oleh:
Fitriatul Jannah, S.Kep
NIM 202311101017
i
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik,
Kepala Ruang
Ruang IGD RSD dr.Soebandi Jember
ii
LAPORAN PENDAHULUAN
1
Gambar 1. Os Coxae
2) Os sacrum
Tulang sakrum merupakan tulang berbentuk segitiga yang tebal dan lebar
diatas pangkal superiornya, yang berfungsi untuk menahan beban tubuh.
Pada tulang sakrum terdapat sendi sakroiliaka yang bergabung dengan
tulang ilium, gerakan pada sendi sakroiliaka sangat sedikit atau
membatasi gerakan ke segala arah.
Gambar 2. Os Sacrum
3) Os coccyges
Tulang koksegeus terbentuk dari 4 vertebre yang berangsung mengecil
dari atas ke bawah atau bagian ujung dari kolom tulang belakang. tulang
koksegeus sebagai penghubung dari berbagai otot dasar panggul, yang
mampu menahan saat duduk, menyikong vagina pada wanita, membantu
ketika berjalan, berlari dan menggerakkan tungkai.
2
Gambar 3. Os coccyges
1.2 Definisi Fraktur Pelvis
Fraktur merupakan kondisi dimana kontinuitas struktur tulang yang
terputus yang kemudian akan didefinisikan sesuai dengan jenis dan
keluasannya. Kondisi ini biasanya terjadi saat tulang menjadi subjek tekanan
atau menjadi penopang beban yang melebihi kemampuannya, biasanya juga
disebabkan oleh hantaman lansung, gerakan yang mendadak dan kontraksi
otot yang ekstrem (Suddarth dan Brunner, 2013).
Fraktur pelvis merupakan terputusnya kontuinitas pada struktur tulang
pelvis, biasanya disebabkan oleh jatuh dan kecelakaan lalu lintas dengan
cedera berat dan multipel (Suddarth dan Brunner, 2013).
1.3 Etiologi
Fraktur pelvis dapat diterjadi saat seseorang mengalami cedera fisik
seperti jatuh, kecelakaan, kendaaraan bermotor ataupun cedera lainnya. Selain
karena cedera fisik, kasus fraktur pelvis pada orang tua biasanya disebabkan
akibat penyakit osteoporosis atau osteomalasia yang kemudian akan terjadi
stres ramus pubis (Helmi, 2012). Berikut penyebab fraktur pelvis berdasarkan
klasifikasinya yaitu:
1) Kompresi anterior dan posterior: biasanya terjadi tabrakan pada pejalan
kaki dan kendaraan yang berakibat fraktur ramus pubis yang dimana
3
terjadi robekan parsial atau dapat disertai fraktur ilium pada bagian
posterior ligamen sakro-iliaka.
2) Kompresi lateral: kondisi ini biasanya ketika terjadi trauma pada bagian
samping samping yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini kedua sisi ramus pubis bagian
depan mengalami fraktur, selain itu terdapat strain dari sendi sakroiliaka
atau fraktur ilium pada bagian belakang dan pada sisi yang sama juga
dapat terjadi fraktur ramus pubis.
3) Trauma vertikel: kondisi ini biasanya terjadi apabila seseorang
mengalami jatuh dari ketinggian yang mengakibatkan gangguan sendi
sakroiliaka pada salah satu tungkai.
4) Trauma kombinasi: hal ini merupakan komplikasi dari beberapa cedera
diatas bisa terjadi karena kecelakaan lalu lintas yang berakibat benturan
sangat keras. Pada cedera ini juga bisa mengalami gangguan pada illeus
dan retensi kemih.
Menurut Price (2006) etiologi fraktur ada 3 yaitu sebagai berikut:
1) Cedera atau benturan
a) Langsung : kondisi dimana terjadi benturan pada tulang yang cedera pada lokasi
tersebut.
b) Tidak langsung: kondisi dimana terjadi benturan pada titik tumpu yang disertai
dengan terjadinya fraktur yang berjauhan atau tidak langsung terjadi pada lokasi
yang terbentur.
2) Fraktur patologik : kondisi dimana terjadi fraktur pada daerah-daerah tulang yang
telah menjalami penurunan fungsi yang disebabkan oleh penyakit seperti tumor,
kanker dan osteoporosis.
3) Fraktur beban : fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka.
