Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Toleransi dan Lembaga Pendidikan


1. Pendidikan dan Toleransi
a. Pengertian Pendidikan
Undang-undang RI mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.54
Pendidikan dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara adalah upaya
menumbuhkembangkan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect)
dan tubuh anak.55 Sifuna and Otiende mendefinisikan pendidikan sebagai
pengajaran yang terorganisir dan berkelanjutan dimaksudkan untuk menyebarkan
berbagai pengetahuan, keterampilan, pemahaman dan sikap yang diperlukan untuk
aktivitas sehari-hari dalam hidup.56 Syah mendefinisikan pendidikan sebagai
sebuah sistem untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah
laku yang sesuai dengan kebutuhan dengan menggunakan metode-metode
tertentu.57 1
Berdasarkan beberapa definisi pendidikan di atas dapat ditarik simpulan
bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses humanisasi, yakni proses
membangun sumber daya manusia dengan metode-metode yang telah tersistematis
untuk menghasilkan individu berkarakter dan memiliki kompetensi intelektual

54
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat 1.
55
Al-Musanna. 2017. Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017.
Hlm. 121.
56
Sifuna, D. N, and Otiende J.E. 2006. An Introductory History of Education. Revised
edition; Kenya: University of Nairobi. Hlm. 1.
57
Muhibbin Syah. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:PT
Remaja Rosdakarya. Hlm. 10
38
39

sehingga dapat berperan aktif dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang
adil dan beradab.
Omachar memaknai pendidikan sebagai sebuah proses dan produk.
Menurutnya, peserta didik diibaratkan bahan mentah yang melalui proses industri
diubah menjadi produk jadi. Dalam proses ini guru memainkan peran penting.
Produk yang dihasilkan dari proses edukasi tersebut harus dimurnikan dan
berkualitas tinggi seperti halnya bahan baku industri yang telah mengalami proses
pemurnian. Seorang individu yang berpendidikan harus dibekali dengan
kemampuan secara ekonomi, sosial, politik, moral dan intelektual dan ini dapat
dilihat secara praktis dalam kehidupannya.58
UNESCO menegaskan bahwa pendidikan yang diberikan harus mencakup
gagasan perdamaian, toleransi dan saling pengertian, pendidikan hak asasi manusia
dan tema pendidikan terkait. Deklarasi ini menjadi kerangka kerja untuk mencegah
kekerasan di sekolah dan menggalakkan pemahaman antar budaya, dialog antar
agama, menghormati keragaman dan empati.59 Secara eksplisit, deklarasi ini
dikemas dalam tujuan pendidikan yang dikenal dengan istilah empat pilar
pendidikan (four pillars of education/learning), yaitu (1) learning to know,
(2) learning to do; (3) learning to live together) dan (4) learning to be.
Jean Piaget dalam Shahsavari mengemukakan bahwa pendidikan harus
memberikan pemahaman yang baik, toleransi dan persahabatan antar semua bangsa,
kelompok ras dan agama serta memperluas dan peningkatan kegiatan penjaga
perdamaian PBB.60 Penegasannya bahwa tujuan akhir pendidikan adalah
kesesuaian dengan lingkungan sosial. Adapun yang menjadi tujuan utama
pendidikan adalah menentukan kebutuhan masyarakat; pendidikan dan kecerdasan;

58
Barasa Samson Omachar. 2016. History of Education: Unending Persona, Demystifying
and Demythologizing; Demonization, Perception and Superstition: A Reflection on the role of
Educational Foundations in programmes of teacher preparation. International Journal of Education
and Research. Vol. 4 No. 9 September 2016. Hlm. 301-302.
59
UNESCO. 2011. UNESCO and Education. The United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization. Hlm. 23.
60
Mahmood Shahsavari. 2012. Jean Piaget’s Ideas About Foundations of Education.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(5): 185-188, 2012 ISSN 1991-8178
40

pendidikan karakter; pemahaman; perdamaian dan persahabatan internasional.61


Membangun toleransi diantara keragaman menjadi salah satu tujuan utama dari
pendidikan yang digerakkan dewasa ini.
Ditinjau dari perspektif Islam, term pendidikan pada umumnya mengacu
kepada term yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut term al-
tarbiyah merupakan term yang popular digunakan dalam dunia pendidikan. Istilah
tarbiyah berkonotasi dengan nasy’an, tahdzib, khalqiyah, tamlikiyah; ta’lim
berkonotasi dengan irsyad, ta’rif, tilawah, tabligh, tadris, dan talqin; Adapun ta’dib
berkonotasi dengan hidayah tazkiyah dan khalqiyah.
Menggunakan perspektif semantik, term al-tarbiyah yang umum digunakan
identik dengan akar kata al-rabb yang bermakna merawat, mengatur, tumbuh,
berkembang, memelihara, dan melestarikan.62 Al-Qurthubi memaknai al-rabb
sebagai tuan, yang memiliki, yang maha mengatur, yang maha menunaikan, yang
maha menambah, yang maha memperbaiki.63 Adapun Razi memaknai al-rabb
dengan arti proses tumbuh dan berkembang (al-tanmiyah)64
Derivasi al-rabb adalah al-tarbiyah. Kata al-tarbiyah merupakan bentuk
masdar dari wazan fa‘ala, yufa‘ilu, taf'ilan yakni rabba, yurabbiy, tarbiyat. Term
ini terdapat dalam QS. Al-Isra [17]: 24 dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Muslim.

