Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KONSEP TEORITIS KERACUNAN PESTISIDA

KEPERAWATAN MEDIKAL

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal dengan dosen
pengajar Dr. Ns. Rondhianto, S.kep., M.Kep

Disusun oleh:

Kelompok 2/ A 2020

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
MAKALAH KONSEP TEORITIS KERACUNAN PESTISIDA

KEPERAWATAN MEDIKAL

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal dengan dosen
pengajar Dr. Ns. Rondhianto, S.kep., M.Kep

Disusun oleh:

Octavia Arifatunnahriyah 202310101004


Karina Paramita Y. 202310101008
Anindiah Putri N. 202310101014
Ahmad Syaifur Rizal 202310101100
Maulidatus Saadah 202310101111

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya, sehingga penyusunan makalah “Konsep Teoritis
Keracunan Pestisida” berjalan sesuai rencana.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal. Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapatkan banyak hambatan
dan rintangan. Namun, dengan adanya bimbingan dan dukungan dari semua
pihak, penulis dapat mengatasi hambatan tersebut dengan lancar tanpa terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ns. Jon Hafan Sutawardana, M.Kep., Sp.Kep.MB., selaku penanggung jawab
mata kuliah Keperawatan Medikal;
2. Dr. Ns. Rondhianto, S.Kep.,M.Kep. selaku Dosen Pengajar mata kuliah
Keperawatan Medikal;
3. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah yang telah disusun masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis menyampaikan permohonan maaf jika terdapat
kesalahan dalam penyusunan makalah. Penulis juga mengharapkan saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang
disajikan dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi tambahan ilmu
untuk ke depannya.

Jember, 19 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN UTAMA.............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.2.1 Tujuan Umum..........................................................................................2
1.2.2 Tujuan Khusus.........................................................................................2
1.3 Manfaat...........................................................................................................2
1.3.1 Manfaat Bagi Pembaca............................................................................2
1.3.2 Manfaat Bagi Penulis...............................................................................2
1.3.3 Manfaat Bagi Institusi.............................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Definisi...........................................................................................................3
2.2 Etiologi...........................................................................................................4
2.3 Epidemiologi..................................................................................................6
2.4 Klasifikasi.......................................................................................................7
2.5 Manifestasi Klinis...........................................................................................9
2.6 Patofisiologis................................................................................................11
2.7 Pemeriksaan Medis.......................................................................................13
2.8 Penatalaksanaan............................................................................................13
2.9 Strategi pencegahan dalam penelitian..........................................................16
BAB 3. PENUTUP................................................................................................18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................18
3.2 Saran.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara agraris yaitu dalam sector pertanian


memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia, mayoritas
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Pestisida merupakan
paparan zat atau bahan kimia yang banyak digunakan dalam bidang pertanian,
kehutanan, hortikultura dan di lahan public untuk meningkatkan hasil panen
sehingga pestisida memiliki peran yang penting bagi petani. Pada 10 tahun
terakhir ini terjadi peningkatan penggunaan pestisida pada sector pertanian di
seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa setiap
tahun pada 1-5 juta kasus keracunan pestisida pada petani dengan jumlah
kematian mencapai 20.000 jiwa. Sekitar 80% keracunan pestisida dilaporkan
terjadi di Negara berkembang (WHO, 2012). Berdasarkan data Sentra
Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas) pada tahun 2017 terdapat kejadian
keracunan sekitar 2,5 % yang diakibatkan karena pestisida (SIKerNas, 2017).
Pestisida masuk dalam tubuh manusia melalui berbagai hal yaitu
kontaminasi melalui kulit (dermal contamination), terhisap masuk kedalam
saluran pernapasan (inhalation) dan masuk melalui saluran pencernaan
makanan lewat mulut (oral) (Djojosumarto, 2008 dalam (Hasanah, 2022)).
adapun dampak yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida yaitu
menimbulkan keracunan petani. Hal ini perlu menjadi perhatian atau focus
utama di bidang kesehatan masyarakat terutama masyarakat di negara
berkembang, agar melindungi petani, mencegah dan mengurangi tingkat
keparahan penyakit akibat kerja maka Ketika bekerja petani yang
menggunakan pestisida harus menggunakan APD yang untuk perlindungan
yang efektif pada pekerja dari potensi bahaya. Alat Pelindung Diri (APD)
memiliki tujuan agar mengurangi tingkat keparahan apabila para pekerja
terkontaminasi berbagai bacam bahaya di tempat kerja. Walaupun upaya ini

1
berada pada tingkat pencegahan terakhir, akan tetapi penerapan alat pelindung
diri ini sangat dianjurkan (Arifin, 2019 dalam (Hasanah, 2022)).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dibuatnya makalah ini yaitu untuk mengetahui konsep dasar
dan penanganan keracunan pestisida.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan dibuatnya makalah ini untuk mengetahui definisi, etiologi,
epidemiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi,
penatalaksanaan, dan pemeriksaan terkait keracunan pestisida.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Bagi Pembaca
Manfaat penulisan makalah ini bagi pembaca yaitu menjadi sumber
referensi dan informasi bagi pembaca agar mengetahui dan lebih
mendalami bagaimana konsep dasar dan penanganan keracunan pestisida.

1.3.2 Manfaat Bagi Penulis


Manfaat bagi penulis adalah dapat menambah wawasan mengenai konsep
dasar dan penanganan keracunan pestisida.