4
1.4 Klasifikasi
Fraktur pelvis dikelompokka menjadi tiga jenis yaitu cedera yang
stabil, cedera secara rotasi tidak stabil dan cedera secara rotasi dan vertikel
tidak stabil sebagai berikut:
1) Anterior posterior stabil: terjadi diastasis simfisis berukuran <2,5 cm
pada bagian ramus inferior os pubis
2) Anterior posterior rotational unstable: diastasis simfisis berukuran <2,5
cm, terdapat robekan pada ligamen sacrotuberous yang terletak pada
bagian bawah dan belakang panggul. Fraktur jenis ini juga dapat disebut
dengan open book atau daya rotasi internal yang mengenai salah satu
pelvis dapat merusak atau membuka simfisis.
3) Anterior posterior rotational dan vertical: kondisi dimana telah terjadi
kerusakan pada ligamen posterior yang disertai dengan cedera pada
salah satu atau kedua sisi. Selain pergeseran vertical pada salah satu sisi
pelvis, di sertai fraktur acerabulum.
4) Lateral compression stabil: kompresi ramus pubis bagian kedua sisinya
mengalami fraktur, kompresi dari sisi lateral menekan sakrum dan
terkadang juga mengenai bagian ilium
5) Lateral compression tidak stabil : komplikasi anterior posterior
kompresi ramus pubis dan illium
6) Vertical shear: pergeseran secara vertikel disertai fraktur ramus pubis
7) Complex tidak stabil: kombinasi dari beberapa trauma dan faktor
kompresi.
5
Gambar 4. LC stabil Gambar 5. LC tidak Gambar 6. Vertical Gambar 7. complex
stabil shear
1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis atau tanda dan gejala yang ditunjukkan berdasarkan
jenis fraktur menurut Smeltzer&Bare (2012) diantaranya:
1) Nyeri, sering terjadi yang terjadi secara terus menerus yang disebabkan
terjadinya kerusakan jaringan dan perubahan struktur tulang yang
menimbulkan penekanan pada sisi fraktur dan pergerakan bagian
fraktur. Nyeri biasanya terasa pada pinggul dan punggung bawah.
2) Krepitasi, atau suara derik tulang yang dapat dapat terdengar dan dapat
dirasakan ketika bagian yang mengalami fraktur digerakkan.
3) Pembengkakan dan perubahan warna kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang menyertai terjadinya fraktur. Biasanya pembengkakan
ini terjadi pada area panggul atau diarea sekitar yang mengalami fraktur.
4) Pergerakan abnormal, pada kondisi ini tidak dapat mengangkat,
menggerakkan atau memutar kaki.
5) Deformitas (perubahan bentuk) yang terjadi karena pergeseran fragmen
pada fraktur, hal ini dapat diketahui dengan cara membandingkannya
dengan bentuk yang normal.
6) Penurunan sensasi yang disebabka adanya gangguang saraf karena
terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
6
1.6 Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Pada umumnya pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk
mengetahui kadar Hb dan hematokrit, kerana perdarahan yang terjadi
akibat fraktur akan menyebabkan kadar Hb dan hematokrit dalam tubuh
menjadi rendah. Selain itu pada pemeriksaan laboratorium juga
menunjukkan nilai Laju Endap Darah (LED) yang dimana apabila
meningkat maka menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan lunak
sangat luas. Selain itu pemeriksaan golongan darah juga penting untuk
dilakukan apabila tindakan operasi dilakukan, dan pemeriksaan leukosit
kemungkinan akan terjadi peningkatan.
2) X-ray
Pemeriksaan Xray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen pada fraktur)
dan metalikment. Pada pemeriksaan ini akan diambil gambar pada dua
proyeksi atau dua titik, yaitu PA (posteroanterior) atau AP
(anteroposterior) dan lateral (LAT). Keuntungan pemeriksaan Xray
yaitu tidak menimbulkan residu radiasi di dalam tubuh sehingga tidak
memiliki efek samping. Pemeriksaan ini biasanya juga dapat digunakan
pada situasi darurat.
3) CT-scan
Secara umum pemeriksaan CT-scan dapat memberikan gambaran secara
rinci mengenai struktur tulang, jaringan dan cairah tubuh. Pada fraktur
pelvis digunakan untuk mengidentifikasi keadaan tulang yang sulit
dievaluasi.
4) MRI (Magnetic Resonanci Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan
organ tubuh menusia dengan memanfaatkan medan magnet tanpa sinar-
7
X. Tetapi pada kasus fraktur pelvis biasanya pemeriksaan ini jarang
digunakan.
