gempa. Hal ini tentu berdampak pada perubahan kinerja gedung akibat beban gempa. Adapun
rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Berapa besar perbedaan gaya geser dasar (base shear), drift ratio, momen lentur pada
balok, jumlah tulangan dan simpangan maksimum atap yang terjadi apabila diberikan
beban gempa yang menggunakan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012?
2. Bagaimana pengaruh beban gempa berdasarkan SNI 1726:2012 terhadap level kinerja
struktur gedung yang terletak di kabupaten Pidie Jaya ?

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gedung Tahan Gempa


Menurut Budiono (2011), struktur bangunan tahan gempa harus memiliki kekuatan,
kekakuan dan stabilitas yang cukup untuk mencegah terjadinya keruntuhan bangunan.
Filosofi dan konsep dasar perencanaan bangunan tahan gempa adalah :
1. Pada saat terjadi gempa ringan, struktur bangunan dan fungsi bangunan harus dapat tetap
berjalan (serviceable) sehingga struktur harus kuat dan tidak ada kerusakan baik pada
elemen struktural dan elemen nonstruktural bangunan.
2. Pada saat terjadi gempa moderat atau medium, struktur diperbolehkan mengalami
kerusakan pada elemen nonstruktural, tetapi tidak diperbolehkan terjadi kerusakan pada
elemen struktural.
3. Pada saat terjadi gempa besar, diperbolehkan terjadi kerusakan pada elemen struktural
dan nonstruktural, namun tidak boleh sampai menyebabkan bangunan runtuh sehingga
tidak ada korban jiwa atau dapat meminimalkan jumlah korban jiwa.

2.2 Gempa Rencana


Menurut Budiono (2011), akibat pengaruh gempa rencana, struktur gedung secara
keseluruhan masih harus berdiri walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang
keruntuhan. Berikut perbedaan gempa rencana antara SNI 03-1726-2002 dan SNI
1726:2012.
a. Berdasarkan SNI 03-1726-2002, zonasi peta gempa menggunakan peta gempa untuk
probabilitas 10% terlampaui dalam 50 tahun atau memiliki periode ulang 500 tahun.
b. Berdasarkan SNI 1726:2012, zonasi peta gempa menggunakan peta gempa untuk
probabilitas 2% terlampaui dalam 50 tahun atau memiliki periode ulang 2500 tahun.

2.3 Peta Zonasi Gempa


Berdasarkan SNI 03-1726-2002 peta zonasi gempa Indonesia terdiri dari 6 wilayah,
dimana wilayah 1 merupakan wilayah dengan kegempaan paling rendah dan wilayah 6
merupakan wilayah kegempaan paling tinggi.
Berdasarkan SNI 1726:2012 peta zonasi gempa ditetapkan berdasarkan parameter Ss
(percepatan batuan dasar pada periode pendek 0,2 detik) dan S1 (percepatan batuan dasar
pada periode 1 detik).

8
2.4 Perbandingan Spektra Desain SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012
Menurut Arfiadi dan Iman (2013), dengan diberlakukannya SNI Gempa 2012 maka
semua gedung saat ini harus direncanakan dengan peraturan yang baru, dan bangunan yang
sudah ada harus dievaluasi keamanannya terhadap peraturan yang baru ini. Beberapa skema
penanganan terhadap bangunan yang sudah ada sebagai akibat adanya peraturan yang baru ini
juga tentunya harus dibuat untuk mengetahui dan meningkatkan keamanannya.
Perubahan respons spektra SNI 1726:2012 bergantung pada pergerakan wilayah
kegempaan dari tahun 2002 ke 2012 pada daerah tersebut. Sehingga pergerakan tanah ini,
menjadi faktor perubahan nilai respons spektra pada SNI yang baru. Pembagian wilayah
gempa berdasarkan SNI 03-1726-2002 tidak menjadi patokan untuk perubahan respons
spektra SNI 1726:2012. Tidak selalu wilayah kegempaan dengan gempa tinggi pada SNI
1726:2012 mengalami kenaikan pada respons spektranya. Begitu juga pada wilayah
kegempaan dengan gempa yang rendah.
Kekurangan dari SNI 03-1726-2002 yaitu pada pembagian wilayah kegempaannya. Di
dalam zona gempa SNI 2002 menganggap semua daerah di setiap kota memiliki respons
spektra yang sama. Tetapi pada kenyataannya setiap daerah atau dalam lingkup yang kecil
misalnya setiap kecamatan pada suatu kabupaten tidak memiliki respons spektra yang sama.
Kekurangan ini menjadi kelebihan dari SNI 1726:2012 sebagai standar kegempaan yang telah
diperbaharui. Kelebihan dari SNI 1726:2012 adalah setiap tempat atau setiap lokasi dengan
koordinat lintang dan bujurnya memiliki respons spektra yang berbeda. Karena wilayah
gempa ditentukan berdasarkan parameter gerak tanah Ss (percepatan batuan dasar pada
periode pendek 0,2 detik) dan S1 (percepatan batuan dasar pada periode 1 detik). Sehingga
respon spektra yang terbentuk berbeda pada setiap tempat.

2.5 Analisis Ragam Spektrum Respons


Menurut Budiono (2011), metode analisis ragam spektrum respons mendefinisikan
bahwa simpangan struktur yang terjadi merupakan penjumlahan dari simpangan masing –
masing ragam getarnya.
Berdasarkan SNI 1726:2012 pasal 7.9.4.1 nilai akhir respons dinamik struktur
gedung terhadap pembebanan gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana dalam suatu
arah tertentu, tidak boleh diambil kurang dari 85% nilai respons ragam yang pertama. Bila
respons dinamik struktur gedung dinyatakan dalam gaya geser dasar V t, maka persyaratan
tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan Vt ≥ 0.85V1, dimana V1 adalah gaya geser
dasar nominal sebagai respons ragam yang pertama atau yang didapat dari prosedur gaya
9
lateral ekivalen terhadap pengaruh gempa rencana. Oleh karena itu gaya geser tingkat
nominal akibat pengaruh gempa rencana sepanjang tinggi struktur hasil analisis spectrum
respons ragam dalam suatu arah tertentu harus dikalikan nilainya dengan suatu faktor skala,
yaitu :

Faktor skala = ................................................................... (2.1)

Dimana :
Vt = geser dasar prosedur gaya lateral ekivalen
V1 = geser dasar dari kombinasi ragam yang disyaratkan

2.6 Respons Spektra


Menurut Budiono (2011), respons spektra merupakan konsep pendekatan yang
digunakan untuk keperluan perencanaan bangunan. Definisi respons spektra adalah respons
maksimum dari suatu sistem struktur Single Degree of Freedom (SDOF) baik percepatan (a),
kecepatan (v) dan perpindahan (d) dengan struktur tersebut dibebani oleh gaya luar tertentu.
Absis dari respons spektra adalah periode alami sistem struktur dan ordinat dari respons
spektra adalah respons maksimum. Kurva respons spektra akan memperlihatkan simpangan
relatif maksimum (Sv) dan percepatan total maksimum (Sa).

2.7 Simpangan Antar Lantai


Menurut Anonim (2010), penentuan simpangan antar lantai tingkat desain (∆) harus
dihitung sebagai perbedaan defleksi pada pusat di tingkat teratas dan terbawah yang ditinjau.
Apabila pusat massa tidak terletak segaris dalam arah vertikal, diijinkan untuk menghitung
defleksi di dasar tingkat berdasarkan proyeksi vertikal dari pusat massa tingkat di atasnya.
Bagi struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik C, D, E atau F yang
memiliki ketidakberaturan horizontal tipe 1a atau 1b pada Lampiran Tabel B.14 dan B.15
simpangan antar lantai desain (∆) harus dihitung sebagai selisih terbesar dari defleksi titik –
titik di atas dan di bawah tingkat yang diperhatikan yang letaknya segaris secara vertikal
disepanjang salah satu bagian tepi struktur.

10
Gambar 2.1 Penentuan Simpangan Antar Lantai Berdasarkan
SNI 1726:2012
Sumber : Anonim (2012)

Defleksi pusat massa di tingkat x (δx) dalam mm harus ditentukan sesuai dengan
persamaan berikut :

δx = ................................................................... (2.2)

dimana :
Cd = faktor pembesaran defleksi
= defleksi pada lokasi yang disyaratkan dan ditentukan sesuai dengan analisis elastik
Ie = faktor keutamaan gempa

Keterangan Gambar :
Tingkat 3
F3 = gaya gempa desain tingkat kekuatan
= perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat kekuatan
= Cd /IE = perpindahan yang diperbesar
= ( - ) Cd/IE ≤

Tingkat 2
F2 = gaya gempa desain tingkat kekuatan
= perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat kekuatan

11
= Cd /IE = perpindahan yang diperbesar
= ( - ) Cd/IE ≤
Tingkat 1
F1 = gaya gempa desain tingkat kekuatan
= perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat kekuatan
= Cd /IE = perpindahan yang diperbesar
= ≤

dimana :
= simpangan antar lantai
/Li = rasio simpangan antar lantai
= perpindahan total
Simpangan antar lantai tingkat desain (∆) tidak boleh melebihi simpangan antar lantai tingkat
ijin ).

2.8 Perencanaan Gempa Berbasis Kinerja


Menurut Dewobroto (2005), konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based
design) merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan, sehingga bisa diketahui
kemampuan suatu struktur dalam menerima beban gempa (capacity) dan besarnya beban
gempa yang akan diterima oleh struktur tersebut (demand), maka dari itu akan bisa
direncanakan suatu stuktur tahan gempa yang ekonomis. Hal penting dari perencanaan
berbasis kinerja adalah sasaran kinerja bangunan terhadap gempa dinyatakan secara jelas,
sehingga pemilik, penyewa, asuransi, pemerintah atau penyandang dana mempunyai
kesempatan untuk menetapkan kondisi apa yang dipilih, selanjutnya ketetapan tersebut
digunakan oleh perencana sebagai pedomannya.
Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake
hazard), dan taraf kerusakan yang diizinkan atau level kinerja (performance level) dari
bangunan terhadap kejadian gempa tersebut. Mengacu pada FEMA-273 (1997) yang menjadi
acuan klasik bagi perencanaan berbasis kinerja maka kategori level kinerja struktur, adalah :
• Segera dapat dipakai (IO = Immediate Occupancy),
• Keselamatan penghuni terjamin (LS = Life-Safety),
• Terhindar dari keruntuhan total (CP = Collapse Prevention).

