Anda di halaman 1dari 144

BAB III

DASAR TEORI

Reservoir adalah tempat atau wadah terakumulasinya hidrokarbon. Dari


penjelasan tersebut ada tiga komponen dalam reservoir yaitu tempat, fluida dan
kondisi. Tempat yaitu batuan, fluida yaitu gas, minyak, dan air, dan kondisi adalah
tekanan dan temperatur. Proses akumulasi hidrokarbon di bawah permukaan harus
memenuhi beberapa syarat, yang merupakan unsur pembentuk dan lebih dikenal
dengan petroleum system. Unsur – unsur tersebut adalah :
1. Batuan induk (source rock), merupakan batuan sedimen yang mengandung
bahan organik seperti sisa – sisa hewan dan tumbuhan yang telah mengalami
proses pematangan dengan waktu yang sangat lama sehingga menghasilkan
minyak dan gas bumi.
2. Migrasi (migration), yaitu proses mengalirnya hidrokarbon dari source rock
ke reservoir rock.
3. Batuan reservoir (reservoir rock), sebagai wadah yang diisi dan dijenuhi oleh
minyak dan gas bumi. Biasanya batuan reservoir berupa lapisan batuan yang
porous (berongga-rongga ataupun berpori-pori) dan permeable (mudah
meloloskan fluida).
4. Perangkap reservoir (reservoir trap), merupakan suatu unsur pembentuk
reservoir yang mempunyai bentuk sedemikian rupa sehingga lapisan beserta
penutupnya merupakan bentuk konkav ke bawah dan dan menyebabkan
minyak dan gas bumi berada dibagian teratas reservoir.
5. Lapisan penutup (cap rock), yaitu suatu lapisan batuan yang impermeable,
terdapat diatas suatu reservoir dan merupakan penghalang minyak dan gas
bumi agar tidak keluar dari reservoir, berfungsi sebagai penyekat fluida
reservoir.

16
17

3.1 Karakteristik Batuan Reservoir


Batuan adalah kumpulan dari mineral-mineral, sedangkan suatu
mineral dibentuk dari beberapa ikatan kimia. Komposisi kimia dan jenis
mineral yang menyusunnya akan menentukan jenis batuan yang terbentuk.
Batuan reservoir umumnya terdiri dari batuan sedimen, yang berupa
batupasir dan karbonat (sedimen klastik) serta batuan shale (sedimen non-
klastik) atau kadang-kadang volkanik. Masing-masing batuan tersebut
mempunyai komposisi kimia yang berbeda, demikian juga dengan sifat
fisiknya. Komponen penyusun batuan serta macam batuannya dapat dilihat
pada Gambar 3.1. di bawah ini.

Sandstone
100 %

Limy Shaly
Sandstone Sandstone

Sandy Sandy
Limestone Shale

Limestone Shaly Limy


Shale
100 % Limestone Shale 100 %

Gambar 3.1. Diagram Komponen Penyusun Batuan 1)

3.1.1 Komposisi Kimia Batuan Reservoir


Unsur-unsur atau atom-atom penyusun batuan reservoir perlu
diketahui, karena jenis dan jumlah atom-atom tersebut akan menentukan
sifat-sifat dari mineral yang terbentuk, baik sifat-sifat fisik maupun sifat-
sifat kimiawinya.
A. Komposisi Kimia Batupasir
Batupasir (sandstone) merupakan batuan yang paling sering
dijumpai di lapangan sebagai batuan reservoir. Batu pasir merupakan hasil
dari proses sedimentasi mekanik, yaitu berasal dari proses pelapukan dan
18

disintegrasi, yang kemudian tertransportasi serta mengalami proses


kompaksi dan pengendapan.
Pori-pori pada batupasir terbentuk secara primer bersamaan dengan
proses pengendapan. Setelah pengendapan, dapat terjadi perubahan pada
pori-pori batupasir, yang merupakan akibat dari sementasi, pelarutan serta
proses sekunder lainnya, sehingga porositas batupasir bersifat
intergranular.
Berdasarkan mineral penyusunnya serta kandungan mineralnya,
maka batupasir dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu orthoquartzites, pasir
lempungan (graywacke), dan arkose.

1. Orthoquartzites
Orthoquartzites merupakan jenis batuan sedimen yang terbentuk
dari proses sedimentasi yang menghasilkan unsur silika yang tinggi,
tanpa mengalami metaformosa dan pemadatan, terutama terdiri atas
mineral kwarsa (quartz) dan mineral lainnya yang stabil. Proses
metamorfosa adalah proses perubahan mineral batuan, karena adanya
kondisi yang berbeda dengan kondisi awal. Material pengikatnya
(semen) terutama terdiri atas karbonat dan silika. Orthoquartzites
merupakan jenis batuan sedimen yang relatif bersih yaitu bebas dari
kandungan shale dan clay. Komposisi kimia dari orthoquarzite dapat
dilihat pada Tabel 3.1. di halaman selanjutnya.
19

Tabel 3.1. Komposisi Kimia Batupasir Orthoquartzites 14)

MIN. A B C D E F G H I
SiO2 95,32 99,45 98,87 97,80 99,39 93,13 61,70 99,58 93,16
TiO2 .... .... .... .... 0,03 .... .... .... 0,03
Al2O3 2,85 .... 0,41 0,90 0,30 3,86 0,31 0,31 1,28
Fe2O3 0,05 0,08 0,85 0,12 0,11 0,24 1,20
0,30 0,43
FeO .... 0,11 .... .... 0,54 .... ....
MgO 0,04 T 0,04 0,15 None 0,25 .... 0,10 0,07
CaO T 0,13 .... 0,10 0,29 0,19 21,00 0,14 3,12
Na2O 0,80 0,17 0,10
0,30 .... 0,40 .... .... 0,39
K2O 0,15 .... 0,03
H2O +
1,44a) . . . . 0,17 .... 0,17 1,43a) . . . . 0,03a) 0,65
H2O -
CO2 .... .... .... .... .... .... 16,10 . . . . 2,01
Total 100 99,88 99,91 100,2 100,3 99,51 99,52 99,6b) 101,1

A. Lorrain (Huronian) F. Berea (Mississippian)


B. St. Peter (Ordovician) G. “Crystalline Sandstone”, Fontainebleau
C. Mesnard (Preeambrian) H. Sioux (Preeambrian)
D. Tuscarora (Silurian) I. Average of A – H, inclusive.
a)
E. Oriskany ( Devonian) . Loss of ignition
b)
. Includes SO3, 0,13 %.

Pada Tabel 3.1. diatas dapat dilihat bahwa unsur silika


merupakan unsur penyusun orthoquarzites dengan prosentase yang
sangat tinggi jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang lain.
Komposisi unsur silika (SiO2) berkisar antara 61,7 % sampai dengan
99,58 %, sedangkan sisanya adalah unsur penyusun yang lain, seperti
TiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MgO, CaO, Na2O, K2O, H2O+, H2O- dan CO2.
20

2. Graywacke
Graywacke merupakan jenis batupasir yang tersusun dari unsur-
unsur mineral yang berbutir besar, yaitu kwarsa, clay, mika flake
{KAl2(OH)2 AlSi3O10}, magnesite (MgCO3), fragmen phillite, fragmen
batuan beku, feldspar dan mineral lainnya. Indikator yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi batuan jenis ini adalah adanya
mineral illite. Sortasi (pemilahan) butir pada graywacke tidak bagus
karena adanya matriks-matriks batuan. Hal ini juga menyebabkan
berkurangnya porositas batuannya. Material pengikatnya adalah clay
dan karbonat. Secara lengkap mineral-mineral penyusun graywacke
terlihat pada Tabel 3.2. di bawah ini.
Tabel 3.2. Komposisi Mineral Graywacke 14)

MINERAL A B C D E F
Quartz 45,6 46,0 24,6 9,0 Tr 34,7
Chert 1,1 7,0 .... .... .... ....
Feldspar 16,7 20,0 32,1 44,0 29,9 29,7
Hornblende .... .... .... 3,0 10,5 ....
Rock Fragments 6,7 . . . .a 23,0 9,0 13,4 ....
Carbonate 4,6 2,0 .... .... .... 5,3
b d
Chloride-Sericite 25,0 22,5 20,0 25,0 46,2 23,3
T o t a l 99,7 97,5 99,7 90,0 100,0 96,0

A. Average of Six (3 Archean, 1 Huronian, 1 Devonian, and 1 Late Paleozoic).


B. Krynine’s average “high-rank graywacke” (Krynine, 1948).
C. Average of 3 Tanner graywackes (Upper Devonian – Lower Carboniferous)
D. Average of 4 Cretaceous graywackes, Papua (Edwards, 1947 b).
E. Average 0f 2 Meocene graywackes, Papua (Edwards, 1947 a).
F. Average of 2 parts average shale and 1 part average Arkose.
a)
. Not separately listed.
b)
. Include 2,8 per cent “limonitic subtance”
c)
. Balance in glauconite, mica, chlorite, and iron ores.
d)
. “Matrix”
21

Komposisi kimia graywacke tersusun dari unsur silika dengan


kadar lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata batupasir, dan
kebanyakan silika yang ada bercampur dengan silikat.
Keterangan secara terperinci komposisi kimia graywacke dapat
dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Komposisi Kimia Graywacke 14)

MINERAL A B C D E F
SiO2 68,20 63,67 62,40 61,52 69,69 60,51
TiO2 0,31 .... 0,50 0,62 0,40 0,87
Al2O3 16,63 19,43 15,20 13,42 13,43 15,36
Fe2O3 0,04 3,07 0,57 1,72 0,74 0,76
FeO 3,24 3,51 4,61 4,45 3,10 7,63
MnO 0,30 .... .... .... 0,01 0,16
MgO 1,30 0,84 3,52 3,39 2,00 3,39
CaO 2,45 3,18 4,59 3,56 1,95 2,14
Na2O 2,43 2,73 2,68 3,73 4,21 2,50
P2O3 0,23 .... .... .... 0,10 0,27
SO3 0,13 .... .... .... .... ....
CO2 0,50 .... 1,30 3,04 0,23 1,01
H2O + 1,75 1,56 2,33 2,08 3,38
2,36
H2O – 0,55 0,07 0,06 0,26 0,15
S .... .... .... .... .... 0,42
T o t a l 99,84 100,06 99,57 100,01 100,01 100,24

A. Average of 23 graywackes
B. Average of 30 graywackes, after Tyrrell (1933).
C.Average of 2 parts avrg. Shale and 1 part avrg. Arkose.
a)
. Probably in error; Fe2O3 probably should be 1,4 and the total 100,0
22

3. Arkose
Arkose merupakan jenis batupasir yang tersusun dari kuarsa
sebagai mineral yang dominan, dan feldspar (MgAlSi3O8). Selain dua
mineral utama tersebut, arkose juga mengandung mineral-mineral yang
bersifat kurang stabil, seperti clay {Al4Si4O10(OH)8}, microline
(KAlSi3O8), biotite {K(Mg,Fe)3(AlSi3O10)(OH)2} dan plagioklas
{(Ca,Na)(AlSi)AlSi2O8}. Arkose mempunyai sortasi butiran yang
kurang baik, dengan bentuk butir yang menyudut. Kandungan mineral
lainnya, secara berurutan sesuai prosentasenya dapat dilihat pada Tabel
3.4. di bawah ini.
Tabel 3.4. Komposisi Mineral dari Arkose (%) 14)

MINERAL A B C D a) E a) F a) G
Quartz 57 51 60 57 35 28 48
Microcline 24 30 34
35 b) 59 b) 64 43
Plaglioclase 6 11 ....
Micas 3 1 .... .... .... .... 2
Clay 9 7 .... .... .... .... 8
c) c) c) c)
Carbonate 2 ....
Other 1 .... 6 d) 8 e) 4 e) 8 e) c)

A. Pale Arkose (Triassic) (Krynine, 1950).


B. Red Arkose (Triassic) (Krynine, 1950).
C. Sparagmite (Preeambrian) (Barth, 1938).
D. Torridonian (Preeambrian) (Mackie, 1905).
E. Lower Old Red (Devonian) (Mackie, 1905).
F. Portland (Triassic) (Merrill, 1891).
G. Average of A – G, anclusive.
a) b) c)
. Normative or calculated composition; . Modal Feldspar; . Present in
amount under 1 %.
d) e)
. Chlorite; . Iron oxide (hematite) and kaolin.
23

Komposisi kimia arkose ditunjukkan pada Tabel 3.5. dimana


terlihat bahwa arkose mengandung lebih sedikit silika jika
dibandingkan dengan orthoquartzites, tetapi kaya akan alumina, lime,
potash, dan soda.
Tabel 3.5. Komposisi Kimia dari Arkose (%) 14)

MINERAL A B C D E F
Si O2 69,94 82,14 75,57 73,32 80,89 76,37
Ti O2 .... .... 0,42 .... 0,40 0,41
Al2 O3 13,15 9,75 11,38 11,31 7,57 10,63
Fe2 O3 1,23 0,82 3,54 2,90 2,12
2,48
Fe O .... 1,63 0,72 1,30 1,22
Mn O 0,70 .... 0,05 T .... 0,25
Mg O T 0,19 0,72 0,24 0,04 0,23
Ca O 3,09 0,15 1,69 1,53 0,04 1,30
Na2 O 3,30 0,50 2,45 2,34 0,63 1,84
K2 O 5,43 5,27 3,35 6,16 4,75 4,99
H2 O + 1,06
1,01 0,64 a 0,30 a 1,11 0,83
H2 O – 0,05
P2 O3 .... 0,12 0,30 .... .... 0,21
C O2 .... 0,19 0,51 0,92 .... 0,54
T o t a l 99,1 100,18 100 100,2 99,63 100,9

A. Portland stone, Triassic (Merrill, 1891).


B. Torridon sandstone, Preeambrian (Mackie, 1905).
C. Torridonian arkose (avg. of 3 analyses) (Kennedy, 1951).
D. Lower Old Red Sandstone, Devonian (Mackie, 1905).
E. Sparagmite (unmetamorphosed) (Barth, 1938).
F. Average of A – E, inclusive.
a)
. Loss of ignition.
24

B. Komposisi Kimia Karbonat


Batuan karbonat yang dimaksud dalam bahasan ini adalah limestone,
dolomite, dan yang bersifat diantara keduanya. Limestone adalah istilah
yang biasa dipakai untuk kelompok batuan yang mengandung paling
sedikit 80 % calcium carbonate atau magnesium. Istilah limestone juga
dipakai untuk batuan yang mempunyai fraksi karbonat melebihi unsur
non-karbonatnya. Pada limestone fraksi disusun terutama oleh mineral
calcite, sedangkan pada dolomite mineral penyusun utamanya adalah
mineral dolomite.

1. Limestone
Tabel 3.6. Komposisi Kimia Limestone 14)

MINERAL A B C D E F
Si O2 5,19 0,70 7,41 2,55 1,15 0,09
Ti O2 0,06 .... 0,14 0,02 .... ....
Al2 O3 0,81 0,68 1,55 0,23 0,45
Fe2 O3 0,08 0,70 0,02 .... 0,11
0,54
Fe O .... 1,20 0,28 0,26
Mn O 0,05 .... 0,15 0,04 .... ....
Mg O 7,90 0,59 2,70 7,07 0,56 0,35
Ca O 42,61 54,54 45,44 45,65 53,80 55,37
Na2 O 0,05 0,16 0,15 0,01 ....
0,07
K2 O 0,33 None 0,25 0,03 0,04
H2 O + 0,56 .... 0,38 0,05 0,69
0,32
H2 O – 0,21 .... 0,30 0,18 0,23
P2 O3 0,04 .... 0,16 0,04 .... ....
C O2 41,58 42,90 39,27 43,60 42,69 43,11
S 0,09 0,25 0,25 0,30 .... ....
Li2 O T .... .... .... .... ....
Organic .... T 0,29 0,40 .... 0,17
T o t a l 100,09 99,96 100,16 100,04 99,9 100,1

A. Composite analysis of 345 limestones, HN Stokes, analyst (Clarke, 1924,


p. 564)
B. “Indiana Limestone” (Salem, Mississippian), AW Epperson, analyst
(Loughlin, 1929, p. 150)
C. Crystalline, crinoidal limestone (Brassfield, Silurian, Ohio), Down Schaff,
analyst (Stout, 1941, p. 77)
D. Dolomitic Limestone (Monroe form., Devonian, Ohio), Down Schaff,
analyst (Stout, 1941, p. 132)
E. Lithoeraphic Limestone (Solenhofen, Bavaria), Geo Steigner, analyst
(Clarke, 1924, p. 564)
F. Travertine, Mammoth Hot Spring, Yellowstone, FA Gooch, analyst
(Clarke, 1904, p.323)
25

Komposisi kimia limestone dapat menggambarkan adanya sifat


dari komposisi mineralnya yang cukup padat, karena pada limestone
sebagian besar terbentuk dari calcite, bahkan jumlahnya bisa mencapai
lebih dari 95%. Unsur lainnya yang dianggap penting adalah MgO, bila
jumlahnya lebih dari 1% atau 2%, maka menunjukkan adanya mineral
dolomite. Komposisi kimia limestone secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 3.6. di halaman sebelumnya.

2. Dolomite
Dolomite adalah jenis batuan yang merupakan variasi dari
limestone yang mengandung unsur carbonate lebih besar dari 50 %,
sedangkan untuk batuan-batuan yang mempunyai komposisi
pertengahan antara limestone dan dolomite akan mempunyai nama
yang bermacam-macam tergantung dari unsur yang dikandungnya.
Batuan yang unsur calcite-nya melebihi dolomite disebut dolomite
limestone, dan yang unsur dolomite-nya melebihi calcite disebut
dengan limy, calcitic, calciferous atau calcitic dolomite. Komposisi
kimia dolomite pada dasarnya hampir mirip dengan limestone, kecuali
unsur MgO merupakan unsur yang penting dan jumlahnya cukup besar.
Tabel 3.7. di bawah ini menunjukkan komposisi kimia unsur penyusun
dari dolomite.
26

Tabel 3.7. Komposisi Kimia Dolomite 14)

MINERAL A B C D E F
Si O2 .... 2,55 7,96 3,24 24,92 0,73
Ti O2 .... 0,02 0,12 .... 0,18 ....
Al2 O3 .... 0,23 1,97 0,17 1,82 0,20
Fe2 O3 .... 0,02 0,14 0,17 0,66 ....
Fe O .... 0,18 0,56 0,06 0,40 1,03
Mn O .... 0,04 0,07 .... 0,11 ....
Mg O 21,90 7,07 19,46 20,84 14,70 20,48
Ca O 30,40 45,65 26,72 29,56 22,32 30,97
Na2 O .... 0,01 0,42 .... 0,03 ....
K2 O .... 0,03 0,12 .... 0,04 ....
H2 O + .... 0,05 0,33 0,42 ....
0,30
H2 O – .... 0,18 0,30 0,36 ....
P2 O3 .... 0,04 0,91 .... 0,01 0,05
C O2 47,7 43,60 41,13 43,54 33,82 47,51
S .... 0,30 0,19 .... 0,16 ....
Sr O .... 0,01 none .... none ....
Organic .... 0,04 .... .... 0,08 ....
T o t a l 100 100,06 100,40 99,90 100,04 100,9

A. Theoretical composition of pure D. “Knox” Dolomite


dolomite. E. Cherty-Dolomite
B. Dolomitic Limestone F. Randville Dolomite
C. Niagaran Dolomite

C. Komposisi Kimia Shale


Pada umumnya unsur penyusun shale ini terdiri dari lebih kurang 58
% silicon dioxide (SiO2), 15 % alumunium oxide (Al2O3), 6 % iron oxide
(FeO) dan Fe2O3. 2 % magnesium oxide (MgO), 3 % calcium oxide (CaO),
3 % potasium oxide (K2), 1 % sodium oxide (Na2), dan 5 % air (H2O).
27

Sisanya adalah metal oxide dan anion seperti terlihat pada Tabel 3.8. di
bawah ini.
Tabel 3.8. Komposisi Kimia Shale 14)

MINERAL A B C D E F
Si O2 58,10 55,43 60,15 60,64 56,30 69,96
Ti O2 0,54 0,46 0,76 0,73 0,77 0,59
Al2 O3 15,40 13,84 16,45 17,32 17,24 10,52
Fe2 O3 4,02 4,00 4,04 2,25 3,83
3,47
Fe O 2,45 1,74 2,90 3,66 5,09
Mn O .... T T .... 0,10 0,06
Mg O 2,44 2,67 2,32 2,60 2,54 1,41
Ca O 3,11 5,96 1,41 1,54 1,00 2,17
Na2 O 1,30 1,80 1,01 1,19 1,23 1,51
K2 O 3,24 2,67 3,60 3,69 3,79 2,30
H2 O + 3,45 3,82 3,51 3,31 1,96
5,00
H2 O – 2,11 0,89 0,62 0,38 3,78
P2 O3 0,17 0,20 0,15 .... 0,14 0,18
C O2 2,63 4,62 1,46 1,47 0,84 1,40
S O3 0,64 0,78 0,58 .... 0,28 0,03
a a a a
Organic 0,80 0,69 0,88 .... 1,18 0,66
Misc. .... 0,06 b 0,04 b 0,38 c 1,98 c 0,32
T o t a l 99,95 100,84 100,46 99,60 100,00 100,62

A. Average Shale (Clarke, 1924, p.24)


B. Composite sample of 27 Mesozoic and Cenozoic shales, HN Stokes,
analyst, (Clarke, 1924, p.552).
C. Composite sample of 52 Paleozoic shales, HN Stokes, analyst, (Clarke,
1924, p.552).
D. Unweighted avrg. of 36 analyses of Slate (29 Paleozoic, 1 Mesozoic, 6
Precambrian)(Eckel, 1904).
E. Unweighted avrg. of 33 analyses of Precambrian Slate (Nanz, 1953)
F. Composite analyses of 235 samples of Mississippi delta, (Clarke, 1924, p.
509).
a b c
. Carbon; . Ba O; . Fe S2 .
28

Dalam keadaan normal, shale mengandung sejumlah besar quartz,


silt, bahkan jumlah ini dapat mencapai 60%. Pada keadaan tertentu,
beberapa shale bisa mengandung silika dengan kandungan tinggi yang
bukan berasal dari silt. Kandungan silika yang berlebihan didapatkan pada
bentuk kristalin quartz yang sangat halus, calcedony atau opal. Shale yang
kaya besi lebih banyak pyrite atau siderit, atau silikat besi, yang
kesemuanya itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa pada kondisi
lingkungan pengendapan paling tidak terjadi penurunan atau bahkan
kekurangan unsur silika.

3.1.2 Sifat Fisik Batuan Reservoir


Sifat fisik batuan reservoir diantaranya adalah sebagai berikut.
A. Porositas
Porositas () didefinisikan sebagai perbandingan antara volume
ruang pori-pori terhadap volume batuan total (bulk volume). Besar-
kecilnya porositas suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan
fluida reservoir. Secara matematis porositas dapat dinyatakan sebagai :
Vb  Vs Vp
  ........................................................................ (3-1)
Vb Vb
dimana :
Vb = volume batuan total (bulk volume)
Vs = volume padatan batuan total (volume grain)
Vp = volume ruang pori-pori batuan.

Porositas batuan reservoir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:


1. Porositas absolut, adalah perbandingan antara volume pori total
terhadap volume batuan total yang dinyatakan dalam persen, atau
secara matematik dapat ditulis sesuai persamaan sebagai berikut :
volume pori total
  100% .............................................. (3-2)
bulk volume
29

2. Porositas efektif, adalah perbandingan antara volume pori-pori yang


saling berhubungan terhadap volume batuan total (bulk volume) yang
dinyatakan dalam persen.
volume pori yang berhubunga n
  100% ................... .. (3-3)
bulk volume
Gambar 3.2. di bawah ini menunjukkan perbandingan antara
porositas efektif, non efektif dan porositas total dari suatu batuan. Untuk
selanjutnya, porositas efektif digunakan dalam perhitungan karena
dianggap sebagai fraksi volume yang produktif.

Connected or
Effective
Porosity

Total
Porosity

Isolated or
Non-Effective
Porosity

Gambar 3.2. Skema Perbandingan Porositas Efektif, Non-Efektif


dan Porositas Absolut Batuan 6)

Berdasarkan waktu dan cara terjadinya, maka porositas dapat juga


diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Porositas primer, yaitu porositas yang terbentuk pada waktu yang
bersamaan dengan proses pengendapan berlangsung.
2. Porositas sekunder, yaitu porositas batuan yang terbentuk setelah
proses pengendapan.
Tipe batuan sedimen atau reservoir yang mempunyai porositas
primer adalah batuan konglomerat, batupasir, dan batu gamping. Porositas
sekunder dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu :
30

1. Porositas larutan, adalah ruang pori-pori yang terbentuk karena


adanya proses pelarutan batuan.
2. Rekahan, celah, kekar, yaitu ruang pori-pori yang terbentuk karena
adanya kerusakan struktur batuan sebagai akibat dari variasi beban,
seperti : lipatan, sesar, atau patahan. Porositas tipe ini sulit untuk
dievaluasi atau ditentukan secara kuantitatip karena bentuknya tidak
teratur.
3. Dolomitisasi, dalam proses ini batu gamping (CaCO3)
ditransformasikan menjadi dolomite (CaMg(CO3)2) atau berdasarkan
reaksi kimia berikut :
2CaCO3 + MgCl3  CaMg(CO3)2 + CaCl2

Besar-kecilnya porositas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :


ukuran butir (semakin baik distribusinya, semakin baik porositasnya),
susunan butir Gambar 3.3. di bawah ini menunjukkan bahwa susunan
butir berbentuk kubus mempunyai porositas lebih baik dibandingkan
bentuk rhombohedral), kompaksi, sementasi dan lingkungan
pengendapan.

