Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Perkembangan Psikososial pada Masa Remaja

Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan “Psikologi Perkembangan”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 8

Reska Nurul Fadilah 12110122230

Wini Fatmawati 12110122434

Dosen Pengampuh : Dr. Tohirin, M. Pd / Irma Suhartini, S. Psi, M. Si

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SEMESTER 2 KELAS E

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat
menyusun makalah yang berjudul “Perkembangan Psikososial pada Masa Remaja” tepat
waktu sesuai dengan waktu yang telah diberikan dan ditentukan. Shalawat serta salam tidak
lupa pula kita hadiahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita
selaku umatnya dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penulis sangat merasa bersyukur, karena telah dapat menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas dalam mata kuliah Psikologi Perkembangan yang dibimbing langsung oleh
Bapak Dr. Tohirin, M. Pd dan Ibu Irma Suhartini, S. Psi, M. Si selaku dosen pengampuh.
Disamping itu, kami banyak mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah bersedia
membantu selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terselesaikan dengan
baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan, oleh karena itu kami mengharapkan dan menghargai kritik serta saran yang
membangun dari pembaca. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pekanbaru, 06 Maret 2022

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2

A. Pencarian Identitas ................................................................................................ 2


B. Seksualitas............................................................................................................. 5
C. Hubungan dengan Keluarga, Teman Sebaya, dan Masyarakat Orang Dewasa .... 7

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 10

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 10
B. Saran ................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 11

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. pada masa remaja berada di
pertigaan antara kehidupan, pekerjaan dan masyarakat dewasa. Masa remaja adalah masa
dimana para remaja terlibat dalam perilaku yang menyempitkan pandangan dan membatasi
pilihan mereka. Pada saat ini terdapat peningkatan focus riset pada membantu remaja dengan
lingkungan yang tidak optimal dalam menghindarkan mereka dari bahaya sehingga dapat
membuat mereka tetap merealisasikan potensinya. Pada masa aspek psikososial, akan
membahas mengenai pencarian identitas para remaja sampai pada istilah seksualitas.
Perhatian-perhatian kita akan tertuju kepada remaja dengan individualitas yang sedang mekar
mengekspresikan diri mereka dalam relasi dengan orang tua sebaya dan saudara kandung.

B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana remaja dalam membentuk identitas?

2) Apa yang menentukan orientasi seksual?

3) Bagaimana remaja berhubungan dengan orang tua, saudara kandung, dan teman
sebaya?

C. Tujuan Penulisan

1) Untuk mengetahui bagaimana remaja dalam membentuk identitas

2) Untuk mengetahui apa yang menentukan orientasi seksual

3) Untuk mengetahui bagaimana remaja berhubungan dengan orang tua, saudara


kandung, dan teman sebaya

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Pencarian Identitas

Pencarian identitas yang didefinisikan oleh Erikson sebagai konsepsi tentang diri,
penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang.

1. Erikson: Identitas VS Kebingungan Identitas

Menurut Erikson (1968), tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis”
identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran).
Untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan
memahami peran nilai dalam masyarakat, “krisis identitas” ini jarang teratasi pada masa
remaja, berbagai isu berkaitan dengan keterpecahan identitas dan kembali mengemukakan
sepanjang hidup pada masa dewasa.

Merujuk kepada Erikson, remaja tidak membentuk identitas mereka dengan meniru
orang lain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi
dan menyintesis identifikasi lebih awal ke dalam “struktur psikologi baru yang lebih
besar”. Untuk membentuk identitas, seorang remaja harus memastikan dan mengorganisir
kemampuan, kebutuhan, ketertarikan, dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam
konteks sosial.

Identitas terbentuk ketika remaja berhasil memecahkan tiga masalah utama: pilihan
pekerjaan, adopsi nilai yang diyakini dan dijalani dan perkembangan identitas seksual yang
memuaskan. Selama masa psikososial moratorium- periode “time out” yang diberikan masa
remaja- banyak anak muda yang mencari komitmen yang dapat mereka jadikan pegangan.
Komitmen usia muda ini dapat membentuk kehidupan seseorang beberapa tahun kemudian.

Remaja yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan mengembangkan


“moral” kesetiaan: mempertahankan loyalitas, keyakinan atau perasaan yang dimiliki oleh
yang tercinta atau kepada teman serta rekan. Kesetiaan dapat berarti identifikasi ideologi,
agama, gerakan politik, pencarian kratif, atau kelompok etik. Identifikasi diri muncul ketika
anak muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekedar
mengikuti pilihan orang tuanya.