61
Mahmood Shahsavari. 2012. Jean Piaget’s Ideas About Foundations of Education.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(5): 185-188, 2012 ISSN 1991-8178. Hlm. 188
62
Samsul Nizar. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press. Hlm. 25.
63
Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi. Kairo:
Barus Sya`bi, Juz 1. Hlm. 120.
64
Fahrur Razi. Tafsir Fahrur Razi. Teheran: Darul Kuthubil Ilmiah, Juz XXI. Hlm. 151.
41

Secara terminologi, Al-Thabary mendefinisikan tarbiyyah sebagai sebuah


metode berkelanjutan dalam rangka mendewasakan dan memandirikan mutarabbi
melalui pengembangan dan bimbingan terhadap jasad, akal dan jiwanya untuk bisa
hidup di tengah masyarakat.65 Al-Maraghi berpendapat bahwa dalam
mendefinisikan arti al-Tarbiyah dapat ditinjau dalam dua dimensi berbeda yakni:
1) Tarbiyah kholqiyyah. Al-Tarbiyah dimaknai sebagai upaya pembimbingan dan
peningkatan dengan menggunakan berbagai kaidah/petunjuk terhadap intelektual,
fisik/jasmani, dan rohani dengan berbagai petunjuk. 2) Tarbiyah Diniyah
Tahdzibiyah. Pembinaan atas jiwa dalam upaya menahbiskan/memurnikan jiwa
dan menyempurnakan akal dengan menggunakan wahyu sebagai sumber utama
pengajaran.
Ta’lim adalah term pendidikan lainnya selain al-tarbiyah. Mengambil dari
akar kata ‘allama, yu’allimu dan ta’lim dimana yu’allimu bermakna mengajarkan
dan ta’lim bermakna pengajaran. Merujuk Ridha, secara terminologi ta’lim
didefinisikan sebagai proses transfer pengetahuan pada jiwa individu tanpa syarat
dan tanpa batas.66 Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah [2]; 151:

65
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jaris Al-Thabary. 1988. Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil ayat al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm. 67.
66
Muhammad Rasyid Rasyid Ridla. (n.d.). Tafsir Al Qur’an Al Hakim: Tafsir Al Manar
Juz IV. Mesir: Darul Manar. Hlm. 262.
42

Senada dengan Ridha, Jalal memiliki pandangan bahwa konsep pendidikan


lebih terakomodir dalam term ta’lim. Dikemukakan Jalal bahwa: Pertama, ta'lim
merupakan metode peningkatan keseimbangan kemampuan potensi panca indera
dan hati melalui proses pembelajaran secara berkesinambungan.67 Firman Allah
SWT dalam QS. An-Nahl [16]; 78:

Pandangan Jalal tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa: Pertama, proses


pembelajaran dalam konsep ta'lim menjangkau tiga ranah pendidikan yaitu ranah
kognisi, afektif, dan psikomotor. Pembelajaran yang hanya menyentuh salah satu
ranah tersebut akan menyebabkan kepincangan atau ketidakseimbangan dalam
hasilnya. Misal, taklid, keliru memahami teks-teks keagamaan, kesalahan
pengamalan, dan sebagainya. Kedua, kewajiban menumbuhkembangkan potensi
panca indera dan hati merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya
semenjak usia dini. Pasca dewasa, penguatan potensi panca indera dan hati menjadi
kewajiban individu masing-masing dan proses pembelajaran ini akan terus
berlangsung hingga akhir hayatnya. Ruang lingkup pengertian ta'lim yang tidak
terbatas pada aspek kognisi saja menurut Jalal didasarkan pada QS. Al-Baqarah;
151.

67
Abdul Fatah Jalal. 1977. Min Ushul al-Tarbiyyah fi al-Islam. Mesir: Daar al-Kutuh al-
Misriyah. Hlm. 32
43

Term yang ketiga adalah ta’dib yang secara harfiyah bermakna undangan
kepada suatu perjamuan. Kata addabahu fataaddaba menurut Ibn Mandzur
mencakup pengertian ‘allamahu (mendidiknya). Ditegaskan Al-Attas bahwa term
ini lebih merepresentasikan makna pendidikan yang seharusnya sebagaimana hadits
Nabi Muhammad SAW berikut:68

Disaat tarbiyah merepresentasikan pendidikan sebagai upaya menanamkan


dan penanaman adab pada diri manusia, dalam term ta’dib, menurut Al-Attas,
pendidikan mengandung makna sesuatu yang sempurna berlaku bagi manusia
dimana pendidikan harus membebaskan dirinya sendiri dengan sukses dan
sempurna di kehidupan dunia maupun akhirat.69 Secara konseptual, dengan
demikian unsur-unsur pengetahuan ('ilm), pengasuhan yang baik (tarbiyah), dan
pengajaran (ta'lim) sudah tercakup dalam term ta'dib
Konsep pendidikan Islam yang ditawarkan oleh Al-Attas dengan term ta’dib
tersebut, lebih menitikberatkan pembangunan pendidikan secara holistik bahkan
terkesan abstrak di tengah pergumulan globalisasi dunia saat ini. Konsep ta’dib
sebagai term pendidikan Islam, sejatinya menawarkan sebuah konsep pendidikan
yang sepenuhnya bersumber dari nilai-nilai Islam dan kesluruhan ajaran yang
terkandung didalamnya. Ditengah kemusykilan penerapannya saat ini, namun
konsep yang ditawarkan bisa menjadi pembeda antara pendidikan konvensional
dengan pendidikan Islam.

68
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Hlm. 151.
69
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1993. Islam and Secularism. Hlm. 151.
44

Corak kepribadian manusia yang terlibat dalam proses pendidikan


dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melandasi rumusan pendidikan (visi, misi, dan
tujuan).70 Merujuk pada hasil Kongres pendidikan Islam sedunia yang
diselenggarakan pada tahun 1980 telah menetapkan tujuan pendidikan bahwa
pendidikan harus ditujukan kearah kemajuan/progres kepribadian manusia yang
berkelanjutan dan bersifat holistik melalui proses edukasi spiritual, intelektual, dan
akal. Pendidikan juga harus melayani dan mendorong tercapainya kebaikan dan
kesempurnaan dalam keseluruhan aspek dari pertumbuhan potensi manusia baik
jiwa, panca indera, spiritual, intelektual, jasmani ilmiah, bahasa, baik individual
maupun kolektif.
Tujuan akhir pendidikan terletak di dalam sikap penyerahan diri sepenuhnya
pada tingkat individu, masyarakat, dan pada tingkat kemanusiaan pada umumnya.
Dengan demikian tujuan pendidikan sama luasnya dengan kebutuhan manusia
modern masa kini dan masa yang akan datang. Dimana manusia tidak hanya
memerlukan iman atau agama melainkan juga ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup didunia sebagai sarana untuk
berbahagia di akhirat.
Aspek-aspek yang harus ada dalam sebuah konsep pendidikan, terdiri dari:71 1)
Proses pendidikan yang terencana dan sesuai dengan tujuan; 2). Melibatkan peserta
didik untuk outcome yang diinginkan; 3). Pendidikan harus berorientasi pada
pengembangan potensi peserta didik; 4). Proses pendidikan harus mengembangkan
tiga ranah yakni pengembangan ranah kognitif, pengembangan ranah afektif, dan
pengembangan potensi psikomotor dan pembentukan sikap.
Terdapat lima aspek yang dikandung dalam pembentukan karakter yaitu: a.
Keteladanan/moral modeling. b. Habituasi santri dalam keseharian/moral
habituation; c. Upaya penumbuhan kepekaan terhadap lingkungan dalam

