LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN PEMULA
TIM PENGUSUL :
Suhaimi, ST., MT (NIDN: 0113018502)
R. Dedi Iman Kurnia, ST., MT (NIDN: 0130097902)
UNIVERSITAS ALMUSLIM
NOVEMBER 2018
0
1
RINGKASAN
Pada tanggal 7 Desember 2016 telah terjadi gempa bumi di kabupaten Pidie Jaya yang
menimbulkan banyak korban jiwa akibat keruntuhan bangunan. Umumnya bangunan tersebut
telah dibangun sebelum dikeluarkannya SNI gempa 1726:2012. Hal ini menjadi latar
belakang dilakukannya penilitian untuk melihat respons struktur dan kinerja bangunan yang
sebelumnya telah didesain menggunakan SNI 2002 terhadap desain yang menggunakan SNI
2012 di kabupaten Pidie Jaya. Peta zonasi gempa tahun 2010 yang dituangkan dalam
peraturan baru beban gempa untuk gedung (SNI 1726:2012) harus digunakan sebagai dasar
untuk perencanaan beban gempa untuk gedung di Indonesia sebagai pengganti peraturan
gempa tahun 2002 (SNI 03-1726-2002). Penerapan peta zonasi dan peraturan gempa yang
baru berdampak pada kinerja struktur gedung yang telah direncanakan dengan menggunakan
peraturan gempa tahun 2002. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Implikasi penerapan
SNI 1726:2012 terhadap kinerja struktur gedung yang telah dibangun sebelumnya dengan
menggunakan peraturan gempa tahun 2002 di kabupaten Pidie Jaya. Metode penelitian adalah
simulasi yang dilakukan dengan software ETABS v.9.6.0. Gedung yang ditinjau adalah
gedung pendidikan 3 lantai pada kondisi tanah lunak, sedang dan keras yang terletak di 3 kota
di wilayah kabupaten Pidie Jaya. Dari hasil penilitian didapatkan peningkatan gaya geser
dasar dan simpangan lantai (total drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 pada
tanah keras dan tanah sedang lebih besar dibandingkan peningkatan yang terjadi pada gedung
yang terletak pada tanah lunak. Gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki
perbedaan simpangan lantai yang lebih besar pada kondisi tanah sedang dan keras untuk
berbagai lokasi, sedangkan pada kondisi tanah lunak simpangan lantai yang terjadi relatif
sama untuk berbagai lokasi. Gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki nilai
story drift yang lebih kecil dibandingkan gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
kecuali gedung GTKLP. Peningkatan gaya – gaya dalam menyebabkan kebutuhan tulangan
juga semakin besar. Peningkatan tulangan yang paling besar terjadi pada gedung yang
terletak di kota Lueng Putu dan yang paling kecil pada gedung yang terletak di kota Ulee
Gle. Pengaruh yang paling besar penerapan SNI 1726:2012 untuk kabupaten Pidie Jaya
terjadi untuk gedung yang terletak pada kondisi tanah keras. Kinerja struktur gedung yang
ditinjau pada penelitian ini berada pada level IO dan DC untuk tanah lunak dan tanah sedang,
sedangkan pada lokasi tanah keras gedung yang ditinjau memiliki kinerja IO untuk semua
lokasi.
Kata kunci : Implikasi, Peta Zonasi Gempa, SNI 03-1726-2002, SNI 1726:2012
2
PRAKATA
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
melimpahkan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Laporan Akhir Penelitian
Dosen Pemula (PDP) yang berjudul “Studi Implikasi Penerapan SNI Gempa 1726:2012
Terhadap Kinerja Struktur Gedung di Kabupaten Pidie Jaya”.
Penelitian dan penyusunan laporan akhir ini telah terlaksana dengan bantuan dari
berbagai pihak, rekan dosen sejawat, laboran dan mahasiswa. Oleh karena itu peneliti
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Peneliti juga
mengucapkan terima kasih kepada LLDIKTI wilayah XIII dan Kemenristekdikti yang telah
memfasilitasi penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan lancar.
Peneliti menyadari bahwa laporan akhir ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan,
besar harapan kami semua pihak yang membaca dapat memberikan saran dan masukan
supaya penelitian dan penulisan laporan yang akan dilakukan dimasa mendatang dapat lebih
sempurna.
Semoga penelitian dan laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca
maupun pihak – pihak yang membutuhkannya.
3
DAFTAR ISI
4
BAB IV. METODE PENELITIAN .................................................................................. 24
4.1 Data Struktur Bangunan ............................................................................. 24
4.2 Mutu Bahan dan Dimensi Elemen Struktur ............................................... 25
4.3 Sistem Struktur dan Pemodelan ................................................................. 26
4.4 Tahapan Penelitian ..................................................................................... 26
5
BAB I
PENDAHULUAN
Gempa Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan gempa yang
terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 2016 juga telah terjadi
gempa bumi di kabupaten Pidie Jaya yang menimbulkan banyak korban jiwa akibat
keruntuhan bangunan. Hal ini menjadi latar belakang dilakukannya penilitian untuk melihat
respons struktur dan kinerja bangunan yang sebelumnya telah didesain menggunakan SNI
2002 terhadap desain yang menggunakan SNI 2012 di kabupaten Pidie Jaya. Ada perbedaan
yang signifikan pada beberapa koefisien gempa pada SNI 1726:2012 sebagai pengganti SNI
03-1726-2002, diantaranya peta zonasi gempa pada SNI 03-1726-2002 dibagi kepada 6
wilayah gempa, sedangkan pada SNI 1726:2012 peta zonasi gempa dibagi berdasarkan
parameter percepatan gempa Ss (percepatan batuan dasar pada periode pendek) dan S1
(percepatan batuan dasar pada periode 1 detik). Fasilitas pendidikan mendapatkan prioritas
yang lebih tinggi pada SNI 1726:2012 sebagai gedung yang tahan terhadap gempa, hal ini
dapat dilihat dari faktor keutamaan gempa yang bernilai 1,5 sedangkan pada SNI 03-1726-
2002 faktor keutamaan gempa untuk gedung pendidikan bernilai 1.