5) Rontgen
Pemeriksaan rontgen merupakan salah satu prosedur yang efektif bila
digunakan untuk mendeteksi terjadinya fraktur. Rontgen digunakan
untuk memotret tubuh bagian dalam, sehingga organ yang ada dalam
tubuh dapat terlihat dengan jelas yang nantinya dapat menunjukkan
bagian tulang yang mengalami fraktur. Foto rontgen menggunakan
media sinar X sebagai hasil untuk mengetahui seberapa tingkat
keparahan pada fraktur yang terjadi.
1.7 Patofisiologi/ Clinical Pathway
Tulang pada umumnya memiliki sifat rapuh namun cukup mempunyai
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan beban tertentu sesuai dengan
kemampuannya. Bila beban atau tekanan eksternal yang ditahan lebih besar
dari kemampuannya maka akan terjadi kondisi yang disebut dengan trauma
pada tulang akan menyebabkan kerusakan ataupun terputusnya kontinuitas
tulang. Pada umunya setelah terjadi fraktur bagian periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak akan
membungkus tulang yang mengalami kerusakan (Helmi, 2012).
Kondisi ini biasanya juga disertai dengan terjadinya perdarahan yang
disebabkan karena kerusakan tersebut dan kemudian terbentuklah hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang yang kemudian akan berdekatan
pada bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini akan
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan terjadinya
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah putih.
Tetapi proses inilah yang justru merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya.
Fraktur pelvis dapat diterjadi saat seseorang mengalami cedera fisik
seperti jatuh, kecelakaan, kendaaraan bermotor ataupun cedera lainnya.
8
Selain karena cedera fisik, kasus fraktur pelvis pada orang tua biasanya
disebabkan akibat penyakit osteoporosis atau osteomalasia yang kemudian
akan terjadi stres ramus pubis (Helmi, 2012).
Jika terjadi fraktur pelvis maka kemungkinan akan terjadi pula
robekan pada titik lain, kecuali pada trauma langsung. Namun seringkali titik
kedua ini tidak terlihat dengan jelas dan mungkin saja juga terjadi robekan
sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka. Trauma pada
pelvis ini akan menimbulkan akiat seperti kerusakan pada susunan tulang
pelvis, kerusakan jaringan lunak pada panggul, maupun terjadi kerusakan
pada organ bagian dalam panggul (Muttaqin, 2008).
9
Clinical Pathway
Fraktur Pelvis
Prosedur pembedahan
Diskontinuitas Pergeseran fragmen
tulang tulang
Tindakan invasif
Perubahan jaringan Nyeri Akut Ansietas
sekitar
10
1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada Fraktur pelvis menurut Suddarth dan Brunner
(2013) diantaranya yakni:
1) Pantau munculnya gejala nyeri tekan di atas simfisis pubis, spina iliaka
anterior, sakrum atau koksigis dan juga pantau adanya edema lokal,
munculnya sensasi kebas atau kesemutan pada geneta paha bagian
proksimal.
2) Pantau munculnya tanda-tanda hemoragi dan syok karena kedua hal ini
merupakan dampak paling serius yang dapat terjadi. Palpasi ekstermitas
bawah yang bertujuan untuk mendeteksi denyut nadi perifer yang dapat
mengidikasikan robekan arteri iliaka atau salah satu cabangnya.
3) Kaji adanya cedera pada kandung kemih, rektum, intestin/usus. Pada
pasien laki-laki jangan memasangkan kateter sampai status uretra
diketahui.
4) Bila seseorang mengalami fraktur pelvis yang stabil maka anjjurkan
untuk melakukan tirah baring selama beberapa hari sampai dengan rasa
nyeri dan ketidaknyamanan dapat terkontrol dengan baik.
5) Berikan suplai cairan, sarankan untuk melakukan diet serat dan juga
lakukan latihan pada pergelangan kaki. Selain itu juga disarankan untuk
menggunakan stoking anti imboli yang bertujuan untuk membantu
aliran darah balik vena, lakukan perawatan kulit untuk mengurangi
risiko terjadinya komplikasi serta untuk meningkatkan rasa nyaman.
