Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI

UJI MIKROBIOLOGI MAKANAN KALENG

Disusun Oleh :

Karina Awitri Dewi 1321920006

Kelompok II :

Firda Yulihana 1321920005


Muthia Amira Kiasatina 1321920007
Sarah Rizky Amalia 1322025008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA
SERPONG
2022
I. Tujuan
1. Mengetahui adanya mikroba pada sampel makanan kaleng dengan pengujian oleh media
Litmus Milk.
2. Mengetahui adanya mikroba pada sampel makanan kaleng dengan pengujian oleh media
Nutrien Broth.
3. Mengetahui adanya mikroba pada sampel makanan kaleng dengan pengujian oleh media
Thioglycollate dengan tambahan Nutrien Agar dipermukaannya.
4. Mengetahui adanya mikroba pada sampel makanan kaleng dengan pengujian oleh media
DTBPA (Dextrose Tryptone Brom Cresol Purple Agar).
5. Mengetahui adanya mikroba pada sampel makanan kaleng dengan pengujian oleh media Sulfit
Agar.

II. Dasar Teori

Makanan kaleng adalah makanan yang diawetkan dengan pemanasan di dalam wadah yang
tertutup secara hermetis. Pengepakan secara hermetis dapat mencegah masuknya gas atau
mikroorganisme ke dalam kaleng sehingga tidak terjadi kontaminasi dari luar setelah kaleng
ditutup dan tetap hermetis. Makanan kaleng tersebut sudah diawetkan agar tahan lama. Stumbo
mengatakan bahwa makanan yang dikalengkan secara hermetis (penutupannya sangat rapat, tidak
dapat ditembus oleh udara, air, mikrobia, atau bahan asing lain) merupakan produk teknologi
pengawetan yang sudah lama dikenal.

Mutu makanan mengalami penurunan selama makanan diolah. Panas yang digunakan selama
proses dapat menyebabkan perubahan mutu, nutrisi produk, perubahan warna dan protein, serta
perubahan kadar proksimat dan mineral. Penurunan mutu ini terus berlangsung selama
penyimpanan karena reaksi-reaksi kimia yang terjadi secara alami, sehingga mempengaruhi cita
rasa, warna, tekstur, dan nilai gizi dari makanan tersebut. Salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap mutu pangan kalengan adalah suhu ruangan penyimpanan. Suhu yang terlalu tinggi dapat
meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, dan tekstur. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan
bakteri yang tidak hancur selama proses sterilisasi cenderung untuk tumbuh dan berkembang biak.
Oleh sebab itu, sebaiknya makanan kaleng disimpan pada suhu ruangan 10-21°C untuk mencegah
terjadinya kerusakan dan juga pembusukan.
Proses pengalengan merupakan salah satu cara mengawetkan makanan karena di
dalam kaleng harus tidak terdapat oksigen sehingga bakteri aerob tidak bisa tumbuh dan
merusak makanan. Akan tetapi, ada kemungkinan makanan tersebut mengandung bakteri
anaerob yang dapat tumbuh pada lingkungan tanpa oksigen seperti Clostridium botullinum
yang sering disebut bakteri makanan kaleng. Oleh sebab itu diperlukan pengujian yang
ketat terhadap bakteri ini sebelum makanan dikemas dalam kaleng.

Penggunaan pengawet yang tepat (baik secara jenis dan jumlah) juga merupakan salah
satu usaha pencegahan kontaminasi mikroba ini. Ada beberapa kerusakan yang berbahaya
biasanya terjadi pada kemasan yang terlihat normal dan tidak mengalami kebocoran, seperti :

1. Flat sour : kaleng tetap datar dan tidak mengalami kerusakan, tetapi produk didalam kaleng
tersebut sudah mengalami kerusakan dan berbau asam yang menusuk. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh aktivitas bakeri tahan panas yang tidak terhancurkan selama proses
sterilisasi. Contoh bakteri yang dapat menyebabkan flat sour adalah Bacillus
stearothermphilus, yaitu bakteri yang memfermentasi karbohidrat yang tumbuh dalam
produk yang memiliki keasaman rendah. Sedangkan hasil negatif yang didapatkan pada
pengujian makanan kaleng rusak, belum menandakan bahwa produk tersebut tidak
mengandung Clostridium botulinum, bisa saja dikarenan oleh kondisi anaerob yang tidak
terbentuk saat penambahan media NA dibagian atas.

2. Springer : salah satu ujung kaleng tampak normal, sedangkan ujung yang lain tampak
cembung permanen. Jika bagian ujung yang cembung ditekan, maka ujung kaleng normal akan
tampak cembung.

