Anda di halaman 1dari 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 yang dimulai sejak tahun lalu turut

membawa tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi negara-negara


berpendapatan rendah hingga menengah. Salah satu tantangan besar tersebut adalah
soal meningkatnya utang publik.
Menurut penjelasan World Bank Group (Bank Dunia) dalam sebuah publikasi berjudul
International Debt Statistics 2022, banyak negara berkembang memasuki tahun
pagebluk 2020 dalam posisi yang rentan, dengan tingkat utang luar negeri (ULN) yang
sudah di level tinggi.

World Bank mencatat, dukungan fiskal untuk memitigasi dampak pandemi mendorong
tingkat utang di beberapa negara mencapai rekor tertinggi.
Total utang luar negeri negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tercatat
naik, rata-rata 5,3% pada 2020, hampir sama dengan dua tahun sebelumnya atau pra-
pandemi.

Memang, sebelum adanya pandemi Covid-19, meningkatnya tingkat utang publik dan
meningkatnya kerentanan akibat utang tersebut sudah menjadi perhatian di banyak
negara peminjam International Development Association (IDA) termiskin di dunia.
Kemudian, hal tersebut semakin memburuk akibat dampak pagebluk.

Melansir website World Bank, pada tahun 1960, IDA didirikan untuk mengurangi
kemiskinan dengan memberikan pinjaman tanpa rendah atau zero-to low interest loans
(disebut kredit) dan hibah untuk program yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat.

Peningkatan utang negara-negara tersebut akhirnya membuat lembaga multilateral


seperti World Bank dan Dana Moneter Internasional (IMF) melancarkan kebijakan
inisiatif, yakni dengan peluncuran Debt Service Suspension Initiative (DSSI) oleh
negara-negara G-20 pada bulan April 2020 untuk membantu negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah dalam mengatasi dampak pandemi.

Sejak berlaku pada 1 Mei 2020, prakarsa DSSI tersebut telah menyalurkan lebih dari
US$ 10,3 miliar bantuan ke lebih dari 40 negara yang memenuhi syarat.

Secara keseluruhan, ada 73 negara yang memenuhi syarat untuk penangguhan sementara
pembayaran utang kepada kreditur bilateral resmi mereka. Negara G20 juga telah
meminta kreditur swasta untuk berpartisipasi dalam inisiatif tersebut. Adapun masa
penangguhan tersebut yang semula ditetapkan berakhir pada 31 Desember 2020, telah
diperpanjang hingga Desember 2021.

Sebagai gambaran, pada 2020, utang luar negeri yang ditanggung negara-negara yang
memenuhi syarat IDA DSSI rata-rata naik 12%, dengan 9 dari negara-negara ini
melonjak lebih 20%.

Menurut data World Bank, kenaikan utang luar negeri tersebut tidak diimbangi dengan
produk nasional bruto (PNB atau Gross National Income/GNI) dan pertumbuhan ekspor.

Rasio utang luar negeri terhadap PNB negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah naik menjadi 29% pada tahun 2020 dari posisi 27% pada 2019. Sementara,
rasio utang terhadap ekspor melambung menjadi 123% dari 106% di 2019.

Sebagaimana diketahui, semakin tinggi rasio ULN terhadap PNB (atau terhadap produk
domestik bruto/PDB), bisa menyebabkan suatu negara semakin kesulitan membayar
utangnya dan berisiko gagal bayar alias default hingga membuat kepanikan di pasar
keuangan.

Asal tahu saja, berdasarkan data di website World Bank, di antara negara-negara
yang masuk daftar DSSI itu, Afghanistan dan Kamerun termasuk di antara 30 negara
yang berisiko tinggi mengalami kesulitan utang luar negeri secara keseluruhan.
Sementara, mengutip penjelasan Bloomberg, negara macam Grenada, Mozambik, Republik
Kongo, dan Somalia sudah mengalami tekanan utang luar negeri.

Melansir Bloomberg, Kamis (2/12), IMF pun memperingatkan "keruntuhan ekonomi" di


beberapa negara berpenghasilan rendah kecuali kreditur di negara-negara terkaya di
dunia menangguhkan kewajiban pembayaran utang dan membantu menegosiasikan kembali
persyaratan baru.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dan Ceyla Pazarbasioglu, Kepala


Departemen Strategi & Kebijakan IMF, mengatakan, pada Kamis, sekitar 60% negara
termiskin di dunia berisiko tinggi atau sudah berada dalam kesulitan utang luar
negeri, dua kali lipat pangsanya pada tahun 2015.

"Kita mungkin melihat keruntuhan ekonomi di beberapa negara kecuali kreditur G-20
setuju untuk mempercepat restrukturisasi utang dan menangguhkan layanan utang
sementara restrukturisasi sedang dinegosiasikan," kata pejabat IMF sebagaimana
dilansir Bloomberg.

Kemudian, di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, tidak termasuk Cina,


rasio utang terhadap PNB naik menjadi rata-rata 42% pada tahun 2020 (dibandingkan
37% pada 2019) dan rasio utang terhadap ekspor juga menjadi rata-rata 154%
(dibandingkan 126% pada 2019).Secara lebih luas, nilai utang luar negeri seluruh
negara berpendapatan rendah dan menengah gabungan pada akhir 2020 mencapai US$ 8,7
triliun. Angka ini naik 5,3% pada 2020, mirip dengan kenaikan pada 2018 dan 2019.

Lalu, bagaimana dengan kondisi utang luar negeri Indonesia?


Seperti negara lainnya di dunia, ekonomi Indonesia juga tidak kebal terhadap dampak
pagebluk Covid-19.
Dalam klasifikasi terbaru Bank Dunia mengenai negara berdasarkan kelompok
pendapatan edisi Juli 2021, produk nasional bruto per kapita Indonesia ada di US$
3.870. Angka tersebut turun dibandingkan posisi Juli 2020 yaitu US$ 4.050.