90 o
o
90
90o

a. Cubic (porosity = 47,6 %)

90 o
90 o
o
90

b. Rhombohedral (porosity = 25,96 %)

Gambar 3.3. Pengaruh Susunan Butir terhadap Porositas Batuan 6)


31

Pengukuran porositas dilakukan dengan cara menentukan volume


pori. Metodee yang dapat digunakan untuk menghitung volume pori
adalah porosimeter Boyle dan desaturasi.
1. Porosimeter Boyle
Pada Metode porosimeter Boyle (Boyle’s law porosimeter), volume
pori (Vp) ditentukan dengan mengukur volume butiran (Vs) dengan
persamaan sebagai berikut :
P1
Vs  V1  V2  V1 ............................................................. (3-4)
P2
dimana:
Vs = volume butiran, cm3
V1, V2 = volume sel 1 dan sel 2, cm3
P1, P2 = tekanan manometer pada kondisi I dan II, atm

Setelah volume bulk batuan (Vb) diketahui, maka volume pori (Vp)
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Vp = Vb  Vs ........................................................................... (3-5)
Untuk mendapatkan harga volume bulk (Vb) dapat dilakukan dengan:
a. Mengukur dimensi sampel core untuk bentuk sampel batuan yang
teratur.
b. Menggunakan piknometer Hg terkalibrasi untuk sampel batuan
yang tak beraturan.
Besarnya porositas () ditentukan dengan menggunakan persamaan
berikut :
Vp
 = ................................................................................. (3-6)
Vb
2. Metode Desaturasi
Dalam metode desaturasi, volume pori (Vp) diukur secara gravimetri,
yaitu dengan jalan menjenuhi core dengan fluida yang telah diketahui
berat jenisnya. Kemudian core ditimbang, baik dalam keadaan kering
32

maupun dalam kondisi jenuh fluida. Volume pori (Vp) dihitung


dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
ws  wd
Vp  ...................................................................... (3-7)
f
dimana:
ws = berat sampel dalam keadaan jenuh fluida, gr
wd = berat sampel dalam keadaan kering, gr
f = berat jenis fluida penjenuh pori, gr/cc
Porositas core dihitung dengan Persamaan (2-7).

B. Permeabilitas
Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu bilangan yang
menunjukkan kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida.
Definisi kwantitatif permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh
Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris dengan bentuk differensial
sebagai berikut :
Q k dP
v   x ................................................................ (3-8)
A  dL
dimana :
v = kecepatan aliran, cm/sec
Q = laju alir fluida, cm³/sec
A = luas penampang, cm²
 = viskositas fluida yang mengalir, cp
dP/dL = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm
k = permeabilitas media berpori.

Tanda negatif pada Persamaan (2-8) di atas menunjukkan bahwa bila


tekanan bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan
dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Asumsi-asumsi yang
digunakan dalam Persamaan (2-8) adalah:
1. Alirannya mantap (steady state),
33

2. Fluida yang mengalir satu fasa,


3. Viskositas fluida yang mengalir konstan ,
4. Kondisi aliran isothermal, dan
5. Formasinya homogen dan arah alirannya horizontal.
6. Fluidanya incompressible.

Berdasarkan jumlah fasa yang mengalir dalam batuan reservoir,


permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu :
 Permeabilitas absolut, adalah yaitu dimana fluida yang mengalir
melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misalnya hanya
minyak atau gas saja.
 Permeabilitas efektif, yaitu permeabilitas batuan dimana fluida yang
mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas
dan minyak atau ketiga-tiganya.
 Permeabilitas relatif, merupakan perbandingan antara permeabilitas
efektif dengan permeabilitas absolut.
Dasar penentuan besaran permeabilitas adalah hasil percobaan yang
dilakukan oleh Henry Darcy., seperti yang terlihat pada Gambar 3.4. di
bawah ini.

h1 - h2
Q

A h1
h2
l

Gambar 3.4. Skema Percobaan Penentuan Permeabilitas 11)


34

Dari percobaan dapat ditunjukkan bahwa Q..L/A.(P1-P2) adalah


konstan dan akan sama dengan harga permeabilitas batuan yang tidak
tergantung dari cairan, perbedaan tekanan dan dimensi batuan yang
digunakan. Dengan mengatur laju Q sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi aliran turbulen, maka diperoleh harga permeabilitas absolut batuan,
sesuai persamaan berikut :
Q..L
k ........................................................................ (3-9)
A . (P1  P2 )
Satuan permeabilitas dalam percobaan ini adalah :

Q (cm 3 / sec) .  (centipoise ) . L (cm)


k (darcy)  ..................... (3-10)
A (sq.cm) . (P1  P2 ) (atm)
Dari Persamaan (2-9) diatas dapat dikembangkan untuk berbagai
kondisi aliran yaitu aliran linier dan radial, masing-masing untuk fluida
yang compressible dan incompressible.
Pada prakteknya di reservoir, jarang sekali terjadi aliran satu fasa,
akan tetapi dua atau bahkan tiga fasa. Oleh karena itu dikembangkan pula
konsep mengenai permeabilitas efektif dan permeabilitas relatif. Harga
permeabilitas efektif dinyatakan sebagai ko, kg, kw, dimana masing-
masing untuk minyak, gas, dan air. Sedangkan permeabilitas relatif untuk
masing-masing fluida reservoir dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
k kg k
k ro  o , k rg  , k rw  w . ....................... (3-11)
k k k
(keterangan : o = minyak, g = gas dan w = air)

Sedangkan besarnya harga permeabilitas efektif untuk minyak dan


air dinyatakan dengan persamaan :
Qo . o . L
ko  ............................................................... (3-12)
A . (P1  P2 )

Qw . w . L
kw  .............................................................. (3-13)
A . (P1  P2 )
35

Harga-harga ko dan kw pada Persamaan (3-12) dan Persamaan (3-13)


jika diplot terhadap So dan Sw akan diperoleh hubungan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.5. yang menunjukkan bahwa ko pada Sw = 0
dan pada So = 1 akan sama dengan k absolut, demikian juga untuk harga
k absolutnya (titik A dan B).
Ada tiga hal penting untuk kurva permeabilitas efektif sistem
minyak-air Gambar 2.5 dibawah ini , yaitu :
 ko akan turun dengan cepat jika Sw bertambah dari nol, demikian juga
kw akan turun dengan cepat jika Sw berkurang dari satu, sehingga dapat
dikatakan untuk So yang kecil akan mengurangi laju aliran minyak
karena ko-nya yang kecil, demikian pula untuk air.
 ko akan turun menjadi nol, dimana masih ada saturasi minyak dalam
batuan (titik C) atau disebut Residual Oil Saturation (Sor), demikian
juga untuk air yaitu (Swr).
 Harga ko dan kw selalu lebih kecil dari harga k, kecuali pada titik A
dan B, sehingga diperoleh persamaan :
k o  k w  1 .............................................................................. (3-14)

1 1
Effective Permeability to Water, kw

B A
Effective Permeability to Oil, k o

0 C D 0
0 Oil Saturation, So 1
1 Water Saturation, Sw 0

Gambar 3.5. Kurva Permeabilitas Efektif untuk Sistem Minyak dan


Air 11)
36

Jika harga kro dan krw diplot terhadap saturasi fluida So dan Sw, maka
akan didapat kurva seperti Gambar 3.6. di bawah ini.

1 1

Effective Permeability to Water, kw

Effective Permeability to Oil, ko


kro
wa

oil
te
kr

r
w

0 0
0 Oil Saturation, So 1

Gambar 3.6. Kurva krelatif sistem Air-Minyak 11)


Harga kro dan krw berkisar antara 0 sampai 1, sehingga diperoleh
persamaan :
k ro  k rw  1 ............................................................................. (3-15)
Untuk sistem gas dan air, harga Krg dan Krw selalu lebih kecil dari
satu atau :
k rg  k rw 1 ............................................................................. (3-16)

C. Saturasi
Saturasi didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori-pori
batuan yang ditempati oleh suatu fluida tertentu dengan volume pori-pori
total pada suatu batuan berpori. Dalam batuan reservoir minyak umumnya
terdapat lebih dari satu macam fluida, kemungkinan terdapat air, minyak,
dan gas yang tersebar ke seluruh bagian reservoir. Secara matematis,
besarnya saturasi untuk masing-masing fluida dituliskan dalam persamaan
berikut :
 Saturasi minyak (So) adalah :
volume pori  pori yang diisi oleh min yak
So  .............. (3-17)
volume pori  pori total
37

 Saturasi air (Sw) adalah :


volume pori  pori yang diisi oleh air
Sw  ........................ (3-18)
volume pori  pori total
 Saturasi gas (Sg) adalah :
volume pori  pori yang diisi oleh gas
Sg  ...................... (3-19)
volume pori  pori total

Jika pori-pori batuan diisi oleh gas-minyak-air maka berlaku


hubungan :
Sg + So + Sw = 1 ................................................................... (3-20)
Sedangkan jika pori-pori batuan hanya terisi minyak dan air, maka :
S o + Sw = 1 .......................................................................... (3-21)

Faktor-faktor penting yang harus diperhatikan dalam mempelajari


saturasi fluida antara lain adalah :
 Saturasi fluida akan bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dalam
reservoir, saturasi air cenderung untuk lebih besar dalam bagian
batuan yang kurang porous. Bagian struktur reservoir yang lebih
rendah relatif akan mempunyai Sw yang tinggi dan Sg yang relatip
rendah, demikian juga untuk bagian atas dari struktur reservoir berlaku
sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan densitas dari
masing-masing fluida.
 Saturasi fluida akan bervariasi dengan kumulatip produksi minyak.
Jika minyak diproduksikan maka tempatnya di reservoir akan
digantikan oleh air dan atau gas bebas, sehingga pada lapangan yang
memproduksikan minyak, saturasi fluida berubah secara kontinyu.
 Saturasi minyak dan saturasi gas sering dinyatakan dalam istilah pori-
pori yang diisi oleh hidrokarbon. Jika volume batuan adalah V, ruang
pori-porinya adalah .V, maka ruang pori-pori yang diisi oleh
hidrokarbon adalah :
So  V + Sg  V = (1 – Sw )  V ..................................... (3-22)
38

Pengukuran saturasi fluida dapat dilakukan dengan menggunakan


metode Retort dan metode Distilasi.
1. Metode Retort
Dalam metode retort, core yang dianalisa ditempatkan dalam peralatan
retort dan dipanaskan pada temperatur 400oF selama satu jam. Fluida
yang menguap dikondensasikan, minyak dan air yang diperoleh
dipisahkan dengan centrifuge. Temperatur pengujian dinaikkan
sampai 1200 oF supaya minyak berat dapat teruapkan seluruhnya,
kemudian hasil kondensasi dicatat volumenya.
Besarnya saturasi fluida ditentukan dengan persamaan sebagai berikut
:
Vw
Sw  ............................................................................... (3-23)
Vp

Vo
So  ................................................................................ (3-24)
Vp

dimana:
Sw = saturasi air, fraksi
So = saturasi minyak, fraksi
Vw = volume air hasil kondensasi, cm3
Vo = volume minyak hasil kondensasi, cm3
2. Metode Distilasi
Dalam metode ini, core yang dianalisa ditimbang kemudian
ditempatkan pada timble yang diketahui beratnya dan dimasukkan
dalam labu yang berisi cairan toluena bertitik didih 112 oC. Pemanasan
dilakukan untuk menguapkan air dan toluena, selanjutnya uap yang
terjadi dikondensasikan dan cairan yang diperoleh dicatat volumenya.
Pemanasan terus dilakukan sampai cairan yang terkumpul dalam
water trap konstan. Kemudian core diambil, dikeringkan dan
ditimbang. Saturasi fluida dapat dihitung sebagai berikut:
wt = wo  ww ....................................................................... (3-25)
ww = Vw  w ....................................................................... (3-26)
39

w o  w w   w w
Vo  ......................................................... (3-27)
o

w o  w w   w o
Vw  .......................................................... (3-28)
w
dimana:
wt = berat total yang hilang, gr
ww = berat air, gr
wo = berat minyak, gr
Vw = volume air, cm3
Vo = volume minyak, cm3
w = berat jenis air, (= 1 gr/cc)
o = berat jenis minyak, gr/cc

D. Tekanan Kapiler
Tekanan kapiler (Pc) didefinisikan sebagai perbedaan tekanan yang
ada antara permukaan dua fluida yang tidak tercampur (cairan-cairan atau
cairan-gas) sebagai akibat dari terjadinya pertemuan permukaan yang
memisahkan kedua fluida tersebut. Besarnya tekanan kapiler dipengaruhi
oleh tegangan permukaan, sudut kontak antara minyak–air–zat padat dan
jari-jari kelengkungan pori.
Pengaruh tekanan kapiler dalam sistem reservoir antara lain adalah :
1. Mengontrol distribusi saturasi di dalam reservoir Gambar 3.7. di
halaman selanjutnya menunjukkan kurva distribusi fluida yang
merupakan hubungan antara saturasi fluida dengan tekanan kapiler
pada beberapa permeabilitas batuan.
40

30 200 90

900 md

100 md
27 180 81

High Above Zero Capillary Pressure, ft

200 md
500 md

10 m d
Oil-Water Capillary Pressure, psi
24 160 72

Air-Water Capillary Pressure, psi


50 md
21 140 63

(reservoir conditions)

(laboratory data)
18 120 54

15 100 45

12 80 36

9 60 27

6 40 18

3 20 9

0 0 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Water Saturation, %

Gambar 3.7. Kurva Distribusi Fluida 1)

2. Merupakan mekanisme pendorong minyak dan gas untuk bergerak


atau mengalir melalui pori-pori secara vertikal.

Berdasarkan pada Gambar 3.8. di bawah ini, sebuah pipa kapiler


dalam suatu bejana terlihat bahwa air naik ke atas di dalam pipa akibat
gaya adhesi antara air dan dinding pipa yang arah resultannya ke atas.

Pa
B‘ Pob
B‘
B Pwb B
Pw
h h
air Oil
Pa Poa A
A’ A A’ Pwa
water water

a. Air - Water b. Oil - Water

Gambar 3.8. Tekanan dalam Pipa Kapiler 1)


41

Gaya-gaya yang bekerja pada sistem tersebut adalah :


1. Besar gaya tarik keatas adalah 2 rAT, dimana r adalah jari-jari pipa
kapiler.
2. Sedangkan besarnya gaya dorong ke bawah adalah r2hg(w-o).

Pada kesetimbangan yang tercapai kemudian, gaya ke atas akan sama


dengan gaya ke bawah yang menahannya yaitu gaya berat cairan. Secara
matematis dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :
2  r A T   r 2 h g ( w   o ) ........................................ (3-29)

atau :
2 AT
h  ........................................................... (3-30)
r ( w   o ) g
dimana :
h = ketinggian cairan di dalam pipa kapiler, cm
r = jari-jari pipa kapiler, cm.
w = massa jenis air, gr/cc
o = massa jenis minyak, gr/cc
g = percepatan gravitasi, cm/dt2
Dengan memperlihatkan permukaan fasa minyak dan air dalam pipa
kapiler maka akan terdapat perbedaan tekanan yang dikenal dengan
tekanan kapiler (Pc). Besarnya Pc sama dengan selisih antara tekanan fasa
air dengan tekanan fasa minyak, sehingga diperoleh persamaan sebagai
berikut :
Pc = Po – Pw = (o - w) g h .................................................... (3-31)

Tekanan kapiler dinyatakan berdasarkan sudut kontak dalam


hubungan sebagai berikut :
2  cos 
Pc  ........................................................................... (3-32)
r
dimana :
Pc = tekanan kapiler
42

 = tegangan permukaan minyak-air


 = sudut kontak permukaan minyak-air
r = jari-jari pipa kapiler
Menurut Plateau2), tekanan kapiler merupakan fungsi tegangan antar
muka dan jari-jari lengkungan bidang antar muka, dan dapat dinyatakan
dengan persamaan :
 1 1 
P c      .................................................................... (3-33)
 R1 R 2 
dimana :
R1 dan R2 = jari-jari kelengkungan konvek dan konkaf, inch
 = tegangan permukaan, lb/inch
Penentuan harga R1 dan R2, dilakukan dengan perhitungan jari-jari
kelengkungan rata-rata (Rm), yang didapatkan dari perbandingan
Persamaan (2-32) dengan Persamaan (2-33). Dari perbandingan tersebut
didapatkan persamaan perhitungan jari-jari kelengkungan rata-rata
sebagai berikut :

1  1 1  2 cos   g h
      .................................... (3-34)
Rm  R1 R 2  rt 
Gambar 3.9. di bawah ini menunjukkan distribusi dan pengukuran
R1 dan R2. Kedua jari-jari kelengkungan tersebut diukur pada bidang yang
saling tegak lurus.

R1
R2

Gambar 3.9. Distribusi dan Pengukuran Radius Kontak Antara


Fluida Pembasah dengan Padatan 6)
43

E. Derajat Kebasahan (Wettabilitas)


Wettabilitas didefinisikan sebagai suatu kemampuan batuan untuk
dibasahi oleh fasa fluida, jika diberikan dua fluida yang tak saling campur
(immisible). Pada bidang antar muka cairan dengan benda padat terjadi
gaya tarik-menarik antara cairan dengan benda padat (gaya adhesi), yang
merupakan faktor dari tegangan permukaan antara fluida dan batuan.
Dalam sistem reservoir digambarkan sebagai air dan minyak (atau
gas) yang ada diantara matrik batuan.

 wo
 
cos   so sw
  wo

 so  sw

Oil Water Solid

Gambar 3.10. Kesetimbangan Gaya-gaya pada Batas Air-Minyak-


Padatan 9)

Gambar 3.10. di atas memperlihatkan sistem air minyak yang


kontak dengan benda padat, dengan sudut kontak sebesar o. Sudut kontak
diukur antara fluida yang lebih ringan terhadap fluida yang lebih berat,
yang berharga 0o - 180o, yaitu antara air dengan padatan, sehingga
tegangan adhesi (AT) dapat dinyatakan dengan persamaan :
AT = so - sw = wo. cos wo, ...................................................... (3-35)
dimana :
so = tegangan permukaan benda padat-minyak, dyne/cm
sw = tegangan permukaan benda padat-air, dyne/cm
wo = tegangan permukaan air-minyak, dyne/cm
wo = sudut kontak air-minyak.
Suatu cairan dapat dikatakan membasahi zat padat jika tegangan
adhesinya positip ( < 75o), yang berarti batuan bersifat water wet.
44

Apabila sudut kontak antara cairan dengan benda padat antara 75 - 105,
maka batuan tersebut bersifat intermediet. Apabila air tidak membasahi
zat padat maka tegangan adhesinya negatip ( > 105o), berarti batuan
bersifat oil wet. Gambar 3.11. dan Gambar 3.12. di bawah menunjukkan
besarnya sudut kontak dari air yang berada bersama-sama dengan
hidrokarbon pada media yang berbeda, yaitu pada permukaan silika dan
kalsit.

o
= 30
o
= 83
o = 158 = 35
o

Iso-Octane Iso-Octane + Iso-Quinoline Naphthenic


5,7 % Iso-Quinoline Acid

Gambar 3.11. Sudut Kontak Antar Permukaan Air dengan


Hidrokarbon pada Permukaan Silika 9)

o o o o
= 30 = 48 = 54 = 106

Iso-Octane Iso-Octane + Iso-Quinoline Naphthenic


5,7 % Iso-Quinoline Acid

Gambar 3.12. Sudut Kontak Antar Permukaan Air dengan


Hidrokarbon pada Permukaan Kalsit 9)

Pada umumnya reservoir bersifat water wet, sehingga air cenderung


untuk melekat pada permukaan batuan sedangkan minyak akan terletak
diantara fasa air. Jadi minyak tidak mempunyai gaya tarik-menarik
dengan batuan dan akan lebih mudah mengalir.
Pada waktu reservoir mulai diproduksikan, dimana harga saturasi
minyak cukup tinggi dan air hanya merupakan cincin-cincin yang melekat
pada batuan formasi, butiran-butiran air tidak dapat bergerak atau bersifat
45

immobile, dan saturasi air yang demikian disebut residual water


saturation. Pada saat yang demikian minyak merupakan fasa yang
kontinyu dan bersifat mobile.
Setelah produksi mulai berjalan, minyak akan terus berkurang
digantikan oleh air. Saturasi minyak akan semakin berkurang dan saturasi
air akan terus bertambah, sampai pada saat tertentu saturasi air akan
menjadi fasa kontinyu, dan minyak merupakan cincin-cincin. Pada saat
ini, air bersifat mobile dan akan bergerak bersama-sama minyak.
Gambaran tentang water wet dan oil wet ditunjukkan pada Gambar 3.13.
di bawah ini, yaitu pembasahan fluida dalam pori-pori batuan. Fluida yang
membasahi akan cenderung menempati pori-pori batuan yang lebih kecil,
sedangkan fluida tidak membasahi cenderung menempati pori-pori batuan
yang lebih besar.

a. Oil Wet b. Water Wet


Pore space occupied by H O
Rock matrix
Pore space occupied by Oil

Gambar 3.13. Pembasahan Fluida dalam Pori-pori Batuan 6)

Menurut Srobod (1952), harga wetabilitas dan sudut kontak nyata


ditentukan berdasarkan karakteristik pembasahan, yang merupakan fungsi
dari threshold pressure (Pt), sesuai dengan persamaan berikut :
cos  wo PTwo  oa
Wettabilitiy Number = ................................ (3-36)
cos  oa PToa  wo
PTwo  oa
Contact Angle = cos  wo  ...................................... (3-37)
PToa  wo

dimana :
46

Cos wo = sudut kontak air dengan minyak dalam inti batuan
Cos oa = sudut kontak minyak dengan udara dalam inti batuan (=1)
PTwo = tekanan threshold inti batuan terhadap minyak (pada waktu batuan
berisi air)
PToa = tekanan threshold inti batuan terhadap udara ( pada waktu batuan
berisi minyak)
wo = tegangan antar muka antara air dengan minyak
oa = tegangan antar muka antara minyak dengan udara
Tekanan threshold, yang merupakan fungsi dari permeabilitas
ditentukan berdasarkan Gambar 3.14. di bawah ini.

1000
Threshold Pressure, mm Hg

500
300

100

50
30

10
0.1 0.3 0.5 1.0 3 5 10 30 50 100 300 1000

Permeability, mD (at atmospheric pressure)

Gambar 3.14. Tekanan Threshold sebagai Fungsi dari Permeabilitas


dan Wetabilitas 6)

F. Kompressibilitas
Pada formasi batuan kedalaman tertentu terdapat dua gaya yang
bekerja padanya, yaitu gaya akibat beban batuan diatasnya (overburden)
dan gaya yang timbul akibat adanya fluida yang terkandung dalam pori-
pori batuan tersebut. Pada keadaan statik, kedua gaya berada dalam
47

keadaan setimbang. Bila tekanan reservoir berkurang akibat pengosongan


fluida, maka kesetimbangan gaya ini terganggu, akibatnya terjadi
penyesuaian dalam bentuk volume pori-pori, perubahan batuan dan
Menurut Geerstma (1957), mengemukakan tiga konsep mengenai
kompressibilitas batuan, yaitu :
 Kompressibilitas matriks batuan, yaitu fraksi perubahan volume
material padatan (grains) terhadap satuan perubahan tekanan.
 Kompressibilitas bulk batuan, yaitu fraksi perubahan volume bulk
batuan terhadap satuan perubahan tekanan.
 Kompressibilitas pori-pori batuan, yaitu fraksi perubahan volume
pori-pori batuan terhadap satuan perubahan tekanan.
Batuan yang berada pada kedalaman tertentu akan mengalami dua
macam tekanan, antara lain :
1. Tekanan hidrostatik fluida yang terkandung dalam pori-pori batuan
2. Tekanan-luar (external stress) yang disebabkan oleh berat batuan yang
ada diatasnya (overburden pressure).
Pengosongan fluida dari ruang pori-pori batuan reservoir akan
mengakibatkan perubahan tekanan-dalam dari batuan, sehingga resultan
tekanan pada batuan akan mengalami perubahan pula. Adanya perubahan
tekanan ini akan mengakibatkan perubahan pada butir-butir batuan, pori-
pori dan volume total (bulk) batuan reservoir.
Untuk padatan (grains) akan mengalami perubahan yang serupa
apabila mendapat tekanan hidrostatik fluida yang dikandungnya.
Perubahan bentuk volume bulk batuan dapat dinyatakan sebagai
kompressibilitas Cr atau :
1 dVr
Cr  . .......................................................................... (3-38)
Vr dP
Sedangkan perubahan bentuk volume pori-pori batuan dapat
dinyatakan sebagai kompressibilitas Cp atau :
1 dVp
Cp  . ........................................................................ (3-39)
Vp dP *
48

dimana :
Vr = volume padatan batuan (grains)
Vp = volume pori-pori batuan
P = tekanan hidrostatik fluida di dalam batuan
P* = tekanan luar (tekanan overburden).

Hall (1953) memeriksa kompresibilitas pori, Cp, pada tekanan


overburden yang konstan, yang kemudian disebut kompresibilitas batuan
efektif dan dihubungkan dengan porositas, seperti terlihat pada Gambar
3.15. di bawah ini dimana kompresibilitas turun dengan naiknya porositas.

10
9
8
Compressibility, x 106

7
Effective Rock

6
5
4
3
2
1
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26
P o r o s i t y, %

Gambar 3.15. Kurva Kompressibilitas Effektif Batuan 15)

Terjadinya kompresibilitas batuan total maupun efektif karena dua


faktor yang terpisah. Kompressibilitas total terbentuk dari pengembangan
butir - butir batuan sebagai akibat menurunnya tekanan fluida yang
mengelilinginya. Sedangkan kompressibilitas effektif terjadi karena
kompaksi batuan dimana fluida reservoir menjadi kurang efektif menahan
beban di atasnya (overburden). Kedua faktor ini cenderung akan
memperkecil porositas.
49

3.2 Karakteristik Fluida Reservoir


Fluida reservoir yang terdapat dalam ruang pori-pori batuan reservoir
pada tekanan dan temperatur tertentu, secara alamiah merupakan campuran
yang sangat kompleks dalam susunan atau komposisi kimianya. Sifat-sifat
dari fluida hidrokarbon perlu dipelajari untuk memperkirakan cadangan
akumulasi hidrokarbon, menentukan laju aliran minyak atau gas dari reservoir
menuju dasar sumur, mengontrol gerakan fluida dalam reservoir dan lain-lain.

3.2.1 Komposisi Kimia Fluida Reservoir


Fluida reservoir terdiri dari hidrokarbon dan air formasi.
Hidrokarbon terbentuk di alam, dapat berupa gas, zat cair ataupun zat
padat. Sedangkan air formasi merupakan air yang dijumpai bersama-sama
dengan endapan minyak.
Sedangkan hidrokarbon sendiri, selain mengandung hidrogen (H)
dan karbon (C) juga mengandung unsur-unsur senyawa lain, terutama
belerang, nitrogen dan oksigen. Dalam sub bab ini akan dibicarakan
mengenai komposisi kimia dari ketiga kategori tersebut diatas.