3. Swell : kedua ujung sudah terlihat cembung akibat adanya bakteri pembentuk gas.
Kerusakan kaleng seperti ini dibagi menjadi dua, yaitu soft swell, yaitu cembung masih dapat
ditekan oleh tangan sedikit. Serta, hard swell, yaitu cembung sudah tidak dapat ditekan oleh
tangan. (Handono. 2011).
Bakteri Clostridium botulinum ini merupakan bakteri pembentuk racun atau toksin yang
disebut dengan toksin botulin yang dapat menggangu saraf dan menyebabkan kelumpuhan.
Tanda-tanda keberadaan bakteri ini maupun toksinnya pada makanan kaleng antara lain adanya
cairan jernih agak keputihan, kemasan yang retak, tutup dan sambungan kaleng yang kendor, atau
timbulnya bau tidak sedap.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak tumbuhnya bakteri Clostridium
botulinum ini dapat dilakukan dengan mengamati secara cermat proses pembuatan
produk pangan yang dikemas dalam kaleng atau kemasan vacuum, dan tidak
mengkonsumsi produk dengan kemasan yang rusak. Selain itu, ada baiknya jika member produk
kaleng dengan pH rendah sebaiknya dipanaskan pada suhu 80 oC selama 20 menit sebelum
dikonsumsi. (Kusnandar, Feri, dkk. 2006).

Perubahan utama mutu makanan kaleng terjadi karena adanya aktivitas dari mikroorganisme
yang bersifat termofil dan mesofil. Kerusakan makanan kaleng oleh reaksi kimia diantaranya
terjadi pembentukan gas dan asam. Kerusakan lainnya karena adanya kontak makanan di dalam
kaleng dengan logam pada kemasan akibat terjadi pengelupasan lacquer diantaranya pemucatan
warna makanan, penyimpanan aroma dan rasa, serta penurunan nilai gizi dari makanan.

Apabila penurunan mutu makanan kaleng diketahui, maka dapat dikembangkan proses
pengolahan dan kondisi penyimpanan yang optimum. Pengujian terhadap makanan kaleng perlu
dilakukan untuk dapat menentukan apakah produk hasil pengalengan mempunyai mutu dan umur
simpan sesuai dengan yang ditetapkan. Pengujian tersebut dilakukan secara fisik, kimiawi, dan
mikrobiologis. Parameter yang yang harus diuji biasanya antara lain warna, penampakan, dan
bau. Adanya bau sebagai tanda dari terjadinya kebusukan dari makanan kaleng.

III. Alat dan Bahan


A. Alat
a. Bunsen
b. Pipet Ukur
c. Alat Pembuka Kaleng
d. Cawan Petri Steril
e. Tabung Reaksi
f. Inkubator
B. Bahan
a. Makanan Kaleng merk “ SAPONI “
b. Alkohol 70%
c. Kapas
d. Media Litmus Milk
e. Media Thioglycollate
f. Media Nutrien Broth
g. Media DTBPA
h. Media Nutrien Agar Cair Steril
i. Media Sulfit Agar
IV. Cara Kerja

Diperiksa keadaan luar dari sampel makanan kaleng yang terlihat normal.

Dicuci bagian luar kaleng dengan air mengalir dan diberi sabun supaya bersih.

Dipegang bagian bawah kaleng dan dibagian atas yang akan dibuka nanti dilalukan diatas api
dengan cara diputar-putar sehingga panasnya rata. Tidak lupa sebelumnya dilap dengan
alkohol dan kapas pada permukaan kaleng supaya steril.

Dibuka bagian atas kaleng dengan alat pembuka kaleng, tutupnya diangkat dan diganti
dengan tutup dari cawan petri steril.

Disiapkan 2 tabung berisi media Litmus Milk, 2 tabung berisi media Thioglycolate, 2 tabung
berisi media Nutrien Broth, 2 cawan steril dan DTBPA, serta Nutrien Agar cair yang steril.

Dimasukkan ke dalam media yang telah disediakan, dan cawan petri steril masing-masing
diinokulasikan dengan 1 ml contoh dari sampel makanan kaleng yang normal. Khusus untuk
media Thioglycolate bagian atasnya diberi lapisan Nutrien Agar untuk menjamin kondisi
anaerobic. Dituang pula DTBPA pada cawan petri, digoyangkan dan dibiarkan beku.

Diinkubasikan satu tabung atau cawan dari masing-masing medium pada suhu 30°C selama
2-3 hari untuk pemeriksaan mikroba mesofilik, dan satu tabung atau cawan lain dari masing-
masing medium pada suhu 55°C selama 2 hari untuk pemeriksaan mikroba termofilik.

Diamati adanya pertumbuhan mikroba pada masing-masing media.