Dengan diterapkannya SNI 1726:2012 sebagai pedoman untuk perencanaan gedung
yang tahan gempa, maka akan terjadi perbedaan desain struktur gedung. Berdasarkan SNI 03-
1726-2002 kabupaten Pidie Jaya berada pada zona dengan risiko gempa sedang yaitu zona 4,
sedangkan berdasarkan SNI 1726:2012 kabupaten Pidie Jaya berada pada zona dengan risiko
gempa tinggi yaitu dengan kategori desain seismik D (KDS D). Oleh karena itu penelitian ini
perlu dilakukan untuk melihat perbedaan kinerja struktur gedung yang terletak di kabupaten
Pidie Jaya sebagai dampak penerapan SNI 1726:2012.
Studi yang dilakukan pada penelitian ini adalah simulasi gedung pendidikan yang
terletak di wilayah Kabupaten Pidie Jaya yaitu Kota Ulee Gle, Kota Trienggadeng dan Kota
Lueng Putu. Gedung yang direncanakan terdiri dari 3 lantai yang terletak pada tanah lunak,
sedang dan keras. Analisis struktur dilakukan dengan bantuan software ETABS v 9.6.0.
Analisa pushover digunakan untuk mengkaji level kinerja struktur gedung.
6
1.2 Rumusan Masalah
Setelah diberlakukannya SNI 1726:2012 sebagai pengganti SNI 03-1726-2002 untuk
pedoman dalam perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan gedung, terjadi perbedaan
penentuan parameter dan koefisien dalam pembebanan gempa maupun penetapan wilayah
gempa. Hal ini tentu berdampak pada perubahan kinerja gedung akibat beban gempa. Adapun
rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Berapa besar perbedaan gaya geser dasar (base shear), drift ratio, momen lentur pada
balok, jumlah tulangan dan simpangan maksimum atap yang terjadi apabila diberikan
beban gempa yang menggunakan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012?
2. Bagaimana pengaruh beban gempa berdasarkan SNI 1726:2012 terhadap level kinerja
struktur gedung yang terletak di kabupaten Pidie Jaya ?
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.4 Perbandingan Spektra Desain SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012
Menurut Arfiadi dan Iman (2013), dengan diberlakukannya SNI Gempa 2012 maka
semua gedung saat ini harus direncanakan dengan peraturan yang baru, dan bangunan yang
sudah ada harus dievaluasi keamanannya terhadap peraturan yang baru ini. Beberapa skema
penanganan terhadap bangunan yang sudah ada sebagai akibat adanya peraturan yang baru ini
juga tentunya harus dibuat untuk mengetahui dan meningkatkan keamanannya.
Perubahan respons spektra SNI 1726:2012 bergantung pada pergerakan wilayah
kegempaan dari tahun 2002 ke 2012 pada daerah tersebut. Sehingga pergerakan tanah ini,
menjadi faktor perubahan nilai respons spektra pada SNI yang baru. Pembagian wilayah
gempa berdasarkan SNI 03-1726-2002 tidak menjadi patokan untuk perubahan respons
spektra SNI 1726:2012. Tidak selalu wilayah kegempaan dengan gempa tinggi pada SNI
1726:2012 mengalami kenaikan pada respons spektranya. Begitu juga pada wilayah
kegempaan dengan gempa yang rendah.
Kekurangan dari SNI 03-1726-2002 yaitu pada pembagian wilayah kegempaannya. Di
dalam zona gempa SNI 2002 menganggap semua daerah di setiap kota memiliki respons
spektra yang sama. Tetapi pada kenyataannya setiap daerah atau dalam lingkup yang kecil
misalnya setiap kecamatan pada suatu kabupaten tidak memiliki respons spektra yang sama.
Kekurangan ini menjadi kelebihan dari SNI 1726:2012 sebagai standar kegempaan yang telah
diperbaharui. Kelebihan dari SNI 1726:2012 adalah setiap tempat atau setiap lokasi dengan
koordinat lintang dan bujurnya memiliki respons spektra yang berbeda. Karena wilayah
gempa ditentukan berdasarkan parameter gerak tanah Ss (percepatan batuan dasar pada
periode pendek 0,2 detik) dan S1 (percepatan batuan dasar pada periode 1 detik). Sehingga
respon spektra yang terbentuk berbeda pada setiap tempat.
Dimana :
Vt = geser dasar prosedur gaya lateral ekivalen
V1 = geser dasar dari kombinasi ragam yang disyaratkan
10
Gambar 2.1 Penentuan Simpangan Antar Lantai Berdasarkan
SNI 1726:2012
Sumber : Anonim (2012)
Defleksi pusat massa di tingkat x (δx) dalam mm harus ditentukan sesuai dengan
persamaan berikut :
δx = ................................................................... (2.2)
dimana :
Cd = faktor pembesaran defleksi
= defleksi pada lokasi yang disyaratkan dan ditentukan sesuai dengan analisis elastik
Ie = faktor keutamaan gempa
Keterangan Gambar :
Tingkat 3
F3 = gaya gempa desain tingkat kekuatan
= perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat kekuatan
= Cd /IE = perpindahan yang diperbesar
= ( - ) Cd/IE ≤
Tingkat 2
F2 = gaya gempa desain tingkat kekuatan
= perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat kekuatan
11
= Cd /IE = perpindahan yang diperbesar
= ( - ) Cd/IE ≤
Tingkat 1
F1 = gaya gempa desain tingkat kekuatan
= perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat kekuatan
= Cd /IE = perpindahan yang diperbesar
= ≤
dimana :
= simpangan antar lantai
/Li = rasio simpangan antar lantai
= perpindahan total
Simpangan antar lantai tingkat desain (∆) tidak boleh melebihi simpangan antar lantai tingkat
ijin ).
12
Gambar 2.2 menjelaskan secara kualitatif level kinerja (performance levels) FEMA
273 yang digambarkan bersama dengan suatu kurva hubungan gaya-perpindahan yang
menunjukkan perilaku struktur secara menyeluruh (global) terhadap pembebanan lateral.