1.3.3 Manfaat Bagi Institusi


Manfaat bagi instansi akademik yaitu dapat digunakan sebagai referensi
bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu yang berkaitan
dengan konsep dasar dan penanganan keracunan pestisida.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Pestisida didefinisikan sebagai zat atau bahan kimia yang digunakan
terutama di bidang pertanian, kehutanan, hortikultura dan di lahan publik untuk
meningkatkan hasil panen, sehingga penggunaan pestisida hampir selalu
digunakan pada setiap petani. Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang
digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak
dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Pest
berarti hama, sedangkan cide berarti membunuh (Suparti et al., 2016).
Petani harus memahami bahaya dan risiko terkait penggunaan pestisida.
Bahaya dan risiko bervariasi tergantung toksisitas pestisida. Toksisitas
pestisida didefinisikan sebagai kualitas racun atau berbahaya bagi hewan
maupun tumbuhan yang dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisik suatu zat.
Pestisida memiliki mekanisme kerja yang berbeda, tetapi secara umum
menyebabkan perubahan biokimia yang mengganggu fungsi sel normal.
Keracunan Pestisida adalah kondisi ketika racun serangga tidak sengaja
tertelan, terhirup, atau terserap ke dalam kulit. Kondisi ini sangat berbahaya
dan harus segera mendapat penanganan medis. Keracunan pestisida adalah
dampak yang ditimbulkan oleh pemaparan pestisida yang berlebihan, biasanya
terjadi pada petani penyemprot hama. Hasil pemeriksaan cholinesterase dalam
darah dapat digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya keracunan pestisida.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida adalah
dosis dan jenis pestisida, faktor luar tubuh (masa kerja, tingkar keracunan
pestisida, suhu lingkungan, arah serta kecepatan angin) faktor dalam
tubuh( usia, tingkat kesehatan, status gizi dan sex) serta praktek pengelolaan
pestisida oleh petani pengguna.
Toksisitas suatu senyawa dipengaruhi oleh dosis dan frekuensi paparan. Zat
yang sangat beracun menyebabkan gejala keracunan yang parah dengan dosis
kecil. Sedangkan suatu zat dengan toksisitas rendah umumnya membutuhkan
dosis besar untuk menghasilkan gejala ringan. Bahkan zat-zat umum seperti
kopi atau garam menjadi racun jika dikonsumsi dalam jumlah besar. Toksisitas
pestisida dapat terjadi secara akut atau kronis. Toksisitas akut adalah

3
kemampuan suatu zat untuk menimbulkan efek berbahaya yang berkembang
dengan cepat setelah terpapar, yaitu beberapa jam atau sehari sedangkan
toksisitas kronis adalah kemampuan suatu zat untuk menyebabkan efek
kesehatan yang merugikan yang dihasilkan dari paparan jangka panjang.
Diagnosis keracunan pestisida didasarkan pada riwayat paparan, tanda dan
gejala paparan dan pengukuran laboratorium. Diagnosis juga membutuhkan
indeks kecurigaan yang tinggi. Bahkan setelah paparan akut, keracunan
pestisida dapat salah didiagnosis sebagai penyakit virus (misalnya diare
infeksius daripada keracunan organofosfat) yang mengakibatkan pengobatan
yang tidak memadai dan berpotensi menyebabkan kekambuhan pada anak-
anak.

2.2 Etiologi
Keracunan pestisida dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya yaitu
(Arrasyid, 2017) :
1. Tidak menggunakan alat pelindung diri (APD)
Penggunaan alat pelindung diri memiliki pengaruh yang besar terhadap
kejadian keracunan. Alat pelindung diri merupakan pelindung langsung
dari kontak terhadap pestisida. Dalam pemakaian alat pelindung diri
(APD), masih cukup banyak petani yang tidak menggunakan dengan
alasan ketidaknyamanan, mengganggu pekerjaan, dan merasa tidak perlu
menggunakan, sehingga menjadi faktor risiko terjadinya keracunan
pestisida.
2. Dosis pestisida yang besar
Semakin besar dosis yang digunakan semakin mudah terjadinya
keracunan, khususnya pada petani pengguna pestisida. Dosis pestisida
berpengaruh berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida,
hal ini ditentukan dengan lama pemajanan.
3. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani, semakin sering kontak dengan
pestisida, sehingga residu pestisida yang masuk dalam tubuh semakin lama
akan bertambah serta mengakibatkan turunnya kadar kholinesterase dalam
darah. Masa kerja petani lama (lebih dari 1 tahun) mempunyai risiko 5 kali

4
lebih besar mengalami keracunan pestisida dibandingkan petani masa
kerja baru (kurang dari 1 tahun). Lama kerja petani berkaitan dengan
banyaknya akumulasi pestisida yang masuk ke dalam tubuh.
4. Jumlah jenis pestisida yang berlebihan
Masing-masing pestisida mempunyai efek fisiologis yang berbeda dari
kandungan zat yang aktif dan sifat fisik pestisida tersebut. Berbagai jenis
pestisida yang dicampur dalam tanki di waktu yang bersamaan memiliki
risiko 3 kali lebih besar untuk terjadinya keracunan pertisida dibandingkan
dengan 1 jenis pestisida, karena daya racun dan konsentrasi pestisida
semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin besar
pula.
5. Frekuensi penyemprotan berlebih
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula
risiko keracunan hingga mengalami tingkat keracunan yang tinggi. Petani
yang menyemprot lebih dari 2 kali dalam seminggu mempunyai risiko
hampir 14 kali untuk mengalami keracunan pestisida bila dibandingkan
dengam petani yang menyemprot kurang dari 2 kali seminggu. Jika hama
sering datang, maka frekuensi penyemprotan bertambah.
6. Tindakan penyemprotan melawan arah angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan
penyemprotan pestisida. Petani pada saat menyemprot melawan arah angin
akan mempunyai risiko lebih besar dibandingkan petani yang menyemprot
tanaman searah dengan arah angin. Penyemprotan yang baik bila searah
dengan arah angin yang kecepatannya tidak melebihi 750 m per menit.
7. Lama penyemprotan
Penyemprotan pestisida tidak boleh lebih dari 5 jam per hari. Jika
melebihi, risiko keracunan akan semakin besar. WHO mensyaratkan lama
bekerja di tempat kerja yang berisiko keracunan pestisida, yaitu 5 jam per
hari atau 30 jam per minggu.
8. Tingkat pengetahuan yang rendah
Tingkat pengetahuan salah satu faktor terpenting untuk berperilaku.
Pengetahuan petani mengenai pestisida, penggunaannya, dan pengelolaan

