MENATA
ULANG
PENDIDIKAN
TINGGI
INDONESIA
Oleh:
Djoko
Santoso
Direktur
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Oktober
2014
1
Kisah
kata
dalam
pengelolaan
pendidikan
tinggi
-‐ Kilas
balik
Dirjen
Pendidikan
Tinggi
2009-‐2014
Pendidikan
sepanjang
hayat
adalah
proses
yang
akan
dijalani
semua
individu
dalam
kehidupan.
Mengelola
pendidikan
tinggi
menjadi
tugas
yang
tidak
terhindarkan
untuk
menciptakan
sumber
daya
manusia
yang
memiliki
kapabilitas
meningkatkan
derajat
hidup
masyarakat
luas.
Di
pertengahan
tahun
2009,
amanah
menjalankan
tugas
sebagai
Dirjen
Pendidikan
Tinggi
saya
terima
dan
berbagai
hal
perlu
dilanjutkan
pelaksanaan
dan
banyak
hal
harus
diselesaikan
persoalannya.
Kita
melihat
bahwa
akses
masyarakat
untuk
dididik
di
perguruan
tinggi
masih
menjadi
hambatan
di
berbagai
daerah
di
Indonesia,
belum
lagi
kalau
kita
melihat
golongan
masyarakat
yang
memiliki
kemampuan
ekonomi
kurang,
akses
terhadap
pendidikan
apalagi
pendidikan
tinggi
menjadi
kendala
besar.
Mutu
dari
proses
pembelajaran
di
banyak
perguruan
tinggi
masih
perlu
ditingkatkan
lagi
agar
lulusan
yang
dihasilkan
menjadi
relevan
dengan
kebutuhan
di
masyarakat
untuk
menyelesaikan
persoalan
di
masyarakat
dan
dapat
meningkatkan
derajat
kehidupan
masyarakat
luas.
Kebutuhan
meningkatkan
daya
saing
bangsa
menjadi
tugas
kita
semua.
Kita
patut
bersyukur,
dalam
kurun
waktu
4
(empat)
tahun
lebih,
banyak
hal
telah
dapat
dilakukan
untuk
menangani
persoalan-‐persoalan
dalam
kapasitas
saya
sebagai
Dirjen
Pendidikan
Tinggi.
Keluarnya
UU
no.
20
Tahun
2012
tentang
Pendidikan
Tinggi
merupakan
satu
langkah
penting
untuk
menyelesaikan
persoalan
Pendidikan
Tinggi
Indonesia
dan
untuk
menata
kembali
konstruksi
Pendidikan
Tinggi
Indonesia
dalam
menghadapi
tantangan
masa
depan
bangsa.
Walaupun
banyak
hal
telah
dilakukan,
namun
tidak
berarti
persoalan
sudah
selesai
karena
kita
masih
harus
terus
melengkapi
dan
menyempurnakan
langkah-‐langkah
yang
sudah
dilakukan.
Dalam
menjalankan
itu
semua,
saya
menyampaikan
terima
kasih
kepada
Menteri
i
Pendidikan
dan
Kebudayaan
yang
telah
memberikan
kepercayaan
untuk
menangani
berbagai
aspek
pendidikan
tinggi
kita.
Saya
juga
menyampaikan
penghargaan
yang
setinggi-‐tingginya
kepada
para
mitra
kerja
saya
yang
saya
hormati
dan
saya
banggakan
di
lingkungan
Ditjen
Dikti
mulai
dari
Sekretaris
Ditjen
Dikti,
Bp.
Patdono
Suwignjo;
Direktur
Belmawa,
Ibu
Illah
Sailah;
Direktur
P2M,
Bapak
Agus
Subekti;
Direktur
PTK,
Bapak
Supriadi
Rustad;
Direktur
Lemkerma,
Bapak
Hermawan
K.
Dipojono,
beserta
seluruh
stafnya
yang
telah
mendukung
dan
melaksanakan
berbagai
hal
yang
diperlukan
dalam
pengaturan
di
Pendidikan
Tinggi
kita.
Berbagai
masukan,
analisis,
pandangan
terkait
pendidikan
tinggi
banyak
diberikan
oleh
Dewan
Pendidikan
Tinggi
(DPT),
sehingga
saya
tak
lupa
juga
menyampaikan
terima
kasih
saya
kepada
Sekretaris
DPT,
Bapak
Nizam,
yang
kemudian
digantikan
di
tahun
2014
oleh
Bapak
Widijanto
S.
Nugroho.
Semoga
sumbangsih
tenaga,
pemikiran,
dan
komitmen
Bapak/Ibu
sekalian
mendapatkan
rahmat
dan
ridho
dari
Tuhan
YME.
Pemikiran
dan
langkah-‐langkah
yang
telah
dilakukan
untuk
Pendidikan
Tinggi
Indonesia
dalam
periode
2009-‐2014
yang
saya
sampaikan
dalam
tulisan
ini
menjadi
wawasan
buat
kita
semua
untuk
meneruskan
apa
yang
sudah
dilaksanakan,
memerbaiki
kekurangan
yang
ada,
dan
melengkapi
berbagai
hal
yang
masih
diperlukan
untuk
menciptakan
Pendidikan
Tinggi
Indonesia
yang
kita
inginkan
bersama.
Semoga
Tuhan
YME
memberikan
rahmat
dan
ridhoNya
kepada
kita
semua
dalam
menjalankan
tugas
dan
tanggungjawab
kita
bersama
untuk
kemajuan
Pendidikan
Tinggi
Indonesia.
Jakarta,
20
Oktober
2014
Djoko
Santoso
Direktur
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
ii
DAFTAR
ISI
I.
TANTANGAN
BAGI
PENDIDIKAN
TINGGI
INDONESIA
KINI
DAN
MASA
YANG
AKAN
DATANG
.....................................................................................................................
1
a.
Pemahaman
Filosofis
.......................................................................................................
2
b.
Akses
..........................................................................................................................................
7
c.
Mutu
.........................................................................................................................................
11
d.
Relevansi
...............................................................................................................................
17
II.
STATUS
PENDIDIKAN
TINGGI
INDONESIA
HINGGA
2010
..............................
25
a.
Bentuk
Perguruan
Tinggi,
Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
Pendidikan
Tinggi,
dan
Jumlah
Perguruan
Tinggi
...........................................................................
25
b.
Dosen
dan
Mahasiswa
...................................................................................................
27
c.
Daya
saing
perguruan
tinggi
Indonesia
..............................................................
29
d.
Status
tenaga
kerja
terhadap
lulusan
perguruan
tinggi
............................
42
III.
MENATA
ULANG
PENDIDIKAN
TINGGI
DI
INDONESIA
................................
44
a.
Pola
pikir
umum
pendidikan
tinggi
di
Indonesia
..........................................
44
b.
Pengelolaan
akses
diperguruan
tinggi
................................................................
49
c.
Pengelolaan
untuk
mutu
perguruan
tinggi
.......................................................
58
d.
Pengelolaan
relevansi
perguruan
tinggi
............................................................
72
e.
Pengelolaan
perguruan
tinggi
..................................................................................
77
IV.
WAJAH
PERGURUAN
TINGGI
KITA
TAHUN
2013
...........................................
89
a.
Bentuk,
jumlah
Perguruan
Tinggi
dan
Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
Pendidikan
Tinggi
....................................................................................................................
89
b.
Dosen
.......................................................................................................................................
91
c.
Mahasiswa
............................................................................................................................
94
d.
Daya
saing
perguruan
tinggi
Indonesia
..............................................................
95
e.
Status
tenaga
kerja
terhadap
lulusan
perguruan
tinggi
.........................
100
PENUTUP
..........................................................................................................................................
102
DAFTAR
PUSTAKA
........................................................................................................................
104
iii
I. TANTANGAN
BAGI
PENDIDIKAN
TINGGI
INDONESIA
KINI
DAN
MASA
YANG
AKAN
DATANG
Pendidikan
tinggi
yang
dilaksanakan
oleh
perguruan
tinggi
merupakan
kegiatan
sangat
penting
karena
akan
menentukan
keberlanjutan
kehidupan
masyarakat,
bangsa,
bahkan
kemanusiaan.
Persoalan
pendidikan
termasuk
pendidikan
tinggi
merupakan
tantangan
tersendiri
yang
akan
kita
hadapi
terus
menerus
baik
dari
sisi
jumlah
maupun
dari
sisi
derajat
tantangan
yang
selalu
akan
meningkat
sejalan
dengan
jamannya.
Hal
ini
dapat
difahami
mengingat
jumlah
penduduk
dunia
yang
akan
meningkat
terus
sementara
bumi
kita
sebagai
sumber
kehidupan
adalah
benda
statik
yang
tidak
akan
bertambah,
bahkan
sumberdaya
yang
tersedia
di
bumi
ini
selalu
akan
berkurang
.....Persoalan
pendidikan
termasuk
pendidikan
karena
digunakan
oleh
manusia.
tinggi
merupakan
Selain
itu,
kita
semua
merasakan
tantangan
tersendiri
bahwa
kualitas
lingkungan
bumi
yang
akan
kita
hadapi
kita
juga
senantiasa
menurun
dari
terus
menerus
.......
waktu
ke
waktu.
Secara
garis
besar
tantangan
pendidikan
tinggi
tersebut
dapat
kita
kelompokkan
ke
dalam
empat
aspek,
yaitu,
(a)
pemahaman
filosofis
pendidikan
tinggi,
(b)
akses,
(c)
mutu,
dan
(d)
relevansi
hasil
pendidikan
tinggi
Indonesia.
Dengan
memerhatikan
tantangan-‐
tantangan
tersebut
dan
pemikiran
yang
terkait
maka
diperlukan
usaha-‐usaha
khusus
untuk
mengantisipasi
persoalan-‐persoalan
yang
akan
muncul
di
pendidikan
tinggi
kita.
Usaha
yang
telah
dan
harus
kita
lakukan
di
pendidikan
tinggi,
antara
lain,
meletakkan
landasan
legal
pengelolaan
pendidikan
tinggi
yang
mapan
melalui
Undang-‐
undang
No.
12
tahun
2012
tentang
Pendidikan
Tinggi.
1
a. Pemahaman
Filosofis
i. Hakekat
Pendidikan
Tinggi
Jika
kita
mempelajari
kriteria
tentang
universitas
kelas
dunia,
maka
universitas
tersebut
pasti
memenuhi
persyaratan
sebagai
universitas
riset.
Namun
demikian
sebagai
sebuah
universitas,
dengan
sendirinya
universitas
juga
diharapkan
dapat
menghasilkan
modal
insani
yang
akan
memenuhi
kebutuhan
modal
insani
(yang
professional)
di
masyarakat.
Tuntutan
yang
ditujukan
kepada
universitas
tersebut
memerlukan
adanya
suatu
peta
jalan
(road
map)
untuk
mewujudkan
jati
diri
universitas
yang
sebenarnya
dalam
keberadaannya
di
masyarakat.
Pengertian
tentang
perguruan
tinggi
atau
universitas
pada
mulanya
adalah
kegiatan
yang
memiliki
fokus
utama
paling
tidak
pada
penelitian
atau
pengembangan
ilmu
dengan
tujuan
untuk
mencari
kebenaran.
Jika
ditinjau
dari
orientasi
pendidikan,
hal
ini
sering
disebut
berorientasi
skolastik
yang
dipelopori
oleh
Aristoteles
(384-‐322
SM).
Namun
perkembangan
berikutnya
menjadi
mengarah
pula
kepada
kebutuhan
masyarakat
akan
tenaga
profesional
atau
menyejahterakan
masyarakat
sehingga
pada
akhirnya
disebut
berorientasi
pada
humanisme
yang
dipelopori
oleh
Cicero
(106-‐43
SM)
(Tjaya,
2004).
Pengertian
saat
ini
tentang
perguruan
tinggi
telah
berubah
menjadi
sebuah
institusi
yang
mengajar
mahasiswa
menjadi
orang
yang
berbudaya
dan
anggota
masyarakat
yang
baik
dalam
keprofesiaannya
(Gasset,
1964).
Dengan
demikian,
perguruan
tinggi
menjadi
cenderung
memberikan
kebutuhan
mahasiswa,
agar
yang
bersangkutan
tidak
hanya
menghabiskan
sebagian
dari
usianya
untuk
menjadi
ilmuwan
(scientist),
namun
juga
tentang
bagaimana
ia
berperan
di
masyarakat.
Akibatnya,
bentuk
rasional
pendidikan
di
2
perguruan
tinggi
menjadi
terarah
sebagai
sistematika
dan
sintesa
untuk
permasalahan-‐permasalahan
yang
khas.
Oleh
karena
itu
tata
kerja
disiplin
keilmuan
di
perguruan
tinggi
semacam
ini
menjadi
tidak
perlu
seperti
yang
dikehendaki
dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan
secara
utuh.
Konsekuensinya,
sering
dalam
hal
pengangkatan
dosen
tidak
lagi
bertumpu
kepada
kemampuannya
sebagai
peneliti
namun
lebih
kepada
kemampuannya
untuk
memberikan
sistematika,
sintesa
dan
proses
pengajaran.
Akhir-‐akhir
ini
terjadi
perubahan
penting
proses
transfer
ilmu,
yaitu
dari
pengajaran
kepada
pembelajaran
(Santoso,
2004).
Dengan
demikian
peran
profesional
dosen
dalam
pengajaran
maupun
kompetensi
keilmuannya
menjadi
sangat
penting.
Suatu
hal
penting
yang
harus
diperhatikan
pula
ialah
globalisasi
ekonomi,
artinya
akan
berdampak
pula
bahwa
seorang
dosen
harus
mampu
pula
berperan
secara
global.
Artinya
di
manapun
berada
kompetensinya
memiliki
standar
global.
Kruth
(1998)
mengatakan
bahwa
globalisasi
ekonomi
ini
sangat
kuat,
karena
ia
memapankan
sistem
hirarki
yang
dapat
mengungguli
tindakan
pada
tingkat
masyarakat
luas.
Sesuai
dengan
kemajuan
jaman
dosen
juga
harus
mampu
berkiprah
sesuai
dengan
perkembangan
yang
pesat
dalam
ilmu/teknologi
informasi
dan
telekomunikasi
atau
dalam
era
ilmu
pengetahuan
dan
ekonomi
ilmu
pengetahuan.
Santoso
(2004)
mengajukan
beberapa
pegangan
untuk
membuat
paradigma
baru
bagi
pembelajaran
di
perguruan
tinggi,
yaitu
pembelajaran
untuk
orang
dewasa
atau
pendidikan
berkelanjutan,
mahasiswa
sebagai
subyek
pemeran
utama
(Santoso,
2003),
kerjasama
kelompok,
kegiatan
multidisiplin
dan
penggunaan
teknologi
informasi.
Namun
demikian
perlu
dicermati
bahwa
pendidikan
tinggi
harus
mampu
membentuk
suatu
masyarakat
jujur
dan
cerdas
(Santoso,
2004).
Masyarakat
jujur
dan
cerdas
dapat
3
dibentuk
melalui
pendidikan
yang
memberikan
proses
pembelajaran
bagi
pemahaman
dan
penguasaan
tata
nilai,
kejujuran,
demokrasi,
kamandirian,
tanggap
perubahan
dan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi.
Jika
masyarakat
yang
terbentuk
sesuai
dengan
pola
ini,
kita
akan
mencapai
kemerdekaan
sebagai
manusia,
yaitu
yang
mengarah
kepada
kemerdekaan/kemampuan
berfikir,
berinovasi,
sehingga
dapat
menentukan
strategi
secara
benar
untuk
menentukan
orientasi
pembangunan
bangsa
secara
benar.
Masyarakat
yang
jujur
dan
cerdas
niscaya
akan
mampu
membawa
suatu
bangsa
menjadi
bangsa
yang
bermakna
bagi
umat
manusia.
Jika
kita
memperhatikan
uraian
diatas,
nampaknya
bahwa
universitas
yang
benar
pengertiannya
ialah
perwujudan
dari
”science
center”,
artinya
mendirikan
universitas
seharusnya
berfikir
mendirikan
pusat
ilmu
pengetahuan.
Mengapa?
Karena
di
universitas
yang
dikelola
adalah
ilmu
pengetahuan.
Untuk
menjaga
kelestarian
ilmu
pengetahuan
hanya
dapat
dilakukan
dengan
dua
cara,
yaitu
pertama,
dengan
mendokumentasikannya
melalui
publikasi
tertulis
dan
kedua,
melalui
pendidikan
untuk
menciptakan
ahli-‐ahli
baru
atau
profesional
baru
atau
pakar
baru
melalui
pendidikan.
ii. Pendidikan
Tinggi
di
Indonesia
Pasal
31,
ayat
3
Undang-‐Undang
Dasar
1945
menyatakan
bahwa
Pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan
satu
sistem
pendidikan
nasional
yang
meningkatkan
keimanan
dan
ketakwaan
serta
akhlak
mulia
dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
yang
diatur
dengan
undang-‐undang.
Pengaturan
ini
mengarahkan
kepada
kita
bahwa
setidaknya
ada
dua
makna
penting
dalam
pasal
ini
yang
dapat
kita
pahami.
4
Pertama,
bahwa
sistem
pendidikan
kita
ada
dalam
satu
sistem.
Pemahaman
secara
praktis
seharusnya
diatur
secara
menyeluruh
oleh
satu
sektor.
Sektor
tersebut
secara
eksekutif
dilaksanakan
oleh
satu
kementerian.
Kenyataan
di
lapangan,
beberapa
sektor
juga
telah
turut
menyelenggarakan
pendidikan.
Oleh
karenanya
diperlukan
pengaturan
yang
khas
agar
semua
tetap
dapat
berjalan
dengan
baik
namun
bersinergi
dalam
satu
kesatuan
dan
satu
koordinasi
terutama
dalam
hal
fungsi
akademik.
Fungsi
akademik
merupakan
hal
penting
karena
roh
dari
perguruan
tinggi
adalah
atmosfer
akademik
(semua
orang
yang
ada
di
dalamnya
berfikir
dan
berbuat
sesuai
dengan
kaidah
saintifik
atau
akademik);
Kedua,
bahwa
kita
tidak
cukup
hanya
menghasilkan
orang
yang
cerdas
saja,
namun
kehidupannya
juga
harus
cerdas.
Ini
dapat
diartikan
bahwa
karena
cerdas
maka
orang
Indonesia
menjadi
bangsa
yang
taat
(comply)
dan
bertanggunggugat
terhadap
perundangan.
Pasal
31,
ayat
5
Undang
Undang
Dasar
1945
menyatakan
bahwa
Pemerintah
memajukan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
dengan
menjunjung
tinggi
nilai-‐nilai
agama
dan
persatuan
bangsa
untuk
kemajuan
peradaban
serta
kesejahteraan
umat
manusia.
Pengaturan
ini
memiliki
makna
bahwa
institusi
perguruan
tinggi
sebagai
tempat
para
dosen
yang
memiliki
tugas
utama
mentransformasikan,
mengembangkan,
dan
menyebar-‐luaskan
ilmu
pengetahuan,
teknologi,
dan
seni
melalui
pendidikan,
penelitian,
dan
pengabdian
kepada
masyarakat
(UU
No.
14/2005
tentang
Guru
dan
Dosen).
Dengan
demikian
dosen
wajib
turut
serta
memajukan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi.
Kita
juga
melihat
bahwa
Perguruan
Tinggi
memerlukan
jaminan
Pemerintah
untuk
memajukan
iptek
secara
terintegrasi
5
dalam
sistem
pendidikan
nasional
sekaligus
sebagai
wadah
bagi
dosen
menjalankan
tugas
utamanya.
Tata
kelola
pendidikan
tinggi
dan
perguruan
tinggi
di
Indonesia
perlu
ditingkatkan
terus
agar
cukup
memadai
untuk
mengantisipasi
kebutuhan
sumberdaya
insani
secara
vokasional
maupun
akademis
(filosofis).
Pelaksanaan
sistem
otonomi
untuk
perguruan
tinggi
harus
diwujudkan
agar
mampu
mendukung
pemikiran-‐pemikiran
kristis,
yang
inovatif
dan
kreatif.
Dengan
demikian,
diperlukan
bentuk
kelembagaan
yang
memadai
untuk
mendukung
otonomi
perguruan
tinggi,
baik
PTN
maupun
PTS.
Undang-‐undang
No.
20/2003
tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional
menyatakan
bahwa
perguruan
tinggi
memiliki
otonomi
untuk
mengelola
sendiri
lembaganya
sehingga
aturan
tentang
bentuk
kelembagaan
perguruan
tinggi
dan
prinsip
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
sebagai
rambu-‐rambu
perlu
ditetapkan.
Tata
kelola
yang
baik
bagi
semua
perguruan
tinggi
dalam
mengelola
sumberdaya
juga
perlu
ditetapkan
dengan
tetap
berpegang
pada
pemikiran
otonomi.
Di
samping
itu,
standar
pendidikan
tinggi
yang
mencakup
pengembangan
dan
pemanfaatan
iptek
beserta
penjaminan
kepatuhannya
juga
perlu
diadakan.
Uraian
di
atas
menunjukkan
bahwa
landasan
yuridis
formal
untuk
penyelenggaraan
pendidikan
termasuk
pendidikan
tinggi
di
Indonesia
sudah
tercantum
dengan
nyata
dalam
UUD
1945
dan
sangat
selaras
dengan
hekekat
perguruan
tinggi.
Kita
juga
telah
melihat
bahwa
landasan
yang
kokoh
untuk
pelaksanaannya
telah
diwujudkan
sebagai
Undang-‐undang
Nomor
12
Tahun
2012
tentang
Pendidikan
Tinggi
6
b. Akses
i. Ketersediaan
Indonesia
merupakan
negara
kepulauan
yang
terbesar
di
dunia.
Jumlah
pulau-‐pulaunya
lebih
dari
17
ribu,
di
mana
hanya
kurang
lebih
6
ribu
pulau
berpenghuni.
Luas
daratannya
lebih
dari
1,9
juta
km2
dengan
sekitar
dua
per
tiganya
merupakan
laut.
Kondisi
geografis
ini
dihuni
oleh
1.340
suku
bangsa
dan
selain
menggunakan
satu
bahasa
nasional
Bahasa
Indonesia,
mereka
juga
menggunakan
546
bahasa
daerah
atau
lokal.
Indonesia
memiliki
sumberdaya
bumi
seperti
minyak
bumi,
gas
alam,
panas
bumi,
hidrat
metan,
gas
serpih,
tembaga,
nikel,
alumunium,
dll.
Sumber
daya
alamnya
juga
cukup
banyak,
seperti
lebih
dari
25
ribu
spesies
tanaman,
ditambah
dengan
sejumlah
besar
spesies
hewan.
Penduduk
Indonesia
berjumlah
lebih
dari
237
juta
jiwa
(berdasarkan
data
sensus
penduduk
di
tahun
2010) 1
dan
diperkirakan
sudah
akan
mencapai
250
juta
jiwa
di
tahun
2014.
Kondisi
alamiah
maupun
kondisi
geografis
Indonesia
ini
menyebabkan
adanya
berbagai
ragam
keberadaan
sumberdaya
sehingga
menimbulkan
berbagai
disparitas
budaya,
termasuk
kuantitas
maupun
kualitas
pendidikan.
Kita
dapat
melihat
disparitas
ketersediaan
pendidikan
tinggi
di
berbagai
daerah
Indonesia
yang
diperlihatkan
berdasarkan
pola
penyebaran
Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
di
pendidikan
tinggi
berdasarkan
geografis
untuk
setiap
provinsi
(Gambar
I.1).
Pengelolaan
kondisi
negara
Indonesia
yang
demikian
beragam
dan
dalam
jumlah
yang
sangat
besar
ini
tentu
merupakan
tantangan
tersendiri.
Keterbatasan
akses
karena
kondisi
geografis
yang
ada
dan
ketersediaan
sumber
daya
1
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=1,
7
menjadi
persoalan
nyata
yang
harus
dicarikan
jalan
keluarnya.
Untuk
mengatasi
masalah
ini,
di
satu
sisi,
diperlukan
pengaturan
untuk
program-‐program
afirmasi
yang
dibutuhkan
oleh
berbagai
daerah,
namun
di
sisi
yang
lain,
kita
juga
memerlukan
aturan
yang
kokoh
mengenai
standar
pelaksanaan
pendidikan
tinggi
itu
sendiri.
Gambar
I.1
APK
Pendidikan
Tinggi
(2011)
secara
geografis
100.0%
90.0%
80.0%
70.0%
60.0%
50.0%
40.0%
30.0%
20.0%
10.0%
0.0%
ii. Keterjangkauan
Pendidikan
tinggi
memerlukan
masukan
sumberdaya
yang
memadai,
yaitu
sumberdaya
insani
(dosen
dan
tenaga
pendidikan
sebagai
pendukung)
dan
infrastruktur
yang
memadai
sesuai
dengan
bidang
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
dikelola.
Dengan
demikian,
untuk
memenuhi
kebutuhan
pendidikan
tinggi
yang
dilaksanakan
oleh
perguruan
tinggi
dengan
memerlukan
biaya
yang
mahal.
Menjadi
kenyataan
pula
bahwa
tidak
semua
bagian
dari
masyarakat
kita
dapat
menjangkau
masuk
menjadi
mahasiswa
di
perguruan
tinggi.
Dalam
kurun
lima
tahun
ke
belakang
sebelum
tahun
2011,
terlihat
adanya
penurunan
menerus
(lihat
Tabel
I.1).
Namun
perlu
diperhatikan
bahwa
negara
kita
adalah
negara
dengan
jumlah
penduduk
terbesar
keempat
di
dunia.
Karena
jumlah
penduduk
Indonesia
yang
8
sangat
besar
maka
angka
persentase
tersebut
secara
absolut
merupakan
jumlah
yang
cukup
besar
pula
(satu
persen
setara
dengan
sekitar
2,4
juta
orang).
Tabel
I.1
Tingkat
Kemiskinan
dan
Pengangguran
Tahun
Tingkat
Tingkat
kemiskinan
(%)
pengangguran
(%)
2007
16,6
9,1
2008
15,4
8,4
2009
14,2
7,9
2010
13,3
7,4
2011
11,5-‐12,5
7
Secara
nyata
angka
kemiskinan
akan
menurun
seiring
dengan
menurunnya
pengangguran
(Tabel
I.1).
Kesenjangan
akses
dari
kelompok
masyarakat
kurang
mampu
hingga
kelompok
kaya
tergambarkan
oleh
hasil
studi
Bank
Dunia
(2010)
sebagai
berikut:
Tabel
I.2
Kemampuan
berbagai
kelompok
sosial
untuk
menjangkau
pendidikan
tinggi
Tingkat
Persentase
akses
ke
PTN
dan
PTS
kemiskinan
PTN
PTS
Termiskin
0,35-‐1,06
0,75-‐1,66
(Q1)-‐(Q2)
(Q2)-‐(Q3)
1,06-‐2,35
1,66-‐3.29
(Q3)-‐(Q4)
2,35-‐6,06
3,29-‐12,19
(Q4)-‐Terkaya
6,06-‐22,53
12,19-‐38,89
Pola
penyebaran
perguruan
tinggi
di
setiap
provinsi
Indonesia
hingga
tahun
2011
dapat
dilihat
pada
Gambar
I.2.
9
Gambar
I.2
Penyebaran
PTN
di
setiap
Provinsi
di
Indonesia
Jika
melihat
pola
penyebaran
perguruan
tinggi
di
Indonesia,
maka
setidaknya
ada
dua
hal
yang
harus
diperhatikan.
Pertama,
di
daerah
luar
Jawa
terutama
di
daerah
yang
berbatasan
dengan
negara
atau
wilayah
lain
belum
secara
merata
ada
PTN.
Padahal
PTN
dapat
menunjukkan
kehadiran
negara
secara
langsung.
Kedua,
ternyata
meskipun
banyak
PTN
di
Jawa,
namun
kecuali
Daerah
Khusus
Ibukota
Jakarta
(DKI)
dan
(Daerah
Istimewa
Yogyakarta
(DIY),
Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
di
Jawa
masih
sangat
rendah
jauh
di
bawah
rata-‐rata.
Bahkan
untuk
Wilayah
Kopertis
IV
(Jawa
barat
dan
Banten)
memiliki
APK
yang
terendah
di
Indonesia.
Dengan
mencermati
kedua
data
pada
Tabel
I.1
dan
I.2,
serta
Gambar
I.2,
maka
salah
satu
usaha
penting
yang
harus
dilakukan
adalah
meningkatkan
jumlah
mahasiswa.
Peningkatannya
dapat
dilakukan
baik
dengan
cara
menambah
perguruan
tinggi
baru
maupun
melakukan
distribusi
yang
baik
terhadap
perguruan
tinggi-‐perguruan
tinggi
kita
di
tanah
air.
Landasan
legal
yang
kokoh
dalam
10
bentuk
perundangan
amat
diperlukan
dalam
hal
ini.