70
Muzayyin Arifin. filsafat Pendidikan Islam. Hal. 118.
71
Wina Sanjaya. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. cet. ke-9. Hlm. 2-3.
45

menghargai nilai-nilai baik/moral feeling; d. Penguatan program


pembelajaran/moral knowing; e. Perilaku moral/moral action.72
1. Keteladanan/moral modeling. Pembentukan karakter melalui cara
meniru/imitasi sikap serta tingkah laku orang lain.73 Terdiri dari dua
jenis, pertama, keteladanan internal (internal modelling) yaitu
keteladanan yang sifatnya intrinsik; dan kedua, keteladanan eksternal
(external modelling) yaitu keteladanan yang sifatnya ekstrinsik.74
2. Kebiasaan/moral habituation. Pembentukan karakter melalui cara
pembiasaan/habituasi dalam tiga aspek yakni kompetensi, harapan, dan
rutinitas/kebiasaan.
3. Daya perasaan/moral feeling. Pembentukan karakter melalui daya
perasaaan, meliputi nurani, self-esteem, empati, loving the good/cinta
kebaikan), self-control (kontrol diri) dan rendah hati/humanity.
4. Pengetahuan/moral knowing. Pembentukan karakter melalui
kemampuan individu memahami nilai yang abstrak, seperti: moral
awareness, knowing moral values, perspective-taking, moral reasoning,
decision-making, dan self-knowledge.
5. Perilaku/moral action. Pembentukan karakter melalui penguatan afektif
seperti melatih diri dalam berbuat kebajikan dan perbuatan-perbuatan
moral lainnya.75
b. Toleransi
Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, yang artinya
kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Istilah tolerance
(toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun kandungannya.76

72
Thomas Lickona. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantam Books. Hlm. 51.
73
Kartini Kartono dan Dali Gulo. 1987. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya. Hlm. 285
74
Dian Andayani dan Abdul Majid. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
Rosda Karya. Hlm. 23.
75
R Megawangi. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat Membangun Bangsa.
Jakarta: BP Migas. Hlm. 113.
76
Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta : Perspektif. Hal. 212.
46

Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan
budayanya yang khas.
Berbicara toleransi, hal yang harus dijadikan sebagai sandaran dalam
memahami toleransi adalah memahami esensi dari toleransi melalui pengertian akar
katanya. Toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1. Sifat atau sikap
toleran: 2. Batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan; 3. Penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran
kerja.77 Toleransi dalam cambridge dictionary adalah willingness to accept
behaviour and beliefs that are different from your own, although you might not
agree with or approve of them.78 Dalam kamus Psikologi, toleransi didefinisikan
sebagai. 1. The capacity to endure differences from expectations with equanimity
(Kapasitas untuk menanggung perbedaan dari ekspektasi dengan ketenangan hati).
2. The range of permissible deviations from norms or standards (Kisaran
penyimpangan yang diizinkan dari norma atau moral).79
King dan Crick dalam Lukes mendefinisikan toleransi bahwa tolerance as
disapproval plus acceptance. The tolerator is free to reject the item accepted and
has the power to do so.80 Inti dari pengertian toleransi yang dikemukakan oleh King
dan Crick ini menegaskan bahwa di satu sisi seseorang berhak untuk menerima
perbedaan dan di sisi lain memiliki hak untuk menolak konten dari perbedaan
tersebut. Sebuah penerimaan terhadap perbedaan yang masih terkotakkan oleh
kondisi dirinya secara psikologis.
UNESCO dalam declaration of principles on tolerance tahun 1995
mendefinisikan toleransi sebagai:81

Tolerance is respect,acceplance and appreciation of the rich diversity of our


world’s culture, our forms of expression and ways of being human. It is fostered by
knowledge, openners, cummunication and freedom of thought, cobsicience and
belief. Tolernace is harmony in difference. It is not only a moral duty. It is also a

77
https://kbbi.web.id/toleransi
78
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance.
79
David Matsumoto. 2009. The Cambridge Dictionary of Psychology. New York:
Cambridge University Press. Hlm. 547.
80
Steven Lukes. 1971. Social and Moral Tolerance. https://doi.org/10.1111/j.1477-
7053.1971.tb01219.x. Hlm. 224.
81
47

political and legal requirement. Tolerance, the virtue that makes peace possible,
contributes to the replacement of the culture of war by a culture of peace.
Berdasarkan beberapa pengertian toleransi di atas, bahwa toleransi
merupakan sikap individu menerima perbedaan yang ada dan memberikan hak
sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun
pendapatnya berbeda. Toleransi menjadi sarana bagi terbangunnya keharmonisan
dalam perbedaan. Melalui toleransi tercapainya perdamaian di dunia.
Secara etimologis, istilah toleransi tersebut juga dikenal dengan sangat baik
di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan
slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di
Perancis.82 Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah
toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
sukarela dan kelembutan.
Di negara dengan kondisi masyarakat majemuk, sikap toleransi sangat
diperlukan untuk menjaga stabilitas bangsa. Toleransi adalah salah satu pondasi
terpenting dalam demokrasi.83 Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika
seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang
lain. Kemajemukan seringkali menjadi triger terjadinya kekerasan fisik maupun
mental, egosentris individu terhadap individu lainnya yang menimbulkan
ketidakadilan, hingga hancurnya tatanan kehidupan manusia seperti pembunuhan
suku atau yang dikenal dengan istilah genosida. Sikap-sikap negatif yang
ditimbulkan dari kemajemukan ini terjadi ketika individu manusia tidak melengkapi
dirinya dengan sikap toleran. Dengan sikap toleran inilah terwujudnya peradaban
manusia yang positif.
Sikap-sikap negatif tersebut muncul saat egosentris manusia muncul. Hal iini
dapat ditemukan sejak awal disosialisasikannya sikap toleransi keberagamaan.
Kesalahan pemahaman konsep toleransi diantaranya –hampir dikeseluruhan agama
pada tataran realitas- memiliki klaim yang sama bahwa agama mereka yang paling
benar, bahwa surga hanya diperuntukkan bagi penganut agamanya sendiri, dan