2
Kesetiaan merupakan perpanjangan dari rasa percaya (trust) pada masa bayi,
mempercayai orang tua merupakan hal yang penting untuk menekan ketidakpercayaan, pada
masa remaja merupakan hal yang penting untuk mempercayai diri sendiri. Dalam berbagai
perasaan dan pemikiran, remaja mengklarifikasi identitas tentatif dengan melihat identitas itu
tercermin dari mata yang mereka cintai. “Intimasi” (intimacy) remaja ini berbeda dari
intimasi orang dewasa, yang melibatkan komitmen yang lebih besar, pengorbanan dan
kompromi. 1

2. Marcia: Status Identitas - Krisis dan Komitmen

Menurut riset yang dilakukan oleh psikolog James E. Marcia (1966, 1880)
menemukan empat tipe status identitas: identity achievement (pencapaian identitas)
foreclosure (penutupan), moratorium ( penundaan), dan identitity diffusion (difusi identitas).
Perbedaan keempat kategori ini terletak pada ada dan tiadanya krisis dan komitmen, yang
dipandang krusial oleh Erikson guna membentuk identitas. Marcia mendefinisikan krisis
sebagai periode pembentukan keputusan yang disadari, dan komitmen sebagai investasi
personal dalam pekerjaan atau sistem keyakinan (ideologi). Dia menemukan adanya
hubungan antara status identitas dan karakteristik seperti kekhawatiran, harga diri, penalaran
moral, dan pola perilaku. 2

Berdasarkan riset Marcia terdapat empat kategori status identitas, yaitu:

a) Identity Achievement (krisis yang mengarah kepada komitmen). Menurut


Marcia pencapaian identitas ditandai dengan komitmen untuk memilih
menjadikannya sebuah krisis, periode yang dihabiskan untuk mencari alternatif.

b) Foreclosure (komitmen tanpa krisis), dimana seseorang tidak menghabiskan


banyak waktu mempertimbangkan berbagai alternatif (tidak berada dalam krisis)
dan melaksanakan rencana yang disiapkan orang lain untuk dirinya.

c) Moratorium (krisis tanpa komitmen), dimana seseorang sedang


mempertimpangkan berbagai alternatif (dalam krisis) dan tampaknya mengarah
kepada komitmen.

1
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds, & Ruth Duskin Feldman. Human Development (Psikologi
Perkembangan Bagian V s/d IX), Ed. 9. Cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 587-589.
2
Ibid, hal. 589-590.

3
d) Identitity Diffusion (tidak ada komitmen, tidak ada krisis), ditandai dengan
ketiadaan komitmen dan kurangnya pertimbangan serius terhadap berbagai
alternative yang tersedia. 3

Dari kategori-kategori ini tidak bersifat permanen, dan dapat berubah seiring dengan
perkembangan orang (Marcia: 1979-2002). Sejak masa remaja dan masa berikutnya, semakin
banyak orang berkategori moratorium atau achievement: untuk mencari atau menemukan
identitas mereka sendiri.

3. Perbedaan Gender dalam Formasi Identitas

Banyak riset yang mendukung pandangan Erikson bahwa identitas dan intimasi
berkembang beriringan pada diri wanita. Benar bahwa, intimasi lebih berarti bagi anak
perempuan ketimbang anak laki-laki Bahkan dalam pertemanan sekolah (Blyth & Foster –
Clark, 1987).

Merujuk kepada Carol Gilligan (1982, 1987a, 1987b; L. M. Brown 7 Gilligan, 1990)
perasaan akan eksistensi diri wanita lebih banyak berkembang melalui perjalanan hubungan
ketimbang pencapaian identitas terpisah. Wanita dan anak perempuan, kata Gilligan, menilai
diri mereka berdasarkan penanganan tanggung jawab mereka dan kemampuan mereka
memperhatikan orang lain dan diri mereka sendiri.

Mereka juga mengatakan bahwa perbedaan individual lebih penting ketimbang


Perbedaan gender (Archer, 1993; Marcia, 1993). Marcia berpendapat bahwa relasi dan
ketegangan antara independensi dan keterhubungan (connectedness) yang terus-menerus
terjadi merupakan jantung dari seluruh tahapan psikososial Erikson, bagi pria dan wanita.