12
Gambar 2.2 menjelaskan secara kualitatif level kinerja (performance levels) FEMA
273 yang digambarkan bersama dengan suatu kurva hubungan gaya-perpindahan yang
menunjukkan perilaku struktur secara menyeluruh (global) terhadap pembebanan lateral.
Kurva tersebut dihasilkan dari analisa statik non-linier khusus yang dikenal sebagai analisa
pushover, sehingga disebut juga sebagai kurva pushover.

Gambar 2.2 Illustrasi Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja ( ATC 58 )


Sumber : Dewobroto (2005)

Berdasarkan ATC-40 level kinerja struktur terdiri dari 6 tingkatan seperti ditampilkan
pada Tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 Level kinerja menurut ATC-40


No Tingkat Kinerja Keterangan
1 SP-1 Immediate Occupancy (segera dapat digunakan )
2 SP-2 Damage Control (kontrol kerusakan)
3 SP-3 Life Safety (pengguna gedung aman)
4 SP-4 Limited Safety (keamanan terbatas)
5 SP-5 Structural Stability (stabilitas struktural)
6 SP-6 Not Considered (tidak diperhitungkan)

Tabel 2.2 Batasan rasio drift atap untuk penentuan level kinerja menurut ATC-40
Level Kinerja
Interstory Drift Limit Immediate Damage Structural
Life Safety
Occupancy Control Stability
Maximum Total Drift 0,01 0.01 s.d 0.02 0,02 0,33 Vi/Pi
Maximum Inelastic Drift 0,005 0,005 - 0,015 No Limit No Limit

Sumber : ATC 40 (1996)

13
Dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Maximum Total Drift = .......................................................................... (2.3)

Maximum Inelastic Drift = ................................................................... (2.4)

Dimana :
Dt = Target perpindahan (m)
D1 = Perpindahan pertama dari analisa pushover
H = Tinggi total bangunan

2.9 Analisa Pushover


Menurut Pranata (2006), analisa pushover adalah suatu analisis statik nonlinier
dimana pengaruh gempa rencana terhadap struktur bangunan gedung dianggap sebagai
beban-beban statik yang menangkap pada pusat massa masing-masing lantai, yang nilainya
ditingkatkan secara berangsur-angsur sampai melampaui pembebanan yang menyebabkan
terjadinya pelelehan (sendi plastis) pertama di dalam struktur bangunan gedung, kemudian
dengan peningkatan beban lebih lanjut mengalami perubahan bentuk pasca-elastik yang besar
sampai mencapai kondisi plastik.
Menurut Dewobroto (2005), tujuan analisa pushover adalah untuk memperkirakan
gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana
saja yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian.

2.10 Properti Sendi


Menurut Pranata (2006), pemodelan sendi digunakan untuk mendefinisikan perilaku
nonlinier force-displacement dan/atau momen-rotasi yang dapat ditempatkan pada beberapa
tempat berbeda di sepanjang bentang balok atau kolom. Pemodelan sendi adalah rigid dan
tidak memiliki efek pada perilaku linier pada member.
Dalam studi ini, elemen kolom menggunakan tipe sendi default-PMM, dengan
pertimbangan bahwa elemen kolom dan bresing terdapat hubungan gaya aksial dengan
momen (diagram interaksi P-M). Sedangkan untuk elemen balok menggunakan tipe sendi
default-M3, dengan pertimbangan bahwa balok efektif menahan momen dalam arah sumbu
kuat (sumbu-3), sehingga diharapkan sendi plastis terjadi pada balok. Sendi diasumsikan
terletak pada masing-masing ujung elemen balok dan elemen kolom.

14
B C
My
Tarik D E
θ
A
Tekan y θ
y
My

Gambar 2.3 Properti Sendi Default-M3 dan Default-PMM


Sumber : Pranata (2005)

2.11 Kurva Beban Dorong Statik


Menurut Habibullah (1998), kurva beban dorong statik digambarkan sebagai
hubungan antara gaya geser dasar dengan peralihan atap seperti diperlihatkan pada Gambar
2.4.
Beban

B CP
LS
IO
D E
A
Deformasi

Gambar 2.4 Beban-Deformasi untuk Pushover)


Sumber : Habibullah (1998)

Gambar 2.4 juga memperlihatkan perilaku pasca elastik struktur portal yang diwakili
oleh lima titik. Titik A merupakan kondisi awal struktur tanpa beban, selanjutnya elemen
mencapai leleh pada titik B. Tidak ada deformasi sendi plastis yang terjadi sampai dengan
titik B. Sebelum mencapai titik B, semua deformasi adalah linier dan terjadi dalam portal itu
sendiri, tidak dalam sendi plastis. Ordinat C menyatakan kapasitas ultimit struktur telah
dicapai. Hal ini berarti bahwa deformasi dengan penurunan kekakuan telah dimulai.

15
Kerusakan elemen ditunjukkan oleh garis menurun C – D. Kemampuan struktur terhadap
beban lateral di bawah titik C tidak terjamin. Titik D merupakan kekuatan sisa (residual
strength) untuk beban dorong statik, sedangkan titik E menunjukkan kerusakan total struktur
telah terjadi.

Hasil dari analisis pushover adalah kurva kapasitas (capacity curve). Agar kurva
kapasitas dan kurva kebutuhan ini dapat dibandingkan secara langsung, maka kurva kapasitas
struktur harus digambarkan menjadi satu dengan kurva kebutuhan dalam format Acceleration
(Sa) and Displacement (Sd) Response Spectrum (ADRS). Kurva kapasitas hasil analisis
pushover diubah menjadi spektrum kapasitas seperti Gambar 2.5 melalui Persamaan (2.5)
sampai (2.9).

V
Sa = ................................................................... (2.5)
1  W
 roof
Sd = ................................................................ (2.6)
PF1 1,roof
2
 N W  1i 
 g 
1 = N  
i 1
………………………………… (2.7)
 wi   wi  1i 
N

 g    g 
 i 1   i 1 
N
wi  1i
 g
PF1 = i 1 .......................................................... (2.8)
wi  1i
N 2


i 1 g
di mana:
Sa = Spectral acceleration

Sd = Spectral displacement

1 = Modal mass coefficient untuk mode pertama


PF1 = Modal participation factor untuk mode pertama
V = Base shear
W = Berat mati bangunan
 roof = Roof displacement

1i = Amplitude of first mode pada level i

16
wi
= Massa pada level i
g

Kurva kebutuhan (demand) diperoleh dengan mengubah kurva respons spektrum ke


dalam format Acceleration Displacement Response Spectrum (ADRS) melalui persamaan
2.9.
2
T 
Sd =   . Sa . g……………………………………………….....(2.9)
 2 
Di mana T adalah waktu getar alami dari struktur bangunan.
Selanjutnya, hasil dari kurva kebutuhan dan kurva kapasitas dalam format ADRS ini
diplotkan ke dalam satu grafik dan perpotongan antara dua kurva tersebut adalah
performance point yang menggambarkan perpindahan struktur maksimum yang diharapkan
terhadap demand spectrum dari setiap periode ulang gempa rencana. Analisa untuk
mendapatkan performance point ditampilkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.5 Penentuan Performance Point


Sumber : ATC 40 (1996)

Setelah performance point diperoleh, dapat diketahui nilai simpangan antar tingkat
dan posisi sendi plastis untuk berbagai periode ulang gempa. Selain itu, dapat ditentukan
tingkat kinerja struktur dari simpangan antar tingkat untuk berbagai periode ulang gempa.

17
2.12 Performance Point
Performance point adalah titik di mana capacity sama dengan demand. Salah satu
analisis yang dapat digunakan untuk mendapatkan performance point, seperti diisyaratkan
pada Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung SNI 03-1726-2002,
adalah analisis statik non-linear pushover.

2.13 Target Perpindahan


Menurut Dewobroto (2005), gaya dan deformasi setiap komponen/elemen dihitung
terhadap “perpindahan tertentu” di titik kontrol yang disebut sebagai “target perpindahan”
dengan notasi δt dan dianggap sebagai perpindahan maksimum yang terjadi saat bangunan
mengalami gempa rencana.
Analisa pushover dilakukan dengan memberikan beban lateral pada pola tertentu
sebagai simulasi beban gempa, dan harus diberikan bersama-sama dengan pengaruh
kombinasi beban mati dan tidak kurang dari 25% dari beban hidup yang disyaratkan. Beban
lateral harus diberikan pada pusat massa untuk setiap tingkat. FEMA 273 mensyaratkan
minimal harus diberikan dua pola beban yang berbeda sebagai simulasi beban gempa yang
bersifat random, sehingga dapat memberikan gambaran pola mana yang pengaruhnya paling
jelek. Selanjutnya beban tersebut harus diberikan secara bertahap dalam satu arah
(monotonik).
Kriteria evaluasi level kinerja kondisi bangunan didasarkan pada gaya dan deformasi
yang terjadi ketika perpindahan titik kontrol sama dengan target perpindahan δt. Jadi
parameter target perpindahan sangat penting peranannya bagi perencanaan berbasis kinerja.

2.14 Pola Beban Dorong


Menurut Dewobroto (2005), distribusi gaya inersia yang berpengaruh saat gempa,
akan bervariasi secara kompleks sepanjang tinggi bangunan. Oleh karena itu, analisa beban
dorong statik memerlukan berbagai kombinasi pola distribusi yang berbeda untuk menangkap
kondisi yang paling ekstrim untuk perencanaan.
Bentuk distribusi yang relatif sederhana disampaikan dalam Gambar 2.6. Beban
lateral harus diberikan pada model struktur dalam proporsi yang sama dengan distribusi gaya
inersia sebidang dengan diaphragm lantai. Untuk keseluruhan analisis sedikitnya dua pola
beban lateral harus diberikan yaitu :
- Sama dengan pola ragam fundamental pada arah yang ditinjau bilamana sedikitnya 75%
massa dapat diantisipasi pada ragam tersebut.