5
pestisida akan berdampat pada aktivitas kholinesterase dalam darah karena
berdampak pada praktek terhadap penggunaan pestisida. Petani yang
memiliki tingkat pengetahuan rendah lebih besar risiko keracunan
pestisida dari pada petani yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi,
karena petani berpengetahuan rendah memiliki kesadaran yang kurang
dalam keselamatan kerja dan bahaya racun dari pertisida yang digunakan.

2.3 Epidemiologi
Menurut Sánchez-Santed tahun 2016 menunjukkan bahwa paparan
pestisida sering menginduksi toksisitas neurologis akut dan kronis, disfungsi
metabolisme lipid, protein dan karbohidrat. Namun, sebagian besar survei
menggunakan pengukuran subjektif atau kualitatif, seperti gejala, skala
psikologis, atau tanda-tanda klinis, untuk mengevaluasi efek kesehatan dari
penggunaan pestisida. Sebagai contoh, satu studi menemukan bahwa petani
yang menggunakan pestisida dalam jumlah besar lebih mungkin menderita
sakit kepala, mual, dan masalah kulit. Berdasarkan data WHO pada tahun
2017 menunjukkan bahwa terjadiakasus keracunan pada pekerja
pertanianasekitar 18,2 per 100.000 petani di seluruh dunia dan lebih dari
168.000 orang meninggal karena keracunan pestisidaasetiap tahunnya di
Negara berkembang (Ma’arif et al., 2016).

Selama 10 tahun terakhir terjadi peningkatan penggunaan pestisida untuk


sektor pertanian di seluruh dunia. Penggunaan pestisida di Afrika hanya
mencapai 4% dari pasar pestisida global, dengan perkiraan kasar 75.000
hingga 100.000 ton bahan aktif pestisida yang digunakan dibandingkan
dengan sekitar 350.000 ton di Eropa. Namun, peningkatan morbiditas dan
mortalitas akibat keracunan pestisida merupakan masalah besar terutama
dengan pendataan yang tidak baik dari otoritas kesehatan.
Penggunaan pestisida seringkali menimbulkan gangguan kesehatan baik
terhadap petani maupun masyarakat sebagai konsumen hasil pertanian.
Diperkirakan 1 sampai 5 juta kasus keracunan pestisida terjadi di dunia setiap
tahunnya, dengan kematian mencapai 220.000 jiwa. Keracunan pestisida
terjadi akibat penggunaan dengan dosis yang tidak tepat dan dilakukan secara
terus menerus. Efek utama keracunan pestisida adalah gangguan sistem saraf

6
seperti sakit kepala, pusing, paresthesia, tremor, diskoordinasi, kejang; serta
menghambat enzim asetylcholinesterase yang mengganggu organ gerak.
Dampak jangka panjang pestisida antara lain anemia, anoreksia,
berkurangnya berat badan dan gangguan fungsi hati. Salah satu pengguna
pestisida terbesar pada pertanian adalah sektor pertanian hortikultura yang
digunakan dalam dosis besar dan terus menerus selama musim tanam.
Sehingga, petani tanaman holtikultural adalah populasi yang berisiko
mengalami keracunan pestisida. Paparan pestisida terjadi pada saat persiapan
peralatan, mencampur pestisida, penyemprotan, membersihkan alat dan
pakaian kerja, membersihkan rumput dan hama, menyiram tanaman dan
pemanenan.
2.4 Klasifikasi
Keracunan pestisida merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang banyak terjadi di negara berkembang, khususnya di Indonesia.
Perbedaan kualitas paparan dapat mengakibatkan perbedaan dampak
toksisitas. Pemaparan kadar rendah dalam jangka pendek atau dalam waktu
yang singkat. Keracunan pestisida pada tubuh manusia dapat dikelompokkan
menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Keracunan akut
Keracunan akut akan terjadi apabila efek keracunan pestisida langsung
pada saat dilakukan aplikasi atau seketika sesudah aplikasi pestisida. Efek
dari keracunan pestisida akut dapat dibagi menjadi efek akut local dan efek
sistemik. Efek akut lokal apabila hanya mempengaruhi bagian tubuh yang
terkena kontak langsung dengan pestisida yang bersifat iritasi mata,
hidung tenggorokan, dan kulit. Efek sistemik apabila pestisida masuk ke
dalam tubuh manusia dan mengganggu system kerja dari tubuh manusia.
darah akan membawa pestisida ke seluruh bagian tubuh mengakibatkan
bergeraknya syaraf-syaraf otot secara tidak sadar dengan gerakah halus
maupun kasar serta pengeluaran air mata dan pengeluran air ludah secraa
berlebihan, pernafasan menjadi lemah atau cepat (tidak normal). Selain itu,
keracunan pestisida akut juga dapat dibagi menjadi keracunan akut ringan
dan keracunan akut berat (Pamungkas et al., 2016).