A. Komposisi Kimia Hidrokarbon


Bentuk dari senyawa hidrokarbon merupakan senyawa alamiah,
dapat berupa gas, cair atau padatan tergantung dari komposisinya yang
khusus serta tekanan dan temperatur yang mempengaruhinya. Endapan
hidrokarbon yang berbentuk cair dikenal sebagai minyak bumi, sedangkan
yang berbentuk gas dikenal sebagai gas bumi.
Hidrokarbon adalah senyawa yang terdiri dari atom karbon dan
hidrogen. Senyawa karbon dan hidrogen mempunyai banyak variasi, yang
berdasarkan jenis rantai ikatannya dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Golongan Asiklik
Hidrokarbon jenis ini mempunyai rantai ikatan antar atom yang
terbuka, terdiri dari hidrokarbon jenuh dan hidrokarbon tak jenuh.
50

2. Golongan Siklik
Sedangkan hidrokarbon golongan siklik mempunyai rantai tertutup
(susunan cincin). Golongan ini terdiri dari naftena dan aromatik.
Keluarga hidrokarbon dikenal sebagai seri homolog, anggota dari seri
homolog ini mempunyai struktur kimia dan sifat-sifat fisiknya dapat
diketahui dari hubungan dengan anggota deret lain yang sifat fisiknya sudah
diketahui. Sedangkan pembagian tingkat dari seri homolog tersebut
didasarkan pada jumlah atom karbon pada struktur kimianya.

1. Golongan Asiklik
Golongan asiklis atau alifat disebut juga alkan atau parafin. Golongan
asilklis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan hidrokarbon
jenuh dan tak jenuh.

A. Golongan Hidrokarbon Jenuh


Seri homolog dari hidrokarbon ini mempunyai rumus umum
CnH2n+2 dan mempunyai ciri dimana atom-atom karbon diatur menurut
rantai terbuka dan masing-masing atom dihubungkan oleh ikatan
tunggal, dimana tiap-tiap valensi dari satu atom C berhubungan dengan
atom C disebelahnya. Seri homolog hidrokarbon ini biasanya dikenal
dengan nama alkana (Inggris : alkene) dimana penamaan anggota seri
homolog ini disesuaikan dengan jumlah atom karbon dalam sebutan
Yunani dan diakhiri dengan akhiran “ana” (Inggris : “ane”).
Contoh dari senyawa hidrokarbon golongan alkana adalah :
51

Nama Rumus Molekul Rumus Bangun

H H
Etana C2H6 H–C–C–H
H H

H H H
Propana C3H8 H–C–C–C–H
H H H

H H H H
Butana C4H10 H–C–C–C–C–H
H H H H
dan seterusnya.
Dalam senyawa hidrokarbon sering dijumpai molekul yang
berlainan susunannya, tetapi rumus kimianya sama, atau dengan kata
lain senyawa hidrokarbon dapat mempunyai rumus molekul sama tetapi
rumus bangun berbeda. Keadaan semacam ini disebut sebagai isomeri,
sedangkan masing-masing senyawa hidrokarbon yang mempunyai sifat
tersebut dikenal dengan isomer.
Seri n-alkana yang diberikan pada Tabel 3.9. di bawah ini
memperlihatkan gradasi sifat-sifat fisik yang tidak begitu tajam.
52

Tabel 3.9. Sifat – sifat Fisik n-Alkana 9)

Boiling Point Melting Point Specific Gravity


No Name
oF oF 60o/60 oF
1 Methane -258.7 -296.6 --
2 Ethane -127.5 -297.9 --
3 Propane -43.7 -305.8 0.508
4 Butane 31.1 -217.0 0.584
5 Pentane 96.9 -201.5 0.631
6 Hexane 155.7 -139.6 0.664
7 Heptane 209.2 -131.1 0.688
8 Octane 258.2 -70.2 0.707
9 Nonane 303.4 -64.3 0.722
10 Decane 345.5 -21.4 0.734
11 Undecane 384.6 -15 0.740
12 Dodecane 421.3 14 0.749
15 Pentadecane 519.1 50 0.769
20 Eicosane 648.9 99 --
30 Triacontane 835.5 151 --

Pada tekanan dan temperatur normal (60 oF, 14,7 psia) empat
alkana yang pertama (C1 sampai C4) berbentuk gas. Sebagai hasil
meningkatnya titik didih (boiling point) karena penambahan jumlah
atom karbon maka mulai pentana (C5H12) sampai hepta dekana (C17H36)
merupakan cairan. Sedangkan alkana yang mengandung 18 atom
karbon atau lebih merupakan padatan (solid). Alkana dengan rantai
bercabang memperlihatkan gradasi sifat-sifat fisik yang berlainan
dengan n-alkana, dimana untuk rantai bercabang memperlihatkan sifat-
sifat fisik yang kurang beraturan. Perubahan dalam struktur
menyebabkan perubahan didalam gaya antar molekul (inter molekuler
force) yang menghasilkan perbedaan pada titik lebur dan titik didih
diantara isomer-isomer alkana.
53

B. Golongan Hidrokarbon Tak Jenuh


Hidrokarbon ada yang mempunyai ikatan rangkap dua ataupun
rangkap tiga (triple), yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang
berdekatan. Oleh karena itu, valensi yang semula tersedia untuk
mengikat atom hidrokarbon telah digunakan untuk mengikat atom C
yang berdekatan, dengan cara ikatan rangkap dua yang mengikat dua
atom C, maka hidrokarbon seperti ini disebut hidrokarbon tak jenuh
atau disebut juga sebagai keluarga alkena (Inggris : alkene).
Secara garis besar, sifat-sifat fisik alkena sama seperti sifat-sifat
fisik alkana, sebagai bahan perbandingan sifat-sifat fisik alkena, dapat
dilihat pada Tabel 3.10. dibawah ini.
Tabel 3.10. Sifat-sifat Fisik Alkena 9)

Boiling Melting SG, 60o/60


Name Rumus Bangun
Point, oF Point, oF o
F
Ethylene CH2 =CH2 -154.6 -272.5 --
Propylene CH2=CHCH3 -53.9 -301.4 --
1-butene CH2=CH CH2CH3 20.7 -301.6 0.601
1-pentene CH2=CH(CH2)2CH3 86 -265.4 0.646
1-hexene CH2=CH(CH2)3CH3 146 -216 0.675
1-heptene CH2=CH(CH2)4CH3 199 -182 0.698
1-octene CH2=CH(CH2)5CH3 252 -155 0.716
1-nonene CH2=CH(CH2)6CH3 295 -- 0.731
1-decene CH2=CH(CH2)7CH3 340 -- 0.743

Sebagaimana pada alkana, maka untuk alkena terjadi juga


peningkatan titik didih dengan bertambahnya kandungan atom karbon,
dimana peningkatannya mendekati 20 - 30 oC untuk setiap penambahan
atom karbon. Secara kimiawi, karena alkena merupakan ikatan rangkap,
maka alkena lebih reaktif bila dibandingkan dengan alkana. Senyawa
hidrokarbon tak jenuh yang dijelaskan di atas adalah yang hanya
mempunyai satu ikatan rangkap dua yang lebih dikenal dengan deretan
54

olefin. Ada juga hidrokarbon tak jenuh yang mempunyai dua ikatan
rangkap dua yang disebut deretan diolefin.
Rumus umum seri diolefin adalah CnH2n-2, sedangkan
penamaannya menggunakan akhiran “adiena”, sebagai contoh adalah
sebagai berikut :
CH2 = C = CH - CH3 CH2 = CH - CH = CH2
1,2 - Butadiena 1,3 – Butadiena
Derajat ketidakjenuhan dari seri diolefin lebih tinggi daripada seri
olefin. Secara kimiawi senyawa diolefin reaktif seperti olefin dan secara
fisik mempunyai sifat yang hampir sama dengan alkana.
Senyawa hidrokarbon tak jenuh juga ada yang mempunyai ikatan
rangkap tiga, yang sering disebut sebagai seri asetilen. Rumus
umumnya adalah CnH2n-2, dimana terdapat ikatan rangkap tiga yang
mengikat dua atom karbon yang berdekatan. Pemberian nama sama
dengan deret alkena dengan memberikan akhiran “una”. Sifat deret
asetilen hampir sama dengan alkena, sedangkan sifat kimianya hampir
sama dengan alkena dimana keduanya lebih reaktif dari alkana.

2. Golongan Siklik
Golongan siklis dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan naftena
dan golongan aromatik.

A. Golongan Naftena
Golongan naftena sering disebut golongan sikloparafin, atau
golongan sikloalkana, yang mempunyai nrumus umum CnH2n..
Golongan ini dicirikan oleh adanya atom C yang diatur menurut rantai
tertutup (berbentuk cincin) dan masing-masing atom dihubungkan
dengan ikatan tunggal.
55

Contoh dari senyawa hodrokarbon golongan naftena adalah :


CH2

CH2 CH2
CH2 CH2

CH2 CH2
CH2 CH2

CH2
CH2

Siklo-heksana Siklo-pentana

Sikloparafin mempunyai sifat-sifatnya mirip dengan parafin


sebagaimana terlihat pada Tabel 3.11. di bawah ini.
Tabel 3.11. Sifat-sifat Fisik Hidrokarbon Naftena 9)

Boiling Melting SG, 60o/60


Name
Point, oF Point, oF oF

Cyclopropane -27 -197 --


Cyclobutane 55 -112 --
Cyclopentane 121 -137 0.750
Cyclooctane 300 57 0.830
Metylcyclopentane 161 -224 0.754
Cis-1, 2-dimethylcyclopentane 210 -80 0.772
Trans-1, 2-dimethylcyclopentane 198 -184 0.750
Methylcyclohexane 214 -196 0.774
Cyclopentene 115 -135 0.774
1, 3-cyclopentadiene 108 -121 0.798
Cyclohexene 181 -155 0.810
1,3-cyclohexadiene 177 -144 0.840
1,4-cyclohexadiene 189 -56 0.847
56

B. Golongan Aromatik
Pada deret ini hanya terdiri dari benzena dan senyawa-senyawa
hidrokarbon lainnya yang mengandung benzena. Rumus umum dari
golongan ini adalah CnH2n-6, dimana cincin benzena merupakan bentuk
segi enam dengan tiga ikatan tunggal dan tiga ikatan rangkap dua secara
berselang-seling, sebagi berikut

CH

CH CH

CH CH

CH

n - Benzena

Adanya tiga ikatan rangkap pada cincin benzena seolah-olah


memberi petunjuk bahwa golongan ini sangat reaktif. Tetapi pada
kenyataannya tidaklah demikian, golongan ini tidak sestabil golongan
parafin. Jadi deretan benzena tidak menunjukkan sifat reaktif yang
tinggi seperti olefin. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat
benzena ini pertengahan antara golongan parafin dan olefin. Ikatan-
ikatan dari deret hidrokarbon aromatik terdapat dalam minyak mentah
yang merupakan sumber utamanya.
Pada suatu suhu dan tekanan standar, hidrokarbon aromatik ini
dapat berada dalam bentuk cairan atau padatan. Benzena merupakan zat
cair yang tidak berwarna dan mendidih pada temperatur 176 oF. Nama
hidrokarbon aromatik diberikan karena anggota deret ini banyak yang
memberikan bau harum.
57

B. Komposisi Kimia Non-Hidrokarbon


Selain mengandung unsur hidrogen dan karbon (HC), pada minyak
bumi juga terdapat komposisi unsur belerang, nitrogen, oksigen serta unsur
lain dengan prosentase yang sedikit.

1. Senyawa Belerang
Kadar belerang dalam minyak bumi bervariasi antara 4 %
sampai 6% beratnya. Kandungan minyak bumi yang terdapat di
Indonesia merupakan minyak bumi yang mempunyai kadar belerang
relatif rendah, yaitu rata-rata 1 %. Distribusi belerang dalam fraksi-
fraksi minyak bumi akan bertambah sesuai dengan bertambahnya
berat fraksi.
Kandungan senyawa belerang dalam minyak bumi dapat
menyebabkan pencemaran udara dan korosi. Pencemaran udara
tersebut disebabkan oleh bau yang tidak enak dari jenis-jenis
belerang yang mempunyai titik didih yang rendah, seperti hidrogen
sulfit, belerang dioksit dan merkaptan. Disamping menimbulkan
bau, jenis belerang tersebut juga beracun. Sedangkan pembentukan
korosi oleh belerang dapat terjadi pada temperatur diatas 300 oF.
Jenis-jenis belerang dengan titik didih rendah, pada kondisi udara
lembab akan merubah besi menjadi besi sulfit yang rapuh.
2. Senyawa Oksigen
Kadar oksigen dalam minyak bumi bervariasi antara 1 %
sampai 2 % beratnya. Peningkatan kadar oksigen dalam minyak
bumi dapat terjadi karena kontak minyak bumi dan udara. Hal ini
disebabkan adanya proses oksidasi minyak bumi dengan oksigen
dari udara.
Dalam minyak bumi, oksigen terdapat sebagai asam organik
yang terdistribusi dalam semua fraksi, dengan konsentrasi tertinggi
pada fraksi gas. Asam organik tersebut biasanya berupa asam
58

naftenat dan sebagian kecil lainnya berupa asam alifatik. Asam


naftenat mempunyai bau yang tidak enak dan bersifat korosif.
3. Senyawa Nitrogen
Kadar nitrogen dalam minyak bumi pada umumnya rendah
dan bervariasi pada kisaran 0,1 % sampai 2 % beratnya. Senyawa
nitrogen terdapat dalam semua fraksi minyak bumi, dengan
konsentrasi yang semakin tinggi pada fraksi-fraksi yang mempunyai
titik didih yang lebih tinggi.
Senyawa nitrogen yang sering terdapat dalam minyak bumi
antara lain adalah piridin, qinoloin, indol dan karbosol.

C. Komposisi Kimia Air Formasi


Air formasi atau disebut “connate water” mempunyai komposisi
kimia yang berbeda-beda antara reservoir yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu analisa kimia pada air formasi perlu sekali dilakukan untuk
menentukan jenis dan sifat-sifatnya. Dibandingkan dengan air laut, maka
air formasi ini rata-rata memiliki kadar garam yang lebih tinggi, sehingga
studi mengenai ion-ion air formasi dan sifat-sifat fisiknya ini menjadi
penting artinya karena kedua hal tersebut sangat berhubungan dengan
terjadinya penyumbatan pada formasi dan korosi pada peralatan di bawah
dan di atas permukaan.
Air formasi tersebut terdiri dari bahan-bahan mineral, misalnya
kombinasi metal-metal alkali dan alkali tanah, belerang, oksida besi, dan
aluminium serta bahan-bahan organis seperti asam nafta dan asam gemuk.
Sedangkan komposisi ion-ion penyusun air formasi terdiri dari
kation-kation Ca, Mg, Fe, Ba, dan anion-anion chlorida, CO3, HCO3, dan
SO4.
Kation-kation yang terkandung dalam air formasi dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Alkali : K+, Na+ dan Li+ yang membentuk basa kuat.
59

2. Metal alkali tanah : Br++, Mg++, Ca++, Sr++, Ba++ membentuk basa
lemah.
3. Ion Hidrogen : OH+
4. Metal berat : Fe++, Mn++
Sedangkan anion-anion yang terkandung dalam air formasi adalah
sebagai berikut :
a. Asam kuat : Cl-, SO4=, NO3-
b. Asam lemah : CO3=, HCO3-, S-
Ion-ion tersebut di atas (kation dan anion) akan bergabung
berdasarkan empat sifat, yaitu :
1. Salinitas primer, yaitu bila alkali bereaksi dengan asam kuat,
misalnya NaCl dan Na2SO4.
2. Salinitas sekunder, yaitu bila alkali tanah bereaksi dengan asam kuat,
misalnya CaCl2, MgCl2, CaSO4, MgSO4.
3. Alkalinitas primer, yaitu apabila alkali bereaksi dengan asam lemah,
seperti Na2CO3 dan Na(HCO3)2
4. Alkalinitas sekunder, yaitu bila alkali tanah bereaksi dengan asam
lemah seperti CaCO3, MgCO3, Ca(HCO3)2 dan Mg(HCO3)2
Besarnya konsentrasi padatan yang terdapat dalam air formasi
dinyatakan dalam satuan parts per million (ppm), miligram per liter,
milliequivalent per liter dan fraksi padatan. Satuan ppm dan miligram per
liter digunakan dengan asumsi densitas air formasinya sama dengan satu.
Satuan fraksi padatan diperoleh dari pembagian ppm dengan 10000.
Sedangkan satuan milliequivalent per liter didapatkan dari konversi ppm,
yaitu dengan dibagi berat ekuivalennya. Pada reaksi ionisasi, berat
ekuivalen diperoleh dari pembagian berat atom ion dengan valensinya.

3.2.2 Sifat Fisik Fluida Reservoir


Fluida reservoir terdiri dari fluida hidrokarbon dan air formasi.
Hidrokarbon sendiri terdiri dari fasa gas maupun fasa cair (minyak bumi),
yang tergantung pada kondisi (tekanan dan temperatur) reservoir yang
60

ditempati. Perubahan kondisi reservoir akan mengakibatkan perubahan


fasa serta sifat fisik fluida reservoir.

1. Sifat Fisik Gas


Gas adalah suatu fluida dengan massa jenis serta viskositas yang
rendah, selain itu sifatnya yang utama adalah fluida ini akan mengisi penuh
wadah apa saja. Sifat gas berbeda dengan cairan, terutama karena jarak
antar molekul-molekulnya lebih besar dari pada cairan.
Sifat-fisik gas penting sekali untuk diketahui, karena parameter-
parameter tersebut sangat menentukan dalam perhitungan reservoir
engineering. Sifat fisik gas yang akan dibahas antara lain : densitas gas,
spesific gravity gas, viskositas gas, faktor volume formasi gas, faktor
deviasi gas, dan kompressibilitas gas.
A. Densitas Gas
Densitas gas (ρg) didefinisikan sebagai massa gas per satuan
volume. Dari definisi ini dapat menggunakan persamaan keadaan untuk
menghitung densitas gas pada berbagai P dan T tertentu, yaitu:
m PM
𝜌𝑔 = = .............................................................................. (3-40)
v RT

dimana :
m = berat gas, lb
V = volume gas, cuft
M = berat molekul gas, lb/lb mole
P = tekanan reservoir, psia
T = temperatur, oR
R = konstanta gas = 10.73 psia cuft/lbmole oR

B. Spesific Gravity Gas


Spesific Gravity Gas didefinisikan sebagai perbandingan antara
densitas gas dengan densitas udara pada tekanan dan temperatur yang
sama. Dimana :
61

g
g  ............................................................................. (3-41)
udara
Keterangan :
γg = Spesific Gravity Gas
g = densitas gas
udara = densitas udara
Dengan diasumsikan bahwa kelakuan dari gas dan udara di
representasikan oleh persamaan gas ideal, maka Spesific Gravity
menjadi :
𝑝𝑀𝑔
𝑀𝑔 𝑀𝑔
γ 𝑅𝑇
g = 𝑝𝑀𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = = .......................................................... (3-42)
𝑀𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 28.97
𝑅𝑇

Dimana Mudara adalah molekul berat dari udara dan Mg adalah


molekul berat dari gas. Jika gas adalah sebuah campuran maka
persamaannya menjadi :
𝑀𝑎 𝑀𝑎
γg = = ............................................................................ (3-43)
𝑀𝑎𝑖𝑟 28.97

Dimana Ma adalah molekul gas campuran. Sebagai catatan


bahwa perhitungan ini didasarkan jika gas dan udara merupakan gas
ideal. Spesific Gravity Gas juga sering disebut Gravity atau Gas
Gravity.

C. Viscositas Gas
Viskositas adalah suatu ukuran tahanan fluida terhadap
aliran.Viskositas gas tergantung pada tekanan, temperatur, dan
komposisi dari gas tersebut. Dimana dengan bertambahnya berat
molekul dari gas maka akan menyebabkan berkurangnya harga
viskositas. Viskositas gas akan naik dengan bertambahnya suhu, dalam
hal ini tabiat gas akan berlainan dengan cairan, untuk gas sempurna
viskositasnya tidak tergantung dari tekanan. Gas sempurna berubah
menjadi gas tidak sempurna bila tekanannya dinaikkan dan tabiatnya
mendekati tabiat zat cair.
62

Ada 2 jenis viskositas, yaitu :


1) Viskositas Dinamik, µ adalah perbandingan antara tegangan
geser terhadap gradien kecepatan dengan satuan poise atau
centipoise.
2) Viskositas Kinematik, v adalah perbandingan antara viskositas
dinamik terhadap kerapatan dengan satuan stoke atau centistoke.
Dalam perhitungan-perhitungan reservoir maupun produksi
umumnya digunakan viskositas dinamik. Salah satu cara untuk
menentukan viskositas gas yaitu dengan korelasi grafis (Carr et al),
dimana cara ini untuk menentukan viskositas gas campuran pada
sembarang tekanan maupun suhu dengan memperhatikan adanya gas-
gas ikutan, seperti H2S, CO2, dan N2. Adanya gas-gas non-hidrokarbon
tersebut akan memperbesar viskositas gas campuran. Pada Gambar
3.16. di bawah ini, menunjukkan viskositas gas pada tekanan
atmosphire.

Gambar 3.16. Viskositas Gas pada Tekanan Atmosphire 16)


63

Persamaan semi empiris untuk keperluan program komputer


dijabarkan oleh Lee Gonzales - Eakin akan memberikan hasil yang,
memuaskan untuk "sweet gas".
µg=K (10-4)exp(Xρgy) ................................................................ (3-44)
Keterangan :
M = γg x Mudara ......................................................................... (3-45)

K =
9.4  0.02M T 1.5 ............................................................. (3-46)
209  19M  T
986
X = 3.5   0.01M ............................................................. (3-47)
T
Y = 2.4  0.2X .......................................................................... (3-48)
Dimana :
 = viskositas gas, mikro poise.

 = massa jenis, gr/cc.

T = temperatur, 0R.

D. Faktor Volume Formasi Gas


Faktor volume formasi gas didefinisikan sebagai volume dalam
barel yang ditempati oleh 1 standart cubic feet gas (SCF) pada
temperatur 60 °F dan tekanan 14.7 Psia, bila dikembalikan pada
keadaan temperatur dan tekanan reservoir. Atau merupakan
perbandingan volume dari sejumlah gas pada kondisi reservoir dengan
kondisi standard (60 oF, 14,7 psia).
Persamaannya dapat dapat dicari dengan menggunakan
persamaan gas nyata (real gas), berdasarkan kondisi di reservoir dan di
permukaan:
Z .n.R.T
Vres P
Bg  = .............................................................. (3-49)
Vsc Zsc .n.R.T
Psc
Sehingga dari persamaan diatas faktor volume formasi gas menjadi :
64

Z .T .Psc
Bg = .......................................................................... (3-50)
Zsc.Tsc.P
Keterangan :
Z = Faktor kompressibilitas gas pada kondisi reservoir
Zsc = Faktor kompressibilitas gas pada kondisi standart
T = Suhu reservoir, oR
P = Tekanan reservoir, psia
Tsc = Suhu standart = 60 oF = 520 oR
Psc = Tekanan standart = 14,7 psia
Persamaan (2-50) dapat dituliskan sebagai berikut :

Z .T .(14,7) Z .T  cuft 
Bg   0,0282   ...................................... (3-51)
(1).(520).P P  scf 
atau

Z .T  res.bbl 
Bg  0,00504   ....................................................... (3-52)
P  scf 

E. Kompresibilitas Gas
Kompressibilitas gas didefinisikan sebagai perubahan volume gas
yang disebabkan oleh adanya perubahan tekanan yang
mempengaruhinya. Biasa juga dinyatakan sebagai coefficient
kompressibilitas isotermal dari gas. Hal ini perlu dibedakan antara
faktor kompressibilitas (Z) dengan kompressibilitas gas. Dimana faktor
kompressibilitas adalah suatu faktor yang menunjukkan penyimpangan
gas nyatadari keadaan ideal, sedangkan kompressibilitas gas adalah
menunjukkan efek dari tekanan terhadap volume gas pada temperatur
tetap. Kompresibilitas gas dapat dinyatakan dengan persamaan :
1  dV 
Cg     ........................................................................... (3-53)
v  dP 
Dalam pembahasan mengenai kompressibilitas gas terdapat dua
kemungkinan penyelesaian, yaitu :
65

1. Kompressibilitas gas ideal


Persamaan gas ideal adalah sebagai berikut :
n.R.T
PV = nRT atau V =
P
 dV  nRT
    2 ................................................................. . (3-54)
 dP  P
Kombinasi antara Persamaan (3-53) dan Persamaan (3-54)
sebagai berikut:
 1  nRT  1
Cg      2   ................................................ (3-55)
 V  P  P
2. Kompressibilitas gas nyata
Pada gas nyata, faktor kompressibilitas diperhitungkan.
Persamaannya adalah sebagai berikut :
Z
V  nRT ....................................................................... (3-56)
P
Bila dianggap konstan, penurunan persamaan tersebut
menghasilkan persamaan sebagai berikut :
dZ
P Z
 dV  dP
   nRT
 dP  P2
 1  dV 
Cg     
 V  dP 

P nRT  dZ   Cg  1  1 dZ
Cg    P  Z 
nRTZ P 2  dP  P Z dP
Cara lain untuk menentukan kompressibilitas gas adalah dengan
menggunakan hukum keadaan berhubungan, yaitu :
C pr
Cg  ................................................................................... (3-57)
Ppc

Keterangan :
Cpr = pseudo-reduced compressibility
Ppc = pseudo-critical pressure, psia
66

Z = faktor kompressibilitas
P = tekanan reservoir, Psia

F. Faktor Deviasi Gas


Penyelesaian masalah aliran gas, baik di reservoir, tubing maupun
di pipa produksi membutuhkan hubungan yang dapat menerangkan
tekanan, volume, dan temperatur. Untuk gas yang ideal hubungan
tersebut dinyatakan oleh persamaan keadaan :
P V = n R T ..................................................................... (3-58)
Gas yang bersifat sebagai gas nyata / real gas tidak memenuhi
Persamaan (2-54), tetapi memberi penyimpangan sebesar z (faktor
deviasi), sehingga Persamaan (2-58), menjadi :
P V = n z R T .................................................................. (3-59)
Keterangan :
P = tekanan, psia
V = volume, scf
n = jumlah mol, lb-mol
T = temperatur, oR
R = konstanta gas = 10.73 , cuft/lb-mol
Z = faktor deviasi
Penentuan harga z dari suatu gas alam dapat dilakukan melalui
pengukuran langsung, menggunakan korelasi Standing dan Katz, dan
menggunakan “equation of state” Jika komposisi gas tidak diketahui
tetapi gravitasi-gas tertentu yang di berikan, Tekanan Pseudocritical
dan Temperature dapat ditentukan dari berbagai chart/korelasi
dikembangkan berdasarkan grafik. Satu set korelasi sederhana Brill-
Begs untuk gas kondensat adalah sbb:
Tpc =187 + 330 γg – 71.5 γg² .......................................... (3-60)
Ppc =706 – 51.7 γg – 11.1 γg² ......................................... (3-61)
Dengan diketahuinya harga Ppc dan Tpc, maka harga Pr dan Tr
dapat dihitung. Untuk menentukan harga z (deviation faktor), Katz dan
67

Standing telah membuat korelasi berupa grafik : z = f (Pr,Tr) dapat


dilihat pada Gambar 3.17. di bawah ini.

