8
KEGIATAN BELAJAR
A. Kegiatan Belajar 2
9
BAB II
Batuan terbagi atas tiga golongan besar yaitu: batuan beku (igneous
rock), batuan sediment (sediment rock), batuan metamorf (metamorphic rock).
Batuan Beku
Batuan beku adalah batuan yang terjadi dari pembekuan larutan silika
cair dan pijar, yang dikenal dengan magma. Penggolongan batuan beku dapat
didasarkan pada:
a. Berdasarkan genetik batuan
b. Berdasarkan kandungan kimianya
c. Berdasarkan susunan mineraloginya
10
- ekstrusi yang memiliki kandungan silika yang rendah dan viskositas relatif
rendah, bila sampai ke permukaan membentuk tanah maka menjadi tanah
yang mengandung lempung tinggi.
- Ekstrusi yang bersifat asam, yang memiliki kandungan silika tinggi dan
viskositas relatif tinggi
ad 2. Batuan Intrusi
11
Bentuk ketiga adalah bentuk pipa yang umumnya merupakan korok suatu
gunung api tua yang disebut vulkanik nek.
12
Tabel 1. terlihat bahwa persentase oksida SiO 2 jumlah terbanyak pada batuan
granit dan semakin menurun ke batuan peridotit (batuan ultra basa). Sedangkan
MgO dari batuan granit (batuan asam) semakin bertambah kandungannya ke
arah batuanperidotit (ultra basa). Kandungan senyawa kimia batuan ektrusi
identik dengan batuan intrusi asalkan dalam satu kelompok Hanya perbedaan
besar butir penyusunnya.
13
Analisa kimia batuan beku umumnya membutuhkan biaya besar dan
waktu yang lama. Oleh karena itu pembagian batuan beku dilakukan
berdasarkan susunan mineraloginya. Mineral yang sering digunakan adalah:
kuarsa, plagioklas, potassium feldspar dan foid untuk mineral felsik . Sedangkan
untuk mineral mafik biasanya digunakan mineral: amphibol, piroksin dan olivin .
Klasifikasi yang didasarkan atas mineralogi dan tekstur lebih mencerminkan
sejarah pembentukan daripada atas dasar kimianya. Tekstur batuan beku
menggambarkan keadaan yang mempengaruhi pembentukan batuan itu sendiri.
Pada tahun (1967) Streckeisen membuat klasifikasi batuan beku baik
intrusi maupun ekstrusi. Klasifikasi ini berdasarkan kandungan mineraloginya
yang terbagi atas 4 jenis mineralogi yaitu: kuarsa (Q), alkali feldspar (A),
plagioklas (P) dan feldspatoid (F).
Klasifikasi lain di buat oleh Russel B. Travis (1955) yang didasarkan
atas ukuran butir mineralnya yang dapat di bagi menjadi:
a. Batuan dalam: bertekstur feneritik yang berarti mineral-mineral yang
menyusun batuan tersebut dapat dilihat dengan mata tanpa bantuan alat
pembesar.
b. Batuan gang: bertekstur porfiritik dengan massa dasar faneritik
c. Batuan gang: bertekstur porfiritik dengan massa dasar afanitik
d. Batuan lelehan: bertekstur afanitik dimana individu mineralnya tidak dapat
dibedakan atau tidak dapat dilihat dengan mata kepala sendiri.
14
TiO2 0,31 0,46 0,16
Al2O3 15,01 14,21 13,26
Fe2O3 1,02 0,25 0,46
FeO 3,92 2,97 2,84
MnO 0,07 0,03 0,02
MgO 0,90 0,30 0,25
CaO 2,18 0,92 0,78
Na2O 2,92 2,20 2,92
K 2O 3,53 3,91 4,00
H2O+ 0,11 0,01 0,06
H2O- 0,56 0,46 0,52
HD 0,73 1,04 0,51
Normatif dihitung berdasarkan CIPW
Kwarsa 30,52 41,70 38,09
Ortoklas 21,15 23,38 23,94
Albit 24,65 18,88 23,17
Anortit 10,85 4,73 3,89
Biotit - - -
Nepelin - - -
Korondum 2,45 4,79 2,65
Acmit - - -
Diopsit - - -
Hypersten 8,43 5,89 5,34
Sphen - - -
Magnetit 1,39 0,64 0,69
Ilmenit 0,61 0,30 0,30
D.I 76,32 83,96 87,20
Al2O3 1,74 2,02 1,72
Na2O+K2O+CaO
FeO 3,84 11,88 6,17
Fe2O3
K 2O 1,21 1,78 1,37
Na2O
15
bertambah kekanan. Kadar Ca dalam mineral feldspar bertambah kekanan,
sedangkan kadar Na feldspar bertambah ke kiri. Secara mineral batuan-batuan
di sebelah kanan makin bertambah gelap (hitam) dan kesebelah kiri berwarna
terang (putih).
BATUAN SEDIMEN
1. Klasifikasi
Batuan sedimen yang ada dipermukaan bumi dapat dikelompokkan
menjadi 5 kelompok besar. Pengelompokan tersebut berdasarkan cara
terbentuknya. Setiap kelompok ini berdasarkan tempat pengendan yaitu: darat,
sungai, danau, dan laut. Pembagian batuan sedimen tersebut adalah:
16
Batuan ini terjadi pada larutan air yang memiliki larutan kimia yang
cukup pekat pada lingkungan danau atau laut yang tertutup, sehingga
memungkinkan terjadinya pengayaan unsur-unsur tertentu. Disamping itu
penguapan harus tinggi yang menyebabkan terjadinya pengendapan. Contoh
batuan tersebut adalah: gip, anhidrit, batu garam dll.