Kurva tersebut dihasilkan dari analisa statik non-linier khusus yang dikenal sebagai analisa
pushover, sehingga disebut juga sebagai kurva pushover.
Berdasarkan ATC-40 level kinerja struktur terdiri dari 6 tingkatan seperti ditampilkan
pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.2 Batasan rasio drift atap untuk penentuan level kinerja menurut ATC-40
Level Kinerja
Interstory Drift Limit Immediate Damage Structural
Life Safety
Occupancy Control Stability
Maximum Total Drift 0,01 0.01 s.d 0.02 0,02 0,33 Vi/Pi
Maximum Inelastic Drift 0,005 0,005 - 0,015 No Limit No Limit
13
Dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Dimana :
Dt = Target perpindahan (m)
D1 = Perpindahan pertama dari analisa pushover
H = Tinggi total bangunan
14
B C
My
Tarik D E
θ
A
Tekan y θ
y
My
B CP
LS
IO
D E
A
Deformasi
Gambar 2.4 juga memperlihatkan perilaku pasca elastik struktur portal yang diwakili
oleh lima titik. Titik A merupakan kondisi awal struktur tanpa beban, selanjutnya elemen
mencapai leleh pada titik B. Tidak ada deformasi sendi plastis yang terjadi sampai dengan
titik B. Sebelum mencapai titik B, semua deformasi adalah linier dan terjadi dalam portal itu
sendiri, tidak dalam sendi plastis. Ordinat C menyatakan kapasitas ultimit struktur telah
dicapai. Hal ini berarti bahwa deformasi dengan penurunan kekakuan telah dimulai.
15
Kerusakan elemen ditunjukkan oleh garis menurun C – D. Kemampuan struktur terhadap
beban lateral di bawah titik C tidak terjamin. Titik D merupakan kekuatan sisa (residual
strength) untuk beban dorong statik, sedangkan titik E menunjukkan kerusakan total struktur
telah terjadi.
Hasil dari analisis pushover adalah kurva kapasitas (capacity curve). Agar kurva
kapasitas dan kurva kebutuhan ini dapat dibandingkan secara langsung, maka kurva kapasitas
struktur harus digambarkan menjadi satu dengan kurva kebutuhan dalam format Acceleration
(Sa) and Displacement (Sd) Response Spectrum (ADRS). Kurva kapasitas hasil analisis
pushover diubah menjadi spektrum kapasitas seperti Gambar 2.5 melalui Persamaan (2.5)
sampai (2.9).
V
Sa = ................................................................... (2.5)
1 W
roof
Sd = ................................................................ (2.6)
PF1 1,roof
2
N W 1i
g
1 = N
i 1
………………………………… (2.7)
wi wi 1i
N
g g
i 1 i 1
N
wi 1i
g
PF1 = i 1 .......................................................... (2.8)
wi 1i
N 2
i 1 g
di mana:
Sa = Spectral acceleration
Sd = Spectral displacement
16
wi
= Massa pada level i
g
Setelah performance point diperoleh, dapat diketahui nilai simpangan antar tingkat
dan posisi sendi plastis untuk berbagai periode ulang gempa. Selain itu, dapat ditentukan
tingkat kinerja struktur dari simpangan antar tingkat untuk berbagai periode ulang gempa.
17
2.12 Performance Point
Performance point adalah titik di mana capacity sama dengan demand. Salah satu
analisis yang dapat digunakan untuk mendapatkan performance point, seperti diisyaratkan
pada Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung SNI 03-1726-2002,
adalah analisis statik non-linear pushover.
18
- Pola kedua adalah distribusi merata sesuai dengan proporsi total massa pada lantai.
a). Pola Merata b). Pola Segitiga c). Pola Ragam Tinggi
19
Gambar 2.7 Parameter Data Respons Spektrum Rencana
Sumber : Dewobroto (2005)
2.17 Daktilitas
Menurut Budiono (2011), daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk
mengalami simpangan pasca elastik yang besar secara berulang kali dan bolak balik akibat
beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama sambil
mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup sehingga struktur gedung tersebut tetap
20
berdiri walaupun sudah berada dalam kondisi diambang keruntuhan. Faktor daktilitas struktur
gedung μ adalah rasio antara simpangan maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa
rencana pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan δ m dan simpangan struktur gedung
saat terjadinya pelelehan pertama δ y dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.10.
1 ≤ μ =
m
≤ μm …..……………........……...…..... (2.10)
y
μ = 1 : nilai faktor daktilitas untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh
μm : nilai faktor daktilitas untuk struktur gedung yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan
Dalam mekanisme kerusakan, struktur harus didesain pada lokasi – lokasi tertentu
sehingga setelah gempa kuat terjadi struktur dapat diperbaiki. Lokasi kerusakan didesain pada
balok dan kolom lantai dasar yang disebut sendi plastis. Sendi plastis harus mampu
berdeformasi secara in-elastik dan maksimum dengan cara memindahkan energi gempa
secara baik melalui proses plastisitas. Untuk mendapatkan mekanisme tersebut, harus
didesain sesuai konsep strong coloumn-weak beam. Konsep tersebut mengharuskan kapasitas
nominal pada kolom lebih besar 1,2 kali kapasitas nominal pada balok.
Perencanaan struktur yang mengatur kemampuan struktur untuk bertahan pada saat
terjadinya gempa kuat meskipun terjadi kerusakan pada sendi plastis disebut dengan damage
control. Pengaturan besar nilai deformasi sebagai fungsi daktilitas diperlihatkan pada Gambar
2.8.
21
Gambar 2.8 Mekanisme Desain Bangunan Berdasarkan Faktor Daktilitas
Dan Kuat Lebih
22
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
23
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Tahap penelitian ini dimulai dengan studi literatur, dilanjutkan dengan penyiapan
peralatan dan data struktur bangunan, perhitungan pembebanan struktur gedung, pemodelan
struktur dengan software ETABS v9.6.0, analisis struktur dan melakukan kontrol analisis.
