Commodity Super-Cycle Sebagai Bahan Bakar Pemulihan Ekonomi
Commodity Super-Cycle Sebagai Bahan Bakar Pemulihan Ekonomi
melonjak melebihi harga rata-ratanya bahkan membuat all time high. Berdasarkan data historis,
commodity super-cycle pernah terjadi sekitar tahun 1900, 1930, 1950, dan 2000.
Kenaikan harga komoditas antara lain minyak bumi, gas alam cair, bijih besi, tembaga,
nikel, batubara, minyak sawit, timah, dll. menjadi titik krusial dimulainya commodity super-cycle.
Momentum langka seperti ini harus dimaksimalkan oleh Indonesia sebagai negara yang kaya
akan komoditas dan mineral alamnya dengan mendorong ekspor selama periode ini. Komoditas
ekspor unggulan Indonesia yakni batubara dan minyak sawit yang harganya telah mencapai titik
tertingginya sepanjang sejarah (batubara sempat menyentuh $260 per ton dan minyak sawit 5200
MYR/T) menjadi penopang utama pertumbuhan ekspor Indonesia. Periode super-cycle kali ini
diharapkan mampu mendorong pemulihan ekonomi Indonesia setelah tertekan selama pandemi
Covid-19.
Sumber: Tradingeconomics, 2021.
Akan tetapi permasalahannya jika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah ke negara
lain efeknya hanya seperti orang kehausan di siang hari lalu minum es yang nikmatnya hanya
dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya tapi juga sustainable untuk masa depan.
para eksportir atau pengusaha pertambangan/perkebunan. Tapi ingat, selama masa ini akan
terjadi pula inflasi yang menyakitkan bagi para konsumen menengah ke bawah. Kenaikan harga
batubara mungkin saja tarif listrik akan naik, melonjaknya harga CPO yang merupakan bahan
baku minyak goreng, produk makanan, biodiesel, kosmetik, dll juga menyebabkan produk
tersebut ikut-ikutan naik harga, kenaikan harga bijih besi juga berdampak ke sektor otomotif, dsb.
Mungkin efeknya belum terasa saat ini karena masih masa pandemi Covid-19. Akan tetapi,
setelah Covid-19 mulai mereda bahkan punah, produsen tak segan-segan menyesuaikan
kenaikan harga bahan baku mereka kepada konsumen demi mengembalikan margin yang
Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor nikel dengan kandungan di bawah 70%
mulai tahun 2020 merupakan langkah strategis dalam mencanangkan hilirisasi untuk
meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor Indonesia. Memang seharusnya sejak dulu hal ini
dilakukan. Hilirisasi mengubah bahan mentah menjadi setengah jadi/bahan jadi apalagi pada era
negara yang kaya tapi miskin komoditas. Dengan masuknya investasi ini dibuatlah smelter,
pabrik-pabrik pengolahan, dll. yang akan menyerap banyak tenaga kerja yang mana akan
memberi kesejahteraan yang merata. Sehingga efek dari commodity super-cycle tidak seperti
kehausan lalu minum es akan tetapi kita membuat “mesin pembuat es” sehingga kita tidak perlu
beli es di luar lagi. Sehingga tidak hanya orang-orang kaya yang menikmatinya akan tetapi
seluruh rakyat Indonesia. Kemudian masyarakat tidak hanya menanggung dampak inflasinya
Wacana pemerintah yang juga akan melarang ekspor CPO merupakan langkah besar
dan berani. Sebagai negara pengekspor terbesar kedua CPO, larangan ekspor mungkin saja
akan merugikan sektor hulu akan tetapi dampak ke depannya akan sangat menguntungkan bagi
negara dan rakyat Indonesia. Seperti pada pembahasan sebelumnya CPO merupakan bahan
esensial dalam produk kehidupan sehari-hari, jika ekspor dilarang maka mau tidak mau negara-
negara importir terutama Eropa, Cina, dan India akan memilih berinvestasi atau membeli produk
Larangan ekspor nikel sebagaimana disebutkan di atas berdampak positif bagi Indonesia.
Dalam waktu singkat banyak sekali investasi yang datang ke Indonesia untuk mengolah nikel
menjadi baterai atau produk olahan nikel lainnya, seperti di Indonesia Morowali Industrial Park
(IMIP) yang mendapat investasi sekitar 43 triliun Rupiah. Tentunya dari investasi itu akan
komoditas Indonesia yang lain, seperti CPO dan batubara. Mengolah minyak sawit menjadi
produk olahan setengah jadi/jadi misalnya B30, B40, minyak goreng, margarin, dsb. akan
memberi nilai tambah begitu pula hilirisasi batubara berupa gasifikasi batubara sebagai bahan
dibandingkan Cina yang mencapi 140 miliar ton tetapi Cina malah impor dari Indonesia. Suatu
hari nanti jika cadangan kita habis mau tidak mau harus impor dari Cina atau negara lain dengan
harga lebih mahal. Oleh karena itu, kita tidak boleh sembarangan dalam mengelola mineral dalam
negeri. Pemerintah seharusnya tidak perlu khawatir masalah dana pembangunan infrastruktur
tersebut karena ada gula ada semut di mana ada sumber energi, investasi akan berdatangan.
Selain itu juga kemudahan investasi wajib dilakukan, transparansi dan efisiensi birokrasi sangat
untuk menekan inflasi. Surplus perdagangan dari komoditas akan menyebabkan multiplier efek
ke sektor lainnya, seperti property, real estate, otomotif, sembako, dll. Naiknya harga-harga akan
menyebabkan semakin tidak terjangkaunya terutama property untuk kalangan anak muda yang