Penurunan PNB per kapita sekaligus membuat Indonesia kini berstatus negara
berpendapatan menengah-bawah. Well, Indonesia turun kelas, bersama sejumlah negara
lainnya, dari sebelumnya negara berpendapatan menengah-atas.
"Indonesia, Mauritus, Rumania, dan Samoa kini berada di peringkat mereka pada 2019.
Negara-negara ini terdampak pandemi Covid-19 sehingga mengalami penurunan GNI per
kapita," sebut keterangan tertulis Bank Dunia.

Indonesia juga masuk ke dalam 10 besar negara dengan total pinjaman luar negeri
terbesar versi Bank Dunia pada 2019 dan 2020.

Total utang luar negeri Indonesia pada 2020 mencapai US$ 417,53 miliar. Adapun
rasio utang luar negeri terhadap PNB Indonesia pada 2020 tercatat sebesar 41%.

Angka tersebut naik 4% dari posisi 2019 yang sebesar 37%. Adapun rasio utang luar
negeri terhadap PNB Indonesia selama 5 tahun terakhir masing-masing sebesar 35%
(pada 2016), 36% (tahun 2017), 38% (tahun 2018), 37% (tahun 2019), dan 41% (tahun
2020).

Apabila dibandingkan dengan rasio ULN terhadap PNB untuk semua negara berpendapatan
rendah dan menengah yang sebesar 29% pada 2020, rasio utang ULN RI tercatat lebih
tinggi.

Rasio ULN Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan dengan rasio ULN terhadap PNB
negara Asia Timur dan Pasifik yang sebesar 19% pada tahun lalu.

Kemudian, dibandingkan dengan 7 negara berpendapatan rendah dan menengah lainnya di


kawasan Asia Tenggara, ada 4 negara dengan rasio ULN terhadap PNB pada 2020 yang
lebih tinggi dari Indonesia, yakni Laos (95%), Kamboja (72%), Vietnam (49%), dan
Thailand (42%).

Sementara, 3 negara lainnya memiliki rasio ULN lebih rendah dari RI, yakni Filipina
(25%), Myanmar (18%), dan Timor Leste (9,5%).

Sorotan Fitch soal Utang RI

Sebagaimana diwartakan CNBC Indonesia sebelumnya, lembaga pemeringkat Internasional


Fitch pun turut menyoroti situasi utang pemerintah Indonesia. Kendati rasio utang
terhadap PDB terbilang aman, tetapi rasio terhadap pendapatan negara terbilang
mengkhawatirkan.

"Rasio utang terhadap pendapatan pemerintah akan naik menjadi 341% pada akhir 2021,
jauh di atas median sejenis sebesar 253%," tulis laporan Fitch yang dikutip CNBC
Indonesia, Selasa (23/11/2021).

Pemerintah harus merogoh kantong lebih dalam untuk membayar bunga utang pada tahun
depan. Kondisi ini dianggap efek dari pandemi covid-19 di mana Indonesia juga
bersama banyak negara lain membutuhkan banyak dana agar ekonomi tidak jatuh terlalu
buruk.

Dalam APBN 2022, rencana pembayaran bunga utang adalah Rp 400 triliun. Tentu ini
belum termasuk sedikit pengurangan akibat bantuan dari Bank Indonesia (BI) yang
kembali dilakukan pada tahun depan.

"Pelaku pasar sejauh ini bereaksi positif terhadap perpanjangan SKB dengan BI,
dengan imbal hasil obligasi dan nilai tukar tetap stabil secara luas. Namun,
pembiayaan moneter yang berkepanjangan pada akhirnya dapat membuat investor ragu,"
paparnya.

Sementara itu untuk rasio utang terhadap PDB diperkirakan Fitch mencapai 43,1% pada
akhir 2021, masih jauh di bawah median kategori 'BBB' (60,3%).

Dalam rilis paling mutakhirnya tersebut, Fitch tetap mengganjar RI dengan outlook
stabil 'BBB'.

Peringkat 'BBB' menunjukkan bahwa ekspektasi risiko gagal bayar saat ini rendah.
Fitch menjelaskan, kemampuan untuk pembayaran komitmen keuangan dianggap memadai.
Namun, kondisi bisnis atau ekonomi yang merugikan lebih mungkin untuk mengganggu
kemampuan tersebut.

"Kami memperkirakan rasio utang akan mencapai puncaknya pada 45,1% dari PDB pada
tahun 2022 sebelum menurun secara bertahap, difasilitasi oleh dimulainya kembali
pertumbuhan PDB yang kuat dan kebijakan fiskal yang lebih ketat," paparnya.

Defisit fiskal diperkirakan mencapai 5,4% pada 2021 dan 4,5% pada 2022. Di bawah
dari yang diperkirakan pemerintah, menurut Fitch ada efek dari lemahnya kemampuan
pemerintah untuk merealisasikan belanja dan juga tambahan penerimaan dari kenaikan
PPN.

Bagaimana dengan data teranyar BI?

Menurut data BI yang dirilis pada 15 November 2021, ULN Indonesia pada triwulan III
2021 tetap terkendali.

Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan III 2021 tercatat sebesar 423,1 miliar
dolar AS atau tumbuh 3,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
triwulan sebelumnya sebesar 2,0% (yoy). Perkembangan tersebut disebabkan oleh
peningkatan pertumbuhan ULN sektor publik dan sektor swasta.
Selain itu, BI menjelaskan, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh
ULN Indonesia yang tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang, dengan pangsa
mencapai 88,2% dari total ULN.

"Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah
terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh
penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya," jelas BI dalam rilis
persnya.

Anda mungkin juga menyukai