Metode penelitian adalah simulasi dan komparasi yang bersifat membandingkan
koefisien gempa berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012 serta pengaruhnya
terhadap kinerja struktur gedung.
24
Gambar 4.2. Tampilan bangunan 3D
Gedung yang terletak pada tanah lunak yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
selanjutnya disebut GTLPJ02, sedangkan yang dianalisa dengan menggunakan SNI
1726:2012 mengikuti nama kota yaitu GTLUG12, GTLTG12 dan GTLLP12. Sedangkan
untuk gedung pada tanah sedang selanjutnya disebut GTSUG02, GTSTG12 dan GTSLP12.
Untuk gedung pada tanah keras selanjutnya disebut GTKUG02, GTKTG12 dan GTKLP12.
25
4.3 Sistem Struktur dan Pemodelan
Struktur Gedung ini termasuk dalam kategori Struktur Rangka Pemikul Momen
Khusus (SRPMK) beton bertulang, untuk koefisien modifikasi respons berdasarkan SNI 03-
1726-2002 adalah 8,5 dan berdasarkan SNI 1726:2012 adalah 8. Kolom dan balok
dimodelkan dengan frame, plat lantai dimodelkan dengan shell. Karena plat lantai
mempunyai kekakuan yang cukup besar searah bidang lantai dan keberadaan bukaan pada
tiap lantai kurang dari 50% dari jumlah total seluruh luas lantai bangunan, maka keberadaan
plat lantai dapat dianggap sebagai diafragma yang dapat menyalurkan beban gempa pada
struktur utama. Pondasi bangunan adalah pondasi tapak dianggap dapat memberikan
kekekangan terhadap translasi dan rotasi, sehingga seluruh perletakan bangunan dimodelkan
sebagai perletakan jepit.
Struktur gedung berfungsi sebagai gedung pendidikan sehingga berdasarkan SNI 03-
1726-2002 memiliki faktor keutamaan gempa 1, sedangkan menurut SNI 1726:2012 faktor
keutamaan gempa 1,5 dengan kategori resiko IV. Analisa ragam spektrum respons digunakan
sebagai simulasi gempa, yaitu memakai spektrum respons gempa rencana wilayah 4 untuk
daerah Pidie Jaya, sedangkan sesuai SNI 1726:2012 berdasarkan desain spektra Indonesia
untuk wilayah Pidie Jaya dengan parameter percepatan batuan dasar periode pendek Ss dan
parameter percepatan batuan dasar periode 1 detik S1 sesuai spektra dari PUSKIM PU.
26
Mulai
Studi literatur
Pemodelan dalam
ETABS v 9.6.0
ya
Penentuan tipe dan
posisi sendi plastis
Kesimpulan / Saran
Selesai
27
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
28
17 B29-30 0o - B LT1 20.421 MPa 251.055 Kg/cm3
18 B30-31 0o - B LT1 20.424 MPa 251.096 Kg/cm4
19 B37-34 0o - U LT1 20.379 MPa 250.538 Kg/cm2
20 B40-41 0o - U LT1 20.362 MPa 250.330 Kg/cm2
29
Tabel 5.5 Hasil pengujian Hammer balok lantai 2
30
5.2 Analisa Struktur
Berdasarkan analisa struktur didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan gaya
geser dasar untuk gedung yang dianalisa dengan menggunakan peraturan gempa SNI 03-
1726-2002 untuk kota Ulee Gle, kota Trienggadeng dan kota Lueng Putu karena berdasarkan
SNI gempa tahun 2002 ketiga kota tersebut berada pada wilayah gempa 4. Dari hasil analisa
struktur gedung berdasarkan pembebanan gempa SNI 1726:2012 didapatkan hasil yang
berbeda untuk ketiga kota kecamatan tersebut, dimana gaya geser dasar yang terbesar
terdapat pada gedung yang berlokasi di kota Lueng Putu, sedangkan gaya geser dasar yang
terkecil terdapat pada gedung yang berlokasi di kota Ule Glee.
Dengan analisa struktur gedung berdasarkan SNI 1726:2012 terlihat bahwa terjadinya
peningkatan gaya geser dasar yang terdapat pada struktur bangunan karena perbedaan lokasi
bangunan. Peningkatan gaya geser dasar ini akan berpengaruh terhadap gaya – gaya dalam
pada struktur bangunan dan menyebabkan kebutuhan tulangan yang semakin banyak, baik
tulangan utama maupun tulangan geser. Besarnya gaya geser dasar yang diterima oleh
struktur gedung juga semakin besar dengan penerapan SNI 1726:2012. Pada tabel 5.8 – 5.10
ditampilkan perbandingan gaya geser dasar gedung yang dianalisis dengan SNI 1726:2012
dan SNI 03-1726-2002.
31
Tabel 5.9 Gaya geser dasar pada gedung di tanah sedang
Rasio terhadap gaya geser dasar
Gaya geser dasar (ton)
Gedung gedung GTSPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTSPJ02 127.69 125.19 1 1
Pada tabel 5.8 – 5.10 terlihat bahwa peningkatan gaya geser dasar yang terbesar
secara berurut adalah gedung pada tanah keras, gedung pada tanah sedang dan gedung pada
tanah lunak. Perbedaan persentase kenaikan gaya geser dasar antar kota di kabupaten Pidie
Jaya yang terjadi pada tanah lunak relatif kecil dibandingkan dengan kenaikan pada tanah
sedang dan tanah keras.
32
simpangan antar lantai yang terjadi pada gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 lebih
kecil dibandingkan simpangan antar lantai gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002,
namun untuk lokasi kota yang ditinjau di kabupaten Pidie Jaya menggunakan SNI 1726:2012
juga menunjukkan grafik story drift yang berhimpit, hal ini karena story drift dari beberapa
kota yang ditinjau relatif sama. Dari Gambar 5.2 dan 5.4 juga dapat diketahui bahwa
simpangan antar lantai (story drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 maupun
SNI 1726:2012 tidak melewati batas simpangan ultimit yang ditetapkan.