Dengan
pengaturan
yang
baik
dan
kokoh
maka
kita
mengharapkan
adanya
jalan
keluar
dari
sisi
ketersediaan
pendidikan
tinggi
yang
diperlukan
masyarakat
kita.
c. Mutu
i. Karakter
bangsa
Mutu
pendidikan
tinggi
ditentukan
oleh
mutu
perguruan
tinggi
dan
mutu
keluaran
perguruan
tinggi,
yaitu
derajat
penguasan
perguruan
tinggi
terhadap
ilmu
pengtahuan
dan
teknologi
(innovasi)
baru
dan
derajat
kompetensi
lulusannya
yang
berperan
sebagai
ahli/pakar
atau
para
profesional.
Biasanya
mutu
perguruan
tinggi
dapat
ditentukan
dengan
melihat
standar
tertentu
yang
telah
ditetapkan.
Untuk
perguruan
tinggi
di
Indonesia,
standar
perguruan
tinggi
pada
saat
ini
baru
ditentukan
berdasarkan
faktor
Tridharma
Perguruan
Tinggi
yaitu
pendidikan,
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat.
Pendidikan
diwujudkan
dalam
8
standar
pendidikan
(Undang-‐undang
No.
20
tahun
2003),
sementara
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat
belum
ditetapkan.
Oleh
karena
itu
Undang-‐
undang
tersebut
harus
dilengkapi
dengan
Undang-‐undang
lain
yang
menegaskan
tentang
standar
penelitian
dan
standar
pengabdian
kepada
masyarakat.
Mutu
lulusan
perguruan
tinggi
biasanya
tidak
ditentukan
hanya
berdasarkan
kompetensi
keilmuan
saja
namun
juga
ditentukan
dari
perilakunya
(attitude).
Penegasan
tentang
diperlukannya
mutu
perilaku
ini
perlu
dilakukan.
Walaupun
disadari
bahwa
wujud
nyata
dari
mutu
perilaku
ini
yang
merupakan
kemanfaatan
(outcome)
untuk
masyarakat,
bangsa,
dan
kemanusiaan,
biasanya
baru
akan
terlihat
dari
rekam
jejak
setelah
mahasiswa
menyelesaikan
pendidikannya
dan
berkiprah
di
masyarakat.
Meningkatkan
11
mutu
perguruan
tinggi
dilakukan
dengan
cara
meningkatkan
jumlah
dosen
yang
berkualitas
doktor
dari
magister
atau
yang
lebih
rendah
(Tabel
I.3).
Tabel
I.3.
Kualitas
dosen
Perguruan
Tinggi.
Tahun
Dosen
dan
statusnya
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jumlah
Dosen
Tetap
157.222
157.556
158.891
160.349
161.358
161.692
162.510
Persentase
Dosen
S3
10,98%
10,99%
10,89%
10,77%
10,83%
10,96%
11,06%
-‐
PTN
15,28%
15,28%
15,13%
14,94%
15,01%
15,16%
15,31%
-‐
PNS
15,28%
15,28%
15,13%
14,94%
15,01%
15,16%
15,31%
-‐
PTS
6,68%
6,69%
6,64%
6,59%
6,66%
6,76%
6,81%
-‐
PNS
9,55%
9,55%
9,45%
9,32%
9,36%
9,46%
9,50%
-‐
NON
PNS
3,81%
3,82%
3,83%
3,87%
3,95%
4,05%
4,13%
Persentase
Dosen
S2
50,58%
50,88%
51,75%
53,43%
54,37%
55,07%
55,87%
-‐
PTN
55,36%
55,65%
56,52%
58,15%
59,02%
59,63%
60,23%
-‐
PNS
55,36%
55,65%
56,52%
58,15%
59,02%
59,63%
60,23%
-‐
PTS
45,80%
46,11%
46,98%
48,71%
49,72%
50,50%
51,51%
-‐
PNS
59,57%
59,87%
60,75%
62,44%
63,37%
64,06%
64,96%
-‐
NON
PNS
32,03%
32,34%
33,21%
34,98%
36,07%
36,94%
38,06%
Persentase
Dosen
belum
S2
38,44%
38,14%
37,36%
35,80%
34,79%
33,98%
33,07%
-‐
PTN
29,36%
29,07%
28,35%
26,91%
25,97%
25,21%
24,46%
-‐
PNS
29,36%
29,07%
28,35%
26,91%
25,97%
25,21%
24,46%
-‐
PTS
47,52%
47,20%
46,38%
44,70%
43,62%
42,74%
41,68%
-‐
PNS
30,88%
30,58%
29,80%
28,24%
27,26%
26,48%
25,54%
-‐
NON
PNS
64,17%
63,83%
62,96%
61,15%
59,98%
59,01%
57,81%
Jumlah
Guru
Besar
1.880
2.178
2.723
3.310
3.962
4.370
4.606
Jumlah
doktor
per
satu
juta
penduduk
untuk
Indonesia
sangatlah
rendah
yaitu
hanya
0,07%
sehingga
pengaturan
yang
tegas
perlu
ditetapkan
untuk
mengatasi
kekurangan
ini
secara
terencana.
ii. Globalisasi
dan
world
class
university
Globalisasi
merupakan
pengertian
yang
terkait
dengan
peningkatan
hubungan
secara
global,
terintegrasi,
dan
saling
terikat
dalam
berbagai
bidang,
yaitu
ekonomi,
sosial,
teknologi,
kultur,
politik
dan
ekologi.
Sistem
global
ini
membuat
manusia
berada
dalam
satu
sistem.
Contoh
12
sederhana
tentang
globalisasi
dalam
teknologi
ialah
pemanfaatan
telepon
dan
internet.
Kenyataan
yang
ada
sekarang,
pada
umumnya
definisi
globalisasi
dikaitkan
dengan
pengembangan
hubungan
ekonomi
dan
gaya
hidup
di
seluruh
dunia.
Sementara
itu
Encyclopedia
Britannica
mendefinisikannya
sebagai
proses
di
mana
kehidupan
sehari-‐
hari
dibuat
standar
untuk
seluruh
dunia.
Oleh
karena
itu
dalam
bidang
ekonomi
globalisasi
menjadi
mengarah
kepada
penyatuan
harga,
produk,
upah,
bunga
dan
keuntungan
dengan
norma
dari
negara-‐negara
maju.
Jika
kita
membahas
tentang
globalisasi
ekonomi,
maka
akan
terkait
dengan
peran
mobilitas
manusia,
perdagangan
secara
internasional,
mobilitas
permodalan
dan
integrasi
pasar.
Salah
satu
organisasi
dunia,
IMF
(International
Monetary
Fund)
mencatat
bahwa
pertumbuhan
saling
ketergantungan
ekonomi
antar
negara
terjadi
oleh
peningkatan
jumlah
dan
variasi
transaksi
antar
negara,
aliran
modal
internasional
dan
laju
perluasan
teknologi.
Globalisasi
mencakup
beberapa
aspek
sesuai
dengan
cara
pandang
yang
dipakai
untuk
melihatnya.
Aspek
industri,
sesuai
dengan
sifatnya,
melihatnya
sebagai
peningkatan
pasar
dan
perluasan
akses
antara
konsumen
dan
produsen.
Aspek
ekonomi
memandangnya
sebagai
realisasi
pasar
global
berbasis
kepada
kebebasan
pertukaran
barang
dan
modal.
Aspek
finansial
melihatnya
sebagai
peningkatan
pasar
dan
akses
yang
lebih
baik
untuk
memperoleh
pendanaan
dari
luar
bagi
perusahaan,
maupun
secara
nasional
dan
subnasional.
Aspek
politik
memandangnya
sebagai
pengenalan
pengaturan
dunia
yang
menghubungkan
antara
kebangsaan
dan
penjaminan
kebenaran
yang
tumbuh
secara
sosial
dan
ekonomi.
Aspek
informasi
memandangnya
sebagai
peningkatan
arus
informasi
ke
daerah
sulit
dicapai
atau
terpencil.
Aspek
budaya
memandangnya
dari
segi
terjadinya
13
peningkatan
silang
budaya
menuju
budaya
dunia.
Aspek
ekologi
atau
lingkungan
memandangnya
sebagai
peningkatan
penyelesaian
masalah
ekologi
atau
lingkungan
global,
sebagai
contoh
misalnya
masalah
perubahan
iklim,
pemanasan
global,
pencemaran,
pemanfaatan
sumberdaya
berlebihan,
penangkapan
ikan
berlebihan,
dst.
Aspek
sosial
memandangnya
sebagai
peningkatan
mobilitas
manusia
secara
bebas.
Aspek
transportasi
melihatnya
sebagai
penyederhanaan
dominasi
alat
transport
dari
satu
negara.
Dampak
secara
internasionalnya
akan
membuat
perkembangan
multibudaya,
perjalanan
warga
dunia
dan
turisme,
imigrasi,
pangan,
olahraga
dan
selanjutnya
menjadi
mengarah
kepada
tata
nilai
universal
atau
global.
Aspek
teknis/legal
memandangnya
sebagai
suatu
pertumbuhan
infrastruktur
telekomunikasi,
misalnya
internet,
satelit,
serat
optik,
nirkabel,
dst.
Selain
itu
juga
meningkatkan
standar
global
seperti
HaKI,
paten,
dan
perjanjian
dagang
internasional,
termasuk
pula
tentang
peningkatan
peradilan
internasional,
tidak
terkecuali
dalam
bidang
pendidikan.
Sekarang
ini
dengan
telah
diadakannya
perjanjian
tentang
tarif
(General
Agreement
on
Tariffs
and
Trade
(GATT))
membuat
rintangan
perdagangan
internasional
semakin
mengecil.
GATT
pada
dasarnya
mencakup
tentang
beberapa
hal,
yaitu
tentang
promosi
perdagangan
bebas,
yaitu
pengurangan
tarif
dengan
membuat
zona
perdagangan
bebas
dengan
tarif
rendah
atau
tanpa
tarif,
pengurangan
ongkos
transport
dengan
penggunaan
peti
kemas,
pengurangan
atau
penghapusan
kontrol
terhadap
permodalan,
dan
pengurangan
atau
penghapusan
atau
penyesuaian
subsidi
untuk
bisnis
lokal.
Pembatasan
perdagangan
bebas,
yaitu
penyesuaian
perundangan
kekayaan
intelektual
lintas
batas,
pengakuan
pembatasan
kekayaan
intelektual.
Definisi
lain
dari
globalisasi
ialah
14
internasionalisasi
dari
segala
sesuatu
yang
berkaitan
dengan
negara
lain
atau
antar
negara.
Dalam
kaitan
perkembangan
perguruan
tinggi,
globalisasi
menggambarkan
kekuatan
daya
saing
perguruan
tinggi.
Contoh
yang
mudah
kita
kenali
ialah
pengelompokan
universitas
berdasarkan
pemeringkatan
sebagai
universitas
kelas
dunia
(UKD)
(world
class
university),
berdasarkan
akreditasi
internasional
(semula
akreditasi
lokal),
berdasarkan
kerangka
kualifikasi
(kompetensi)
yang
dimiliki,
transfer
kredit,
gelar
ganda
(double
degree),
gelar
bersama
(joint
degree),
dan
banyak
faktor
lainnya.
iii. Masalah
lingkungan
Kita
menghadapi
masalah
penting
pada
masa
sekarang
dan
akan
datang,
yaitu
masalah
lingkungan.
Pemahaman
lingkungan
memerlukan
derajat
moralitas
dan
kompetensi
tertentu,
sehingga
kita
semua
dapat
berpola
fikir
keberlanjutan
dalam
menjalankan
kehidupan
bermasyarakat.
Dalam
praktiknya,
hasil
dari
pendidikan
tinggi
kita
menghasilkan
dua
jalur
besar
kompetensi.
Pertama,
adalah
jalur
vokasi
dan
kedua,
adalah
jalur
akademik
atau
filosofi.
Jalur
vokasi
merupakan
kompetensi
yang
diharapkan
dapat
langsung
dapat
diterapkan
pada
kebutuhan
keseharian
kemanusiaan
untuk
kesejahteraan
hidupnya.
Jalur
vokasi
sejatinya
merupakan
tulang
punggung
dalam
keseharian
kehidupan
masyarakat
kita.
Namun,
kenyataannya
pendidikan
tinggi
dalam
jalur
ini
masih
kurang
diminati.
Hal
ini
terbukti
dengan
jumlah
perguruan
tinggi
dalam
bentuk
politeknik
dan
akademi
pada
tahun
2010
hanya
berkisar
kurang
dari
30%.
Contoh-‐contoh
pendidikan
vokasi
yang
harus
segera
dikembangkan
antara
lain
untuk
mengantisipasi
pengembangan
lingkungan
perkotaan
di
mana
pengelolaan
harus
dilakukan
untuk
drainase
yang
tidak
15
berfungsi
karena
tidak
dibuat
dengan
tepat
atau
tidak
terpelihara.
Jika
terjadi
hujan,
banyak
kota
mengalami
banjir,
karena
buruknya
pembuatan
drainase
atau
pemeliharaannya
yang
tidak
dilakukan.
Di
daerah
pedesaan
sulit
untuk
mempertahankan
pertumbuhan
produksi
pertanian,
karena
minimnya
jumlah
penyuluh
pertanian.
Di
daerah
pertambangan,
karena
penggalian
yang
semena-‐mena
menyebabkan
kerusakan
lingkungan
yang
parah.
Sarana
transportasi
jalan
dan
jembatan
kita
juga
kurang
terpelihara
sehingga
cepat
rusak.
Dengan
demikian
penguatan
pendidikan
vokasi
di
perguruan
tinggi
untuk
jenjang
Diploma
1,
Diploma
2
dan
Diploma
3
sangat
dibutuhkan
segera.
Jalur
akademik
bertugas
untuk
mendesain
dan
mengembangkan,
sedangkan
jalur
vokasi
bertugas
untuk
membuat
dan
memelihara.
iv. Standar
pendidikan
tinggi
(dinamis)
Standar
adalah
suatu
norma
atau
persyaratan
formal
yang
menciptakan
kriteria,
metoda,
proses,
dan
praktik
rekayasa
atau
teknis
yang
seragam.
Perguruan
tinggi
berbeda
dengan
sekolah
yang
melaksanakan
pendidikan
menengah
dan
pendidikan
dasar.
Perguruan
tinggi
melaksanakan
misi
Tridharma
Perguruan
Tinggi,
yaitu
pendidikan,
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat,
bahkan
di
samping
berfungsi
sebagai
pusat
pendidikan
juga
menjadi
pusat
riset.
Dengan
demikian,
standar
untuk
pendidikan
tinggi
tidak
cukup
hanya
meliputi
standar
pendidikan
saja,
namun
juga
harus
mencakup
penelitian
maupun
pengabdian
kepada
masyarakat.
Undang-‐
undang
Pendidikan
Tinggi
termasuk
mengatur
tentang
standar
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat.
16
Penelitian
dan
Pengabdian
kepada
masyarakat
merupakan
tulang
punggung
untuk
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
(pasal
8
UU
Dikti).
v. Pemantauan
dan
evaluasi
mutu
PT
Pemantauan
yang
dilakukan
perguruan
tinggi
dilakukan
dengan
penyampaian
laporan
dari
setiap
perguruan
tinggi
yang
dilakukan
setiap
semester.
Sistem
pelaporan
ini
diusahakan
diperbaiki
terus
menerus
dengan
menerapkan
sistem
online.
Sistem
ini
akan
memberikan
kemudahan
bagi
perguruan
tinggi
untuk
melakukan
pelaporan
kemajuan
perguruan
tingginya
dalam
bentuk
berbagai
data
dan
informasi,
misalnya
status
sumber
daya
(dosen,
mahasiswa,
dan
aset)
maupun
karya-‐karya
yang
dilakukan
dan
dihasilkan
oleh
perguruan
tinggi.
Secara
ideal
data
yang
tersedia
yang
harus
dipantau
harus
sesuai
dengan
standar
yang
ada.
Jika
hanya
berbasis
kepada
Undang-‐undang
No.
20
tahun
2003,
maka
data
dan
informasi
tersebut
hanya
akan
terkait
dengan
standar
pendidikan.
Sehubungan
dengan
hal
itu
wajib
dikembangkan
standar
tentang
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat.
Evaluasi
perguruan
tinggi
dapat
dilakukan
melalui
semua
data
yang
telah
dimasukkan
ke
dalam
pangkalan
data.
Evaluasi
dapat
dilakukan
oleh
perguruan
tinggi
untuk
kebutuhan
internal
mulai
dari
kebijakan
penentuan
tujuan
perguruan
tinggi
ke
depan,
perencanaan,
pelaksanaan
kegiatan
maupun
penilaian
hasil
dan
dampaknya.
d. Relevansi
Relevansi
dimaksudkan
sebagai
ketepatan
atau
kesesuaian
antara
hasil
lulusan
perguruan
tinggi
dengan
kebutuhan
lapangan
kerja.
Kita
memahami
bahwa
lulusan
perguruan
tinggi
berdasarkan
kepada
maksud
pembelajaran
17
yang
diberikan
dapat
dibagi
dua,
yaitu
lulusan
pendidikan
akademik
dan
lulusan
pendidikan
vokasi.
Pendidikan
akademik
atau
juga
dikenal
sebagai
pendidikan
yang
bersifat
filosofis
dimaksudkan
untuk
mengembangkan
keilmuannya.
Hasil
dari
pendidikan
ini
adalah
para
pemikir
atau
“pemimpi”
untuk
keberlanjutan
ilmu,
sedangkan
pendidikan
vokasi
dimaksudkan
untuk
menghasilkan
tenaga
kerja
yang
langsung
dapat
menerapkan
ilmunya
untuk
berbagai
bidang
kegiatan
di
masyarakat.
Keduanya
dibutuhkan,
namun
semestinya
proporsi
untuk
pendidikan
vokasi
jumlahnya
lebih
besar.
Kebutuhan
ketenagakerjaan
di
Indonesia
menunjukkan
bahwa
lulusan
pendidikan
vokasi
masih
sangat
dibutuhkan
di
berbagai
bidang.
Data
tahun
2013
untuk
sektor
industri
menunjukkan
bahwa
baru
sekitar
8%
dari
total
pekerja
yang
ada
yang
memiliki
pendidikan
diploma
atau
sarjana.
Sekitar
50%
dari
total
pekerja
yang
ada
masih
berpendidikan
SD
atau
bahkan
tidak
tamat
SD2.
Di
beberapa
jenis
pekerjaan
di
sektor
industri,
kebutuhan
untuk
tenaga
terampil
dengan
latar
belakang
pendidikan
diploma
atau
sarjana
bisa
mencapai
sekitar
20%
dari
total
pekerja
yang
diperlukan.
Kelompok
akademik
dibutuhkan
untuk
meningkatkan
daya
saing
dalam
pengembangan
iptek
sementara
kelompok
vokasi
dibutuhkan
untuk
meningkatkan
produk
industri
(termasuk
infrastruktur,
jasa
(services)
dan
lingkungan)
secara
luas,
sehingga
secara
nyata
memberikan
sumbangan
dalam
pertumbuhan
ekonomi.
Secara
praktis
dapat
digambarkan
bahwa
jalur
akademik
menghasilkan
para
“penggagas”
dan
jalur
vokasi
menghasilkan
para
“pewujud”.
Status
proporsi
jumlah
lembaga
pendidikan
vokasi
dibandingkan
dengan
pendidikan
akademik
hingga
tahun
2
Perencanaan
Kebutuhan
SDM
Industri
Dalam
Rangka
Akselerasi
Industrialisasi
Tahun
2012-‐
18
2010
adalah
kurang
dari
30%
:
70%.
Proporsi
maupun
jumlah
perguruan
tinggi
maupun
jumlah
mahasiswa
dan
lulusan
harus
diusahakan
untuk
diubah
lebih
banyak
kepada
pendidikan
vokasi.
Perubahan
ini
akan
sesuai
dengan
kebutuhan
ketenagakerjaan
di
lapangan
dan
kebutuhan
peningkatan
pendapatan
tenaga
kerja
sesuai
dengan
tingkat
pendidikan
vokasi
yang
diterimanya.
i. Perbaikan
pendapatan
masyarakat
dan
Corporate
Social
Responsibility
(CSR)
Hingga
tahun
2011,
berdasarkan
data
dari
BPS
(2011),
sekitar
50%
dari
tenaga
kerja
kita
ditopang
oleh
lulusan
SD
atau
tidak
lulus
SD.
Lulusan
perguruan
tinggi
kira-‐kira
berkontribusi
7%.
Sebanyak
3%
diantaranya
adalah
lulusan
pendidikan
vokasi
yaitu
D1
hingga
D3.
Tentu
saja
pada
saat
itu
jumlahnya
sebagian
besar
adalah
lulusan
D3.
Tabel
IV
Persentase
Tenaga
Kerja
sesuai
Pendidikan
pada
Agustus
2011
(Diolah
dari
data
Pusdatinaker,
2013)
Pendidikan
Jumlah
Persentase
(%)
<
SD
56.179.020
48
SMP
22.587.360
19
SMA
29.048.471
25
D1-‐D3
3.418.203
3
>
S1
6.142.431
5
Dari
calon
tenaga
kerja
lulusan
SMA
atau
sederajat,
jumlah
yang
melanjutkan
ke
perguruan
tinggi
hanya
sekitar
50%
dari
sekitar
2,1
juta
orang.
Meilihat
perkembangan
yang
seperti
itu,
perlu
dipikirkan
suatu
bentuk
perguruan
tinggi
yang
didesain
sedemikian
rupa
pada
tingkat
D1
dan
D2
untuk
memenuhi
kebutuhan
tenaga
kerja
yang
terampil.
Dengan
mengembangkan
bentuk
perguruan
tinggi
ini,
sebagian
dari
19
sisa
sekitar
50%
lulusan
SMA
yang
tidak
dapat
meneruskan
ke
perguruan
tinggi
dapat
mengakses
ke
perguruan
tinggi
tersebut.
Dengan
pendidikan
yang
lebih
tinggi
ini,
mereka
tentunya
akan
mendapat
penghasilan
yang
lebih
baik.
Agar
masyarakat
dan
pengusaha
dapat
segera
memperoleh
manfaat
yang
saling
mendukung,
sebaiknya
skema
pengembangan
seperti
ini
dibiayai
dalam
skema
corporate
social
responsibility.
Cara
ini
tentunya
juga
akan
memberikan
dampak
keserasian
antara
pusat
pengembangan
ekonomi
di
daerah
dengan
masyarakat
sekitarnya
sehingga
stabilitas
sosial
terjamin.
ii. Ketenagakerjaan
Kesesuaian
antara
kompetensi
lulusan
perguruan
tinggi
dan
kebutuhan
industri
dan
masyarakat
dalam
arti
luas
menjadi
sebuah
diskusi
yang
panjang.
Salah
satu
jalan
keluar
yang
penting
dikemukakan
ialah
memilih
lokasi
di
mana
tempat
kompetensi
itu
dibutuhkan
agar
juga
menjadi
lokasi
tempat
berlangsungnya
proses
pendidikan.
Cara
ini
akan
langsung
menyatukan
antara
pemasok
dan
pengguna
dalam
satu
kesatuan.
Keterampilan/keahlian
dari
mahasiswa
yang
dididik
disesuaikan
dengan
kebutuhan
pertumbuhan
perekonomian
setempat
atau
jenis
bidang
yang
dibutuhkan
secara
lokal
maupun
regional.
Jika
perguruan
tinggi
tersebut
didirikan
oleh
pemerintah/pemerintah
daerah,
maka
disesuaikan
dengan
perencanaan
pertumbuhan
perekonomian
di
daerah
dalam
sektor
industri
maupun
jasa.
Apabila
perguruan
tinggi
ini
didirikan
oleh
masyarakat
maka
dikaitkan
dengan
kegiatan
perekonomian
masyarakat
terutama
secara
lokal,
meskipun
produknya
dapat
untuk
kebutuhan
regional
maupun
global.
Sering
pada
pusat-‐pusat
pertumbuhan
20
perekonomian
masyarakat
tenaga
kerja
pada
tingkat
perguruan
tinggi
diisi
oleh
tenaga
berasal
dari
luar
daerah
tersebut,
yang
dapat
menimbulkan
kesenjangan.
Kadang-‐
kadang
juga
pendidikannya
diisi
oleh
tenaga
kerja
pada
tingkat
yang
lebih
rendah
atau
lebih
tinggi.
Jika
lebih
rendah
sering
secara
teknis
bisa
merusak
lingkungan
dan
jika
lebih
tinggi
beban
industri
menjadi
mahal.
Kesesuaian
hasil
pendidikan
akan
dapat
segera
dicapai
karena
lokasi
kampus/pendidikan
ada
di
lokasi
pusat
pertumbuhan
perekonomian
itu
(pabrik,
tambang
perkebunan,
perikanan,
pertanian,
sanggar
seni,
pengolahan
makanan,
dst.).
Dengan
demikian
bentuk
perguruan
tinggi
baru
D1
dan
D2
ini
akan
memecahkan
masalah
kesenjangan
asal
ketenagakerjaan,
keseuaian
kebutuhan
ketenagaan,
dan
kesenjangan
beban
pembiayaan
bagi
pengusaha.
Sebelumnya,
pendidikan
vokasi
yang
biasanya
telah
dilaksanakan
oleh
akademi
dan
politeknik
diposisikan
lebih
lemah
dibandingkan
dengan
jalur
akademik.
Pertama,
karena
jenjangnya
hanya
sampai
D3
dan
jika
melanjutkan
harus
pindah
ke
progran
studi
sarjana
(akademik).
Kedua,
penghargaannya
memang
dianggap
lebih
rendah.
Ketiga,
jenjang
akademik
dosennyapun
dibatasi
tidak
dapat
sampai
gurubesar
(profesor)
dan
jika
dosen
tersebut
berstatus
Pegawai
Negeri
Sipil,
maka
dosen
tersebut
tidak
bisa
mencapai
pangkat
tertinggi
(pangkat
IVE).
Degan
demikian
mekanisme
sistem
pendidikan
yang
sama/sederajat
namun
beda
jalur
kompetensinya
(vokasi/akademik)
harus
bisa
dibangun.
21
Tabel
IV
Persentase
Pengangguran
Terbuka
sesuai
Pendidikan
pada
Agustus
2013
(Diolah
dari
data
Pusdatinaker,
Agustus
2013)
Pendidikan
Jumlah
Persentase
<
SD
1.893.678
26
SMP
1.681.945
23
SMA
3.185.007
43
D1-‐D3
187.059
2
>
S1
441.048
6
iii. Masalah
lingkungan
Kota-‐kota
kita
berkembang
terus
sesuai
dengan
peningkatan
jumlah
penduduk.
Seiring
dengan
perkembangan
tersebut
dibutuhkan
para
pemikir
yang
mampu
berusaha
untuk
mengatasi
kebutuhan
akan
infrastruktur
yang
memadai,
untuk
memerbaiki
pengelolaan
lingkungannya
maupun
dukungan
sumberdaya
alamnya,
baik
yang
konvensional,
baru,
mupun
terbarukan,
dan
juga
untuk
meningkatkan
kemampuan
pengelolaan
sosial
yang
handal.
Mereka
adalah
para
lulusan
perguruan
tinggi
jalur
akademik
yang
ditopang
dan
bekerjasama
dalam
pelaksanaan
di
lapangan
dengan
para
lulusan
perguruan
tinggi
jalur
vokasi.
Kita
menyadari
bahwa
hal
ini
memerlukan
peningkatan
mutu
yang
dilakukan
secara
terus
menerus.
Desa-‐desa
kita
juga
berkembang
terus.
Penyesuaian
tatakelola
hingga
pengelolaan
sumberdaya,
infrastruktur
dan
lingkungan
memerlukan
pendekatan
yang
dinamis.
Sebagaimana
mengelola
perkotaan,
secara
identik
mutu
lulusan
pendidikan
vokasi
dan
akademik
harus
mampu
mendukungnya.
22
Indonesia
dikenal
sebagai
negara
dengan
keragaman
sumberdaya
alam
yang
luar
biasa.
Hingga
saat
ini
banyak
sumberdaya
alam
kita
yang
diekspor
dalam
bentuk
bahan
mentah.
Hal
ini
sangat
merugikan
kita,
karena
tidak
ada
nilai
tambah.
Kita
membutuhkan
para
ahli
hasil
pendidikan
akademik
dan
vokasi
yang
mampu
memberikan
nilai
tambah
dari
sumberdaya
alam
kita.
Kebutuhan
dasar
kita
akan
makanan,
energi
dan
air
semestinya
mampu
kita
penuhi
sendiri
melalui
pemikiran
para
ahli
yang
dihasilkan
oleh
perguruan
tinggi
kita.
iv. Daya
saing
kepakaran
insan
Indonesia
Kepakaran
dalam
iptek
hanya
mungkin
ditumbuhkan
melalui
penelitian
dan
pengembangan.