Sepanjang masa remaja, sebagian besar harga diri berkembang dalam konteks
hubungan dengan teman sebaya, khususnya yang berjenis kelamin sama. Sejalan dengan
pandangan Gilligan, harga diri pria tampaknya dapat dikaitkan dengan pergaulan demi
prestasi individual, sedangkan harga diri wanita lebih tergantung pada koneksi dengan orang
lain. Beberapa prinsip menyatakan bahwa remaja wanita memiliki harga diri yang lebih
rendah dibandingkan remaja pria (Chubb, Fertman, 7 Ross, 1997). Studi yang sering

3
Andi Thahir, Ed. D, Psikologi Perkembangan, (Lampung: UIN Raden Intan Lampung, 2014), hal. 153.

4
dipublikasikan pada awal 1990-an menemukan bahwa harga diri dan kepercayaan diri remaja
perempuan cukup tinggi hingga usia 11 atau 12 tahun dan kemudian cenderung menurun 4

4. Faktor Etnis dalam Pembentukan Identitas

Pembentukan identitas biasanya merupakan sesuatu yang rumit bagi anak muda
kelompok minoritas. Bahkan, bagi sebagian remaja etnisitas bisa menjadi isu sentral
pembentukan identitas. Warna kulit dan karakteristik fisik lainnya, perbedaan bahas, stereotip
kedudukan sosial dapat mempengaruhi dalam embentuk konsep diri remaja minoritas
(Spencer & dornbusch, 1998). Remaja memiliki jaringan sosial yang lebih luas dan lebih
mobile dibandingkan anak yang lebih muda, dan memiliki kesadaran akan sikap dan
perbedaan kultural yang lebih besar.

B. Seksualitas

Kesadaran berkesinambungan akan seksualitas merupakan aspek penting dari


pembentukan identitas, sangat mempengaruhi image diri dan hubungan dengan yang lain.
Walaupun proses ini adalah dorongan biologis, sebagian eksprseinya ditentukan oleh kultur.

1. Orientasi Seksual

Orientasi seksual menjadi isu yang penting apakah orang tersebut akan konsisten
secara romantis, secara seksual, dan penuh kasih sayang kepada orang lain dari jenis kelamin
yang berbeda (heterosexual) atau kepada jenis kelamin yang sama (homosexual) atau kepada
kedua-duanya (bisexual).5

2. Perilaku Sosial

Sulit melakukan riset tentang perilaku sosial. Sering kali terdapat perbedaan antara
apa yang diucapkan oleh orang dan apa yang dilakukannya, dan sering tidak ada cara
menguatkan atau membuktikan apa yang diucapkan oleh orang-orang tersebut. Sebagian
orang menyembunyikan aktivitas seksualnya, sedangkan sebagian yang lain membesar-
besarkannya. Bentuk aktivitas seksual noncoital, seperti seks oral dan masturbasi bersama,
cukup umum dan mungkin telah dimulai pada awal masa remaja.

3. Pengambilan Resiko Seksual


4
Op. cit, (2011) hal. 592-593.
5
Op. cit (2014), hal. 154.

5
Dua perhatian utama terhadap aktivitas seksual remaja adalah terkena sexually
transmitted desease (penyakit menular seksual) yakni penyakit yang disebarkan oleh kontak
seksual, yang bisa diperoleh oleh homoseksual maupun heteroseksual dan kehamilan.
Sebagian besar yang berada dalam bahaya adalah anak muda yang memulai aktivitas
seksualnya pada usia dini, yang memiliki banyak pasangan, yang tidak menggunakan
kontrasepsi, dan memiliki tidak cukup informasi atau informasi yang salah tentang seks.

Faktor risiko lainnya adalah penggunaan narkoba, perilaku antisosial, dan asosiasi
dengan pasangan yang menyimpang. Pengawasan orang tua dapat menekan risiko ini.
Monitoring orang tua pada para remaja berpengaruh pada usiadimana remaja mulai
berpacaran dan memulai aktivitas seksual. Orang tua para remaja tersebut merupakan guru
pertama dan terbaik. Para remaja yang dapat bertanya kepada orang tua mereka atau kepada
dewasa lain tentang seks dan mereka yang mendapatkan pendidikan seks dari sekolah atau
program komunitas akan berpeluang lebih baik dalam mencegah kehamilan dini dan resiko
lain terkait dengan aktivitas sosial.

4. Penyakit Menular Seksual (PMS)

Merujuk kepada beberapa perkiraan, PMS yang paling luas penyebarannya dalah
virus human papilloma (HPV), yang terkadang membuat kutil pada alat kelamin (CDC,
2000c). yang berikutnya adalah trichomoniasis, yang disebabkan oleh parasit mikroskopis.
HPV dan herpes genital keduanya merupakan virus kronis, berulang, dan sering kali
menyakitkan serta amat menular, dan telah diasosiasikan, pada diri wanita, dengan kanker
tulang belakang. PMS yang paling sering terjadi pada remaja, terutama anak perempuan,
adalah gonorrhoea dan chlamydia.