13000
12000
11000
10000
9000
Ketinggian (mm)
8000
7000 GTLPJ02
6000 GTLUG12
5000 GTLTG12
GTLLP12
4000
3000
2000
1000
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0
Gambar 5.1 Perbandingan total drift gedung sumbu x pada tanah lunak
33
Perbandingan Story Drift Sumbu X
4
GTLPJ02
GTLUG12
Lantai
Ke -
2 GTLTG12
GTLLP12
BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12
0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0
Gambar 5.2 Perbandingan story drift gedung sumbu x gedung pada tanah lunak
13000
12000
11000
10000
9000
Ketinggian (mm)
8000
7000 GTLPJ02
6000 GTLUG12
5000 GTLTG12
GTLLP12
4000
3000
2000
1000
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0
Gambar 5.3 Perbandingan total drift gedung sumbu y pada tanah lunak
34
Perbandingan Story Drift Sumbu Y
GTLPJ02
GTLUG12
Lantai
Ke -
2 GTLTG12
GTLLP12
BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12
0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0
Gambar 5.4 Perbandingan story drift gedung sumbu y gedung pada tanah lunak
Gambar 5.5 - 5.8 merupakan perbandingan diagram perpindahan (total drift) terhadap
ketinggian bangunan dan simpangan antar lantai (story drift) pada kondisi elastis dalam arah
sumbu x dan sumbu y untuk kondisi tanah sedang. Dari perbandingan diagram tersebut, total
drift yang dihasilkan pada gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 lebih besar
dibandingkan gedung yang di analisa dengan menggunakan SNI 03-1726-2002. Namun pada
grafik perbandingan story drift dapat dilihat bahwa gedung yang dianalisa dengan SNI
1726:2012 memiliki story drift lebih kecil dibandingkan gedung yang dianalisa dengan SNI
03-1726-2002. Pada grafik tersebut terlihat bahwa GTSLP12 yang dianalisa menggunakan
SNI 1726:2012 memiliki nilai total drift dan story drift yang paling besar untuk sumbu x dan
sumbu y, sedangkan GTSUG12 memiliki nilai total drift dan story drift yang paling kecil.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan SNI 1726:2012 akan menghasilkan nilai
total drift dan story drift yang berbeda di berbagai lokasi di kabupaten Pidie Jaya pada
kondisi tanah sedang. Dari Gambar 5.5 - 5.8 juga dapat diketahui bahwa simpangan antar
lantai (story drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 maupun SNI 1726:2012
tidak melewati batas simpangan ultimit yang ditetapkan.
35
Perbandingan Total Drift Sumbu X
13000
12000
11000
10000
9000
Ketinggian (mm)
8000
7000 GTSPJ02
6000 GTSUG12
5000 GTSTG12
GTSLP12
4000
3000
2000
1000
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0
Gambar 5.5 Perbandingan total drift gedung sumbu x pada tanah sedang
GTSPJ02
GTSUG12
Lantai
Ke -
2 GTSTG12
GTSLP12
BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12
0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0
Gambar 5.6 Perbandingan story drift gedung sumbu x gedung pada tanah sedang
36
Perbandingan Total Drift Sumbu Y
13000
12000
11000
10000
9000
Ketinggian (mm)
8000
7000 GTSPJ02
6000 GTSUG12
5000 GTSTG12
GTSLP12
4000
3000
2000
1000
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0
GTSPJ02
GTSUG12
Lantai
Ke -
2 GTSTG12
GTSLP12
BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12
0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0
Gambar 5.8 Perbandingan story drift gedung sumbu y pada tanah sedang
37
Gambar 5.9 - 5.12 merupakan perbandingan diagram perpindahan (total drift)
terhadap ketinggian bangunan dan simpangan antar lantai (story drift) pada kondisi elastis
dalam arah sumbu x dan sumbu y untuk kondisi tanah keras. Perbandingan diagram tersebut
juga memperlihatkan bahwa total drift yang dihasilkan pada gedung yang dianalisa pada
kondisi tanah keras dengan SNI 1726:2012 lebih besar dibandingkan gedung yang di analisa
dengan menggunakan SNI 03-1726-2002. Pada grafik tersebut terlihat bahwa GTKLP12
yang dianalisa menggunakan SNI 1726:2012 memiliki nilai total drift dan story drift yang
paling besar untuk sumbu x dan sumbu y, sedangkan GTKUG12 memiliki nilai total drift dan
story drift yang paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan SNI
1726:2012 akan menghasilkan nilai total drift dan story drift yang berbeda di berbagai lokasi
di kabupaten Pidie Jaya pada kondisi tanah keras. Dari Gambar 5.9 - 5.12 juga dapat
diketahui bahwa simpangan antar lantai (story drift) gedung yang dianalisa dengan SNI 03-
1726-2002 maupun SNI 1726:2012 tidak melewati batas simpangan ultimit yang ditetapkan.
13000
12000
11000
10000
9000
Ketinggian (mm)
8000
7000 GTKPJ02
6000 GTKUG12
5000 GTKTG12
GTKLP12
4000
3000
2000
1000
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0
Gambar 5.9 Perbandingan total drift gedung sumbu x pada tanah keras
38
Perbandingan Story Drift Sumbu X
4
GTKPJ02
GTKUG12
Lantai
Ke -
2 GTKTG12
GTKLP12
BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12
0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0
Gambar 5.10 Perbandingan story drift gedung sumbu x pada tanah keras
13000
12000
11000
10000
9000
Ketinggian (mm)
8000
7000 GTKPJ02
6000 GTKUG12
5000 GTKTG12
GTKLP12
4000
3000
2000
1000
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0
Gambar 5.11 Perbandingan total drift gedung sumbu y pada tanah keras
39
Perbandingan Story Drift Sumbu Y
GTKPJ02
GTKUG12
Lantai
Ke -
2 GTKTG12
GTKLP12
BATAS
SNI 02
BATAS
1 SNI 12
0
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0
Gambar 5.12 Perbandingan story drift gedung sumbu y pada tanah keras
Berdasarkan perbandingan grafik total drift dan story drift yang telah ditampilkan
menunjukkan bahwa penerapan SNI 1726:2012 berdampak pada simpangan bangunan, baik
itu simpangan bangunan secara keseluruhan maupun simpangan antar lantai. Pada kondisi
tanah sedang dan tanah keras perbedaan nilai total drift gedung yang dianalisa dengan SNI
1726:2012 dan SNI 03-1726-2002 lebih besar dibandingkan gedung yang berlokasi di tanah
lunak. Namun pada kondisi tanah lunak perbedaan nilai story drift yang terjadi lebih besar
daripada perbedaan story drift untuk gedung yang berlokasi di tanah sedang dan tanah keras.