Bidang
ini
hingga
sekarang
masih
kurang
mendapat
perhatian
karena
hasilnya
memang
tidak
berdampak
langsung.
Padahal,
kita
memahami
bahwa
misi
perguruan
tinggi
adalah
Tridharma
Perguruan
Tinggi
yaitu
pendidikan,
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat.
Sehubungan
dengan
itu
sistem
yang
memaksa
agar
sivitas
akademik
melakukan
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat
harus
diciptakan.
Lingkungan
akademik
atau
atmosfer
akademik
hanya
mungkin
terjadi
jika
di
kampus
Tridharma
Perguruan
Tinggi
dilaksanakan
dengan
kuat.
Harus
diakui
bahwa
banyak
kampus
masih
sangat
lemah
untuk
pemahaman
dan
pelaksanaan
dharma
kedua
dan
ketiga
kita
(lihat
data
Scopus
2010).
Penelitian
dapat
berjalan
dengan
baik
jika
kita
dapat
memberikan
komitmen
terhadap
terlaksananya
penelitian.
Syarat
yang
pertama
ialah
kapasitas
peneliti.
Kita
harus
bisa
membuat
semua
dosen
yang
kita
miliki
berpendidikan
doktor
(S3).
Mereka
yang
berpendidikan
doktor
sewajarnya
secara
umum
menjadi
peneliti,
karena
merekalah
yang
telah
menyelesaikan
pendidikan
sebagai
peneliti
secara
paripurna.
23
Dalam
pelaksanaan
penelitian
komitmen
tentang
pendanaan
dapat
dilakukan
melalui
penciptaan
mekanisme
pendanaan
yang
tidak
terpisahkan
dalam
sistem
operasional
perguruan
tinggi.
Sistem
penghargaan
(reward)
untuk
peneliti
perlu
dibuat.
Sebenarnya
pengakuan
bahwa
perguruan
tinggi
juga
merupakan
lembaga
riset
sebaiknya
juga
dilakukan.
Bahkan
untuk
perguruan
tinggi
tertentu
dapat
pula
diberi
sebutan
sebagai
universitas
riset.
Dalam
hal
tugas
perguruan
tinggi,
semua
perguruan
tinggi
secara
institusi
maupun
para
dosennya
harus
bertugas
sebagai
pelaksana
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Dosen
wajib
melalukan
ketiga
dharma
tersebut,
dan
khusus
untuk
penelitian
dan
pengabdian
masyarakat
harus
merupakan
tugas
utama
dosen
di
samping
pendidikan.
Wujud
ukurannya
ialah
publikasi
ilmiah
secara
nasional
maupun
internasional.
24
II. STATUS
PENDIDIKAN
TINGGI
INDONESIA
HINGGA
2010
Pendidikan
tinggi
di
Indonesia
tumbuh
terus
berkaitan
dengan
pertumbuhan
jumlah
lulusan
pendidikan
menengah.
Meskipun
demikian,
pendidikan
tinggi
kita
juga
terus
berkembang
seiring
dengan
kebutuhan
tenaga
ahli
dengan
kompetensi
yang
terus
meningkat
seiring
dengan
kemajuan
iptek
dan
peningkatan
kebutuhan
masyarakat.
a. Bentuk
Perguruan
Tinggi,
Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
Pendidikan
Tinggi,
dan
Jumlah
Perguruan
Tinggi
Bentuk
perguruan
tinggi
di
Indonesia
terdiri
dari
Akademi,
Politeknik,
Sekolah
Tinggi,
Institut
dan
Universitas.
Jika
dikelompokkan
sesuai
dengan
tugas
utamanya,
maka
Akademi
dan
Politeknik
menyelenggarakan
pendidikan
vokasi,
sedangkan
Sekolah
Tinggi,
Institut
dan
Universitas,
terutama,
menyelenggarakan
pendidikan
akademik.
Sesuai
dengan
filosofinya,
kebutuhan
akan
tenaga
kerja
di
masyarakat
semestinya
sebagian
besar
dipenuhi
dari
hasil
pendidikan
akademi
dan
politeknik.
Namun
kenyataannya,
jumlah
mahasiswa
dari
pendidikan
vokasi
jauh
lebih
sedikit
dibandingkan
dengan
jumlah
mahasiswa
program
pendidikan
akademik
(perbandingan
anatara
jumlah
mahasiswa
pendidikan
vokasi
:
mahasiswa
pendidikan
akademik
adalah
20%
:
80%).
Dengan
melihat
data
ini,
perlu
diusahakan
agar
ada
landasan
yang
mapan
untuk
memperbesar
pendidikan
vokasi,
antara
lain
dengan
memperkuat/menambah
jumlah
bentuk
pendidikan
vokasi
yang
melakukan
proses
pendidikan
pada
tingkat
Diploma
1
dan
Diploma
2.
Di
samping
itu
ada
beberapa
permasalahan
ketenagakerjaan
yang
memerlukan
hasil
pendidikan
Diploma
1
dan
Diploma
2
dalam
jumlah
yang
besar
yang
dapat
dilaksanakan
melalui
bentuk
perguruan
tinggi
baru
yang
khas.
Bentuk
perguruan
tinggi
baru
ini
juga
diharapkan
dapat
menyambungkan
25
antara
lokasi
pertumbuhan
ekonomi/industri
dengan
masyarakat
sekitarnya.
Bentuk
yang
dipikirkan
adalah
Akademi
Komunitas.
APK
pendidikan
tinggi
pada
tahun
2004
hanya
14,62%
,
sedangkan
pada
tahun
2010
naik
menjadi
26,34%.
Kenaikan
secara
bermakna
terjadi
sesudah
tahun
2013.
Jika
tanpa
percepatan
dari
proyeksi
APK
pendidikan
tinggi
di
tahun
2009,
maka
tahun
2050
APK
pendidikan
tinggi
hanya
akan
mencapai
angka
53,5%.
Namun,
jika
menggunakan
proyeksi
hasil
dengan
percepatan,
tahun
2051
baru
mencapai
75,0%.
Jika
ingin
mempercepat
hingga
2030
telah
mencapai
angka
75%,
maka
diperlukan
percepatan
yang
lebih
tinggi
lagi.
Tabel
II.1
Bentuk
Perguruan
Tinggi,
APK
Pendidikan
Tinggi
dan
Jumlah
Perguruan
Tinggi
Bentuk
dan
jenis
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Perguruan
Tinggi
APK
14,62%
15,26%
16,91%
17,26%
17,75%
18,36%
26,34%
a.
Jumlah
PTS
2,347
2,435
2,756
2,556
2,598
2,892
2,928
-‐
Universitas
350
356
375
371
375
393
412
-‐
Institut
44
43
43
37
37
49
47
-‐
Sekolah
Tinggi
1,076
1,130
1,248
1,164
1,186
1,391
1,314
-‐
Akademi
773
794
964
869
884
955
1,015
-‐
Politeknik
104
112
126
115
116
104
140
b.
Jumlah
PTN
81
81
82
82
82
83
83
-‐
Universitas
46
46
46
48
48
48
48
-‐
Institut
6
6
6
6
6
6
6
-‐
Sekolah
Tinggi
4
4
4
2
2
2
2
-‐
Akademi
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
Politeknik
25
25
26
26
26
27
27
396
402
421
419
423
441
460
50
49
49
43
43
55
53
1,080
1,134
1,252
1,166
1,188
1,393
1,316
26
kerjasama
yang
berkualitas
antar
perguruan
tinggi
secara
luas,
dan
masih
banyak
lagi.
27
Jumlah
perguruan
tinggi
di
Indonesia
akan
terus
bertambah
seiring
dengan
pertambahan
jumlah
penduduk,
karena
harus
mengantisipasi
jumlah
kenaikan
lulusan
sekolah
menengah
atas
sebagai
calon
mahasiswa.
Selain
itu
kebutuhan
akan
tenaga
ahli
maupun
tenaga
terampil
yang
ahli
juga
terus
meningkat
seiring
dengan
kemajuan
jaman
untuk
kesejahteraan
manusia.
Dengan
demikian,
jumlah
dosen
dan
jumlah
kursi
baru
untuk
perguruan
tinggi
(masukan)
terus
meningkatkan.
Data
dosen
dalam
beberapa
tahun
terakhir
yang
ada
di
Direktorat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
menunjukkan
pertumbuhan
sebagaimana
ditunjukkan
pada
Tabel
II.2.
Data
yang
ada
di
Ditjen
Dikti
menunjukkan
pertumbuhan
jumlah
mahasiswa
sekitar
230.000
orang
pada
tahun
1975,
1.100.000
tahun
1985,
2.500.000
tahun
1995,
dan
pertumbuhan
selanjutnya
dengan
data
yang
lebih
baik
yang
ditunjukkan
pada
Tabel
II.3.
Sementara
itu
APK
perguruan
tinggi
tercatat
18,3%
pada
tahun
2005
dan
26,3%
pada
tahun
2010.
Jumlah
perguruan
tinggi
negeri
pada
tahun
1961
baru
23
buah
sementara
itu
pada
tahun
2010
tumbuh
menjadi
83
perguruan
tinggi.
Kenaikan
ini
harus
terus
dipacu,
karena
PTN
menunjukkan
kehadiran
negara
dalam
pendidikan
tinggi
di
suatu
tempat
di
negara
kita.
Di
sisi
yang
lain,
kontribusi
perguruan
tinggi
swasta
juga
penting.
Jumlahnya
juga
meningkat
dengan
tajam
yaitu
2347
pada
tahun
2004
menjadi
2928
pada
tahun
2010.
Berikutnya
perlu
diperhatikan
mekanisme
pengaturan
agar
jumlah
mahasiswa
maupun
jumlah
perguruan
tinggi
dapat
dilakukan
terkelola
secara
baik
dan
akuntabel,
sehingga
memerlukan
aturan
yang
mantap.
28
Tabel
II.3.
Jumlah
mahasiswa,
beasiswa
dan
pendaftaran
Selesksi
nasional
Masuk
PTN
(SNMPTN)
Tahun
Jumlah
Mahasiswa
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2,790,39 2,691,81 2,583,18 3,805,28 4,281,69 4,337,03
Mahasiswa
3,797,266
1
0
7
7
5
9
1,237,40 1,748,20 1,804,76
-‐
PTN
880,154
910,910
718,355
825,876
8
1
1
-‐
laki-‐laki
416,577
420,048
340,259
398,537
570,236
780,078
811,645
-‐
Perempuan
463,577
490,862
378,096
427,339
667,172
968,123
993,116
1,879,48 1,973,45 1,757,31 2,567,87 2,533,49 2,532,27
-‐
PTS
2,917,112
1
5
1
9
4
8
1,015,68 1,066,46 1,316,67 1,304,95 1,370,05
-‐
laki-‐laki
1,444,233
3
7
900,961
8
9
4
1,251,20 1,228,53 1,162,22
-‐
Perempuan
1,472,879
863,798
906,988
856,350
1
5
4
Beasiswa
163,448
159,485
240,000
242,241
-‐
PPA
-‐
-‐
-‐
72,464
74,700
113,389
98,746
-‐
BBM
-‐
-‐
-‐
90,984
84,785
126,611
125,375
-‐
Bidik
Misi
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
18,120
-‐
Afirmasi
Papua
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
Jumlah
Pendaftar
SNMPTN
412,248
449,727
Jumlah
Mhs
diterima
pada
SNMPTN
92,511
88,551
c. Daya
saing
perguruan
tinggi
Indonesia
Kita
telah
menyadari
bahwa
sekarang
ini
kita
telah
berada
pada
era
global,
sehingga
ukuran-‐ukuran
atau
standar
yang
bersifat
global
atau
internasional
harus
diterapkan.
Ujud
yang
bisa
diacu
antara
lain
melalui
parameter
yang
dikenal
sebagai
“universitas
kelas
dunia
(UKD)”
atau
“world
class
university”
(dalam
hal
ini
“universitas”
dapat
diartikan
sebagai
perguruan
tinggi).
Selain
itu
yang
termudah
untuk
mengukur
daya
saing
perguruan
tinggi
adalah
melalui
karya
ilmiah
internasional
hasil
karya
dari
anggota
sivitas
akademik
perguruan
tinggi.
Biasanya
29
jika
karya
ilmiah
internasionalnya
tinggi
maka
perguruan
tinggi
tersebut
memiliki
kualitas
yang
baik
artinya
berdaya
saing
tinggi.
i. Universitas
Kelas
Dunia
(UKD)
Akhir-‐akhir
ini,
Universitas
Kelas
Dunia
(World
Class
University)
menjadi
dambaan
yang
dapat
diartikan
sebagai
tantangan
bagi
perguruan
tinggi
di
berbagai
negara.
Di
Indonesia
banyak
universitas
yang
mulai
berusaha
untuk
mendudukkan
dirinya
ke
dalam
daftar
nama
universitas
yang
dianggap
unggul
ini.
Namun
demikian,
disadari
bahwa
agar
masuk
dalam
daftar
UKD
tidaklah
sedemikian
mudah
dan
cepat,
tapi
telah
diketahui
memerlukan
proses
yang
panjang
dan
berliku-‐liku.
Dengan
demikian
pemahaman
tentang
kriteria-‐kriteria
untuk
penilaian
yang
digunakan
untuk
pemeringkatan
perlu
difahami.
Dengan
pemahaman
ini,
dapat
dibuat
perencanaan
dan
pelaksanaan
program
agar
perguruan
tinggi-‐perguruan
tinggi
kita
memenuhi
kriteria
dan
berdaya
saing
untuk
berkompetisi
dengan
perguruan
tinggi
lain.
UKD
menjadi
menarik
karena
semua
perguruan
tinggi
di
Indonesia
dan
dunia,
semuanya
berusaha
meningkatkan
pemenuhan
kriteria
yang
disyaratkan.
Hingga
saat
ini
jika
kita
mengacu
kepada
salah
satu
kriteria
yang
paling
popular
di
dunia
yaitu
Times
Higher
Education
(THE)
dan
QS,
3
universitas
kita
dengan
urutan
yang
teratas
dari
tahun
2005
hingga
2010
masuk
dalam
daftar
500
besar
dunia
sebagaimana
tercantum
dalam
Tabel
II.3.
Levin
dkk.
(2006),
menerangkan
tentang
tolok
ukur
UKD
sebagai
peringkat
terdepan
di
dunia
dari
standar
internasional
yang
unggul
sehingga
beberapa
kriteria
harus
dipenuhi
oleh
universitas
tersebut,
yaitu:
keunggulan
dalam
riset;
kebebasan
akademik
dan
atmosfer
intelektual
yang
menarik;
30
Tabel
II.3
Publikasi
ilmiah
dan
daya
saing
Perguruan
Tinggi
Indonesia
Tahun
Kriteria
keunggulan
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jumlah
Publikasi
Ilmiah
6,020
7,518
9,384
11,591
14,477
17,541
20,607
-‐
Internasional
1,378
1,722
2,152
2,688
3,360
4,250
5,833
-‐
Nasional
4,585
5,731
7,163
8,828
11,035
13,194
14,661
-‐
HAKI
57
65
69
75
82
97
113
Peringkat
Perguruan
Tinggi
-‐
Webomatric(3
terbaik)
-‐
UGM
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
572
562
-‐
ITB
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
727
661
-‐
UI
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
1010
815
QS
World(3
terbaik)
-‐
UI
-‐
420
250
395
287
201
236
-‐
UGM
-‐
341
270
360
316
250
321
-‐
ITB
-‐
408
258
369
315
351
401+
Asian
University
Rangkings(3
terbaik)
-‐
UI
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
50
50
-‐
UGM
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
63
85
-‐
ITB
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
80
113
Jumlah
Keseluruhan
Program
Studi
11,258
11,801
12,550
13,426
14,601
15,599
15,957
-‐
PTN
3,146
3,231
3,401
3,672
3,929
4,185
4,358
-‐
PTS
8,112
8,570
9,149
9,754
10,672
11,414
11,599
Jumlah
Program
Studi
Terakreditasi
1,054
1,577
2,092
1,443
784
1,603
1,781
-‐
PTN
398
523
731
415
177
289
402
-‐
PTS
656
1,054
1,361
1,028
607
1,314
1,379
Akreditasi
Institusi
55
25
kemandirian
dalam
tata
pamong
perguruan
tinggi;
fasilitas
dan
dana
yang
memadai;
suasana
diversitas
di
perguruan
tinggi;
internasionalisasi
para
anggota
civitas
akademika
(kehadiran
mahasiswa,
pakar,
dan
dosen
asing);
kepemimpinan
perguruan
tinggi
yang
demokratis;
jenjang
pendidikan
sarjana
yang
berbakat;
penggunaan
teknologi
informasi
dan
komunikasi,
manajemen
yang
efisien,
dan
sumber
pembelajaran
yang
memadai;
pembelajaran
yang
berkualitas;
keterikatan
dengan
masyarakat/komunitas
yang
berkepentingan;
keberadaannya
pada
jejaring
kerjasama.
31
Kemudian
beberapa
lembaga
pemeringkatan
mencoba
menerapkan
beberapa
kriteria
tersebut,
yang
sekarang
ini
kita
kenal
antara
lain:
Shanghai
Jiao
Tong
University
Rankings
atau
yang
juga
dikenal
sebagai
World
University
Ranking.
Times
Higher
Education
Rankings
(THE).
Webometrics
Ranking
of
World
Universities
.
Namun
demikian
kita
perlu
memperhatikan
peringatan
Philip
G.
Altbach:
“Putting
to
much
stress
on
attaining
WCU
status
may
harm
an
academic
system.
It
may
divert
energy
and
resources
from
more
important
and
perhaps
more
realistic
goals.
It
may
focus
too
much
on
building
a
research
–
oriented
and
elite
university
at
the
expence
of
expanding
access
or
serving
national
needs”
Jika
kita
melihat
criteria
tersebut,
maka
nampaknya
erat
kaitannya
antara
UKD
dengan
Universitas
Riset,
memang
kalau
dicermati,
semua
universitas
selain
lembaga
pendidikan
tinggi
juga
merupakan
lembaga
riset.
Kita
fahami
bahwa
yang
membedakan
antara
universitas
dan
sekolah
(menengah
dan
sebelumnya)
ialah
universitas
juga
lembaga
riset.
Dengan
demikian
jika
ingin
memperkuat
posisinya
sebagai
UKD,tidak
ada
cara
lain
selain
memperkuat
dirinya
sebagai
universitas
riset.
Jika
kita
mengacu
kepada
Tridharma
Perguruan
Tinggi
di
Indonesia,
maka
sebenarnya
semua
universitas
di
Indonesia
memiliki
misi
untuk
melakukan
riset
(ingat
Tridharma
Perguruan
Tinggi).
Namun
demikian
tentu
ada
gradasi
antara
kegiatan
tiga
dharma.
Di
satu
sisi
ada
universitas
yang
bobot
risetnya
sangat
kuat,
di
sisi
lain
ada
yang
lebih
ke
arah
pendidikan
untuk
menghasilkan
sumber
daya
insani
professional
berifat
vokasional
bagi
kepentingan
masyarakat.
Hal
ini
nampaknya
bersifat
universal
termasuk
di
negara-‐
negara
maju.
Dengan
demikian
sering
sifat
universitas
riset
dikaitkan
dengan
jumlah
mahasiswa
pancasarjana
yang
lebih
32
banyak,
karena
kegiatan
pendidikan
pada
jenjang
ini
sangat
terkait
dengan
riset.
Jika
kita
membicarakan
tentang
riset,
maka
beberapa
persyaratan
harus
dipenuhi,
antara
lain
budaya
dan
lingkungan
riset
dalam
cakupan
atmosfer
akademik.
Hal
ini
misalnya
terkait
dengan
kemauan
dan
kebiasaan
orang
melakukan
riset
dan
melengkapi
infrastrukturnya
seperti,
sumber
kepustakaan
yang
mencukupi,
lobaratorium
riset
yang
memadai,
fasilitas
teknologi
informasi
dan
komunikasi
yang
memadai,
penerbitan,
temasuk
kewajiban
dari
universitas
kepada
stafnya
untuk
mendorong
keinginan
melaksanakan
riset.
Jejaring
yang
kuat
merupakan
hal
yang
penting
bagi
universitas
riset,
karena
riset
harus
dikomunikasikan
secara
global.
Dengan
demikian
internasionalisasi
merupakan
ciri
universitas
riset
sehingga
universitas
riset
merupakan
daya
tarik
bagi
para
mahasiswa
asing
maupun
dosen
asing
untuk
belajar
dan
bekerja
di
universitas
tersebut.
Selain
itu
mahasiswa
asing
juga
berperan
sebagi
asisten,
sehingga
kehadirannnya
juga
memberikan
nuansa
internasional.
Diversitas
menjadi
salah
satu
ciri
universitas
riset.
Karena
berada
dalam
jejaring
masyarakat
yang
luas
universiitas
riset
banyak
memiliki
program-‐program
interdisiplin.
Untuk
mendefisikan
universitas
riset
perangkat
yang
dapat
dirujuk
antara
lain
ialah
Carnegie
Classification
(2005).
Klasifikasi
ini
mengkaitkan
antara
kegiatan
riset
dengan
penganugerahan
gelar
doktor.
Hal
ini
mudah
dimengerti,
karena
kegiatan
pembuatan
disertasi
doktor
merupakan
kegiatan
riset
yang
intensif
dengan
tujuan
untuk
membuahkan
pengetahuan
atau
inovasi
baru
dalam
iptek.
Dengan
menggunakan
klasifikasi
tersebut
universitas
dikelompokkan
sebagai
berikut:
33
Klasifikasi
Carnegie
(2005)
Universitas
riset
dengan
ciri-‐ciri
sebagaimana
diuraikan
diatas
sedikitnya
memberikan
20
gelar
doctor
setiap
tahun.
Universitas
Pemberi
Gelar
Akademik
Doktor
(“Doctorate-‐
granting
Universities”)
dikelompokkan
menjadi:
• Universitas
Riset
dengan
kegiatan
riset
sangat
tinggi;
34
perpustakaan,
laboratorium,
komputer,
penerbitan
universitas
yang
kesemuanya
memenuhi
standar.
• Universitas
tersebut
berorientasi
internasional;
• Universitas
tersebut
menjadi
menarik
bagi
mahasiswa
asing
terutama
pada
program
pascasarjana,
sehingga
terjadi
heterogenitas
dengan
berbagai
bahasa,
budaya
maupun
kebangsaan;
• Universitas
tersebut
menyediakan
program
antar-‐
disiplin.
• Universitas
juga
mendukung
berbagai
program
kegiatan
kesenian;
35
perguruan
tinggi
sebaik
mungkin,
sehingga
dapat
memenuhi
kesertaan
kita,
tidak
saja,
dalam
turut
serta
berkontribusi
kepada
kelestarian
iptek,
namun
untuk
juga
memenuhi
kebutuhan
modal
insani
bagi
Indonesia.
Jika
kita
melihat
jumlah
penduduk
Indonesia
yang
sudah
berjumlah
lebih
dari
237
juta
jiwa
di
tahun
2010
dan
terbesar
keempat
di
dunia,
maka
tidak
dipungkiri
bahwa
kebutuhan
akan
tenaga
kerja
dalam
ujud
sebagai
modal
insani
sangatlah
besar.
Oleh
karena
itu
perlu
dicatat
bahwa
perguruan
tinggi
yang
mencetak
tenaga
professional
dan
berbudaya
diperlukan
dalam
jumlah
yang
sangat
besar.
Universitas
dalam
kelompok
ini
lebih
cenderung
kepada
pendidikan
atau
ada
yang
menyebut
sebagai
“teaching
based
university”
atau
vocational.
ii. Karya
ilmiah
dan
arsitektur
pengelolaan
perguruan
tinggi
Kita
harus
memahami
bahwa
persaingan
dalam
pengembangan
iptek
berjalan
sangat
ketat.
Dengan
demikian
perguruan
tinggi
yang
kita
posisikan
dalam
kelompok
ini
jumlahnya
harus
terseleksi
(mungkin
tidak
banyak?),
karena
harus
mampu
bersaing
ketat
dan
arena
sifatnya
berada
pada
area
riset
yang
sangat
canggih,
maka
biayanya
juga
tidak
kecil.
Dengan
demikian
jumlah
universitas
dalam
kelompok
ini
tidak
perlu
banyak,
namun
dengan
tugas
harus
mampu
bersaing
secara
universal.
Perguruan
tinggi
dalam
kelompok
ini
adalah
perguruan
tinggi
yang
harus
dapat
menjadi
perguruan
tinggi
riset.
Kelompok
perguruan
tinggi
yang
jumlahnya
menengah
adalah
kelompok
perguruan
tinggi
yang
berada
di
antara
ke
duanya.
Jumlahnya
juga
moderat
sesusai
dengan
jatidirinya.
Di
Indonesia
perguruan
tinggi
belum
dikelola
dalam
arsitektur
pengelompokan
perguruan
tinggi
semacam
ini.
Meskipun
demikian,
sebenarnya
pendekatan
seperti
ini
mulai
36
dapat
kita
lakukan.
Sebagai
rujukan
jika
kita
lihat
dalam
Tabel
II.4,
maka
setidaknya
ada
empat
perguruan
tinggi
yang
di
posisikan
sebagai
universitas
yang
mengarah
kepada
universitas
riset.
Tabel
II.4
Peringkat
5
besar
jumlah
karya
yang
dipublikasikan
secara
internasional
menurut
Scopus
sesuai
posisi
6
April
2009.
Peringkat
Nama
Lembaga
Jumlah
makalah
1
Institut
Teknologi
Bandung
1160
2
Universitas
Indonesia
1151
3
Universitas
Gadjah
Mada
710
4
Lembaga
Ilmu
dan
Pengetahuan
Indonesia
512
5
Institut
Pertanian
Bogor
503
Tiga
universitas
teratas
dalam
tabel
di
atas
merupakan
universitas
yang
selalu
muncul
dalam
peringkat
universitas
kelas
dunia
(WCU)
versi
Times
Higher
Education
maupun
QS
Asia
yang
secara
berkala
dikeluarkan
dalam
kelompok
200
universitas
Top
di
Asia.
Peringkat
dalam
universitas
kelas
dunia
tahun
2008,
Universitas
Indonesia
pada
peringkat
287,
Institut
Teknologi
Bandung
ada
pada
peringkat
315
dan
Universitas
Gadjah
Mada
pada
peringkat
316.
Sementara
itu
pada
peringkat
Top
200
Asia
2009,
Universitas
Indonesia
pada
peringkat
50,
Universitas
Gadjah
Mada
di
posisi
63
dan
Institut
Teknologi
Bandung
di
posisi
80.
Ada
beberapa
universitas
lain
yang
masuk
dalam
200
besar
Asia
ini,
yaitu
Institut
Pertanian
Bogor
pada
peringkat
118,
Universitas
Airlangga
peringkat
130,
Universitas
Diponegoro
peringkat
171
dan
Universitas
Sebelas
Maret
pada
peringkat
171.
Tiga
universitas
tersebut
nampaknya
memiliki
keunggulan
sesuai
bidang
khusus
yang
dimilikinya.
Sebagai
contoh,
misalnya,
Institut
Teknologi
Bandung
yang
dalam
bidang
teknologi
(Engineering
&
IT)
peringkat
ITB
ada
pada
37
posisi
90
besar
dunia
(2008)
atau
21
besar
Asia
(2009).
Posisi
tersebut
jika
dibandingkan
dengan
berbagai
negara
di
Asia,
Australia
maupun
Eropa
kedudukannya
dapat
dilihat
pada
Tabel
II.5
s/d
II.15.
Tabel
II.5
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
negara-‐negara
Asean
Peringkat
Peringkat
Peringkat
Universitas
Negara
Asean
dunia
(2008)
Asia
(2009)
1
11
3
NUS
Singapura
2
26
7
NTU
Singapura
3
86
24
Chula.
Univ.
Thailand
4
90
21
ITB
Indonesia
Tabel
II.6
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
China
Peringkat
Peringkat
Peringkat
Asia
Universitas
China
Dunia
(2009)
(2008)
1
12
2
Tsinghua
University
2
38
9
Peking
University
3
48
13
Shanghai
Jiao
Tong
Univ.
4
49
13
Univ.
of
SCI.
&
Tech.
of
China
90
21
ITB
38
Tabel
II.7
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
India
Peringkat
Peringkat
Peringkat
Asia
Universitas
India
Dunia
(2009)
(2008)
1
36
10
Indian
Inst.
Of
Tech.
Bombay
2
42
11
Indian
Inst.
Of
Tech.
Delhi
3
70
18
Indian
Inst.
Of
Tech.
Kanpur
4
74
19
Indian
Inst.
Of
Tech.