Gambar 3.17. Faktor Kompressibilitas untuk Natural Gas 9)

Grafik ini memberikan hasil yang memuaskan bila gas tidak


mengandung CO2 dan H2S. Untuk gas yang mengandung kedua unsur
tersebut perlu dilakukan korelasiuntuk harga Ppc dan Tpc dahulu
sebelum menghitung Pr dan Tr koreksi tersebutadalah sebagai berikut :
T ' pc  Tpc  ε ............................................................................. (3-62)

Ppc T ' pc
P ' pc 

Tpc  ε B  B2 
............................................................. (3-63)

Keterangan :
Tpc = Temperatur Pseudokritis sebelum koreksi
Ppc = Tekanan Pseudokritis sebelum koreksi
68

T'pc = Temperatur Pseudokritis sesudah koreksi


P’pc = Tekanan Pseudokritis sesudah koreksi
  120 (A 0.9  A1.6 )  15( B 0.5  B 4 )
B = fraksi mol H2S
A = fraksi mol i mol C02 + B
Sehingga :
Tpr = T/T'pc ............................................................................. . (3-64)
Ppr = P/P'pc .............................................................................. . (3-65)
Korelasi dari Beggs and Brill (Golan and Whitson, 1986)
mempunyaiperhitungan harga z sebagai berikut :
𝑧 = 𝐴 + (1 − 𝐴)𝑒 −𝐵 + 𝐶𝑃𝑝𝑟 𝐷 ................................................. . (3-66)
Dimana :
A  1.39Tpr  0.920.5  0.36Tpr  0.101
 0.066  0.32 Ppr 6
B (0.62 – 0.23Tpr) Ppr +   0.037  Ppr 2  9(Tpr 1)
 Tpr  0.86  10
C  0.132  0.32 log T pr
0.31060.49Tpr  0.1824Tpr
2
D  10

2. Sifat Fisik Minyak


Fluida minyak bumi dijumpai dalam bentuk cair, sehingga sesuai
dengan sifat cairan pada umumnya, pada fasa cair jarak antara molekul-
molekulnya relatif lebih kecil daripada gas. Sifat-sifat minyak bumi yang
akan dibahas adalah densitas, viskositas, faktor volume formasi dan
kompressibilitas.

A. Densitas Minyak
Densitas didefinisikan sebagai perbandingan berat masa suatu
substansi dengan volume dari unit tersebut, sehingga densitas minyak
(o) merupakan perbandingan antara berat minyak (lb) terhadap volume
minyak (cuft). Perbandingan tersebut hanya berlaku untuk pengukuran
69

densitas di permukaan (laboratorium), dimana kondisinya sudah


berbeda dengan kondisi reservoir sehingga akurasi pengukuran yang
dihasilkan tidak tepat. Metode lain dalam pengukuran densitas adalah
dengan memperkirakan densitas berdasarkan pada komposisi
minyaknya. Persamaan yang digunakan adalah :

 oSC 
 Xi Mi .................................................... (3-67)
 X i M i  oSCi 
dimana :
oSC = densitas minyak (14,7 psia; 60 oF)
oSCi = densitas komponen minyak ke-i (14,7 psia; 60 oF)
Xi = fraksi mol komponen minyak ke-i
Mi = berat mol komponen minyak ke-i

Densitas minyak biasanya dinyatakan dalam specific gravity


minyak (o), yang didefinisikan sebagai perbandingan densitas minyak
terhadap densitas air, yang secara matematis, dituliskan :
o
o  .................................................................................. (3-68)
w
dimana :
o = specific gravity minyak
o = densitas minyak, lb/cuft
w = densitas air, lb/cuft

Industri perminyakan seringkali menyatakan specific gravity


minyak dalam satuan oAPI, yang dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
141,5
°API =  131,5 ............................................................. (3-69)
o
70

B. Viskositas Minyak
Viskositas minyak (o) didefinisikan sebagai ukuran ketahanan
minyak terhadap aliran, atau dengan kata lain viskositas minyak adalah
suatu ukuran tentang besarnya keengganan minyak untuk mengalir,
dengan satuan centi poise (cp) atau gr/100 detik/1 cm.
Viskositas minyak dipengaruhi oleh temperatur, tekanan dan
jumlah gas yang terlarut dalam minyak tersebut. Kenaikan temperatur
akan menurunkan viskositas minyak, dan dengan bertambahnya gas
yang terlarut dalam minyak maka viskositas minyak juga akan turun.
Hubungan antara viskositas minyak dengan tekanan ditunjukkan pada
Gambar 3.18. di bawah ini.

6
A
B.P
5
Viscosity, cp

3
B
B.P
2

B.P C
1

D B.P
0 1000 2000 3000
Pressure, psig

Gambar 3.18. Hubungan Viskositas terhadap Tekanan 9)

Gambar 3.18. menunjukkan bahwa tekanan mula-mula berada di


atas tekanan gelembung (Pb), dengan penurunan tekanan sampai (Pb),
mengakibatkan viskositas minyak berkurang, hal ini akibat adanya
pengembangan volume minyak. Kemudian bila tekanan turun dari Pb
sampai pada harga tekanan tertentu, maka akan menaikkan viskositas
minyak, karena pada kondisi tersebut terjadi pembebasan gas dari
larutan minyak.
71

Secara matematis, besarnya viskositas dapat dinyatakan dengan


persamaan :
F y
 x .......................................................................... (3-70)
A v
dimana :
 = viskositas, gr/(cm.sec)
F = shear stress
A = luas bidang paralel terhadap aliran, cm2
y / v = gradient kecepatan, cm/(sec.cm).

C. Faktor Volume Formasi Minyak


Faktor volume formasi minyak (Bo) didefinisikan sebagai volume
minyak dalam barrel pada kondisi standar yang ditempati oleh satu
stock tank barrel minyak termasuk gas yang terlarut. Atau dengan kata
lain sebagai perbandingan antara volume minyak termasuk gas yang
terlarut pada kondisi reservoir dengan volume minyak pada kondisi
standard (14,7 psi, 60 F). Satuan yang digunakan adalah bbl/stb.
Perhitungan Bo secara empiris (Standing) dinyatakan dengan
persamaan :
Bo = 0.972 + (0.000147 . F 1.175) ............................................ (3-71)
 g 
F  R s .   1.25 T ........................................................... (3-72)

 o 
dimana :
Rs = kelarutan gas dalam minyak, scf/stb
o = specific gravity minyak, lb/cuft
g = specific gravity gas, lb/cuft
T = temperatur, oF.
Perubahan Bo terhadap tekanan untuk minyak mentah jenuh
ditunjukkan oleh Gambar 3.19. di bawah ini. Tekanan reservoir awal
adalah Pi dan harga awal faktor volume formasi adalah Boi. Dengan
72

turunnya tekanan reservoir dibawah tekanan buble point, maka gas akan
keluar dan Bo akan turun.

Gambar 3.19. Ciri Alur Faktor Volume Formasi Terhadap


Tekanan untuk Minyak 6)

Terdapat dua hal penting dari Gambar 2.19, yaitu :


1. Jika kondisi tekanan reservoir berada diatas Pb, maka Bo akan
naik dengan berkurangnya tekanan sampai mencapai Pb, sehingga
volume sistem cairan bertambah sebagai akibat terjadinya
pengembangan minyak.
2. Setelah Pb dicapai, maka harga Bo akan turun dengan
berkurangnya tekanan, disebabkan karena semakin banyak gas
yang dibebaskan.
Proses pembebasan gas ada dua, yaitu :
a. Differential Liberation.
Merupakan proses pembebasan gas secara kontinyu. Dalam proses
ini, penurunan tekanan disertai dengan mengalirnya sebagian
fluida meninggalkan sistem. Minyak hanya berada dalam
kesetimbangan dengan gas yang dibebaskan pada tekanan tertentu
dan tidak dengan gas yang meninggalkan sistem. Jadi selama
proses ini berlangsung, maka komposisi total sistem akan berubah.
b. Flash Liberation
Merupakan proses pembabasan gas dimana tekanan dikurangi
dalam jumlah tertentu dan setelah kesetimbangan dicapai gas baru
dibebaskan.
73

Harga Bo dari kedua proses tersebut berbeda sesuai dengan


keadaan reservoir selama proses produksi berlangsung. Pada Gambar
3.20. di bawah ini terlihat bahwa harga Bo pada proses flash liberation
lebih kecil daripada proses differential liberation.

1000 1,8

ORIGINAL RESERVOIR PRESSURE


Gas in Solution, ocu.ft/BBL

Liberated Gas (air = 1,0)


800 1,6

Specific Gravity of
( ST.oil = 60 F ) ION
RAT
IBE
600 A SL 1,4
TIA
LG ION
EN RAT
FER IBE
SL
400 DIF GA 1,2
SH
FLA
200 1,0
DIFFERENTIAL GAS LIBERATION
0 0,8
0 400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600
Reservoir Pressure, psia

Gambar 3.20. Perbedaan antara Flash Liberation Dengan


Differential Liberation 9)

D. Kelarutan Gas dalam Minyak


Kelarutan gas (Rs) adalah banyaknya SCF gas yang terlarut dalam
satu STB minyak pada kondisi standar 14,7 psi dan 60 F, ketika
minyak dan gas masih berada dalam tekanan dan temperatur reservoir.
Kelarutan gas dalam minyak (Rs) dipengaruhi oleh tekanan,
temperatur dan komposisi minyak dan gas. Pada temperatur minyak
yang tetap, kelarutan gas tertentu akan bertambah pada setiap
penambahan tekanan. Pada tekanan yang tetap kelarutan gas akan
berkurang terhadap kenaikan temperatur. Ditunjukkan pada Gambar
3.21. di bawah ini.

Gambar 3.21. Kelarutan Gas (Rs) sebagai Fungsi Tekanan 6)


74

E. Kompressibilitas Minyak
Kompressibilitas minyak didefinisikan sebagai perubahan
volume minyak akibat adanya perubahan tekanan, secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut:
1  V 
Co     ................................................................... (3-73)
V  P 

Persamaan (3-73) dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih


mudah dipahami, sesuai dengan aplikasi di lapangan, yaitu :
B ob  B oi
Co  ................................................................. (3-74)
B oi Pi  Pb 
dimana :
Bob = faktor volume formasi pada tekanan bubble point
Boi = faktor volume formasi pada tekanan reservoir
Pi = tekanan reservoir
Pb = tekanan bubble point.

3. Sifat Fisik Air Formasi


Sifat fisik minyak yang akan dibahas adalah densitas, viskositas,
kelarutan gas dalam air formasi, kompressibilitas air formasi dan faktor
volume air formasi.

A. Densitas Air Formasi


Densitas air formasi dinyatakan dalam massa per volume, spesific
volume yang dinyatakan dalam volume per satuan massa dan spesific
gravity, yaitu densitas air formasi pada suatu kondisi tertentu yaitu pada
tekanan 14,7 psi dan temperatur 60 F.
Beberapa satuan yang umum digunakan untuk menyatakan sifat-
sifat air murni pada kondisi standard adalah sebagai berikut : 0,999010
gr/cc ; 8,334 lb/gal; 62,34 lb/cuft; 350 lb/bbl (US); 0,01604 cuft/lb. Dari
75

besaran-besaran satuan tersebut dapat dibuat suatu hubungan sebagai


berikut :
w 1 0,01604
w = = = 0,01604  w = ...... (3-75)
62,34 62,34 v w vw

dimana :
w = specific gravity air formasi
w = density, lb/cuft
vw = specific volume, cuft/lb
Untuk melakukan pengamatan terhadap densitas air formasi dapat
dihubungkan dengan densitas air murni pada kondisi sebagai berikut :
vw 
 wb B w .................................................................... (3-76)
v wb w
dimana :
vwb = specific volume air pada kondisi dasar, lb/cuft
wb = density dari air pada kondisi dasar, lb/cuft
Bw = faktor volume formasi air
Dengan demikian jika densitas air formasi pada kondisi dasar
(standard) dan faktor volume formasi ada harganya (dari pengukuran
langsung), maka densitas air formasi dapat ditentukan. Faktor yang
sangat mempengaruhi densitas air formasi adalah kadar garam dan
temperatur reservoir. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3.22. dibawah
ini.

0 p sia
66 , 870
32 F
o

sia
Density, lb/cu.ft

0 p
, 870o 5800 p sia
68 F
o
,
65 68 F
p sia
o
,
F 2900
o
50 F, 0 psia 68
64 o
70 F, 0 psia , 0 p sia
68 F
o

o
80 F, 0 psia o
90 F, 0 psia
63 o
100 F, 0 psia

62
5 10 15 20 25 30 35 40
Salinity, ppm x 10-3

Gambar 3.22. Pengaruh Konsentrasi Garam dan Temperatur


pada Densitas Air Formasi 1)
76

B. Viskositas Air Formasi


Besarnya viskositas air formasi (w) tergantung pada tekanan,
temperatur dan salinitas yang dikandung air formasi tersebut. Gambar
3.23. di bawah ini menunjukkan viskositas air formasi sebagai fungsi
temperatur. Viskositas air murni pada tekanan atmosfir dan pada
tekanan 7100 psia serta viskositas air pada kadar garam 6% pada
tekanan atmosfir.

Water salinity : 60000 ppm


1,8 at 14,7 psia pressure
at 14,2 psia pressure
1,6 at 7100 psia pressure
at vapour pressure
Absolut Viscosity, cp

1,4

1,2

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0
0 50 100 150 200 250 300 350
Temperatur, oF

Gambar 3.23. Viskositas Air pada Tekanan dan Temperatur


Reservoir 1)

Pada Gambar 3.23. diatas, terlihat bahwa pengaruh salinitas di


atas 6000 ppm dan tekanan di atas 7000 psi mempunyai pengaruh yang
kecil pada viskositas air formasi, yaitu hanya mencapai 0,5 cp meskipun
temperatur dinaikkan. Pada temperatur dan tekanan yang tetap, dengan
naiknya salinitas maka akan menaikkan viskositas air.

C. Faktor Volume Formasi Air Formasi


Faktor volume air formasi (Bw) menunjukkan perubahan volume
air formasi dari kondisi reservoir ke kondisi permukaan. Faktor volume
formasi air formasi ini dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur, yang
berkaitan dengan pembebasan gas dan air dengan turunnya tekanan,
77

pengembangan air dengan turunnya tekanan dan penyusutan air dengan


turunnya temperatur.
Harga faktor volume formasi air-formasi dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :
Bw = (1 + Vwp)(1 + Vwt) ....................................................... (3-77)
dimana :
Bw = faktor volume air formasi, bbl/bbl
Vwt = penurunan volume sebagai akibat penurunan suhu, oF
Vwp = penurunan volume selama penurunan tekanan, psi

Hubungan faktor volume air formasi dengan tekanan dan


temperatur ditunjukkan dengan Gambar 3.24. di bawah ini dan Tabel
3.12. serta Tabel 3.13. di halaman selanjutnya.

1,07
Water Formation Volume Factor, bbl/bbl

1,06

1,05 o
250 F
1,04

1,03
200 oF
1,02

1,01 150 oF
1,00
100 oF
0,99 pure water
pure water and natural gas
0,98
0 1000 2000 3000 4000 5000
Pressure, psia

Gambar 3.24. Faktor Volume Air Formasi sebagai fungsi dari


Tekanan dan Temperatur 1)
78

Tabel 3.12. Faktor Volume Air Formasi dengan Kandungan Gas 9)

Tekanan Faktor Volume Air Formasi, bbl/bbl (pada temperatur, oF)


Saturasi, psia 100 150 200 250
1000 1,0045 1,0183 1,0361 1,0584
2000 1,0031 1,0168 1,0345 1,0568
3000 1,0017 1,0154 1,0330 1,0552
4000 1,0003 1,0140 1,0316 1,0537
5000 0,9989 1,0126 1,0301 1,0522

Tabel 3.13. Faktor Volume Air Formasi tanpa Kandungan Gas 9)

Tekanan Faktor Volume Air Formasi, bbl/bbl (pada temperatur, oF)


Saturasi,
100 150 200 250
psia
1000 1,0025 1,0153 1,0335 1,0560
2000 0,9995 1,0125 1,0304 1,0523
3000 0,9966 1,0095 1,0271 1,0487
4000 0,9938 1,0067 1,0240 1,0452
5000 0,9910 1,0039 1,0210 1,0418
6000 0,9884 1,0031 1,0178 1,0402

D. Kelarutan Gas dalam Air Formasi


Standing dan Dodson2) telah menentukan kelarutan gas dalam air
formasi sebagai fungsi dari tekanan dan temperatur. Mereka
menggunakan gas dengan berat jenis 0,655 dan mengukur kelarutan gas
ini dalam air murni serta dua contoh air asin. Komposisi gas dan air asin
diperlihatkan pada Gambar 3.25., sedangkan Gambar 3.26. di
halaman selanjutnya menunjukkan kelarutan gas dalam air murni sesuai
dengan temperatur.
79

Na
Scale : meq / liter Cl
100 100
Ca HCO3
10 10
Mg SO4
100 10
Fe CO3
100 10
Na Cl
100 100
Ca HCO3
10 10
Mg SO4
100 10
Fe CO3
100 10

Na Cl
100 100
Ca HCO3
10 10
Mg SO4
100 10
Fe CO3
100 10

Gambar 3.25. Grafik Komposisi Gas Alam dan Air Garam yang
Digunakan pada Eksperimen Pengukuran Kelarutan Gas 9)

Dari hasil penelitian, disimpulkan beberapa pernyataan yang


bersifat umum tentang kelarutan gas dalam air dan air asin adalah
sebagai berikut :
1. Kelarutan gas dalam air formasi lebih kecil jika dibandingkan
dengan kelarutan gas dalam minyak pada kondisi tekanan dan
temperatur yang sama.
2. Pada temperatur yang tetap, kelarutan gas dalam air formasi akan
naik dengan naiknya tekanan.
3. Kelarutan gas alam dalam air asin akan berkurang dengan
bertambahnya kadar garam.
4. Kelarutan gas alam dalam air formasi akan berkurang dengan
naiknya berat jenis gas.
80

24

Solubility of Natural Gas in Water, cu.ft/bbl


p sia
20 5000
p sia
40 00
p sia
16 30 00

sia
12 2 0 00 p

8 1000 psia

500 psia
4

0
60 100 140 180 220 260
Temperature, oF

Gambar 3.26. Grafik Kelarutan Gas dalam Air 1)

E. Kompressibilitas Air Formasi


Kompresibilitas air formasi didefinisikan sebagai perubahan
volume yang disebabkan oleh adanya perubahan tekanan yang
mempengaruhinya. Besarnya kompressibilitas air murni (Cpw)
tergantung pada tekanan, temperatur dan kadar gas terlarut dalam air
murni, sebagaimana terlihat pada Gambar 3.27. dihalaman
selanjutnya.

3,6
Water Compressibility,
C w x 10 6, bb l/bb l.psi

3,2 sia
1000 p
20 0
0
30 00
2,8 4000
5000
1  V 
6000 C wp    
V  P T
2,4
60 100 140 180 220 260
o
Temperature, F

Gambar 3.27. Harga Kompressibilitas Air Murni Berdasarkan


Temperatur dan Tekanan 9)

Secara matematik, besarnya kompressibilitas air murni dapat


ditulis sebagai berikut :
81

1  V 
C wp     ............................................................... (3-78)
V  P  T
dimana :
Cwp = kompressibilitas air murni, psi –1
V = volume air murni, bbl
V; P = perubahan volume (bbl) dan tekanan (psi) air murni

Sedangkan pada air formasi yang mengandung gas, hasil


perhitungan harga kompressibilitas air formasi, harus dikoreksi dengan
adanya pengaruh gas yang terlarut dalam air murni. Koreksi terhadap
harga kompressibilitas air dapat dilakukan dengan menggunakan
Gambar 3.28. di bawah ini.

1,3
Solution Compressiblity
Water Compressibility

1,2

1,1

1,0
0 5 10 15 20 25
Gas-Water Ratio, cu.ft/bbl

Gambar 3.28. Koreksi Harga Kompressibilitas Air Formasi


Terhadap Kandungan Gas Terlarut 9)

Secara matematik, koreksi terhadap harga kompressibilitas air


(Cw) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
C w  C wp (1  0,0088 R sw ) ................................................. (3-79)

dimana :
Cwp = kompressibilitas air murni, psi-1
Rsw = kelarutan gas dalam air, cu ft/bbl
82

3.3 Kondisi Reservoir


Tekanan dan temperatur merupakan besaran-besaran yang sangat
penting dan berpengaruh terhadap keadaan reservoir, baik pada batuan
maupun fluidanya (air, minyak, dan gas). Tekanan dan temperatur lapisan
kulit bumi dipengaruhi oleh adanya gradient kedalaman, letak dari lapisan,
serta kandungan fluidanya.

3.3.1 Tekanan Reservoir


Tekanan yang terjadi dalam pori-pori batuan reservoir dan fluida
yang terkandung didalamnya disebut tekanan reservoir. Dengan adanya
tekanan reservoir yang disebabkan oleh adanya gradien kedalaman,
maka akan menyebabkan fluida reservoir akan mengalir dari formasi
ke lubang sumur yang relatif bertekanan rendah, sehingga tekanan
reservoir akan menurun dengan adanya kegiatan produksi. Tekanan
reservoir dibagi menjadi dua, yaitu tekanan hidrostatik, tekanan kapiler
dan tekanan overburden.

1. Tekanan Hidrostatik
Tekanan hidrostatik merupakan tekanan yang timbul akibat adanya
fluida yang mengisi pori-pori batuan, desakan oleh expansi gas (gas cap
gas), dan desakan gas yang membebaskan diri dari larutan akibat
penurunan tekanan selama proses produksi berlangsung. Ukuran dan
bentuk kolom fluida tidak berpengaruh terhadap besarnya tekanan ini.
Secara matematis tekanan hidrostatik dituliskan :
Ph = 0,052  D .............................................................................. (3-80)
dimana :
Ph = tekanan hidrostatik, psi
 = densitas fluida rata-rata, lb/gallon
D = tinggi kolom fluida, ft
83

2. Tekanan Kapiler
Tekanan kapiler merupakan tekanan yang ditimbulkan oleh adanya
kontak dua macam fluida yang tak saling campur. Besarnya tekanan
kapiler dapat ditentukan dengan persamaan :

Pc 
h
 w   o  ...................................................................... (3-81)
144
dimana :
Pc = tekanan kapiler, psi
h = selisih tinggi permukaan antara dua fluida, ft
w = densitas air, lb/cuft
o = densitas minyak, lb/cuft

3. Tekanan Overburden
Tekanan overburden merupakan tekanan yang diakibatkan oleh
adanya berat batuan dan kandungan fluida yang terdapat dalam pori-pori
batuan yang terletak di atas lapisan produktif, yang secara matematis
dituliskan :
G mb  G fl
Po   D1    ma +   fl ....................................... (3-82)
A
dimana :
Po = tekanan overburden, psi
Gmb = berat matrik batuan formasi, lb
Gfl = berat fluida yang terkandung dalam pori-pori batuan, lb
A = luas lapisan, in2
D = kedalaman vertikal formasi, ft
 = porositas, fraksi
ma = densitas matrik batuan, lb/cuft
fl = densitas fluida, lb/cuft
Besarnya tekanan overburden akan naik dengan meningkatnya
kedalaman, yang biasanya dianggap secara merata. Pertambahan tekanan
tiap feet kedalaman disebut gradien kedalaman.
84

Data-data tekanan reservoir, umumnya digunakan dalam hal-hal


sebagai berikut :
1. Menentukan karakteristik reservoir, terutama yang menyangkut
hubungan antara jumlah produksi dengan penurunan tekanan
reservoir.
2. Bila digabungkan dengan data produksi, sifat-sifat fisik batuan dan
fluida reservoir, akan bermanfaat dalam penaksiran gas/oil in place
dan recovery untuk berbagai jenis mekanisme pendorongnya.
3. Memperkirakan hubungan antar sumur-sumur yang letaknya
berdekatan dan bagaimana sistemnya.
4. Tekanan Formasi
Tekanan formasi dapat diklasifikasikan berdasarkan kondisinya
sebagai berikut :
a. Normal  Gradien tekanan formasi = Gradien tekanan air asin
{ 0.433 psi/ft (fresh water) s/d 0.465 psi/ft (salt water)}

b. Subnormal  Gradien tekanan formasi < Gradien tekanan air asin


( 0.200 psi/ft s/d 0.433 psi/ft )

c. Abnormal  Gradien tekanan formasi > Gradien tekanan air asin


( 0.465 psi/ft s/d 1000 psi/ft )

3.3.2 Temperatur Reservoir


Temperatur akan mengalami kenaikan dengan bertambahnya
kedalaman, ini dinamakan gradien geothermal yang dipengaruhi oleh jauh
dekatnya dari pusat magma. Besaran gradien geothermal ini bervariasi dari
satu tempat ke tempat lain, dimana harga rata-ratanya adalah 2oF/100 ft.
Gradien geothermal yang tertinggi adalah 4oF/100 ft, sedangkan yang
terendah adalah 0.5 oF/100 ft. Variasi yang kecil dari gradien geothermal
ini disebabkan oleh sifat konduktivitas thermis beberapa jenis batuan.
Besarnya gradien geothermal dari suatu daerah dapat dicari dengan
menggunakan persamaan :
85

Tformasi  Ts tan dard


Gradien geothermal  ............................. (3-83)
Kedalalama n Formasi
Harga gradien geothermal berkisar antara 1,11 oF sampai 2 oF/100 f.
Seperti diketahui temperatur sangat berpengaruh terhadap sifat – sifat fisik
fluida reservoir. Hubungan temperatur terhadap kedalaman dapat
dinyatakan sebagai berikut :
Td = Ta + (GTH x D) ...................................................................... (3-84)
dimana :
Td = temperatur reservoir pada kedalaman D ft, oF
Ta = temperatur pada permukaan, oF
GTH = gradient temperatur, oF
D = kedalaman, ratusan ft.