82
Zuhairi Misrawi. 2007. Al-Quran Kitab Toleransi. Jakarta : Pustaka Oasis. Hal. 161.
83
Kevin Osborn. 1993. Tolerance. New York. Hal. 11.
48

keselamatan hanya ada dalam agama mereka sendiri sementara agama yang lain
dianggap sesat. Misal, doktrin Gereja Katolik “Extra Ecclesiam nulla salus (diluar
gereja tidak ada keselamatan)”, doktrin kelompok protestan “di luar Kristen tidak
ada keselamatan”. Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi triger lahirnya gagasan
pluralise agama para teolog dan filosof Barat di awal abad 20. Barat menjadi pusat
pergerakan utama pemikiran pluralisme agama.84
Toleransi sendiri dilihat dari kacamata sosio-historis berawal dari fenomena
sosial masyarakat dengan agama sebagai pemicu. Sebagaimana difahami bahwa
agama yang tumbuh subur di dunia ini majemuk. Keanekaragaman ini ternyata
menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berbagai kejadian yang disebabkan konflik keagamaan semakin melebar dan
mencuat. Meskipun dalam perjalanannya seringkali konflik keagamaan dicetuskan
oleh muatan politik.85
Kenyataan objektif di lapangan menunjukkan intoleransi dan efek-efek yang
diakibatkannya seperti radikalisme, ekstrimisme, hingga kejahatan kemanusiaan
seringkali dikaitkan dengan agama. Perdebatan sengit keagamaan terjadi ketika
mendefinisikan agama hanya dari satu dimensi saja, maka pluralisme agama
menjadi sebuah fenomena subjektif hingga terbangunnya dinding intoleransi. Hasil
penelitian yang dilakukan Thoha ketika mendefinisikan agama dengan
menggunakan dimensi substansi semata hanya akan melahirkan pemahaman
reduksionistik. Diantaranya pluralis John Hick yang menyatakan bahwa semua
agama sama, tidak ada agama yang lebih unggul dari agama lain dikarenakan agama
merupakan aktualisasi dari realitas yang satu (semua agama sama/religious
equality). Persamaan agama tersebut tidak hanya pada aspek presensi agama-agama
secara realita (equality on existence), melainkan include didalamnya menyamakan

84
Anis Malik Thoha 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Hlm 17-18.
Dikemukakan Thoha dalam buku yang sama bahwa diawal keberadaannya, pluralisme agama
merupakan gerakan reformasi pemikiran agama atau kebebasan (liberalisasi) agama dalam
teologi Kristen, sebagai pondasi teoretis membangun interaksi secara toleran dengan agama-
agama lain.
85
Steven Lukes. 2014. Social and Moral Tolerance. Government & Opposition: an
International Journal of Comparative Politics. Vol.. 6 Issue 2.
https://www.cambridge.org/core/product/39EFCD4861CFEA75065FEEDD9AF22D26
49

aspek esensi dan hukum yang terkandung didalamnya (syariat). Bagi pluralis
sekelas Hick, berpandangan bahwa melalui doktrin persamaan agama ini, toleransi
dapat tercipta, terbangunnya harmonisasi kehidupan antar agama, dan mutual
respect.86
2. Macam-Macam Toleransi
Realita di lapangan menunjukkan bahwa toleransi memiliki jenis tersendiri
selain toleransi dalam keagamaan. Diantaranya Vogt dalam Doorn yang
menggolongkan toleransi dalam tiga dimensi, yaitu:87

a. Moral tolerance
Toleransi dimensi ini merupakan toleransi terhadap aksi yang
kontroversial dengan kehidupan manusia pada umumnya yang terjadi di
ruang privat, seperti permasalahan homoseksual, pornografi, dan aksi-aksi
yang berbau seksualitas lainnya seperti aborsi.
b. Political tolerance
Sikap toleransi berpolitik (ketatanegaraan) yang terjadi dalam ranah
publik. Pada dimensi ini, sikap toleransi yang diperlukan adalah etika
berpolitik dengan mengedepankan toleransi terutama aspek yang berkaitan
dengan dunia perpolitikan seperti menerima perbedaan dalam sistem
hukum dan undang-undang.
c. Social tolerance
Toleransi yang berkaitan dengan ranah sosial masyarakat seputar hal-hal
yang berbau suku agama dan ras (SARA).
Merespon dimensi toleransi yang dikemukakan Vogt di atas, memasuki era
globalisasi, dimensi toleransi tidak cukup diimplementasikan hanya sampai di

86
Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Hlm. 15-16. Lihat juga Abu
Muhammad Waskito. 2010. Cukup 1 Gusdur Saja: Sebuah Momen Konroversi Kebodohan Sistemik
dan Kerancuan Berfikir Bangsa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hlm. 113. Dalam bukunya, Waskito
meninjau makna pluralisme dalam dua aspek yakni ideologi dan praktis. Secara ideologi, pluralisme
adalah paham bahwa semua agama benar secara substantif namun berbeda secara interpretatif.
Adapun aspek praktis, pluralisme bermakna sikap menghormati perbedaan.
87
Doorn, M.V. 2012. Tolerance. Sociopedia.isa. 1-15. DOI: 10.1177/2056846012121. 1.
50

ketiga dimensi di atas. Intoleransi juga berkembang hingga ke ranah ekonomi.