Madras
90
21
ITB
Tabel
II.8
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Korea
Selatan
Peringkat
Peringkat
Peringkat
Asia
Universitas
Korsel
Dunia
(2009)
(2008)
1
34
8
Kaist
2
43
12
Seoul
National
University
90
21
ITB
39
Tabel
II.9
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Jepang
Peringkat
Peringkat
Peringkat
Asia
Universitas
Jepang
Dunia
(2009)
(2008)
1
9
1
University
of
Tokyo
2
21
5
Tokyo
Institute
of
Technology
3
22
4
Kyoto
University
4
49
15
Osaka
University
90
21
ITB
Tabel
II.10
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Australia
Peringkat
Australia
Peringkat
Dunia
Universitas
1
27
University
of
New
South
Wales
2
28
University
Of
Melbourne
3
41
University
of
Sydney
4
47
Monash
University
5
61
University
of
Queesland
90
ITB
Tabel
II.11
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Perancis
Peringkat
Perancis
Peringkat
Dunia
Universitas
1
31
Ecole
Politechnique
90
ITB
40
Tabel
II.12
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Russia
Peringkat
Russia
Peringkat
Dunia
Universitas
90
ITB
1
104
Lumanosov
Moscow
State
University
Tabel
II.13
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Belanda
Peringkat
Belanda
Peringkat
Dunia
Universitas
1
17
Delft
Univ.
Technology
2
49
Eindhoven
Univ.
of
Tech.
90
ITB
Tabel
II.14
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Jerman
Peringkat
Jerman
Peringkat
Dunia
Universitas
1
40
Technische
Universitat
Munchen
2
65
Technische
Universitat
Berlin
3
70
RW.
Technische
Hochschule
Aachen
4
72
Universitat
Karlsruhe
90
ITB
41
Tabel
II.15
Peringkat
dalam
bidang
Engineering
dan
IT
untuk
ITB
terhadap
universitas
yang
berada
pada
posisi
lebih
tinggi
dari
ITB
di
Inggeris
Peringkat
Inggeris
Peringkat
Dunia
Universitas
1
5
University
of
Cambridge
2
7
Imperial
College
London
3
14
University
of
Oxford
4
45
University
of
Manchester
5
60
University
of
Edinburg
90
ITB
d. Status
tenaga
kerja
terhadap
lulusan
perguruan
tinggi
Kendati
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
cukup
mengesankan,
namun
ternyata
hingga
tahun
2010
proporsi
tenaga
kerja
lulusan
perguruan
tinggi
hanya
7,2%,
yaitu
2,7%
lulusan
Diploma
I
hingga
III
dan
4,6%
lulusan
sarjana
atau
lebih
tinggi.
Komposisi
tenaga
kerja
yang
terbesar
berlatar
belakang
lulusan
SD
bahkan
tidak
lulus
SD,
yaitu
51,5%.
Data
ini
tentu
harus
kita
ubah
dengan
menaikkan
terus
jumlah
tenaga
kerja
yang
berasal
dari
lulusan
perguruan
tinggi.
Sebagai
contoh
pembanding
Malaysia
telah
memiliki
jumlah
tenaga
kerja
lulusan
perguruan
tinggi
sejumlah
20,3%,
sedangkan
lulusan
sekolah
dasar
hanya
24,3%
dan
sudah
didominasi
oleh
lulusan
sekolah
menengah
56,3%.
Data-‐data
negara-‐negara
OECD
(The
Organization
for
Economic
Co-‐operation
and
Development)
jauh
lebih
baik,
yaitu
40,3%
lulusan
perguruan
tinggi,
39,3%
sekolah
menengah
dan
hanya
20,4%
lulusan
sekolah
dasar.
Dengan
mengacu
kepada
data-‐data
diatas
kita
harus
terus
memperluas
akses
ke
perguruan
tinggi.
Artinya
kita
harus
membuat
ketersediaan
tempat
pembelajaran
perguruan
tinggi,
dan
membuat
terjangkau
untuk
semua
lapisan
masyarakat.
Di
sisi
yang
lain
agar
lulusan
perguruan
tinggi
terserap
dengan
baik
di
masayarakat
pembelajaran
yang
dilakukan
harus
relevan
dengan
42
kebutuhan
masyarakat
yaitu
antara
lain
dengan
memerkuat
dan
memerluas
pendidikan
vokasi.
Selain
itu
kualitas
pendidikan
juga
menjadi
faktor
penting
sehingga
pendidikan
tinggi
yang
dijalankan
oleh
perguruan
tinggi
harus
memenuhi
standar
yang
ditetapkan.
43
III. MENATA
ULANG
PENDIDIKAN
TINGGI
DI
INDONESIA
Dengan
mengacu
kepada
status
pendidikan
tinggi
dan
perguruan
tinggi
pada
tahun
2010,
maka
dirasakan
perlu
untuk
membuat
dasar
legal
yang
kokoh
untuk
pengembangan
pendidikan
tinggi
di
Indonesia.
Dasar
legal
yang
kokoh
tersebut
haruslah
berupa
undang-‐
undang.
Undang-‐undang
ini
menjadi
desain,
cita-‐cita
dan
rujukan
dasar
bagi
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
di
Indonesia.
Setelah
melalui
komunikasi
yang
UU
No.
12/2012
tentang
panjang
antara
Kementerian
Pendidikan
Tinggi:
undang-‐
undang
ini
menjadi
desain,
Pendidikan
Nasional
(nama
cita-‐cita
dan
rujukan
dasar
kementerian
pada
saat
itu)
dengan
bagi
penyelenggaraan
Komisi
X
DPR-‐RI,
dipersiapkanlah
pendidikan
tinggi
di
Indonesia....
naskah
RUU
disertai
naskah
akademik
yang
kemudian
diajukan
sebagai
inisiatif
DPR.
Naskah
RUU
ini
kemudian
dibahas
bersama
Pemerintah
yang
dipenjurui
oleh
Kementerian
Pendidikan
Nasional
yang
kemudian
bernama
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan.
Akhirnya
RUU
Pendidikan
Tinggi
ini
disetujui
dalam
Sidang
Pleno
DPR-‐RI
menjadi
Undang-‐undang
pada
tanggal
13
Juli
2012
dan
diundangkan
menjadi
secara
resmi
oleh
Presiden
pada
tanggal
10
Agustus
2012.
a. Pola
pikir
umum
pendidikan
tinggi
di
Indonesia
i. Penegasan
fungsi
dan
tujuan
serta
prinsip
pendidikan
tinggi
di
Indonesia
Agar
fungsi
pendidikan
tinggi
menjadi
lebih
jelas
sesuai
dengan
amanat
Undang-‐undang
Dasar
1945
sebagaimana
yang
dimaksud
dalam
pasal
3,
yang
menyatakan
bahwa
tugas
pendidikan
adalah
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi.
Tugas
untuk
melaksanakannya
jelas
sangat
relevan
untuk
44
perguruan
tinggi.
Rumusan
ini
kemudian
diatur
melalui
pasal
4
Undang-‐Undang
Pendidikan
Tinggi
(UU
Dikti)
yang
intinya
menjadikan
bangsa
Indonesia
menjadi
beradab,
bermartabat,
berdaya
saing,
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi.
Wahana
untuk
pelaksanaannya
melalui
implementasi
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Karena
harus
berkaitan
dengan
watak,
maka
nilai-‐nilai
humaniora
menjadi
landasan
untuk
pelaksanaannya.
Mengacu
kepada
fungsinya
tersebut
maka
selanjutnya
tujuan
perguruan
tinggi
diatur
lebih
lanjut
pada
pasal
6
UU
Dikti.
Pasal
tersebut
antara
lain
menegaskan
hal-‐hal
yang
terkait
dengan
profil
lulusan
perguruan
tinggi.
Selain
itu
juga
diatur
hasil
dari
proses
kegiatan
perguruan
tinggi
yaitu
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
bermanfaat
secara
universal
untuk
peradaban
dan
kesejahteraan
umat
manusia.
Hal
ini
dilakukan
melalui
penelitian.
Selain
itu
dengan
dilaksanakannya
kegiatan
pengabdian
kepada
masyarakat
beserta
kegiatan
penelitian
maka
manfaat
dari
kegiatan-‐
kegiatan
tersebut
akan
diperoleh
oleh
masyarakat
secara
luas.
Sebagai
suatu
lembaga
akademik,
perguruan
tinggi
harus
menegakkan
atmosfer
budaya
akademik,
prinsip
kebenaran
akademik,
demokrasi
yang
berkeadilan
dalam
pendidikan
sebagai
landasan
kerja
dalam
menjalankan
proses
pendidikan.
Hal
lain
yang
penting
diperhatikan
ialah
hal-‐hal
yang
terkait
dalam
pemahaman
kerangka
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI)
yaitu
masalah
hak
asasi
manusia
(HAM),
kemajemukan,
agama
dan
humaniora.
Sebagai
masyarakat
akademik
kegiatan
baca
tulis
harus
dikembangkan.
Pembelajaran
sepanjang
hayat,
pembelajaran
yang
berpusat
kepada
mahasiswa,
pengembangan
kreativitas
mahasiswa,
kebebasan
bagi
mahasiswa
untuk
memilih
obyek
pembelajaran
dan
keteladanan
diatur
untuk
dilaksanakan
di
45
perguruan
tinggi.
Pengaturan
keberpihakan
terhadap
kelompok
masyarakat
yang
kurang
mampu
secara
ekonomi
sewajarnya
dilakukan.
Untuk
menuju
kepada
tujuan
pendidikan
tinggi
ini
seluruh
komponen
masyarakat
harus
berperan
serta.
Berbagai
hal
yang
terkait
dengan
tujuan
pendidikan
tinggi
ini
diatur
prinsip-‐prinsipnya
dalam
pasal
6
UU
Dikti.
ii. Kejelasan
Kewenangan
Penyelenggaraan
Pendidikan
Tinggi
Pengaturan
tentang
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
diatur
dalam
pasal
7
UU
Dikti.
Penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
yang
diatur
Pemerintah
pada
dasarnya
harus
dilaksanakan
melalui
satu
kewenangan.
Kewenangan
tersebut
ada
pada
Menteri
yang
bertanggung
jawab
kepada
sektor
pendidikan.
Namun
kenyataannya,
beberapa
kementerian
sektor
lain
juga
menyelenggarakan
pendidikan
tinggi,
bahkan
sekarang
ini
Menteri
yang
bertanggung
jawab
tentang
masalah
agama
juga
menyelenggarakan
pendidikan
termasuk
pendidikan
tinggi.
UU
Dikti
dirancang
untuk
mengatur
kewenangan
masing-‐masing,
yang
perlu
dijabarkan
lebih
lanjut
dengan
Peraturan
Pemerintah.
Menteri
yang
bertanggung
jawab
tentang
pendidikan
tinggi
memiliki
kewenangan
penyelenggaraan
untuk
semua
aspek
pendidikan
kecuali
pendidikan
keagamaan.
iii. Penegasan
tentang
civitas
akademika,
budaya
akademik
dan
kebebasan
akademik
Mereka
yang
bekerja
di
kampus
terdiri
atas
dosen,
mahasiswa
dan
tenaga
kependidikan.
Pemeran
utama
tradisi
ilmiah
di
kampus
adalah
dosen
dan
mahasiswa.
Pasal
11
hingga
14
UU
Dikti
mengatur
tentang
hal-‐hal
penting
yang
harus
dilakukan
oleh
dosen
dan
mahasiswa
anggota
civitas
46
akademika
untuk
mengembangkan
budaya
akademik
secara
utuh,
secara
adil,
dan
tanpa
pandang
bulu.
Landasannya
sudah
tentu
adalah
pencarian
kebenaran
ilmiah.
Kegiatan
yang
dilakukannya
mencakup
tanggungjawab
moral
maupun
material.
Hubungan
akademik
antara
dosen
dan
mahasiswa
diatur
sedemikian
rupa
sehingga
mahasiswa
menjadi
termotivasi
untuk
mengembangkan
potensinya
secara
aktif.
Dengan
demikian
dosen
dapat
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dan
juga
melestarikannya
melalui
produk
penelitian
maupun
melalui
mahasiswanya
sebagai
hasil
proses
pembelajaran.
Agar
lestari,
produk
kegiatan
Tridharma
Perguruan
Tinggi
oleh
dosen
wajib
ditulis
sebagai
makalah
terpublikasi
maupun
buku
ajar.
Mahasiswa
menurut
UU
Dikti
dikembalikan
kepada
posisi
yang
seharusnya
yaitu
sebagai
insan
dewasa
atau
orang
dewasa
sehingga
dibuat
agar
memiliki
kesadaran
sendiri
untuk
menjadi
intelektual,
ilmuwan,
praktisi
yang
profesional
dan
berbudaya.
Dengan
mengacu
kepada
landasan
budaya
akademik,
mahasiswa
memiliki
kebebasan
akademik
yang
bertanggungjawab.
Layanan
yang
diperoleh
mahasiswa
sesuai
dengan
minat,
bakat
dan
kemampuannya
dalam
kerangka
pelaksanaan
Tridharma
Perguruan
Tinggi,
khususnya
terkait
dengan
proses
pendidikan.
Di
sisi
yang
lain
mahasiswa
diatur
untuk
melakukan
kegiatan
ekstrakurikuler
dan
kokurikuler
melalui
organisasi
kemahasiswaan
yang
diatur
oleh
masing-‐masing
perguruan
tinggi.
Kebebasan
akademik
sering
diartikan
bahwa
kampus
seolah-‐olah
sebagai
wilayah
otonom
yang
bebas
melakukan
apa
saja,
oleh
siapa
saja
tanpa
ada
batasannya.
Pasal
9
UU
Dikti
mengatur
tentang
pemahaman
yang
benar.
Kebebasan
akademik
merupakan
kebebasan
Sivitas
Akademika
untuk
mendalami
dan
mengembangkan
Ilmu
Pengetahuan
dan
Teknologi
melalui
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Kebebasan
47
mimbar
akademik
Dosen
yang
memiliki
otoritas
dan
wibawa
ilmiah
untuk
menyatakan
secara
terbuka
dan
bertanggung
jawab
mengenai
sesuatu
yang
berkenaan
dengan
rumpun
ilmu
dan
cabang
ilmunya.
Di
samping
itu,
otonomi
keilmuan
adalah
otonomi
Sivitas
Akademika
pada
suatu
cabang
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
dalam
menemukan,
mengembangkan,
mengungkapkan,
dan/atau
memertahankan
kebenaran
ilmiah
menurut
kaidah,
metode
keilmuan,
dan
budaya
akademik.
iv. Penataan
rumpun
keilmuan
untuk
memermudah
pengelolaan
sumber
daya
manusia
dan
institusi
Pengembangan
karir
seorang
dosen
yang
juga
adalah
seorang
peneliti
maupun
praktisi
profesional
sering
diartikan
sangat
sempit
sehingga
sering
dianggap
setara
dengan
bidang
keilmuan
dari
sebuah
program
studi.
Dalam
bahasa
keseharian
dikatakan
sebagai
linieritas.
Padahal
kenyataan
di
lapangan
menunjukkan
dasar
keahlian
yang
mencukupi
memungkinkan
seseorang
untuk
mendalami
ilmu
dengan
“nyaman”
dalam
kelompok
bidang
yang
berdekatanan.
Pasal
10
UU
Dikti
dengan
mengacu
kepada
pengelompokan
yang
dilakukan
UNESCO
(United
Nations
Educational,
Scientific,
and
Cultural
Organization)
membaginya
dalam
6
rumpun
ilmu,
yaitu
ilmu-‐ilmu
agama,
humaniora,
sosial,
alam,
formal
dan
terapan.
Rumpun
ilmu
difahami
sebagai
kumpulan
sejumlah
pohon,
cabang,
dan
ranting
Ilmu
Pengetahuan
yang
disusun
secara
sistematis.
Tugas
untuk
mengembangkan
rumpun
ilmu
ada
pada
civitas
akademik
dengan
melaksanakan
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
48
b. Pengelolaan
akses
diperguruan
tinggi
i. Perluasan
akses
dengan
perluasan
jenis
dan
jenjang
perguruan
tinggi
Agar
akses
ke
perguruan
tinggi
menjadi
lebih
luwes
dan
sesuai
dengan
kebutuhan
di
berbagai
wilayah
Indonesia
yang
luas,
dilakukan
tata
ulang
atau
penegasan
ulang
tentang
beberapa
aspek
terkait
pendidikan
tinggi.
Aspek-‐aspek
tersebut
ialah
berbagai
jenis,
jenjang,
sektor
penyelenggara,
kerangka
kualifikasi
nasional,
moda
pembelajaran,
kekhususan,
program
studi
dan
lulusan,
pendidikan
tinggi.
Jenis-‐jenis
pendidikan
tinggi
(pasal
15
–
17
UU
Dikti)
meliputi
pendidikan
akademik,
vokasi
dan
profesi.
Pendidikan
akademik
merupakan
pendidikan
pada
jenjang
sarjana
hingga
pasca
sarjana
untuk
pengembangan
iptek.
Sebagai
contoh,
pada
pendidikan
akademik
kita
mengenal
Program
Studi
Teknik
Sipil.
Untuk
pendidikan
vokasi,
pendidikan
ini
merupakan
pendidikan
agar
seseorang
dapat
bekerja
dengan
keahlian
terapan
tertentu,
dan
pendidikan
vokasi
ini
memiliki
jenjang
diploma
hingga
sarjana
terapan,
magister
terapan,
dan
doktor
terapan.
Sebagai
contoh
yang
terkait
dengan
Teknik
Sipil,
program
vokasinya
menjadi
Program
Studi
Teknik
Jalan
Raya.
Pendidikan
akademik
dan
pendidikan
vokasi
dilaksanakan
oleh
perguruan
tinggi
dengan
pembinaan,
koordinasi,
dan
pengawasan
dilakukan
oleh
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan.
Pendidikan
profesi
adalah
pendidikan
setelah
sarjana
agar
seseorang
dapat
bekerja
pada
pekerjaan
dengan
persyaratan
keahlian
khusus.
Pendidikan
profesi
dilaksanakan
oleh
perguruan
tinggi
bekerjasama
dengan
Kementerian/LPNK
dan/atau
organisasi
profesi.
Sebagai
contoh
adalah
pendidikan
apoteker,
dokter,
insinyur,
arsitek,
akuntan,
dst.
49
Sebagai
program,
kita
pahami
ada
penjenjangan
untuk
program
akademik,
yaitu
Program
Sarjana,
Program
Magister,
dan
Program
Doktor.
Program-‐Program
ini
diarahkan
kepada
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
diatur
dalam
pasal
18
–
20
UU
Dikti,
termasuk
di
dalamnya
tentang
siapa
yang
berhak
mengajar
pada
program-‐program
tersebut.
Dengan
modal
yang
kokoh
di
bidangnya
ini
maka
didesain
para
lulusannya
menjadi
para
profesional
yang
selain
mampu
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
juga
dapat
bekerja
dengan
baik
dan
menciptakan
lapangan
kerja.
Tingkat
kemandirian
makin
tinggi
pada
jenjang
yang
tertinggi
(doktor
atau
doktor
terapan).
Dengan
maksud
untuk
memerkuat
pendidikan
vokasi,
tata
ulang
terkait
dilakukan
melalui
pengaturan
dalam
pasal
17
–
23
UU
Dikti.
Pasal-‐pasal
tersebut
mengatur
bahwa
pendidikan
vokasi
dilakukan
dalam
bentuk
Program
Diploma
(yang
terdiri
dari
Diploma
Satu,
Program
Diploma
Dua,
Program
Diploma
Tiga
dan
Program
Diploma
Empat
atau
Sarjana
Terapan),
Program
Magister
Terapan
dan
Program
Doktor
Terapan.
Terobosan
baru
yang
dilakukan
melalui
UU
Dikti
ialah
pada
pengajarnya,
di
mana
dikenal
kesetaraan
melalui
kesederajatan
yang
diatur
dalam
Kerangka
Kualifikasi
Nasional
Indonesia 3 .
Seperti
halnya
program
akademik,
semakin
tinggi
jenjangnya,
semakin
canggih
dalam
penguasaan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
dan
semakin
mandiri
dan
bersifat
semakin
universal.
Setelah
seseorang
menyelesaikan
pendidikan
pada
jenjang
sarjana
atau
sederajat,
ia
dapat
melanjutkan
pada
program
pendidikan
profesi
seperti
akuntan,
dokter,
apoteker,
dst.
Lulusan
program
profesi
dapat
melanjutkan
3
Peraturan
Presiden
Republik
Indonesia
no.
8
Tahun
2012
tentang
Kerangka
Kualifikasi
50
pada
pendidikan
program
spesialis,
sebagai
contoh
program
dokter
spesialis.
Pengaturan
mengenai
hal-‐hal
tersebut
dimuat
dalam
pasal
24
dan
25
UU
Dikti.
Pendidikan
akademik
dan
vokasi
pada
berbagai
jenjang,
pendidikan
spesialis
dan
profesi
diberi
hak
untuk
menggunakan
gelar
yaitu
gelar
sesuai
dengan
jenis
pendidikannya
(akademik
atau
vokasi)
dan
tentunya
sesuai
dengan
jenjangnya,
serta
gelar
profesi
dan
spesialis.
Ketentuan
tentang
gelar
ini
diatur
dalam
pasal
26
–
28
UU
Dikti.
Gelar
terendah
program
pendidikan
akademik
adalah
sarjana
dan
doktor
sebagai
gelar
yang
tertinggi.
Gelar
untuk
pendidikan
vokasi
adalah
ahli
pratama
yang
terendah
dan
doktor
terapan
yang
tertinggi.
Terobosan
penting
yang
juga
diatur
dalamUU
Dikti
ialah
yang
berkaitan
dengan
penyetaraan
kompetensi
seseorang
sebagai
hasil
dari
pendidikan
formal,
nonformal,
informal
atau
pengalaman
kerja
termasuk
mandiri
pada
jenjang
tertentu
(pasal
29
UU
Dikti).
Penyetaraan
ini
penggunaannya
dapat
dimanfaatkan
dalam
memperkuat
proses
pendidikan
formal,
sehingga
relevansi
dalam
pendidikan
formal
menjadi
lebih
kokoh.
Pengaturan
penyetaraan
dikelola
sesuai
dengan
Kerangka
Kualifikasi
Nasional4.
Mangacu
kepada
sejarah
pendidikan
tinggi
di
Indonesia,
pendidikan
tinggi
juga
diselenggarakan
oleh
Kementerian
Agama.
Sesuai
dengan
variasi
program
studi
yang
di
kelola
bentuk-‐bentuk
perguruan
tingginya
dapat
berupa
universitas,
institut,
sekolah
tinggi,
akademi
dan
dapat
berbentuk
ma’had
aly,
pasraman,
seminari,
dan
bentuk
lain
yang
sejenis
(pasal
30
UU
Dikti).
Sesuai
dengan
kemajuan
jaman,
penggunaan
teknologi
informasi
dalam
pembelajaran
menjadi
alat
penting
yang
4
Peraturan
Presiden
Republik
Indonesia
no.
8
Tahun
2012
tentang
Kerangka
Kualifikasi
51
dalam
mendukung
proses
pembelajaran
tersebut.
Penggunaan
teknologi
ini
jelas
akan
memperluas
akses
kepada
pendidikan
tinggi.
Pengendalian
yang
baik
terhadap
penyelenggaraan
pendidikan
dengan
menggunakan
teknologi
informasi
agar
seluruh
kegiatan
dapat
berjalan
dengan
baik
dan
proporsional
diatur
dalam
pasal
31
UU
Dikti.
Perluasan
akses
perlu
diatur
sedemikian
rupa
sehingga
juga
mencakup
kepada
kelompok
masyarakat
penyandang
cacat.
Potensi
mereka
yang
ternyata
memiliki
kecerdasan
dan
bakat
istimewa
harus
dapat
terwadahi.
Sehubungan
dengan
itu
pasal
32
UU
Dikti
mengatur
tentang
pendidikan
khusus
dan
layanan
khusus.
Program
Studi
merupakan
pelaksana
program
pendidikan.
Program
studi
merupakan
ujung
tombak
sebagai
sarana
pembelajaran
di
perguruan
tinggi.
Sehubungan
dengan
itu
untuk
pengendalian
secara
utuh
dari
aspek
kualitas
maupun
kuantitasnya
maka
diperlukan
ijin
pembukaan
program
studi
dari
Pemerintah.
Melalui
perijinan
ini
Pemerintah
dapat
melindungi
masyarakat
agar
memperoleh
pendidikan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
Selain
itu
Pemerintah
juga
dapat
memantau
kinerja
dari
setiap
program
studi
secara
periodik
dengan
mengacu
kepada
hasil
akreditasinya.
Ketentuan-‐ketentuan
ini
diatur
dalam
pasal
33
UU
Dikti.
Kebutuhan
masyarakat
akan
pendidikan
tinggi
maupun
inovasi
senantiasa
tumbuh
seiring
dengan
kemajuan
kebutuhan
hidup
dan
kompleksitas
kehidupannya.
Sehubungan
dengan
itu
pertumbuhan
metode
pembelajaran
harus
terjadi.
Cara
yang
pertama
dapat
dilakukan
dengan
memerluas
kampus
yaitu
dengan
kampus
utama
dan
beberapa
kampus
lainnya.
Pola
kampus
utama
dan
kampus
lainnya
di
kelola
dalam
satu
provinsi.
Hal
ini
dimaksudkan
agar
pertumbuhan
keunggulan
di
setiap
provinsi
dapat
52
terjadi.
Pemikiran
penting
yang
harus
dipahami
ialah
bahwa
program
studi
tersebut
dilakukan
di
suatu
kampus
artinya
ada
atmosfer
akademik.
Atmosfer
akademik
hanya
dapat
tumbuh
jika
dipenuhi
syarat
adanya
sarana
dan
prasarana
kampus
yang
memadai,
adanya
dosen
maupun
tenaga
kependidikan
yang
mumpuni.
Cara
pengelolaan
perguruan
tinggi
ini
saat
sekarang
dikenal
sebagai
pembelajaran
diluar
domisili
(PDD).
Pasal
34
UU
Dikti
mengatur
tentang
hal
ini.
Selain
itu,
jika
diperlukan
untuk
penyebaran
akses
yang
berkaitan
dengan
ciri
unggulan
tertentu
dimungkinkan
membuka
kampus
lain
di
luar
kampus
utama
di
luar
provinsi.
Untuk
melaksanakannya
agar
terjadi
saling
mendukung
antara
satu
perguruan
tinggi
dengan
kampus
lainnya
dilakukan
dengan
bekerja
dengan
perguruan
tinggi
setempat.
Dalam
rangka
perluasan
akses
secara
bertahap
perguruan
tinggi
dikembangkan
sebagai
pusat
unggulan.
Cara
yang
dilakukan
dengan
mengembangkan
satu
PTN
berbentuk
universitas,
institut
atau
politeknik
disetiap
provinsi
(pasal
80
UU
Dikti).
Pengembangan
suatu
negara
untuk
kesejahteraan
syaratnya
memerlukan
pertumbuhan
ekonomi
secara
maksimal
melalui
berbagai
potensi
unggulan
daerah.
Pusat-‐pusat
pertumbuhan
ekonomi
ini
memerlukan
tenaga
terdidik
pada
tingkat
pendidikan
tinggi
yang
memadai
pada
jenjang
yang
lebih
tinggi
setelah
lulusan
sekolah
menengah
atas.
Dalam
UU
Dikti
(Pasal
81)
bentuk
perguruan
tinggi
ini
di
kenal
sebagai
Akademi
Komunitas
(AK).
Contoh
pusat
unggulan
daerah
yang
berpotensi
ekonomi
misalnya
perikanan,
perkebunan,
pertanian,
kelautan,
kelompok
industri
kreatif
seperti
seni,
tari,
musik,
pertambangan,
pabrik,
dst.
AK
diharapkan
dapat
dibangun
di
seluruh
kabupaten/kota
maupun
di
daerah
perbatasan.
53
ii. Keberpihakan
kepada
golongan
ekonomi
lemah
Pemerintah
melakukan
pengaturan
untuk
mengusahakan
agar
semua
lapisan
masyarakat
dapat
mengikuti
seleksi
untuk
masuk
ke
perguruan
tinggi
yang
dilakukan
secara
nasional
(pasal
73
UU
Dikti).
Cara
yang
dilakukan
ialah
dengan
menanggung
biaya
seleksi
tersebut
yang
dilakukan
oleh
PTN.
Dengan
cara
ini
para
calon
mahasiswa
yang
memenuhi
persyaratan
akademik
namun
kondisi
ekonominya
lemah
dapat
terbantu
untuk
masuk
keperguruan
tinggi.
Selain
langkah
tersebut,
juga
diatur
bahwa
perguruan
tinggi
dilarang
mengkaitkan
penerimaan
mahasiswa
untuk
tujuan
komersial.
Ketentuan
yang
lebih
tajam
tentang
keberpihakan
Pemerintah
terhadap
masyarakat
ekonomi
lemah
tercantum
dalam
pasal
74
UU
Dikti.