Suatu contoh kurva gradien temperatur terhadap kedalaman suatu


lapangan minyak dapat dilihat pada Gambar 3.29. di bawah ini.
4000

4500

5000
Ked a la ma n, ft

5500

6000

6500

7000

150 160 170 180 190 200 210


o
Temp era tur, F

Gambar 3.29. Kurva Gradien Temperatur Terhadap Kedalaman 1)

3.4 Jenis-jenis Reservoir


Jenis–jenis reservoir dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu berdasarkan
perangkap reservoir dan mekanisme pendorong.
86

3.4.1 Perangkap Reservoir


Jenis reservoir berdasarkan perangkap reservoir dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu perangkap struktur, perangkap stratigrafi, dan perangkap kombinasi struktur
dan stratigrafi.
A. Perangkap Struktur
Perangkap struktur merupakan perangkap yang paling orisinal dan
sampai dewasa ini merupakan perangkap yang paling penting. Jelas di sini
berbagai unsur perangkap yang membentuk lapisan penyekat dan lapisan
reservoir sehingga dapat menangkap minyak, disebabkan gejala tektonik
atau struktur, misalnya pelipatan dan pematahan. Sebetulnya kedua unsur
ini merupakan unsur utama dalam pembentukan perangkap.
Perangkap yang disebabkan perlipatan merupakan perangkap utama.
Unsur yang mempengaruhi perangkap ini adalah lapisan penyekat dan
penutup yang berada diatasnya dan dibentuk sedemikian sehingga minyak
tidak dapat lagi kemana–mana, yang ditunjukkan pada Gambar 3.30. di
bawah ini.

16)
Gambar 3.30. Perangkap Lipatan Antiklin

Untuk mengevaluasi suatu perangkap lipatan terutama mengenai ada


tidaknya tutupan (batas maksimal wadah dapat diisi oleh fluida), jadi tidak
87

dipermasalahkan apakah lipatan itu ketat atau landai, yang penting ialah
adanya tutupan.
Suatu lipatan dapat saja terbentuk tanpa terjadinya suatu tutupan
sehingga tidak dapat disebut suatu perangkap. Disamping itu ada tidaknya
tutupan tergantung pada faktor struktur dan posisinya ke dalam.
Contohnya, pada permukaan didapatkan struktur tutupan tetapi
makin ke dalam makin menghilang. Jadi untuk mengevaluasi perangkap
pelipatan selain dari adanya tutupan juga harus dievaluasi apakah tutupan
tersebut terdapat pada lapisan reservoir.
Perangkap patahan sering juga terdapat dalam berbagai reservoir
minyak dan gas. Gejala patahan (sesar) dapat bertindak sebagai unsur
penyekat dalam penyaluran minyak. Sering dipermasalahkan apakah
patahan itu merupakan penyekat atau penyalur.
Secara teoritis, memperlihatkan bahwa patahan dalam batuan yang
basah air tergantung pada tekanan kapiler dari medium dalam jalur patahan
tersebut.
Besar–kecilnya tekanan yang disebabkan oleh pelampungan minyak
atau kolom minyak terhadap besarnya tekanan kapiler, menentukan sekali
apakah patahan itu bertindak sebagai penyalur atau penyekat.
Jika tekanan tersebut lebih besar daripada tekanan kapiler maka
minyak masih dapat tersalurkan melalui patahan, tetapi jika lebih kecil
maka patahan tersebut bertindak sebagai suatu penyekat. Patahan yang
berdiri sendiri tidaklah dapat membentuk suatu perangkap. Ada beberapa
unsur lain yang harus dipenuhi untuk terjadinya suatu perangkap yang
betul–betul hanya disebabkan karena patahan, yaitu:
1. Adanya kemiringan wilayah
Lapisan yang sejajar atau tidak miring tidak dapat membentuk
perangkap karena walaupun minyak tersekat pada arah pematahan,
tetapi pada arah lain tidak tersekat, kecuali kalau ketiga arah lainnya
tertutup oleh berbagai macam patahan.
88

2. Paling sedikit harus ada dua patahan yang berpotongan


Jika hanya terdapat suatu kemiringan wilayah dan suatu patahan
di satu pihak, maka dalam suatu penampang kelihatannya sudah terjadi
perangkap yang terlihat pada Gambar 3.31. di halaman selanjutnya.
Tetapi harus dipenuhi syarat juga bahwa perangkap atau penutup itu
terjadi dalam tiga dimensi, maka dalam dimensi lainnya harus terjadi
juga pematahan atau menutup ke arah tersebut.

Gambar 3.31. Perangkap Patahan Dengan Kemiringan Wilayah


Sebagai Salah Satu Unsurnya 16)

3. Adanya suatu pelengkungan lapisan atau suatu pelipatan


Dalam hal ini, patahan merupakan penyekat ke suatu arah
sedangkan pada arah lainnya tertutup oleh adanya pelengkungan dari
perlapisan ataupun bagian dari perlipatan, seperti yang dapat dilihat
pada Gambar 3.32. pada halaman selanjutnya.

Gambar 3.32. Perangkap Patahan dengan Pelengkungan sebagai


Unsurnya 16)
89

4. Pelengkungan dari patahan itu sendiri dan kemiringan wilayah


Di suatu arah mungkin lapisan itu miring tetapi di pihak lainnya
terdapat patahan yang melengkung sehingga semua arah tertutup oleh
patahan pada Gambar 3.33. di bawah ini. Dalam prakteknya jarang
sekali terdapat perangkap patahan yang murni. Patahan biasanya hanya
merupakan suatu pelengkungan dari suatu perangkap struktur.

Gambar 3.33. Perangkap Patahan Pelengkungan dengan


Kemiringan Wilayah 16)

B. Perangkap Stratigrafi
Prinsip perangkap stratigrafi ialah minyak dan gas terjebak dalam
perjalanannya ke atas, terhalang dari segala arah terutama dari bagian atas
dan pinggir, karena batuan reservoir menghilang atau berubah fasies
menjadi batuan lain atau batuan yang karakteristik reservoir menghilang
sehingga merupakan penghalang permeabilitasnya.
Beberapa unsur utama perangkap stratigrafi ialah :
1. Adanya perubahan sifat litologi dengan beberapa sifat reservoir, ke
satu atau beberapa arah sehingga merupakan penghalang
permeabilitas.
2. Adanya lapisan penutup/ penyekat yang menghimpit lapisan
reservoir tersebut ke arah atas atau ke pinggir.
90

3. Keadaan struktur lapisan reservoir yang sedemikian rupa sehingga


dapat menjebak minyak yang naik. Kedudukan struktur ini
sebetulnya melokalisasi posisi tertinggi daripada daerah potensial
rendah dalam lapisan reesrvoir yang telah tertutup dari arah atas dan
pinggir oleh beberapa unsur tersebut di atas. Kedudukan struktur ini
dapat disebabkan oleh kedudukan pengendapan atau juga karena
kemiringan wilayah.
Levorsen (1954), membagi perangkap stratigrafi sebagai berikut:
1. Tubuh batuan reservoir terbatas (lensa)
a. Batuan reservoir klastik detritus dan vulkanik.
b. Batuan reservoir karbonat; terumbu, bioherm
2. Pembajian, perubahan fasies ataupun porositas dari lapisan reservoir
ke suatu arah regional ataupun lokal dari:
a. Batuan reservoir klastik detritus
b. Batuan reservoir karbonat.
3. Perangkap ketidak–selarasan.
Perubahan sifat litologi/sifat reservoir ke suatu arah daripada lapisan
reservoir dapat disebabkan :
a. Pembajian, dimana lapisan reservoir yang dihimpit di antara lapisan
penyekat menipis dan menghilang. Dapat di lihat dihalaman
berikutnya pada Gambar 3.34. dibawah ini:

Gambar 3.34. Perangkap Stratigrafi karena pembajian 16)


91

b. Penyerpihan (shale–out), dimana ketebalan tetap, akan tetapi sifat


litologi berubah pada Gambar 3.35. dibawah ini.

16)
Gambar 3.35. Perangkap Statigafi karena Penyerpihan

c. Bidang ketidakselarasan, diebabkan oleh adanya erosi pada


pelapisan batuan permeabel yng miring, kemudian terjadi proses
pengendapan diatasnya dan menjadi lapisan penyekat di atas bidang
ketidak selarasan, di lihat pada Gambar 3.36. dibawah ini.

Gambar 3.36. Perangkap Statigrfi karena Bidang


Ketidakselarasan 16)

Pada hakekatnya, perangkap stratigrafi didapatkan karena letak


posisi struktur tubuh batuan sedemikian sehingga batas lateral tubuh
tersebut merupakan penghalang permeabilitas ke arah atas atau ke pinggir.
Jika tubuh batuan reservoir itu kecil dan sangat terbatas, maka posisi
struktur tidak begitu penting, karena seluruhnya atau sebagian besar dari
92

tubuh tersebut merupakan perangkap. Posisi struktur hanya menyesuaikan


letak hidrokarbon pada bagian tubuh reservoir.
Jika tubuh reservoir memanjang atau meluas, maka posisi struktur
sangat penting. Perangkap tidak akan terjadi jika tubuh reservoir berada
dalam keadaan horisontal.
Jika bagian tengah tubuh terlipat, maka perangkap yang terjadi
adalah perangkap struktur (antiklin). Untuk terjadinya perangkap
stratigrafi, maka posisi struktur lapisan reservoir harus sedemikian
sehingga salah satu batas lateral tubuh reservoir (yang dapat berupa unsur
di atas tadi), merupakan penghalang permeabilitas ke atas.

C. Perangkap Kombinasi
Perangkap reservoir kebanyakan merupakan kombinasi perangkap
struktur dan perangkap stratigrafi dimana setiap unsur struktur merupakan
faktor bersama dalam membatasi bergeraknya minyak dan gas. Beberapa
kombinasi antara unsur stratigrafi dan unsur struktur adalah sebagai
berikut:
1. Kombinasi antara lipatan dengan pembajian
Dalam Gambar 3.37. di bawah ini dapat dilihat bahwa
kombinasi lipatan dengan pembajian dapat terjadi karena salah satu
pihak, pasir menghilang dan di lain pihak hidung antiklin menutup
arah lainnya. Maka jelaslah hal ini sering terjadi pada perangkap
stratigrafi normal.

Gambar 3.37. Perangkap kombinasi jenis Lipatan dengan


Pembajian 16)
93

2. Kombinasi antara patahan dan pembajian


Pembajian yang berkombinasi dengan patahan jauh lebih biasa
daripada pembajian yang berdiri sendiri. Kombinasi ini dapat terjadi
karena terdapat suatu kemiringan wilayah yang membatasi
bergeraknya ke suatu arah dan diarah lain ditahan oleh adanya suatu
patahan dan pada arah lainnya lagi ditahan oleh pembajian Gambar
3.38. di bawah ini:

Gambar 3.38. Perangkap Kombinasi Jenis Patahan dengan


Pembajian 16)

3.4.2 Mekanisme Pendorong Reservoir


Telah diketahui bahwa minyak bumi tidak mungkin mengalir sendiri dari
reservoirnya ke lubang sumur produksi bila tidak terdapat suatu energi yang
mendorongnya. Jenis reservoir berdasarkan mekanisme pendorong reservoir dibagi
menjadi lima, yaitu : Depletion drive reservoir, gas cap drive reservoir,
gravitational segregation drive reservoir, water drive reservoir dan combination
drive reservoir.
A. Depletion Drive Reservoir
Reservoir jenis ini sering disebut juga solution gas drive, dissolved
gas drive atau internal gas drive, hal dikarenakan energi pendesak
minyaknya adalah terutama dari perubahan fasa pada hidrokarbon-
hidrokarbon ringannya yang semula merupakan fasa cair menjadi gas.
Kemudian gas yang terbentuk ini ikut mendesak minyak ke sumur
94

produksinya pada saat penurunan tekanan reservoir karena produksi


tersebut seperti pada Gambar 3.39. di bawah ini.
Setelah sumur selesai dibor menembus reservoir dan produksi
minyak dimulai, maka akan terjadi suatu penurunan tekanan di sekitar
lubang bor. Penurunan tekanan ini akan menyebabkan fluida mengalir
dari reservoir menuju lubang bor melalui pori–pori batuan.
Penurunan tekanan disekitar sumur bor akan menimbulkan
terjadinya fasa gas. Pada saat awal, karena saturasi gas tersebut masih kecil
(belum membentuk fasa yang kontinyu), maka gas tersebut terperangkap
pada ruang antar butiran reservoirnya, tetapi setelah tekanan reservoir
tersebut cukup kecil dan gas sudah terbentuk banyak atau dapat bergerak
maka gas tersebut turut serta terproduksi ke permukaan.

Gambar 3.39. Depletion Drive Reservoir 16)

Pada awal produksi, karena gas yang dibebaskan dari minyak masih
terperangkap pada sela–sela pori batuan, maka gas oil ratio produksi akan
lebih kecil jika dibandingkan dengan rasio gas–minyak reservoir.
Rasio gas–minyak produksi akan bertambah besar bila gas pada
saluran pori–pori tersebut mulai bisa mengalir, hal ini terus–menerus
berlangsung hingga tekanan reservoir menjadi rendah. Bila tekanan telah
cukup rendah maka gas oil ratioakan menjadi berkurang sebab volume gas
95

di dalam reservoir tinggal sedikit. Dalam hal ini minyak–gas produksi dan
rasio minyak–gas reservoir harganya hampir sama.
Recovery yang mungkin diperoleh sekitar 5 – 30 %. Dengan demikian
untuk reservoir jenis ini pada tahap teknik produksi primernya akan
meninggalkan residual oil yang cukup besar. Produksi air hampir–hampir
tidak ada karena reservoirnya terisolir, sehingga meskipun terdapat
connate water tetapi hampir– hampir tidak dapat terproduksi.

B. Gas Cap Drive Reservoir


Dalam beberapa tempat dimana terakumulasinya minyak bumi,
kadang–kadang pada kondisi reservoirnya komponen–komponen ringan
dan menengah dari minyak bumi tersebut membentuk suatu fasa gas. Gas
bebas ini kemudian melepaskan diri dari minyaknya dan menempati
bagian atas dari reservoir itu membentuk suatu tudung.
Hal ini bisa merupakan suatu energi pendesak untuk mendorong
minyak bumi dari reservoir ke lubang sumur dan mengangkatnya ke
permukaan. Bila reservoir ini dikelilingi suatu batuan yang merupakan
perangkap, maka energi ilmiah yang menggerakkan minyak ini berasal
dari dua sumber, yaitu ekspansi gas cap dan ekspansi gas yang terlarut lalu
melepaskan diri.
Mekanisme yang terjadi pada gas cap reservoir ini adalah minyak
pertama kali diproduksikan, permukaan antara minyak dan gas akan turun,
gas cap akan berkembang ke bawah selama produksi berlangsung. Untuk
jenis reservoir ini, umumnya tekanan reservoir akan lebih konstan jika
dibandingkan dengan solution gas drive.
Hal ini disebabkan bila volume gas cap drive telah demikian besar,
maka tekanan minyak akan jadi berkurang dan gas yang terlarut dalam
minyak akan melepaskan diri menuju ke gas cap, dengan demikian minyak
akan bertambah ringan, encer, dan mudah untuk mengalir menuju lubang
bor seperti pada Gambar 3.40. pada halaman selanjutnya.
96

Gambar 3.40. Gas Cap Drive Reservoir 16)

Kenaikan gas oil ratio juga sejalan dengan pergerakan permukaan


ke bawah, air hampir–hampir tidak diproduksikan sama sekali.
Karena tekanan reservoir relatif kecil penurunannya, juga minyak
berada di dalam reservoirnya akan terus semakin ringan dan mengalir
dengan baik, maka untuk reservoir jenis ini akan mempunyai umur dan
recovery sekitar 20 – 40 %, yang lebih besar jika dibandingkan dengan
jenis solution gas drive.
Sehingga residu oil yang masih tertinggal di dalam reservoir ketika
lapangan ini ditutup adalah lebih kecil jika dibandingkan dengan jenis
solution gas drive.

C. Gravity Drainage Reservoir


Gravity Drainage atau Segregation drive reservoir merupakan
energi pendorong minyak bumi yang berasal dari kecenderungan gas,
minyak, dan air membuat suatu keadaan yang sesuai dengan massa jenisnya
(karena gaya gravitasi).
Gravity drainage mempunyai peranan yang penting dalam
memproduksi minyak dari suatu reservoir. Sebagai contoh bila kondisinya
cocok, maka recovery dari solution gas drive reservoir bisa ditingkatkan
dengan adanya gravity drainage ini. Demikian pula dengan reservoir–
reservoir yang mempunyai energi pendorong lainnya.
97

Seandainya dalam reservoir itu terdapat tudung gas primer (primary


gas cap) maka tudung gas ini akan mengembang sebagai proses gravity
drainage tersebut. Reservoir yang tidak mempunyai tudung gas primer
segera akan mengadakan penentuan tudung gas sekunder (secondary gas
cap).
Pada awal dari reservoir ini, gas oil ratio dari sumur–sumur yang
terletak pada struktur yang lebih tinggi akan cepat meningkat sehingga
diperlukan suatu program penutupan sumur–sumur tersebut. Diharapkan
dengan adanya program ini perolehannya minyaknya dapat mencapai
maksimum.
Besarnya gravity drainage dipengaruhi oleh gravity minyak,
permeabilitas zona produktif, dan juga dari kemiringan dari formasinya.
Faktor–faktor kombinasi seperti misalnya, viskositas rendah,
specific gravity rendah, mengalir pada atau sepanjang zona dengan
permeabilitas tinggi dengan kemiringan lapisan cukup curam, ini
semuanya akan menyebabkan perbesaran dalam pergerakan minyak dalam
struktur lapisannya, dapat di lihat pada Gambar 3.41. dihalaman
selanjutnya.
Dalam reservoir gravity drainage perembesan airnya kecil atau
hampir tidak ada produksi air. Laju penurunan tekanan tergantung pada
jumlah gas yang ada. Jika produksi semata–mata hanya karena gas
gravitasi, maka penurunan tekanan dengan berjalannya produksi akan
cepat. Hal ini disebabkan karena gas yang terbebaskan dari larutannya
terproduksi pada sumur struktur sehingga tekanan cepat akan habis.
98

16)
Gambar 3.41. Gravity Drainage Drive Reservoir
Recovery yang mungkin diperoleh dari jenis reservoir gravity
drainage ini sangat bervariasi. Bila gravity drainage baik, atau bila laju
produksi dibatasi untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari
gayagravity drainage ini maka recovery yang didapat akan tinggi. Pernah
tercatat bahwa recovery dari gravity drainage ini melebihi 80 % dari
cadangan awal (IOIP). Pada reservoir dimana bekerja juga solution gas
drive ternyata recovery–nya menjadi lebih kecil.

D. Water Drive Reservoir


Untuk reservoir jenis water drive ini, energi pendesakan yang
mendorong minyak untuk mengalir adalah berasal dari air yang
terperangkap bersama–sama dengan minyak pada batuan reservoirnya.
Apabila dilihat dari terbentuknya batuan reservoir water drive, maka
air merupakan fluida pertama yang menempati pori–pori reservoir. Tetapi
dengan adanya migrasi minyak bumi maka air yang berada disana
tersingkir dan digantikan oleh minyak.
Dengan demikian karena volume minyak ini terbatas, maka bila
dibandingkan dengan volume air yang merupakan fluida pendesaknya
akan jauh lebih kecil, seperti pada Gambar 3.42. pada halaman
selanjutnya.
99

Rasio gas–minyak untuk reservoir jenis ini relatif lebih konstan jika
dibandingkan dengan reservoir jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena
tekanan reservoir relatif akan konstan karena dikontrol terus oleh
pendesakan air yang hampir tidak mengalami penurunan.
Produksi air pada awal produksi sedikit, tetapi apabila permukaan air
telah mencapai lubang bor maka mulai mengalami kenaikan produksi yang
semakin lama semakin besar secara kontinyu sampai sumur tersebut
ditinggalkan karena produksi minyaknya tidak ekonomis lagi.

16)
Gambar 3.42. Water Drive Reservoir
Untuk reservoir dengan jenis pendesakan water drive maka bagian
minyak yang terproduksi akan lebih besar jika dibandingkan dengan jenis
pendesakan lainnya, yaitu antara 35 – 75% dari volume minyak yang ada.
Sehingga minyak sisa (residual oil) yang masih tertinggal didalam
reservoir akan lebih sedikit.

E. Combination Drive Reservoir


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa reservoir minyak dapat dibagi
dalam beberapa jenis sesuai dengan jenis energi pendorongnya. Tidak
jarang dalam keadaan sebenarnya energi–energi pendorong ini bekerja
bersamaan dan simultan.
100

Bila demikian, maka energi pendorong yang bekerja pada reservoir


itu merupakan kombinasi beberapa energi pendorong, sehingga dikenal
dengan namacombination drive reservoir.
Kombinasi yang umum dijumpai adalah antara gas cap drive dengan
water drive. Sehingga sifat–sifat reservoirnya jadi lebih kompleks jika
dibandingkan dengan energi pendorong tunggal, dapat dilihat pada
Gambar 3.43. pada halaman selanjutnya.
Untuk reservoir minyak jenis ini, maka gas yang terdapat pada gas
capakan mendesak kedalam formasi minyak, demikian pula dengan air
yang berada pada bagian bawah dari reservoir tersebut.
Pada saat produksi minyak tidak sempat berubah fasa menjadi gas
sebab tekanan reservoir masih cukup tinggi karena dikontrol oleh tekanan
gas dari atas dan air dari bawah. Dengan demikian peristiwa depletion
untuk reservoir jenis ini dikatakan tidak ada, sehingga minyak yang masih
tersisa di dalam reservoir semakin kecil karena recovery minyaknya tinggi
dan effesiensi produksinya lebih tinggi.
Karakteristik dari combination drive reservoir adalah :
1. Penurunan teknan air akan relative cukup cepat
2. Laju pengurasan air akan naik secara perlahan
3. Jika terdapat gas cap maka pada sumur-sumur yang terletak dibagian
atas reservoir akan menghasilkan GOR yang cukup besar.
4. Faktor perolehan dari combination drive adalah lebih besar
dibandingkan solution gas drive tetapi lebih kecil dibandingkan gas
cap dan water drive.
101

Gambar 3.43. Combination Drive Reservoir 16)

3.5 Produktivitas Formasi


Secara umum produktivitas formasi dapat dinyatakan sebagai suatu
akumulasi hidrokarbon dalam batuan porous permeable untuk memproduksikan
fliuda yang dikandungnya, ukuran keproduktifan formasi secara sesaat dapat
dinyatakan sebagai Productivity Index (PI) yang kemudian dikembangkan sebagai
Inflow Performance Relationship (IPR), namun sebelum membahas mengenai
produktivititas formasi tersebut, maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang
dasar–dasar yang berhubungan dengan produktivitas formasi.

3.5.1 Aliran Fluida dalam Media Berpori.


Aliran fluida adalah suatu gejala perpindahan zat akibat gerakan-
gerakan massa materi zat, dimana fluida dapat berupa gas atau cair atau
kedua-duanya. Fluida yang mengalir dari formasi ke lubang sumur dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a. Jumlah fasa yang mengalir
b. Sifat fisik fluida reservoir
c. Sifat fisik batuan reservoir
d. Konfigurasi disekitar lubang bor, seperti : adanya lubang perforasi, Skin
(kerusakan formasi), gravel pack, rekahan hasil perekahan hidrolik
e. Kemiringan lubang sumur
f. Bentuk daerah pengurasan
102

Keenam faktor di atas, secara ideal harus mewakili dalam setiap


persamaan perhitungan kelakukan aliran fluida dari formasi ke lubang sumur.
Aliran fluida dalam media berpori telah dikemukakan oleh Darcy (1856),
dimana persamaan dibedakan berdasarkan sistem aliran dan jenis fluidanya.
a. Sistem Aliran Linier Horizontal
Laju alir dari sistem aliran linier horizontal dapat dituliskan
dengan persamaan sebagai berikut.
0.001127kA( P1  P2 )
q ...............................................................(3-85)
BL
Dimana :
q = laju alir, STB
k = permeabilitas, mD
A = luas, ft2
L = panjang media berpori, ft
P = tekanan, psi
B = faktor volume formasi, bbl/STB
 = viskositas fluida yang mengalir, cp
b. Sistem Aliran Linier Miring
Laju alir dari sistem aliran linier miring dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
 0.001127kA  ( P2  P1 ) 
q   gL sin   ....................................(3-86)
B  L 
c. Sistem Aliran Radial
Laju alir dari sistem aliran radial dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
0.00708kh( Pe  Pw )
q ................................................................(3-87)
B ln( re / rw )
d. Sistem Aliran Linier Gas
Laju alir dari sistem aliran linier untuk gas dapat dituliskan
dengan persamaan sebagai berikut.
103

0.1118kA 2
qsc  ( P1  P2 ) ............................................................(3-88)
2

LZT
e. Sistem Aliran Radial Gas
Laju alir dari sistem aliran radial untuk gas dapat dituliskan
dengan persamaan sebagai berikut.
0.7032kh
qsc  ( Pe  Pw ) ...................................................(3-89)
2 2

 ln( re / rw )TZ
Dimana :
q = laju alir, STB
k = permeabilitas, mD
h = ketebalan lapisan, ft
P = tekanan, psi
A = luas, ft2
L = panjang media berpori, ft
α = sudut kemiringan lapiran, °
ρg = gradien tekanan fluida, 0.433 psi/ft (air tawar), 0.465 psi/ft (air
asin)
B = faktor volume formasi, bbl/STB
 = viskositas fluida yang mengalir, cp
re = jari – jari pengurasan sumur, ft
rw = jari – jari sumur, ft
qsc = laju alir gas pada kondisi standar, SCF
Z = faktor devias gas
T = temperatur, °R

3.5.2 Aliran Laminer dan Turbulen dalam Pipa


Aliran fluida dapat dibedakan menjadi aliran laminar dan aliran
turbulen, tergantung pada jenis garis alir yang dihasilkan oleh partikel-
partikel fluida. Jika aliran dari seluruh partikel fluida bergerak sepanjang
garis yang sejajar dengah arah aliran (atau sejajar dengan garis tengah pipa,
jika fluida mengalir di dalam pipa), fluida yang seperti ini dikatakan laminar.
104

Fluida laminar kadang-kadang disebut dengan fluida viskos atau fluida


garis alir (streamline). Kata laminar berasal dari bahasa latin lamina, yang
berarti lapisan atau plattipis. Sehingga, aliran laminar berarti aliran yang
berlapislapis. Lapisan-lapisan fluida akan saling bertindihan satu sama lain
tanpa bersilangan seperti pada Gambar 3.44. menunjukkan aliran turbulen
dan aliran laminer .
Jika gerakan partikel fluida tidak lagi sejajar, mulai saling bersilang satu
sama lain sehingga terbentuk pusaran di dalam fluida, aliran yang seperti ini
disebut dengan aliran turbulen, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.44.
di bawah ini.

