Anda di halaman 1dari 9

Kata Pengantar

segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Shalawat
dan salam mudah-mudahan senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT karunia
kepada Nabi paling mulia yaitu Nabi Muhammad SAW, serta para keluarga dan
sahabat-sahabatnya sepanjang masa, serta para pengikut setia beliau hingga akhir
zaman. Kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik serta
hidayah-Nya kepada Kami.

Semoga makalah yang sederhana ini bisa dengan mudah dimengerti dan
dapat dipahami. Kami meminta maaf bila ada kesalahan kata dalam penulisan
makalah ini, serta bila ada kalimat yang kurang berkenan untuk dibaca. kritik dan
saran yang bersifat membangun Kami harapakan dari semua pihak demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan.

1
Daftar isi

Kata Pengantar

Daftar isi

PEMBAHASAN 3
A. keutamaan mengiringi jenazah sampai pemakaman 3
B. tata cara mengiringi jenazah 5

PENUTUP 9
A. Kesimpulan 9
B. Daftar Pustaka 9

2
PEMBAHASAN

A. Keutamaan mengiringi jenazah sampai pemakaman


Kematian akan menghampiri siapa saja. Saat ada orang meninggal dunia, orang
yang masih hidup berkewajiban memenuhi hak mayit. Tanggung jawab ini masuk
kategori fardlu kifayah atau kewajiban kolektif, yakni apabila salah seorang sudah
melaksanakannya maka gugurlah kewajiban orang-orang sisanya.

Bila ada salah seorang umat Muslim meninggal dunia yang matinya tidak sebab
mati syahid (di medan pertempuran) atau meninggal ketika sedang berihram, maka
kewajiban yang hidup terdapat empat macam, yaitu memandikan, mengafani,
menshalati, dan menguburkannya.

Lain halnya dengan orang kafir. Menshalatkannya justru dilarang karena shalat
itu sendiri bermakna mendoakan (meski saat masih hidup, mendoakan mereka
diperbolehkan). Adapun memandikan jenazah orang kafir diperbolehkan. Bahkan,
mengafani dan menguburkan kafir dzimmi hukumnya wajib (Ibrahim al-Baijuri,
Hasyiyah Al-Baijuri, [Beirut: DKI, 1999], juz 1, hal. 365-366).

Lalu bagaimana hukum mengiring jenazah Muslim sampai ke pemakaman? 


Pada dasarya, hukum mengiring janazah tidak wajib karena yang pokok adalah
sudah ada yang menshalatkan dan memakamkan tanpa pengiring. Namun, Baginda
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬memberikan kabar gembira bagi siapa saja yang mau
mengiringi janazah baik sampai ke tempat penyelenggaraan shalat maupun sampai
ke pemakaman, akan mendapatkan dua qirath. Satu qirath setara dengan besar
gunung Uhud. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

3
‫ فَِإنَّهُ يَرْ ِج ُع ِمنَ اَألجْ ِر‬،‫صلَّى َعلَ ْيهَا َويَ ْف ُر َغ ِم ْن َد ْفنِهَا‬ َ ُ‫ َو َكانَ َم َعهُ َحتَّى ي‬،‫ ِإي َمانًا َواحْ تِ َسابًا‬،‫َم ِن اتَّبَ َع َجنَا َزةَ ُم ْسلِ ٍم‬
َ ‫ َو َم ْن‬،‫اط ِم ْث ُل ُأ ُح ٍد‬
‫ فَِإنَّهُ يَرْ ِج ُع بِقِي َرا ٍط‬، َ‫صلَّى َعلَ ْيهَا ثُ َّم َر َج َع قَ ْب َل َأ ْن تُ ْدفَن‬ َ ِ‫ ُكلُّ ق‬،‫بِقِي َراطَي ِْن‬
oٍ ‫ير‬

Artinya: “Barangsiapa yang mengiring janazah seoran muslim dengan sebuah


keimanan dan mencari ridla Allah, orang itu mengiringi janazah sampai shalat
selesai dan sampai usai menguburkannya, ia pulang membawa pahala dua qirath.
Setiap qirath itu sama dengan gunung Uhud. Dan barangsiapa yang menshalatinya
lalu pulang sebelum dimakamkan, dia pulang dengan membawa satu qirath. (HR
Bukhari: 47)

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari
menyatakan bahwa pahala dua qirath itu didapat apabila seseorang mengiring
dengan membersamai janazah, tidak berangkat sendiri-sendiri.