18
- Pola kedua adalah distribusi merata sesuai dengan proporsi total massa pada lantai.

a). Pola Merata b). Pola Segitiga c). Pola Ragam Tinggi

Gambar 2.6 Variasi Pola Distribusi Pembebanan Lateral


Sumber : Dewobroto (2005)

2.15 Metoda Spektrum Kapasitas


Menurut Dewobroto (2005), metoda spektrum kapasitas merupakan metoda utama
ATC40 (ATC 1996). Dalam Metoda Spektrum Kapasitas proses dimulai dengan
menghasilkan kurva hubungan gaya perpindahan yang memperhitungkan kondisi inelastis
struktur. Proses tersebut sama dengan Metode Koefisien Perpindahan, kecuali bahwa hasilnya
diplot-kan dalam format ADRS (Acceleration Displacement Response Spectrum).
Format tersebut adalah konversi sederhana dari kurva hubungan gaya geser dasar
dengan perpindahan lateral titik kontrol dengan menggunakan properti dinamis sistem dan
hasilnya disebut sebagai kurva kapasitas struktur. Gerakan tanah gempa juga dikonversi ke
format ADRS. Hal itu menyebabkan kurva kapasitas dapat di-plot-kan pada sumbu yang
sama sebagai gaya gempa perlu. Pada format tersebut waktu getar ditunjukkan sebagai garis
radial dari titik pusat sumbu.
Waktu getar ekivalen, Te, dianggap sebagai secant waktu getar tepat dimana gerakan
tanah gempa perlu yang direduksi karena adanya efek redaman ekivalen bertemu pada kurva
kapasitas. Karena waktu getar ekivalen dan redaman merupakan fungsi dari perpindahan
maka penyelesaian untuk mendapatkan perpindahan inelastik maksimum (titik kinerja)
adalah bersifat iteratif. ATC-40 menetapkan batas redaman ekivalen untuk mengantisipasi
adanya penurunan kekuatan dan kekakuan yang bersifat gradual.
Cara ini telah built-in dalam program ETABS, proses konversi kurva pushover ke
format ADRS dan kurva respon spektrum yang direduksi dikerjakan otomatis dalam program.
Data yang perlu dimasukkan cukup memberikan kurva Respons Spektrum Rencana dengan
parameter seperti pada Gambar 2.7.

19
Gambar 2.7 Parameter Data Respons Spektrum Rencana
Sumber : Dewobroto (2005)

2.16 Tahapan Analisa Pushover


Menurut Dewobroto (2005), tahapan utama dalam analisa pushover adalah :
1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur. Rekaman
besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk menyusun
kurva pushover.
2. Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola distribusi gaya lateral
terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inertia, sehingga diharapkan
deformasi yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa.
Oleh karena sifat gempa adalah tidak pasti, maka perlu dibuat beberapa pola pembebanan
lateral yang berbeda untuk mendapatkan kondisi yang paling menentukan.
3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan). Titik
kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, yang mencerminkan perpindahan
maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang ditentukan.
4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target
perpindahan merupakan hal utama dari perencanaan barbasis kinerja. Komponen struktur
dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal
sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan.

2.17 Daktilitas
Menurut Budiono (2011), daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk
mengalami simpangan pasca elastik yang besar secara berulang kali dan bolak balik akibat
beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama sambil
mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup sehingga struktur gedung tersebut tetap
20
berdiri walaupun sudah berada dalam kondisi diambang keruntuhan. Faktor daktilitas struktur
gedung μ adalah rasio antara simpangan maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa
rencana pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan δ m dan simpangan struktur gedung
saat terjadinya pelelehan pertama δ y dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.10.

1 ≤ μ =
 m
≤ μm …..……………........……...…..... (2.10)
 y

μ = 1 : nilai faktor daktilitas untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh
μm : nilai faktor daktilitas untuk struktur gedung yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan

Daktilitas dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


1. Daktilitas penuh, yaitu suatu tingkat daktilitas struktur gedung dimana strukturnya
mampu mengalami simpangan pascaelastik pada saat mencapai kondisi diambang
keruntuhan yang paling besar.
2. Daktilitas parsial, yaitu seluruh tingkat daktilitas struktur gedung dengan nilai faktor
daktilitas diantara struktur bangunan gedung yang elastik dan struktur bangunan gedung
yang daktail penuh.

Dalam mekanisme kerusakan, struktur harus didesain pada lokasi – lokasi tertentu
sehingga setelah gempa kuat terjadi struktur dapat diperbaiki. Lokasi kerusakan didesain pada
balok dan kolom lantai dasar yang disebut sendi plastis. Sendi plastis harus mampu
berdeformasi secara in-elastik dan maksimum dengan cara memindahkan energi gempa
secara baik melalui proses plastisitas. Untuk mendapatkan mekanisme tersebut, harus
didesain sesuai konsep strong coloumn-weak beam. Konsep tersebut mengharuskan kapasitas
nominal pada kolom lebih besar 1,2 kali kapasitas nominal pada balok.
Perencanaan struktur yang mengatur kemampuan struktur untuk bertahan pada saat
terjadinya gempa kuat meskipun terjadi kerusakan pada sendi plastis disebut dengan damage
control. Pengaturan besar nilai deformasi sebagai fungsi daktilitas diperlihatkan pada Gambar
2.8.

21
Gambar 2.8 Mekanisme Desain Bangunan Berdasarkan Faktor Daktilitas
Dan Kuat Lebih

22
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian


Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membandingkan kinerja struktur gedung
yang terletak di kabupaten Pidie Jaya dengan menggunakan SNI 03-1726-2002 dan SNI
1726:2012 pada berbagai kondisi tanah. Dari hasil penelitian akan diketahui dengan
penerapan SNI gempa 1726:2012 sejauh mana berpengaruh terhadap gaya geser dasar, gaya-
gaya dalam dan simpangan antar lantai (story drift) yang terdapat pada struktur gedung yang
terdapat di kabupaten Pidie Jaya khususnya gedung pendidikan. Melalui analisa pushover
yang dilakukan dengan menggunakan metode spektrum kapasitas akan didapatkan informasi
level kinerja struktur gedung pendidikan berdasarkan ATC-40.

3.2 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi tentang
level kinerja struktur gedung pendidikan di kabupaten Pidie Jaya setelah diberlakukannya
SNI 1726:2012. Dari hasil evaluasi struktur diharapkan menjadi landasan untuk dilakukan
langkah-langkah mitigasi bencana untuk menghindari jatuhnya korban pada saat terjadinya
gempa bumi.

23
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

Tahap penelitian ini dimulai dengan studi literatur, dilanjutkan dengan penyiapan
peralatan dan data struktur bangunan, perhitungan pembebanan struktur gedung, pemodelan
struktur dengan software ETABS v9.6.0, analisis struktur dan melakukan kontrol analisis.
Metode penelitian adalah simulasi dan komparasi yang bersifat membandingkan
koefisien gempa berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012 serta pengaruhnya
terhadap kinerja struktur gedung.

4.1 Data Struktur Bangunan


Pada penelitian ini dianalisa gedung aula MA Jangka Universitas Almuslim yang
sebelumnya telah dilakukan penelitian untuk lokasi di kabupaten Pidie Jaya (Gambar 4.1 dan
4.2), kemudian disimulasikan apabila terletak pada tanah lunak, sedang dan keras di Kota
Ulee Gle, Kota Trienggadeng dan Kota Lueng Putu Kabupaten Pidie Jaya.
 Fungsi bangunan = Fasilitas pendidikan
 Jumlah lantai = 3 lantai
 Sistem struktur = SRPMK
 Kondisi tanah = Lunak, sedang dan keras
 Tinggi bangunan = 12.3 m
 Tinggi antar lantai = 4.1 m

Gambar 4.1. Denah bangunan

24
Gambar 4.2. Tampilan bangunan 3D

Gedung yang terletak pada tanah lunak yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
selanjutnya disebut GTLPJ02, sedangkan yang dianalisa dengan menggunakan SNI
1726:2012 mengikuti nama kota yaitu GTLUG12, GTLTG12 dan GTLLP12. Sedangkan
untuk gedung pada tanah sedang selanjutnya disebut GTSUG02, GTSTG12 dan GTSLP12.
Untuk gedung pada tanah keras selanjutnya disebut GTKUG02, GTKTG12 dan GTKLP12.

4.2 Mutu Bahan dan Dimensi Elemen Struktur


Bahan yang digunakan adalah material beton bertulang dengan mutu bahan
perencanaan sebagai berikut :
 Berat jenis beton bertulang (γc) = 24 kN/m3
 Mutu beton (f’c) = (sesuai hasil assessment di lapangan)
 Modulus elastisitas beton (Ec) = 4700
 Mutu baja tulangan pokok (fy) = 400 MPa
 Mutu baja tulangan geser (fys) = 240 MPa
Elemen struktur yang digunakan pada perencanaan adalah balok, kolom, plat lantai
dengan dimensi sebagai berikut :
 Balok = 40 x 55 cm
 Kolom = 45 x 50 cm
 Plat lantai = tebal 12 cm
Jumlah tulangan yang digunakan pada kolom ditentukan sebesar 1.25% dari luas
kolom, sedangkan untuk balok sesuai yang didapatkan pada design dengan ETABS v9.6.0.