Story drift gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 lebih besar daripada gedung
yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 untuk semua jenis tanah kecuali gedung GTKLP yang
terletak pada kondisi tanah keras.
40
5.4 Momen lentur dan kebutuhan tulangan pada balok
Momen lentur yang dianalisis adalah momen lentur maksimum yang terjadi pada
balok, karena momen lentur maksimum biasanya digunakan untuk perhitungan kebutuhan
tulangan pada perencanaan balok. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan momen lentur
maksimum terdapat pada balok sumbu x lantai 2 disamping tangga.
Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui bahwa penerapan SNI gempa 1726:2012
sebagaimana dilakukan pada penelitian ini dapat meningkatkan momen lentur pada balok.
Persentase peningkatan momen lentur maksimum pada gedung yang berlokasi di tanah lunak
bervariasi untuk berbagai lokasi, tetapi selisih persentase tidak jauh berbeda untuk lokasi
yang ditinjau.
41
SNI 1726:2012, dimana semakin besar percepatan gempa maka semakin besar pula momen
lentur yang terjadi pada balok.
Tabel 5.12 Kebutuhan tulangan maksimum balok gedung pada tanah lunak
Kebutuhan tulangan maksimum
% Kenaikan
pada balok (mm)
Gedung Posisi
Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
708 228 Atas - -
GTLPJ02
462 623 Bawah - -
908 290 Atas 28.25 27.19
GTLUG12
588 676 Bawah 27.27 8.51
909 290 Atas 28.39 27.19
GTLTG12
589 676 Bawah 27.49 8.51
912 291 Atas 28.81 27.63
GTLLP12
590 676 Bawah 27.71 8.51
Persentase peningkatan momen lentur maksimum pada pada gedung yang berlokasi
di tanah keras sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.15 sebesar 41.64% - 47.37% pada
daerah tumpuan dan 39.47% - 43.89% pada tengah bentang balok. Peningkatan yang terkecil
42
terjadi pada gedung GTKUG12 yang berlokasi di Ulee Gle dan peningkatan yang terbesar
terjadi pada gedung GTKLP12 yang berlokasi di Lueng Putu.
Tabel 5.14 Kebutuhan tulangan maksimum balok gedung pada tanah sedang
Kebutuhan tulangan maksimum
% Kenaikan
pada balok (mm)
Gedung Posisi
Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
676 210 Atas - -
GTSPJ02
424 614 Bawah - -
925 295 Atas 36.83 40.48
GTSUG12
598 676 Bawah 41.04 10.10
934 298 Atas 38.17 41.90
GTSTG12
604 676 Bawah 42.45 10.10
968 308 Atas 43.20 46.67
GTSLP12
625 676 Bawah 47.41 10.10
43
gedung yang terletak pada tanah lunak yang ada di kabupaten Pidie Jaya tidak terlalu
berpengaruh dengan lokasi gedung karena peningkatan momen lentur dan tulangan relatif
sama untuk beberapa kota yang ditinjau.
Tabel 5.16 Kebutuhan tulangan maksimum balok gedung pada tanah keras
Kebutuhan tulangan maksimum
% Kenaikan
pada balok (mm)
Gedung Posisi
Tengah
Tumpuan Tengah Bentang Tumpuan
Bentang
676 197 Atas - -
GTKPJ02
398 614 Bawah - -
877 281 Atas 29.73 42.64
GTKUG12
569 676 Bawah 42.96 2.58
885 283 Atas 30.92 43.65
GTKTG12
574 676 Bawah 44.22 2.58
915 292 Atas 35.36 48.22
GTKLP12
592 676 Bawah 48.74 2.58
44
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu X
700
650
600
550
500
450
Base Shear (ton)
GTLPJ02
400
GTLUG12
350
GTLTG12
300
GTLLP12
250
200
150
100
50
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
Displacement (cm)
Gambar 5.13 dan 5.14 menunjukkan bahwa struktur gedung yang dianalisa dengan
SNI 1726:2012 memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan gedung yang
dianalisa dengan SNI 03-1726-2002, hal ini disebabkan karena gedung yang dianalisa dengan
SNI 1726:2012 memiliki jumlah tulangan balok yang lebih banyak dari gedung yang
dianalisa dengan SNI 03-1726-2002. Semakin besar percepatan gempa maka dibutuhkan
tulangan balok yang lebih banyak, sehingga kapasitas struktur dalam menerima beban gempa
juga semakin besar.
45
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu Y
700
650
600
550
500
450
Base Shear (ton)
GTLPJ02
400
GTLUG12
350
GTLTG12
300
GTLLP12
250
200
150
100
50
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
Displacement (cm)
Pada gedung yang berlokasi di tanah lunak kapasitas struktur yang terjadi di berbagai
kota yang ditinjau relatif sama, hal ini dapat dilihat dari kurva kapasitas yang berhimpit untuk
sumbu x maupun sumbu y.
