Anda di halaman 1dari 4

selotipdingin

RINDU MAIN PIANO

Sejak kecil aku suka musik. Ketika kelas Taman Bermain memutar lagu, aku akan
menari mengikuti iramanya, dan ketika saatnya belajar hal lain lalu musik dimatikan, aku
selalu menangis. Ketika saat itu atraksi Barongsai sedang terkenal di jalan raya (Barongsai
adalah istilah untuk naga yang menari/Lion Dance yang menjadi adat dan tradisi masyarakat
Tiongkok untuk menyambut perayaan Tahun Baru Imlek), aku selalu semangat mengikuti
hentakan irama musiknya dan menari bersama barongsai. Kecintaanku akan musik bertambah
ketika aku mulai masuk Sekolah Dasar. Saat itu kami siswa baru diminta untuk memilih satu
ekstrakurikuler (ekskul), dan aku langsung tertarik dengan kegiatan Seni Musik.
“Aku kan suka mengikuti irama musik, maka aku harus bisa juga memainkannya!”
begitu selalu alasanku jika ditanya mengapa memilih Seni Musik. Kedua orangtuaku
menyetujui pilihanku.
Hari pertama ekskul kami berkenalan dan dibagi ke dalam beberapa kelompok. Karena
aku masih kelas 1 SD, aku dimasukkan ke dalam pemain pianika. Dengan semangat aku
menyampaikan hal ini kepada kedua orangtuaku, dan dengan senang hati mereka
membelikanku pianika baru. Setiap sore aku berlatih dengan semangat lagu-lagu yang
diajarkan oleh guruku, namanya Pak Anta.
Dukungan kedua orangtuaku tidak sampai situ saja. Tidak lama setelah aku mengikuti
kegiatan Seni Musik di sekolah, kedua orangtuaku menawarkan aku untuk mengikuti les
piano klasik. Dengan senang hati aku menyetujuinya. Aku sangat senang bisa menekan tuts-
tuts piano dan menghasilkan nada indah, meskipun masih baru belajar hal-hal dasar.
Hari ulang tahunku yang ke-7, tiba-tiba datang mobil box di depan rumahku. Tak lama
kemudian, dua orang bapak-bapak berseragam mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam
besar dan membawanya masuk ke dalam rumahku: sebuah piano! Ternyata orangtuaku benar-
benar mendukung kesukaanku dalam bidang musik. Aku langsung memeluk kedua
orangtuaku dan mengucapkan terima kasih tak henti-hentinya.
Pesan Papa saat itu, “Ini Papa belikan piano buat Ay, Ay belajar piano yang rajin ya, biar
nanti bisa mainin Papa lagu-lagu bagus.”
dan pesan Mama, “Mama setuju kamu belajar piano, menurut Mama bisa main musik itu
suatu kelebihan yang berguna nanti di masa depan kamu. Belajar yang semangat ya!”
“Siap Pa, siap Ma! Ay bakal belajar sungguh-sungguh supaya bisa main lagu-lagu bagus
dan jadi pianis terkenal!” ucapku sambil memeluk kedua orangtuaku.
Waktu terus berlalu. Aku rutin mengikuti les piano seminggu sekali, dan masih berlatih
piano di rumah dengan rutin, meskipun semakin lama tidak setiap hari. Ketika aku kelas 3
SD, Mama dan Papa memasukkan adikku, Dela, ke dalam les piano juga. Aku tambah
semangat karena ada teman berlatih. Setiap weekend menjadi hari ‘konser’ bagi aku dan Dela.
Kami akan memainkan lagu-lagu yang sedang dan sudah diajarkan oleh guru les piano,
sedangkan Papa dan Mama akan duduk di ruang keluarga mendengarkan kami sambil
melakukan aktivitas masing-masing, baik membaca koran, mengisi TTS, main HP, maupun
sekedar memperhatikan saja. Ketika kami selesai ‘konser’, mereka akan mendatangi kami dan
bertepuk tangan sambil berkata,
“Keren banget kalian! Ayo terus semangat latihan!” ketika kami berhasil memainkan
lagu dengan lancar, atau
selotipdingin