25
4.3 Sistem Struktur dan Pemodelan
Struktur Gedung ini termasuk dalam kategori Struktur Rangka Pemikul Momen
Khusus (SRPMK) beton bertulang, untuk koefisien modifikasi respons berdasarkan SNI 03-
1726-2002 adalah 8,5 dan berdasarkan SNI 1726:2012 adalah 8. Kolom dan balok
dimodelkan dengan frame, plat lantai dimodelkan dengan shell. Karena plat lantai
mempunyai kekakuan yang cukup besar searah bidang lantai dan keberadaan bukaan pada
tiap lantai kurang dari 50% dari jumlah total seluruh luas lantai bangunan, maka keberadaan
plat lantai dapat dianggap sebagai diafragma yang dapat menyalurkan beban gempa pada
struktur utama. Pondasi bangunan adalah pondasi tapak dianggap dapat memberikan
kekekangan terhadap translasi dan rotasi, sehingga seluruh perletakan bangunan dimodelkan
sebagai perletakan jepit.
Struktur gedung berfungsi sebagai gedung pendidikan sehingga berdasarkan SNI 03-
1726-2002 memiliki faktor keutamaan gempa 1, sedangkan menurut SNI 1726:2012 faktor
keutamaan gempa 1,5 dengan kategori resiko IV. Analisa ragam spektrum respons digunakan
sebagai simulasi gempa, yaitu memakai spektrum respons gempa rencana wilayah 4 untuk
daerah Pidie Jaya, sedangkan sesuai SNI 1726:2012 berdasarkan desain spektra Indonesia
untuk wilayah Pidie Jaya dengan parameter percepatan batuan dasar periode pendek Ss dan
parameter percepatan batuan dasar periode 1 detik S1 sesuai spektra dari PUSKIM PU.

4.4 Tahapan Penelitian


Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan informasi gaya – gaya dalam yang terjadi
dan level kinerja struktur gedung setelah diberlakukannya SNI gempa 1726:2012, sehingga
dapat diketahui tingkat keamanan struktur gedung yang ada di wilayah kabupaten Pidie Jaya.
Hasil evaluasi kinerja struktur gedung yang menggunakan SNI 1726:2012 selanjutnya
dibandingkan dengan evaluasi kinerja gedung dengan menggunakan SNI 03-1726-2002,
sehingga dapat diketahui sejauh mana pengaruh penerapan SNI 1726:2012 terhadap gedung
yang telah didesain menggunakan SNI 03-1726-2002. Tahapan pelaksanaan penelitian
ditampilkan pada Gambar 4.3.

26
Mulai

Studi literatur

Perencanaan awal gedung pemikul momen


dan gedung berdinding geser

Perhitungan pembebanan yang


bekerja pada struktur

Pemodelan dalam
ETABS v 9.6.0

Menjalankan analisa struktur dengan


program ETABS v 9.6.0

Evaluasi gaya – gaya dalam


dan rasio kapasitas penampang

Struktur aman tidak

ya
Penentuan tipe dan
posisi sendi plastis

Menjalankan Analisa Pushover

Evaluasi kinerja struktur Evaluasi kinerja struktur


gedung dengan beban gempa gedung dengan beban gempa
SNI 03-1726-2002 SNI 1726:2012

Membandingkan kinerja struktur gedung yang menggunakan


beban gempa SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012
pada berbagai kondisi tanah

Kesimpulan / Saran

Selesai

Gambar 4.3. Bagan alir penelitian

27
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Hasil Uji Hammer Test


Data pengujian Hammer test diambil dari data penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya di kabupaten Pidie Jaya. Selanjutnya gedung tersebut dimodelkan untuk kondisi
tanah lunak, sedang dan keras yang ada di 3 kota kecamatan yang ada di kabupaten Pidie
Jaya.
Berdasarkan Tabel 5.1 – 5.7 pengujian mutu beton untuk balok, kolom dan plat lantai
rata-rata yaitu f’c = 20 MPa.

Tabel 5.1 Hasil pengujian Hammer kolom lantai 1

KOLOM LANTAI 1 Konversi Nilai Kuat Tekan Beton Terkoreksi


Dalam Bentuk
No Kode Titik Pengukuran
Silinder (f'c) Kubus (K)
1 C3 0o - B LT1 19.852 MPa 244.058 Kg/cm2
2 C5 0o - U LT1 20.739 MPa 254.962 Kg/cm2
3 C7 0o - B LT1 20.382 MPa 250.575 Kg/cm2
4 C13 0o - B LT1 19.537 MPa 240.187 Kg/cm2
5 C16 0o - U LT1 20.063 MPa 246.660 Kg/cm3
6 C22 0o - B LT1 19.490 MPa 239.616 Kg/cm4
7 C24 0o - U LT1 20.382 MPa 250.575 Kg/cm2
8 C30 0o - B LT1 19.140 MPa 235.312 Kg/cm2
9 C32 0o - U LT1 20.575 MPa 252.948 Kg/cm2
10 C34 0o - U LT1 19.490 MPa 239.616 Kg/cm2
11 C41 0o - U LT1 19.691 MPa 242.082 Kg/cm2
12 C45 0o - U LT1 19.969 MPa 245.503 Kg/cm2

Tabel 5.2 Hasil pengujian Hammer balok lantai 1

BALOK LANTAI 1 Konversi Nilai Kuat Tekan Beton Terkoreksi


Dalam Bentuk
No Kode Titik Pengukuran
Silinder (f'c) Kubus (K)
13 B2-3 0o - B LT1 20.064 MPa 246.665 Kg/cm2
14 B5-14 0o - U LT1 20.471 MPa 251.670 Kg/cm2
15 B21-22 0o - B LT1 20.145 MPa 247.665 Kg/cm2
16 B22-23 0o - B LT1 20.292 MPa 249.476 Kg/cm2

28
17 B29-30 0o - B LT1 20.421 MPa 251.055 Kg/cm3
18 B30-31 0o - B LT1 20.424 MPa 251.096 Kg/cm4
19 B37-34 0o - U LT1 20.379 MPa 250.538 Kg/cm2
20 B40-41 0o - U LT1 20.362 MPa 250.330 Kg/cm2

Tabel 5.3 Hasil pengujian Hammer plat lantai 1

PLAT LANTAI 1 Konversi Nilai Kuat Tekan Beton Terkoreksi


Dalam Bentuk
No Kode Titik Pengukuran
Silinder (f'c) Kubus (K)
21 P4.5 - 13.14 0o - V LT2 19.574 MPa 235.826 Kg/cm2
22 P12.13-22.23 0o - V LT2 19.636 MPa 236.577 Kg/cm2
23 P22.23-30.31 0o - V LT2 19.574 MPa 235.826 Kg/cm2
24 P30.31- 38.39 0o - V LT2 19.803 MPa 238.591 Kg/cm2

Tabel 5.4 Hasil pengujian Hammer kolom lantai 2

KOLOM LANTAI 2 Konversi Nilai Kuat Tekan Beton Terkoreksi


Dalam Bentuk
No Kode Titik Pengukuran
Silinder (f'c) Kubus (K)
1 C3 0o - B LT2 20.952 MPa 257.585 Kg/cm2
2 C5 0o - U LT2 20.427 MPa 255.178 Kg/cm2
3 C11 0o - B LT2 20.382 MPa 251.126 Kg/cm2
4 C13 0o - B LT2 20.065 MPa 249.476 Kg/cm2
5 C16 0o - U LT2 20.063 MPa 247.990 Kg/cm3
6 C22 0o - B LT2 20.365 MPa 250.368 Kg/cm4
7 C24 0o - U LT2 20.277 MPa 249.285 Kg/cm2
8 C30 0o - B LT2 20.292 MPa 249.476 Kg/cm2
9 C32 0o - U LT2 20.427 MPa 251.126 Kg/cm2
10 C37 0o - S LT2 20.285 MPa 249.380 Kg/cm2
11 C41 0o - U LT2 20.831 MPa 256.099 Kg/cm2
12 C45 0o - U LT2 20.341 MPa 250.074 Kg/cm2

29
Tabel 5.5 Hasil pengujian Hammer balok lantai 2

BALOK LANTAI 2 Konversi Nilai Kuat Tekan Beton Terkoreksi


Dalam Bentuk
No Kode Titik Pengukuran
Silinder (f'c) Kubus (K)
13 B2-3 0o - B LT2 20.484 MPa 251.828 Kg/cm2
14 B5-14 0o - U LT2 20.519 MPa 252.262 Kg/cm2
15 B21-22 0o - B LT2 20.363 MPa 250.350 Kg/cm2
16 B25-26 0o - B LT2 20.382 MPa 250.575 Kg/cm2
17 B29-30 0o - B LT2 20.362 MPa 250.330 Kg/cm3
18 B30-31 0o - B LT2 20.424 MPa 251.096 Kg/cm4
19 B33-34 0o - U LT2 19.141 MPa 235.321 Kg/cm2
20 B40-41 0o - U LT2 19.456 MPa 239.188 Kg/cm2

Tabel 5.6 Hasil pengujian Hammer plat lantai 2

PLAT LANTAI 2 Konversi Nilai Kuat Tekan Beton Terkoreksi


Dalam Bentuk
No Kode Titik Pengukuran
Silinder (f'c) Kubus (K)
21 P4.5 - 13.14 0o - V LT3 19.407 MPa 238.591 Kg/cm2
22 P12.13-22.23 0o - V LT3 19.189 MPa 235.912 Kg/cm2
23 P22.23-30.31 0o - V LT3 19.165 MPa 235.612 Kg/cm2
24 P30.31- 38.39 0o - V LT3 19.556 MPa 240.419 Kg/cm2

Tabel 5.7 Hasil pengujian Hammer kolom lantai 3

KOLOM LANTAI 3 Konversi Nilai Kuat Tekan Beton Terkoreksi


Dalam Bentuk
No Kode Titik Pengukuran
Silinder (f'c) Kubus (K)
1 C3 0o - B LT3 20.428 MPa 251.148 Kg/cm2
2 C5 0o - U LT3 20.234 MPa 248.763 Kg/cm2
3 C12 0o - B LT3 20.277 MPa 249.285 Kg/cm2
4 C20 0o - U LT3 20.144 MPa 247.647 Kg/cm2
5 C24 0o - U LT3 20.234 MPa 248.763 Kg/cm2
6 C32 0o - U LT3 20.341 MPa 250.074 Kg/cm2
7 C35 0o - U LT3 20.575 MPa 252.948 Kg/cm2
8 C 39 0o - B LT3 20.292 MPa 249.476 Kg/cm2
9 C41 0o - U LT3 20.558 MPa 252.744 Kg/cm2
10 C44 0o - B LT3 20.602 MPa 253.287 Kg/cm2