7
1. Keracunan akut ringan dapat menyebabkan individu menimbulkan
pusing, sakit kepala, iritasi, kulit ringan, badan terasa sakit dan diare.
2. Keracunan akut berat
Keracunan akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang
perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil, dan denyut
nadi meningkat, pingsan.
b. Keracunan kronis
Keracunan kronis merupakan keracunan peptisida yang terjadi karena
paparan berulang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Keracunan
kronis mengacu pada efek jangka panjang atau paparan yang lebih rendah
terhadap zat beracun, seperti ketika aplikator pestisida sering dibasahi
dengan semprotan selama praktik penyemprotan yang tidak aman. Paparan
kronis memiliki efek yang tidak segera muncul setelah paparan pertama,
tetapi memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan gejala.
Tanda gejala yang dapat ditimbulkan yaitu iritasi mata dan kulit, kanker,
keguguran, cacat pada bayi, gangguan saraf, hati, ginjal, hingga pernafasan
(Mutia & Oktarlina, 2019).
Individu yang terpapar pestisida akan mengalami batuk yang tidak
kunjung sembuh atau merasa sesak di dada. Selain itu, individu yang
terpapar pestisida juga mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
mengidap kanker. Karena, pestisida mengandung bahan-bahan yang
diketahui sebagai penyebab kanker. Penyakit kanker yang paling banyak
terjadi yaitu kanker darah (leukemia), limfoma non-Hodgkins, serta
kanker. Gangguan otak dan syaraf yang paling sering terjadi akibat
terpapar pestisida selama bertahun-tahun yaitu masalah pada ingatan, sulit
berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, bahkan kehilangan
kesadaran dan koma. Sedangkan hati merupakan organ tubuh yang
berfungsi sebgaai penetral bahan-bahan kimia beracun. Pestisida yang
masuk ke tubuh akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi
beracun terhadap tubuh. Meskipun demikian hati itu sering kali dirusak
oleh pestisida jika terpapar selama bertahun-tahun. Hal tersebut dapat
mengakibatkan penyakit seperti hepatitis, sirosis, bahkan kanker. Pada

8
sistem pencernaan seperti lambung dan usus apabila terpapar pestisida
juga akan menimbulkan respon mulai dari iritasi, rasa panas, mual, sakit
perut dan diare. Individu yang menelan pestisida, baik sengaja ataupun
tidak, efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara umum. Pestisida
dapat merusak langsung melalui dinding-dinding perut (Pamungkas et al.,
2016).

2.5 Manifestasi Klinis


1. Organofosfat
Organofosfat termasuk ke dalam insektisida anticolinesterase karena
sifatnya yang menghambat enzim kolinesterase pada syaraf. Kolinesterase
yaitu enzim di dalam jaringan tubuh yang memiliki peran untuk menjaga
otot, kelenjar, dan sel syaraf agar bekerja secara terorganisir dan harmonis
(Saputra et al., 2021). Di Indonesia pengguanaan pestisida golongan ini
masih sangat umum digunakan untuk mebasmi hama. Namun,
penggunaannya sangat dikhawatirkan karena dapat mengakibatkan
keracunan. Tanda dan gejala keracunan ini umumnya tidak spesifik dan
cenderung menyerupai gejala penyakit biasa seperti pusing, lemah, dan
mual (Herdianti, 2018). Tanda dan gejala lain yang dapat muncul dari
keracunan senyawa ini antara lain (Saputra et al., 2021):
a. Gemetar
b. Penglihatan kabur
c. Mual
d. Lemah
e. Kejang
f. Sakit dada
g. Berkeringat
h. Mata berair
i. Keluar banyak air liur
j. Denyut jantung cepat
k. Muntah
2. Karbamat

9
Karbamat merupakan jenis insektisida yang sifatnya menghambat enzim
kolinesterase, sehingga senyawa ini termasuk ke dalam insektisda
anticolinesterase. Gejala keracunan karbamat terjadi lebih mendadak
daripada organofosfat, namun tidak lama karena efeknya tidak persisten
terhadap enzim kolinesterase. Gejala keracunan ini cepat hilang, tetapi
karena munculnya mendadak jika tidak ditangani dapat menyebabkan
depresi pernafasan yang akan berakibat fatal. Salah satu dampak dari
keracunan karbamat ini yaitu dapat menagkibatkan anemia. Anemia
merupakan keadaan dimana kadar haemoglobin dalam darah berkurang
dari normal. Tanda dan gejala yang sering timbul antara lain (Nolia et al.,
2021):
a. Keringat dingin (diaforesis)
b. Syok
c. Sesak nafas
3. Organoklorin
Organoklorin merupakan senyawa terklorinasi yang banyak digunakan
dalam pestisida dan termasuk dalam golongan Persistent Organic Pollutan
(POPs) yang berbahaya bagi kesehatan. Hal tersebut terjadi karena
organoklorin tidak mudah terurai dak berefek kronik serta menyebaban
biokumulatif dalam rantai makanan. Bahan kimia tersebut membahayakan
manusia karena dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan
syaraf. Insektida organoklorin dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu
dichloro-diphenyl-trichloroethana (DTT), senyawa siklodien, dan terpena
berklor. DTT merupakan salah satu pestisida yang paling banyak
digunakan di negara berkembang seperti Asia (Agustin & Muhartono,
2018). Gejala keracunan organoklorin sendiri yaitu :
a. Nausea
b. Vomitus
c. Paresthesis pada lidah, bibir, dan muka
d. Iritabilitas
e. Tremor
f. Convulsi