PTN
wajib
mencari
dan
menjaring
calon
Mahasiswa
yang
memiliki
potensi
akademik
tinggi,
tetapi
kurang
mampu
secara
ekonomi
dan
calon
Mahasiswa
dari
daerah
terdepan,
terluar,
dan
tertinggal
untuk
diterima
paling
sedikit
20%
(dua
puluh
persen)
dari
seluruh
Mahasiswa
baru
yang
diterima
dan
tersebar
pada
semua
Program
Studi.
Agar
dukungan
terhadap
mereka
yang
memiliki
ekonomi
lemah
menjadi
kenyataan
Pemerintah
menyediakan
alokasi
dana
melalui
APBN
maupun
APBD
(pasal
76
UU
Dikti).
iii. Pengelolaan
biaya
di
perguruan
tinggi
Jika
seseorang
telah
diterima
sebagai
mahasiswa
dan
memiliki
kemampuan
secara
akademik,
maka
kita
harus
mengusahakan
agar
dapat
menyelesaikan
studinya
tanpa
dihalangi
masalah
ekonomi.
Cara-‐cara
yang
ditempuh
dapat
dilakukan
melalui
beasiswa,
bantuan
pembebasan
biaya
pendidikan,
maupun
pinjaman
tanpa
bunga.
Mekanisme
agar
mahasiswa
dapat
mendapatkan
bantuan
ini
diatur
oleh
54
masing-‐masing
perguruan
tinggi
dengan
Pemerintah
maupun
Pemerintah
daerah
(Pasal
76
UU
Dikti).
Penyelenggaraan
perguruan
tinggi
tentu
memerlukan
dukungan
Pemerintah
maupun
Pemerintah
Daerah.
Pemerintah
sebagaimana
biasa
mengalokasikan
pendanaan
melalui
APBN.
Untuk
itu
diharapkan
Pemerintah
Daerah
mengalokasikan
dana
untuk
pendidikan
tinggi
melalui
APBD.
Masyarakat
sebagai
pihak
yang
berkepentingan
dalam
pendidikan
tinggi
tentu
dapat
berperan
penting.
Dengan
demikian,
dalam
berbagai
bentuk
yang
syah
masyarakat
tentu
dapat
memberikan
bantuan
pembiayaan
kepada
pendidikan
tinggi
(pasal
84
UU
Dikti).
Sebagai
lembaga
riset
dalam
kerangka
Tridharma
Perguruan
Tinggi,
perguruan
tinggi
diharapkan
dapat
melakukan
layanan
dalam
rangka
penggalian
dana.
Penggalian
dana
dapat
dilakukan
dengan
cara
memberikan
layanan
profesi
yang
diwujudkan
dalam
berbagai
kerjasama
riset
secara
profesional.
Kerjasama
ini
dapat
dilakukan
dengan
pihak
pemeran
pertumbuhan
ekonomi
atau
industri
yang
memerlukan.
Ke
depan
tentu
diinginkan
perguruan
tinggi
menjadi
pusat
inovasi
bagi
berbagai
institusi.
Cara
ini
akan
menghasilkan
dana
untuk
pengembangan
perguruan
tinggi.
Ketentuan
tersebut
diatur
dalam
pasal
85
UU
Dikti.
Perguruan
Tinggi
diharapkan
tidak
mengandalkan
uang
kuliah
mahasiwa
sebagai
sumber
pendanaan.
Dunia
usaha
maupun
dunia
industry
(DUDI)
serta
pihak
masyarakat
yang
memberikan
bantuan
kepada
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
perlu
mendapatkan
dukungan.
Wujud-‐wujud
yang
dapat
dikaitkan
dengan
bantuan
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
misalnya
saja
dana
Corporate
Social
Responsibility.
Sehubungan
dengan
itu
Pemerintah
memfasilitasinya
(pasal
86
UU
Dikti).
Suatu
terobosan
penting
dalam
UU
Dikti
ini
yaitu
pengaturan
55
kekayaan
negara
yang
hak
pengelolaannya
dapat
diberikan
kepada
perguruan
tinggi.
Sebagai
contoh
kehutanan,
lahan
pertanian,
perikanan,
industri,
pertambangan,
dst.
(pasal
87
UU
Dikti).
Pada
saat
RUU
Dikti
ini
dibuat
banyak
keluhan
mahasiswa
terhadap
tingginya
uang
kuliah,
terutama
di
PTN.
Pengendalian
uang
kuliah
(atau
sejak
lama
kita
kenal
sebagai
SPP)
menjadi
salah
satu
pemikiran
penting
yang
harus
diselesaikan
dengan
undang-‐undang
ini.
Oleh
karena
itu
standar
biaya
perlu
ditetapkan.
Dengan
telah
ditetapkan
standar
satuan
biaya,
Pemerintah
dapat
mengendalikan
uang
kuliah
dengan
cara
memberikan
alokasi
untuk
membiayai
PTN
melalui
APBN.
Perguruan
Tinggi
wajib
mengacu
kepada
satuan
biaya
yang
ditetapkan
ini
untuk
menentukan
uang
kuliah
yang
dibayar
oleh
mahasiswa.
Cara
seperti
ini
membuka
kemungkinan
untuk
menerapkan
sistem
uang
kuliah
yang
berjenjang
dapat
menjadi
kenyataan,
karena
disesuaikan
dengan
kemampuan
ekonomi
mereka
dan
tidak
boleh
melampaui
satuan
biaya
yang
ditentukan.
Ketentuam
tentang
hal
ini
diatur
dalam
pasal
88
UU
Dikti.
Secara
seksama
UU
Dikti
ini
juga
mengatur
pengalokasiannya,
yaitu
sebagai
biaya
bagi
PTN
yang
meliputi
biaya
operasional,
dosen
dan
tenaga
kependidikan,
investasi
dan
pengembangan.
Bantuan
pembiayaan
untuk
PTS
sebagai
tunjangan
profesi
dosen,
kehormatan
profesor
serta
investasi
dan
pengembangan,
dan
bantuan
untuk
mahasiswa.
Secara
berbeda
untuk
Perguruan
Tinggi
Negeri
badan
hukum
(PTN-‐bh)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
Sumber
pendanaan
lainnya
dapat
diatur
melalui
APBD
sesuai
kemampuan
Pemerintah
Daerah.
Penelitian
merupakan
suatu
hal
yang
sangat
penting
bagi
perguruan
tinggi,
sehingga
terobosan
baru
yang
dilakukan
untuk
meningkatkan
dana
penelitian
yaitu
pendanaan
56
melalui
Biaya
Operasional
PTN
(BOPTN),
di
mana
30%
dialokasikan
untuk
penelitian
di
perguruan
tinggi.
Pengelolaan
dana
penelitian
ini
diatur
sedemikian
rupa
oleh
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
agar
terpantau
dengan
baik
dan
terukur
capaian
hasilnya.
Ketentuan
tentang
hal
ini
diatur
dalam
pasal
89
UU
Dikti.
iv. Penguatan
kesertaan
masyarakat
(DUDI)
pada
pendirian
perguruan
tinggi
(vokasi)
Kita
memahami
bahwa
sementara
ini
banyak
lulusan
pendidikan
tinggi
pada
jalur
akademik
yaitu
S1
(mungkin
S2)
yang
tidak
terserap
oleh
pasar
sesuai
dengan
bidang
keahlian
yang
diperoleh
dalam
pendidikannya.
Hal
ini
perlu
kita
mengerti
bahwa
tujuan
pendidikan
akademik
adalah
untuk
mengembangkan
keilmuannya,
dengan
demikian
memang
tidak
disiapkan
secara
langsung
masuk
ke
dunia
kerja.
Sistem
pendidikan
yang
diharapkan
langsung
terkait
dengan
dunia
kerja
adalah
pendidikan
tinggi
pada
jalur
vokasi.
Peran
dunia
usaha
dan
dunia
industry
(DUDI),
masyarakat
lainnya
termasuk
organisasi
sosial
maupun
organisasi
kemasyarakatan,
Pemerintah
maupun
Pemerintah
daerah
harus
di
tingkatkan
terus
menerus
dalam
pendirian
dan
penguatan
pendidikan
vokasi
(pasal
79
UU
Dikti).
Cara
ini
akan
memercepat
kenaikan
APK
pendidikan
tinggi,
memerluas
lapangan
kerja
dan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
termasuk
indeks
pembangunannya.
Agar
para
pemangku
kepentingan
pendidikan
vokasi
yaitu
dunia
usaha
dan
dunia
industri
aktif
membantu
pelaksanaannya,
sewajarnya
Pemerintah
dapat
memberikan
fasilitasi
berupa
insentif
tertentu.
Misalnya
terkait
dengan
pajak,
perijinan
atau
lainnya
yang
dapat
mendukung
perkembangan
pendidikan
vokasi.
Ketentuan
ini
dicantumkan
pada
pasal
86
UU
Dikti.
57
Pendidikan
vokasi
tentu
dibutuhkan
oleh
masyarakat,
sehingga
kompetensinya
harus
disesuaikan
dengan
kondisi
nyata
di
masyarakat.
Dengan
demikian
masyarakat
dapat
turut
menentukan
kompetensi
lulusannya
melalui
dunia
usaha
dan
dunia
industri.
Peran
lain
yang
dapat
dilakukan
adalah
pemberian
beasiswa
atau
bantuan
kepada
mahasiswa,
mengontrol
mutunya
melalui
organisasi
profesi,
menyediakan
tempat
praktek
kerja,
membantu
pengembangan
karakter
mahasiswa.
Pengaturan
tentang
peran
serta
masyarakat
dicantumkan
dalam
pasal
91
UU
Dikti.
c. Pengelolaan
untuk
mutu
perguruan
tinggi
i. Membangun
lingkungan
akademik
sesuai
Tridharma
Perguruan
Tinggi
Tridharma
Perguruan
Tinggi
memiliki
makna
kegiatan
secara
ilmiah
atau
mengikuti
metoda
ilmiah.
Artinya
semua
pihak
jika
melakukan
sesuai
dengan
kaidah-‐kaidah
keilmuan
yang
terkait
pasti
bertemu
pada
kesimpulan
yang
sama
meskipun
melalui
diskursus
ilmiah.
Masyarakat
yang
mengacu
kepada
atmosfer
akademik
senantiasa
akan
menjunjung
tinggi
derajat
keilmuan
untuk
menuju
kebenaran
ilmiah.
Dalam
kerangka
pembelajaran
yang
dilakukan
melalui
Program
Studi
(pasal
33
UU
Dikti)
sesuai
dengan
metoda
pembelajaran
masing-‐masing
program
studi
maka
acuan
lengkap
proses
pembelajaran
dijabarkan
dalam
kurikulum
(pasal
35
UU
Dikti)
yang
dilandasi
untuk
menghasilkan
standar
kompetensi
lulusan
yang
mencakup
tiga
aspek
yaitu
sikap/norma/budi
pekerti
(pasal
35
dan
37
UU
Dikti),
keterampilan
(skill)
dan
pengetahuan
(knowledge).
Kenyataan
di
lapangan
menunjukkan
adanya
mobilitas
mahasiwa,
di
mana
mahasiswa
berpindah
dari
satu
kampus
58
ke
kampus
yang
lain.
Sehubungan
dengan
hal
itu
agar
suasana
akademik
tetap
terjaga,
perpindahan
mahasiswa
dimungkinkan
untuk
terjadi
fleksibilitas
yaitu
antar
program
studi,
antar
jenis
pendidikan
tinggi
maupun
antar
perguruan
tinggi
(pasal
38
UU
Dikti).
Kita
menganut
azas
“multientry”
dan
“multiexit”,
yang
berarti
lulusan
dari
jalur
vokasi
maupun
akademik
dapat
saling
berpindah
jalur
(pasal
39
UU
Dikti).
Bahkan
lulusan
negara
lain
dimungkinkan
untuk
mengikuti
pendidikan
di
Indonesia
dengan
mekanisme
tertentu
(pasal
40
UU
Dikti).
Sumber
belajar
merupakan
sarana
penting
untk
menumbuhkan
atmosfer
akademik.
Ujud
sumber
belajar
mulai
dari
dosen
yang
kompeten,
berbagai
karya
ilmiah
yang
dapat
diakses
sebagai
barang
nyata
atau
maya,
dst.
(pasal
41
UU
Dikti).
Mutu
universitas
akan
terkait
dengan
tingkat
atmosfer
akademik
yang
dimiliki
suatu
perguruan
tinggi.
Agar
peningkatan
mutu
dapat
terbina,
terpantau
dan
terkendali
untuk
peningkatan
kualitasnya,
Pemerintah
membentuk
satuan
kerja
sebagai
Lembaga
Layanan
Pendidikan
Tinggi
yang
berfungsi
membantu
peningkatan
mutu
penyelenggaraan
Pendidikan
Tinggi
di
berbagai
wilayah
Indonesia
(pasal
57
UU
Dikti).
Unsur
terpenting
untuk
menciptakan
atmosfer
akademik
ialah
dosen.
Dengan
demikian
keahlian
atau
kepakaran
merupakan
syarat
sangat
penting
bagi
para
dosen
agar
dapat
menciptakan
atmosfer
akademik
serta
menjamin
keberlanjutannya
(pasal
69
UU
Dikti).
ii. Penegasan
kepentingan
karakter
Sebagai
makhluk
sosial
manusia
menggunakan
bahasa
untuk
berkomunikasi
yang
mengekspresikan
tingkah
laku
atau
karakternya.
Sebagai
bangsa
Indonesia
bahasa
yang
digunakan
sebagai
pengantar
di
Perguruan
Tinggi
adalah
59
Bahasa
Indonesia.
Selain
itu
di
Indonesia
kita
mengenal
ratusan
bahasa
daerah,
sehingga
pada
progran
studi
bahasa
dan
sastra
daerah
tadi
dimungkinkan
menggunakan
bahasa
daerah
yang
sesuai.
Di
sisi
yang
lain
telah
dimulai
ada
mahasiswa
asing
yang
belajar
diperguruan
tinggi
kita.
Kemudian
berdasarkan
kebutuhan
tertentu,
bahasa
asing
tertentu
juga
harus
difahami.
Sehubungan
dengan
dua
hal
tersebut
penggunaan
bahasa
asing
sebagai
bahasa
pengantar
di
perguruan
tinggi
dimungkinkan.
Aturan
mengenai
hal
bahasa
ini
sesuai
dengan
karakter
kita
diatur
dalam
pasal
37
UU
Dikti.
Kita
semua
menyadari
bahwa
melalui
perguruan
tinggi,
kita
diharapkan
dapat
membangun
peradaban
bangsa
yang
luhur.
Mengapa?
Karena
Perguruan
Tinggi
berfungsi
sebagai
wadah
pembelajaran
mahasiswa
dan
masyarakat,
yang
hasilnya
diharapkan
menghasilkan
para
pemimpin
bangsa,
pengembangan
iptek,
kajian
kebajikan
dan
moral
dalam
rangka
mencari
kebenaran
ilmiah.
Kesemuanya
tersebut
dilakukan
melalui
implementasi
Tridharma
Perguruan
Tinggi
(pasal
58
UU
Dikti).
Pada
saat
seseorang
sebagai
mahasiswa,
mereka
sebagai
makhluk
sosial
diharapkan
mulai
belajar
dalam
organisasi
yang
dikenal
sebagai
organisasi
kemahasiswaan.
Pengalaman
dari
organisasi
kemahasiswaan
ini
diharapkan
akan
dapat
menjadi
bekal
jika
kemudan
hari
bekerja
di
berbagai
institusi
pemerintah
maupun
swasta.
Selain
itu
juga
mempertajam
karakter
pribadinya
karena
mereka
dapat
menyesuaikan
dengan
minat,
bakat
dan
potensinya.
Ke
depan
diharapkan
dapat
menumbuhkan
kreativitas,
kepekaan,
daya
kritis,
keberanian
dan
kepemimpinan
serta
membangun
rasa
kebangsaan.
Termasuk
didalamnya
agar
kesejahteraan
dan
kepentingan
mereka
terwadahi
serta
memiliki
tanggung
jawab
sosial.
Kegiatan
yang
dilakukannya
melalui
berbagai
60
pengabdian
kepada
masyarakat
seperti
bimbingan
dan
penyuluhan
untuk
masyarakat
di
pedesaan,
perkotaan
dalam
kerangkan
pengelolaan
kebersihan,
pertanian,
administrasi
desa,
pemenuhan
energi
ramah
lingkungan
dst.
Ketentuan
dalam
hal
ini
diatur
dalam
pasal
77
UU
Dikti.
Dalam
kondisi
global
kerjasama
internasional
harus
dilakukan.
Maksudnya
agar
terjadi
tukar
menukar
pengalaman
dan
tukar
menukar
ilmu
pengetahuan.
Sebagai
negara
dan
bangsa
yang
besar
dan
bermartabat
landasan
kesetaraan
dalam
bekerjasama
harus
menjadi
titik
tolak
kita.
Kita
tidak
harus
dapat
menjadi
bangsa
yang
superior.
Oleh
karena
itu
kita
bersikap
memiliki
karakter
yang
senantiasa
setara
dengan
bangsa
manapun
juga
jika
melakukan
kerjasama
internasional
(pasal
50
UU
Dikti).
iii. Peningkatan
daya
ungkit
dan
daya
saing
perguruan
tinggi
dengan
membuat
lembaga
yang
bermutu,
untuk
inovasi
dan
kreasi
bagi
penyelesaian
masalah
sains,
teknologi,
dan
lingkungan
Masyarakat
berharap
bahwa
lulusan
perguruan
tinggi
sebagai
keluaran
perguruan
tinggi
akan
menghasilkan
para
pakar
dan
pengetahuan
baru
atau
inovasi
dalam
ilmu
penegetahuan
dan
teknologi
melalui
pelaksanaan
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Untuk
menghasilkan
pakar
(sumberdaya
ahli),
dilakukan
melalui
kurikulum
pendidikan
tinggi.
Kurikulum
pendidikan
tinggi
merupakan
seperangkat
rencana
dan
pengaturan
mengenai
tujuan,
isi,
dan
bahan
ajar
serta
cara
yang
digunakan
sebagai
pedoman
penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran
untuk
mencapai
tujuan
Pendidikan
Tinggi
(pasal
35
UU
Dikti).
Sebagai
lembaga
pendidikan
tinggi,
maka
perguruan
tinggi
secara
otonom
mengembangkan
kurikulumnya,
namun
harus
mengacu
kepada
Standar
Nasional
Pendidikan
Tinggi
untuk
61
setiap
program
studi
yang
merujuk
kepada
kompetensi
akhlak
mulia
(attitude),
keterampilan
(skill)
dan
kecerdasan
intelektual
(knowledge).
Agar
menjadi
pribadi
yang
berkebangsaan
Indonesia
yang
tangguh
namun
berdaya
saing
disyaratkan
memuat
matakuliah
agama,
kewarganegaraan
dan
bahasa
Indonesia.
Ketentuan
tentang
kurikulum
antara
lain
diatur
pada
pasal
35
UU
Dikti.
Selanjutnya
ke
depan
peran
para
profesional
akan
sangat
penting,
karena
akan
berperan
langsung
secra
nasional
maupun
global.
Sesuai
dengan
sektor
masing-‐masing,
kementerian-‐kementerian
menyusun
kompetensi
profesi
di
dalam
sektor
kewenangannya
yang
harus
berdaya
saing.
Hal
serupa
juga
dipastikan
oleh
organisasi
profesi
karena
mereka
harus
bersaing
di
kancah
global.
Penjabaran
pelaksanaannya
diwujudkan
dalam
bentuk
kurikulum
yang
mengacu
kepada
Standar
Nasional
Pendidikan
Tinggi.
Perguruan
Tinggi
yang
baik
adalah
yang
menyusun
kurikulumnya
diatas
standar
tersebut.
Ketentuan
tentang
hal
ini
ada
dalam
pasal
36
UU
Dikti.
Ke
depan
Perguruan
Tinggi
kita
diproyeksikan
menjadi
ajang
pembelajaran
bagi
mahasiswa
asing
pula.
Hal
ini
dicanangkan
senagai
bukti
kekuatan
daya
saing
perguruan
tinggi
kita
(pasal
75
UU
Dikti).
Sebagai
lembaga
yang
maju,
Perguruan
Tinggi
kita
selain
bersaing
dengan
semua
perguruan
tinggi
di
dunia,
juga
secara
bersamaan
harus
melakukan
kerjasama.
Satu-‐satunya
cara
yang
harus
dilakukan
ialah
meningkatkan
daya
saing,
yaitu
mengacu
kepada
tolok
ukur
tetentu
yang
mencukupi
relatif
terhadap
kemanjuan
jaman.
Sebagai
contoh
dalam
kemampuan
inovasi
untuk
mempublikasikan
pada
jurnal
internasional,
paten
internasional
maupun
prototipe
produk
berkelas
internasiona.
Dengan
cara
ini
kegiatan
akademik
yang
dilakukan
akan
mampu
berperan
secara
internasional
62
namun
tetap
bernilai
ke-‐Indonesia-‐an.
Sifat
kesetaraan
dan
tidak
inferior
perlu
di
tanamkan
dalam
sanubari
kita,
sehingga
kerjasama
dilakukan
dengan
prinsip
kesetaraan
dan
saling
menghormati
untuk
memajukan
iptek
dan
nilai
kemanusiaan
melalui
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Cakupan
kerjasama
ialah
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
yang
bermutu,
pengembangan
pusat
kajian
budaya
Indonesia
dan
daerah,
dan
pembentukan
komunitas
ilmiah.
Ketentuan
tentang
kerjasama
internasional
diatur
pada
pasal
50
UU
Dikti.
Indonesia
tidak
dapat
lepas
dari
masyarakat
global.
Biasanya
jika
negara
memiliki
pendidikan
tinggi
yang
bermutu,
banyak
para
mahasiswa
dari
negara-‐negara
lain
belajar
di
perguruan
tinggi-‐perguruan
tinggi
di
negara
tersebut.
Pada
saat
sekarang
ini
telah
kita
lihat
banyak
para
mahasiswa
asing
menuntut
ilmu
di
negara
kita,
dengan
demikian
kita
harus
melakukan
pengaturan.
Jika
mahasiswa
asing
akan
belajar
di
Indonesia
mereka
harus
memiliki
kualifikasi
akademik
yang
cukup,
program
studinya
siap
menerima
mahasiswa,
tidak
mengganggu
proporsi
mahasiswa
terhadap
jumlah
mahasiswa
dan
dosen,
dan
lokasi
perguruan
tinggi
dinilai
telah
memungkinkan
untuk
menerima
mahasiswa
asing.
Dengan
mengacu
kepada
pemikiran
tersebut,
persyaratan
selanjutnya
ditentukan
dengan
Peraturan
Menteri
(pasal
75
UU
Dikti)
iv. Standar
Nasional
Pendidikan
Tinggi
dan
pengendalian
mutu
perguruan
tinggi
Kita
sering
membicarakan
tentang
perguruan
tinggi
yang
baik
dan
buruk.
Perguruan
tinggi
adalah
wujud
pelaksanaan
pendidikan
tinggi.
Pemahaman
tentang
perguruan
tinggi
yang
baik
maksudnya
adalah
baik
mutunya.
Perguruan
tinggi
yang
bermutu
baik
adalah
yang
telah
melampaui
standar
63
yang
telah
ditetapkan.
Standar
yang
ditetapkan
dikenal
sebagai
Standar
Nasional
Pendidikan
Tinggi
(SN
Dikti).
Agar
standar
yang
ditetapkan
ini
bersifat
obyektif
dan
berpandangan
jauh
ke
depan
disusun
oleh
suatu
badan
yang
diberi
tugas
oleh
Menteri
dan
selanjutnya
ditetapkan
oleh
Menteri.
Karena
untuk
pendidikan
tinggi
maka
standar
yang
dibuat
harus
meliputi
standar
pendidikan,
standar
penelitian
dan
standar
pengabdian
kepada
masyarakat.
Perguruan
tinggi
merupakan
lembaga
otonom
secara
akademik,
sehingga
memiliki
kebebasan
akademik
dalam
mencapai
tujuan
pendidikan
tinggi.
Oleh
karena
itu
standar
yang
dibuat
tetap
memerhatikan
landasan
pengelolaan
perguruan
tinggi
tersebut.
Standar
pendidikan
tinggi
secara
utuh
selain
menetapkan
standar
akademik
juga
standar
nonakademik.
Selanjutnya
strategi
maupun
cara
dan
pelaksanaan
untuk
mencapai
standar
secara
nasional
itu,
masing-‐masing
perguruan
tinggi
menetapkan
standar
internal
sebagai
Standar
Perguruan
Tinggi
(SPT)
untuk
memenuhi
standar
nasional.
Penjaminan
mutu
kemudian
dilakukan
oleh
Pemerintah
dengan
melakukan
evaluasi
periodik
dan
hasilnya
diumumkan
kepada
masyarakat.
Tatacara
yang
dilakukan
dengan
praktis
melalui
Pangkalan
Data
Perguruan
Tinggi
(PD
Dikti)
yang
bersifat
terbuka
yang
mencantumkan
hasil
akreditasi
masing-‐masing
perguruan
tinggi.
Ketentuan
standar
pendidikan
tinggi
ini
diatur
dalam
pasal
54
UU
Dikti.
Pendidikan
Tinggi
yang
bermutu
yang
dilaksanakan
oleh
perguruan
tinggi
sewajarnya
adalah
perguruan
tinggi
yang
menghasilkan
pakar
yang
secara
aktif
mengembangkan
iptek
yang
berguna
bagi
kemanusiaan
termasuk
masyarakat,
bangsa,
dan
negara.
Dengan
demikian
Pemerintah
menyelenggarakan
sistem
penjaminan
mutu
pendidikan
tinggi
(pasal
51
UU
Dikti).
64
Penjaminan
mutu
adalah
kegiatan
yang
tersistem
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan
mutu
pendidikan
tinggi
secara
terencana
dan
berkelanjutan.
Sistem
penjaminan
mutu
pendidikan
tinggi
dilakukan
dengan
cara
semua
perguruan
tinggi
diwajibkan
untuk
selalu
memperbaiki
data
kemajuan
pelaksanaan
kegiatan
perguruan
tinggi
melalui
Pangkalan
Data
Pendidikan
Tinggi.
Dengan
ketersediaan
data
yang
lengkap
dapat
dilakukan
pengendalian
dan
peningkatan
standar
secara
berkelanjutan.
Tahapan
penjaminan
mutu
dilakukan
dengan
penetapan
standar
sesuai
dengan
Tridharma
Perguruan
Tinggi,
pelaksanaan
kegiatan,
dan
evaluasi
yang
dilanjutkan
dengan
pengendalian
dan
peningkatan
standar.
Jika
cara
ini
dilakukan
terus
menerus,
maka
mutu
pendidikan
tinggi
kita
menjadi
berdaya
saing
dan
berkelanjutan.
Ketentuan
tentang
hal-‐hal
tersebut
termuat
pada
pasal
52
UU
Dikti.
Pelaksanaan
sistem
penjaminan
mutu
ada
dua
tahap
yaitu
oleh
perguruan
tinggi
sebagai
penjaminan
mutu
internal
dan
akreditasi
yang
merupakan
penjaminan
mutu
eksternal
(pasal
53
UU
Dikti).
Penjaminan
mutu
internal
dilaksanakan
oleh
masing-‐masing
perguruan
tinggi
dengan
cara
mengacu
kepada
SN
Dikti
untuk
membuat
perencanaan
kerja
atau
standar
masing
masing.
Perguruan
tinggi
kemudian
melakukan
pemantauan
capaian-‐capaian
dari
kinerja
yang
telah
ditetapkan.
Jika
standar
yang
ditetapkan
oleh
perguruan
tinggi
tercapai
dengan
baik,
diharapkan
akreditasi
yang
merupakan
sistem
penjaminan
mutu
eksternal
hasilnya
akan
baik
pula.
Salah
satu
hasil
penting
dari
pendidikan
tinggi
ialah
lulusan
perguruan
tinggi.
Jika
perguruan
tinggi
itu
bermutu
dia
akan
menghadilkan
para
pakar
yang
mumpuni
keilmuannya
dan
ditandai
dengan
ijazah
(maupun
gelar)
yang
diterimanya.
Ijazah
diberikan
kepada
lulusan
65
pendidikan
akademik
dan
pendidikan
vokasi
sebagai
pengakuan
terhadap
prestasi
belajar
dan/atau
penyelesaian
suatu
program
studi
terakreditasi
yang
diselenggarakan
oleh
Perguruan
Tinggi
(pasal
42
UU
Dikti).
Selain
itu
untuk
pendidikan
profesi
ditandai
dengan
sertifikat
profesi
(pasal
44
UU
Dikti).
Jika
seseorang
akan
berpraktek,
maka
diperlukan
sertifikat
kompetensi
yaitu
pengakuan
kompetensi
atas
prestasi
lulusan
yang
sesuai
dengan
keahlian
dalam
cabang
ilmunya
dan/atau
memiliki
prestasi
di
luar
program
studinya
(pasal
45
UU
Dikti).