30
5.2 Analisa Struktur
Berdasarkan analisa struktur didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan gaya
geser dasar untuk gedung yang dianalisa dengan menggunakan peraturan gempa SNI 03-
1726-2002 untuk kota Ulee Gle, kota Trienggadeng dan kota Lueng Putu karena berdasarkan
SNI gempa tahun 2002 ketiga kota tersebut berada pada wilayah gempa 4. Dari hasil analisa
struktur gedung berdasarkan pembebanan gempa SNI 1726:2012 didapatkan hasil yang
berbeda untuk ketiga kota kecamatan tersebut, dimana gaya geser dasar yang terbesar
terdapat pada gedung yang berlokasi di kota Lueng Putu, sedangkan gaya geser dasar yang
terkecil terdapat pada gedung yang berlokasi di kota Ule Glee.
Dengan analisa struktur gedung berdasarkan SNI 1726:2012 terlihat bahwa terjadinya
peningkatan gaya geser dasar yang terdapat pada struktur bangunan karena perbedaan lokasi
bangunan. Peningkatan gaya geser dasar ini akan berpengaruh terhadap gaya – gaya dalam
pada struktur bangunan dan menyebabkan kebutuhan tulangan yang semakin banyak, baik
tulangan utama maupun tulangan geser. Besarnya gaya geser dasar yang diterima oleh
struktur gedung juga semakin besar dengan penerapan SNI 1726:2012. Pada tabel 5.8 – 5.10
ditampilkan perbandingan gaya geser dasar gedung yang dianalisis dengan SNI 1726:2012
dan SNI 03-1726-2002.

Tabel 5.8 Gaya geser dasar pada gedung di tanah lunak


Rasio terhadap gaya geser dasar
Gaya geser dasar (ton)
Gedung gedung GTLB02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTLPJ02 155.04 152.00 1 1

GTLUG12 176.50 173.06 1.138 1.139

GTLTG12 177.07 173.63 1.142 1.142

GTLLP12 177.90 174.46 1.147 1.148

31
Tabel 5.9 Gaya geser dasar pada gedung di tanah sedang
Rasio terhadap gaya geser dasar
Gaya geser dasar (ton)
Gedung gedung GTSPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTSPJ02 127.69 125.19 1 1

GTSUG12 182.18 178.59 1.427 1.427

GTSTG12 185.09 181.44 1.450 1.450

GTSLP12 196.15 192.28 1.536 1.536

Tabel 5.10 Gaya geser dasar pada gedung di tanah keras

Rasio terhadap gaya geser dasar


Gaya geser dasar (ton)
Gedung gedung GTKPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTKPJ02 108.55 107.29 1 1

GTKUG12 166.76 163.47 1.536 1.524

GTKTG12 169.38 166.03 1.560 1.547

GTKLP12 178.98 175.45 1.649 1.635

Pada tabel 5.8 – 5.10 terlihat bahwa peningkatan gaya geser dasar yang terbesar
secara berurut adalah gedung pada tanah keras, gedung pada tanah sedang dan gedung pada
tanah lunak. Perbedaan persentase kenaikan gaya geser dasar antar kota di kabupaten Pidie
Jaya yang terjadi pada tanah lunak relatif kecil dibandingkan dengan kenaikan pada tanah
sedang dan tanah keras.

5.3 Simpangan Antar Lantai (Story drift)


Pada Gambar 5.1 - 5.4 diperlihatkan perbandingan diagram perpindahan (total drift)
terhadap ketinggian bangunan dan simpangan antar lantai (story drift) pada kondisi elastis
dalam arah sumbu x dan sumbu y untuk kondisi tanah lunak. Dari perbandingan diagram
tersebut, total drift yang dihasilkan pada gedung yang menggunakan SNI 1726:2012 lebih
besar dibandingkan gedung yang di analisa dengan menggunakan SNI 03-1726-2002. Untuk
gedung yang dianalisa menggunakan SNI 1726:2012 untuk beberapa kota yang tinjau di
kabupaten Pidie Jaya memiliki nilai total drift yang hampir sama, hal ini diperlihatkan pada
grafik total drift yang berhimpit. Perbandingan grafik story drift memperlihatkan bahwa

32
simpangan antar lantai yang terjadi pada gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 lebih
kecil dibandingkan simpangan antar lantai gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002,
namun untuk lokasi kota yang ditinjau di kabupaten Pidie Jaya menggunakan SNI 1726:2012
juga menunjukkan grafik story drift yang berhimpit, hal ini karena story drift dari beberapa
kota yang ditinjau relatif sama. Dari Gambar 5.2 dan 5.4 juga dapat diketahui bahwa
simpangan antar lantai (story drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 maupun
SNI 1726:2012 tidak melewati batas simpangan ultimit yang ditetapkan.

Perbandingan Total Drift Sumbu X

13000

12000

11000

10000

9000
Ketinggian (mm)

8000

7000 GTLPJ02

6000 GTLUG12

5000 GTLTG12

GTLLP12
4000

3000

2000

1000

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0

Total Drift (mm)

Gambar 5.1 Perbandingan total drift gedung sumbu x pada tanah lunak

33
Perbandingan Story Drift Sumbu X
4

GTLPJ02

GTLUG12
Lantai
Ke -

2 GTLTG12

GTLLP12

BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12

0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0

Story Drift (mm)

Gambar 5.2 Perbandingan story drift gedung sumbu x gedung pada tanah lunak

Perbandingan Total Drift Sumbu Y

13000

12000

11000

10000

9000
Ketinggian (mm)

8000

7000 GTLPJ02

6000 GTLUG12

5000 GTLTG12

GTLLP12
4000

3000

2000

1000

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0

Total Drift (mm)

Gambar 5.3 Perbandingan total drift gedung sumbu y pada tanah lunak
34
Perbandingan Story Drift Sumbu Y

GTLPJ02

GTLUG12
Lantai
Ke -

2 GTLTG12

GTLLP12

BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12

0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0

Story Drift (mm)

Gambar 5.4 Perbandingan story drift gedung sumbu y gedung pada tanah lunak

Gambar 5.5 - 5.8 merupakan perbandingan diagram perpindahan (total drift) terhadap
ketinggian bangunan dan simpangan antar lantai (story drift) pada kondisi elastis dalam arah
sumbu x dan sumbu y untuk kondisi tanah sedang. Dari perbandingan diagram tersebut, total
drift yang dihasilkan pada gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 lebih besar
dibandingkan gedung yang di analisa dengan menggunakan SNI 03-1726-2002. Namun pada
grafik perbandingan story drift dapat dilihat bahwa gedung yang dianalisa dengan SNI
1726:2012 memiliki story drift lebih kecil dibandingkan gedung yang dianalisa dengan SNI
03-1726-2002. Pada grafik tersebut terlihat bahwa GTSLP12 yang dianalisa menggunakan
SNI 1726:2012 memiliki nilai total drift dan story drift yang paling besar untuk sumbu x dan
sumbu y, sedangkan GTSUG12 memiliki nilai total drift dan story drift yang paling kecil.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan SNI 1726:2012 akan menghasilkan nilai
total drift dan story drift yang berbeda di berbagai lokasi di kabupaten Pidie Jaya pada
kondisi tanah sedang. Dari Gambar 5.5 - 5.8 juga dapat diketahui bahwa simpangan antar
lantai (story drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 maupun SNI 1726:2012
tidak melewati batas simpangan ultimit yang ditetapkan.

35
Perbandingan Total Drift Sumbu X

13000

12000

11000

10000

9000
Ketinggian (mm)

8000

7000 GTSPJ02

6000 GTSUG12

5000 GTSTG12

GTSLP12
4000

3000

2000

1000

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0

Total Drift (mm)

Gambar 5.5 Perbandingan total drift gedung sumbu x pada tanah sedang

Perbandingan Story Drift Sumbu X


4

GTSPJ02

GTSUG12
Lantai
Ke -

2 GTSTG12

GTSLP12

BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12

0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0

Story Drift (mm)

Gambar 5.6 Perbandingan story drift gedung sumbu x gedung pada tanah sedang

36
Perbandingan Total Drift Sumbu Y

13000

12000

11000

10000

9000
Ketinggian (mm)

8000

7000 GTSPJ02

6000 GTSUG12

5000 GTSTG12

GTSLP12
4000

3000

2000

1000

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0

Total Drift (mm)

Gambar 5.7 Perbandingan total drift gedung sumbu y tanah sedang

Perbandingan Story Drift Sumbu Y

GTSPJ02

GTSUG12
Lantai
Ke -

2 GTSTG12

GTSLP12

BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12

0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0

Story Drift (mm)

Gambar 5.8 Perbandingan story drift gedung sumbu y pada tanah sedang

37
Gambar 5.9 - 5.12 merupakan perbandingan diagram perpindahan (total drift)
terhadap ketinggian bangunan dan simpangan antar lantai (story drift) pada kondisi elastis
dalam arah sumbu x dan sumbu y untuk kondisi tanah keras. Perbandingan diagram tersebut
juga memperlihatkan bahwa total drift yang dihasilkan pada gedung yang dianalisa pada
kondisi tanah keras dengan SNI 1726:2012 lebih besar dibandingkan gedung yang di analisa
dengan menggunakan SNI 03-1726-2002. Pada grafik tersebut terlihat bahwa GTKLP12
yang dianalisa menggunakan SNI 1726:2012 memiliki nilai total drift dan story drift yang
paling besar untuk sumbu x dan sumbu y, sedangkan GTKUG12 memiliki nilai total drift dan
story drift yang paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan SNI
1726:2012 akan menghasilkan nilai total drift dan story drift yang berbeda di berbagai lokasi
di kabupaten Pidie Jaya pada kondisi tanah keras. Dari Gambar 5.9 - 5.12 juga dapat
diketahui bahwa simpangan antar lantai (story drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 03-
1726-2002 maupun SNI 1726:2012 tidak melewati batas simpangan ultimit yang ditetapkan.