Gambar 3.44. Aliran Turbulent (atas) Dan Aliran Laminer (bawah) 7)

Karakteristik struktur aliran internal (dalam pipa) sangat tergantung


dari kecepatan rata-rata alirandalam pipa, densitas, viskositas dan diameter
pipa. Aliran fluida (cairan atau gas) dalam pipa mungkin merupakan aliran
laminer atau turbulen. Perbedaan antara aliran laminar dan turbulen secara
eksperimen pertama sekali dipaparkan oleh Osborne Reynolds pada tahun
1883. Eksperimen itu dijalankan dengan menyuntikkan cairan berwarna ke
dalam aliran air yang mengalir di dalam tabung kaca. Jika fluida bergerak
dengan kecepatan cukup rendah, cairan berwarna akan mengalir didalam
sistem membentuk garis lurus tidak bercampur dengan aliaran air.
Pada kondisi seperti ini, fluida masih mengalir secara laminar. Jadi pada
prinsipnya, jika fluida mengalir cukup rendah seperti kondisi eksperimen ini,
105

maka terdapat garis alir. Bila kecepatan fluida ditingkatkan, maka akan
dicapai suatu kecepatan kritis. Fluida mencapai kecepatan kritis dapat
ditandai dengan terbentuknya gelombang cairan warna. Artinya garis alir
tidak lagi lurus, tetapi mulai bergelombang dan kemudian garis alir
menghilang, karena cairan berwarna mulai menyebar secara seragam ke
seluruh arah fluida air,
Perilaku ketika fluida mulai bergerak secara acak (tak menentu)
dalambentuk arus-silang dan pusaran, menunjukkan bahwa aliran air tidak
lagi laminar. Pada kondisi seperti ini garis alir fluida tidak lagi lurus dan
sejajar.
Menurut Reynold, untuk membedakanapakah aliran itu turbulen atau
laminar dapat menggunakan bilangan tak berdimensi yang disebut dengan
Bilangan Reynold.
Bilangan ini dihitung dengan persamaan berikut :
𝝆𝒗𝑫
𝑹𝒆 = ................................................................................... (3-90)
µ

Dimana:
Re = Bilangan Reynold (tak berdimensi)
v = kecepatan rata-rata (ft/s atau m/s)
D = diameter pipa (ft atau m)
k = viskositas kinematik (m2/s)
Pada Re < 2300, aliran bersifat laminer.
Pada Re > 4000, aliran bersifat turbulen.
Pada Re = 2300-4000 terdapat daerah transisi.

3.5.3 Productivity Index (PI)


Kemampuan suatu akumulasi hidrokarbon dalam batuan porous untuk
memproduksikan fluida yang dikandungnya tergantung dari produktivitas
reservoir. Ukuran keproduktifan reservoir ini dikenal dengan Productivity
Index (PI).
106

3.5.3.1 Konsep PI
Telah dibicarakan diatas bahwa Produktivity Index ialah suatu index
atau derajat pengukuran kemampuan produksi suatu sumur, yang
didefinisikan sebagai perbandingan antara rate produksi yang dinyatakan
dalam stock tank barrel per hari dengan pressure draw-down.
Kecuali secara khusus, PI didasarkan pada gross liquid production,
tapi ada juga yang mendasarkan dengan rate produksi minyak (qo).
Secara matematis bentuknya dapat ditulis sebagai berikut :
q
PI  J  STB/hari/psi .................................................. (3-91)
( Ps  Pwf )
Dimana :
q = gross liquid rate, STB/hari
Ps = tekanan static reservoir, psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
Ps-Pwf = draw-down pressure, psi
Besaran–besaran tersebut bisa diukur dengan beberapa cara, rate
produksi (q) dapat diukur di tangki permukaan atau pada separator di unit
flow-meter. Tekanan static reservoir (Ps) dapat ditentukan dengan alat
subsurface pressure gauge, setelah periode ditutupnya sumur dalam waktu
tertentu atau dengan metode pressure build-up.
Dengan melakukan subtitusi dari Persamaan 3-3 ke dalam
Persamaan 3-7, maka PI dapat ditentukan pula berdasarkan sifat fisik
batuan reservoir, sifat fluida reservoir serta geometri reservoir dan
sumurnya, yaitu :
7.08kh
PI  .............................................................................. (3-92)
re
 o Bo ln
rw
Meskipun Persamaan 3-8 tidak mengandung besaran tekanan, tetapi
PI masih tetap bergantung pada tekanan, karena Bo dan μo merupakan
fungsi tekanan, sedangkan k sebagai fungsi dari saturasi minyak.
107

Berdasarkan pengalaman dari Kermitz E. Brown (1967) telah


mencoba memberikan batasan terhadap besarnya produktivitas sumur,
yaitu:
1. PI rendah jika kurang dari 0.5.
2. PI sedang jika antara 0.5 sampai 1.5.
3. PI tinggi jika lebih dari 1.5.

3.5.3.2 Faktor yang Mempengaruhi PI


Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap harga PI antara lain :
1. Karakteristik batuan reservoir, meliputi :
a. Permeabilitas
Bila permeabilitas batuan kecil, maka fluida akan lebih sulit untuk
mengalir sehingga kemampuan berproduksi (PI) akan turun.
b. Saturasi
Dalam proses produksi, saturasi minyak akan berkurang dengan
naiknya produksi kumulatif minyak dan akibatnya pori-pori yang
kosong akan diganti oleh air atau gas bebas. Di samping itu produksi
terus seiring dengan penurunan tekanan reservoir, sehingga akan timbul
fasa gas yang mengakibatkan saturasi gas bertambah dan saturasi
minyak berkurang dan hal ini akan mengurangi permeabilitas efektif
terhadap minyak sehingga dapat menurunkan harga PI.
2. Karakteristik fluida reservoir, meliputi :
a. Kelarutan gas dalam minyak (Rs)
Dalam proses produksi penurunan tekanan reservoir dibawah
tekanan gelembung dapat menyebabkan bertambahnya gas yang
dibebaskan dari larutan. Hal ini akan menyebabkan harga PI turun
karena permeabilitas efektif terhadap minyak juga akan berkurang yang
disebabkan oleh naiknya saturasi gas.
b. Faktor volume formasi minyak (Bo)
Di atas tekanan gelembung penurunan tekanan akan
menyebabkan naiknya Bo akibat adanya pengembangan minyak,
108

sedangkan di bawah tekanan gelembung penurunan tekanan akan


mengakibatkan Bo turun dengan cepat karena adanya penyusutan
akibat dibebaskannya gas yang terlarut. Jadi dengan adanya kenaikan
Bo akan menurunkan harga PI.
c. Viscositas
Bila tekanan reservoir sudah berada di bawah tekanan gelembung
akan mengakibatkan bertambahnya gas dibebaskan dari larutan
sehingga viscositasnya naik, hal ini akan menghambat proses produksi,
sehingga harga PI akan turun.
d. Draw-down
Makin besar draw-down, makin besar pula laju aliranya sehingga
PI naik.
3. Ketebalan lapisan
Makin tebal lapisan produktif, makin besar pula harga PI-nya. Tetapi
bila lapisan tersebut diselingi oleh lapisan tipis dari air atau gas maka laju
produksi minyak akan berkurang. Terproduksinya air dapat pula
mengakibatkan terjadinya scale yang dapat mengurangi kapasitas kerja
alat-alat atau terjadinya korosi pada alat-alat tersebut.
4. Mekanisme pendorong
Kecepatan perubahan tekanan reservoir akibat proses produksi
sangat dipengaruhi oleh jenis mekanisme pendorongnya.

3.5.4 Inflow Performance Relationship (IPR)


Inflow Performance Relationship (IPR) merupakan pernyataan PI
secara grafis yang menggambarkan perubahan-perubahan dari harga tekanan
alir dasar sumur (Pwf) versus laju alir (q) yang dihasilkan karena terjadinya
perubahan tekanan alir dasar sumur tersebut.
IPR menunjukan produktivitas sumur/lapisan produktif. Jika hubungan
tersebut di-plot dalam bentuk grafik, maka kurva yang dihasilkan disebut
sebagai kurva IPR. Kurva IPR merupakan kurva plot antara laju alir (q)
109

dengan tekanan alir dasar sumur (Pwf). Dari kurva plot ini kita dapat
menentukan PI.
a. Kurva IPR Satu Fasa
Dasar dari aliran fluida pada media berpori diambil dari teori
“Darcy (1856), dengan persamaan :
q k dP
v  .......................................................................... (3-93)
A  dL
Persamaan tersebut mencakup beberapa anggapan diantaranya adalah:
 Aliran mantap
 Fluida yang mengalir satu fasa
 Tidak terjadi reaksi antara batuan dengan fluidanya
 Fluida bersifat incompressible
 Viskositas fluida yang mengalir konstan
 Kondisi aliran Isotermal
 Formasi homogen dan arah aliran horizontal
Persamaan di atas selanjutnya dikembangkan untuk kondisi aliran
radial, dimana dalam suatu lapangan persamaan tersebut berbentuk :
k o h( Pe  Pwf )
q  0.007082 ..................................................... (3-94)
µ o Bo Ln(re / rw )

Dimana :
q = laju produksi, STB/d
ko = permeabilitas efektif minyak, mD
h = ketebalan formasi produktif, ft
Pe = tekanan formasi pada jarak re dari sumur, psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
µo = viskositas minyak, cp
Bo = Faktor volume formasi, Bbl/STB
re = jari – jari pengurasan sumur, ft
rw = jari – jari sumur, ft
Prosedur dalam membuat kurva IPR untuk aliran satu fasa adalah
sebagai berikut :
110

1. Menyiapkan data hasil uji tekanan dan produksi yaitu ; tekanan


reservoir (Ps), tekanan alir dasar sumur (Pwf), dan laju produksi
(q).
2. Menghitung indeks produktivitas (PI) dengan persamaan (3-7)
3. Memilih tekanan alir dasar sumur (Pwf) anggapan
4. Menghitung laju aliran (qo) pada tiap harga Pwf tersebut dengan
menggunakan persamaan (3-9).
5. Memplot qo terhadap Pwf yang diperoleh dari langkah 3 dan 4 pada
kertas grafik kartesian, dengan qo sebagai sumbu datar dan Pwf
sebagai sumbu tegak. Hasil plot ini akan membentuk garis yang
linier seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.45. di bawah ini.

Gambar 3.45. Kurva IPR Satu Fasa 4)

b. Kurva IPR Dua Fasa


Untuk membuat kurva IPR dimana fluida yang mengalir dua fasa,
Vogel mengembangkan persamaan hasil regresi sederhana yang mudah
penggunaannya. Model ini ditulis dalam bentuk fraksi P wf/Ps versus
q/qmax. Sehingga persamaan itu akan terbentuk seperti dibawah ini :
2
qo  Pwf  P 
 1  0.2    0.8  wf
  P
 ............................................... (3-95)

q max  Ps   s 
qo
Pwf  Ps  ........................................................................... (3-96)
PI
111

Dimana :
qo = laju produksi minyak, STB/d
qmax = laju produksi maksimum pada Pwf=0, STB/d
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Ps = tekanan statik, psi
Dalam pengembangan Kurva IPR Dua Fasa Vogel berlaku anggapan :
 Reservoir bertenaga dorong gas terlarut
 Harga skin disekitar lubang bor sama dengan nol
 Tekanan reservoir di bawah tekanan saturasi (Pb)
Prosedur pembuatan kurva IPR untuk aliran dua fasa dari Vogel
adalah sebagai berikut :
1. Mempersiapkan data-data penunjang meliputi ; tekanan
reservoir/tekanan statis (Ps), tekanan alir dasar sumur (Pwf), laju
produksi minyak (qo).
2. Menghitung harga (Pwf/Ps)
3. Mensubtitusikan harga (Pwf/Ps) dari langkah 1 dan harga laju
produksi (qo) ke dalam persamaan (3-11), dan menghitung harga
laju produksi maksimum (qo max).
4. Untuk membentuk kurva IPR, gunakan beberapa nilai anggapan
Pwf dan menghitung harga qo dari persamaan (3-12)
5. Memplot qo terhadap Pwf pada kertas grafik linier. Kurva yang
diperoleh adalah kurva kinerja aliran fluida dari formasi ke
lubang sumur. Bentuk kurva tersebut akan melengkung seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3.46. pada halaman selanjutnya.
112

Gambar 3.46. Kurva IPR Dua Fasa 4)

 IPR Metode Standing


Metode Standing merupakan modifikasi dari persamaan Vogel
dimana Pb > Pi, berdasarkan kenyataan bahwa untuk sumur yang
mengalami kerusakan maka terjadi tambahan kehilangan tekanan di
sekitar lubang bor.
Tekanan aliran dasar sumur ideal, Pwf tidak dipengaruhi oleh
adanya faktor skin, sedangkan Pwfˈ adalah tekanan dasar sumur
sebenarnya yang dipengaruhi oleh faktor skin. Hubungan antara
kedua tekanan alir dasar sumur tersebut adalah :
Pwf’ = Pwf + ∆Ps ....................................................................(3-97)
2
qo  Pwf '   Pwf ' 
= 1 – 0.2   – 0.8   ...................................(3-98)
qo max  Ps   Ps 
Dimana :
qo = Laju produksi minyak, STB/d
qmax = Laju produksi maksimum pada Pwf=0, STB/d
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Pwf’ = Tekanan alir dasar sumur yang dipengaruhi faktor skin, psi
Ps = Tekanan statik, psi
113

FE (Efisiensi aliran) merupakan perbandingan antara Indeks


produktivitas nyata dengan Indeks produktivitas ideal. Dengan
demikian FE berharga lebih kecil dari satu apabila sumur mengalami
kerusakan dan lebih besar satu apabila mengalami perbaikan sebagai
hasil operasi stimulasi.
Dengan menggunakan hubungan tersebut, maka harga tekanan
alir dasar sumur sebenarnya (yang dipengaruhi oleh faktor skin)
diubah menjadi tekanan alir dasar sumur ideal, sehingga dapat
dimasukkan kedalam persamaan Vogel. Prosedur perhitungan kurva
IPR untuk kondisi sumur yang mempunyai faktor skin sama dengan
pemakaian persamaan Vogel yang telah diuraikan sebelumnya,
hanya saja perlu ditambah satu langkah yang mengubah tekanan alir
dasar sumur sebenarnya menjadi tekanan alir dasar sumur ideal.
Harga FE yang diperlukan dalam perhitungan ini dapat diperoleh
dari hasil analisa uji build-up atau drawdown.
Harga laju produksi maksimum yang dihasilkan adalah harga
laju produksi maksimum pada harga skin sama dengan nol, bukan
laju produksi pada harga FE yang dimaksud. Untuk menghitung
harga laju produksi maksimum pada harga FE yang dimaksud, maka
harga tekanan alir dasar sumur sebenarnya, yang sama dengan nol
diubah menjadi tekanan alir dasar sumur pada kondisi ideal,
kemudian dihitung laju produksinya.
Kelemahan dari Metode Standing adalah dihasilkan kurva
IPR, yang :
1. Hampir lurus, untuk harga FE < 1, meskipun kondisi aliran
adalah dua fasa.
2. Berlawanan dengan definisi kinerja aliran fluida dari formasi
ke lubang sumur.
Kedua hal tersebut di atas disebabkan penggabungan dua
persamaan yang tidak selaras, yaitu persamaan Vogel yang berlaku
114

untuk kondisi aliran dua fasa dengan definisi FE (efisiensi aliran)


yang berlaku untuk kondisi satu fasa.

Gambar 3.47. Kurva IPR Berdasarkan FE 4)

c. Kurva IPR Tiga Fasa


Salah satu metode yang sering digunakan dalam membuat kurva
IPR Tiga Fasa adalah menggunakan model yang di kembangkan oleh
Pudjo Sukarno. Asumsi yang digunakan metode ini adalah ; faktor skin
sama dengan nol, serta minyak, air dan gas berada pada satu lapisan dan
mengalir bersama-sama secara radial. Untuk menyatakan kadar air
dalam laju produksi total digunakan parameter “Water Cut (WC)”,
yaitu perbandingan laju produksi air dengan laju produksi total. Dimana
harga water cut dinyatakan dalam persen. Dalam perkembangan kinerja
aliran tiga fasa dari formasi produktif ke lubang sumur telah digunakan
7 kelompok data hipotesis reservoir, yang mana untuk masing-masing
115

kelompok dilakukan perhitungan kurva IPR untuk lima harga water-cut


berbeda, yaitu 20%, 40%, 60%, 80%, dan 90%.
Dalam metode Pudjo Sukarno membuat persamaan sebagai
berikut :
2
qo  Pwf  P 
 A0  A1    A2  wf  ..............................................(3-99)
qt max  Pr   Pr 
Dimana :
 An (n = 0, 1 dan 2) adalah konstanta persamaan, yang harganya
berbeda untuk water cut yang berbeda.
 An = Co + C1 (water cut) + C2 (water cut)2 ..........................(3-100)
 Cn (n = 0, 1, dan 2) untuk masing-masing harga An ditunjukkan
dalam Tabel 3.14. sebagai berikut:
Tabel 3.14. Konstanta Cn untuk masing-Masing An 14)

An C0 C1 C2

A0 0.980321 -0.115661.10-1 0.179050.10-4


A1 -0.414360 0.392799.10-2 0.237075.10-5
A2 0.564870 0.762080.10-2 -0.202079.10-4

Seperti yang diketahui sebelumnya, harga water cut berubah


sesuai dengan perubahan tekanan alir dasar sumur pada satu harga
tekanan reservoir, maka perlu dibuat hubungan antara tekanan alir dasar
sumur dengan water cut. Hubungan ini dinyatakan sebagai: P wf/Pr
terhadap WC/(WC @Pwf = Pr) ditentukan dari sumber simulator, untuk
kelima harga water cut. Analisa regresi terhadap titik-titik data
menghasilkan persamaan sebagai berikut :
WC
 P1Exp(P 2 Pwf /Pr ) .............................................(3-101)
WC @ Pwf  Pr

qw
WC  .....................................................................................(3-102)
qt
Dimana :
116

P1 dan P2 tergantung dari harga water cut, dan dari analisa regresi
diperoleh hubungan sebagai berikut :
P1 = 1.606207 – 0130447 ln (water cut).................................... (3-103)
P2 = -0.517792 + 0.110604 ln (water cut) ............................... (3-104)
Dimana : water cut dinyatakan dalam persen (%).
Prosedur pembuatan kinerja aliran tiga fasa dari metode Pudjo
Sukarno adalah sebagai berikut :
1. Mempersiapkan data-data penunjang meliputi ; tekanan
reservoir/tekanan statis sumur, tekanan alir dasar sumur, laju
produksi minyak dan air, harga water cut (WC) berdasarkan data
uji produksi.
2. Penentuan WC pada Pwf ≈ Ps. Menghitung terlebih dahulu harga
P1 dan P2 yang diperoleh dari persamaan (3-103) dan (3-104).
Kemudian hitung harga WC @Pwf ≈ Ps dengan persamaan (3-
102).
3. Penentuan konstanta A0, A1, dan A2berdasarkan harga WC pada
Pwf ≈ Ps, kemudian menghitung harga konstanta tersebut
menggunakan persamaan (3-101) dimana konstanta C0, C1 dan C2
diperoleh dalam Tabel 3.14.
4. Menentukan qt maksimum dari persamaan dari persamaan (3-99)
dan konstanta A0, A1, dan A2 dari langkah 3.
5. Menentukan laju produksi minyak (qo) berdasarkan qt max pada
langkah 4, kemudian hitung harga laju produksi minyak qo untuk
berbagai Pwf.
6. Menentukan laju produksi air (qw), dari harga water cut (WC)
pada tekanan alir dasar sumur (Pwf) dengan persamaan :
WC
qw  ..................................................................(3-105)
100  WC
7. Membuat tabulasi harga-harga qw, qo, qt, untuk berbagai harga Pwf
pada Pa aktual.
117

8. Membuat grafik hubungan antara Pwf terhadap qt, dimana Pwf


mewakili sumbu y dan qt mewakili sumbu x.

Gambar 3.48. Kurva IPR Tiga Fasa 8)

3.6 Sistem Nodal


Sistem sumur produksi, yang menghubungkan antara formasi produktif
dengan separator, dapat dibagi menjadi enam komponen, seperti ditunjukkan pada
gambar 3.26, yaitu:
1. Komponen formasi produktif/ reservoir
Dalam komponen ini fluida reservoir mengalir dari batas reservoir menuju ke
lubang sumur, melalui media berpori. Kelakuan aliran fluida dalam media
berpori ini telah dibahas di modul II, yang dinyatakan dalam bentuk hubungan
antara tekan a alir di dasar sumur dengan laju produksi.
2. Komponen komplesi
Adanya lubang perforasi ataupun gravel pack di dasar lubang sumur akan
mempengruhi aliran fluida dari formasi ke dasar lubang sumur. Berdasarkan
analisa di komponen ini, dapat diketahui pengaruh jumlah lubang perforasi
ataupun adanya gravel pack terhadap laju produksi sumur.
3. Komponen tubing
Fluida multifasa yang mengalir dalam pipa tegak maupun miring, akan
mengalami kehilangan tekanan yang besarnya antara lain tergantung dari
118

ukuran tubing. Dengan demikian analisa tentang pengaruh ukuran tubing


terhadap laju produksi dapat dilakukan dalam komponen ini.
4. Pengaruh ukuran pipa salur terhadap laju produksi yang dihasilkan suatu
sumur, Dapat dianalisa dalam komponen ini seperti halnya pengaruh ukuran
tubing, dalam komponen tubing.
5. Komponen restriksi/ jepitan
Jepitan yang dipasang di kepala sumur atau di dalam tubing sebagai safety
valve, akan mempengruhi besar laju produksi yang dihasilkan dari suatu
sumur. Pemilihan ataupun analisa tentang pengaruh ukuran jepitan terhadap
laju produksi dapat dianalisa di komponen ini.
6. Komponen separator
Laju produksi suatu sumur dapat berubah dengan berubahnya tekanan kerja
separator. Pengruh perubahan tekanan kerja separator terhadap laju produksi
untuk sistim sumur dapat dilakukan di komponen ini.

Gambar 3.49. Sistem Sumur Produksi 2)


119

Keenam komponen tersebut berpengaruh terhadap laju produksi sumur yang


akan dihasilkan. Laju produksi yang optimum dapat diperoleh dengan cara
memvariasikan ukuran tubing, pipa salur, jepitan , dan tekanan kerja separator.
Pengaruh kelakuan aliran fluida di masing-masing komponen terhadap system
sumur secara keseluruhan akan dianalisa, dengan menggunakan analisa system
nodal.
Nodal merupakan titik pertemuan antara dua komponen, dimana di titik
pertemuan tersebut secara fisik akan terjadi keseimbangan massa ataupun
keseimbangan tekanan. Hal ini berarti bahwa massa fluida yang keluar dari suatu
komponen akan sama dengan massa fluida yang masuk ke dalam komponen
berikutnya yang saling berhubungan atau tekanan di ujung suatu komponen akan
sama dengan tekanan di ujung komponen yang lain yang berhubungan. Sesuai
dengan Gambar 3.49. dalam system sumur produksi dapat ditemui 4 titik nodal,
yaitu:
1. Titik nodal di dasar sumur
Titik nodal ini merupakan pertemuan antara komponen formasi produktif/
reservoir dengan komponen tubing apabila komplesi sumur adalah open hole
atau pertemuan antara komponen tubing dengan komponen komplesi yang
diperforasi atau bergravel pack
2. Titik nodal di kepala sumur
Titik nodal ini merupakan titik pertemuan antara komponen tubing dan pipa
salur dalam hal sumur tidak dilengkapi dengan jepitan atau merupakan
pertemuan komponen tubing dengan komponen jepitan bila sumur dilengkapi
jepitan.
3. Titik nodal di separator
Pertemuan antara komponen pipa salur dengan komponen separator
merupakan suatu titik nodal.
4. Titik nodal di “upstream/ downstream” jepitan
Sesuai dengan letak jepitan, titik nodal ini dapat merupakan pertemuan antara
komponen jepitan dengan komponen tubing, apabila jepitan dipasang di
tubing sebagai safety valve atau merupakan pertemuan antara komponen
120

tubing di permukaan dengan komponen jepitan apabila jepitan dipasang di


kepala sumur.
Analisa sistim nodal dilakukan dengan membuat diagram tekanan-laju
produksi, yang merupakan grafik yang menghubungkan antara perubahan tekanan
dan laju produksi untuk setiap komponen.
Manfaat Sistem Nodal:
1. Optimasi laju produksi
2. Menentukan laju produksi yang dapat diperoleh secara sembur alam
3. Meramalkan kapan sumur akan mati
4. Memeriksa setiap komponen dalam sistem produksi untuk menentukan
adanya hambatan aliran
5. Menentukan saat terbaik untuk mengubah sumur sembur alam menjadi sumur
sembur buatan atau metode produksi satu ke metode produksi yang lain.

3.6.1 Analisa Sistem Nodal untuk Sumur Flowing


Perhitungan pada titik-titik kehilangan tekanan (titik nodal) dapat
dilakukan dengan meninjau pengaruh komponen-komponen terhadap sistem
sumur secara keseluruhan. Titik-titik nodal tersebut diantaranya:
1. Titik nodal di dasar sumur.
 Kondisi open hole
 Kondisi diperforasi
 Kondisi diperforasi dan dipasang gravel pack
2. Titik nodal di kepala sumur.
 Tanpa jepitan
 Dengan jepitan
3. Titik nodal di seperator.
4. Titik nodal di upstream dan downstream untuk sistem alir dalam pipa
dengan menggunakan kurva pressure traverse.
121

3.6.2 Analisa Sistem Nodal untuk Sumur Artificial Lift


Analisa nodal untuk metode produksi pengangkatan buatan (artificial
lift) dibagi dalam dua komponen utama, yaitu komponen reservoir (IPR) dan
komponen kedua adalah sistem pipa salur dan sistem pengangkatan buatan
itu sendiri, dimana termasuk di dalamnya adalah separator, Flowline (pipa
salur), Choke, Tubing, Safety valve dan mekanisme dari sistem pengangkatan
buatan itu sendiri. Tekanan masuk tubing (tubing intake) dapat ditentukan
kemudian untuk beberapa harga laju aliran. Bila kurva intake diplot pada
kertas grafik yang sama sebagaimana dengan kurva IPR, maka akan terjadi
perpotongan antara kurva intake dengan kurva IPR dimana titik perpotongan
tersebut menunjukkan besar harga laju produksi maksimum yang kita
inginkan.
Pada analisa nodal untuk metoda produksi artificial lift kali ini hanya
akan dibahas menganai penyelesaian analisa dengan metode produksi
menggunakan Electric Submersible Pump (ESP).