Perbandingan base shear maksimum struktur gedung untuk kondisi tanah lunak, pada
lokasi yang ditinjau pada penelitian ditampilkan pada Tabel 5.17. Dapat diketahui bahwa
analisa struktur gedung untuk lokasi tanah lunak dengan menggunakan SNI 1726:2012 di
kabupaten Pidie Jaya tidak terlalu berpengaruh dengan perbedaan lokasi, hal ini dapat dilihat
dari nilai peningkatan nilai base shear maksimum yang relatif sama. Persentase base shear
maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 untuk sumbu x lebih besar 1.8% -
1.9% dibandingkan base shear maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002,
sedangkan untuk sumbu y persentase base shear maksimum lebih besar 1.2%.
46
Tabel 5.17 Perbandingan base shear maksimum gedung pada tanah lunak
Rasio terhadap base shear
Base shear maksimum (ton)
Gedung maksimum gedung GTLPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTLPJ02 579.827 577.952 1 1
Selain dapat meningkatkan base shear gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
juga dapat mengurangi simpangan maksimum sebelum gedung runtuh. Tabel 5.18
memperlihatkan rasio simpangan maksimum sebelum runtuh struktur gedung yang dianalisa
dengan SNI 1726:2012 terhadap gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002.
Simpangan maksimum gedung sebelum runtuh untuk sumbu x yang paling kecil adalah yang
berlokasi di Lueng Putu dengan penurunan sebesar 9.2%, untuk sumbu y simpangan yang
paling kecil juga gedung yang berlokasi di Lueng Putu dengan penurunan sebesar 6.9%.
Tabel 5.18 Perbandingan simpangan maksimum sebelum runtuh pada tanah lunak
Rasio terhadap simpangan
Simpangan maksimum (cm)
Gedung maksimum gedung GTLPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTLPJ02 9.963 8.530 1 1
Gambar 5.15 dan 5.16 memperlihatkan perbandingan kapasitas struktur gedung yang
dianalisa pada kondisi tanah sedang dengan SNI 1726:2012 dan SNI 03-1726-2002, dari
gambar grafik terlihat bahwa kapasitas struktur gedung yang dianalisa pada tanah sedang
dengan SNI 1726:2012 lebih besar dari gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
namun sebaliknya menyebabkan simpangan maksimum sebelum runtuh yang lebih kecil.
Pada gedung yang berlokasi di tanah sedang yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
kapasitas struktur yang terjadi di berbagai kota yang ditinjau juga relatif sama, hal ini dapat
dilihat dari kurva kapasitas yang hampir berhimpit baik untuk sumbu x maupun sumbu y.
47
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu X
700
650
600
550
500
450
Base Shear (ton)
GTSPJ02
400
GTSUG12
350
GTSTG12
300
GTSLP12
250
200
150
100
50
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
Displacement (cm)
Perbandingan base shear maksimum struktur gedung untuk kondisi tanah sedang,
pada lokasi yang ditinjau pada penelitian ditampilkan pada Tabel 5.19.
Persentase base shear maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
untuk pada kondisi tanah sedang sumbu x lebih besar 2.6% - 2.8% dibandingkan base shear
maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002, sedangkan untuk sumbu y
persentase base shear maksimum lebih besar 1.2% - 1.5%.
48
Perbandingan Kurva Pushover Sumbu Y
700
650
600
550
500
450
Base Shear (ton)
GTSPJ02
400
GTSUG12
350
GTSTG12
300
GTSLP12
250
200
150
100
50
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
Displacement (cm)
Tabel 5.19 Perbandingan base shear maksimum gedung pada tanah sedang
Rasio terhadap base shear
Base shear maksimum (ton)
Gedung maksimum gedung GTSPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTSPJ02 577.113 577.057 1 1
49
sebesar 14.5%, untuk sumbu y simpangan paling kecil juga terjadi pada gedung yang
berlokasi di Lueng Putu dengan penurunan sebesar 12.1%.
Tabel 5.20 Perbandingan simpangan maksimum sebelum runtuh pada tanah sedang
Rasio terhadap simpangan
Simpangan maksimum (cm)
Gedung maksimum gedung GTSPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTSPJ02 10.266 8.834 1 1
700
650
600
550
500
450
Base Shear (ton)
GTKPJ02
400
GTKUG12
350
GTKTG12
300
GTKLP12
250
200
150
100
50
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
Displacement (cm)
Gambar 5.17 dan 5.18 memperlihatkan perbandingan kapasitas struktur gedung yang
dianalisa pada kondisi tanah keras dengan SNI 1726:2012 dan SNI 03-1726-2002, dari
50
gambar grafik terlihat bahwa kapasitas struktur gedung yang dianalisa pada tanah keras
dengan SNI 1726:2012 lebih besar dari gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002
namun simpangan maksimum sebelum runtuh yang terjadi juga lebih lebih kecil.
Pada gedung yang berlokasi di tanah keras yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
kapasitas struktur yang terjadi di 3 kota yang ditinjau juga relatif sama, hal ini dapat dilihat
dari kurva kapasitas yang hampir berhimpit baik untuk sumbu x maupun sumbu y.
650
600
550
500
450
Base Shear (ton)
GTKPJ02
400
GTKUG12
350
GTKTG12
300
GTKLP12
250
200
150
100
50
0
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
Displacement (cm)
Persentase base shear maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
untuk kondisi tanah keras sumbu x lebih besar 2.5% - 3.2% dibandingkan base shear
maksimum gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002, sedangkan untuk sumbu y
persentase base shear maksimum lebih besar 1.3% - 1.6%. Peningkatan yang paling besar
terjadi pada gedung yang berlokasi di Lueng Putu sedangkan yang terkecil terdapat di Ulee
Gle. Pada Tabel 5.22 memperlihatkan perbandingan simpangan maksimum gedung sebelum
runtuh dan rasio terhadap simpangan maksimum gedung pada lokasi tanah keras yang
dihitung dengan SNI 03-1726-2002. Simpangan maksimum yang terkecil terjadi pada gedung
51
yang berlokasi di Lueng Putu untuk sumbu x dan sumbu y, sedangkan simpangan maksimum
yang terbesar untuk sumbu x dan sumbu y terjadi pada gedung yang berlokasi di Ulee Gle.