َ ‫صلَّى َمثَاًل َو َذه‬


‫َب‬ oِ ‫يع الطَّ ِر‬
َ ‫يق َحتَّى تُ ْدفَنَ فَِإ ْن‬ ِ ‫صاَل ِن لِ َم ْن َكانَ َم َعهَا فِي َج ِم‬ ُ ْ‫يراطَي ِْن ِإنَّ َما يَح‬ َ ِ‫َضى هَ َذا َأ َّن ْالق‬
َ ‫َو ُم ْقت‬
‫يراطٌ َوا ِح ٌد ا ْنتَهَى‬
َ ِ‫ض َر ال َّد ْفنَ لَ ْم يَحْ صُلْ لَهُ ِإاَّل ق‬َ ‫ِإلَى ْالقَب ِْر َوحْ َدهُ فَ َح‬

Artinya: “Konteks mendapatkan dua qirath di sini dihasilkan bagi orang yang
membersamai janazah sepanjang jalan sampai dikebumikan. Kalau melaksanakan
shalat lalu pergi ke kuburan sendiri, maka hanya mendapatkan satu qirath saja”
(Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379
H], juz 3, hal. 197).

Selain itu, Ibnu Hajar juga mengingatkan tentang pentingnya niat. Hadits di atas
memberikan aturan dalam mengiring janazah atas dasar iman dan mencari ridha
Allah, maka orang yang mengiring janazah supaya mendapat hadiah atau imbalan
dan supaya dicintai salah seorang mahluk, tidak akan mendapatkan pahala dua
qirath.

4
B. Tata Cara Mengiringi Jenazah

Setiap Muslim yang meninggal mendapatkan empat hak yang layak ia terima
dan sekaligus wajib dilakukan oleh Muslim di sekitarnya yang masih hidup.
Keempat kewajiban tersebut adalah memandikan, mengafani, menshalati, dan
menguburkan.

Syekh Qalyubi dan Syekh Umairah menjelaskan beberapa tata cara mengiring
jenazah sebagai berikut:

1. Sebaiknya pelayat mengiring jenazah dengan berjalan di depan


(mendahului) jenazah dengan perkiraan seumpama pelayat ini menoleh ke
belakang, jenazahnya masih kelihatan. Artinya, meski di depan, sebaiknya
jarak antara pelayat dengan jenazah tidak terlalu jauh sehingga terhalang
pandangan antara pengiring dengan jenazah dengan ketutup pelayat yang
lain.
2. Mengiring jenazah dengan mendahului mayit lebih utama daripada berada di
belakang jenazah. Hal ini berlaku baik bagi pejalan kaki maupun
berkendara. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab:

ُ‫ َو ْال ُخلَفَا ُء هَلُ َّم َج ّراً َو َع ْب ُد هللاِ بْن‬.‫ َكانُوا يَ ْم ُشونَ َأ َما َم ْال َجنَازَ ِة‬،‫َأ َّن َرسُو َل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َوَأبَا بَ ْك ٍر و ُع َم َر‬
‫ُع َم َر‬

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah ‫ﷺ‬, Abu Bakar, dan Umar berjalan di


depan jenazah. Para khalifah setelahnya berjalan seperti demikian, serta Abdullah
bin Umar juga sama” (Al-Muwatha’: 256)

3. Dalam mengiring jenazah, sebaiknya tidak menggunakan kendaraan kecuali


ada uzur seperti sakit atau tidak mampu. Di sebagian tempat, terutama di
perkotaan, jarak antara makam dan rumah duka seringkali sangat jauh
sehingga pengiring kesulitan atau kecapekan jika dipaksa berjalan kaki. Bila
5
yang terjadi seperti ini, anjuran untuk berjalan kaki menjadi gugur. Munurut
Syekh Ibrahim as-Syirazi, kalau tidak ada alasan mendesak, misalnya sang
pelayat dalam keadaan sehat atau tak ada kendala jarak, kemudian ia
mengiring jenazah dengan berkendara, maka hukumnya makruh.