3.6.2.1 Penyelesaian Analisa Sistem Nodal Untuk Metode Produksi


Electric Submersible Pump ( Pompa Reda)
Seperti halnya pada metode sucker rod, maka pada metoda ESP ini
prediksi mengenai kurva intakenya juga dipertimbangkan untuk dua sebab,
yaitu:
1. Untuk pemompaan cairan saja
2. Untuk pemompaan cairan dan gas
Pada pembahasan kali ini hanya akan dibahas khusus untuk
pemompaan cairan saja (minyak atau minyak-air).
Prosedur pembuatan kurva tubing intake (node outflow) untuk Cairan
Saja dengan Nodal Pada Dasar Sumur adalah sebagai berikut:
1. Pilih pompa yang cocok sesuai dengan ukuran casing dan kapasitas
produksi dari sumur.
2. Hitung fsc dengan menggunakan persamaan berikut:
fsc = 350 wc Twsc + 350 ( 1- wc) Tosc ....................................(3-106)
122

dan Tfsc dengan persamaan berikut:


qsc fsc
Tf (V) = .....................................................................(3-107)
350 V

Gambar 3.50. Kurva Performance untuk ESP 18)


3. Asumsikan berbagai laju produksi dan untuk setiap laju produksi ini
kerjakan berikut:
a. Baca head/stage dari kurva performance pompa dan hitung
kuantitas ( fsc h / 808,3141) dengan menggunakan Gambar 3.50.
b. Tentukan tekanan keluaran pompa dari korelasi gradient tekanan.
c. Asumsikan berbagai nomor dari stage dan untuk setiap nomor ini
hitung tekanan intake dengan persamaan berikut:
P3 = P2 – ( fsc h / 808,3141) St ............................................(3-108)
123

Gambar 3.51. Kurva Intake untuk ESP 2)

4. Plot tekanan intake terhadap laju produksi untuk setiap asumsi nomor
stage pada grafik yang sama sebagaimana kurva IPR dengan skala
yang sama pula.
5. Baca harga laju produksi pada setiap titik perpotongan antara kurva
pompa intake dengan kurva IPR.
6. Untuk setiap laju produksi, baca Hp / stage yang dibutuhkan dari
kurva performance pompa, kemudian hitung HP total dengan
persamaan HP = hp Tfsc St.
7. Plot laju produksi terhadap nomor stage dan Hp yang dibutuhkan.

3.7 Metode Produksi


Secara umum proses perolehan minyak terdiri dari metode primary oil
recovery, metode secondary oil recovery, dan metode tertiary oil recovery.
1. Metode primary oil recovery
124

Primary oil recovery adalah cara memproduksikan sumur secara


alamiah dengan tekanan reservoir yang ada dan juga dapat dilakukan dengan
pompa ( baik pompa angguk maupun pompa submersible) atau dengan gas
lift .
2. Metode secondary oil recovery
Secondary oil recovery adalah cara memproduksikan sumur ketika
terjadinya penurunan tekanan reservoir dan dapat dilakukan dengan
menginjeksikan fluida seperti air dan/atau gas ke dalam reservoir untuk
meningkatkan tekanan.
3. Metode tertiary oil recovery
Tertiary oil recovery adalah cara memproduksikan sumur dengan
menginjeksikan fluida khusus, terdiri atas injeksi termal, proses pelarutan gas
dalam minyak, dan kimiawi.
Besar kecilnya produksi migas suatu sumur tidak hanya tergantung pada
jumlah cadangan migas di reservoir, tetapi juga tergantung pada bagaimana cara
memproduksikan migas tersebut dari reservoir ke permukaan. Saat ini dikenal dua
metode pengangkatan fluida ke permukaan (Primary Recovery), antara lain:
1. Sembur Alam (Natural Flow)
Natural Flow adalah salah satu metode memproduksikan fluida
kepermukaan dengan memanfaatkan tekanan alami dari reservoir tersebut.
Dalam hal ini ada perbedaan tekanan dimana tekanan reservoir mampu
mendorong fluida sampai kepermukaan.
2. Pengangkatan Buatan (Artificial Lift)
Artificial Lift adalah metode memproduksikan fluida kepermukaan
dengan mengubah sifat fisik fluida ataupun dengan bantuan alat tertentu. Hal
ini dikarenakan tekanan alami reservoir sudah tidak mampu lagi untuk
mendorong fluida sampai kepermukaan. Metode pengangkatan buatan yaitu
dengan menggunakan gas lift dan pompa, seperti Sucker Rod, Progressive
Cavity Pump (PCP), Hydraulic Pumping Unit (HPU) dan Electrical
Submersible Pump (ESP).
125

3.7.1 Artificial Lift


Artificial lift adalah metode untuk mengangkat hidrokarbon, umumnya
minyak bumi dari dalam sumur ke atas permukaan. Ini biasanya dikarenakan
tekanan reservoirnya tidak cukup tinggi untuk mendorong minyak sampai ke
atas ataupun tidak ekonomis jika mengalir secara alamiah. Jadi artificil lift
atau pengangkatan buatan ini bisa dikatakan merupakan usaha untuk
membantuh pengangkatan fluida produksi sumur kepermukaan dengan jalan
memberikan energi mekanis dari luar. Secara umum metode artficial lift
terbagi atas dua, yaitu :
3.7.1.1 Gas Lift
Gas lift adalah sistem gas lifting, yang bekerja dengan cara menginjeksi
gas (umumnya gas alam) ke dalam kolom minyak di dalam sumur, sehingga
berat minyak menjadi lebih ringan dan lebih mampu mengalir sampai ke
permukaan.

Gambar 3. 52. Gas Lift4)


3.7.2 Pompa-pompa
Merupakan kelompok kedua dari artificial lif dimana sama-sama
menggunakan prinsip kerja pada pompa. Pada kelompok ini terdapat
beberapa jenis pompa yang biasa digunakan, yaitu :
3.7.2.1 Electric Submersible Pump (ESP)
ESP adalah rangkaian dari jenis pompa centrifugal yang ditenggelamkan
memiliki beberapa bagian yaitu shaft, diffuser yang bersifat diam dan
126

impeller yang berputar secara dinamik yang berada pada setiap stage. Pompa
ESP cocok digunakan untuk memproduksikan fluida sumur dengan
Produktivity Indeks yang cukup besar, sumur dalam, dan untuk sumur-sumur
miring sampai horizontal. Mekanisme kerja ESP sendiri adalah fluida akan
dialirkan ke arah impeller yang akan terus berputar secara dinamik, gerak
putar impeller diberikan kepada cairan oleh sudu-sudu impeller sehingga
membuat cairan terangkat dengan kecepatan yang tinggi menuju pada stage
berikutnya dan kembali akan diarahkan ke impeller begitupun seterusnya.

Gambar 3.53. Electrical Submersible Pump4)

3.5.2.2 Sucker Rod Pump


Sucker Rod Pump menggunakan pompa elektrikal-mekanikal yang
dipasang di permukaan yang umum disebut sucker rod pumping atau juga
beam pump. Pada gambar dibawah diperlihatkan menggunakan prinsip
katup searah (check valve), pompa ini akan mengangkat fluida formasi ke
permukaan. Karena pergerakannya naik turun seperti mengangguk, pompa
ini terkenal juga dengan julukan pompa angguk. seperti gambar dibawah
ini ;
127

Gambar 3.54. Sucker Road Pump4)

3.5.2.3 PCP (Progressive Cavity Pump)


Sistem yang memakai progressive caviy pump (sejenis dengan mud
motor), dimana pompa ini dipasang di dalam sumur tetapi motornya berada di
permukaan. Keduannya dihubungkan dengan batang baja yang disebut sucker.

Gambar 3.55. Progressive Cavity Pump4)


3.5.2.4 Jet Pump
Sistem kerja dari jet pump ini yaitu dengan memompakan fluida ke
dalam sumur bertekanan tinggi lalu disemprotkan lewat nosel kedalam kolom
minyak. Fluida yang melewati nosel ini akan bertambah kecepatan dan energi
kinetiknya sehingga mampu mendorong minyak sampai ke permukaan.
128

Gambar 3.56. Jet Pump4)


3.5.2.5 Plunger Lift
Merupakan alat plunger yang diletakan di dalam tubing dan akan
mendorong fluida di atasnya karena tekanan dari reservoir yang ada.

Gambar 3.57. Plunger Lift4)


3.5.2.6 Otobail
Pompa ini adalah hasil buatan anak Indonesia. Prinsik kerjanya yaitu
menimba minyak yang ada dengan menggunakan kabel kawat yang naik turun
secara otomatis menggunakan prinsip Bailer. Pengoperasian alat ini masih
memerlukan operator, yang menjaga jika operasinya menyimpang dari set-up
awal ( biasanya karena pengaruh tegangan listrik yang berubah-ubah). Alat ini
cocok digunakan untuk sumur tua.
129

Gambar 3.58. Otobail4)

3.8 Electric Submersible Pump (ESP)


3.8.1 Definisi Electrical Submersible Pump (ESP)
Electrical Submersible Pump (ESP) adalah sejenis pompa sentrifugal
berpenggerak motor listrik yang didesain untuk mampu ditenggelamkan di dalam
fluida. Pompa ESP merupakan pompa yang disusun secara bertingkat. Pompa ini
digerakkan dengan motor listrik di bawah permukaan melalui suatu poros motor
(shaft) yang memutar pompa, dan akan memutar sudut-sudut (impeller) pompa.
Perputaran impeller itu menimbulkan gaya sentrifugal yang digunakan untuk
mendorong fluida. Pada diffuser tenaga kinetis (velocity) fluida akan diubah
menjadi tenaga potensial (tekanan) dan diarahkan ke stage selanjutnya. Pada proses
tersebut fluida memiliki energi yang semakin besar dibandingkan pada saat
masuknya. Kejadian tersebut terjadi terus-menerus sehingga tekanan head pompa
berbanding linier dengan jumlah stages, artinya semakin banyak stage yang
dipasangkan, maka semakin besar kemampuan pompa untuk mengangkat fluida.
Syarat pemilihan atau penggunaan ESP diperhatikan untuk menghasilkan
produksi sumur yang baik pada saat menggunakannya antara lain:
1. Tersedia Peralatan ESP
2. Tekanan formasi rendah.
3. Laju produksi antara 200 - 60.000 STB/day.
4. Produktivity Index masih tinggi.
5. Sebaiknya, Sumur tidak mempunyai problem kepasiran.
130

Gambar 3.59. Electrical Submersible Pump 13)

3.8.2 Peralatan Electrical Submersible Pump (ESP)


Peralatan pompa benam listrik dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
 Peralatan Atas Permukaan.
 Peralatan Bawah Permukaan.

3.8.2.1 Peralatan Atas Permukaan


Peralatan diatas permukaan terdiri atas: Wellhead, Junction Box,
Switchboard Transformer, dan Variable Speed Drive.

A. Well Head
Wellhead atau kepala sumur dilengkapi dengan tubing hanger
khusus yang mempunyai lubang untuk cable pack off atau penetrator.
Cable pack off biasanya tahan sampai tekanan 3000 psi.
131

Gambar 3.60. Well Head 18)


Tubing hanger dilengkapi lubang hidraulic control line, saluran
cairan hidraulic untuk menekan subsurface s a f e t y valve agar terbuka.
Wellhead juga dilengkapi dengan “seal” agar tidak bocor pada lubang
kabel dan tulang. Wellhead didesain untuk tahan terhadap tekanan 500 psi
sampai 3000 psi.

Gambar 3.61. Tubing Hanger 13)


132

B. Junction Box
Junction box merupakan suatu tempat yang terletak antara
switchboard dan wellhead yang berfungsi untuk tempat sambungan
kabel atau penghubung kabel yang berasal dari dalam sumur dengan kabel
yang berasal dari switchboard. Junction box juga digunakan untuk
melepaskan gas yang ikut dalam kabel agar tidak menimbulkan
kebakaran di switchboard.
Fungsi dari junction box antara lain :
 Sebagai ventilasi terhadap adanya gas yang mungkin bermigrasi
kepermukaan melalui kabel agar terbuang ke atmosfer.
 Sebagai terminal penyambungan kabel dari dalam sumur dengan
kabel dari switchboard.

Gambar 3.62. Junction Box 18)

C. Switchboard
Switchboard adalah panel kontrol kerja dipermukaan saat pompa
bekerja yang dilengkapi motor controller, overload dan underload
protection serta alat pencatat (recording instrument) yang bisa bekerja
secara manual ataupun otomatis bila terjadi penyimpangan. S witchboard
133

dapat digunakan untuk tegangan 3000 volt, 400 Ampere, 700 Hp dan 60
Hz.
Switchboard diperlengkapi dengan:
1. Pemutus arus secara manual/Main Breaker (manual switch)
2. Bush fuse
3. Control fuse
4. Current transformer
5. Control power transformer
6. Lightning arrester
7. Magnetically operated
8. Motor controller
9. Recording Ammeter
Fungsi utama dari switchboard adalah :
 Mengontrol kemungkinan terjadinya downhole problem seperti
overload atau underload current.
 Auto restart underload pada kondisi intermittent well.
 Mendeteksi unbalance voltage.
Switchboard dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Ruangan untuk voltage tinggi (high voltage compartment) terdiri
dari:
 Surface power input cable
 Disconnect switch dan contactor
 Current transformer dan control power transformer
 Downhole output cable
2. Ruangan untuk voltage rendah (low voltage compartment) berfungsi:
 Menghidupkan ESP unit dengan beberapa pengaman
 Mencatat kinerja ESP unit
 Melindungi ESP unit bekerja pada kondisi tidak normal
Jarak yang direkomendasikan untuk pemasangan switchboard adalah
100 feet dari wellhead. Switchboard biasanya dilengkapi dengan amm
chart yang berfungsi untuk mencatat arus motor versus waktu ketika
134

motor bekerja.

Gambar 3.63. Switchboard 5)

D. Transformer
Transformer merupakan alat untuk mengubah tegangan listrik, bisa
untuk menaikkan atau menurunkan tegangan. Alat ini terdiri dari core
(inti) yang dikelilingi oleh coil dari lilitan kawat tembaga. Keduanya, baik
core maupun coil direndam dengan minyak trafo sebagai pendingin dan
isolasi. Perubahan tegangan akan sebanding dengan jumlah lilitan
kawatnya. Tegangan input transformer biasanya diberikan tinggi agar
amper yang rendah pada jalur transmisi, sehingga tidak dibutuhkan kabel
(penghantar) yang besar. Tegangan input yang tinggi akan diturunkan
dengan menggunakan step-down transformer sampai dengan tegangan
yang dibutuhkan oleh motor.
Prinsip kerja transformer yaitu :
 Prinsip kerja transformator berdasarkan induksi magnetik dimana jika
suatu penghantar dialiri arus akan timbul medan listrik dan jika suatu
penghantar mendapatkan medan listrik yang berubah-ubah akan
muncul tegangan induksi
135

 Besarnya kenaikkan atau penurunan tegangan suatu transformator


tergantung pada perbandingan lilitan primer dan sekunder.

Gambar 3.64. Transformer 13)

E. Variable Speed Drive


Sistem electric submersible pump bisa dimodifikasi dengan
memasukan frekuensi Variable Speed Drive (VSD) sehingga bisa
mengoperasikan lebih luas kisaran dari kapasitas, head dan efisiensi.
Karena motor pompa submersible adalah sebuah induction motor,
kecepatannya sangat proporsional dengan power supply listrik. Dengan
menyesuaikan frekuensi, sistem VSD menawarkan potensi lebih untuk
menaikkan produksi dan mendatangkan untung. VSD bisa menaikkan
efisiensi dalam banyak kasus, termasuk sumur dengan viskositas yang
tinggi, sumur dengan waterflood, dan lain-lain. VSD bisa memperluas
kisaran dari pengangkatan buatan ESP kurang dari 100 BPD sampai
dengan 100.000 BPD.
Penentuan besarnya frekuensi output dari VSD yang nantinya
merupakan frekuensi putaran pompa dapat ditentukan melalui beberapa
jenis pengontrol (control mode), yaitu:
1. Speed Mode, yaitu pengaturan berdasarkan speed sebagai harga
tetapan. Misal dengan Speed Mode pada 52 Hz, berarti motor akan
136

tetap pada putaran 52 Hz.


2. Current Mode, yaitu pengaturan berdasarkan running ampere sebagai
harga tetapan. Misal dengan Current Mode pada 40 Amp, berarti VSD
akan mengatur putaran (frekuensi) untuk menyesuaikan running
ampere (40 Amp).
3. Pressure Mode, yaitu pengaturan berdasarkan tekanan bawah
permukaan (Pressure Intake Pump) sebagai harga tetapan. Misal
Pressure Mode pada 1000 psi, berarti VSD akan mengatur putaran
untuk menyesuaikan tekanan pada 1000 psi.

Gambar 3.65. Variable Speed Drive 18)

3.8.2.2 Peralatan Bawah Permukaan


Peralatan bawah permukaan terdiri atas: PSI Unit, Motor, Protector,
Intake, Pump, Electric Cable, Check Valve, Bleeder Valve dan Centralizer.

A. PSI unit (Pressure Sensing Instrument)


PSI unit atau pressure sensing instrument adalah suatu alat yang
mencatat tekanan dan temperature di dalam sumur. Secara umum PSI unit
mempunyi 2 komponen pokok, yaitu :
 PSI Down Hole Unit
137

Di pasang dibawah motor type upper atau center tandem, karena


alat ini dihubungkan pada wye dari electric motor yang seolah – olah
merupakan bagian dari motor tersebut.
 PSI Surface Readout
Merupakan bagian dari system yang mengontrol kerja down hole
unit serta menampakan (display) informasi yang diambil dari down hole
unit.

B. Motor
Jenis motor ESP adalah motor listrik induksi 2 kutub 3 fasa yang
diisi dengan minyak pelumas khusus yang mempunyai tahanan listrik
(dielectrical strength) tinggi. Tenaga listrik untuk motor diberikan dari
permukaan mulai kabel listrik sebagai penghantar ke motor. Putaran
Motor adalah 3400 RPM – 3600 RPM tergantung besarnya frekuensi
yang diberikan serta beban yang diberikan oleh pompa saat mengangkat
fluida.
Secara garis besar motor ESP seperti juga motor listrik yang lain
mempunyai dua bagian pokok, yaitu
 Rotor (bagian yang berputar)
 Stator (bagian yang diam)
Stator menginduksi aliran listrik dan mengubah menjadi tenaga
putaran pada rotor, dengan berputarnya rotor maka poros (shaft) yang
berada ditengahnya akan ikut berputar, sehingga poros yang saling
berhubungan akan ikut berputar pula (poros pompa, intake dan protector).
Untuk jenis motor listrik induksi dikenal putaran medan magnet
atau putaran motor kalau seandainya tidak ada faktor kehilangan atau
internal motor losses yang diakibatkan oleh beban shaft (shaft load) dan
frictions.
Putaran motor yang biasanya tertera pada nama plate dari pabrik
misalnya 3500 RPM/60 Hz. Panas yang ditimbulkan oleh putaran rotor
akan dipindahkan ke housing motor melalui media minyak motor, untuk
138

selanjutnya dibawa ke permukaan oleh fluida sumur .


Fungsi dari minyak tersebut adalah:
 Sebagai pelumas
 Sebagai tahanan (isolasi)
 Sebagai media penghantar panas motor yang ditimbulkan oleh
perputaran rotor ketika motor tersebut sedang bekerja.
Minyak tersebut harus mempunyai spesifikasi tertentu yang
biasanya sudah ditentukan oleh pabrik yaitu berwarna jernih tidak
mengandung bahan kimia, dielectric strength tinggi, lubricant dan tahan
panas. Minyak yang diisikan akan mengisi semua celah-celah yang ada
dalam motor, yaitu antara rotor dan stator. Panas yang ditimbulkan oleh
putaran rotor akan dipindahkan ke housing motor melalui media minyak
motor, untuk selanjutnya dibawa kepermukaan oleh fluida sumur. Untuk
mendapatkan pendinginan yang sempurna maka pemasangan ESP unit
sangat dianjurkan diatas perforasi untuk memastikan fluida yang masuk
ke intake melewati seluruh housing motor.
Tetapi ESP karena sesuatu pertimbangan bisa juga dipasang
dibawah perforasi dengan memakai casing shroud (selubung pelindung)
yang digantungkan dibagian atas intake sampai ke bagian bawah motor.
Untuk mendapatkan pendingin yang baik, pihak pabrik sudah
menentukan bahwa kecepatan fluida yang melewati motor (Velocity)
harus > 1 ft/sec. Kurang dari itu motor akan menjadi panas dan
kemungkinan bisa terbakar.
139

Gambar 3.66. Motor 5)

C. Protector
Protector sering juga disebut seal section. Alat ini berfungsi untuk
menahan masuknya fluida sumur kedalam motor, menahan thrust load
yang ditimbulkan oleh pompa pada saat pompa mengangkat cairan, juga
untuk menyeimbangkan tekanan yang ada didalam motor dengan tekanan
didalam annulus. Secara prinsip protector mempunyai 4 fungsi utama
yaitu:
1. Untuk mengimbangi tekanan dalam motor dengan tekanan di annulus.
Tempat duduknya thrust bearing untuk meredam gaya axial yang
ditimbulkan oleh pompa
2. Tempat duduknya thrust bearing untuk meredam gaya axial yang
ditimbulkan oleh pompa.
3. Menyekat masuknya fluida sumur kedalam motor.
4. Memberikan ruang untuk pengembangan dan penyusutan minyak
motor akibat perubahan temperatur dalam motor pada saat bekerja dan
pada saat dimatikan.
Secara umum protector mempunyai dua macam tipe, yaitu :
 Positive seal atau modular type protector.
140

Design protector type labyrinth tidak menggunakan positive seal


sehingga motor pada protector dan fluida sumur dapat bercampur
dalam ruangan bagian atas dari protector pada operasi normal, dengan
ini maka dapat menggunakan positive seal sehingga dapat mencegah
bercampurnya fluida motor dengan fluida sumur. Pada saat protector
dan motor dimasukkan ke dalam s umur maka temperatur akan naik dan
oli akan mengembang dan mengalir dari motor melewati bantalan
luncur menuju tabung dan naik disepanjang poros, dan mendesak
bagian dalam tubing elastis dan mengisinya. Oli yang berlebihan akan
ke luar melalui relief valve yang terletak di atas protector, relief valve
ini diatur dan bekerja pada tekanan 3 sampai 5 psi.
 Labyrinth type protector.
Protector ini mempunyai dua ruang (atas dan bawah) yang
dihubungkan dengan beberapa pipa. Cara kerja dari jenis ini didasarkan
pada perbedaan jenis fluida sumur dengan fluida motor. Setelah
protector dipasang diantara motor dan intake, protector harus terisi
minyak motor sebelum dimasukkan ke dalam sumur. Ketika unit pompa
dimasukkan ke dalam sumur, maka fluida motor dan protector akan ke
luar menuju annulus melalui lubang di dasar intake dan setelah motor
dijalankan, maka temperatur motor dan protector akan meningkat
sehingga akan mengakibatkan fluida motor berekspansi dan semakin
banyak fluida yang keluar dari protector ke sumur.
141

Gambar 3.67. Protector 5)

D. Intake (Gas Separator)


Intake atau gas separator dipasangkan dibawah pompa dengan cara
menyambungkan sumbunya (shaft) memakai coupling. Intake ada yang
dirancang untuk mengurangi volume gas yang masuk ke dalam pompa,
disebut dengan gas separator, tetapi ada juga yang tidak. Untuk yang
terakhir ini disebut dengan intake saja atau standart intake.
Ada beberapa intake yang diproduksikan oleh reda yang populer
dipakai, yaitu :
 Standart intake, dipakai untuk sumur dengan GLR rendah. Jumlah
gas yang masuk pada intake harus kurang dari 10% sampai dengan 15
% dari total volume fluida. Intake mempunyai lubang untuk masuknya
fluida ke pompa, dan dibagian luar dipasang selubung (screen) yang
gunanya untuk menyaring partikel masuk ke intake sebelum masuk
142

kedalam pompa.
 Rotary Gas Separator dapat memisahkan gas sampai dengan 90%,
dan biasanya dipasang untuk sumur-sumur dengan GLR tinggi. Gas
separator jenis ini tidak direkomendasikan untuk dipasang pada
sumur-sumur yang abrasive.
 Static Gas Separator atau sering disebut reverse gas separator, yang
dipakai untuk memisahkan gas hingga 20% dari fluidanya.

Gambar 3.68. Rotary Gas 5)

Prinsip kerja rotary gas yaitu Sewaktu pompa bekerja, tekanan dalam
gas separator lebih kecil dari pada tekanan di luarnya. Perbedaan tekanan
menyebabkan gas yang berada dalam cairan berubah menjadi gelembung
gas. Kemudian gelembung gas naik dan keluar melalui lubang yang
terdapat pada bagian atas separator. Sedangkan cairan akan turun ke bawah
serta masuk ke dalam tube dan selanjutnya “ditangkap” oleh pickup
impeller dan diteruskan ke dalam pompa.

E. Pump
Pump merupakan multistage centrifugal pump, yang terdiri dari:
impeller, diffuser, shaft (tangkai) dan housing (rumah pompa). Di dalam
143

housing pompa terdapat sejumlah stage, dimana tiap stage terdiri dari
satu impeller dan satu diffuser. Jumlah stage yang dipasang pada setiap
pompa akan dikorelasi langsung dengan head capacity dari pompa
tersebut.

Gambar 3.69. Impeller dan Diffuser 5)

Fungsi Impeller untuk menghasilkan kecepatan yang tinggi


pada saat fluida keluar dari impellernya, yang dinamakan energi
kinetic, energi ini kemudian diubah menjadi berupa energi tekanan.
Dan fungsi diffuser untuk mengubah aliran fluida yang berasal dari
impeller yang mempunyai kecepatan tinggi menjadi kecepatan relatif
rendah akan tetapi bertekanan tinggi.

Gambar 3.70. Arah Aliran Melalui Stage 5)


144

Dalam pemasangannya bisa menggunakan lebih dari satu (tandem)


tergantung dari head capacity yang dibutuhkan untuk menaikkan fluida
dari lubang sumur ke permukaan. Impeller merupakan bagian yang
bergerak, sedangkan diffuser adalah bagian yang diam. Seluruh stage
disusun secara vertikal, dimana masing-masing stage dipasang tegak lurus
pada poros pompa yang berputar pada housing.