“Wah hebat kalian! Masih ada salah-salah sedikit ya? Tapi gapapa, latihan terus biar
semakin lancar mainnya,” ketika kami sedang agak malas atau bermain dengan banyak salah.
Permainan pianoku sedikit demi sedikit membaik. Aku pernah pula berpartisipasi dalam
sebuah lomba piano, namun belum beruntung kala itu. Aku juga beberapa kali mengikuti
konser piano yang rutin diadakan oleh tempat lesku.
Akan tetapi, ternyata Dela tidak begitu menikmati pelajaran musik dan piano ini. Suatu
hari ia mendatangi kedua orangtuaku dan berkata,
“Ma, Pa, Dela ingin berhenti les piano. Dela ga suka main piano, selama ini Dela udah
tahan-tahan dan paksain, ternyata Dela tetap ga suka.”
Mama dan Papa terkejut, sebab selama ini Dela terlihat baik-baik saja. Setelah
perdebatan agak panjang, akhirnya muncul pula kata sepakat antara Dela dan kedua
orangtuaku, tentu saja dengan syarat.
“Mama dan Papa setuju Dela berhenti piano kalau Dela mau belajar alat musik lain
selain piano. Bebas mau alat musik apa,” ucap Mama ketika Dela merengek minta berhenti
les lagi, setelah sekian kalinya.
“Harus banget Ma belajar alat musik lain?” tanya Dela agak kecewa. Mama
mengangguk.
“Menurut Mama penting Del buat belajar musik, apalagi kamu masih masa
pertumbuhan, masih lebih mudah belajar musiknya daripada Mama yang udah tua. Musik itu
banyak manfaatnya, bisa untuk belajar, bisa juga jadi alat pelampiasan kalau kamu lagi stres
atau capek belajar. Manfaatnya mungkin gabisa kamu rasain sekarang, tapi Mama jamin
berguna deh buat kamu. Mau ya belajar alat musik lain?” bujuk Mama. Dela tampak berpikir.
“Kalau ternyata Dela ga cocok juga?”
“Kan belum dicoba? Gaboleh ngomong gitu dong. Ayo kamu mau ganti alat musik apa?”
tanya Mama. Dela merengut, tetapi kemudian mengangguk.
“Dela boleh coba gitar Ma? Teman Dela ada yang jago main gitar, kayaknya keren bisa
main gitar,” usul Dela. Mama dan Papa tersenyum mendengarnya.
“Boleh! Ay mau ikutan juga kah belajar gitar?” tanya Papa padaku. Aku berpikir
sejenak. Jadwal sekolahku yang padat karena sekarang aku sudah duduk di Sekolah
Menengah Pertama, ditambah padatnya jadwal latihan dan tanding team voli sekolah yang
kuikuti menjadi pertimbanganku. Tapi ini tawaran menarik untukku. Akhirnya aku
mengangguk.
“Boleh deh, sekalian sama Dela. Tapi aku gamau berhenti piano ya Ma, Pa,” putusku.
Mama dan Papa kemudian mendaftarkan Dela dan aku ke les gitar, di tempat yang sama
dengan tempatku les piano. Kegiatan les gitar pun dimulai, namun belum lama akhirnya aku
memutuskan berhenti karena tidak sanggup dengan kesibukanku.
“Ay ga kuat dengan jadwal sepadat ini Ma, Pa, Ay kayaknya berhenti les gitar aja,”
ucapku pada Mama dan Papa. Mama dan Papa mengangguk mengerti.
“Oke, tapi pianomu tetap ya kalau begitu?” tanya Papa. Aku nyengir saja.
“Kalau aku berhenti juga memangnya boleh?” tanyaku.
selotipdingin