Human immunodeficiency virus (HIV), penyebab AIDS, ditularkan melalui cairan


tubuh (terutama darah dan sperma), biasanya karena menggunakan suntikan bersama-sama
atau kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi.

PMS memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk berkembang tanpa terdeteksi
pada anak perempuan. Dalam satu hubungan seksual tanpa pengaman dengan pasangan yang
terinfeksi, anak perempuan memiliki 1 persen resiko mendapatkan HIV, 30 persen herpes
genital, dan 50 persen resiko terkena gonorrhoea (AGI, 1999a).

5. Kehamilan dan Mengasuh Anak pada Usia Remaja

6
Sebagian besar kehamilan pada diri remaja tidak diharapkan, dan sepertiganya
berakhir dengan aborsi. Remaja yang hamil sering kali mengalami akibat yang buruk.
Bayinya cenderung prematur atau kekurangan berat badan yang berbahaya atau dipuncak
risiko kematian setelah kelahiran, masalah kesehatan, dan ketidakmampuan berkembang
yang bisa terus berlanjut sampai dewasa.

Seorang ibu yang masih remaja cenderung berhenti sekolah dan hamil lagi. Dia dan
pasangannya mungkin kurang dewasa, kurang terampil, dan kekurangan dukungan sosial
untuk menjadi orang tua yang baik.

C. Hubungan dengan Keluarga, Teman Sebaya, dan Masyarakat Orang Dewasa

Remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersma teman sebaya mereka ketimbang
bersama orang tua dan keluarga. Walaupun demikian, sebagian besar nilai fundamental
remaja tetap lebih dekat kepada orang tua mereka dari yang mereka sadari.

1. Pemberontakan Remaja, Sebuah Mitos?

Ide pemberontakan remaja mungkin lahir dalam teori formal masa remaja seorang
psikolog, G. Stanley Hall (1904/1916), yang percaya bahwa usaha remaja untuk
menyesuaikan diri terhadap tubuh yang berubah dan terhadap tuntutan masa dewasa
mengantarkannya kepada periode “badai dan tekanan” emosional, yang menghasilkan konflik
antar generasi. Sigmund Freud (1935/1953) dan putrinya, Anna Freud, menyatakan “badai
dan tekanan” ini bersifat universal dan tidak dapat dihindari, memunculkan kembali dorongan
seksual awal terhadap orang tua.

Emosi negatif dan perubahan suasana hati menjadi lebih intens pada masa awal
remaja, mungkin dikarenakan peristiwa menekan yang terkait pada masa puber. Pada
akhirnya pasar remaja, emosi cenderung stabil. (Larson, Moneta, Richard & Wilson, 2002).

2. Perubahan Penggunaan Waktu dan Perubahan Relasi

Salah satu cara menilai perubahan relasi remaja dengan orang-orang penting dalam
kehidupan mereka adalah melihat bagaimana mereka menghabiskan waktu luang mereka.

7
Variasi etnis dan kultural dalam penggunaan waktu ini memberi banyak pengetahuan kepada
kita bagaimana kultur mempengaruhi perkembangan psikososial. 6

3. Remaja dan Orang Tua

Gaya pengasuhan orang tua, pekerjaan orang tua, status perkawinan dan
sosioekonomi mempengaruhi hubungan antara orang tua dengan anak remaja. Karakter
interaksi keluarga berubah pada tahun-tahun remaja. Remaja dan orang tua mereka
menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menonton televisi bersama, tetapi tidak dalam
percakapan empat mata (bahkan lebih banyak dari sebelumnya pada anak perempuan). Ketika
remaja tumbuh semakin besar, mereka semakin melihat diri mereka sendiri dalam mengambil
kepemimpinan dalam diskusi ini, dan kontak mereka dengan orang tua semakin positif. 7

Gaya pengasuhan. Sebagian besar remaja “unggul dalam sebagian besar bidang dalam
kehidupan mereka jika mereka merasa dating dari rumah yang mereka senang dengan orang
tua responsif”. Ketika orang tua tidak menyesiaukan diri, seorang remaja mungkin menolak
pengaruh orang tua dan mencari dukungan serta persetujuan teman sebaya, apapun resikonya.