Pendidikan
profesi
dilakukan
oleh
Perguruan
Tinggi
berkoordinasi
dengan
organisasi
profesi.
v. Pengelolaan
SDM
perguruan
tinggi
1. Dosen
Dosen
merupakan
anggota
perguruan
tinggi
yang
sangat
penting.
Tugas
dosen
yang
terutama
ialah
melaksanakan
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Dosen
akan
menjadi
otak
dan
tulang
punggung
untuk
penyelenggaraan
perguruan
tinggi.
Sumber
pertumbuhan
atmosfer
akademik
berasal
dari
dosen.
Dosen
harus
memenuhi
standar
maupun
syarat
tertentu
sebagaimana
diatur
dalam
pasal
45
UU
no.
14
Tahun
2005
tentang
Guru
dan
Dosen,
maupun
UU
Dikti
ini.
Pengangkatan
dosen
dilakukan
oleh
Pemerintah
maupun
badan
penyelenggara
(pasal
69
UU
Dikti).
Dosen
adalah
ilmuwan,
dan
juga
sebagai
pendidik,
sehingga
harus
mampu
mengekspresikan
diriya
sebagai
akademisi.
Artinya,
dosen
pada
dasarnya
adalah
seorang
pakar
atau
ilmuwan,
sehingga
dia
harus
menunjukkan
kepakarannya.
Dengan
demikian
dosen
sewajarnya
harus
mampu
menghasilkan
karya-‐karya
sebagai
ilmuwan,
antara
lain
menghasilkan
karya
ilmiah.
Cara
termudah
untuk
melihat
kepakaran
66
seseorang
ialah
dengan
melihat
hasil-‐hasil
karya
ilmiah
yang
dipublikasikannya.
Karya
ilmiah
yang
akhir-‐akhir
ini
digunakan
sebagai
rujukan
derajat
keilmuwanan
seseorang
ialah
publikasi
dalam
jurnal
ilmiah.
Beberapa
institusi
melakukan
pengindeksan
jurnal
ilmiah,
salah
satu
diantaranya
ialah
“Scopus”
yang
berafiliasi
dengan
penerbit
ternama
Elsevier.
Selanjutnya
agar
jelas
rujukan
untuk
pengelolaan
dosen,
tata
cara
pengangkatan
dan
penempatan
dosen
diatur
dalam
pasal
70
UU
Dikti.
Agar
dosen
dapat
melaksanakan
tugasnya
dengan
baik
maka
harus
didukung
oleh
kesejahteraan
yang
sesuai
(pasal
51
dan
52
UU
Guru
dan
Dosen).
Kita
memahami
bahwa
pertumbuhan
penduduk
Indonesia
masih
akan
meningkat
terus.
Dengan
demikian,
kebutuhan
akan
pendidikan
tinggi
juga
pasti
terus
akan
meningkat.
Di
sisi
yang
lain
kebutuhan
kesejahteraan
juga
akan
semakin
meningkat
yang
tentu
membutuhkan
inovasi-‐inovasi
yang
sesuai
untuk
menumbuhkan
semuan
sektor
industri
yang
harus
ditopang
oleh
perguruan
tinggi.
Kebutuhan
pertumbuhan
ekonomi
melalui
industri
itu
juga
memerlukan
tumbuhnya
program
studi
baru
baik
akademik
maupun
vokasi.
Alasan-‐alasan
utama
ini
mensyaratkan
bahwa
kebutuhan
dosen
akan
terus
meningkat.
Sehubungan
dengan
Pimpinan
PTN
dengan
persetujuan
Pemerintah
maupun
PTS
dapat
mengangkat
dosen
tetap
yang
bukan
PNS.
Karena
dosen
tetap
itu
akan
memperoleh
tunjungan
profesi
dari
pemerintah,
maka
perlu
diatur
mekanismenya.
Ketentuan
tentang
hal
ini
diatur
dalam
pasal
71
UU
Dikti.
Ke
depan
harus
ada
pengaturan
tentang
dosen
yang
tegas.
Karena
dosen
adalah
seseorang
yang
melaksanakan
tugasnya
di
perguruan
tinggi,
maka
tentu
harus
67
melaksanakan
tugasnya
sesuai
standar
yaitu
pendidikan,
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat.
Jika
yang
dilaksanakan
hanya
pendidikan
saja
tentu
belum
memenuhi
syarat
sebagai
dosen.
Dosen
yang
memenuhi
persyaratan
untuk
dan
atas
nama
perguruan
tingginya
sebagai
satuan
administrasi
pangkalan
(home
base)
disebut
sebagai
dosen
tetap.
Sesuai
dengan
tugas
dan
minatnya
dosen
memiliki
jenjang
jabatan
akademik,
yaitu
asisten
ahli,
lektor,
lektor
kepala
dan
profesor.
Untuk
promosi
pada
jenjang
jabatan
akademik
tertinggi
(profesor/gurubesar)
diwajibkan
telah
terbukti
menghasilkan
karya
nyata
sebagai
pendidik.
Mereka
harus
telah
10
tahun
bekerja
sebagai
dosen
tetap
sehingga
memiliki
publikasi
ilmiah
sesuai
dengan
derajatnya
sebagai
doktor
atau
sederajat
yaitu
karya
ilmiah
bersifat
internasional
serta
syarat-‐syarat
lain
yang
ditentukan
menurut
perundangan.
Batas
usia
pensiun
untuk
profesor
diatur
tersendiri,
yaitu
70
tahun.
Selain
dosen
tetap
seseorang
dapat
diangkat
sebagai
dosen
tidak
tetap
yang
biasanya
tugasnya
hanya
di
bidang
pendidikan
atau
mengajar.
Pengaturan
untuk
dosen
tidak
tetap
kewenangannya
diatur
oleh
masing-‐masing
perguruan
tinggi
(pasal
48
UU
Guru
dan
Dosen
),
sedangkan
jenjangnya
oleh
penyelenggara
perguruan
tinggi
(pasal
72
UU
Dikti).
Suatu
hal
yang
penting
diatur
dalam
UU
Dikti
ini
ialah
mereka
yang
bukan
akademisi
namun
memiliki
kompetensi
luar
biasa
yaitu
memiliki
“tacid
knowledge”
atau
“implicit
knowledge”
yang
dapat
diterjemahkan
menjadi
“explisit
knowledge”
(yang
kemudian
diajarkan
di
perguruan
tinggi)
dapat
diangkat
oleh
Menteri
sebagai
profesor.
Dengan
demikian
untuk
status
Profesor
sebagai
Dosen
Tidak
Tetap
ini
tidak
tergantung
apakah
seseorang
mengajar
atau
tidak
di
perguruan
tinggi
sebelumnya,
68
namun
“knowledge”
yang
dimilikinya
istimewa.
Suatu
hal
yang
penting
di
sini
bahwa
harus
ada
keterbukaan
perguruan
tinggi
untuk
dapat
menyerap
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dari
dunia
luar
yang
memang
memiliki
makna
akademik.
Contoh-‐contohnya
misalnya
Bill
Gates
dan
Steve
Job
untuk
bidang
teknologi
informasi,
Gus
Dur
untuk
bidang
demokrasi,
Romo
Mangun
untuk
bidang
pengelolaan
perumahan
masyarakat
ekonomi
lemah,
dst.
Sehubungan
dengan
itu
pengaturan
maupun
mekanismenya
perlu
ditentukan.
Pengaturan
tentang
jabatan
akademik
ini
diatur
dalam
pasal
72
UU
Dikti.
2. Mahasiswa
Sebagai
institusi
yang
menjalankan
Tridharma
Perguruan
Tinggi,
perguruan
tinggi
harus
memperoleh
input
insan-‐insan
yang
potensial
untuk
berbagai
bidang
yang
menjadi
area
masing-‐masing
perguruan
tinggi.
Dengan
demikian,
penerimaan
mahasiswa
sebagai
para
calon
pakar
dan
pengembang
keberlanjutan
iptek
perlu
diatur
(pasal
73
UU
Dikti).
Di
dalam
penerimaan
mahasiswa
beberapa
faktor
harus
diperhatikan
antara
lain
pertama,
tatacara
penerimaan
yang
bisa
dilakukan
secara
nasional
maupun
bentuk
yang
lain
misalnya
mandiri,
berkelompok
secara
nasional
atau
berkelompok
terbatas.
Penerimaan
mahasiswa
secara
nasional
akan
memermudah
akses
dari
para
pelajar
yang
akan
masuk
ke
PTN
dari
seluruh
wilayah
Indonesia
secara
silang.
Mereka
cukup
melakukan
pendaftaran
di
lokasi
mereka
menempuh
pendidikan
SMA,
namun
dapat
mendaftar
ke
semua
perguruan
tinggi
yang
diminatinya
di
seluruh
Indonesia.
Kedua,
faktor
biaya
pendaftaran,
yang
harus
diatur
sedemikian
rupa
agar
para
lulusan
SMA
yang
berpotensi
dapat
mendaftar
untuk
turut
berkompetisi
69
pada
pola
penerimaan
tersebut.
Agar
semua
lulusan
SMA
diberi
kesempatan
untuk
mendaftar
ke
PTN,
Pemerintah
menanggung
biaya
pola
penerimaan
mahasiswa
secara
nasional
(pasal
73
UU
Dikti).
Ketiga
persyaratan
akademik,
di
mana
para
pengelola
PTN
mengatur
cara
seleksi
dengan
memperhatikan
semua
rekam
jejak
para
lulusan
SMA
maupun
sekolah
di
mana
mereka
belajar.
Keempat
kapasitas
masing-‐masing
program
studi
di
perguruan
tinggi
sesuai
dengan
jumlah
dosen
dan
tenaga
kependidikan,
sarana
dan
prasarana,
kemampuan
untuk
dapat
melaksanakan
layanan
prima,
maupun
berbagai
faktor
pendukung
lainnya.
Kelima
pengaturan
agar
konsep
nirlaba,
efektif
dan
efisien
tetap
menjadi
pegangan
sehingga
beban
mahasiswa
tetap
teratasi
dan
tidak
mengarah
kepada
mencari
laba
atau
komersialisasi.
Bagi
PTS
diatur
sedemikian
rupa
oleh
masing-‐masing
PTS
jika
telah
dimungkinkan
dapat
pula
bergabung
bersama
PTN
untuk
melakukan
penerimaan
secara
nasional
(pasal
74
UU
Dikti).
Mahasiswa
adalah
insan
yang
berkesempatan
untuk
memperoleh
pendidikan
tinggi
sehingga
kemampuan
akademik
merupakan
persyaratan
utama.
Khusus
untuk
PTN
diatur
melalui
seleksi
nasional
yang
mengutamakan
rekam
jejak
mahasiswa
tersebut
selama
mengikuti
pendidikan
di
sekolah
menengah
maupun
seleksi
tertentu
yang
dilakukan
oleh
masing-‐masing
perguruan
tinggi.
Karena
berbasis
utama
kepada
kemampuan
akademik,
PTN
diwajibkan
menerima
20%
mahasiswanya
dari
mereka
yang
tidak
mampu.
Karena
pemerintah
dapat
membantu
maka
dialokasikanlah
beasiswa
atau
bantuan
melalui
APBN
maupun
APBD
dan
berbagai
usaha
lain
oleh
Perguruan
tinggi
dan
masyarakat
(pasal
74
UU
Dikti).
70
Berbagai
skema
globalisasi
akan
berlangsung
dalam
wujud
AFTA
hingga
WTO,
tidak
terkecuali
untuk
pendidikan
tinggi,
sehingga
kita
harus
menyiapkan
diri.
Kita
melakukannnya
antara
lain
dalam
pengaturan
mahasiswa
asing.
Mereka
dapat
belajar
di
Indonesia,
namun
harus
memenuhi
persyaratan
akademik,
yaitu
kualifikasi,
program
studi,
jumlah
dan
lokasi
perguruan
tinggi
(pasal
75
UU
Dikti).
Keberpihakan
kepada
mereka
yang
memiliki
ekonomi
lemah
harus
dilakukan
oleh
semua
pihak,
sehingga
dalam
rangka
menyelesaikan
studinya,
Pemerintah,
Pemerintah
Daerah
dan
Perguruan
Tinggi
wajib
mendukung
secara
ekonomi
(pasal
76
UU
Dikti).
Mahasiswa
harus
mempunyai
kemampuan
masa
depan
sehingga
mereka
harus
di
didik
pula
melalui
organisasi
kemahasiswaan
yang
dapat
membangun
karakter
pembangun
masa
depan
bangsa.
Perguruan
Tinggi
memiliki
tugas
untuk
menyusun
statuta
yang
mendukung
kearah
terbentuknya
warga
masa
depan
ini
yang
bermutu
dan
berdaya
saing
(pasal
77
UU
Dikti).
Organisasi-‐
organisasi
tersebut
sifatnya
di
dalam
perguruan
tinggi,
sehingga
tidak
terbuka
untuk
masyarakat
luas,
karenanya
sarana
dan
prasarananya
disediakan
oleh
perguruan
tinggi
sesuai
dengan
yang
diatur
oleh
statuta
perguruan
tinggi.
vi. Evaluasi
pendidik,
program
dan
institusi
perguruan
tinggi
Semua
kegiatan
agar
dapat
diukur
capaiannya
harus
dilakukan
melalui
pengumpulan
data
berbagai
parameter
perguruan
tinggi
yang
diatur
dengan
baik.
Pusat
data
yang
dimaksud
ini
telah
kita
kenal
senagai
Pangkalan
Data
Pendidikan
Tinggi
(PD
Dikti).
Sifatnya
mengintegrasikan
semua
data
pendidikan
tinggi
secara
nasional
yang
berasal
71
dari
berbagai
perguruan
tinggi
di
Indonesia.
Sebaiknya
PD
Dikti
akan
memuat
semua
data
tentang
kedudukan
dan
legal
perguruan
tinggi,
SDM,
termasuk
mahasiswa,
infra
struktur
tertentu,
beberapa
capaian
penting
dari
pelaksanaan
Tridharma
Perguruan
Tinggi
maupun
data-‐data
lain
yang
selalu
berkembang
untuk
ditambahkan.
Data
yang
ada
ini
diharapkan
dapat
digunakan
untuk
mengevaluasi
capaian
perguruan
tinggi
sesuai
standar.
Dalam
hal
pendidikan
tinggi
maka
ini
terkait
dengan
standar
pendidikan,
standar
penelitian
maupun
standar
pengabdian
kepada
masyarakat.
Data-‐data
yang
termuat
dalam
PD
Dikti
dapat
digunakan
untuk
kebutuhan
pengendalian
sistem
penjaminan
mutu
internal
perguruan
tinggi
maupun
sistem
penjaminan
mutu
eksternal
perguruan
tinggi
melalui
akreditasi.
Dari
sisi
pemerintah
dapat
digunakan
untuk
melakukan
pengaturan,
perencanaan,
pengawasan,
pemantauan,
dan
evaluasi
serta
pembinaan
dan
koordinasi
Program
Studi
dan
institusi
Perguruan
Tinggi.
Dari
sisi
lain,
masyarakat
dapat
menggunakannya
untuk
melakukan
evaluasi
tersendiri
baik
mutu
maupun
kinerja
suatu
perguruan
tinggi.
Dengan
demikian,
agar
data
selalu
mutakhir
perguruan
tinggi
wajib
untuk
selalu
menyampaikan
laporan
datanya
secara
periodik
dan
disiplin.
Ketentuan-‐ketentuan
tentang
hal
ini
dicantumkan
dalam
pasal
56
UU
Dikti.
d. Pengelolaan
relevansi
perguruan
tinggi
i. Penguatan
pendidikan
vokasi
Dengan
maksud
untuk
memerkuat
pendidikan
vokasi,
tata
ulang
terkait
dilakukan
melalui
aturan
pada
pasal
17
–
23
UU
Dikti.
Pendidikan
vokasi
dilakukan
dalam
bentuk
Program
Diploma
(yang
terdiri
dari
Diploma
Satu,
Program
Diploma
Dua,
Program
Diploma
Tiga
dan
Program
Diploma
Empat
atau
Sarjana
Terapan),
Program
Magister
Terapan
dan
72
Program
Doktor
Terapan.
Terobosan
baru
yang
dilakukan
ialah
pada
pengajarnya,
di
mana
dilakukan
melalui
kesederajatan
yang
diatur
melalui
Kerangka
Kualifikasi
Nasional
Indonesia.
Seperti
halnya
program
akademik
semakin
tinggi
jenjangnya,
maka
semakin
canggih
dalam
penguasaan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
dan
semakin
mandiri
dan
bersifat
semakin
universal.
Setelah
seseorang
menyelesaikan
pendidikan
pada
jenjang
sarjana
atau
sederajat,
ia
dapat
melanjutkan
pada
proram
pendidikan
profesi
seperti
akuntan,
dokter,
apoteker,
insinyur,
arsitek,
dst.
Lulusan
program
profesi
dapat
melanjutkan
pada
pendidikan
program
spesialis
contoh
dokter
spesialis.
Aturan-‐aturan
tersebut
dimuat
dalam
pasal
24
dan
25
UU
Dikti.
Terobosan
penting
yang
dilakukan
dalam
UU
Dikti
ini
ialah
yang
berkaitan
dengan
penyetaraan
kompetensi
seseorang
sebagai
hasil
dari
pendidikan
formal,
nonformal,
informal
atau
pengalaman
kerja
termasuk
mandiri
pada
jenjang
tertentu
(pasal
29
UU
Dikti).
Penyetaraan
ini
penggunaannya
dapat
dimanfaatkan
dalam
memerkuat
proses
pendidikan
formal,
sehingga
relevansi
dalam
pendidikan
formal
menjadi
lebih
kokoh.
ii. Penguatan
kelembagaan
institusi
perguruan
tinggi
sebagai
lembaga
riset
dan
sumber
inovasi
masyarakat
Kita
harus
menyadari
bahwa
perguruan
tinggi
dalam
pengertian
universal
termasuk
di
Indonesia
harus
juga
menjadi
lembaga
di
samping
fungsinya
sebagai
lembaga
pendidikan
tinggi.
Di
Indonesia
perguruan
tinggi
dikenal
sebagai
lembaga
pelaksana
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Jati
diri
sebagai
lembaga
riset
harus
diperjelas
dan
menjadi
kewajiban
untuk
melaksanakannya.
Indonesia
memerlukan
lembaga
riset
jenis
ini
yang
handal
dan
secara
berkelanjutan
73
melakukan
riset,
sehingga
menghasilkan
para
pakar
yang
terus
menerus
diremajakan
seiring
dengan
keberlanjutan
iptek
baru
dan
inovasi
baru
yang
dihasilkan
melalui
riset.
Hanya
dengan
cara
inilah
Indonesia
mampu
menghasilkan
berbagai
produk
industri
keras
hingga
industri
jasa
yang
bermutu
dan
berdaya
saing
global.
Biasanya
perguruan
tinggi
yang
bermutu
dan
unggul
memiliki
kuntitas
dan
kualitas
riset
yang
tinggi
pula.
Sebagai
lembaga
riset,
penelitian
di
perguruan
tinggi
diarahkan
untuk
pengembangan
iptek
dalam
kerangka
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
dan
daya
saing
bangsa
Indonesia.
Pelaku
untuk
riset
ialah
seluruh
sivitas
akademika
baik
secara
kelembagaan
maupun
individu
yang
dilakukan
sesuai
kompetensinya.
Agar
menghasilkan
mutu
yang
tinggi
pola
pengelolaan
riset
yang
kompetitif
dilakukan
(pasal
45
UU
Dikti).
Pemikiran
tentang
berbagai
aspek
yaitu
pemanfaatan
hasil
riset
bagi
iptek
dan
pembelajaran,
peningkatan
mutu
pendidikan
tinggi
dan
kemajuan
peradaban
bangsa,
pemenuhan
kebutuhan
strategis
pembangunan
nasional
dan
perubahan
menuju
masyarakat
kita
yang
berbasis
internasional
tercantum
dalam
pasal
46
UU
Dikti.
Di
dalam
pasal
tersebut
ditegaskan
pula
penyebarluasan
hasil
penelitian
melalui
publikasi
kecuali
yang
bersifat
rahasia
dan
dapat
mengganggu
kepentingan
umum.
Hasil-‐hasil
penelitian
tersebut
juga
ditegaskan
sebagai
sumber
belajar.
Hasil
riset
akan
menjadi
sumer
belajar
jika
dipublikasikan.
Mudah
dimengerti
bahwa
semakin
luas
publikasinya
semakin
bermanfaat.
Perisetnya
sendiri
akan
meningkatkan
kemampuannya
menjadi
mampu
berfikir
pada
orde
tinggi.
Hanya
mereka
yang
mampu
berfikir
dalam
ranah
orde
tinggi
akan
menjadi
insan
yang
produktif
dan
tidak
memikirkan
individunya
saja.
Di
sisi
yang
lain
pasal
74
ini
juga
mengatur
agar
Pemerintah
memberikan
penghargaan
untuk
karya
penelitian
yang
tinggi
nilainya.
Sebenarnya
sisi
lain
dari
riset
adalah
pengabdian
kepada
masyarakat
jika
itu
merupakan
penerapan
dari
keprofesionalannya,
sehingga
menjadi
riset
dalam
lingkup
pengembangan.
Berbagai
kompetensi
harus
diterapkan
untuk
iptek
atau
untuk
masyarakat.
Sisi
yang
diterapkan
kepada
masyarakat
inilah
yang
harus
disebut
sebagai
pengabdian
kepada
masyarakat
oleh
civitas
akademik
perguruan
tinggi.
Dampaknya
pasti
mengarah
kepada
pembentukan
masyarakat
yang
cerdas,
berbudaya
dan
kesejahteraan.
Sebagaimana
hasil
penelitian,
karya
pengabdian
masyarakat
ini
juga
harus
dipublikasikan,
sebagai
sumber
belajar
maupun
proses
pematangan
para
civitas
akademika
untuk
menjadi
profesional
yang
handal.
Serupa
dengan
riset,
Pemerintah
juga
diatur
untuk
memberikan
penghargaan
bagi
karya
yang
bermutu.
Uraian
di
atas
diatur
dalam
pasal
48
UU
Dikti.
Dengan
berbagai
karyanya
tersebut,
perguruan
tinggi
senantiasa
diatur
untuk
terus
meningkatkan
kerjasama
dengan
semua
pemangku
kepentingan
yang
membutuhkan
misalnya
dunia
usaha
dan
dunia
industri,
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah,
berbagai
yayasan
atau
lembaga
yang
terkait,
dst.
Pada
prinsipnya
perguruan
tinggi
harus
menjadi
pusat
atau
lembaga
riset
dan
pengabdian
kepada
masyarakat.
Dalam
aturan
UU
Dikti
ini
dinyatakan
pula
bahwa
Pemerintah,
Pemerintah
Daerah,
dan
Masyarakat
mendayagunakan
Perguruan
Tinggi
sebagai
pusat
Penelitian
atau
pengembangan
Ilmu
Pengetahuan
dan
Teknologi.
Pengaturannya
tercantum
dalam
pasal
48
UU
Dikti.
Untuk
memerluas
jejaring
bagi
kepentingan
keduabelah
fihak,
perguruan
tinggi
melakukan
kerjasama.
Berbagai
kerjasama
dengan
pihak
lain
dilaksanakan
tergantung
75
kepada
karakteristik
perguruan
tingginya,
sehingga
perlu
diatur
tersendiri
(pasal
49
UU
Dikti).
Makna
penting
dalam
Undang-‐undang
ini
berkaitan
dengan
pengembangan
pusat-‐pusat
unggulan.
Pusat
unggulan
termasuk
kapasitas
riset
di
dalammnya
harus
dibangun
di
perguruan
tinggi.
Dalam
hal
ini
Pemerintah
diatur
untuk
memfasilitasinya
(pasal
80
UU
Dikti).
iii. Akademi
Komunitas
(AK)
Sebagaimana
telah
dibahas
terdahulu
pendirian
AK
sebagai
Perguruan
Tinggi
akan
sangat
terkait
secara
lansung
dengan
pertumbuhan
sentra
ekonomi.
Keahlian
yang
diperoleh
lulusannya
bersifat
terapan
sehingga
dalam
kelompok
pendidikan
tinggi
vokasi.
Penyelenggaraannya
dapat
dilakukan
oleh
Pemerintah
maupun
swasta.
Pengalaman
menunjukkan
sering
terjadi
konflik
antara
masyarakat
sekitar
daerah
sentra
pertumbuhan
ekonomi
dengan
masyarakat
sekitarnya.
Dengan
demikian
perlu
dibuat
bentuk
perguruan
tinggi
yang
dapat
menjembatani
antara
pusat-‐pusat
pertumbuhan
ekonomi
tersebut
dengan
masyarakat
sekitarnya.
Karena
AK
adalah
pendidikan
tinggi
setelah
pendidikan
menengah,
maka
sangat
terbuka
masyarakat
dapat
dididik
pada
pusat-‐pusat
pertumbuhan
ekonomi,
tersebut
untuk
selanjutnya
dipekerjakan.
Jika
skalanya
terlalu
kecil
dapat
dididik
pada
gabungan
industri
yang
sejenis,
sehingga
skalanya
menjadi
lebih
besar.
Kemudian
lulusannya
dapat
dipekerjakan
tersebar
pada
inustri-‐industri
yang
sejenis
dalam
berbagai
skala.
Cara
ini
menjadikan
para
lulusannya
dapat
memperoleh
penghasilan
yang
lebih
baik,
sedangkan
pengelola
sentra
pertumbuhan
akan
langsung
memeroleh
jumlah
besar
tenaga
kerja
terampil
yang
siap
kerja,
dan
memberikan
imbalan
yang
sesuai.
Mereka
menjadi
lebih
efisien
dalam
menggunakan
76
modalnya,
karena
tidak
perlu
merekrut
tenaga
terampil
yang
tingkat
pendidikannya
lebih
tinggi.
Hasil
lulusan
AK
juga
langsung
menyentuh
kepada
aktivitas
ekonomi
di
lapangan,
sehingga
jumlah
yang
dibutuhkan
akan
berjumlah
besar,
mencakup
bidangnya
yang
sangat
luas
seperti
pertanian,
kehutanan,
perikanan,
kelautan,
industri
makanan,
manufaktur,
pertambangan,
seni
musik,
seni
tari,
tata
boga,
tata
busana,
penyiaran,
industri
manufaktur
industri
pakaian,
dll.
Sehubungan
dengan
itu
diharapkan
akademi
komunitas
ini
tersebar
diseluruh
Pemerintah
Kota
maupun
Pemerintah
Kabupaten
termasuk
di
daerah
perbatasan
(pasal
81
UU
Dikti).
e. Pengelolaan
perguruan
tinggi
Perguruan
tinggi
sesuai
dengan
kegiatannya
harus
bisa
mempertangungjawabkan
hasil
keluarannya
sesuai
dengan
standar
minimum
(pasal
60
UU
Dikti)
yang
diinginkan
dan
dibutuhkan
secara
intelektual
maupun
keahlian.
Pemerintah
tentu
memiliki
tugas
untuk
melindungi
masyarakat
agar
memperoleh
hasil
pendidikan
sesuai
dengan
yang
diharapkannya.
Cara
untuk
mengendalikannya,
dilakukan
dengan
mengatur
bahwa
semua
perguruan
tinggi
yang
didirikan,
diubah
atau
ditutup
harus
dengan
ijin
atau
legalitas
dari
Pemerintah
(Pasal
60
UU
Dikti).
Perguruan
tinggi
sesuai
dengan
bentuk
maupun
karakter
masing-‐masing,
tidak
dapat
diatur
secara
seragam.
Statuta
Perguruan
Tinggi
merupakan
rujukan
bagi
semua
perguruan
tinggi
untuk
mengatur
organisasinya
dalam
menyelenggarakan
Tridharma
dan
tatakelola
sumberdaya
(pasal
60
dan
61
UU
Dikti).
Sesuai
dengan
hekekatnya
yaitu
melaksanakan
Tridharma
Perguruan
Tinggi,
perguruan
tinggi
tentu
melaksanakan
kebijakan
yang
bersifat
akademik
maupun
nonakademik,
sehingga
dalam
organisasinya
ada
unsur
yang
berperan
sebagai
penyusun
kebijakan.
Semua
kebijakan
yang
telah
77
dirumuskan
harus
dilaksanakan
dan
dipertanggungjawabkan.
Tugas
ini
dilakukan
oleh
pelaksana
kebijakan
akademik.
Di
dalam
melaksanakan
kebijakan-‐kebijakan
yang
ada,
diperlukan
monitoring
dan
evaluasi
agar
semuanya
dilakukan
secara
akuntabel.
Tugas
ini
dilakukan
oleh
unsur
pengawas
dan
penjaminan
mutu.
Seluruh
kegiatan
yang
dilakukan
perguruan
tinggi
wajib
diadministrasikan
dengan
baik,
sehingga
diperlukan
unsur
pelaksana
administrasi.
