Anda di halaman 1dari 6

DRAMATISASI PUISI

“TANAH AIR MATA”

( KARYA SUTARDJI CALSUM BAHRI )

Anggota

Sitti Fatimah

Safarina Tartila

Nadia Farhana

Linda Sari

HerlinaDiana Puti

SYD.Syaqil

Bagian Produksi

Sutradara : Sitti Fatimah

Wakil Sutradara :

Ketua Produksi :

Asisten Produksi :

Bendahara :

Sekertaris :

Wakil Sekertaris :

Pemain
Tanah Air Mata
Oleh : Sutarji Calzoum Bachri

Tanah airmata tanah tumpah darahku


Mata air air mata kami
Airmata tanah air kami

Disinilah kami berdiri


Menyanyikan airmata kami

Di balik gembur subur tanahmu


Kami simpan perih kami
Di balik etalase gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa kami


Kami coba kuburkan dukalara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Bumi memang tak sebatas pandang


Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Kemanapun melangkah
Kalian pijak airmata kami
Kemana pun terbang
Kalian kan hinggap di airmata kami
Kemanapun berlayar
Kalian arungi airmata kami

Kalian sudah terkepung


Takkan bisa mengelak
Takkan bisa kemana pergi
Menyerahlah pada kedalaman airmata kami
Opening

( puisi ) “tanah air mata


tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami “

4 pemain memasuki panggung dengan baju yang kotor setelah datang bercocok padi di sawah
yang sudah semakin berkurang akibat lahan persawahan sudah banyak dibuat pembanguanan-
pembanguan gedung besar.

ILA : duhh capek sekali ya buk ? ( sambil mengipas-ngipas dengan tangan karena
kepanasan )

NADIA : Pegel semua badan ini, apalagi kita suah berumur tapi harus tetap bekerja

untuk mencukupi kebutuhan.

PUTRI : Untung ya buk, masih ada beberapa lahan di tempat tinggal kita ini yang
tidak dijadikan gedung-gedung besar itu, padahall mencari duit untuk
makan sehar-hari saja kita semakin susah karena proyek-proyek besar itu.
(dengan nada sedih )

LINDA : lahan pertanian , tanah sudah mereka rebut untuk memuaskan dahaga
mereka. Kita rakyat miskin rakyat kecil semakin d ihimpit oleh gedung-
gedung besar itu, untuk pernapas saja rasnya sesak

( Puisi ) “di sinilah kami berdiri


menyanyikan airmata kami”

SYAQIL : ya. Banyak sandiwara di bumi ini. pada hakikatnya Hidup hanyalah
sandiwara, dan kita terjebak dalam sebuah sandiwara. Pura-pura baik, pura-
pura bijak, pura-pura mendidik, pura-pura… pura-ura… semua hanyalah pura-
pura! ( nada dipenuhi amarah )

NADIA : sudah pak, suara kita tetap tidak akan terdengar oleh mereka ( menenangkan
si bapak )

SYAQIL : begitu rakusnya mereka terhadap bumi ini, hingga tak terlihat lagi kita yang
begitu menderita ini ( hingga tersimpu menepuk-nepuk tanah merasa lelah )
( Puisi ) “di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

“kami coba simpan nestapa


kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana”

PUTRI : mereka para petinggi tidak peduli pada kami yang hanya rakyat kecil, tidak
berguna..... mereka anggap kita tidak berguna (sambil menangis, meratapi
nasib para rakyat kecil )

ILA : lalu bagaimana? akankah kita diam saja melihat perlakuan tidak adil ini pada
kita yang hanya rakyat kecil ( nada tegas, karena suah muak engan rayuan
para orang besar. )

NADIA : kini bumi semakin tua, udara semakin panas. Bangunan raksasa dimana-mana?

Banyak petani yang kehilangan tanahnya.


( keesokan harinya para petinggi datang kepada petani untuk melakukan negosiasi, para petanih
kecil )

( Puisi ) ‘bumi memang tak sebatas pandang


dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami’

SYAQIL : halo ibuk, selamat siang


LINDA : mau apa anda kesini ? (nada memendam amarah)
SYAQIL : jadi begini buk......
Semua pemain : pergi sana,
ILA : pergi kami bukan orang bodoh yang bisa kalian iming-imingi dengan kehidupan
nyaman yang hanya sebentar saja. ( para petani yang suah mulai marah dengan nada marah, )

( belum selesai berbicara orang itu suah diusir pergi, mereka sudah tidak mau lagi ditipu dan
termakan rayuan manis si berjas itu )

(puisi ) : kalian sudah terkepung


takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata.

Anda mungkin juga menyukai