Merujuk Syarkun, hasil penelitian menunjukkan bahwa ditengah sosial demografi
masyarakat muslim Indonesia yang menjadi mayoritas di Indonesia yakni 83%,
namun berbanding terbalik dengan persentase dalam perekonomian dimana
perekonomian di Indonesia sebanyak 88% dikuasai oleh non-muslim.88
Kesenjangan ekonomi ini signifikan menyebabkan terjadinya konflik intoleransi.
Membangun toleransi ekonomi akan memberi efek positif terhadap terbangunnya
ekonomi yang sehat yang berujung pada kemakmuran ekonomi masyarakat.

Ditinjau dari aspek objeknya, toleransi keagamaan terbagi dalam dua


macam, yaitu toleransi terhadap sesama agama dan toleransi terhadap beda agama.
a. Toleransi Terhadap Sesama Agama
Toleransi beragama adalah toleransi yang mencakup masalah-masalah
keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau yang
berhubungan dengan ke-Tuhanan yang diyakininya. Seseorang harus diberikan
kebebasan untuk menyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) masing-
masing yang dipilih serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-
ajaran yang dianut atau yang diyakininya.89
Toleransi mengandung maksud mengizinkan terbentuknya sistem yang
menjamin pribadi, harta benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat pada
masyarakat; dengan menghormati agama, moralitas dan lembaga-lembaga mereka
serta menghargai pendapat orang lain serta perbedaan-perbedaan yang ada di
lingkungannya tanpa harus berselisih dengan sesamanya sebab hanya berbeda
keyakinan atau agama. Toleransi beragama memiliki arti sikap lapang dada
seseorang dalam menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk

88
Mukhlas Syarkun. 2017. Toleransi Sosial dan Toleransi Ekonomi.
https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/08/07/oubi35396-toleransi-sosial-dan-
toleransi-ekonomi
89
Casram. 2016. Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural.
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2. Hal. 188. DOI:
http://dx.doi.org/10.15575/jw.v1i2.588
51

melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing


yang diyakini, tanpa ada yang mengganggu atau memaksakan baik dari orang lain
maupun dari keluarganya sekalipun.90
Dalam ajaran agama telah digariskan dua pola dasar hubungan yang harus
dilaksanakan oleh pemeluknya, yakni : (1) hubungan secara vertikal, dan (2)
hubungan secara horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan antara pribadi
dengan Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat sebagaimana yang telah
digariskan oleh setiap agama. Hubungan dilaksanakan secara individual, tetapi
lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam). Pada
hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau
intern suatu agama saja. Hubungan horizontal adalah hubungan antara manusia
dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak terbatas panda lingkungan suatu agama
saja, tetapi juga berlaku kepada semua orang yang tidak seagama, dalam bentuk
kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.
Dalam hal seperti inilah berlaku toleransi dalam pergaulan hidup antar umat
beragama.91
b. Toleransi Terhadap Beda Agama
Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari
penghayatan ajaran masing-masing. Menurut Al-Munawar, terdapat dua macam
toleransi yaitu toleransi statis dan toleransi dinamis. Toleransi statis adalah toleransi
dingin tidak melahirkan kerjasama hanya bersifat teoritis. Sementara itu, toleransi
dinamis adalah toleransi aktif melahirkan kerja sama untuk tujuan bersama,
sehingga kerukunan antar umat beragama bukan dalam bentuk teoritis, tetapi
sebagai refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa.92
Merujuk pada Nasution, toleransi meliputi lima hal, diantaranya:93

90
Masykuri Abdullah. 2001. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas. Hal. 13.
91
Said Agil Al Munawar. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press. Hal.
14.
92
Said Agil Al Munawar. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press. Hal.
16
93
Dyayadi, M.T. 2009. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta : Qiyas. Hal. 614.
52

(1) Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Hal ini bermakna,
kebenaran dalam hal keyakinan ada juga dalam agama-agama. Kenyataan
ini justru akan membawa umat beragama ke dalam jurang relativisme
kebenaran dan pluralisme agama. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran
tidak hanya ada dalam satu agama berarti merelatifkan kebenaran Tuhan
yang absolut. Argumen seperti ini sebenarnya tidak baru. Hal yang sama
telah lama diutarakan oleh John Hick dalam bukunya A Christian Theology
of Religions: The Rainbow of Faiths94,
(2) Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama yang ada,
(3) Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama, Antara
poin kedua dan ketiga terdapat korelasi dalam hal persamaan antar agama.
Namun, pada dasarnya, poin terpenting tersebut justru bukanlah sebab
keberadaan faktor persamaannya, akan tetapi faktor perbedaan yang ada
dalam agama-agama tersebut. Semisal, pada Teori evolusi Darwin, ia
meyakini bahwa manusia berasal dari monyet setelah melihat banyaknya
persamaan antara manusia dan kera. Akan tetapi, Darwin melupakan bahwa
manusia juga memiliki perbedaan mendasar yang tidak dimiliki monyet.
Manusia memiliki akal sedangkan monyet tidak. Inilah yang meruntuhkan
teori evolusi.
(4) Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan,
(5) Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Pendapat yang
dikemukakan Nasution ini, cenderung dilatarbelakangi oleh pandangan
tehadap sejarah kelam sekte-sekte agama Kristen. Sebab, dalam sejarah,
Islam tidak pernah menyerang agama lain terlebih dulu. Hal ini dapat
ditelusuri dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan
Khulafa’ ar-Rasyidin. Di mana agama-agama (Yahudi dan Kristen) justru
mendapatkan perlindungan penuh tanpa pembantaian.
Selain Harun Nasution, Zuhairi Misrawi juga mengemukakan
pendapatnya dalam buku al-Qur’an Kitab Toleransi, dengan menyatakan bahwa