Sebagai
lembaga
yang
ditugaskan
untuk
bekerja
pada
garis
terdepan
dari
inovasi
dan
kreasi
untuk
kemanusiaan
dan
ilmu
pengetahuan,
perguruan
tinggi
harus
diatur
agar
dapat
bekerja
sebagai
lembaga
budaya
yang
otonom
(pasal
62
UU
Dikti).
Perguruan
tinggi
harus
mampu
menyajikan
hasil
dari
otonomi
yang
dimilikinya
dari
waktu
ke
waktu
sebagai
bentuk
pencerminan
dari
prinsip-‐prinsip
yang
harus
dipegang
secara
teguh,
yaitu
akuntabilitas
transparansi,
nirlaba,
penjaminan
mutu,
efektivitas
dan
efisiensi
(pasal
63
UU
Dikti).
Otonomi
yang
dimiliki
oleh
perguruan
tinggi
diharapkan
dapat
menghasilkan
kelincahan
dalam
mengelola
kegiatan
akademik
dan
non
akademik
untuk
melaksanakan
Tridharma
Perguruan
Tinggi
(pasal
64
UU
Dikti).
Cara
untuk
melaksanakannya
ialah
dengan
menetapkan
norma
dan
kebijakan
operasional.
Bidang-‐bidang
yang
merupakan
cakupan
kegiatan
nonakademik
ialah
organisasi,
keuangan,
kemahasiswaan,
ketenagaan
dan
sarana
dan
prasarana.
i. Bentuk-‐bentuk
perguruan
tinggi
dan
kekhasan
dalam
pengelolaan
Kita
fahami
bahwa
bentuk
perguruan
tinggi
di
indonesia
harus
tidak
seragam,
namun
menyesuaikan
kepada
alur
kekhususannya
(vokasi
atau
akademik),
jenjang
atau
tingkat
(level)
kompetensi
yang
akan
dikelola,
cakupan
keilmuan
atau
disiplin,
tingkat
kemampuan
untuk
mengelola,
kecocokan
atau
relevansi
kepada
kebutuhan
masyarakat,
78
serta
kemampuan
dukungan
manajemen
dan
keuangan.
Dengan
mengacu
kepada
berbagai
faktor
tersebut,
dalam
pasal
59
UU
Dikti
bentuk-‐bentuk
perguruan
tinggi
diatur
sebagai
universitas,
institut,
sekolah
tinggi,
politeknik,
akademi,
dan
akademi
komunitas.
Disebut
universitas
jika
suatu
perguruan
tinggi
menyelenggarakan
pendidikan
akademik
dan
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
vokasi
dalam
berbagai
rumpun
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
dan
jika
memenuhi
syarat,
universitas
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
profesi.
Institut
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan
akademik
dan
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
vokasi
dalam
sejumlah
rumpun
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
tertentu
dan
jika
memenuhi
syarat,
institut
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
profesi.
Sekolah
Tinggi
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan
akademik
dan
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
vokasi
dalam
satu
rumpun
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
tertentu
dan
jika
memenuhi
syarat,
sekolah
tinggi
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
profesi.
Politeknik
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan
vokasi
dalam
berbagai
rumpun
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
dan
jika
memenuhi
syarat,
politeknik
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
profesi.
Akademi
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan
vokasi
dalam
satu
atau
beberapa
cabang
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
tertentu.
Akademi
Komunitas
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan
vokasi
setingkat
diploma
satu
dan/atau
diploma
dua
dalam
satu
atau
beberapa
cabang
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
tertentu
yang
berbasis
keunggulan
lokal
atau
untuk
memenuhi
kebutuhan
khusus.
79
Dengan
mengacu
kepada
penyelenggara
dan
kekhasan
pengelolaan
kita
mengenal
ada
perguruan
tinggi
yang
diselenggarakan
Pemerintah
dan
perguruan
tinggi
yang
diselenggarakan
oleh
masyarakat.
Sesuai
dengan
pengaturan
dalam
UU
Dikti
ini,
kekhasan
maupun
cara
pengelolaan
akan
dibahas
pada
bagian
selanjutnya.
ii. PTN
(Perguruan
Tinggi
Negeri)
Sesuai
dengan
undang-‐undang
dasar,
salah
satu
tanggung
jawab
negara
adalah
mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Cara
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah
ialah
melaksanakan
pendidikan
formal
termasuk
pendidikan
tinggi.
Jika
Pemerintah
secara
langsung
menyelenggarakan
pendidikan
tinggi
melalui
perguruan
tinggi,
maka
perguruan
tinggi
yang
langsung
diselenggarakan
oleh
Pemerintah
disebut
Perguruan
Tinggi
Negeri
(PTN)
(pasal
60
UU
Dikti).
PTN
secara
administratif
dikelola
Pemerintah
secara
utuh,
dengan
demikian
statuta
PTN
ditetapkan
dengan
Peraturan
Menteri
(pasal
66
UU
Dikti).
Sebagai
jati
diri
perguruan
tinggi
,
meskipun
PTN
secara
utuh
merupakan
bagian
dari
pemerintah,
namun
ada
pengelolaan
yang
dilakukan
secara
otonom.
Secara
umum
rambu-‐rambu
untuk
pengelolaan
perguruan
tinggi
secara
otonom
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah
(pasal
68
UU
Dikti).
Pelaksanaan
PTN
tidak
dapat
diberikan
kepada
sumberdaya
manusia
(SDM)
tanpa
kualifikasi
yang
memadai.
Kualifikasi
SDM
yang
akan
mengelola
perguruan
tinggi
perlu
diatur
agar
mampu
melaksanakan
kegiatan
Tridharma
secara
utuh,
bahkan
kegiatan-‐kegiatan
yang
mendukung
untuk
pelaksanaan
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
SDM
tersebut
adalah
dosen
dan
tenaga
kependidikan
yang
pengangkatannya
dilakukan
oleh
penyelenggaranya.
Dengan
demikian
kapasitas
sumberdaya
insani
harus
menjadi
80
persyaratan
terutama
dan
terbuka
untuk
setiap
orang
(pasal
69
UU
Dikti).
Pada
dasarnya
dosen
yang
bekerja
di
perguruan
tinggi
sesuai
dengan
kaitan
pada
saat
diangkat
memiliki
status
kepegawaian
yang
mengacu
pada
kedudukan
masing
perguruan
tinggi.
Dosen
pada
PTN
dapat
diangkat
sebagai
PNS
maupun
dosen
dengan
perjanjian
kerja
(pasal
70
UU
Dikti).
Jika
seseorang
telah
diangkat
sebagai
dosen
maupun
tenaga
kependidikan
pada
perguruan
tinggi,
maka
perguruan
tinggi
tersebut
memiliki
kewajiban
untuk
memenuhi
hak-‐hak
pendapatan
pendapatan
keuangannya.
iii. PTN-‐BLU
(Perguruan
Tinggi
Negeri
–
Badan
Layanan
Umum)
PTN
diwajibkan
melaporkan
semua
capaian
kinerjanya
kepada
Pemerintah
(Menteri).
Pengelolaan
keuangan
merupakan
bagian
yang
sangat
vital
dalam
semua
organisasi
termasuk
pengelolaan
PTN.
Jika
perguruan
tinggi
menunjukkan
kinerja
yang
baik
dalam
bidang
akademik
maupun
nonakademik,
seperti
kelulusan
yang
lebih
tinggi
dan
bermutu
dalam
pengelolaan
keuangannya
dapat
diberikan
dalam
bentuk
pengelolaan
keuangan
yang
lebih
leluasa,
yaitu
dengan
diterapkannya
sebagai
Pola
Pengelolaan
Keuangan
Badan
Layanan
Umum
(BLU)
(pasal
65
UU
Dikti).
Meskipun
PTN-‐BLU
memiliki
keluwesan
yang
lebih
dalam
pengelolaan
keuangan
akan
terkait
dengan
ketenagaan
dan
aset.
Meskipun
demikian
PTN-‐BLU
pada
dasarnya
tetap
di
dalam
organ
pemerintah
secara
penuh.
Dengan
demikian,
instrumen
pengelolaannya
yaitu
statuta
ditetapkan
oleh
Menteri
(pasal
66
UU
Dikti).
PTN-‐BLU
dalam
melakukan
pengangkatan
maupun
penempatan
dosennya
mengacu
kepada
ketentuan
sebagaimana
PTN,
yaitu
sebagai
dosen
PNS
maupun
dosen
dengan
perjanjian
kerja
(pasal
70
UU
Dikti).
Dengan
81
demikian
hak-‐hak
keuangannya
juga
wajib
dipenuhi
oleh
perguruan
tinggi
tersebut.
Sesuai
ketentuan
BLU,
dosen
maupun
tenaga
kependidikan
dengan
perjanjian
kerja
dapat
merupakan
pegawai
dalam
sistem
BLU.
iv. PTN-‐bh
(Perguruan
Tinggi
Negeri
–
badan
hukum)
Jika
PTN-‐BLU
ternyata
secara
operasional
menghasilkan
keluaran
Tridharma
Perguruan
Tinggi
yang
lebih
tinggi
lagi
mutunya,
maka
dimungkinkan
Pemerintah
mengubah
tatakelola
perguruan
tinggi
tersebut
menjadi
PTN
badan
hukum
(PTN-‐bh)
(pasal
65
UU
Dikti).
PTN-‐bh
sifatnya
mirip
sebagai
badan
hukum
sehingga
memiliki
kekayaan
awal
yang
dipisahkan
dari
negara
kecuali
tanah,
sedangkan
tatakelola
maupun
pengambilan
keputusannya
dilakukan
secara
mandiri.
Artinya
penetapan
norma
maupun
aturan
operasionalnya
ditetapkan
secara
mandiri
sesuai
layaknya
badan
hukum.
Dengan
demikian
di
PTN-‐bh
harus
ada
unit
yang
melaksanakan
fungsi
akuntabilitas
dan
transparansi.
Dalam
hal
ini
transparansi
diartikan
sebagai
transparansi
kepada
semua
pemangku
kepentingan,
yaitu
Pemerintah
maupun
masyarakat.
Sebagai
badan
hukum
perguruan
tinggi
ini
dimungkinkan
mengangkat
dosen
maupun
tenaga
kependidikan
secara
mandiri
dengan
konsekuensi
mampu
melakukan
pembayaran
sesuai
dengan
pendanaan
yang
sudah
terkelola
secara
mandiri.
Kebutuhan
ketenagaan
yang
dilakukan
secara
mandiri
tentu
akan
sangat
terkait
dengan
kegiatan
yang
dilakukannya
yang
juga
terkait
dengan
membuka
dan
menutup
program
studi.
Pada
dasarnya
keterkaitan
antara
PTN-‐bh
dengan
pucuk
Pimpinan
negara
adalah
secara
langsung,
namun
karena
sistem
kenegaraan
kita,
maka
secara
keseharian
berkoordinasi
dengan
kementerian
yang
terkait
dengan
82
pendidikan
(tinggi).
Dengan
demikian
Statuta
PTN-‐bh
ditetapkan
dengan
Peraturan
Pemerintah
(pasal
66
UU
Dikti).
Sebagai
PTN-‐bh
pengelolaannya
menjadi
tidak
sederhana.
Disatu
sisi
mereka
harus
mampu
melakukan
penggalian
dana
masyarakat
dan
dikelola
secara
akuntabel,
disamping
itu
mereka
juga
wajib
mengelola
dana
yang
diberikan
oleh
pemerintah
dengan
misi
tertentu
secara
akuntabel.
Akuntabilitasnya
tidak
hanya
sekedar
terkait
dengan
keuangan,
namun
juga
akuntabilitas
secara
akademik
dimana
hasilnya
merupakan
kinerja
dari
organisasi
PTN-‐bh
secara
utuh
dalam
pelaksanaan
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
Ketentuan
pengelolaan
Perguruan
Tinggi
selanjutnya
karena
langsung
dikoordinasi
Pemerintah,
maka
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah
(pasal
67
UU
Dikti).
Pelaksanaan
otonomi
memerlukan
rambu-‐rambu
tersendiri
yang
selanjutnya
diatur
dalam
pasal
68
UU
Dikti,
melalui
peraturan
pemerintah.
Dosen
maupun
tenaga
kependidikan
pada
PTN-‐bh
dapat
merupakan
dosen
PNS
yang
ditempatkan
pada
PTN-‐bh
atau
dosen
PTN-‐bh
yang
diinginkan
dan
ditempatkan
sesuai
dengan
perjanjian
kerja
yang
dibuat
oleh
masing-‐masing
perguruan
tinggi
(pasal
70
UU
Dikti).
Pendapatan
dosen
maupun
tenaga
kependidikan
pada
PTN-‐bh
diatur
secara
mandiri
oleh
masing-‐masing
PTN-‐bh.
v. PTS
(Perguruan
Tinggi
Swasta)
Sebagai
negara
yang
besar
dari
sisi
wilayah
maupun
jumlah
penduduk,
peran
masyarakat
dalam
pendidikan
tinggi
sangat
dibutuhkan.
Masyarakat
dengan
demikian
dapat
turut
berperan
dalam
menyelenggarakan
pendidikan
tinggi
melalui
Perguruan
Tinggi
Swasta
(PTS).
Agar
penyelenggaraan
perguruan
tinggi
memenuhi
azas
akuntabilitas
dan
nirlaba,
penyelenggaraan
perguruan
tinggi
dilaksanakan
oleh
badan
83
penyelenggara
sebagai
badan
hukum
yang
pada
umumnya
berbentuk
yayasan,
perkumpulan,
atau
bentuk
lain
yang
sifatnya
badan
hukum
nirlaba
(pasal
60
UU
Dikti).
Peran
badan
penyelenggara
dalam
pelasanaan
PTS
sebagai
sutradara.
Dalam
hal
ini
tetap
rambu-‐rambu
atau
kerangka
kebijakan
pendidikan
tinggi
yang
ditetapkan
negara
secara
umum
tetap
berlaku,
sedangkan
selebihnya
ditetapkan
oleh
Badan
Penyelenggara.
PTS
memiliki
tatacara
mengatur
organisasi
internalnya
sendiri
yang
merujuk
kepada
norma
yang
diatur
oleh
badan
penyelenggara.
Agar
terjadi
keserasian
antara
norma
dan
pelaksanaan
di
lapangan,
maka
Statuta
PTS
ditetapkan
oleh
Badan
Penyelenggara
(pasal
66
UU
Dikti).
Ketentuann-‐ketentuan
ini
melandasi
pelaksanaan
otonomi
akademik
maupun
nonakademik
untuk
penyelenggaraan
PTS
(pasal
67
UU
Dikti).
Dosen
pada
PTS
pada
dasarnya
sebagai
pegawai
badan
hukum
yang
terpisah
dari
pemerintah
diangkat
dan
ditempatkan
oleh
masing-‐masing
PTS
sebagai
pegawai
tetap
atau
pegawai
dengan
perjanjian
kerja.
Namun
jika
pengangkatan
sebagai
pegawai
tetap
kemudian
dikaitkan
dengan
sertifikasi
dosen
yang
kemudian
akan
mendapat
tunjangan
profesi
dari
Pemerintah,
maka
dilakukan
dengan
persetujuan
Pemerintah.
Cara
yang
dilakukan
dengan
memberikan
nomor
identitas
dosen
setelah
melalui
kualifikasi
tertentu.
Dosen
PNS
pada
dasarnya
dapat
ditempatkan
pada
PTS.
Ketentuan
mengenai
pengangkatan
dan
penempatan
dosen
pada
PTS
diatur
dalam
pasal
69,70
dan
71
UU
Dikti).
vi. PTN-‐KEMENTERIAN/LEMBAGA
LAIN
Sesuai
dengan
kebutuhan
masing-‐masing
Kementerian
/Lembaga,
mereka
telah
mendirikan
atau
perlu
mendirikan
84
perguruan
tinggi
sesuai
dengan
tugas
pokok
dan
fungsinya.
Sesuai
dengan
butuhan
institusinya,
keilmuan
yang
diperlukannya
biasanya
berupa
ilmu
terapan
atau
vokasi.
Jika
yang
dihasilkan
dari
lulusan
pendidikan
tinggi
vokasi
dalam
jenjang
D1,
D2,
D3,
D4,
Magister
Terapan
dan
Doktor
Terapan
dipastikan
akan
sesuai
dengan
kebutuhannya.
Semuanya
pada
dasarnya
untuk
memenuhi
kebutuhan
internal.
Bentuk
perguruan
tinggi
yang
paling
sesuai
dengan
keadaan
ini
ialah
Politeknik.
Selanjutnya
Pemerintah
mengaturnya
melalui
Peraturan
Pemerintah
(pasal
94
UU
Dikti).
vii. PTA
(Perguruan
Tinggi
Asing)
Kita
telah
masuk
pada
era
global,
sehingga
tidak
mungkin
kita
menghalangi
perguruan
tinggi
asing
(PTA)
untuk
masuk
ke
negara
kita.
Hal
ini
harus
dimungkinkan,
namun
manfaatnya
harus
diperhatikan.
Artinya
perguruan
tinggi
yang
beraktivitas
di
Indonesia
sewajarnya
bermutu
baik,
sehingga
harus
telah
memiliki
pengakuan
atau
terakreditasi
di
negaranya.
Agar
terjadi
perbaikan
kualitas
dari
sisi
perguruan
tinggi
kita
tanpa
menyebabkan
persaingan
yang
tidak
sehat
kepada
perguruan
tinggi
kita,
maka
kta
perlu
menetapkan
lokasi,
jenis
maupun
program
studi
yang
sesuai
diselenggarakan
oleh
mereka
di
negara
kita.
Semua
perguruan
tinggi
di
negara
kita
harus
dapat
dikendalikan
oleh
negara.
Dengan
demikian
jika
akan
diselenggarakan
harus
memperoleh
ijin
dari
Pemerintah,
tetap
memegang
prinsip
nirlaba,
bekerjasama
dengan
perguruan
tinggi
Indonesia
atas
ijin
Pemerintah
dan
untuk
dosen
dan
tenaga
kependidikannya
harus
mengutamakan
warga
negara
Indonesia.
Sesuai
dengan
misi
umum
pendidikan
tinggi
kita,
mereka
harus
mendukung
kepentingan
nasional.
Selanjutnya
Pemerintah
melalui
Peraturan
Menteri
mengatur
ketentuan
lebih
lanjut
(pasal
90
UU
Dikti).
85
viii. Akuntabilitas
Lembaga
Perguruan
Tinggi
yang
baik
akan
menunjukkan
akuntabilitas
yang
baik
pula.
Akuntabilitas
diwujudkan
sebagai
kesesuaian
(compliance)
antara
aturan
dan
pelaksanaannya
yang
diwujudkan
dalam
laporan
kegiatan
atau
pertanggungjawaban
yang
dilakukan
secara
periodik.
Akuntabilitas
untuk
perguruan
tinggi
diwujudkan
dalam
dua
hal,
yaitu
akuntabilitas
di
bidang
akademik
dan
nonakademik.
Akuntabilitas
akademik
termasuk
legalitas
perguruan
tinggi,
pemenuhan
standar
pendidikan,
penelitian
maupun
pengabdian
masyarakat.
Sebagai
contoh
Perguruan
Tinggi
yang
baik
telah
menerapkan
sistem
akuntabilitas,
transparansi,
nirlaba,
penjaminan
mutu,
serta
pengelolaan
yang
efektif
dan
efisien
(pasal
63
UU
Dikti)
secara
praktis
antara
antara
lain
akan
memiliki
ijin
sesuai
aturan,
terakreditasi,
dijalankan
sesuai
statuta
(pasal
60
dan
61
UU
Dikti),
melaksanakan
evaluasi
terhadap
otonomi
yang
dilaksanakannya
(pasal
62
UU
Dikti)
termasuk
memenuhi
jumlah
dosen,
memiliki
infrastruktur
yang
memadai
dan
menerima
mahasiswa
sesuai
ketentuan,
dst.
Di
samping
itu
juga
melaksanakan
penelitian
yang
menghasilkan
karya
seperti
publikasi
ilmiah
nasional
maupun
internasional.
Hal
yang
serupa
juga
untuk
pelaksanaan
dharma
ketiga
yaitu
pengabdian
kepada
masyarakat.
Laporan
nonakademik
akan
mencakup
laporan
yang
akuntabel
yang
dapat
dievaluasi
anatara
lain
mencup
keuangan,
aset,
dst.
Pertanggungjawaban
yang
nantinya
dievaluasi
ini
harus
memenuhi
ketentuan
yang
berlaku.
Sebagai
contoh,
harus
memenuhi
perundangan
tentang
keuangan
negara
untuk
PTN,
perundangan
tentang
pertanggungjawaban
keuangan
untuk
PTN-‐bh
maupun
perundangan
tentang
pertanggungjawaban
lembaga
privat
untuk
PTS.
Perguruan
86
Tinggi
yang
baik
sewajarnya
memiliki
akuntabilitas
yang
baik
seiring
dengan
peningkatan
mutunya.
Pengaturan
tentang
akuntabilitas
ini
harus
sesuai
dengan
pasal
78
UU
Dikti.
Sebagai
lembaga
yang
menjalankan
tugas
Tridharma
Perguruan
Tinggi,
dimungkinkan
terjadi
pelanggaran-‐
pelanggaran.
Pelanggaran
yang
sifatnya
administratif
dikenai
sanksi
yang
sifatnya
administrasi
pula.
Sanksi
tersebut
berupa
peringatan
tertulis,
penghentian
bantuan
biaya
dari
Pemerintah,
penghentian
penyelenggaraan
kegiatan
pendidikan,
penghentian
pembinaan
hingga
pencabutan
ijin
(pasal
92
UU
Dikti).
Namun
demikian
ada
pelanggaran
yang
dikategorikan
tindakan
pidana,
karena
terkait
dengan
pemalsuan,
dengan
demikian
sanksinya
berupa
sanksi
pidana
(pasal
93
UU
Dikti).
ix. Pengelolaan
masa
transisi
Sebelum
UU
Dikti
ini
dilaksanakan,
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
telah
dijalankan,
sehingga
diperlukan
aturan
aturan
yang
mengatur
peralihannya.
Contoh
peralihannya
ialah
tentang
akreditasi,
yaitu
pengalihan
akreditasi
program
studi
dari
Badan
Akreditasi
Nasional
Perguruan
Tinggi
(BANPT)
kepada
Lembaga
Akreditasi
Mandiri
(LAM).
Jika
LAM
belum
terbentuk,
maka
tugas-‐tugas
dari
LAM
masih
dilakukan
oleh
BANPT
(pasal
95
UU
Dikti).
Mutu
perguruan
tinggi
harus
mendapat
perhatian
secara
khusus
dan
terus
ditingkatkan,
sehingga
UU
Dikti
juga
memerintahkan
agar
Lembaga
Layanan
Pendidikan
Tinggi
telah
dibentuk
selambat-‐lambatnya
dalam
waktu
dua
tahun
sesudah
Undang-‐undang
ini
diterbitkan
(pasal
96
UU
Dikti).
Pengaturan
tentang
institusi
perguruan
tinggi,
program
Studi,
penyesuaian,
dan
perubahan
Perguruan
Tinggi
Badan
Hukum
Milik
Negara
(PT-‐BHMN)
maupun
PT-‐BHMN
yang
telah
berubah
menjadi
PTN
dengan
pengelolaan
keuangan
87
BLU
menjadi
PTN-‐bh
dilakukan
paling
lambat
2
tahun
sejak
UU
Dikti
ini
diterbitkan.
Agar
terjadi
kesinambungan
tentang
pengelolaan
perguruan
tinggi,
maka
ijin
yang
berupa
ijin
instutusi
maupun
Program
Studi
yang
telah
diterbitkan
namun
masih
berlaku
dinyatakan
tetap
berlaku,
dan
penyesuaian
terhadap
Undang-‐undang
ini
dilakukan
dalam
waktu
dua
tahun
sesudah
diundangkannya.
Di
aspek
keuangan,
pengelolaan
keuangan
baru
berubah
sesuai
dengan
pengaturan
pada
peraturan
pelaksanaan
dari
pasal
98
UU
Dikti.
Aturan-‐aturan
pelaksanaannya
harus
diselesaikan
dalam
waktu
2
tahun,
sedangkan
untuk
bentuk
dan
mekanisme
pendanaan
PTN-‐bh
harus
ditetapkan
dalam
waktu
satu
tahun.
88
IV. WAJAH
PERGURUAN
TINGGI
KITA
TAHUN
2013
Undang-‐undang
tentang
Pendidikan
Tinggi
ini
diterbitkan
pada
tahun
2012,
namun
pemikiran
tentang
makna
dari
Undang-‐undang
ini
telah
mulai
diterapkan
pada
pengelolaan
sebelum
Undang-‐undang
ini
diterbitkan
meskipun
mengacu
kepada
perundangan
yang
lama.
Dengan
demikian
terjadi
percepatan
perubahan
wajah
perguruan
tinggi
kita
hingga
tahun
2013.
Seiring
dengan
diundangkannya
Undang-‐undang
12
tahun
2012
tentang
Pendidikan
Tinggi,
data
yang
digunakan
adalah
data
yang
tercantum
dalam
Pangkalan
Data
Pendidikan
Tinggi
yang
istilahnya
dikenal
sebagai
PDPT
yang
seharusnya
PD
Dikti
(catatan:
Pendidikan
Dikti
disingkat
Dikti,
sedangkan
Perguruan
Tinggi
disingkat
PT).
Jika
mengacu
kepada
data
tersebut
beberapa
perguruan
tinggi
menjadi
tidak
tercantum.
Beberapa
hal
yang
menyebabkan
belum
atau
tidak
tercantum
adalah
telah
tidak
beroperasi
lagi,
tidak
memasukkan
data
atau
tidak
memenuhi
persyaratan
lagi.
PD
Dikti
dapat
digunakan
masyarakat
untuk
melihat
apakah
suatu
Peruruan
Tinggi
memenuhi
perundangan
atau
kriteria
yang
berlaku
di
negara
kita
atau
tidak,
sehingga
ijazah
yang
dikeluarkannya
memenuhi
keabsyahan.
a. Bentuk,
jumlah
Perguruan
Tinggi
dan
Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
Pendidikan
Tinggi
Data
pada
PTS
menunjukkan
bahwa
kenaikan
jumlah
PTS
relatif
tidak
mencolok.
Meskipun
seolah-‐olah
terjadi
banyak
pembukaan
program
studi
baru,
namun
ternyata
banyak
terjadi
penggabungan
beberapa
sekolah
tinggi
maupun
akademi
menjadi
universitas.
Sejalan
dengan
pemikiran
yang
tercantumdalam
Undang-‐undang
Pendidikan
Tinggi
yaitu
penguatan
pendidikan
vokasi,
penguatan
pusat-‐pusa
perekonomian
di
berbagai
daerah
dan
penguatan
hubungan
antara
pusat
pengembangan
perekonomian
dengan
masyarakat
di
sekitarnya,
maka
telah
di
bentuk
beberapa
cikal
bakal
maupun
akademi
komunitas
yang
89
mandiri.
Jumlah
berbagai
Perguruan
Tinggi
kita
hingga
kwartal
pertama
tahun
2014
sebagaimana
terlihat
pada
Tabel
IV.1.
Perlu
disampaikan
bahwa
dalam
strategi
pengembangan
PTN
(universitas,
institut
maupun
politeknik)
dapat
dilakukan
dengan
empat
cara,
yaitu:
1. Menegerikan
PTS,
yaitu
PTS
yang
telah
ada
dibuat
menjadi
negeri
melelui
penyerahan
selurut
aset
dan
sumberdaya
lain
yang
dimilikinya
kepeda
pemerintah
(kementerian
yang
mengelola
pendidikan
tinggi),
kemudian
dijadikan
satuan
kerja
pemerintah,
contoh
Universitas
Samudera,
Universitas
Maritim
Raja
Ali
Haji,
Universitas
Siliwangi,
Universitas
Tidar
Magelang,
Universitas,
Universitas
Sulawesi
Barat,
Universitas
Musamus,
dst.
Selain
itu,
untuk
Politeknik
ada
Politeknik
Negeri
Bangka
Belitung,
Politeknik
Negeri
Sambas,
Politeknik
Nusa
Utara,
dst.
Cara
ini
sudah
sejak
dahulu
dilakukan
contoh
yang
sekarang
telah
menjadi
PTN
besar
ialah
Universitas
Padjajaran
yang
semula
Universitas
Merdeka,
dan
Institut
Sepuluh
November
Surabaya
(ITS).
2. Mendirikan
PTN
baru
dengan
cara
langsung
mendirikan
PTN
baru
sebagai
satuan
kerja
pemerintah
misalnya
Polteknik
Negeri
Fakfak.
3. Mendirikan
PTN
baru
melalui
pengampuan
dengan
cara
melakukan
embrio
dengan
program
di
luar
domisili
(PDD),
contoh
Institut
Teknologi
Sumatra
dengan
ITB,
Institut
Teknologi
Kalimantan
dengan
ITS,
Institut
Seni
dan
Budaya
Aceh
dengan
ISI
Padang
Panjang,
Institut
Seni
dan
Budaya
Papua
dengan
ISI
Denpasar,
Akademi
Komunitas
Negeri
Yogyakarta
dengan
ISI
Yogyakarta
dst.