Tabel 5.21 Perbandingan base shear maksimum gedung pada tanah keras
Rasio terhadap base shear
Base shear maksimum (ton)
Gedung maksimum gedung GTKPJ02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTKPJ02 572.886 576.122 1 1
Tabel 5.22 Perbandingan simpangan maksimum sebelum runtuh pada gedung tanah
keras
Rasio terhadap simpangan
Simpangan maksimum (cm)
Gedung maksimum gedung GTKB02
Sumbu X Sumbu Y Sumbu X Sumbu Y
GTKPJ02 10.435 9.051 1 1
Dari hasil yang telah didapatkan pada grafik dan tabel di atas terlihat bahwa nilai base
shear berbanding terbalik dengan simpangan maksimum gedung sebelum runtuh, dimana
semakin besar nilai base shear maka simpangan maksimum yang terjadi semakin kecil.
52
kota yang ditinjau dengan kondisi tanah lunak, sedang dan keras. Target perpindahan struktur
gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 dan SNI 03-1726-2002 dan hasil evaluasi
kinerja berdasarkan ATC-40 ditampilkan pada Tabel 5.23 – 5.25.
Pada tabel 5.23 dapat diketahui level kinerja struktur gedung yang dievaluasi pada
tanah lunak dengan menggunakan analisa pushover berdasarkan metode spektrum kapasitas
ATC-40 adalah Immediate Occupancy (IO) untuk kondisi elastis dan pada kondisi inelastik
untuk sumbu x adalah Damage Control (DC) sedangkan untuk sumbu y Immediate
Occupancy (IO).
Pada lokasi tanah sedang dengan arah sumbu x gedung yang ditinjau di lokasi Ulee
Gle memiliki level kinerja IO, sedangkan untuk gedung yang terletak di kota Lueng Putu
yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki level kinerja DC. Pada sumbu y gedung yang
dianalisa dengan SNI 1726:2012 semua level kinerja struktur adalah IO, sedangkan yang
dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 level kinerja adalah DC (lihat Tabel 5.24). Level kinerja
DC artinya pada saat terjadi gempa kuat gedung sudah terjadi kerusakan namun masih dapat
53
diperbaiki. Untuk kondisi tanah keras semua level kinerja adalah IO untuk semua lokasi yang
ditinjau baik untuk arah sumbu x maupun sumbu y (lihat Tabel 5.25).
54
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa untuk kabupaten
Pidie Jaya, penggunaan SNI 1726:2012 lebih berpengaruh pada kondisi tanah keras dan tanah
sedang dibandingkan pada tanah lunak. Pada tanah lunak peningkatan gaya geser dasar
maupun dampak lainnya tidak terlalu berpengaruh dengan perbedaan lokasi, karena hasil
yang didapatkan relatif sama untuk 3 kota yang ditinjau di kabupaten Pidie Jaya. Untuk
tahapan berikutnya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk wilayah kabupaten lain yang
ada di provinsi Aceh sebagai pedoman praktis atau referensi yang dapat digunakan untuk
perencanaan gedung di provinsi Aceh berdasarkan SNI gempa 1726:2012.
55
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Penerapan SNI gempa 1726:2012 berpengaruh terhadap peningkatan gaya geser dasar
dan total drift, momen lentur dan kebutuhan tulangan pada balok.
2. Peningkatan gaya geser dasar gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 pada
tanah keras dan tanah sedang lebih besar dibandingkan peningkatan yang terjadi pada
gedung yang terletak pada tanah lunak,
3. Gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012 memiliki total drift yang lebih besar
dibandingkan gedung yang dianalisa dengan SNI 03-1726-2002 pada berbagai lokasi
yang ditinjau di Pidie Jaya, namun gedung yang dianalisa dengan SNI 1726:2012
memiliki nilai story drift yang lebih kecil dibandingkan gedung yang dianalisa dengan
SNI 03-1726-2002 kecuali gedung GTKLP.
4. Kinerja struktur yang ditinjau berada pada level Immediate Occupancy (IO) dan
Damage Control (DC) pada gedung yang terletak pada tanah lunak dan sedang,
sedangkan untuk gedung yang terletak pada tanah keras semua kinerja struktur berada
pada level IO.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah didapatkan maka dapatkan disarankan hal – hal
sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan kajian terhadap gedung dengan fungsi yang lain selain gedung
pendidikan,
2. Dapat dilanjutkan penelitian berikutnya untuk wilayah kabupaten lainnya yang ada di
Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan informasi secara keseluruhan Implikasi
penerapan SNI 1726:2012 untuk seluruh wilayah Aceh.
56
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional, 2002, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung, SNI 03-1726-2002. Bandung.
Badan Standardisasi Nasional, 2012, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, SNI 1726-2012. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional, 2013, Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung,
SNI 2847-2013. Jakarta.
Arfiadi, Y dan Iman Satyarno, 2013, Perbandingan Spektra Desain Beberapa Kota Besar di
Indonesia dalam SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa 2002. Konferensi Nasional Teknik
Sipil 7. 24-26 Oktober : Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Budiono, B, dan Lucky Supriatna, 2011, Studi Komparasi Desain Bangunan Tahan Gempa
Dengan Menggunakan SNI 03-1726-2002 dan RSNI 03-1726-2012, Penerbit ITB,
Bandung.
Dewobroto. W, 2005,“Evaluasi Kinerja Portal Baja Tahan Gempa Dengan SAP2000“ Civil
Engineering National Conference. 17-18 Juni : Unika Soegijapranata – Semarang.
Pranata, Y.A, 2006, Evaluasi Kinerja Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa Dengan
Pushover Analisys, Jurnal Teknik Sipil. Vol.3, No.2 : hal.41-52.
Wibowo, dkk, 2010, Menentukan Level Kinerja Struktur Beton Bertulang Pasca Gempa,
Media Teknik Sipil. Vol.11 : hal.49-54.
57
Lampiran 1. Peta lokasi dan koordinat daerah tinjauan lokasi gedung
58
Peta lokasi dan koordinat di Lueng Putu
59
Lampiran 2. Surat keterangan submit jurnal
60