Perbandingan Total Drift Sumbu X

13000

12000

11000

10000

9000
Ketinggian (mm)

8000

7000 GTKPJ02

6000 GTKUG12

5000 GTKTG12

GTKLP12
4000

3000

2000

1000

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0

Total Drift (mm)

Gambar 5.9 Perbandingan total drift gedung sumbu x pada tanah keras

38
Perbandingan Story Drift Sumbu X
4

GTKPJ02

GTKUG12
Lantai
Ke -

2 GTKTG12

GTKLP12

BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12

0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0

Story Drift (mm)

Gambar 5.10 Perbandingan story drift gedung sumbu x pada tanah keras

Perbandingan Total Drift Sumbu Y

13000

12000

11000

10000

9000
Ketinggian (mm)

8000

7000 GTKPJ02

6000 GTKUG12

5000 GTKTG12

GTKLP12
4000

3000

2000

1000

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0

Total Drift (mm)

Gambar 5.11 Perbandingan total drift gedung sumbu y pada tanah keras

39
Perbandingan Story Drift Sumbu Y

GTKPJ02

GTKUG12
Lantai
Ke -

2 GTKTG12

GTKLP12

BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12

0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0

Story Drift (mm)

Gambar 5.12 Perbandingan story drift gedung sumbu y pada tanah keras

Berdasarkan perbandingan grafik total drift dan story drift yang telah ditampilkan
menunjukkan bahwa penerapan SNI 1726:2012 berdampak pada simpangan bangunan, baik
itu simpangan bangunan secara keseluruhan maupun simpangan antar lantai. Pada kondisi
tanah sedang dan tanah keras perbedaan nilai total drift gedung yang dianalisa dengan SNI
1726:2012 dan SNI 03-1726-2002 lebih besar dibandingkan gedung yang berlokasi di tanah
lunak. Namun pada kondisi tanah lunak perbedaan nilai story drift yang terjadi lebih besar
daripada perbedaan story drift untuk gedung yang berlokasi di tanah sedang dan tanah keras.
Story drift gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 lebih besar daripada gedung
yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 untuk semua jenis tanah kecuali gedung GTKLP yang
terletak pada kondisi tanah keras.

40
5.4 Momen lentur dan kebutuhan tulangan pada balok
Momen lentur yang dianalisis adalah momen lentur maksimum yang terjadi pada
balok, karena momen lentur maksimum biasanya digunakan untuk perhitungan kebutuhan
tulangan pada perencanaan balok. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan momen lentur
maksimum terdapat pada balok sumbu x lantai 2 disamping tangga.
Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui bahwa penerapan SNI gempa 1726:2012
sebagaimana dilakukan pada penelitian ini dapat meningkatkan momen lentur pada balok.
Persentase peningkatan momen lentur maksimum pada gedung yang berlokasi di tanah lunak
bervariasi untuk berbagai lokasi, tetapi selisih persentase tidak jauh berbeda untuk lokasi
yang ditinjau.

Tabel 5.11 Momen lentur maksimum gedung pada tanah lunak

Momen Lentur Maksimum (kN.mm) % Kenaikan


Gedung Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
GTLPJ02 -119639.70 80078.14 - -
GTLUG12 -151389.94 96775.14 26.54 20.85
GTLTG12 -151652.48 96904.16 26.76 21.01
GTLLP12 -152082.44 97122.52 27.12 21.28

Peningkatan momen lentur berpengaruh pada peningkatan kebutuhan tulangan lentur


pada balok. Tabel 5.12 memperlihatkan bahwa pada balok bagian atas dan bawah yang
berposisi di tumpuan terjadi peningkatan tulangan lentur sebesar 27.27% - 28.81%. Hal ini
sebanding dengan besarnya persentase peningkatan momen lentur balok. Pada balok bagian
bawah yang berposisi pada tengah bentang hanya mengalami peningkatan tulangan lentur
sebesar 8.51%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan tulangan lentur yang
terbesar terjadi pada tumpuan balok dan pada tengah bentang balok bagian atas, hal ini
disebabkan karena adanya peningkatan beban gempa pada SNI 1726:2012 yang sangat
berpengaruh pada momen balok dan kebutuhan tulangan pada balok.
Persentase peningkatan momen lentur maksimum pada gedung yang berlokasi di
tanah sedang sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.13 mencapai 39.89% - 46.02% pada
daerah tumpuan dan 45.05% - 50.08% pada tengah bentang balok. Peningkatan yang terkecil
terjadi pada gedung GTSUG12 yang berlokasi di Ulee Gle dan peningkatan yang terbesar
terjadi pada gedung GTSLP12 yang berlokasi di Lueng Putu. Peningkatan ini terjadi seiring
dengan peningkatan percepatan gempa yang terdapat pada peta gempa yang baru berdasarkan

41
SNI 1726:2012, dimana semakin besar percepatan gempa maka semakin besar pula momen
lentur yang terjadi pada balok.

Tabel 5.12 Kebutuhan tulangan maksimum balok gedung pada tanah lunak
Kebutuhan tulangan maksimum
% Kenaikan
pada balok (mm)
Gedung Posisi
Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
708 228 Atas - -
GTLPJ02
462 623 Bawah - -
908 290 Atas 28.25 27.19
GTLUG12
588 676 Bawah 27.27 8.51
909 290 Atas 28.39 27.19
GTLTG12
589 676 Bawah 27.49 8.51
912 291 Atas 28.81 27.63
GTLLP12
590 676 Bawah 27.71 8.51

Peningkatan kebutuhan tulangan lentur pada balok sebanding dengan peningkatan


momen lentur yang terjadi pada balok sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.14. Pada
daerah tumpuan bagian atas persentase kenaikan tulangan lentur sebesar 36.83% - 44.20%.
Sedangkan pada bagian bawah tumpuan terjadi kenaikan kebutuhan tulangan lentur sebesar
41.04% - 47.41%. Pada tengah bentang balok bagian atas persentase kenaikan tulangan lentur
sebesar 40.48% - 46.67% dan pada bagian bawah persentase kenaikan tulangan 10.10%.

Tabel 5.13 Momen lentur maksimum gedung pada tanah sedang

Momen Lentur Maksimum (kN.mm) % Kenaikan


Gedung Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
GTSPJ02 -110141.18 75411.88 - -

GTSUG12 -154076.05 98129.12 39.89 45.05

GTSTG12 -155464.41 98825.14 41.15 46.08

GTSLP12 -160829.22 101530.40 46.02 50.08

Persentase peningkatan momen lentur maksimum pada pada gedung yang berlokasi
di tanah keras sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.15 sebesar 41.64% - 47.37% pada
daerah tumpuan dan 39.47% - 43.89% pada tengah bentang balok. Peningkatan yang terkecil

42
terjadi pada gedung GTKUG12 yang berlokasi di Ulee Gle dan peningkatan yang terbesar
terjadi pada gedung GTKLP12 yang berlokasi di Lueng Putu.

Tabel 5.14 Kebutuhan tulangan maksimum balok gedung pada tanah sedang
Kebutuhan tulangan maksimum
% Kenaikan
pada balok (mm)
Gedung Posisi
Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
676 210 Atas - -
GTSPJ02
424 614 Bawah - -
925 295 Atas 36.83 40.48
GTSUG12
598 676 Bawah 41.04 10.10
934 298 Atas 38.17 41.90
GTSTG12
604 676 Bawah 42.45 10.10
968 308 Atas 43.20 46.67
GTSLP12
625 676 Bawah 47.41 10.10

Tabel 5.15 Momen lentur maksimum gedung pada tanah keras

Momen Lentur Maksimum (kN.mm) % Kenaikan


Gedung Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
GTKPJ02 -103493.14 67650.63 - -
GTKUG12 -146591.58 94354.66 41.64 39.47
GTKTG12 -147848.52 94986.11 42.86 40.41
GTKLP12 -152519.16 97343.36 47.37 43.89

Peningkatan kebutuhan tulangan lentur pada balok juga sebanding dengan


peningkatan momen lentur sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.16. Pada daerah tumpuan
bagian atas persentase kenaikan tulangan lentur sebesar 29.73% - 35.36%, sedangkan pada
bagian bawah tumpuan terjadi kenaikan kebutuhan tulangan lentur sebesar 42.96% - 48.74%.
Pada tengah bentang balok bagian atas persentase kenaikan tulangan lentur sebesar 42.64% -
48.22% dan pada bagian bawah persentase kenaikan tulangan 2.58%.
Berdasarkan hasil yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa peningkatan
momen lentur dan kebutuhan tulangan yang terjadi pada balok yang dianalisa berdasarkan
SNI 1726:2012 memiliki pengaruh yang lebih besar pada gedung yang terletak di tanah keras
dan tanah sedang, sedangkan pada gedung yang terletak pada tanah lunak pengaruhnya lebih
kecil. Dari hasil peningkatan momen lentur dan kebutuhan tulangan juga terlihat bahwa

43
gedung yang terletak pada tanah lunak yang ada di kabupaten Pidie Jaya tidak terlalu
berpengaruh dengan lokasi gedung karena peningkatan momen lentur dan tulangan relatif
sama untuk beberapa kota yang ditinjau.