V. Data Pengamatan
1. Media DTBPA
No Suhu I II Rata-rata
1 30°C 0 0 0
2 55°C 0 0 0

Kontrol 0

2. Media Sulfit Agar


No. Suhu I II Rata-rata
1 30°C 0 0 0

2 55°C 0 0 0

Kontrol 0

3. Media Litmus Milk


No Suhu I II
1 30°C - -
2 55°C - -

4. Media Nutrien Broth


No Suhu I II
1 30°C - -
2 55°C - -

5. Media Thioglycolate
No Suhu I II
1 30°C - -
2 55°C - -
VI. Pembahasan

Pada praktikum Uji Mikrobiologi Makanan Kaleng dilakukan dengan tujuan untuk dapat
mengetahui adanya mikroba dalam sampel makanan kaleng. Sampel yang digunakan merupakan
produk makanan kaleng dari merk “SOPINI” yang memiliki expired date 25 agustus 2023.

Makanan kaleng adalah makanan yang diawetkan dengan pemanasan di dalam wadah yang
tertutup secara hermetis. Pengepakan secara hermetis dapat mencegah masuknya gas atau
mikroorganisme ke dalam kaleng sehingga tidak terjadi kontaminasi dari luar setelah kaleng ditutup
dan tetap hermetis. Makanan kaleng tersebut sudah diawetkan agar tahan lama. Stumbo mengatakan
bahwa makanan yang dikalengkan secara hermetis (penutupannya sangat rapat, tidak dapat
ditembus oleh udara, air, mikrobia, atau bahan asing lain) merupakan produk teknologi pengawetan
yang sudah lama dikenal.

Perubahan utama mutu makanan kaleng terjadi karena adanya aktivitas dari mikroorganisme
yang bersifat termofil dan mesofil. Kerusakan makanan kaleng oleh reaksi kimia diantaranya terjadi
pembentukan gas dan asam. Kerusakan lainnya karena adanya kontak makanan di dalam kaleng
dengan logam pada kemasan akibat terjadi pengelupasan lacquer diantaranya pemucatan warna
makanan, penyimpanan aroma dan rasa, serta penurunan nilai gizi dari makanan. Apabila penurunan
mutu makanan kaleng diketahui, maka dapat dikembangkan proses pengolahan dan kondisi
penyimpanan yang optimum. Pengujian terhadap makanan kaleng perlu dilakukan untuk dapat
menentukan apakah produk hasil pengalengan mempunyai mutu dan umur simpan sesuai dengan
yang ditetapkan. Pengujian tersebut dilakukan secara fisik, kimiawi, dan mikrobiologis. Parameter
yang yang harus diuji biasanya antara lain warna, penampakan, dan bau. Adanya bau sebagai tanda
dari terjadinya kebusukan dari makanan kaleng.

Pada pengujian dengan media DTBPA (Dextrose Tryptone Brom Cresol Purple Agar), tidak
terdapat bakteri pada suhu 30°C maupun 55°C. Tetapi pada suhu 30°C terdapat kontaminasi khamir,
hal ini dapat terjadi karena faktor kurang sterilnya lingkungan dan kurangnya aseptis saat proses
penambahan sample dan media.Pengujian dengan DTBPA mengindikasikan adanya bakteri
penyebab pembusukan oleh asam tanpa adanya gas (flat sour) dimana terbentuk koloni dengan
dikelilingi oleh area berwarna kuning sebagai tanda dari telah terbentuknya asam pada area media.
Kemudian pengujian dengan media Sulfit Agar, tidak terdapat bakteri penyebab karat yang
tumbuh pada suhu 30°C maupun suhu 55°C. Tetapi pada suhu 30°C dan sample kontrol terdapat
kontaminasi kapang khamir, hal ini dapat terjadi karena faktor kurang sterilnya lingkungan dan
kurangnya aseptis saat proses penambahan sample dan media.

Lalu pada pengujian mikroba dengan media Litmus Milk di suhu 55°C maupun pada suhu 30°C
larutan masih jernih. Media Litmus Milk mengindikasikan adanya bakteri proteolitik yang dapat
menyebabkan berbagai perubahan. Pada pengujian ini, tidak terjadi aktivitas proteolitik sehingga
warna larutan media masih jernih.

Pada pengujian dengan media Nutrien Broth tidak didapat koloni pada suhu 55°C maupun pada
suhu 30°C. Media Nutrient Broth menandakan adanya bakteri aerobik yang tumbuh dengan
menimbulkan kekeruhan pada medianya di suhu kamar. Pada praktikum ini digunakan Nutrien
Broth karena Nutrien Broth merupakan medium yang berbentuk cair dengan bahan dasar ekstrak
beef dan peptone yang diperlukan untuk bakteri aerobik.

Pada pengujian mikroba dengan media Thioglycolate di suhu 55°C maupun suhu 30°C tidak
terjadi perubahan. Media Thioglycolate mengindikasikan adanya bakteri anaerobik oleh adanya
pembentukan gas dan warna media menjadi keruh. Pembentukan gas tersebut ditandai dengan
terangkatnya lapisan Nutrien Agar pada bagian permukaan atas dari media Thioglycolate.