94
John Hick. 1995. A Christian Theology Of Religions: The Rainbow Of Faiths. America :
SCM. Hal. 23.
53

toleransi harus menjadi bagian terpenting dalam lingkup intraagama dan


antaragama. Lebih lanjut, ia beranggapan bahwa toleransi merupakan upaya untuk
memahami agama-agama lain. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa agama-agama
tersebut juga95 mempunyai ajaran yang sama tentang toleransi, cinta kasih dan
kedamaian.96 Disamping itu, Zuhairi memiliki kesimpulan bahwa toleransi adalah
mutlak dilakukan oleh siapa saja yang mengaku beriman, berakal dan mempunyai
hati nurani. Selanjutnya, paradigma toleransi mestinya dibumikan dengan
melibatkan kalangan agamawan, terutama dalam membangun toleransi antar
agama.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa istilah toleransi dalam
perspektif Barat, merupakan sikap menahan perasaan tanpa aksi protes apapun, baik
dalam hal yang benar maupun salah. Bahkan, ruang lingkup toleransi di Barat pun
tidak terbatas, termasuk toleransi dalam hal beragama. Ini menunjukkan bahwa
penggunaan terminologi toleransi di Barat sarat akan pluralisme agama, dimana
paham ini berusaha untuk melebur semua keyakinan antar umat beragama. Tidak
ada lagi pengakuan yang paling benar sendiri dan yang lain salah. Akhirnya, semua
pemeluk agama wajib meyakini bahwa kebenaran ada dalam agama-agama lainnya,
sehingga beragama tidak ada bedanya dengan berpakaian yang bisa berganti setiap
hari.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa toleransi antar umat
beragama, memiliki pengertian bahwa suatu sikap manusia sebagai umat yang
beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia
yang beragama lain. Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila
pertama, bertakwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing
adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat
beragama juga wajib untuk saling menghargai. Dengan demikian antar umat
beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.
3. Prinsip-Prinsip Toleransi
Prinsip mengenai toleransi antar umat beragama yaitu:

95
Zuhairi Misrawi. 2007 Alquran Kitab Toleransi. Jakarta : Pustaka Oasis. Hal. 159.
96
Zuhairi Misrawi. 2007 Alquran Kitab Toleransi. Jakarta : Pustaka Oasis. Hal. 159
54

a. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu berupa halus
maupun dilakukan secara kasar;
b. Manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya dan
beribadat menurut keyakinan itu;
c. Tidak akan berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan
tertentu ;
d. Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang
tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari sikap
saling bermusuhan.97
4. Pendidikan Toleransi di Lembaga Pendidikan
Membangun pendidikan toleransi di lingkungan lembaga pendidikan akan
berbeda strateginya dengan membangun pendidikan toleransi di luar lingkungan
lembaga pendidikan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pendidikan
bertujuan membekali peserta didik dengan pengetahuan, melatih kepekaan, dan
mampu mengamalkan atau mengimplementasikannya, pendidikan toleransi di
lembaga pendidikan harus bisa mengakomodir kebutuhan peserta didik terhadap
pengetahuan toleransi dan aspek-aspek yang menyertainya termasuk memberikan
penguatan karakter peserta didik sehingga toleransi menjadi bagian melekat dan
mengkarakter dalam kehidupan keseharian peserta didik.
Pemerintah sendiri belum menetapkan standar khusus pendidikan toleransi
di lembaga pendidikan. Saat ini, pemerintah hanya mengatur berbagai pedoman
standar pendidikan secara umum. Sehingga, setiap lembaga pendidikan dapat
mengembangkan dan melaksanakan pendidikan, sesuai kebijakan masing-masing,
termasuk edukasi toleransi. Namun, sejatinya, pengembangan kurikulum
pendidikan yang mengajarkan toleransi, mesti mengacu pada tujuan pendidikan
nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

97
Muhammad Daud Ali. 1986. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik.
Jakarta: CV Wirabuana. Hlm. 82.
55

bertanggung jawab98. Undang-Undang Nomor 20 Tentang Sisdiknas tahun 2003


Pasal 36 ayat 3, menyatakan bahwa kurikulum pendidikan yang disusun pada
jenjang dan jenis pendidikan, mesti memperhatikan aspek akhlak mulia dan
persatuan nasional.
Di lingkungan lembaga pendidikan, nilai-nilai toleransi terhadap keragaman
dan pluralisme, sebagai bagian identitas nasional yang perlu dijaga dan dilestarikan
sesuai amanat UUD 1945, diinternalisasikan kepada peserta didik melalui mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn). Nilai toleransi dan keberagaman
wajib diperkenalkan mulai dari jenjang pendidikan sekolah dasar, menengah, atas,
99
dan tinggi . Status mata pelajaran tersebut adalah wajib disandingkan dengan
pendidikan agama, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2007 tentang
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Hal ini menyiratkan kruisalnya nilai
toleransi beragama yang wajib dipelajari oleh para peserta didik.

B. Pendidikan Toleransi di Pesantren


1. Pendidikan Toleransi Perspektif Islam
Secara bahasa atau etimologi toleransi atau tasamuh dalam bahasa Arab
memilik arti ampun, maaf dan lapang dada.100 Secara terminologi menurut Hasyim,
toleransi bermakna pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada
sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur
hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan
dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan
syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.101
Meskipun istilah ini seringkali diartikan sama dengan toleransi, namun pada
hakikatnya berbeda. Toleransi yang digaungkan oleh dunia konvensional dimaknai
sebagai willingness to accept behaviour and beliefs that are different from your

98
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 3.
99
Delfian Widianto. 2017. Penanaman nilai toleransi dan keragaman melalui Strategi
Pembelajaran Tematik Storybook pada Mata Pelajaran PPKn di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan. Volume 7. No. 2. Hlm. 28-29.
100
Ahmad Warson Munawir. t.th. Kamus Arab Indonesia al-Munawir. Yogyakarta: Balai
Pustaka Progresif. 1098.
101
Umar Hasyim. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai
Dasar menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya: Bina Ilmu. Hal. 22.
56

own, although you might not agree with or approve of them.102 Pengertian toleransi
tersebut bahwa suka atau tidak suka seseorang terhadap perbedaan yang
dihadapinya, individu tersebut harus menerimanya dengan keterbukaan.
Tasamuh adalah konsep toleransi yang dikembangkan perspektif Islam.
Berangkat dari dimensi semantik, toleransi dalam bahasa Arab diambil dari kata
‫ سماحة‬atau ‫ تسامح‬yang bermakna sa’at al-ṣadr yang berarti lapang dada, tasāhul yang
berarti pemaaf/ramah, dan al-jūd yang berarti kemuliaan, Salman mendefinisikan
tasamuh sebagai sikap permisif/keterbukaan yang berakar dari sifat mulia individu
dalam menghadapi perbedaan.103
Teori toleransi tersebut diatas, keduanya menunjukkan kesamaan arti yakni
menerima perbedaan (sebagai dampak dari kemajemukan manusia dalam berbagai
dimensi kehidupan) dengan kelapangan dada. Namun secara hakikat keduanya
tumbuh dari akar yang berbeda. Toleransi perspektif konvensional berakar dari
keterpaksaan menghadapi perbedaan, adapun toleransi perspektif Islam menerima
perbedaan dilakukan dalam lingkaran kemuliaan akhlak individu.