Tabel 5.16 Kebutuhan tulangan maksimum balok gedung pada tanah keras
Kebutuhan tulangan maksimum
% Kenaikan
pada balok (mm)
Gedung Posisi
Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
676 197 Atas - -
GTKPJ02
398 614 Bawah - -
877 281 Atas 29.73 42.64
GTKUG12
569 676 Bawah 42.96 2.58
885 283 Atas 30.92 43.65
GTKTG12
574 676 Bawah 44.22 2.58
915 292 Atas 35.36 48.22
GTKLP12
592 676 Bawah 48.74 2.58

5.5 Kurva Kapasitas


Kurva kapasitas (kurva pushover) adalah kurva yang menunjukkan hubungan gaya
geser dasar (base shear) terhadap peralihan (displacement) yang memperlihatkan perubahan
perilaku struktur dari linier menjadi non-linier, berupa penurunan kekakuan yang
diindikasikan dengan penurunan kemiringan kurva akibat terbentuknya sendi plastis pada
kolom dan balok.
Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan kapasitas struktur gedung yang terletak
di 3 kota di kabupaten Pidie Jaya berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012.
Perbandingan kurva pushover untuk struktur gedung yang terletak pada tanah lunak, sedang
dan keras di kota Ulee Gle, Trienggadeng dan Lueng Putu diperlihatkan pada Gambar 5.13
dan 5.18.

44
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu X
700

650

600

550

500

450
Base Shear (ton)

GTLPJ02
400
GTLUG12
350
GTLTG12
300
GTLLP12
250

200

150

100

50

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0

Displacement (cm)

Gambar 5.13 Perbandingan kurva pushover sumbu x pada tanah lunak

Gambar 5.13 dan 5.14 menunjukkan bahwa struktur gedung yang dianalisa dengan
SNI 1726:2012 memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan gedung yang
dianalisa dengan SNI 03-1726-2002, hal ini disebabkan karena gedung yang dianalisa dengan
SNI 1726:2012 memiliki jumlah tulangan balok yang lebih banyak dari gedung yang
dianalisa dengan SNI 03-1726-2002. Semakin besar percepatan gempa maka dibutuhkan
tulangan balok yang lebih banyak, sehingga kapasitas struktur dalam menerima beban gempa
juga semakin besar.

45
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu Y
700

650

600

550

500

450
Base Shear (ton)

GTLPJ02
400
GTLUG12
350
GTLTG12
300
GTLLP12
250

200

150

100

50

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0

Displacement (cm)

Gambar 5.14 Perbandingan kurva pushover sumbu y pada tanah lunak

Pada gedung yang berlokasi di tanah lunak kapasitas struktur yang terjadi di berbagai
kota yang ditinjau relatif sama, hal ini dapat dilihat dari kurva kapasitas yang berhimpit untuk
sumbu x maupun sumbu y.
Perbandingan base shear maksimum struktur gedung untuk kondisi tanah lunak, pada
lokasi yang ditinjau pada penelitian ditampilkan pada Tabel 5.17. Dapat diketahui bahwa
analisa struktur gedung untuk lokasi tanah lunak dengan menggunakan SNI 1726:2012 di
kabupaten Pidie Jaya tidak terlalu berpengaruh dengan perbedaan lokasi, hal ini dapat dilihat
dari nilai peningkatan nilai base shear maksimum yang relatif sama. Persentase base shear
maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 untuk sumbu x lebih besar 1.8% -
1.9% dibandingkan base shear maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002,
sedangkan untuk sumbu y persentase base shear maksimum lebih besar 1.2%.

46
Tabel 5.17 Perbandingan base shear maksimum gedung pada tanah lunak
Rasio terhadap base shear
Base shear maksimum (ton)
Gedung maksimum gedung GTLPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTLPJ02 579.827 577.952 1 1

GTLUG12 590.447 584.612 1.018 1.012

GTLTG12 590.669 584.660 1.019 1.012

GTLLP12 590.829 584.771 1.019 1.012

Selain dapat meningkatkan base shear gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
juga dapat mengurangi simpangan maksimum sebelum gedung runtuh. Tabel 5.18
memperlihatkan rasio simpangan maksimum sebelum runtuh struktur gedung yang dianalisa
dengan SNI 1726:2012 terhadap gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002.
Simpangan maksimum gedung sebelum runtuh untuk sumbu x yang paling kecil adalah yang
berlokasi di Lueng Putu dengan penurunan sebesar 9.2%, untuk sumbu y simpangan yang
paling kecil juga gedung yang berlokasi di Lueng Putu dengan penurunan sebesar 6.9%.

Tabel 5.18 Perbandingan simpangan maksimum sebelum runtuh pada tanah lunak
Rasio terhadap simpangan
Simpangan maksimum (cm)
Gedung maksimum gedung GTLPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTLPJ02 9.963 8.530 1 1

GTLUG12 9.065 7.953 0.910 0.932

GTLTG12 9.054 7.946 0.909 0.932

GTLLP12 9.050 7.944 0.908 0.931

Gambar 5.15 dan 5.16 memperlihatkan perbandingan kapasitas struktur gedung yang
dianalisa pada kondisi tanah sedang dengan SNI 1726:2012 dan SNI 03-1726-2002, dari
gambar grafik terlihat bahwa kapasitas struktur gedung yang dianalisa pada tanah sedang
dengan SNI 1726:2012 lebih besar dari gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
namun sebaliknya menyebabkan simpangan maksimum sebelum runtuh yang lebih kecil.
Pada gedung yang berlokasi di tanah sedang yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
kapasitas struktur yang terjadi di berbagai kota yang ditinjau juga relatif sama, hal ini dapat
dilihat dari kurva kapasitas yang hampir berhimpit baik untuk sumbu x maupun sumbu y.

47
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu X
700

650

600

550

500

450
Base Shear (ton)

GTSPJ02
400
GTSUG12
350
GTSTG12
300
GTSLP12
250

200

150

100

50

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0

Displacement (cm)

Gambar 5.15 Perbandingan kurva pushover sumbu x pada tanah sedang

Perbandingan base shear maksimum struktur gedung untuk kondisi tanah sedang,
pada lokasi yang ditinjau pada penelitian ditampilkan pada Tabel 5.19.
Persentase base shear maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
untuk pada kondisi tanah sedang sumbu x lebih besar 2.6% - 2.8% dibandingkan base shear
maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002, sedangkan untuk sumbu y
persentase base shear maksimum lebih besar 1.2% - 1.5%.

48
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu Y

700

650

600

550

500

450
Base Shear (ton)

GTSPJ02

400
GTSUG12
350
GTSTG12
300
GTSLP12
250

200

150

100

50

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0

Displacement (cm)

Gambar 5.16 Perbandingan kurva pushover sumbu y pada tanah sedang

Tabel 5.19 Perbandingan base shear maksimum gedung pada tanah sedang
Rasio terhadap base shear
Base shear maksimum (ton)
Gedung maksimum gedung GTSPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTSPJ02 577.113 577.057 1 1

GTSUG12 591.973 584.078 1.026 1.012

GTSTG12 592.008 585.024 1.026 1.014

GTSLP12 593.369 585.494 1.028 1.015

Tabel 5.20 memperlihatkan rasio simpangan maksimum sebelum runtuh struktur


gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 terhadap gedung yang dianalisa dengan SNI
03-1726-2002 pada kondisi tanah sedang. Simpangan maksimum gedung sebelum runtuh
untuk sumbu x yang paling kecil adalah yang berlokasi di Lueng Putu dengan penurunan

49
sebesar 14.5%, untuk sumbu y simpangan paling kecil juga terjadi pada gedung yang
berlokasi di Lueng Putu dengan penurunan sebesar 12.1%.

Tabel 5.20 Perbandingan simpangan maksimum sebelum runtuh pada tanah sedang
Rasio terhadap simpangan
Simpangan maksimum (cm)
Gedung maksimum gedung GTSPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTSPJ02 10.266 8.834 1 1

GTSUG12 9.014 7.925 0.878 0.897

GTSTG12 8.945 7.877 0.871 0.892

GTSLP12 8.775 7.763 0.855 0.879

Perbandingan Kurva Pushover Sumbu X

700

650

600

550

500

450
Base Shear (ton)

GTKPJ02

400
GTKUG12
350
GTKTG12
300
GTKLP12
250

200

150

100

50

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0

Displacement (cm)

Gambar 5.17 Perbandingan kurva pushover sumbu x pada tanah keras

Gambar 5.17 dan 5.18 memperlihatkan perbandingan kapasitas struktur gedung yang
dianalisa pada kondisi tanah keras dengan SNI 1726:2012 dan SNI 03-1726-2002, dari

50
gambar grafik terlihat bahwa kapasitas struktur gedung yang dianalisa pada tanah keras
dengan SNI 1726:2012 lebih besar dari gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
namun simpangan maksimum sebelum runtuh yang terjadi juga lebih lebih kecil.
Pada gedung yang berlokasi di tanah keras yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
kapasitas struktur yang terjadi di 3 kota yang ditinjau juga relatif sama, hal ini dapat dilihat
dari kurva kapasitas yang hampir berhimpit baik untuk sumbu x maupun sumbu y.

Perbandingan Kurva Pushover Sumbu Y


700

650

600

550

500

450
Base Shear (ton)

GTKPJ02
400
GTKUG12
350
GTKTG12
300
GTKLP12
250

200

150

100

50

0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0

Displacement (cm)

Gambar 5.18 Perbandingan kurva pushover sumbu y pada tanah keras

Persentase base shear maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
untuk kondisi tanah keras sumbu x lebih besar 2.5% - 3.2% dibandingkan base shear
maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002, sedangkan untuk sumbu y
persentase base shear maksimum lebih besar 1.3% - 1.6%. Peningkatan yang paling besar
terjadi pada gedung yang berlokasi di Lueng Putu sedangkan yang terkecil terdapat di Ulee
Gle. Pada Tabel 5.22 memperlihatkan perbandingan simpangan maksimum gedung sebelum
runtuh dan rasio terhadap simpangan maksimum gedung pada lokasi tanah keras yang
dihitung dengan SNI 03-1726-2002. Simpangan maksimum yang terkecil terjadi pada gedung

51
yang berlokasi di Lueng Putu untuk sumbu x dan sumbu y, sedangkan simpangan maksimum
yang terbesar untuk sumbu x dan sumbu y terjadi pada gedung yang berlokasi di Ulee Gle.