“Yah masa berhenti? Sayang kali kamu udah selama ini belajar piano. Masa berhenti gitu
saja?” tanya Mama balik. Aku diam saja.
“Loh, perasaan kamu sendiri yang belum lama ini bilang kalau kamu ga mau berhenti
main piano, kok tiba-tiba berubah?” ucap Papa. Aku hanya tertawa.
“Bercanda kok Pa, Ma. Aku tetap setia sama piano,” jawabku yang disambut anggukan
Papa dan Mama.
Ternyata, Dela juga memutuskan bahwa ia tidak menyukai gitar juga. Akhirnya, setelah
berdebat lagi tentunya, Dela juga ikut berhenti belajar gitar. Jadilah ia tidak mengikuti les
musik apapun, namun ternyata muncul ketertarikan belajar gambar. Aku sendiri masih setia
pada piano, meskipun perlahan-lahan aku mulai goyah. Ternyata masa SMP ini aku
menemukan banyak hal menarik selain bermain musik. Aku menyukai pelajaran matematika
dan biologi ketika SMP. Perlahan-lahan mimpiku untuk bisa bermain banyak lagu bagus dan
menjadi pianis pupus, digantikan dengan keinginan untuk menjadi ilmuwan dan bisa
menghasilkan berbagai penemuan ilmiah. Selain itu, aku mulai memperhatikan bahwa teman-
temanku banyak sekali yang juga belajar piano, dan mereka jauh lebih hebat daripada aku.
Perlahan rasa minder itu pun perlahan muncul. Belum lagi beberapa teman-temanku ada yang
mendaftar menjadi organis di sekolah, dan menuruku mereka keren sekali dengan
kemampuan improvisasi mereka.
Suatu kali SMP-ku mengadakan pendaftaran anggota pengurus OSIS. Aku pun tertarik
untuk mendaftar, dan sampailah di tahap akhir yaitu kampanye diri di depan satu sekolah.
Meski bingung mengapa semua anak harus kampanye-mengingat aku tidak mendaftar sebagai
ketua OSIS-tetapi akhirnya kujalani juga. Salah satu bagian dari kampanye itu adalah unjuk
bakat. Aku pun kebingungan dibuatnya.
“Ma, Ay harus unjuk bakat apa buat kampanye OSIS?” tanyaku panik.
“Main piano ajalah! Kamu kan bisa main piano,” jawab Mama. Aku menatap Mama
ragu.
“Tapi Ay gatau mau bawain lagu apa. Lagian Ay ga jago-jago amat ah Ma, nanti kalah
sama yang bisa main piano lainnya,” kataku.
“Tanya aja sama Kak Evie guru les kamu, pasti nanti dibantu cari lagu yang tepat,” usul
Mama. Aku masih memandang Mama ragu.
“Kalo selain piano apa ya Ma? Itu udah banyak yang main piano soalnya, temen-
temenku yang organis pada daftar OSIS juga Ma,” bujukku. Mama menghela napas.
“Kan kamu disini buat unjuk bakat toh? Jadi OSIS toh? Bukan kompetisi piano? Ya
gapapa dong kalo banyak yang main piano, yang penting kamu berani nunjukin kemampuan
kamu di depan,” ujar Mama. “Udah pokoknya tanya Kak Evie aja kalo kamu bingung.”
Awalnya aku menolak. Aku memutuskan untuk terus mencari bakat lain yang bisa
kulakukan, mungkin menyanyi saja? Tapi aku malu karena aku pun tidak bisa menyanyi.
Atau kemampuan passing bola voli? Tapi aku juga tidak se-stabil itu. Semua kemungkinan itu
aku data dan selalu saja terdapat alasannya. Akhirnya aku menyerah dan aku pun menurut
Mama. Setelah konsultasi dengan kak Evie, aku pun diberikan sebuah lagu klasik River Flows
in You untuk latihan. Lagu yang bagus menurutku, namun sulit dipelajari, apalagi mengingat
waktu yang semakin terbatas. Diam-diam aku mencari sendiri chord lagu yang mudah dan
bisa dinyanyikan bersama-sama. Aku menemukan chord lagu A Thousand Years by
Christinna Perri, dan ini lebih mudah kukuasai.Aku menjadikan lagu ini sebagai lagu
selotipdingin

cadangan apabila lagu klasik dari Kak Evie tidak berhasil kukuasai, selain itu menurutku akan
lebih menyenangkan apabila bisa membawakan lagu pop daripada klasik. Hari terakhir les
piano sebelum kampanye itu, aku masih belum menguasai lagunya. Kak Evie melihatku
pasrah.
“Besok kamu udah kampanye kan?” tanya kak Evie sebelum aku pulang. Aku
mengangguk.
“Semoga sukses ya. Gimana pun hasilnya, yakinkan aja kalo itu yang terbaik oke?
Mainnya yang tenang, gausah buru-buru,” nasihat kak Evie. Aku hanya mengangguk lalu
berpamitan. Aku pun merenung selama perjalanan pulang. Kalau begini caranya, aku hanya
akan mempermalukan diriku sendiri. Diam-diam kuputuskan untuk membawakan lagu pop A
Thousand Years yang diam-diam kupelajari juga saja.
Hari-H kampanye, aku memainkan lagu pop dan benar saja, semua temanku ikut
bernyanyi sehingga kesalahanku dalam bermain tertutup oleh suara mereka. Aku sangat lega
sekaligus merasa bersalah dengan Kak Evie. Selama kampanye berlangsung, aku juga melihat
penampilan teman-temanku terutama teman-teman yang juga bermain piano. Mereka luar
biasa keren dan beberapa mungkin sudah dapat dikatakan berada di level advance, jago
banget pokoknya!
Hasil pengumuman OSIS pun muncul dan aku dinyatakan lolos menjadi pengurus OSIS.
Rasa lega menjalar di hatiku, dan diam-diam bersyukur bahwa aku memilih untuk
membawakan lagu pop, meskipun aku sendiri tidak yakin apakah itu menjadi indikator
terbesar keberhasilanku lolos. Selama masa kepengurusan OSIS aku semakin minder dengan
kemampuan bermain pianoku, karena teman-temanku yang tadi kuceritakan itu juga diterima.
Tentu saja semua acara yang memerlukan piano akhirnya diambil alih oleh mereka. Aku pun
tidak keberatan karena aku sendiri semakin tidak percaya diri dengan kemampuanku.
“Ay nanti mau masuk jurusan apa?” tanya Mama suatu kali ketika kami sedang
membicarakan pendaftaran masuk SMA yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
“IPA kayaknya Ma,” jawabku dengan yakin. Mama mengangguk-angguk.
“Memangnya nanti Ay mau kuliah apa?” tanya Mama lagi. Aku pun berpikir.
“Belum tau Ma. Tapi sih sepertinya mau yang seputar biologi atau mat gitu Ma, mungkin
bioteknologi atau statistika?” sahutku.
“Gajadi mau jadi pianis?” goda Mamaku.

Anda mungkin juga menyukai