Tasamuh merupakan persamaan bentuk toleransi yang ditumbuhkan oleh


kesadaran individu akan eksistensinya sebagai seorang hamba. Kesadaran ini
muncul sebagai refleksi atas hakikat seorang hamba sebagai makhluk terhadap Sang
Khalik. Kepatuhan terhadap penciptanya, mengantarkan hamba tersebut dengan
segenap diri dan hatinya berupaya mematuhi keseluruhan aturan yang telah menjadi
hukum atas dirinya. Tidak ada ruang yang dia sediakan untuk melakukan perbuatan
yang menyeretnya pada pembantahan terhadap hukum yang telah digariskan

102
Cambridge Dictionary. https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance.
103
Abdul Malik Salman. 1993. al-Tasâmuh Tijâh al-Aqaliyyât ka Dharûratin li al-Nahdhah.
Kairo: The International Institute of Islamic Thought. Hlm. 2.
57

tersebut. Kesadaran dirinya akan menggerakkannya bahwa hukum tersebut


menjaganya dari hal-hal yang akan menjerumuskannya pada keburukan dan
kehancuran diri dan –sebaliknya- ketika hukum tersebut dipatuhi maka dia akan
meraih kebahagiaan dengan menggenapkan tugasnya sebagai pemimpin di muka
bumi ini. Refleksi sikap tasamuh adalah menyandarkan dirinya pada wahyu sebagai
pemandu dalam menginternalisasikan pengetahuan di kehidupannya. Firman Allah
SWT. dalam QS. An-Nur [24]: 55:

Hadits Nabi Muhammad SAW. yang dijadikan sebagai landasan tasamuh


adalah:

Hadits di atas menegaskan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin,
dibangun di atas al-hanifiyyah dan al-samhah. Hanif secara harfiyah artinya
58

bermakna lurus atau betul.104 Hanif juga bermakna condong menjauhi seluruh
agama kepada agama Islam.105 Hal ini bermakna bahwa hanif dapat diartikan
dengan orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan tidak
mengalihkannya pada yang lain. Artinya setiap orang yang berserah diri kepada
perintah Allah dan tidak berpaling sedikit pun dinamakan hanif.
Adapun makna al-samhah menurut al-Qaradawi mengandung afinitas
linguistik yakni merujuk pada toleransi (al-tasamuh). Ditegaskan al-Qaradawi
bahwa hadits ini menjadi dalil rujukan Islam mendukung toleransi. Toleransi adalah
bagian dari ajaran Islam yang dibentuk oleh ajaran Islam itu sendiri yakni wahyu
(al-Qur’an dan Hadits) dan bukan dibentuk -sebagaimana yang dipersepsikan oleh
Barat- dari reaksi terhadap sosio-historis.106 Tuduhan yang dilayangkan oleh
mereka yang fobia Islam yang meneriakkan suara negatif bahwa Islam mengajarkan
intoleran dengan berbagai nilai-nilai yang ada didalamnya sama sekali tidak dapat
dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan uraian di atas, nilai toleransi yang membedakan antara toleransi
konvensional dengan tasamuh berdasarkan deskripsi di atas adalah hakikat dari
menerima perbedaan itu sendiri. Isu intoleransi yang merebak dewasa ini tercetus
dari konflik keagamaan atau yang dikenal dengan istilah pluralisme agama
Memaknai pluralisme dan pluralitas agama, adalah dua istilah yang serupa
namun berbeda makna. Pluralisme agama merupakan bentuk pemahaman bahwa
semua agama sama, sedangkan pluralitas agama adalah pemahaman yang
menegaskan penerimaan terhadap keanekaragaman agama. Islam sendiri
mengajarkan toleransi dengan paham pluralitas agama, sehingga toleransi tidak
dapat dipertentangkan dengan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa membentuk sikap toleransi di pesantren
dipengaruhi oleh: 1. Hakikat tasamuh; 2. Keyakinan terhadap konteks wahyu
memandu ilmu.

104
Idrus H. Alkaff. 1993. Kamus Pelik-Pelik al-Qur’an. Bandung: Pustaka. Hlm. 107
105
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu
Bakr Al-Suyuṭi. t. th.. Tafsir al-Qur’an al-Aẓīm. Semarang: Toha Putra. Hlm. 57.
106
Yusuf al-Qaraḍawi. 1994. Fatawa Mu’asirah. Mansurah: Dar al-Wafa. Hlm. 667.
59

2. Prinsip-Prinsip Toleransi dalam Islam


Menurut Yusuf al-Qaradawi bahwa toleransi dalam Islam mencakup empat
prinsip pokok yakni:107
a. Prinsip pluralitas atau keragaman (Al-Ta’addudiyah).
Pluralitas, pada hakikatnya, adalah bagian dari sunnatullah yang menjadi
watak alam. Menurut Qardhawi, seorang muslim sejati akan meyakini
keesaan Allah (al-Khalik) dan keberagaman ciptaan-Nya (makhluk).
Muslim diperintahkan saling mengenal dan menghargai, dalam perbedaan
(QS al-Hujurat [43]: 13).
b. Prinsip perbedaan karena kehendak Allah SWT (Waqi’ Bi Masyi’atillah).
Segala sesuatu yang ada di bumi ini, termasuk perbedaan agama, terjadi
sebab kehendak-Nya. Dengan kemutlakan sifat Allah SWT yang Maha
Benar, tentu tiada satupun kehendakNya kecuali mendatangkan kebaikan
hakiki darinya. Seluruh penduduk dunia dapat saja memiliki satu keyakinan
yang sama, yakni Islam (QS Yunus [10]: 99). Namun, hal demikian tidak
dikehendaki-Nya.

