Siang itu, sepeda balap yang sudah mulai berderit suara rantainya dikayuh
lemas menuju arah perbukitan sebelah tenggara sebuah sekolah menengah
kejuruan daerah Batu Retno, Wonogiri. Di bawah teriknya matahari yang mulai
mendekati waktu Asar, menambah beratnya kaki si pengayuh yang mulai
kepayahan mendorong pedal sepeda untuk menanjak perbuktiaan menuju gubuk
bambu reot yang sudah mulai Nampak dari atas sepedanya.
“Mbok aku mangkat…” sahut Pujo sambil berlalu mengemas gorengan dalam
plastic hitam dan pergi nyelonong keluar dapur. Mbok Ikem bergegas keluar
mengikuti langkah cucunya menuju pintu dapur yang terhubung dengan halaman
rumahnya. Setelah memarkir sepeda tuanya, Pujo pamit pada Mbok Ikem dengan
mencium tangan untuk melanjutkan perjalanan. “Jo kok koe kok ora salin kelambi
disik? Sepatumu ora mbok copot?” tanya Mbok Ikem lirih pada sang cucu. “ora
mbok, selak magrib” jawab Pujo sambil mengayuh sepedanya menuju warung
diseklitar pasar Batu Retno yang berjarak 10km dari rumahnya. Air mata menetes
membasahi pipi mbok Ikem mengirihi kepergian Pujo. Dia masih ingat betul, waktu
ibunya maninggal, Pujo masih kelas 6 SD sedang sakit tifus tidak bisa bangun
darii tempat tidur. Mbok Ikem sambil bergumam, “Duh Gusti Allah, kula nyuwun
panjenengan supodoso putu si Pujo besuk dadiyo wong sholeh, sukses”isak Mbok
Ikem sambil menyeka air matanya yang semakin deras.
Nisrina Intan 26
Vannya Puspitasari 31