10
g. Koma
h. Kegagalan pernafasan
4. Piretroid
Piretroid merupakan senyawa kimia yang terdapat pada piretrum dan
bersifat senyawa kimia. Piretroid sintetis dikembangkan dari piterum
alami insektisida untuk meningkatkan spesifisitas dan aktivitas. Piretroid
bersifat neurotoksik (Bhatt et al., 2021). Pestisida jenis peritroid dapat
mempengaruhi sistem saraf sehingga dapat menimbulkan gejala
keracunan. Gejala keracunan tersebut antara lain (Oktaviani & Pawenang,
2020):
a. Merasa lelah
b. Merasa lesu
c. Otot mengencang
d. Pusing
e. Tremor
f. Produksi air liur berlebih
2.6 Patofisiologis
Pestisida masuk dalam tubuh melalui beberapa cara yaitu melalui kulit
kemudian diabsorbsi yang berlangsung lama. Faktor risiko melalui kulit
dipengaruhi oleh keracunan dermal, konsentrasi, formulasi, bagian kulit yang
terpapar dan luasannya, serta kondisi fisik individu yang terpajan. Semakin
kecil, cairan pestisida yang terkena pada kulit semakin pekat, formulasi
pestisida dalam bentuk yang mudah diserap, kulit yang terpapar sangat mudah
menyerap seperti pada area punggung tangan, area yang terpapar luas serta jika
kondisi sistem imun lemah. Faktor pekerjaan yang menimbulkan risiko yang
terkontaminasi lewat kulit umumnya yaitu penyemprotan, pencampuran
pestisida dan proses pencucuian alat-alat kontak pestisida.
Kemudian juga melalui mulut (oral) karena cairan pestisida tertelan akibat
kecerobohan atupun secara disengaja (pada pasien yang ingin bunuh diri).
Toksisitas yang masuk pada mulut jarang terjadi daripada terkena lewat kulit
atau keracunan karena terhirup. Misalnya masuknya cairan pada mulut pada
kasus bunuh diri, makan minum, merokok ketika bekerja dengan pestisida,

11
mengompres keringat dengan sarung tangan atau kain yang terkontaminasi
pestisida, kumpulan atau butiran pestisida yang terbawa angin masuk ke mulut,
meniup nozzle yang tersumbat dengan mulut, makanan dan minuman
terkontaminasi pestisida. Hal ini akan menimbulkan keracunan kronis bahkan
menimbulkan kematian.
Setelah itu juga dapat melalui pernafasan dapat berupa bubuk, droplet atau
uap yang mengakibatkan kerusakan serius pada hidung, tenggorokan jika
terhirup terlalu banyak. Partikel Sebagian besar akan menempel di selaput
lendir hidung atau di kerongkongan. Bahaya pestisida yang terhirup melalui
saluran pernapasan akan dipengaruhi oleh LD 50 (Lethal Dose) pestisida yang
terhirup dan ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida. Pestisida berbentuk gas
yang masuk ke dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet
yang berukuran kurang dari 10 mikron hingga masuk ke paru-paru, namun
droplet yang berukuran lebih dari 50 mikron mungkin tidak masuk ke paru-
paru, tetapi dapat menyebabkan gangguan pada selaput lendir hidung dan
kerongkongan. Toksisitas pada gas pestisida yang terhisap ditentukan oleh
konsentrasinya di dalam ruangan atau di udara, lamanya paparan dan kondisi
fisik individu yang terpapar. Pekerjaan yang menimbulkan terjadinya
kontaminasi lewat saluran pernafasan umumnya pekerjaan yang berhubungan
dengan penyemprotan lahan pertanian, fogging atau alat pembasmi serangga
domestic (Pamungkas, 2016).
Pada pestisida penghambat kolinesterase (IPK) golongan organofosfat dan
karbamate akan mengikat dan melakukan fosforilasi dengan enzim
kolinesterase (AchE) yang berada di dalam darah dan plasma. Dalam keadaan
normal, enzim kolinesterase akan mengikat asetilkolin yang terdapat dalam
setiap ujung saraf bersifat inaktif yang bertujuan untuk mengaktifkan asetil
menjadi kolin dan asam asetat yang akan mengahantarkan impuls ke system
saraf pusat. jika konsentrasi racun (IPK) terlalu tinggi dan ikatan enzim
kolinesterase dan IPK cukup banyak terjadi, nantinya akan terjadi penumpukan
asetilkolin di tempat tertentu, sehingga akan mengakibatkan gejala rangsangan
asetilkolin yang berlebihan dan menimbulkan efek muskarinik, nikotinik, dan
menimbulkan depresi system saraf pusat (Hidayati, 2019).

12
Pada kasus keracunan organofosfat bersifat menetap atau irreversible,
sedangkan pada keracunan karbamat bersifat sementara atau reversible.
Sehingga efek toksik karbamat lebih ringan daripada efek toksik organofosfat.
Secara farmakologik, efek ikatan asetilkolin dengan racun IPK yaitu
menimbulkan efek muskarinik, nikotinik dan depresi system saraf pusat. Efek
muskarinik terjadi terutama pada sistem pencernaan, kelenjar ludan dan
keringat, pupil, bronkus, dan jantung. Sedangkan efek nikotinik terjadi
terutama pada otot-otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot
pernafasan. Serta efek SSP akan menimbulkan rasa nyeri kepala, perubahan
emosi, kejangkejang, hingga koma dan kematian (Hidayati, 2019).
2.7 Pemeriksaan Medis
Menurut (Marisa & Pratuna, 2018) Pemeriksaan Keracunan Pestisida yaitu :
1. Pemeriksaan Cholinesterase.
Pemeriksaan Cholinesterase adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengetahui paparan organophospat pada petani. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan mengambil darah petani. Pada pemeriksaan ini dilakukan di plasma
dan sel darah merah yaitu kurang 50 % dari nilai normal (paparan ringan 20-
50 % dari nilai normal, paparan sedang 10-20 % dari nilai normal, dan
paparan berat kurang dari 10 % dari nilai normal).
2. Pemeriksaan Patologi
Pada pasien keracunan pestisida akut, didapatkan hasil pemeriksaan patologi
biasanya tidak normal, diantaranya seperti adanya edema paru, dilatasi kapiler,
hiperemi paru, otak, dan organ lain.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan yaitu pemeriksaan kadar enzim
kolinesterase dalam sel darah merah dan plasma. Selain itu, pemeriksaan dapat
dilakukan dengan menentukan bahan organoklorin dengan memeriksa kadar
urine, serum, maupun biopsi jaringan lemak untuk membantu dalam
menegakkan diagnosis.
4. Pemeriksaan Darah yang lain, seperti FBC, Serum kreatinin, Glukosa Darah,
Arterial Blood Gas.
5. Skrinning toksikologi pada urin.