6) Bila pasien mengakami cedera koksigis dan mengalami nyeri saat duduk
dan saat defekasi maka pantau bising usus, dan juga bantu pasien untuk
memenuhi kebutuhan aktvitas sehari-harinya seperti mandi yang dapat
dilaukan dengan rendam duduk sesuai program yang bertujuan
meredakan nyeri, selain itu juga dapat diberikan pelunak feses untuk
mencegah mengejan saat defekasi agar tidak memperburuk kondisi
pasien.
11
7) Saat nyeri mereda intruksikan untuk melakukan aktivitas secara
bertahap, gunakan alat bantu mobilitas agar terbantu saat menopong
berat bebannya.
8) Pada pasien dengan fraktur pelvis tidak stabil bisa dilakukan Reduksi
Terbuka/ORIF (Open Reduction Internal Fixation) yang merupakan
tindakan yang bertujuan untuk mengembalikan fragment tulang pada
kondisi normalnya yang sejajar dan rotasi secara anatomis.
9) Dapat juga dilakukan pemasangan pelvik sling sebagai penatalaksanaan
imobilitas yang bertujuan untuk menurunkan nyeri dan mencegah
fragmen.
1.9 Komplikasi
Menurut Helmi (2012) komplikasi fraktur pelvis meliputi komplikasi
syang dapat terjadi segera dan berkelanjutan. Pada komplikasi segera
meliputi antara lain:
1) Trombosis vena ilio-femoral atau pembekuan gumpalan darah vena
dalam.
2) Robekan kandung kemih yang dapat terjadi jika terdapat tusukan pada
bagian tulang panggul yang tajam.
3) Robekan uretra, akan timbul jika perubahan tulang pubis pada daerah
uretra pars membranosa.
4) Trauma pembuluh darah yang biasanya akan menimbulkan terjadinya
perdarahan masif sampai dengan syok.
Selain itu juga terdapat komplikasi lanjut yang meliputi:
1) Mal union: kondisi dimana bila fraktur yang telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya atau terdapat deformitas pada tulang.
2) Delayed union: fraktur yang tidak nyambung setelah 6-9 bulan atau
nyambung namun telat.
3) Non union: kegagalan tulang berkonsolidari kembali atau keadaan
tulang yang tidak akan pernah nyambung.
12
4) Nekrosis avaskular, kerusakan yang terjadi pada kaput femur pasca
trauma.
5) Gangguan pergerakan sendi serta osteoartitis sekunder.
13
osteomielitis akut dan kronik, dan juga biasanya akan menghambat proses
penyembuhan pada tulang yang mengalami fraktur.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Hal ini menjadi salah satu faktor predisposisis terjadinya fraktur seperti
memiliki riwayat osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan dan juga kanker tulang yang cenderung bersifat genetik.
4. Pemeriksanaan fisik
a) B1 (Breathing)
Biasanyanya terjadi perubahan pada sistem pernapasan klien dengan
trauma panggul berat dan juga disertai perdarahan banyak dan syok.
Klien biasanya akan jatuh pada kondisi ARDS atau gagal nafas akut.
b) B2 (Blood)
Sangat sering terjadi pada klien dengan cedera panggul sedang dan berat
oleh karena itu penting untuk melakukan pengkajian pada sistem
kardiovaskuler untuk mendeteksi apakah terjadi syok hipovelemik
maupun syok hamoragik. Biasanya pada hasil pemeriksaan ditemukan
terrdapat penurunan tekanan darah, keluhan pusing saat melakukan
perubahan posisi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat yang
menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
c) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran bisa berubah sesuai komplikasi yang bisa mengganggu
organ-organ vital. Lesi syaraf skiatik biasanya terjadi pada saat trauma
atau pada saat operasi. Sedangkan lesi pleksus lumboskralis biasanya
terjadi pada fraktur sacrum yang bersifat vertikal disertai dengan
terjadinya pergeseran dan juga dapat menimbulkan gangguan fungsi
seksual apabila mengenai pusat syaraf.
d) B4 (Bladder)
Dapat didapatkan hematuria pada klien dengan trauma panggul
anterolateral apabila sampai mengenai kandung kemih. Biasanya muncul
14
keluhan nyeri saat berkemih, deformomitas pada pubis sampai dengan
kelainan pada alat kelamin yang sangat mengganggu proses miksi.