Batuan sedimen silika terdiri dari rijang (chert), radiolaria dan tanah
diatom. Proses terbentuknya batuan ini adalah gabungan antara proses organik
seperti radiolaria dan diatom dan proses kimia untuk lebih menyempurnakan.
Batuan ini hanya sedikit dan penyebarannya terbatas.
17
2. Volume dan Massa Batuan Sedimen
BATUAN METAMORFOSA
18
Batuan metamorfosa adalah hasil dari perubahan-perubahan batuan
yang sebelumnya telah ada. Panas yang intensif dipancarkan oleh suatu massa
magma yang sedang mengintrusi menyebabkan metamorfosa kontak.
Sedangkan metamorfosa pada wilayah yang .uas umumnya disebabkan oleh
tekanan dan panas pada batuan yang tertimbun yang bisa disebut dengan
metamorfosa regional. Metamorfosa terjadi dalam lingkungan yang sangat
berbeda dengan lingkungan batuan asalnya terbentuk. Metomorfosa terjadi
dalam keadaan padat sehingga perubahan kimiawi dalam batas-batas tertentu
saja dan meliputi proses rekristalisasi, reorientasi dan pembentukan mineral
baru dengan penyusunan kembali elemen-elemen kimia yang sebelumnya telah
ada. Batuan metamorfosa dapat dibagi menjadi metamorfosa kontak (termal)
yang terjadi disekitar intrusi magma jadi panas dan fluida-fluida yang memegang
peranan penting. Metamorfosa dinamis disekitar lokasi yang tekanan memegang
peranan penting, sedangkan metamorfosa regional efek panas dan tekanan
berperan.
19
d. Sabak (slate): peralihan dari sedimen yang berubah ke metamorfik, dengan
derajat metamorfosa rendah dari lempung. Sangat halus dan keras,
memperlihatkan belahan-belahan yang rapat, yang terdapat daun-daun mika
halus.
e. Filit (phyllite) : derajat metamorfosa lebih tinggi daripada sabak, dimana daun-
daun mika sudah cukup besar dan memberikan belahan pillit yang khas,
berkilap sutra pada pecahan-pecahan, dan mulai terdapt mineral lain seperti
turmalin.
f. Sekis (schist): batuan yang paling umum untuk metamorfosa regional, sangat
khas adalah kepingan-kepingan yang jelas dari mineral-mineral pelat seperti
mika, talk, klorit, hematit dan mineral-mineral yang bersifat serabut. Juga
terdapat mineral: feldspar, sugit, hornblende, garnet, epidot. Sekis
memperlihatkan derajat metamorfosa lebih tinggi.
g. Amfibolit: sama dengan sekis hornblende , tetapi poliasi tidak berkembang
dengan baik. Hasil metamorfosa regional basal atau gabro berwarna kelabu,
hijau atau hitam dan mengandung mineral epidot, augit hijau, biotit dan
almandin.
h. Gneis: mewakili metamorfose regional derajat tinggi, berbutir kasar,
mempunyai sifat banded karena gneissosity. Batuan ini berasal dari batuan
beku seperti: granit, gabro, diorit atau pun dari serpih dan napal.
20
Batuan metamorfosa adalah batuan yang berasal dari batuan
sebelumnya, sehingga ada beberapa mineral dari batuan asalnya terdapat pula
dalam batuan metamorfosa. Mineral-mineral tersebut adalah:
a. Mineral-mineral yang biasa di batuan metamorfosa dan batuan beku: kuarsa,
feldspar, muskovit, biotit, hornblende, piroksin, olivin dan biji besi.
b. Mineral-mineral yang biasa di batuan metamorfosa dan batuan sedimen:
kuarsa, muskovit, mineral lempung, kalsit, dolomit.
c. Mineral-mineral petunjuk yang biasa terdapat dalam batuan metamorfosa:
garnet, andalusit, kianit, silimanit, staurolit, kordierit, epidot, klorit
21
A.Rounded, Subrounded,
anguler atau irreguler
1. Diameter 0,2 – 7,6 cm gravel gravelly
2. Diameter 0,2 – 0,5 cm fine gravel fine gravelly
3. Diameter 0,5 – 2 cm medium gravel medium gravelly
4. Diameter 2 – 7,6 cm course gravel course gravelly
5. Diameter 7,6 – 25 cm cobble cobbly
6. Diameter 25 – 60 cm stone stony
7. Diameter > 60 cm boulder bouldery
B. Flat
1. Panjang 0,2 – 15 cm channer Channery
2. Panjang 15 – 38 cm flagstone Flaggy
3. Panjang 38 – 605cm stone stony
4. Panjang > 60 cm boulder bouldery
Kesimpulan
Soal Soal
22
Daftar Pustaka
A. Darmawijaya, Isa. 1992. Klasifikasi Tanah : Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah
dan Pelaksana Pertanian di Indonesia . Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press.
B. Harjowigeno, Sarwono. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis ,
Akademika Pressindo.
C. Harjowigeno, Sarwono. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta, Akademika Pressindo
D. Jenny, H. 1980. The Soil Resource. New York, Springer-Verlag.
E. Paton, T. R. 1978. The Formation of Soil Material. London, George Allen &
Unwin.
23