13
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal Ketika pasien keracunan pestisida yaitu :
a. Menghentikan paparan dengan memindahkan korban dan sumber paparan,
kemudian lepaskan pakaian korban dan mandikan korban.
b. Menyadarkan dan menstabilkan pasien yang mendukung jalan napas,
ventilasi dan sirkulasi, seperti pemberian RJP apabila pasien mengalami
sesak nafas.
c. Korban segera di bawa ke rumah sakit/ pelayanan Kesehatan terdekat dan
berikan penjelasan terkait pestisida yang memapari pasien dengan
membawa label kemasan pestisida.
d. Keluarga pasien diberi penyuluhan mengenai keracunan pestisida sehingga
keluarga bisa memberikan pertolongan pertama.
Menurut penelitian (Eddleston, 2020) dan pada penelitian (Hidayati, 2019)
menyatakan bahwa pada pasien dengan keracunan organofosfat terdapat beberapa
penatalaksanaan lainnya untuk mengidentifikasi racun segera yaitu :
1. Menstabilkan pasien
- Melakukan pemeriksaan saluran nafas dan sirkulasi yang mendukung
jalan napas, ventilasi, dan sirkulasi. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan memberikan oksigen dan cairan intravena diberikan Ketika
pasien mengalami kejang dan dikontrol dengan pemberian diazepam
intravena. Ketika pasien tidak kejang pun juga dapat diberikan
diazepam intravena (10 mg) pada orang dewasa untuk mengurangi
tingkat kecemasan dan kegelisahan yang dialami pasien.
2. Pemberian dekontaminasi
- Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien dibersihkan dengan
sabun, proses pembersihan dilakukan pada ruangan yang terbuka yang
memiliki ventilasi yang cukup untuk mengindari kontaminasi
sekunder dari udara.
- Setelah itu juga dilakukan dekontaminasi pada saluran cerna, dimana
hal ini dilakukan dengan pengosongan orogastric atau nasogastric jika
zat toksin masih ada di lambung. Tindakan ini nantinya akan
menimbulkan reflek muntah pada pasien sehingga zat toksin yang ada
dalam tubuh pasien segera di keluarkan.

14
Tindakan ini biasa disebut bilas lambung. Bilas lambung dilakukan
dengan cara pipa orogastrik dimasukkan hingga di lambung, yang
kemudian akan dialiri air sebanyak 300-600 ml untuk dilakukan
pembilasan. Apabila pasien tidak sadar, jalan napas harus dilindungi
dengan pipa endotrakeal yang mempunyai balon. Setelah 1 jam
tertelannya racun, bilas lambung hanya mampu mengeluarkan
sebagian kecil racun. Bilas lambung dikontraindikasikan untuk pasien
dengan keracunan bahan korosif seperti minyak tanah.
3. Pemberian Antidotum
- Pemberian atropine sebagai Agen Antimuskarinik, Mengatasi gejala
bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea. Pada orang dewasa dosis
awalnya 1-3 mg iv, anak 0,02 mg/kg (20 mikogram/kg) diulang dalam
dosis 2 kali lipat setiap 5 menit sampai bronkore dan bronkospasme
hilang dan fungsi diovaskular (tekanan darah sistolik kurang dari 80
mmHg, nadi kurang dari 80 kali/menit). Selanjutnya Tindakan dapat
dilanjutkan dengan pemberian infus konstan untuk mempertahankan
fungsi kardiorespirasi yang cukup. Pada pasien dengan keracunan
parah dapat memerlukan dapat diberikan atropine dalam dosis tinggi.
Namun jika terdapat intoksikasi atropine seperti mulut kering,
takikardia, agitasi atau kebingungan, kulit kering, dan ileus dapat
menghentikan pemberian infus sementara dan memulai Kembali
sekitar 70 % dari tingkat sebelumnya setelah toksisitas terjadi. Pasien
juga harus diamati secara hati hati untuk menimbulkan kekambuhan
fitur kolinergik yang membutuhkan pemberian bolus atropine.
- Selanjutnya yaitu pemberian oksim, oksim dapat mengaktifkan
Kembali kolinesterase terfosforilasi. Oksim dapat memulihkan
kekuatan otot, mengurangi fasikulasi dan meningkatkan tingkat
kesadaran pasien. Oksime mereaktivasi enzim kholinesterase dengan
membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim. Pralidoxime
merupakan obat oksim yang baik di lingkungan perawat klinis.
Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan
mengurangi jumlah penggunaan ventilator. Diberikan dosis awal