4. Remaja dan Saudara Kandung

Ketika para remaja mulai memisahkan diri dari keluarga mereka dan menghabiskan
lebih banyak waktu bersama teman sebaya, mereka hanya memiliki sedikit waktu dan tidak
terlalu butuh dengan kepuasan emosional yang biasanya mereka dapatkan dari ikatan saudara
sedarah. Pada saat seorang anak mencapai sekolah menengah atas, hubungannya dengan
saudara kandung menjadi semakin seimbang. Saudara kandung yang lebih tua tidak banyak
menggunakan tenaga fisik terhadap yang lebih muda dan jarang berkelahi dengannya.

5. Remaja dan Teman Sebaya

Sebagaimana yang ditemukan oleh Jackie Robinson, sumber dukungan emosional


penting sepanjang transisi masa remaja yang kompleks, sekaligus sumber tekanan bagi
perilaku yang disesalkan oleh orang tua, adalah peningkatan keterlibatan remaja dengan
teman sebayanya. Penentuan remaja terhadap standar orang dewasa dan otoritas orang tua
mengeluarkannya untuk merujuk pada masukan dari teman yang berada di posisi yang sama.

6
Op. cit (2011), hal. 596-610.
7
Op. cit (2014), hal. 154-155.

8
Pengaruh teman sebaya mencapai puncaknya pada awal masa remaja, biasanya pada
usia 12 sampai 13 tahun dan menurun pada masa remaja pertengahan serta akhir, ketika
hubungan dengan orang tua telah direnegosiasikan. Pertemanan didasarkan kepada pilihan
dan komitmen. Seperti anak yang lebih muda, remaja cenderung memilih teman yang mirip
dengan diri merea, dan teman saling mempengaruhi untuk menjadi semakin mirip.

6. Remaja dalam Masalah: Perilaku Antisosial dan Kenakalan Remaja

Riset menyatakan bahwa pola interaksi awal dan seterusnya dari orang tua anak sering
kali memuluskan jalan pengaruh negative teman sebaya, yang menguatkan dan menimbulkan
perilaku antisosial. Orang tua sering menghawatirkan anak remajanya, “bergaul dengan orang
yang salah”; tetapi sebenarnya, instruksi yang diberikan oleh orang tua mempengaruhi pilihan
kelompok teman sebaya dan teman-temannya.

Orang tua dari anak dengan kenakalan kronis biasanya gagal menegakkan perilaku
yang baik pada awal masa kanak-kanak dan bersikap keras atau tidak konsisten, atau kedua-
duanya dalam hal menghukum perilaku yang tidak patut. Anak-anak dengan masalah perilaku
umumnya berprestasi buruk di sekolah dan tidak betah bersama teman sekelasnya yang
berperilaku sopan. Anak-anak yang tidak popular dab berprestasi rendah saling tertarik satu
dengan yang lain dan saling menguatkan perilaku yang salah. 8

8
Op. cit, (2011), hal. 617-621.

9
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan psikososial pada masa remaja membahas 3 pembahasan yaitu:


Pencarian Identitas, Seksualitas, serta Hubungan dengan Keluarga, Teman Sebaya, dan
Masyarakat Orang Dewasa.

Untuk materi Pencarian Identitas mengkaji mengenai: Erikson: Identitas VS


Kebingungan Identitas, Marcia: Status Identitas-Krisis dan Komitmen, Perbedaan Gender
dalam Formasi Identitas, Faktor Etnis dalam Pembentukan Identitas.

Untuk materi Seksualitas mengkaji mengenai: Orientasi Seksual, Perilaku Sosial,


Pengambilan Resiko Seksual, Penyakit Menular Seksual (PMS), Kehamilan dan Mengasuh
Anak pada Usia Remaja.

Untuk materi Hubungan dengan Keluarga, Teman Sebaya, dan Masyarakat Orang
Dewasa mengkaji mengenai: Pemberontakan Remaja, Sebuah Mitos?, Perubahan
Penggunaan Waktu dan Perubahan Relasi, Remaja dan Saudara Kandung, Remaja dan
Teman Sebaya, Remaja dalam Masalah: Perilaku Antisosial dan Kenakalan Remaja.

B. Saran
Penulis berharap agar makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca yang
membaca terlebih bagi yang mempelajarinya. Penulis menyadari makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca.
Supaya tugas makalah ini dapat menjadi makalah yang sempurna. Untuk itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2005. Psikologi perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Papalia, D. E. Old, S, W., & Feldman, R. D. 2011. Human Development Psikologi


Perkembangan Bagian V s/d IX), Ed. 9. Cet. 2. Jakarta: Kencana.

Soemantri, S. 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Thahir, Andi. 2014. Psikologi Perkembangan. Lampung: UIN Raden Intan Lampung.

11

Anda mungkin juga menyukai