Dari perincian di atas, Syekh Qalyubi dan Umairah menyimpulkan sebagai

berikut:

ُ‫ َوَأنَّه‬o‫ َأوْ قَ ِريبًا‬،‫ب َولَوْ َأ َما َمهَا‬


ِ ‫ َأوْ بَ ِعيدًا ِم ْن الرُّ ُكو‬،‫ض ُل َولَوْ خَ ْلفَهَا‬
َ ‫إن ْال َم ْش َي َأ ْف‬
َّ :‫ص ُل الَّ ِذي يَ ْنبَ ِغي َأ ْن يُقَا َل‬
ِ ‫َو ْال َحا‬
ِ ْ‫ َولَوْ َم َشى بِ ْالقُر‬،‫ض ُل ِم ْنهُ َخ ْلفَهَا‬
‫ب‬ َ ‫َأ َما َمهَا َأ ْف‬

Artinya: “Kesimpulannya, sebaiknya redaksi yang ditampilkan adalah


mengiring jenazah dengan berjalan itu lebih utama walaupun di belakangnya
atau bahkan sangat jauh jarak antara pelayat dan jenazah dibanding dengan naik
kendaraan walaupun posisinya di depan mayit dengan jarak dekat sekalipun.
Mengiring jenazah di depannya lebih utama daripada di belakangnya walaupun
jaraknya sangat dekat dengan jenazah. (Qalyubi dan Umairah, Hasyiyata
Qalyubi wa Umairah, [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz 1, hlm. 385)  

Sebuah hadits yang menjelaskan keutamaan mengiring dengan berjalan kaki


diriwayatkan oleh Tsauban, budak Rasulullah ‫ ﷺ‬sebagai berikut:  

ِ‫ «َأاَل تَ ْستَحْ يُونَ َأ َّن َماَل ِئ َكةَ هللا‬:‫ فَقَا َل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَاسًا ُر ْكبَانًا َعلَى د ََوابِّ ِه ْم فِي ِجنَازَ ٍة‬ َ ِ ‫َرَأى َرسُو ُل هَّللا‬
‫ان؟‬ ٌ َ‫ َوَأ ْنتُ ْم ُر ْكب‬o،‫»يَ ْم ُشونَ َعلَى َأ ْقدَا ِم ِه ْم‬

Artinya: “Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah melihat masyarakat mengiring jenazah


dengan naik kendaraan, lalu Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda ‘Hendaknya kalian ini
malu dengan malaikat Allah yang berjalan kaki sedang kalian malah naik
kendaraan!’” (Sunan Ibnu Majah: 1480)

6
Saat mengiring jenazah, di sebagian tempat di Indonesia terdapat adat para
pengiringnya sambil melantunkan dzikir “Lâ ilâha illallâh”. Bagaimana
hukumnya?

Perlu diketahui, menurut Syekh Amin al-Kurdi makruh hukumnya


mengobrol tentang urusan duniawi dan bicara keras saat mengiring jenazah
kecuali untu k membaca Al-Qur’an, dzikir, dan shalawat kepada Nabi ‫ﷺ‬. Oleh
karena itu, dzikir keras itu diperbolehkan, apalagi ada untuk syiar.

Sebuah terobosan penting yang perlu diapresiasi para kiai Indonesia


terdahulu menginisiasi membaca “Lâ ilâha illallâh” ketika mengiring jenazah.
Menurut Ibnu Ziyad al-Yamani, pelayat yang tidak bisa terkontrol
pembicaraannya lebih baik diajak sibuk berdzikir yang bisa mengakibatkan
mereka meninggalkan obrolan mereka.