15
30/kg (obidoxime 250 mg) dengan injeksi iv lambat selama 30-60
menit diikuti dengan pemberian infus 8-10 mg/kg/jam (obidoxime 32
mg/jam) dilakukan selama 2-3 hari. Tidak ada kontraindikasi pada
penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.
- Selanjutnya yaitu pemberian diazepam pada pasien untuk
mengurangkan cemas, gelisah dengan dosis 5-10 mg IV dan bisa juga
digunakan untuk mengkontrol kejang dengan dosis10-20 mg IV.
Pada penelitian (Shammi et al., 2020) mengungkapkan bahwa beberapa
orang setelah keracunan pestisida memiliki penyebab penyakit jangka
Panjang yang melemahkan system organ dengan banyak gejala. Seperti
keluhan neuromuskular (letargi, iritabilitas, konsentrasi buruk, perubahan
suasana hati, depresi, insomnia, parastesia, nyeri). Beberapa individu
bahkan mengalami kecacatan dan memiliki kualitas hidup yang buruk.
Setelah pasien mengalami keracunan pestisida dilakukan tindakan
anamnesis. Hal ini dilakukan untuk mengenali gejala, paparan, frekuensi
dan durasi paparan, dan semua pestisida serta bahan kimia lain yang telah
terpapar pada pasien.
2.9 Strategi pencegahan dalam penelitian (Mutia & Oktarlina, 2020)
a. Strategi primer
 Strategi aktif
Strategi ini mengubah sikao, gaya hidup dan perilaku individu dan
kelompok. Seperti melakukan edukasi masyarakat mengenai kesadaran
dan praktik keamanan racun, atau melakukan sosialisasi mengenai inisiatif
pengemasan, penabelan, dan penyimpanan produk kimia (pestisida) yang
aman
 Strategi pasif
Meningkatkan keamanan produk dan lingkungan tentang penggunaan
pestisida. Misalnya pemberian kemasan yang aman untuk anak,
penambahan agen penetral ke pestisida seperti etilena glikol untuk
mencegah terjadinya keracunan.
b. Strategi sekunder

16
Tindakan ini merupakan Langkah yang diambil setelah paparan terjadi, untuk
mencegah komplikasi keracunan, irreversible atau kronis dan mengembalikan
korban ke kondisi Kesehatan sebelumnya. Hal tersebut merupakan Langkah
awal untuk meminimalkan efek dari afen beracun, diagnosis, dekontaminasi
dan pertolongan pertama. Tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengedukasi masyarakat mengenai bagaimana cara mengenali dan mengelola
keracunan, seperti mencucui kulit dan mata segera setelah terkontaminasi
pestisida.
c. Strategi tersier
Tindakan ini berhubungan dengan diagnosis dan pengobatan pasien keracunan
yang tidak dapat ditangani hingga pemulihan penuh, untuk mencegah
kematian ataupun cacat permanen. Tindakan ini berkaitan dengan korban dan
keluarga tentang bagaimana memanfaatkan keinginan untuk hidup sehat,
seperti menghindari kesulitan yang tidak perlu, pembatasan dan komplikasi
melalui rehabilitasi dan fisioterapi kasus polineuropati akibat keracunan.

Kemudian terdapat Langkah pencegahan lain supaya terhindar dari keracunan


kronis pestisida yaitu (Mutia & Oktarlina, 2020) :

1. Mengaplikasikan system tanam alternatif yang kurang bergantung pada


pestisida.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan lebih memfokuskan pada pendekatan
ekologi perlindungan tanaman berdasarkan pengetahuan ekologi. Tujuan dari
Tindakan ini untuk meningkatkan kemampuan system pertanian dalam proses
regulasi hama dan berkontribusi pada peningkatan produksi pertanian.
2. Menggunakan alat pelindung diri (APD)
Seperti menggunakan sarung tangan, sepatu bot, topi, kaos lengan Panjang,
dan baju tahan kimia. Penggunaan sarung tangan dan sepatu bot merupakan
APD minimum untuk sebagian besar produk pestisida. Hal ini merupakan
aturan umum, pestisida yang sangat beracun yang membutuhkan penggunaan
berbagai jenis APD untuk mengurangi paparan. Menggunakan sarung tangan
adalah hal perlindungan yang paling efektif terhadap paparan pestisida yang
terjadi. Pada pakaian pelindung umum dapat memberikan perlindungan
terhadap paparan menurut jenis kain, termasuk ketebalan dan berat. Akan

17
tetapi, perlindungan yang aman ditemukan pada kain polypropylene yang
lebih tahan air dibandingkan dengan pakaian jenis katun.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pestisida merupakan zat atau bahan kimia yang digunakan terutama di
bidang pertanian, kehutanan, hortikultura dan di lahan publik untuk
meningkatkan hasil panen dan selalu digunakan oleh setiap petani. Keracunan
pestisida merupakan kondisi ketika racun serangga tidak sengaja tertelan,
terhirup, atau terserap ke dalam kulit. Kondisi ini sangat berbahaya dan harus
segera mendapat penanganan medis. Keracunan pestisida dapat
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu keracunan akut dan kronis. Tanda dan gejala
yang dapat ditimbulkan dari keracunan pestisida mulai dari gejala sederhana
seperti iritasi, pusing, mual, sampai dengan gejala serius seperti kematian.
Pemeriksaan medis yang dapat dilakukan pada individu dengan keracunan
pestisida dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboraturium, pemeriksaan
patologi, atau dapat dilakukan dengan skrining toksikologi pada urin. Setelah
melakukan pemeriksaan, maka dilakukan beberapa penatalaksanaan terkait
dengan keracunan pestisida yaitu dengan menstabilkan pasien keracunan
pestisida terlebih dahulu, kemudian pemberian dekontaminasi, lalu melakukan
pemberian antidotum kepada individu dengan keracunan pestisida.

