Konstitusi
1. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Kata ‘konstitusi” yang berarti pembentukan, berasal dari kata “constituer” (Perancis) yang berarti
membentuk. Sedangkan istilah “undang-undang dasar” merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
“grondwet”. “Grond” berarti dasar, dan “wet” berarti undang-undang. Jadi Grondwet sama dengan
undang-undang dasar.
Dalam kepustakaan hukum di Indonesia juga dijumpai istilah “hukum dasar”. Kaidah hukum bisa tertulis
dan bisa tidak tertulis, sedangkan undang-undang menunjuk pada aturan hukum yang tertulis.
Pendapat menurut Sri Sumantri, yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu:
a. Pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga negara
b. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar
c. Pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar. (Chaidir, 2007:38).
Dari beberapa pendapat sebagaimana di atas, dapat dekemukakan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam
konstitusi modern meliputi ketentuan tentang:
a. Struktur organisasi negara dengan lembaga-lembaga negara di dalamnya
b. Tugas/wewenang masing-masing lembaga negara dan hubungan tatakerja antara satu lembaga dengan
lembaga lainnya
c. Jaminan hak asasi manusia dan warga negara.
3. Perubahan Konstitusi
Secara teoritik perubahan undang-undang dasar dapat terjadi melalui berbagai cara. CF. Strong
menyebutkan 4 (empat) macam cara perubahan terhadap undang-undang dasar, yaitu:
a. oleh kekuasaan legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu
b. oleh rakyat melalui referendum
c. oleh sejumlah negara bagian- khususnya untuk negara serikat
d. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk untuk
keperluan perubahan.
Sedangkan KC. Wheare (2010) mengemukakan bahwa perubahan konstitusi dapat terjadi dengan
berbagai cara, yaitu:
a. perubahan resmi
b. penafsiran hakim
c. kebiasaan ketatanegaraan/konvensi
Sejak memasuki era reformasi muncul arus pemikiran tentang keberadaan UUD 1945, yang sangat
berbeda dengan pemikiran yang ada sebelumnya. Secara garis besar arus pemikiran tersebut dapat
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
- Pertama, bahwa UUD 1945 mengandung rumusan pasal yang membuka peluang timbulnya penafsiran
ganda.
- Kedua, bahwa UUD 1945 membawakan sifat executive heavy, yakni memberikan kekuasaan yang
terlalu besar kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, sehingga kekuasaan yang lain yaitu
43 legislative dan yudikatif seakan-akan tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif
- Ketiga, sistem pemerintahan menurut UUD 1945 yang tidak tegas di antara sistem pemerintahan
presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer, sehingga ada yang menyebutnya sebagai sistem quasi
presidensiil
- Keempat, perlunya memberikan kekuasaan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, agar daerah dapat mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya masing-masing
- Kelima, rumusan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang ada dalam UUD 1945 dirasa kurang
memadai lagi untuk mewadahi tuntutan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan warga negara
seiring dengan perkembangan global