Terkadang saat pemeriksaan output urin sampai tidak ditemukan urin
yang keluar, pada kondisi ini perawat harus waspada apabila sampai
keluar ke rongga peritorium. Sangat penting bagi perawat agar jangan
melakukan pemasangan kateter karena ditakutkan apabila klien
mengalami ruptur utera.
e) B5 (Bowel)
Seringkali ditemukan adanya ileus paralitik pada keadaan trauma panggul
yang menjadi kombinasi dan dapat mencederai alat dalam abdomen.
Klien akan mengalami kembung dan defekasi tidak ada. Selain itu juga
dapat terjadi pemenuhan nutrisi menjadi tidak maksimal karena terdapat
keluhan mual yang kemudian menyebabkan intake nutrsi menjadi kurang.
f) B6 (Bone)
Paralisis motorik ekstrimitas bawah seringkali terjadi apabila trauma
panggul juga mengkompresi sakrum. Keluhan berupa gejala
pembengkakan. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah.
1.2 Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul
1) Nyeri akut (D.0077) b.d agens cedera fisik (trauma).
2) Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129) b.d faktor mekanis dan
penurunan mobilitas.
3) Gangguan mobilitas fisik (D.0054) b.d kerusakan integritas struktur
tulang, gangguan muskuloskeletal, nyeri, kecemasan, dan keengganan
melakukan pergerakan.
4) Ansietas (D.0080) b.d kekhawatiran mengalami kegagalan dan kurang
terpapar informasi.
5) Resiko infeksi (0142).
6) Resiko syok (D.0039).
15
1.3 Perencanaan / Nursing Care Plan
16
faktor mekanis 1. Nyeri menurun; Terapeutik:
dan penurunan 2. Perdarahan menurun; 3. Lepaskan balutan dan plester secara
mobilitas. 3. Kemerahan menurun; perlahan.
4. Pigmentasi abnormal menurun; 4. Bersihkan dengan cairan NaCl atau
5. Suhu kulit membaik; pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan.
6. Tekstur membaik; 5. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika
7. Dst. perlu.
6. Pasang balutan sesuai jenis luka.
7. Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka.
Edukasi:
8. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
9. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori dan protein.
10. Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri.
Kolaborasi:
11. Kolaborasi pemberian antibiotic, jika
perlu.
3. Gangguan Mobilitas fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi (I.05173)
mobilitas fisik Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam Observasi
(D.0054) b.d maka mobilitas fisik meningkat dengan 1. Identifikasi keluhan fisik lainnya
kerusakan kriteria hasil: 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
integritas 1. Pergerakan ekstremitas meningkat; pergerakan
struktur tulang, 2. Kekuatan otot meningkat; Terapiutik
gangguan 3. Rentang gerak (ROM) meningkat; 3. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
muskuloskelet 4. Nyeri menurun; bantu
al, nyeri, 5. Kecemasan menurun; 4. Fasilitasi melakukan pergerakan
kecemasan, 6. Dst. 5. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
17
dan dalam peningkatan pergerakan
keengganan Edukasi
melakukan 6. Jelaskan tujuan prosedur
pergerakan. 7. Anjurkan mobilisasi sederhana (mis;
duduk di tempat duduk, duduk di sisi tempat
tidur)
4. Ansietas Tingkat ansietas (L.09093) Terapi relaksasi (I.09326)
(D.0080) b.d Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam Observasi:
kekhawatiran maka tingkat ansietas menurun dengan kriteria 1. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
mengalami hasil: efektif digunakan.
kegagalan dan 1. Verbalisasi kebingungan menurun; 2. Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
kurang 2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi penggunaan teknik sebelumnya.
terpapar yang dihadapi menurun; Terapeutik:
informasi. 3. Perilaku gelisah menurun; 3. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
4. Perilaku tegang menurun; gangguan dengan pencahayaan dan suhu
5. Keluhan pusing menurun; ruang nyaman, jika memungkinkan.
6. Dst. 4. Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama.
Edukasi
5. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan
jenis relaksasi yang tersedia.
6. Anjurkan mengambil posisi nyaman.
5. Resiko infeksi Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi (I.14539)
(0142). Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam Observasi:
maka tingkat infeksi menurun dengan kriteria 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
hasil: sistemik.
1. Demam menurun; Terapeutik:
2. Kemerahan menurun; 2. Cuci tangan sebelum dan sesudag kontak
3. Nyeri menurun; dengan pasien dan lingkungan pasien.
18
4. Bengkak menurun; 3. Pertahankan teknik aseptik pada pasien
5. Dst. beresiko tinggi.
Edukasi:
4. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
5. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi.
6. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
7. Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
Kolaborasi:
8. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu.
6. Resiko syok Tingkat syok (L.03032) Pemantauan cairan (I.03121)
(D.0039). Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam Observasi:
maka tingkat syok menurun dengan kriteria 1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi.
hasil: 2. Monitor frekuensi napas.
1. Kekuatan nadi meningkat; 3. Monitor tekanan darah.
2. Output urinel meningkat; 4. Monitor elastisitas atau turgor kulit.
3. Tingkat kesadaran meningkat; 5. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia.
4. Akral dingin menurun; Terapeutik:
5. Pucat menurun; 6. Dokumentasikan hasil pemantauan.
6. Haus menurun; Edukasi:
7. Dst. 7. Jelaskan tujuan dan prosedur peantauan.
8. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
19
DAFTAR PUSTAKA
Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan. Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nugrahaeni, A. 2020. Pengantar Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Anak
Hebat Indonesia. https://books.google.co.id/books?
id=D9fyDwAAQBAJ&pg=PA28&dq=anatomi+tulang+radius+ulna&hl=id&sa
=X&ved=2ahUKEwjNs9OquuzrAhXZbX0KHZ2ZALoQ6AEwBHoECAMQA
g#v=onepage&q=radius&f=true
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Smeltzer dan Bare. 2013. Keperawatan Medical Bedah Bruner dan Sudarth Edisi 12.
Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
20
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN Tn. A DENGAN ACUTE ABDOMEN
+ ALO + PNEUMONI DI RUANG IGD
Oleh:
NIM 202311101017
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 202311101017
Hari, tanggal :
Jember , 2021
ii
Ruang IGD RSD dr Soebandi Jember FKep Universitas Jember
iii
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER
NIM : 202311101017
I. Identitas Klien
1. Inisial : Tn. A
II. Pengkajian
A. Primary survey
1. Respon
Kesadaran klien Alert yaitu klien sadar penuh dan dapat berorientasi terhadap
waktu, tempat dan orang
2. Airway
Airway baik tidak ada sumbatan jalan nafas, klien dalam posisi duduk, RR:
24x/menit
3. Breathing
Inspeksi : dada tampak simetris, pengembangan dada baik, tidak terdapat
retraksi dada, SpO2 99%, tidak ada pernafasan cuping hidung.
iv
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak terdapat lesi atau jejas, tidak ada benjolan
4. Circulation
Nadi : 102x/menit, tekanan darah 116/67mmHg, Suhu 36,7 oC, CRT < 3 detik, akral
hangat
5. Disability
Klien tidak mengalami penurunan kesadaran, kesadaran klien komposmentis
dengan GCS E4V5M6
6. Exposure
Tidak terdapat luka serta tidak terdapat patahan pada klien, akral hangat dengan
suhu 36,7°C
B. Secondary survey
1. Keluhan Utama: Klien mengatakan nyeri diseluruh bagian perut sejak 2 hari yang
lalu
Klien datang di IGD RS. Soebandi jember didampingi keluarganya pada hari Kamis
tanggal 29 April 2021, Pukul 09.10 WIB. Saat dilakukan pengkajian klien
mengatakan nyeri pada seluruh perutnya sejak dua hari yang lalu, klien
mengatakan nyeri seperti ditusuk tusuk , nyeri yang dirasakan terus menerus
dengan skala nyeri 6 mengguanakan Skala NRS. Klien juga mengatakan merasa
sesak. Saat ditanya terkait penyebab nyeri klien mengatakan tidak mengetahui
penyebab dari nyerinya, klien menjadi khawatir terhadap penyakitnya. Lalu
pasien dipindahkan ke ruang tindakan di dalam ruang tindakan klien dilakukan
tindakan pemeriksaan GDA dengan hasil 144, dilakukan pemeriksaan EKG
dilakukan pemasangan infuse, selang NGT, kateter urine, terapi oksigen nasal
kanul 3 lpm, diberikan injeksi antrain 1gr dan injeksi ranitidine 1amp, dan klien
direncanakan akan dilakukan pemeriksaan foto thorax.
