Anda di halaman 1dari 2

Epidemiologi

Tetanus dapat terjadi pada manusia dari segala usia. Namun, prevalensi tertinggi terjadi pada bayi yang
baru lahir dan orang dewasa (Blenchowe dkk, 2011). Menurut WHO, terjadi peningkatan angka
kematian akibat tetanus dalam beberapa tahun terakhir. WHO memperkirakan kematian tetanus di
seluruh dunia pada tahun 1997 sekitar 275.000 dengan tingkat peningkatan pada tahun 2011 sebesar
14.132 kasus. Namun, dari kasus-kasus tersebut prevalensi tetanus pada negara berkembang terjadi
lebih tinggi daripada di negara maju (beberapa penelitian menunjukkan 135 kali lebih tinggi) dengan
tingkat kematian 20% hingga 45% dengan infeksi. Tingkat kematian bervariasi berdasarkan ketersediaan
sumber daya, terutama ventilasi mekanis, pemantauan tekanan darah invasif, serta pengobatan dan
penanganan dini (Rushdy dkk, 2003).

Insiden tetanus neonatorum menurun karena adanya vaksinasi rutin di seluruh dunia dan vaksinasi
tersebut dikombinasikan dengan vaksin lain, seperti pertusis, dan difteri (DPT). Terjadinya tetanus pada
neonatus sebagian besar disebabkan oleh vaksinasi bayi yang tidak lengkap. Pada tahun 2013, sekitar
84% anak di dunia dengan usia dibawah 12 tahun mengalami risiko tetanus.

Di negara-negara dengan sumber daya yang tinggi atau negara maju seperti Amerika Serikat, kasus
tetanus umumnya terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau pada orang tua yang mengalami
penurunan kekebalan tubuh dari waktu ke waktu. Selain itu, penggunaan narkoba intravena juga
berisiko karena jarum atau obat yang telah terkontaminasi.

Tetanus merupakan penyakit dunia yang belum berkembang. Penyakit ini lebih sering ditemukan di
daerah iklim hangat. Tetanus juga sering terjadi pada neonatus dan anak-anak di negara-negara yang
tidak memiliki program imunisasi (Fetuga dkk, 2010).

Patofisiologi

Clostridium tetani mensekresi toksin, tetanospasmin, dan tetanolysin, menyebabkan kejang tetanik
(suatu kontraksi umum otot agonis dan antagonis). Secara khusus, tetanospasmin mempengaruhi
interaksi saraf dan otot, menyebabkan sindrom klinis kekakuan, kejang otot, dan ketidakstabilan
otonom. Di sisi lain, tetanolysin juga dapat merusak jaringan.

Di tempat inokulasi, spora tetanus masuk ke dalam tubuh dan berkecambah pada bagian tubuh yang
terluka (Cardinal dkk, 2020). Perkecambahan tersebut membutuhkan kondisi anaerobik, seperti jaringan
mati yang memiliki potensi oksidasi-reduksi rendah. Setelah berkecambah, mereka melepaskan
tetanospasmin ke dalam aliran darah. Toksin ini memasuki terminal presinaptik di neuromuskular
neuron motorik dan menghancurkan protein membran sinaptik vesikular yang mengakibatkan inaktivasi
neurotransmisi, penghambat yang biasanya menekan neuron motorik dan aktivitas otot. Hal ini
menyebabkan melumpuhnya serat otot. Selanjutnya, toksin melalui transpor aksonal retrograde,
berjalan ke neuron di sistem saraf pusat, di mana ia juga menghambat pelepasan neurotransmitter; ini
terjadi sekitar 2 sampai 14 hari setelah inokulasi. Karena glisin dan GABA adalah neurotransmiter
penghambat utama, sel gagal menghambat respons refleks motorik terhadap stimulasi sensorik,
menyebabkan kejang tetanik. Hal ini dapat menyebabkan aktivitas dan kontraksi otot yang begitu kuat
sehingga patah tulang dan robekan otot dapat terjadi.

Masa inkubasi dapat berlangsung dari 1 sampai 60 hari, tetapi rata-rata terjadi sekitar 7 sampai 10 hari.
Tingkat keparahan gejala tergantung pada jarak dari sistem saraf pusat, dengan gejala yang lebih parah
terkait dengan masa inkubasi yang lebih pendek. Setelah neurotoksin memasuki batang otak, terjadi
disfungsi otonom, biasanya pada minggu kedua onset gejala. Dengan hilangnya kontrol otonom, pasien
dapat datang dengan tekanan darah dan detak jantung yang labil, diaforesis, bradiaritmia, dan bahkan
henti jantung. Gejala dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, dengan
tingkat kematian 10% pada mereka yang terinfeksi; bahkan lebih tinggi pada mereka yang tidak
divaksinasi sebelumnya. Ada komplikasi neuropsikiatri motorik dan jangka panjang yang sering terjadi
pada orang yang selamat, namun juga banyak yang bisa sembuh total (Yeh dkk, 2010).

DAPUS

Blencowe H, Cousens S, Mullany LC, Lee AC, Kerber K, Wall S, Darmstadt GL, Lawn JE. 2011. Clean birth
and postnatal care practices to reduce neonatal deaths from sepsis and tetanus: a systematic review and
Delphi estimation of mortality effect. BMC Public Health. 11(3): 1-19.

Rushdy AA, White JM, Ramsay ME, Crowcroft NS. 2003. Tetanus in England and Wales, 1984-2000.
Epidemiol Infect. 130(1):71-77.

Fetuga BM, Ogunlesi TA, Adekanmbi FA. 2010. Risk factors for mortality in neonatal tetanus: a 15-year
experience in Sagamu, Nigeria. World Journal Pediatric. 6(1):71-75.

Cardinal PR, Henry SM, Joshi MG, Lauerman MH, Park HS. 2020. Fatal Necrotizing Soft-Tissue Infection
Caused by Clostridium tetani in an Injecting Drug User: A Case Report. Surg Infect (Larchmt). 21(5):457-
460.

Yeh FL, Dong M, Yao J, Tepp WH, Lin G, Johnson EA, Chapman ER. 2010. SV2 mediates entry of tetanus
neurotoxin into central neurons. PLoS Pathog. 6(11): 1-12.

Anda mungkin juga menyukai