3.2 Saran
Sebagai mahasiswa yang bijak, hendaknya diharapkan mampu
mengedukasi masyarakat terkait apa saja penyebab dan dampak yang dapat
ditumbulkan dari keracunan pestisida. Sebagai seorang perawat juga
diharapkan mampu untuk mengedukasi kepada masyarakat khususnya petani
terkait apa saja penyebab dan dampak yang dapat ditumbulkan dari keracunan
pestisida serta mampu untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan yang
tepat dan efektif sesuai dengan standar operasional prosedur.

18
Sebagai masyarakat yang bijak, dalam penggunaan pestisida sebaiknya
diperhatikan sesuai aturan yang ada untuk mencegah terjadinya keracunan.
Selain itu, masyarakat hendaknya juga mengetahui bahaya-bahaya lain yang
timbul dari kesalahan penggunaan pestisida, agar gangguan-gangguan pada
kesehatan tubuh, khusunya gangguan kesehatan pada tubuh petani dapat
dihindari dan dicegah kedatangannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, R., & Muhartono. (2018). Dampak Penggunaan Pestisida Organoklorin


terhadap Risiko Kanker Payudara. Journal Agromedicine, 5, 433–437.

Arrasyid, M. dan A. S. (2017). Bawang Merah Di Nagari Alahan Panjang. Jurnal


of Sainstekstek 9(1), 8019, 14–18.

Bhatt, P., Zhou, X., Huang, Y., Zhang, W., & Chen, S. (2021). Characterization of
the role of esterases in the biodegradation of organophosphate, carbamate,
and pyrethroid pesticides. Journal of Hazardous Materials, 411(September
2020), 125026. https://doi.org/10.1016/j.jhazmat.2020.125026

Dokter, S. P., & Kedokteran, F. (2019). Artikel penyegar. 7(2), 130–139.

Eddleston, M. (2020). Poisoning by pesticides. Medicine (United Kingdom),


48(3), 214–217. https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2019.12.019

Hasanah, N. . E. . & L. R. (2022). 1272-Article Text-3248-1-10-20220131.


Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung
Diri (APD) Pada Petani Penyemprot Pestisida Di Puskesmas Paal Merah II,
2(Vol 2 No 9: Februari 2022), 1–8.
https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/1272

Herdianti, H. (2018). Hubungan Lama, Tindakan Penyemprotan, Dan Personal


Hygiene Dengan Gejala Keracunan Pestisida. PROMOTIF: Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 8(1), 72. https://doi.org/10.31934/promotif.v8i1.232

Hidayati, D. B. I. (2019). Intoksikasi organofosfat dengan krisis kolinergik akut,


gejala peralihan dan polineuropati tertunda. J Agromedicine, 6(2), 1–6.

Ma’arif, M. I., Suhartono, & Yunita, N. A. (2016). Studi pervalensi keracunan


pestisida pada petani sayur di desa mendongan kecamatan sumowono.

20
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 4(5), 2356–3346.

Marisa, M., & Pratuna, N. D. (2018). Analisa Kadar Cholinesterase Dalam Darah
Dan Keluhan Kesehatan Pada Petani Kentang Kilometer Xi Kota Sungai
Penuh. JURNAL KESEHATAN PERINTIS (Perintis’s Health Journal), 5(1),
122–128. https://doi.org/10.33653/jkp.v5i1.154

Mutia, V., & Oktarlina, R. Z. (2020). Keracunan Pestisida Kronik Pada Petani.
JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 7(2), 130–139.
https://doi.org/10.53366/jimki.v7i2.53

Nolia, H., Rusli, M., Sembiring, H., & Bariyah, K. (2021). Peningkatan
Pengetahuan dan Keterampilan Petani Dalam Penggunaan APD Untuk
Pencegahan dan Penanggulangan Kejadian Keracunan Pestisida di Desa
Barusjahe Kecamatan Barusjahe Tahun 2020. Buletin Al-Ribaath, 18, 166–
173.

Oktaviani, R., & Pawenang, E. T. (2020). Risiko Gejala Keracunan Pestisida pada
Petani Greenhouse. Higeia Journal of Public Health Research and
Development, 4(2), 178–188.

Pamungkas, O. S. (2016). Bahaya Paparan Pestisida terhadap Kesehatan Manusia.


Bioedukasi, 14(1), 27–31.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/BIOED/article/download/4532/3355

Pamungkas, O. S., Promosi, M., Universitas, K., & Semarang, D. (n.d.). Bahaya
paparan pestisida terhadap kesehatan manusia 1. 27–31.

Saputra, D. Y., Purwati, P., & Harningsih, T. (2021). Penentuan Kadar Enzim
Kolinesterase pada Petani Pengguna Pestisida Organofosfat Berdasarkan
Frekuensi Penyemprotan. Jurnal Farmasi (Journal of Pharmacy), 9(2), 21–
25. https://doi.org/10.37013/jf.v9i2.106

Shammi, M., Sultana, A., Hasan, N., Mostafizur Rahman, M., Saiful Islam, M.,
Bodrud-Doza, M., & Khabir Uddin, M. (2020). Pesticide exposures towards
health and environmental hazard in Bangladesh: A case study on farmers’
perception. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences, 19(2),

21
161–173. https://doi.org/10.1016/j.jssas.2018.08.005

Suparti, S., Anies, & Setiani, O. (2016). Beberapa Faktor Risiko Yang
Berpengaruh Terhadap Kejadian Keracunan Pestisida Pada Petani. Jurnal
Pena Medika, 6(2), 125–138.

22

Anda mungkin juga menyukai