Klien mengatakan memiliki riwayat stroke sejak 6 bulan yang lalu, dan pernah
mengalami ISK pada 13 April 2021
v
b. Alergi (obat, makanan, dll)
Klien mengatakan saat ini mengkonsumi obat dari dokter yaitu obat
Bisoprolol dan Pletaal
Keadaan umum
a. Kepala
b. Leher
vi
c. Dada
Jantung
Inspeksi : Bentuk dada simetris
Palpasi : Iktus kordis teraba normal
Perkusi : Batas jantung pada batas normal, dan tidak ada
pembengkakan
Auskultasi : Suara S1 dan S2 normal, dan tidak ada suara tambahan
Paru
Inspeksi : Dada simetris, pengembangan dada inspirasi simetris,
tidak ada retraksi otot intrerkosta, dan RR : 24 x/menit.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, dan tactil vocal fremitus simetris
Perkusi : Suara paru sonor di kedua lapang
Auskultasi : Terdapat suara tambahan ronkhi
d. Abdomen
Inspeksi : Tidak ada lesi, tidak ada luka dan dan tidak ada
benjolan, Auskultas : Bising usus 10 x/menit
Perkusi : Timpani
Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada seluruh bagian perut,
distended abdomen
e. Urogenital
Klien menggunakan pempers
f. Ekstremitas
Ekstremitas atas
L: tangan kanan dan kiri klien simetris, telapak tangan kiri klien selalu
menggenggam dikarenakan strukenya, dan terpasang infuse pada tangan
sebelah kanan klien
F: Tidak terdapat nyeri tekan
M: klien mengatakan telapak tangan kirinya sedikit kaku saat digerakan
kekuatan otot :
5 4
Ekstremitas Bawah
L: tidak ada kelainan pada ekstremitas bawah, gerak aktif, tidak ada jejas, tidak
ada nyeri tekanan tidak ada benjolan
F: tidak ada nyeri tekan, CRT < 3 detik
M: Kekuatan otot ekstremitas kanan dan kiri 5 5
g. Punggung
vii
Tidak terdapat kelainan pada punggung, tidak ada lesi, tidak ada jejas, tidak ada
nyeri tekan, tidak ada benjolan.
h. Keadaan lokal .
Keadaan cukup, klien tampak sedikit cemas dan gelisah terkait kondisinya,
klien tampak meringis sambil mengerutkan dahinya karena menahan nyeri,
sesekali memegang dadanya karena klien sesak, kesadaran komposmentis
GCS E4V5M6
7. Tindakan prehospital
Klien mengatakan saat dirumah mengkonsumsi obat yang ia dapat dari dokter
(Bisoprolol dan pletaal) dan setelah 2 hari nyeri perut tak kujung kambuh klien
dibawa oleh keluarganya ke RSD dr. Soebandi.
8. Pemeriksaan penunjang
viii
No Jenis pemeriksaan Nilai normal Hasil
(rujukan)
(hari/tanggal)
Hematologi Lengkap nilai Satuan Tgl: 29/04/21
(DL)
1. Hemoglobin 13.5-17.5 gr/dL 15.5
2. Lekosit 4.5-11.0 109/L 19.9
3. Hematokrit 41-53 % 44.7
4. Trombosit 150-450 109/L 550
Faal Hati
5. SGOT 10-35 U/L 150
6. SGPT 9-43 U/L 112
7. Albumin 3.4-4.8 gr/dL 3.8
Elektrolit
8. Natrium 135-155 mmol/L 137.8
9. Kalium 3.5-5.0 mmol/L 4.22
III. 10. Chlorida 90-110 mmol/L 100.3
Faal Ginjal
11. Keratinin Serum 0.6-1.3 mg/dL 1.5
12. BUN 6-20 mg/dL 14
Gula Darah
13. Glukosa Sewaktu <200 mg/dL 144
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan adanya penumpukan cairan pada
rongga pleura ditandai dengan klien mengeluh sesak, RR:24x/menit, Nadi:
102x/menit, SpO2: 99%, tampak memegangi dada saat sesaknya bertambah
ix
2. Nyeri Akut berhungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan klien
mengeluh nyeri pada seluruh bagian perut, P : Acute abdomen, Q: nyeri seperti
ditusuk-tusuk, R: di seluruh bagian perut, Skala nyeri 6, nyeri terus menerus, klien
tampak meringis
Observasi
2. Manajemen Nyeri
Observasi
c. Observasi TTV
Terapeutik
f. Kolaborasi
3. Reduksi Ansietas
Observasi
a. Monitor tanda-tanda ansietas
Terapeutik
x
b. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
c. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
d. Latih relaksasi
Edukasi
e. Berikan informasi secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
xi
CATATAN PERKEMBANGAN
13