‫ وربما أداهم الى نحو الغيبة فالمختار اشتغال‬o‫وعمت البلوى بما يشاهد من اشتغال المشيعين بالحديث الدنيوي‬
‫ اهـ‬.‫استماعهم بالذكر المؤدي الى ترك الكالم أو تقليله‬

Artinya: “Sudah menjadi problem yang susah dihindari adalah pemandangan


masyarakat yang melayat dengan obrolan duniawi yang menyebabkan mereka
jatuh semacam menggunjing. Maka langkah yang dipilih adalah
memperdengarkan mereka dengan dzikir yang bisa menjadikan mereka
meninggalkan pembacaraan tersebut atau menimalisir pembicaraan mereka”
(Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub, [Darul Fikr], hlm. 206).

Selain membaca dzikir, sebaiknya pelayat berjalan cepat bersama jenazah,


dan memikirkan kematian serta kehidupan setelahnya.

‫ بها والتفكر في الموت وما بعده‬o‫ واالسراع‬o‫ويسن المشي أمامها وقربها‬

7
Artinya: “Disunnahkan berjalan di depan janazah, dekat dengan jenazah,
berjalan cepat bersama jenazah dan memikirkan tentang kematian dan
kehiduapan setelahnya. (ibid).   Kesimpulannya, apabila kita mengiring jenazah,
jika mampu usahakan dengan berjalan kaki dan sedikit mendahului jenazah di
depannya. Selain itu, sebaiknya sibukkan diri untuk memikirkan kematian,
memikirkan kematian, dan berdzikir kepada Allah.   Sebagai catatan, jarak
dekat dengan jenazah atau iring-iringan secara berkerumun, relevan dijalankan
saat kondisi normal. Dalam situasi tertentu seperti jenazah potensial
menularkan penyakit, maraknya wabah, atau semacamnya cara yang digunakan
menyesuaikan keadaan yang menurut para ahli tergolong aman, dengan tetap
berusaha menerapkan standar tiga anjuran di atas sejauh memungkinkan.

8
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kematian akan menghampiri siapa saja. Saat ada orang meninggal dunia,
orang yang masih hidup berkewajiban memenuhi hak mayit. Tanggung jawab ini
masuk kategori fardlu kifayah atau kewajiban kolektif, yakni apabila salah seorang
sudah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban orang-orang sisanya.

berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ‫ﷺ‬


bersabda:

‫ فَِإنَّهُ يَرْ ِج ُع ِمنَ اَألجْ ِر‬،‫صلَّى َعلَ ْيهَا َويَ ْف ُر َغ ِم ْن َد ْفنِهَا‬ َ ُ‫ َو َكانَ َم َعهُ َحتَّى ي‬،‫ ِإي َمانًا َواحْ تِ َسابًا‬،‫َم ِن اتَّبَ َع َجنَا َزةَ ُم ْسلِ ٍم‬
َ ‫ َو َم ْن‬،‫اط ِم ْث ُل ُأ ُح ٍد‬
‫ فَِإنَّهُ يَرْ ِج ُع بِقِي َرا ٍط‬، َ‫صلَّى َعلَ ْيهَا ثُ َّم َر َج َع قَ ْب َل َأ ْن تُ ْدفَن‬ َ ِ‫ ُكلُّ ق‬،‫بِقِي َراطَي ِْن‬
oٍ ‫ير‬

Artinya: “Barangsiapa yang mengiring janazah seoran muslim dengan sebuah


keimanan dan mencari ridla Allah, orang itu mengiringi janazah sampai shalat
selesai dan sampai usai menguburkannya, ia pulang membawa pahala dua qirath.
Setiap qirath itu sama dengan gunung Uhud. Dan barangsiapa yang menshalatinya
lalu pulang sebelum dimakamkan, dia pulang dengan membawa satu qirath. (HR
Bukhari: 47)

B. Daftar Pustaka
Mundzir, ahmad. 2020. “Tata Cara Mengiringi Jenazah”
https://islam.nu.or.id/jenazah/tata-cara-mengiring-jenazah-4P9jb
https://islam.nu.or.id/jenazah/keutamaan-mengiringi-jenazah-sampai-pemakaman-
eooPX
diakses pada 27 Agustus 2022 pukul 23 : 57

Anda mungkin juga menyukai