4. Membagi
PTN
yang
telah
ada
menjadi
dua
PTN.
Sebagai
contoh
pembentukan
ITB
dan
IPB,
dan
banyak
Politeknik
Seperti
Politeknik
Negeri
Bandung
(dari
ITB)
Politeknik
Manufaktur
(dari
ITB),
Politeknik
Negeri
Jakarta
(dari
UI),
Polteknik
Elektronika
Surabaya
(dari
ITS),
dst.
Pada
saat
mulai
90
didiskusikan
Universitas
Hasanudin
yang
memiliki
Fakultas
Teknik
di
Gowa
dibuat
menjadi
satker
tersendiri
sebagai
Institut
Teknologi.
Ini
penting
mengingat
di
Pulau
Sulawesi
kta
belum
memiliki
institut
teknologi.
Tabel
IV.1
Bentuk
dan
Jumlah
Perguruan
Tinggi
dan
APK
Dikti
Tahun
Bentuk
dan
Jumlah
PTS/PTN
2011
2012
2013
04-‐2014
APK
27.10%
28.57%
29.87%
Jumlah
PTS
3,097
3,078
3,120
3,078
-‐
Universitas
468
426
433
437
-‐
Institut
53
50
52
53
-‐
Sekolah
Tinggi
1,382
1,365
1,395
1,378
-‐
Akademi
1,030
1,094
1,102
1,074
-‐
Politeknik
164
143
138
136
Jumlah
PTN
88
92
99
99
-‐
Universitas
51
52
53
53
-‐
Institut
6
7
7
7
-‐
Sekolah
Tinggi
2
1
1
1
-‐
Akademi
-‐
-‐
-‐
-‐
-‐
Politeknik
29
32
38
38
-‐
Akademi
Komunitas
b. Dosen
Jumlah
dosen
tetap
kita
hingga
tahun
2013
lebih
dari
175
ribu,
mereka
memiliki
induk
pangkalan
di
PTN
maupun
di
PTS
(dibawah
koordinasi
Kopertis).
Di
PTN
jumlahnya
mendekati
64
ribu
pada
tahun
2013
dan
lebih
dari
110
ribu
di
PTS.
Meskipun
di
PTS
ada
sekitar
hampir
9
ribu
adalah
dosen
dengan
status
PNS
yang
memiliki
induk
pangkalan
di
PTS.
Jumlah
dosen
tetap
dari
tahun
2011
ke
2013
meningkat
3,96%.
Peingkatan
jumlah
dosen
ini
jauh
lebih
lambat
jika
dibandingkan
dengan
peningkatan
jumlah
mahasiswa
yang
meningkat
hingga
23%.
Dengan
demikian
kebijakan
khusus
untuk
meningkatkan
jumlah
dosen
harus
dilakukan.
Kebijakan
khusus
yang
telah
mulai
dilakukan
ialah
dengan
peningkatan
jumlah
dosen
tetap
dengan
status
non
PNS
di
PTN.
91
Cara
ini
selaras
dengan
Undang-‐undang
tantang
Aparat
Sipil
Negara
untuk
PTN.
Sedangkan
untuk
PTS
dengan
meningkatkan
jumlah
dosen
tetap.
Idealnya
semua
dosen
bergelar
doktor
atau
sederajat.
Pada
tahun
2013
jumlah
dosen
yang
berpendidikan
doktor
telah
meningkat
menjadi
13,34%.
Sesuai
dengan
Undang-‐undang
guru
dan
dosen,
maka
ada
sisa
pekerjaan
rumah
yang
harus
segera
diselesaikan,
yaitu
julah
dosen
tetap
yang
jumlahnya
masih
21.11%.
Menurut
Undang-‐undang
Guru
dan
dosen
mereka
tidak
boleh
mengajar
sejak
bulan
Agustus
tahun
2014.
Mereka
hanya
dapat
dimanfaatkan
sebagai
asisten
yang
sifatnya
betul-‐betul
hanya
membantu
tidak
dalam
jabatan
akademik.
Semua
dosen
pada
dasarnya
harus
berpendidikan
doktot
sehingga
berbagai
upaya
harus
dilakukan
untuk
meningkatkan
pendidikan
mereka
yang
belum
doktor.
Selanjutnya,
semua
dosen
pada
dasarnya
harus
profesional,
sehingga
yang
telah
lulus
program
sertifikasi
dosen
akan
memperoleh
sertifikat
dan
memperoleh
tujangan
profesi.
Disamping
untuk
kesejahteraannya
juga
untuk
menjamin
kualitas
pembelajaran
bagi
para
mahasiswa
yanga
diampunya.
92
Tabel
IV.2.
Jumlah
dosen
Perguruan
Tinggi
2013-‐2014
2011
2012
2013
Jumlah
Dosen
Tetap
168,341
174,875
175,021
-‐
PTN
-‐
PNS
61,077
63,256
63,817
-‐
PTS
-‐
PNS
8,191
8,702
8,765
-‐
NON
PNS
99,073
102,917
102,439
Persentase
Dosen
S3
11.60%
13.26%
13.34%
-‐
PTN
16.02%
18.25%
18.37%
-‐
PNS
16.02%
18.25%
18.37%
-‐
PTS
7.17%
8.27%
8.31%
-‐
PNS
10.23%
11.71%
11.72%
-‐
NON
PNS
4.12%
4.84%
4.90%
Persentase
Dosen
S2
57.62%
64.02%
65.55%
-‐
PTN
62.35%
68.91%
69.67%
-‐
PNS
62.35%
68.91%
69.67%
-‐
PTS
52.89%
59.14%
61.44%
-‐
PNS
67.57%
71.57%
72.04%
-‐
NON
PNS
38.21%
46.71%
50.84%
Persentase
Dosen
belum
S2
30.79%
22.72%
21.11%
-‐
PTN
21.64%
12.85%
11.97%
-‐
PNS
21.64%
12.85%
11.97%
-‐
PTS
39.93%
32.59%
30.25%
-‐
PNS
22.20%
16.72%
16.25%
-‐
NON
PNS
57.67%
48.46%
44.26%
Jumlah
Dosen
Tersertifikasi
18,432
13,963
6,374
-‐
PTN
11,684
8,774
3,103
-‐
PTS
6,748
5,189
3,271
-‐
Persentase
PTN
19.13%
13.87%
4.86%
-‐
Persentase
PTS
6.29%
4.65%
2.94%
Jumlah
Guru
Besar
4,786
4,969
Beasiswa
Dosen
Dalam
Negeri
5,549
3,554
3,226
-‐
S2
3,107
2,034
1,446
-‐
S3
2,442
1,520
1,780
Beasiswa
Dosen
Luar
Negeri
882
685
540
-‐
S2
367
226
202
-‐
S3
515
459
338
93
c. Mahasiswa
Hingga
tahun
2013
APK
Perguruan
Tinggi
kita
telah
mendekati
angka
30%
(Tabel
IV.2).
Perubahan
bermakna
terjadi
pada
kurun
waktu
2010
hingga
2014,
yaitu
dari
22,8%
menjadi
29,87%.
Perubahan
ini
tentu
akan
mengubah
kebijakan
dalam
pelaksanaan
pendidikan
tinggi
di
Indonesia.
Semula
yang
didahulukan
adalah
akses
dimana
diusahakan
agar
sebanyak
mungkin
anak-‐anak
kita
dapat
masuk
keperguruan
tinggi,
namun
sekarang
sudah
harus
mulai
berubah
cara
berfikirnya,
yaitu
semula
yang
dikedepankan
akses
menjadi
mutu
atau
kualitas
dan
relevansi
menjadi
kebijakan
yang
pertama.
Jika
dilihat
dari
gender
sudah
terjadi
perimbangan,
bahkan
di
PTN
jumlah
perempuan
melampaui
jumlah
laki-‐laki
(Tabel
IV.2).
Ynag
menarik
justru
di
PTS
jumlah
laki-‐laki
masih
lebih
banyak.
Kemungkinan
hal
ini
terjadi
karena
karakteristik
program
studi
yang
dikelola
oleh
perguruan
tinggi
–
perguruan
tinggi
tersebut.
Jumlah
penerima
beasiswa
juga
sudah
cenderung
stabil.
Jika
diambil
patokan
angka
20%
dari
populasi
mahasiswa,
maka
jumlah
beasisiwa
sudah
di
atas
angka
tersebut.
Namun
jika
diperhatikan
dengan
seksama
jumlah
penerima
beasiswa
bidik
misi
meningkat
terus
hingga
untuk
tahun
2013
mencapai
angka
58.900
artinya
jika
diasumsikan
jumalah
mahasiswa
PTN
pada
angkatan
tersebut
berjumlah
400.000,
maka
sudah
mendekati
15%
dari
populasi
mahasiswa
yang
diterima
pada
tahun
2013
merupakan
penerima
bidik
misi.
Kewajiben
sesuai
dengan
undang-‐
undang
ialah
20%,
artinya
bisa
dipenuhi
dari
beasiswa
Program
Prestasi
Akademik
(PPA)
dan
Bantuan
Beasiswa
Miskin
(BBM).
94
Tabel
IV.2
Profil
Mahasiswa
Perguruan
Tinggi
Indonesia
hingga
tahun
2013
Mahasiswa
2011
2012
2013
Jumlah
4.787.785
5.616.670
5.822.143
APK
DIKTI
27.01%
28.60%
29.87%
-‐
PTN
1.812.637
1.816.391
1.812.427
-‐
laki-‐laki
841.882
852.820
781.271
-‐
Perempuan
970.755
963.571
1.031.156
-‐
PTS
2.975.148
3.800.279
4.009.716
-‐
laki-‐laki
1.521.300
1.936.137
2.019.028
-‐
Perempuan
1.453.848
1.864.142
1.990.688
Beasiswa
247.818
390.313
238.900
-‐
PPA
94.437
257.339
-‐
BBM
125.563
92.760
180.000
-‐
Bidik
Misi
27.818
40.214
58.900
-‐
Afirmasi
Papua
-‐
499
431
d. Daya
saing
perguruan
tinggi
Indonesia
i. Dosen
berkualifikasi
doktor
Telah
dikemukakan
sebelumnya
bahwa
mutu
perguruan
tinggi
tidak
dapat
lepas
dari
mutu
dosen
yang
dimilikinya.
Mutu
perguruan
tinggi
akan
menentukan
daya
saing
yang
dimilikinya
baik
dalam
tataran
nasional
maupun
internasional.
Peningkatan
mutu
perguruan
tinggi
harus
dilakukan
dengan
meningkatkan
jumlah
dosen
yang
berkualifikasi
doktor.
Data
di
tabel
I.3
menunjukkan
bahwa
jumlah
doktor
yang
dimiliki
perguruan
tinggi
kita
masih
sangat
sedikit
di
tahun
2010,
yaitu
sekitar
11%
dari
seluruh
dosen
yang
ada
di
perguruan
tinggi
Indonesia.
Pada
tahun
2013,
data
yang
ada
menunjukkan
(Tabel
IV.2)
bahwa
13,34%
dari
dosen
yang
kita
miliki
telah
memiliki
kualifikasi
doktor.
Peningkatan
di
aspek
ini
harus
terus
dilakukan
secara
berkelanjutan
sebagai
bagian
dari
peningkatan
daya
saing
yang
harus
dimiliki
perguruan
tinggi
Indonesia.
ii. Universitas
Kelas
Dunia
(UKD
-‐
World
Class
University)
Beberapa
lembaga
melakukan
pemeringkatan
karya
ilmiah.
Hasilnya
berbeda
antara
yang
satu
dengan
lainnya.
95
Lembaga-‐lembaga
tersebut
yaitu
QS,
Webometrics
dan
4ICU.
Jika
kita
mengamati
apa
yang
tercantum
dalam
peringkat
tersebut,
maka
ada
empat
perguruan
tinggi
yang
selalu
tersebut,
yaitu
Universitas
Indonesia,
Institut
Teknologi
Bandung,
Universitas
Gadjah
Mada,
Institut
Pertanian
Bogor.
Tabel
IV.3
Peringkat
Perguruan
Tinggi
Indonesia
menurut
QS
2013
No
Peringkat
Perguruan
Tinggi
1
309
Universitas
Indonesia
2
461
Institut
Teknologi
Bandung
3
501
Universitas
Gadjah
Mada
4
701+
Universitas
Airlangga
5
701+
Institut
Pertanian
Bogor
6
701+
Universitas
Diponegoro
7
701+
Institut
Teknologi
Sepuluh
8
701+
Universitas
Brawijaya
Tabel
IV.4
Peringkat
Perguruan
Tinggi
versi
Webometrics
2013
No
Peringkat
Perguruan
Tinggi
1
600
Institut
Teknologi
Bandung
2
640
Universitas
Gadjah
Mada
3
653
Universitas
Indonesia
4
1084
Universitas
Pajajaran
5
1165
Universitas
Gunadarma
6
1254
Universitas
Brawijaya
7
1290
Institut
Pertanian
Bogor
8
1360
Universitas
Kristen
Petra
96
Tabel
IV.5
Tabel
Peringkat
Perguruan
Tinggi
versi
4ICU
2013
No
Peringkat
Perguruan
Tinggi
1
1
National
University
of
Singapore
2
2
Keio
University
3
3
Tsinghua
University
4
4
Peking
University
5
5
Shanghai
Jiao
Tong
University
6
6
Fudan
University
7
7
Seoul
University
8
8
Nanyang
Technological
University
9
9
Korea
Advance
Institute
of
Technology
10
10
Tokyo
University
11
27
Institut
Teknologi
Tenologi
Bandung
12
42
Universitas
Gadjah
Mada
13
92
Universitas
Indonesia
iii. Karya
ilmiah
Tolok
ukur
yang
termudah
untuk
mengukur
produktivitas
perguruan
tinggi
ialah
dengan
melihat
jumlah
karya
ilmiah
yang
dihasilkannya.
Karya
ilmiah
dalam
bentuk
publikasi
internasional
merupakan
gambaran
kehidupan
atmosfer
akademik
di
perguruan
tinggi.
Artinya
di
perguruan
tinggi
tersebut
para
warganya
khususnya
dosennya
pasti
melakukan
penelitian,
selanjutnya
pengajarann
yang
dilakukan
juga
berbasis
kepada
pengalaman
dalam
penelitian
atau
mempraktekan
keahliannya,
sehingga
inovasi
senantiasa
berjalan
berkelanjutan
dalam
budaya
akademik
terbarukan.
Karya
ilmiah
dan
produktivitas
beberapa
kampus
kita
dibandingkan
dengan
beberapa
kampus
terkenal
dapat
dilihat
pada
Tabel
IV.7,
di
mana
terlihat
bahwa
ITB,
UGM,
dan
97
UI
merupakan
unggulan
kita.
Namun
secara
internasional
kita
masih
perlu
terus
meningkatkan
kemampuan
kita.
Tabel
IV.7
Data
jumlah
publikasi
internasional
di
Scopus
per
Januari
2013
dan
produktivitas
dosen
Universitas/
Total
Januari
Perolehan
Perolehan
Jumlah
Rata-‐rata/
Institusi
2013
2012
2011
dosen
dosen/tahun
ITB
2554
338
492
1100
0,4
Sementara
itu
pada
skala
nasional,
jika
dilihat
secara
produktivitas
maka
terjadi
pergeseran
peringkat.
Dari
jumlah
karya
ilmiah
peringkat
kita
ialah
(Tabel
IV.8)
pertama
ITB
(3321),
kedua
UI
(2917),
ketiga
UGM
(1679)
dan
keempat
IPB
(1237),
namun
produktivitas
dalam
bentuk
rasio
per
98
dosen
berubah
menjadi
pertama
ITB
(2,90),
kedua
UI
(1,23),
ketiga
ITS
(0,9)
dan
keempat
UGM
(0,8).
Kampus-‐kampus
tersebut
perlu
kita
kelola
sebagai
pusat-‐pusat
daya
saing
kita,
sehingga
kualitasnya
harus
ditingkatkan
secara
berkelanjutan.
Tabel
IV.8
Data
jumlah
publikasi
internasional
di
Scopus
per
Februari
2014
Universitas/Institusi
Jumlah
Jumlah
Rata-‐rata
(total)/
publikasi
dosen/
Dosen
(peneliti)
peneliti
ITB
3321
1147
2,90
UI
2917
2379
1,23
UGM
1679
2120
0,80
IPB
1237
1885
0,67
LIPI
1031
1528
0,67
ITS
847
939
0,9
CiFor-‐Jawa
Barat
743
UNDIP
588
1707
0,34
UNPAD
555
1883
0,29
UNAIR
534
1571
0,34
99
Tabel
IV.9
Profil
Perguruan
Tinggi
Indonesia
2011-‐2013
2011
2012
2013
Jumlah
Publikasi
Ilmiah
22.897
25.425
27.247
-‐
Internasional
6.481
7.190
8.100
-‐
Nasional
16.290
18.100
19.000
-‐
HAKI
126
135
147
Peringkat
Perguruan
Tinggi
-‐
Webomatric
(3
terbaik)
-‐
UGM
583
331
640
-‐
ITB
444
323
600
-‐
UI
438
433
653
-‐
QS
World(3
terbaik)
-‐
UI
217
273
309
-‐
UGM
342
401+
501+
-‐
ITB
451+
451+
461+
-‐
Asian
Univ.
(3
terbaik)
-‐
UI
50
59
64
-‐
UGM
80
118
133
-‐
ITB
98
113
129
Jumlah
Keseluruhan
Program
Studi
16.532
17.206
17.503
-‐
PTN
4.569
4.872
4.963
-‐
PTS
11.963
12.334
12.540
Jumlah
Program
Studi
Terakreditasi
2.543
2.296
2.095
-‐
PTN
640
395
304
-‐
PTS
1.903
1.901
1.791
Akreditasi
Institusi
14
47
e. Status
tenaga
kerja
terhadap
lulusan
perguruan
tinggi
Dari
data
Pusdatinaker
untuk
Agustus
2013
(diakses
2014),
terlihat
ada
perubahan
komposisi
ketenagakerjaan
lulusan
perguruan
tinggi.
Jumlah
tenaga
kerja
yang
lulusan
perguruan
tinggi
dari
jenjang
perguruan
tinggi
naik
dari
kita-‐kira
7,3%
pada
tahun
2010
menjadi
10,9
%
pada
tahun
2013.
Kenaikan
jumlah
tenaga
kerja
ini
ternyata
selaras
dengan
peningkatan
perekonomian
kita
di
mana
GDP/kapita
kita
naik
dari
2.984
dollar
(US)
pada
tahun
2010
menjadi
3.468
dollar
(US)
pada
tahun
20135.
5
http://www.indonesia-‐investments.com/finance/macroeconomic-‐indicators/gross-‐domestic-‐
100
Meskipun
tidak
dipungkiri
bahwa
kenaikan
perekonomian
kita
itu
juga
dipengaruhi
oleh
kontribusi
tenaga
kerja
kita
dari
lulusan
SMA
atau
sederajat
dari
sekitar
22%
di
tahun
2010
menjadi
sekitar
32%
di
tahun
2013,
namun
kita
juga
menyadari
bahwa
kenaikan
jumlah
lulusan
perguruan
tinggi
akan
berpengaruh
penting
pada
peningkatan
perekonomian.
Jika
dikaitkan
dengan
jumlah
produktivitas
karya
ilmiah
internasional
kita,
maka
akan
terlihat
juga
korelasi
yang
positif.
Artinya
akan
ada
kaitan
erat
antara
jumlah
hasil
penelitian
dan
inovasi
yang
telah
terbukti
bayak
dilakukan
oleh
perguruan
tinggi
(Tabel
IV.9).
Dengan
demikian
usaha
untuk
terus
meningkatkan
jumlah
lulusan
perguruan
tinggi
maupun
hasil
riset
dan
inovasi
di
perguruan
tinggi
harus
ditingkatkan.
Tabel
IV.10
Persentase
Tenaga
Kerja
sesuai
Pendidikan
pada
Agustus
2013
(Diolah
dari
data
Pusdatinaker,
2014)
Pendidikan
Jumlah
Persentase
(%)
<
SD
52.020.936
47
SMP
20.457.287
18
SMA
27.829.872
25
D1-‐D3
2.924.520
3
>
S1
7.571.426
7
Tabel
IV.11
Persentase
Pengangguran
Terbuka
sesuai
Pendidikan
pada
Agustus
2013
(Diolah
dari
data
Pusdatinaker,
2014)
Pendidikan
Jumlah
Persentase
(%)
<
SD
1.893.678
26
SMP
1.681.945
23
SMA
3.185.007
43
D1-‐D3
187.059
2
>
S1
441.048
6
101
PENUTUP
Melalui
penetapan
legal
yang
diwujudkan
dalam
UU
no.
12
Tahun
2012
tentang
Pendidikan
Tinggi,
beberapa
isu
pokok
terkait
dengan
pendidikan
tinggi
yang
!!!!!!!!!!
telah
dapat
diselesaikan
dapat
dikemukakan
.......APK
kita
untuk
pendidikan
tinggi
dalam
pandangan
berikut
ini:
telah
mencapai
30%,
1. Undang-‐undang
Pendidikan
Tinggi
meskipun
masih
perlu
berusaha
membuat
konstruksi
nyata
dari
ditingkatkan
terus,
seluruh
aspek
yang
terkait
dengan
namun
sudah
waktunya
mutu,
pencetakan
sumberdaya
insani
yang
relevansi
dan
daya
mampu
berfikir
dalam
orde
tinggi
sesuai
saing
menjadi
dengan
cita-‐cita
Undang-‐Undang
Dasar
prioritas......
!!!!!!!!!!
1945
untuk
kemakmuran
dan
kesejahteraan
bangsa.
2. Pandangan
bahwa
belum
ada
bentuk
kelembagaan
yang
memadai
untuk
mendukung
otonomi
perguruan
tinggi
secara
penuh,
baik
PTN
maupun
PTS.
UU
Dikti
telah
memunculkan
pengaturan
bentuk
kelembagaan
perguruan
tinggi
dan
prinsip
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
untuk
mendukung
otonomi
perguruan
tinggi
sepenuhnya.
3. Pandangan
bahwa
belum
ada
kerangka
tata
kelola
yang
baik
bagi
semua
perguruan
tinggi
dalam
mengelola
sumberdaya
yang
dimilikinya
baik
itu
sumberdaya
keuangan,
sumberdaya
manusia,
sumberdaya
aset,
sumberdaya
informasi,
maupun
sumberdaya
lainnya.
UU
Dikti
telah
merumuskan
pengaturan
tata
kelola
perguruan
tinggi
beserta
prinsip
otonomi
pengelolaan
perguruan
tinggi
sehingga
perguruan
tinggi
memiliki
otonomi
untuk
mengelola
sendiri
lembaganya
sebagai
pusat
penyyelenggaraan
Tridharma
Perguruan
Tinggi.
4. Persoalan
ketidaksetaraan
pengakuan
di
berbagai
aspek
antara
pendidikan
yang
mengutamakan
pengetahuan
(akademik)
dengan
pendidikan
yang
mengutamakan
keterampilan
(vokasi)
serta
profesi.
UU
Dikti
memberikan
pengakuan
kesetaraan
baik
dari
sisi
jenis
dan
jenjang
pendidikan
tinggi
dan
kesetaraan
hak
dosennya
102
5. Persoalan
yang
masih
dirasakan
masyarakat
kita
mengenai
besarnya
hambatan
memperoleh
pendidikan
tinggi,
baik
dari
segi
ekonomi,
geografi,
maupun
sosial.
Secara
tegas
dan
berpihak
kepada
masyarakat,
UU
Dikti
mengatur
aspek
penerimaan
calon
mahasiswa
dan
aspek
pemerataan
pembangunan
perguruan
tinggi
di
seluruh
wilayah
Indonesia.
6. Persoalan
yang
terkait
dengan
belum
adanya
standar
pendidikan
tinggi
yang
mencakup
baik
itu
aspek
pengembangan
maupun
aspek
pemanfaatan
iptek
dengan
nilai-‐nilai
humanioranya,
beserta
aspek
penjaminan
kepatuhannya.
UU
Dikti
memberikan
ruang
pengaturan
tersendiri
tentang
Standar
Nasional
Pendidikan
Tinggi
(SN
Dikti)
sebagai
perluasan
dari
Standar
Nasional
Pendidikan
dan
juga
pengaturan
tentang
Sistem
Penjaminan
Mutu
Pendidikan
Tinggi
Indonesia.
7. Pandangan
masyarakat
dan
juga
perguruan
tinggi
bahwa
penelitian
belum
dianggap
penting
sehingga
komitmen
pendanaan,
pengaturan
pengelolaan
pendanaan,
dan
penghargaan
kepada
para
dosen
sebagai
peneliti
belum
di
kedepankan.
Hal
ini
telah
diperhatikan
pengaturannya
dalam
UU
Dikti
sehingga
komitmen
dana
penelitian
yang
diatur
dalam
undang-‐undang
ini
dapat
mendukung
penelitian
di
perguruan
tinggi
dalam
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
daya
saing
bangsa.
8. Kita
telah
memiliki
desain
Pendidikan
Tinggi
kita
untuk
masadepan
bangsa
yang
lebih
baik.
Implementasi
pengaturan
lebih
lanjut
dari
desain
pengaturan
di
UU
Dikti
perlu
disusun
untuk
meraih
masa
depan
bangsa
yang
lebih
baik
tersebut.
9. Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
kita
untuk
pendidikan
tinggi
telah
mencapai
30%.
Walaupun
kita
sadari
bahwa
APK
ini
masih
perlu
ditingkatkan
terus,
namun
sudah
waktunya
mutu,
relevansi
dan
daya
saing
menjadi
prioritas.
Dengan
demikian
pengelolaan
pendidikan
tinggi
yang
semula
berdasarkan
prioritas,
urutannya
adalah
akses,
mutu
dan
relevansi
serta
daya
saing,
sudah
waktunya
untuk
diubah
urutan
prioritasnya
menjadi
mutu
dan
relevansi,
akses
dan
daya
saing.
103
DAFTAR
PUSTAKA
Elias,
D,
1987,
Implications
of
the
Postmodern
World
View
for
Design
in
Higher
Education,
California
Institute
for
Integral
Studies,
San
Francisco,
CA.
Gasset,
J.,
1964,
Mission
of
the
University.
Henry M. Levin, H.M., Jeong, D.W. & Ou, D., 2006, What is a world class university?,
Conference of the Comparative & International Education Society, Honolulu,
Hawaii, March 2006.
Kruth,
J.,
1996,
Sustainable
Communities,
Globalization
and
Increasing
Complexity,
Future
Research
Quartely,
v.14,
n.2,
p.23-‐40.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), Ditjen Dikti, Kemendikbud, 2014
Pusdatinaker, http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/, 2014
QS, http://www.topuniversities.com/university-rankings, 2014
Santoso,
D.,
2003,
Masyarakat
Akademik
ITB
yang
Sehat
dalam
Tatanan
ITB
BHMN,
Pidato
Ketua
Senat
Akademik
ITB
pada
Dies
Natalis
ITB
2003,
ITB
Santoso,
D.,
2004,
Pendidikan
tinggi,kompetisi
dan
globalisasi,
Makalah
disampaikan
pada
Seminar
memajukan
Kualitas
SDM
Propinsi
Jambi
dalam
Kerangka
Sisdiknas
dan
Globalisasi.
Santoso,
D.,
2004,
Penerapan
paradigma
baru
pembelajaran
di
Pendidikan
tinggi
menghadapi
proses
globalisasi,
Seminar
Nasional
Pendikan,
UGM,
Juni
2004.
Santoso,
D.,
2007,
Kemitraan
Perguruan
Tinggi,
Makalah
disampaikan
pada
Acara
Penandatanganan
Naskah
Kesepahaman
antara
ITB
dan
Politeknik
Makasar,
Makasar,
25
Juni
2007.
Santoso,
D.,
2007,
Kemandirian
Industri
dan
Perguruan
Tinggi
(Pemikiran
kebijakan
riset
dalam
siklus
industri),
Makalah
pada
Konvensi
Kampus
IV
dan
Temu
Tahunan
Forum
Rektor
Indonesia
ke
X
tahun
2007
di
Bandung.
Tjaya,
T.H.,
2004,
Mencari
Orientasi
pendidikan,
Kompas
4
Desember
2004.
Undang-‐Undang
Nomor
20
Tahun
2003
Tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional.
Undang-‐Undang
Nomor
14
Tahun
2005
Tentang
Guru
dan
Dosen.
104
Undang-‐Undang
Nomor
12
Tahun
2012
Tentang
Pendidikan
Tinggi.
Scopus,
http://www.elsevier.com/online-‐tools/scopus,
2014
Webometrics,
http://www.webometrics.info/en/Asia,
2014
105