Gambar 3.71. Unit Pump 5)


F. Electric Cable
Tenaga listrik untuk menggerakan motor yang berada didasar
sumur disuplai oleh kabel yang khusus digunakan untuk pompa ESP.
Kabel yang dipakai adalah 3 jenis konduktor. Dilihat dari bentuknya ada
dua jenis, yaitu flat cable type dan round cable type. Fungsi kabel tersebut
adalah sebagai media penghantar arus listrik dari switchboard sampai ke
motor di dalam sumur. Secara umum ada 2 jenis/kelas kabel yang lazim
digunakan di lapangan, yaitu :
 Low temperatur cable, yang biasanya dengan material isolasi nya
terdiri dari jenis polypropylene ethylene (PPE) atau nitrile.
Direkomendasikan untuk pemasangan pada sumur-sumur dengan
145

temperatur maximum 205oF.


 High temperatur cable, banyak dibuat dengan jenis ethylene
prophylene diene methylene (EPDM). Direkomendasikan untuk
pemasangan pada sumur - sumur dengan temperatur yang cukup tinggi

sampai 400oF.
 Kerusakan pada round cable merupakan hal yang sering kali terjadi
pada saat menurunkan dan mencabut rangkaian ESP. Untuk
menghindari atau memperkecil kemungkinan itu, maka kecepatan
string pada saat menurunkan rangkaian tidak boleh melebihi dari
1500 ft / jam dan harus lebih pelan lagi ketika melewati deviated
zone atau dog leg. Kabel harus tahan terhadap tegangan tinggi,
temperatur, tekanan migrasi gas dan tahan terhadap resapan cairan
dari sumur maka kabel harus mempunyai isolasi dan sarung yang
baik. Bagian dari kabel biasanya terdiri dari :
o Konduktor (conductor)
o Isolasi (Insulation)
o Sarung (sheath) Jacket

Gambar 3.72. Electric Cable 5)

G. Cable Clamp
Digunakan untuk mengikat power cable di sepanjang rangkaian
pipa, panjang dari clamp tergantung dari ukuran pipa. Clamp terdiri dari
146

strapping yang terbuat dari high tensile steel dan seal atau buckle yang
terbuat dari galvanize. Alat yang digunakan untuk memasang atau
membuka cable clamp :
 Stretcher sebagai tensioner atau penegang clamp
 Sealer sebagai penjepit seal atau buckle dari strapping
 Tin cutter sebagai pemotong

Gambar 3.73. Cable Clamp 5)


H. Check Valve
Check valve dipasang pada tubing (2-3 joint) diatas pompa yang
bertujuan untuk menjaga fluida tetap berada di atas pompa. Check valve
tidak dipasang maka kebocoran fluida dari tubing (kehilangan fluida)
akan melalui pompa yang dapat menyebabkan aliran balik dari fluida
yang naik ke atas, sebab aliran balik (back flow) tersebut membuat
putaran impeller berbalik arah, dan dapat menyebabkan motor terbakar
atau rusak. Check valve umumnya digunakan agar tubing tetap terisi
penuh dengan fluida sewaktu pompa mati dan mencegah supaya fluida
tidak turun kebawah.
147

Gambar 3.74. Check Valve 18)

I. Bleeder Valve
Bleeder Valve dipasang satu joint diatas check valve, mempunyai
fungsi untuk mengosongkan kolom cairan di dalam tubing agar pada saat
pencabutan pompa tubing dalam keadaan kosong, sehingga crew tidak
terkena tumpahan cairan yang berasal dari tubing yang dicabut dari dalam
sumur.

Gambar 3.75. Bleeder Valve 13)


148

J. Centralizer
Centralizer berfungsi untuk menjaga kedudukan pompa agar tidak
bergeser atau selalu ditengah-tengah pada saat pompa beroperasi,
sehingga kerusakan kabel karena gesekan dapat dicegah.

Gambar 3.76. Centralizer 18)

3.8.3 Karakteristik Kinerja Electrical Submersible Pump (ESP)


Kinerja pompa ditentukan oleh pabrik pembuat pompa. Pompa dites dengan
menggunakan air tawar, kemudian dilakukan pengujian terhadap pompa dengan
cara mengatur discharge head pompa pada laju alir yang berbeda-beda, perubahan
tekanan dan HP-nya. Kemudian diubah dalam bentuk kurva head (ft), daya, dan
efisiensi dari pompa. Dari ketiga faktor tersebut dapat dibuat kurva yang
menggambarkan laju alir, brake horse power, head pompa (pump head capacity)
dan efisiensi pompa (pump efficiency).
149

Gambar 3.77. Kurva Kinerja ESP 18)

3.8.3.1 Kelakuan Electrical Submersible Pump (Pump Performance


Curve)
Beberapa kinerja dari berbagai pompa dihadirkan dalam bentuk
katalog yang diterbitkan oleh produsen. Kurva kinerja dari suatu pompa
benam listrik menampilkan hubungan antara : Head capacity, Rate
Capacity, Horse Power dan efisiensi pompa yang disebut dengan “Pump
Performance Curve”. Kapasitas rate berkaitan dengan volume, laju alir
cairan yang diproduksikan, termasuk juga gas bebas atau gas yang terlarut
dalam minyak.
Head pompa benam listrik berkaitan dengan specific gravity fluida,
dimana jika head diubah menjadi tekanan maka harus dikalikan dengan
specific gravity fluida, maka dapat dinyatakan sebagai berikut :
Tek. Operasi Pompa = (head / stage) x (gradien tekanan fluida) x
(jumlahstage)
Bila gas dan cairan sedang dipompa, kapasitas dan head per stage
juga gradien tekanan fluida berubah sebagaimana tekanan fluida naik dari
150

tekanan intake ke tekanan discharge. Dengan demikian persamaan diatas


dapat ditulis sebagai berikut:
𝑑(𝑃) = ℎ(𝑉) + 𝐺𝑓(𝑉) + 𝑑(𝑆𝑡)........................ ..............................(3-109)
Dimana :
d(P) = Perubahan tekanan yang dihasilkan pompa
h = head per stage, ft/stage
Gf(V) = gradien tekanan fluida, psi/ft
d(St) = perubahan jumlah stage
VF merupakan Volume Factor untuk berbagai tekanan dan
temperatur, dan dinyatakan dengan persamaan :
VF = WC + (1-WC) Bo + [GLR – (1-WC) Rs] Bg ................ (3-110)
Tekanan alir dasar sumur (Pwf) diatas harga tekanan gelembung
(bubble Point-Pb) bentuk kurva IPR digambarkan dalam persamaan linier:
qsc = PI (Pr – Pwf) .................................................................(3-111)
Gradien tekanan fluida dalam berbagai tekanan dan temperatur
dinyatakan dalam persamaan :
Gf(V) = 0,433 x ρ (V) ............................................................ (3-112)
ρ (V) = W / 350 ......................................................................(3-113)
W adalah berat material pada berbagai tekanan dan temperatur, yang
mana sama dengan berat pada kondisi standart. Dituliskan dengan
persamaan:
V.qsc.fsc
ρ(V) = ........................................................................(3-114)
350.ρ

Mensubtitusikan Persamaan (3-114) kedalam Persamaan (3-113)


didapatkan persamaan sebagai berikut :
0,433 𝑞𝑠𝑐 ×ρ𝑓𝑠𝑐
𝐺𝑓 = ( 350 ) ..............................................................(3-115)
𝑉

ρ𝑓𝑠𝑐 adalah berat 1 bbl cairan yang ditambah gas yang terpompakan
(per bbl cairan) pada kondisi standart.
ρfsc = (350(WC)Ԏ WSC) + [350 (1- WC) ԎoSC] +
(GIP)(GLR) ρgsc ........................................................(3-116)
151

Dengan memasukkan Persamaan (3-115) ke Persamaan (3-110)


menghasilkan persamaan :
350 𝑉
𝑑(𝑆𝑡) = (0,433×𝑞𝑠𝑐×ρ ) ℎ(𝑉) 𝑑𝑃 ............................................(3-117)
fsc

Jumlah stage total dari pompa didapat dengan mengintegrasikan


persamaan diatas antara tekanan intake (P3) dan tekanan discharge (P2):
𝑝2 350 𝑝2 𝑉
∫𝑝1 𝑑𝑆(𝑡) = (0,433×𝑞𝑠𝑐×𝜌𝑓𝑠𝑐) ∫𝑝3 ℎ(𝑉)
𝑑𝑃 .............................(3-118)

Atau
808.3141 𝑝2 𝑉
𝑆(𝑡) = (𝑞𝑠𝑐×𝜌𝑓𝑠𝑐) ∫𝑝3 𝑑𝑃 ................................................(3-119)
ℎ(𝑉)

3.8.3.2 Brake Horse Power


Kurva kinerja pompa yang ditunjukkan dalam Gambar 3.24 pada
halaman 98 menyatakan horse power per stage yang didasarkan atas
specific gravity fluida perhitungan. Dengan demikian horse power dapat
dinyatakan didalam persamaan :
HP = (hp per stage) x SGf x stage .........................................(3-120)
Karena Parameter-parameter dipengaruhi oleh kapasitas V, yang
berubah antara intake dan tekanan discharge, persamanan diatas menjadi:
d (HP) = hp (V) x Ԏf (V) x d (St) ...........................................(3-121)
Dengan mensubtitusikan Persamaan (3-114) dan Persamaan (3-121)
ke persamaan diatas maka diperoleh persamaan :
1 ℎ𝑝(𝑉)
𝑑(𝐻𝑃) = (0,433) 𝑑𝑃 ......................................................(3-122)
ℎ(𝑉)

Total horse power (Hp) yang diperlukan, diperoleh dengan


mengintegrasikan persamaan diatas antara tekanan intake (P3) dann
tekanan dicharge (P2):
𝑃2 1 ℎ𝑝(𝑉)
∫𝑃3 𝑑(𝐻𝑃) = (0,433) ℎ(𝑉)
𝑑𝑃 ................................................(3-123)

atau
1 ℎ𝑝(𝑉)
𝐻𝑃 = (0,433) 𝑑𝑃 ............................................................(3-124)
ℎ(𝑉)
152

3.8.3.3 Kurva Intake Pompa


Peramalan kurva intake pompa Electrical Submersible Pump
dipertimbangkan untuk dua hal yaitu :
• Memompa cairan
• Memompa cairan dan gas
Keduanya diasumsikan bahwa pompa diletakkan didasar sumur dan
yang tetap adalah tekanan wellhead dan ukuran tubing. Kasus kedua
dianggap semua gas dipompakan bersama-sama cairan. Variabel yang
terpengaruh adalah jumlah stages pompa. Peramalan kurva intake untuk
pompa benam listrik adalah untuk kasus yang kedua.

3.8.3.4 Pompa Benam Listrik Memompa Cairan


Karena cairan memiliki sedikit sifat kompresibilitas, volume cairan
produksi dapat dikatakan konstan dan sama hingga permukaan (qsc).
Dengan demikian head perstage akan konstan juga dari Persamaan (3-123)
dapat diintegrasikan menjadi :
808,3141
𝑆𝑡 = ( ) (𝑃2 − 𝑃1) .....................................................(3-125)
ℎ𝑥𝜌𝑓𝑠𝑐

Atau harga tekanan intake (P3) dapat ditulis :


ℎ𝑥𝜌
𝑓𝑠𝑐
𝑃3 = 𝑃2 − [808,3141 ] 𝑆𝑡 .........................................................(3-126)

Sedangkan untuk Persamaan (3-124) bila diintegrasikan menjadi :


1 ℎ𝑝
𝐻𝑃 = (0,433) (𝑃2 − 𝑃3) ....................................................(3-127)

Dengan mensubtitusikan Persmaan (3-126) ke Persamaan (3-127)


menjadi :
HP = hp x ρfsc x St ................................................................(3-128)

3.8.3.5 Pompa Benam Listrik Memompa Cairan dan Gas


Gas memiliki sifat kompresibilitas yang tinggi, sehingga volume
cairan V yang dihasilkan berubah akibat perubahan tekanan dari tekanan
intake (P2) sampai tekanan discharge (P3). Faktor volume (VF) antara
153

tekanan intake (P2) sampai tekanan discharge (P3) didapat dari Persamaan
(3-123) dan laju alir ditentukan dengan Persamaan (3-128).

3.8.4 Dasar Perhitungan Electrical Submersible Pump


Pada prinsipnya perencanaan atau desain suatu unit pompa benam listrik
untuk sumur-sumur dengan WC tinggi adalah sama seperti perencanaan unit pompa
benam listrik biasa, dimana dengan maksimalnya laju produksi yang diinginkan
maka maksimal juga produksi air yang terproduksi. Kontrolnya dengan menghitung
laju kritis dimana besarnya laju produksi minyak yang diinginkan lebih besar dari
laju kritis sehingga terjadi water coning. Produksi tersebut terus dilakukan karena
masih bernilai ekonomis dan terjadinya water coning bersifat wajar untuk sumur-
sumur tua yang mempunyai water cut yang lebih besar dari 90%.

3.8.4.1 Perkiraan Laju Produksi Maksimum


Laju produksi suatu sumur yang diinginkan harus sesuai dengan
produktifitas sumur. Pada umumnya fluida yang mengalir dari formasi ke
lubang sumur lebih dari satu fasa. Seperti yang telah dijelaskan dalam sub-
bab sebelumnya, untuk aliran fluida dua fasa, Vogel membuat grafik
kinerja aliran fluida dari formasi ke lubang sumur berdasarkan data uji
produksi. Sedangkan untuk aliran tiga fasa, yaitu gas, minyak dan air,
maka dalam pengembangan kelakuan aliran tiga fasa dari formasi ke
lubang sumur dapat menggunakan analisis regresi dari metode Pudjo
Sukarno seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

3.8.4.2 Pemilihan Ukuran Dan Tipe Pompa


Pada umumnya pemilihan tipe pompa didasarkan pada besarnya rate
produksi yang diharapkan pada rate pengangkatan yang sesuai dan ukuran
casing (Check clearances). Terproduksinya gas bersama-sama dengan
cairan memberikan pengaruh dalam pemilihan pompa, karena sifat
kompresibilitas gas yang tinggi, menyebabkan perbedaan volume fluida
154

yang cukup besar antara intake pompa dan discharge pompa. Hal ini akan
mempengaruhi efisiensi pompa ESP itu sendiri.

3.8.4.3 Perkiraan Pump Setting Depth


Perkiraan pump setting depth merupakan suatu batasan umum untuk
menentukan letak kedalaman pompa dalam suatu sumur adalah bahwa
pompa harus ditenggelamkan didalam fluida sumur. Sebelum perhitungan
perkiraan setting depth dilakukan, terlebih dahulu diketahui parameter
yang menentukannya, yaitu Static Fluid Level (SFL) dan Working Fluid
Level (WFL) dimana untuk menentukannya digunakan alat sonolog atau
dengan operasi wireline, bila sumur tersebut tidak menggunakan packer.

3.8.4.4 Static Fluid Level


Static fluid level pada sumur dalam keadaan mati (tidak
diproduksikan), sehingga tidak ada aliran, maka tekanan didepan perforasi
sama dengan tekanan statik sumur. Sehingga kedalaman permukaan fluida
di annulus (SFL, ft) adalah :
𝑃𝑠 𝑃𝑐
𝑆𝐹𝐿 = 𝐷𝑚𝑖𝑑𝑝𝑒𝑟𝑓 − (𝐺𝑓 + 𝐺𝑓) .....................................................(3-129)

3.8.4.5 Working Fluid Level


Bila sumur diproduksikan dengan rate produksi sebesar q (bbl/D,
dan tekanan alir dasar sumur adalah Pwf (Psi), maka ketinggian
(kedalaman bila diukur dari permukaan) fluida di annulus adalah :
𝑃𝑤𝑓
𝑊𝐹𝐿 = 𝐷𝑚𝑖𝑑𝑝𝑒𝑟𝑓 − ( ) ..................................................... (3-130)
𝐺𝑓

Dimana :
SFL = Statik Fuid Lefel, ft
WFL = Working Fluid Level, ft
Ps = Tekanan Statik sumur, psi
Pwf = Tekanan Alir dasar sumur, psi.
q = Rate produksi, B/D
155

D = Kedalaman sumur, ft
Pc = Tekanan di casing, psi
Gf = Gradient Fluida sumur, psi/ft

3.8.4.6 Suction Head (Tinggi Hisap)


Suction head adalah silinder atau torak yang semula berada
dipermukaan cairan (dalam bak) air akan naik mengikuti torak sampai
pada mencapai ketinggian Hs, dimana :
144× 𝑃
𝐻𝑠 = ...........................................................................(3-131)
𝜌

Dimana:
Hs = suction head, ft
P = tekanan permukaan cairan, psi
Ρ = densittas fluida, lb/cuft D

3.8.4.7 Kavitasi Dan Net Positive Suction Head (NPHS)


Tekanan absolut pada cairan pada suatu titik didalam pompa berada
dibawah tekanan saturasi (Pb) pada temperatur cairan, maka gas semula
terlarut dalam cairan terbebaskan. Gelembung-gelembung gas ini akan
mengalir bersamasama dengan cairan sampai pada daerah yang memiliki
tekanan tinggi akan dicapai dimana gelembung tadi akan mengecil.
Fenomena ini disebut sebagai kavitasi yang dapat menurunkan efisiensi
dan merusak pompa.
Kejadian ini berhubungan dengan kondisi penghisapan dan apabila
kondisi penghisapan berada diatas Pb, maka kavitasi tidak terjadi. Kondisi
minimum yang dikehendaki untuk mencegah kavitasi pada suatu pompa
disebut Net Positive Suction Head (NPHS). NPHS adalah tekanan absolut
diatas tekanan saturasi yang diperlukan untuk menggerakkan fluida masuk
kedalam fluida.
156

3.8.4.8 Pump Setting Depth Minimum


Pump setting depth minimum merupakan keadaan yang
diperlihatkan dalam Gambar 3.71. A. Posisi minimum dalam waktu yang
singkat akan terjadi pump-off, oleh karena ketinggian fluida level diatas
pompa relatif sangat kecil atau pendek sehingga hanya gas yang akan
dipompakan. Pada kondisi ini Pump Intake Pressure (PIP) akan menjadi
kecil. PIP mencapai dibawah harga Pb, maka akan terjadi penurunan
efisiensi volumetris dari pompa (disebabkan terbebasnya gas dari larutan).
PSD minimum dapat ditulis dengan persamaan :
𝑃𝑏 𝑃
𝑃𝑆𝐷𝑚𝑖𝑛 = 𝑊𝐹𝐿 + 𝐺𝑓 + 𝐺𝑓 ..................................................... (3-132)

3.8.4.9 Pump Setting Depth Maksimum


Keadaan ini memungkinkan terjadinya overload, yaitu
pengangkatan beban kolom fluida yang terlalu berat. PSD maksimum
dapat didefinisikan :
𝑃𝑏 𝑃𝑐
𝑃𝑆𝐷𝑚𝑎𝑥 = 𝐷 − (𝐺𝑓 − 𝐺𝑓) ...................................................... (3-133)

Gambar 3.76. Berbagai Posisi Pompa Pada Kedalaman Sumur 15)


157

3.8.4.10 Pump Setting Depth Optimum


Merupakan kedudukan yang diharapkan dalam perencanaan pompa
benam listrik seperti dalam Gambar 3.25 C (Pompa dalam keadaan
optimum) menentukan kedalaman yang optimum tadi (agar tidak terjadi
pump-off dan overload serta sesuai dengan kondisi rate yang dikehendaki),
maka kapasitas pompa yang digunakan harus disesuaikan dengan
produktivitas sumur. Penentuan PSD optimum ini dipengaruhi oleh
terbuka dan tertutupnya casing head yang mana akan mempengaruhi
tekanan casing atatu tekanan yang bekerja pada permukaan dari fluida di
annulus. Kejadian ini mempengaruhi besarnya suction head pompa Untuk
casing head tertutup, maka :
𝑃𝐼𝑃− 𝑃𝑐
Kedalaman pompa optimum = WFL + ...................... (3-134)
𝐺𝑓

Untuk casing head terbuka, maka :


𝑃𝐼𝑃− 𝑃𝑎𝑡𝑚
Kedalaman pompa optimum = WFL + .................. (3-135)
𝐺𝑓

3.8.4.11 Perhitungan Total Dynamic Head (TDH)


Untuk menghitung Total Dynamic Head fluida yang akan diangkat
oleh pompa, maka kita menggunakan langkah seperti dibawah ini:
1. Penentuan Gradien Fluida
𝐺𝑟𝑎𝑑𝑖𝑒𝑛 𝐹𝑙𝑢𝑖𝑑𝑎 (𝐺𝑓) = 𝑆𝐺𝐹𝑙𝑢𝑖𝑑 × 0.433 .............................. (3-136)
2. Penentuan Pump Intake Pressure
𝑃𝑒𝑟𝑏 𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 = 𝑀𝑖𝑑. 𝑃𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑎𝑠𝑖 − 𝑃𝑆𝐷 ......................... (3-137)
𝑃𝑒𝑟𝑏 𝑇𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 = 𝑃𝑒𝑟𝑏 𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 × 𝐺𝑓 ............................. (3-138)
𝑃𝑢𝑚𝑝 𝐼𝑛𝑡𝑎𝑘𝑒 𝑃𝑟𝑒𝑠𝑠𝑢𝑟𝑒 (𝑃𝐼𝑃) = 𝑃𝑤𝑓 − 𝑃𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎𝑎𝑛
𝑇𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 ........................... (3-139)
3. Penentuan Vertical Lift (HD)
𝑃𝐼𝑃
𝐹𝑙𝑢𝑖𝑑 𝑂𝑣𝑒𝑟 𝑃𝑢𝑚𝑝 = ........................................................... (3-140)
𝐺𝑓

𝑉𝑒𝑟𝑡𝑖𝑐𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑓𝑡 (𝐻𝐷 ) = 𝑃𝑢𝑚𝑝 𝑆𝑒𝑡𝑡𝑖𝑛𝑔 𝐷𝑒𝑝𝑡ℎ (𝑃𝑆𝐷) − 𝐹𝑂𝑃 .. (3-141)


158

4. Penentuan Tubing Friction Lost (Hf)


100 1.85 𝑄𝑡 1.85
2.0830×[ ] [ ]
𝐶 34.3
𝐹𝑟𝑖𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐿𝑜𝑠𝑠 = ...................................... (3-142)
𝐼𝐷 4.8655

𝑇𝑢𝑏𝑖𝑛𝑔 𝐹𝑟𝑖𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐿𝑜𝑠𝑠 (𝐻𝐹 ) = 𝐹𝑟𝑖𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐿𝑜𝑠𝑠 × 𝑃𝑆𝐷 ............ (3-143)


5. Penentuan Tubing Head (HT)
𝑇𝑢𝑏𝑖𝑛𝑔 𝑃𝑟𝑒𝑠𝑠𝑢𝑟𝑒
𝑇𝑢𝑏𝑖𝑛𝑔 𝐻𝑒𝑎𝑑 (𝐻𝑇 ) = ...................................... (3-144)
𝐺𝑓

6. Penentuan Total Dynamic Head (TDH)


𝑇𝐷𝐻 = 𝐻𝐷 + 𝐻𝐹 + 𝐻𝑇 .............................................................. (3-145)

3.8.4.12 Perkiraan Jumlah Stage Pompa


Untuk menghitung jumlah tingkat pompa (stage), digunakan Total
Dynamic Head (TDH, ft) dibagi dengan harga head/stage yang didapatkan
dari memplotkan Q pada Kurva IPR.
𝑇𝐷𝐻
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑡𝑎𝑔𝑒 = 𝐻𝑒𝑎𝑑/𝑆𝑡𝑎𝑔𝑒 ................................................... (3-146)

Setelah mendapatkan hasil jumlah stage dengan rumus di atas


kemudian kita memilih sate tandem pompa pada katalog pompa yang
tersedia. Jika jumlah stage hasil perhitungan tidak tersedia pada satu
tandem pada katalog pompa maka pilihlah jumlah stage yang terdekat
lebih banyak dari jumlah stage hasil perhitungan. Dan jika jumlah stage
terlalu banyak dan tidak tersedia pada jumlah segitu dalam satu tandem
maka kita bisa memakai dua tandem pompa dengan konsekuensi harga
lebih mahal.

3.8.4.13 Pemilihan Motor Dan Horse Power


Brake Horse power adalah sebuah satuan penunjukan daya sebuah
mesin sebelum dikurangi oleh losses akibat desain sistem atau losses
lainnya. HP yang dibutuhkan pompa dapat diperoleh dengan
menggunakan rumus:
𝐻𝑃 𝑟𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑 𝑏𝑦 𝑝𝑢𝑚𝑝 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑡𝑎𝑔𝑒 × 𝐻𝑝/𝑆𝑡𝑎𝑔𝑒 .... (3-147)
159

Harga HP/Stage didapatkan dari Kurva Pompa. Sedangkan untuk


menentukan HP yang dibutuuhkan motor kita menggunakan rumus:
𝐻𝑃 𝑟𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑 𝑏𝑦 𝑝𝑢𝑚𝑝
𝐻𝑃 𝑟𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑 𝑏𝑦 𝑀𝑜𝑡𝑜𝑟 = .....................(3-148)
80%

Setelah mendapatkan hasil HP yang dibutuhkan motor maka


kemudian kita melihat pada katalog motor. Sama seperti jumlah stage, jika
tidak ada HP yang tersedia pada satu motor maka gunakanlah HP terdekat
yang lebih tinggi atau gunakan dua motor.

3.8.4.14 Pemilihan Switchboard Dan Transformer


Menentukan switchboard yang akan dipakai perlu diketahui terlebih
dahulu berapa besarnya voltage yang akan bekerja pada switchboard
tersebut. Besarnya tegangan yang bekerja dapat dihitung dari persamaan
berikut ini :
Vs = Vm + Vc, Volt ............................................................... (3-149)
Vc = (L/100) x Voltage , Volt ................................................ (3-150)
Keterangan :
Vs = surface voltage, Volt
Vm = motor voltage, volt
Vc = correction voltage, volt
L = Panjang kabel, ft
Voltage drop = kehilangan voltage, volt/100.
Menentukan besarnya tegangan transformer yang diperlukan
dihitung dengan persamaan berikut :
𝑉𝑠×𝐼𝑚×1,73
𝑇= , 𝐾𝑉𝐴 ............................................................. (3-151)
1000

Keterangan :
T = ukuran transformer,
KVA Vs = Surface voltage, volt
Im = Ampere motor, ampere

Anda mungkin juga menyukai