Pada pengujian bakteri aerob ditutup dengan media PCA karena media Plate Count Agar (PCA)
mengandung glukosa dan ekstrak ragi yang digunakan untuk menumbuhkan semua jenis bakteri.
Plate Count Agar (PCA) mengandung nutrisi yang disediakan oleh trypton, vitamin dari ekstrak
ragi, dan glukosa yang digunakan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme sehingga
mendukung pertumbuhan dari bakteri.

Pada praktikum kali ini, masing masing media diinkubasi pada suhu yang berbeda yaitu 30 oC
dan 55oC. Hal ini bertujuan untuk mengetahui suhu optimal perkembangbiakan bakteri. Pada media
DTBPA yaitu bakteri penghasil asam baik pada kaleng yang rusak maupun yang baik, bakteri lebih
optimum tumbuh pada suhu 30oC. Bakteri pembentuk asam meerupakan bakteri mesofilik yang
pertumbuhannya optimum pada suhu ruang. Suhu tinggi menghambat metabolisme bakteri ini
sehingga pertumbuhannya juga terhambat.
Lain halnya dengan bakteri anaerob, bakteri anaerob di produk pangan kaleng yang sudah
rusak lebih optimum tumbuh pada suhu yang lebih tinggi yaitu 55oC daripada suhu ruang,
sementara bakteri anaerob di produk pangan kaleng yang baik lebih optimum tumbuh pada suhu
ruang atau suhu 30oC. Bakteri anaerob yang memungkinkan tumbuh pada produk pangan kaleng
adalah C.botulinum.

Pada praktikum ini untuk menguji adanya bakteri aerob dalam makanan kaleng digunakan
media NB. NB adalah medium yang berbrntuk cair dengan bahan dasar ekstrak beef dan peptone.
Adanya bakteri aerob ditandai dengan timbulnya kekeruhan pada medium. Bakteri aerob di
produk pangan kaleng yang sudah rusak lebih optimum tumbuh di suhu yang lebih tinggi yaitu
55oC daripada suhu ruang, sementara bakteri pada media NB di produk pangan kaleng yang baik
lebih optimum tumbuh pada suhu ruang atau suhu 30oC. Bakteri yang memungkinkan tumbuh
adalah bakteri aerob. Bakteri aerob adalah bakteri yang membutuhkan oksigen untuk hidupnya.
Bila tidak ada oksigen, maka bakteri akan mati. Bakteri aerob menggunakan glukosa atau zat
organik lainnya (misalnya etanol) untuk dioksidasi menjadi CO₂ (karbon dioksida), H₂O (air),
dan sejumlah energi.

Menurut SNI 01-3820:2015 batas bakteri pada sosis daging makanan kaleng adalah max 1 x
105. Dari hasil praktikum yang dilakukan tidak ditemukan bakteri pada medi, sehingga makanan
kaleng “SAPONI” memenuhi syarat SNI dan layak dikonsumsi.
VII. Kesimpulan

1. Tidak terdapat mikroba pada sampel makanan kaleng merk “ SAPONI “ dengan pengujian
oleh media Litmus Milk.
2. Tidak terdapat mikroba pada sampel makanan kaleng merk “ SAPONI “ dengan pengujian
oleh media Nutrien Broth
3. Tidak terdapat mikroba pada sampel makanan kaleng merk “ SAPONI “ dengan pengujian
oleh media Thioglycollate
4. Tidak terdapat mikroba pada sampel makanan kaleng merk “ SAPONI “ dengan pengujian
oleh media DTBPA (Dextrose Tryptone Brom Cresol Purple Agar) tetapi terdapat
kontaminasi khamir, hal ini dapat terjadi karena faktor kurang sterilnya lingkungan dan
kurangnya aseptis saat proses penambahan sample dan media.
5. Tidak terdapat mikroba pada sampel makanan kaleng merk “ SAPONI “ dengan pengujian
oleh media Sulfit Agar, tetapi terdapat kontaminasi khamir, hal ini dapat terjadi karena faktor
kurang sterilnya lingkungan dan kurangnya aseptis saat proses penambahan sample dan
media.

VIII. Daftar Pustaka

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. IPB Press, Bogor.


Syarif, R. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta.
Fardiaz, S.1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Gibson.J.M. 1996. Mikrobiologi dan Patologi Modern. EGC, Jakarta.
SNI 3820:20
IX. Lampiran
1. Gambar pertumbuhan Mikroba dengan media Litmus Milk

2. Gambar pertumbuhan Mikroba dengan media Nutrien Broth

3. Gambar pertumbuhan Mikroba dengan media Thioglycollate


4. Gambar pertumbuhan Mikroba dengan media SA

5. Gambar pertumbuhan Mikroba dengan media DTBPA

Anda mungkin juga menyukai