Tabel 5.21 Perbandingan base shear maksimum gedung pada tanah keras
Rasio terhadap base shear
Base shear maksimum (ton)
Gedung maksimum gedung GTKPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTKPJ02 572.886 576.122 1 1

GTKUG12 587.347 583.539 1.025 1.013

GTKTG12 589.972 584.337 1.030 1.014

GTKLP12 590.990 585.277 1.032 1.016

Tabel 5.22 Perbandingan simpangan maksimum sebelum runtuh pada gedung tanah
keras
Rasio terhadap simpangan
Simpangan maksimum (cm)
Gedung maksimum gedung GTKB02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTKPJ02 10.435 9.051 1 1

GTKUG12 9.198 8.021 0.881 0.886

GTKTG12 9.186 8.014 0.880 0.885

GTKLP12 9.012 7.957 0.864 0.879

Dari hasil yang telah didapatkan pada grafik dan tabel di atas terlihat bahwa nilai base
shear berbanding terbalik dengan simpangan maksimum gedung sebelum runtuh, dimana
semakin besar nilai base shear maka simpangan maksimum yang terjadi semakin kecil.

5.6 Evaluasi Kinerja Struktur Berdasarkan Metode Spektrum Kapasitas


Metode spektrum kapasitas pada Applied Technology Council (ATC-40) merupakan
metode yang telah built-in dalam program ETABS. Metode ini mengkonversi kurva pushover
dan kurva respons spektrum yang telah direduksi ke format ADRS sehingga dapat diplotkan
pada sumbu yang sama. Data yang dimasukkan cukup dengan memberikan kurva Respons
Spektrum Rencana, dalam hal ini cukup memasukkan parameter Ca dan Cv, dalam analisa ini
untuk gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 menggunaakan nilai Ca dan Cv
untuk wilayah 4 dengan kondisi tanah lunak, sedang dan keras. Sedangkan untuk gedung
yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 menggunakan nilai Sa dan S D1 untuk masing – masing

52
kota yang ditinjau dengan kondisi tanah lunak, sedang dan keras. Target perpindahan struktur
gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 dan SNI 03-1726-2002 dan hasil evaluasi
kinerja berdasarkan ATC-40 ditampilkan pada Tabel 5.23 – 5.25.

Tabel 5.23 Penentuan kinerja gedung pada tanah lunak


Target Perpindahan Level Kinerja
Gedung Sumbu D1 (m) Maximum Maximum
V (ton) Dt (m)
Total Drift Inelastic Drift
x - - - - -
GTLPJ02
y 510.371 0.054 0.0079 0.004 (IO) 0.004 (IO)
x 562.900 0.075 0.0056 0.006 (IO) 0.006 (DC)
GTLUG12
y 439.271 0.028 0.0066 0.002 (IO) 0.002 (IO)
x 564.218 0.075 0.0056 0.006 (IO) 0.006 (DC)
GTLTG12
y 440.048 0.028 0.0066 0.002 (IO) 0.002 (IO)
x 566.117 0.076 0.0056 0.006 (IO) 0.006 (DC)
GTLLP12
y 441.288 0.029 0.0067 0.002 (IO) 0.002 (IO)

Pada tabel 5.23 dapat diketahui level kinerja struktur gedung yang dievaluasi pada
tanah lunak dengan menggunakan analisa pushover berdasarkan metode spektrum kapasitas
ATC-40 adalah Immediate Occupancy (IO) untuk kondisi elastis dan pada kondisi inelastik
untuk sumbu x adalah Damage Control (DC) sedangkan untuk sumbu y Immediate
Occupancy (IO).

Tabel 5.24 Penentuan kinerja gedung pada tanah sedang


Target Perpindahan Level Kinerja
Gedung Sumbu D1 (m) Maximum Maximum
V (ton) Dt (m)
Total Drift Inelastic Drift
x 526.459 0.074 0.0062 0.006 (DC) 0.006 (DC)
GTSPJ02
y 470.845 0.046 0.0067 0.004 (IO) 0.003 (IO)
x 555.426 0.068 0.0067 0.005 (IO) 0.005 (IO)
GTSUG12
y 447.717 0.029 0.0074 0.002 (IO) 0.002 (IO)
x 548.095 0.065 0.0071 0.005 (IO) 0.005 (IO)
GTSTG12
y 452.052 0.029 0.0077 0.002 (IO) 0.002 (IO)
x 567.154 0.072 0.0085 0.006 (DC) 0.005 (IO)
GTSLP12
y 465.115 0.030 0.0090 0.002 (IO) 0.002 (IO)

Pada lokasi tanah sedang dengan arah sumbu x gedung yang ditinjau di lokasi Ulee
Gle memiliki level kinerja IO, sedangkan untuk gedung yang terletak di kota Lueng Putu
yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki level kinerja DC. Pada sumbu y gedung yang
dianalisa dengan SNI 1726:2012 semua level kinerja struktur adalah IO, sedangkan yang
dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 level kinerja adalah DC (lihat Tabel 5.24). Level kinerja
DC artinya pada saat terjadi gempa kuat gedung sudah terjadi kerusakan namun masih dapat

53
diperbaiki. Untuk kondisi tanah keras semua level kinerja adalah IO untuk semua lokasi yang
ditinjau baik untuk arah sumbu x maupun sumbu y (lihat Tabel 5.25).

Tabel 5.25 Penentuan kinerja gedung pada tanah keras


Target Perpindahan Level Kinerja
Gedung Sumbu D1 (m) Maximum Maximum
V (ton) Dt (m)
Total Drift Inelastic Drift
x 460.493 0.052 0.0052 0.004 (IO) 0.004 (IO)
GTKPJ02
y 427.798 0.039 0.0032 0.003 (IO) 0.003 (IO)
x 529.921 0.058 0.0047 0.005 (IO) 0.004 (IO)
GTKUG12
y 423.982 0.027 0.0055 0.002 (IO) 0.002 (IO)
x 534.023 0.059 0.0051 0.005 (IO) 0.004 (IO)
GTKTG12
y 429.642 0.028 0.0058 0.002 (IO) 0.002 (IO)
x 544.137 0.061 0.0063 0.005 (IO) 0.004 (IO)
GTKLP12
y 452.485 0.028 0.0070 0.002 (IO) 0.002 (IO)

54
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa untuk kabupaten
Pidie Jaya, penggunaan SNI 1726:2012 lebih berpengaruh pada kondisi tanah keras dan tanah
sedang dibandingkan pada tanah lunak. Pada tanah lunak peningkatan gaya geser dasar
maupun dampak lainnya tidak terlalu berpengaruh dengan perbedaan lokasi, karena hasil
yang didapatkan relatif sama untuk 3 kota yang ditinjau di kabupaten Pidie Jaya. Untuk
tahapan berikutnya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk wilayah kabupaten lain yang
ada di provinsi Aceh sebagai pedoman praktis atau referensi yang dapat digunakan untuk
perencanaan gedung di provinsi Aceh berdasarkan SNI gempa 1726:2012.

55
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Penerapan SNI gempa 1726:2012 berpengaruh terhadap peningkatan gaya geser dasar
dan total drift, momen lentur dan kebutuhan tulangan pada balok.
2. Peningkatan gaya geser dasar gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 pada
tanah keras dan tanah sedang lebih besar dibandingkan peningkatan yang terjadi pada
gedung yang terletak pada tanah lunak,
3. Gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki total drift yang lebih besar
dibandingkan gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 pada berbagai lokasi
yang ditinjau di Pidie Jaya, namun gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
memiliki nilai story drift yang lebih kecil dibandingkan gedung yang dianalisa dengan
SNI 03-1726-2002 kecuali gedung GTKLP.
4. Kinerja struktur yang ditinjau berada pada level Immediate Occupancy (IO) dan
Damage Control (DC) pada gedung yang terletak pada tanah lunak dan sedang,
sedangkan untuk gedung yang terletak pada tanah keras semua kinerja struktur berada
pada level IO.

7.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah didapatkan maka dapatkan disarankan hal – hal
sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan kajian terhadap gedung dengan fungsi yang lain selain gedung
pendidikan,
2. Dapat dilanjutkan penelitian berikutnya untuk wilayah kabupaten lainnya yang ada di
Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan informasi secara keseluruhan Implikasi
penerapan SNI 1726:2012 untuk seluruh wilayah Aceh.

56
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional, 2002, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung, SNI 03-1726-2002. Bandung.
Badan Standardisasi Nasional, 2012, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, SNI 1726-2012. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional, 2013, Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung,
SNI 2847-2013. Jakarta.
Arfiadi, Y dan Iman Satyarno, 2013, Perbandingan Spektra Desain Beberapa Kota Besar di
Indonesia dalam SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa 2002. Konferensi Nasional Teknik
Sipil 7. 24-26 Oktober : Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Budiono, B, dan Lucky Supriatna, 2011, Studi Komparasi Desain Bangunan Tahan Gempa
Dengan Menggunakan SNI 03-1726-2002 dan RSNI 03-1726-2012, Penerbit ITB,
Bandung.
Dewobroto. W, 2005,“Evaluasi Kinerja Portal Baja Tahan Gempa Dengan SAP2000“ Civil
Engineering National Conference. 17-18 Juni : Unika Soegijapranata – Semarang.
Pranata, Y.A, 2006, Evaluasi Kinerja Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa Dengan
Pushover Analisys, Jurnal Teknik Sipil. Vol.3, No.2 : hal.41-52.
Wibowo, dkk, 2010, Menentukan Level Kinerja Struktur Beton Bertulang Pasca Gempa,
Media Teknik Sipil. Vol.11 : hal.49-54.

57
Lampiran 1. Peta lokasi dan koordinat daerah tinjauan lokasi gedung

Peta lokasi dan koordinat di Ulee Gle

Peta lokasi dan koordinat di Trienggadeng

58
Peta lokasi dan koordinat di Lueng Putu

59
Lampiran 2. Surat keterangan submit jurnal

60

Anda mungkin juga menyukai