۟ ُ‫اس َحتَّ ٰى يَ ُكون‬


َ‫وا ُمؤْ مِ نِين‬ َ َّ‫ض ُكلُّ ُه ْم َجمِ يعًا ۚ أَفَأَنتَ ت ُ ْك ِرهُ ٱلن‬
ِ ‫شا ٓ َء َربُّكَ َل َءا َمنَ َمن فِى ٱ ْْل َ ْر‬
َ ‫َولَ ْو‬

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di


muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Terdapat hikmah besar atas kehendakNya yang menetapkan eksistensi


keragaman di dunia ini, yaitu agar manusia dapat bersemangat berlomba
dalam kebaikan (QS. al-Maidah [5] : 48).

ۖ ُ‫علَ ْي ِه ۖ فَٱحْ ُكم بَ ْينَ ُهم ِب َما ٓ أَنزَ َل ٱ َّّلل‬ َ ‫ب َو ُم َهيْمِ نًا‬ ِ َ‫ص ِدقًا ِل َما بَيْنَ يَدَ ْي ِه مِ نَ ٱ ْل ِك ٰت‬ َ ‫ق ُم‬ ِ ‫ب ِبٱ ْل َح‬َ َ‫َوأَنزَ ْلنَا ٓ ِإلَيْكَ ٱ ْل ِك ٰت‬
ً‫شا ٓ َء ٱ َّّللُ لَ َجعَلَ ُك ْم أ ُ َّمة‬ َ ‫ق ۚ ِل ُك ٍّل َجعَ ْلنَا مِ ن ُك ْم ش ِْر‬
َ ‫عةً َومِ ْن َها ًجا ۚ َولَ ْو‬ ِ ‫ع َّما َجا ٓ َءكَ مِ نَ ٱ ْل َح‬ َ ‫َو ََل تَتَّبِ ْع أ َ ْه َوآ َءهُ ْم‬
‫ّلل َم ْر ِجعُ ُك ْم َجمِ يعًا فَيُن َِبئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ْم فِي ِه‬ ِ َّ ‫ت ۚ ِإلَى ٱ‬ ِ ‫ٰ َوحِ دَةً َو ٰلَكِن ِليَ ْبلُ َو ُك ْم فِى َما ٓ َءات َ ٰى ُك ْم ۖ فَٱ ْست َ ِبقُوا ٱل َخي ٰ َْر‬
ْ ۟
َ‫تَ ْخت َ ِلفُون‬

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang

107
A Ilyas Ismail. 2020. Toleransi Islam Berakar pada Empat Prinsip.
https://republika.co.id/berita/np1770/toleransi-islam-berakar-pada-empat-prinsip
60

diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.

c. Prinsip memandang manusia sebagai satu kesatuan (Ka Usrah Wahidah).


Prinsip ini berdasarkan pesan Allah, yang menyatakan bahwa pada
hakikatnya seluruh manusia merupakan satu kesatuan. Manusia diciptakan
oleh Allah dengan permulaan satu asal (bapak), yaitu Nabi Adam AS (QS
an-Nisa [4] :1),

َّ ‫وا َربَّ ُك ُم ٱلَّذِى َخلَقَ ُكم ِمن نَّ ْف ٍّس ٰ َوحِ دَةٍّ َو َخلَقَ مِ ْن َها زَ ْو َج َها َو َب‬
ً ‫ث مِ ْن ُه َما ِر َج ًاَل َكث‬
‫ِيرا‬ ُ َّ‫ٰ َيٓأَيُّ َها ٱلن‬
۟ ُ‫اس ٱتَّق‬
‫علَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬ َ َّ ‫ام ۚ إِ َّن ٱ‬
َ َ‫ّلل َكان‬ َ َ‫ّلل ٱلَّذِى ت‬
َ ‫سا ٓ َءلُونَ بِ ِهۦ َوٱ ْْل َ ْر َح‬ ۟ ُ‫سا ٓ ًء ۚ َوٱتَّق‬
َ َّ ‫وا ٱ‬ َ ِ‫َون‬

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.

dan, semua jiwa akan dikembalikan kepada Tuhan yang Maha Satu, Allahu
Ahad (QS. An-Nuur [24] : 42).

‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫ّلل ٱ ْل َم‬ ِ ‫ت َوٱ ْْل َ ْر‬
ِ َّ ‫ض ۖ َو ِإلَى ٱ‬ َّ ‫ّلل ُم ْلكُ ٱل‬
ِ ‫س ٰ َم ٰ َو‬ ِ َّ ِ ‫َو‬
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah
kembali (semua makhluk).

Dalam FirmanNya yang lain disebutkan bahwasanya pemeliharaan satu jiwa


manusia adalah bagaikan pemeliharaan seluruh jiwa manusia (QS al-
Maidah [5] :32)..
61

‫ض فَ َكأَنَّ َما قَت َ َل‬


ِ ‫سا ٍّد فِى ٱ ْْل َ ْر‬ َ َ‫سا بِغَي ِْر نَ ْف ٍّس أ َ ْو ف‬ َ ‫مِ ْن أَجْ ِل ٰذَلِكَ َكت َ ْبنَا‬
ً ًۢ ‫علَ ٰى بَن ِٓى إِس ٰ َْٓرءِ ي َل أَنَّهۥُ َمن قَتَ َل نَ ْف‬
َ‫ِيرا ِم ْن ُهم بَ ْعد‬ ٰ ْ
ِ َ‫سلُنَا ِبٱلبَ ِين‬
ً ‫ت ث ُ َّم ِإ َّن َكث‬ ُ ‫اس َجمِ يعًا ۚ َولَقَدْ َجا ٓ َءتْ ُه ْم ُر‬ َ َّ‫اس َجمِ يعًا َو َم ْن أ َ ْحيَاهَا فَ َكأنَّ َما ٓ أ ْحيَا ٱلن‬
َ َ َ َّ‫ٱلن‬
ُ َ
َ‫ض ل ُمس ِْرفون‬ ِ ‫ٰذَلِكَ فِى ٱْل ْر‬
َ ْ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi.

Selain itu, Piagam Madinah dan Khutbah Wada’ telah menekankan pula
tentang kesatuan manusia108. Piagam Madinah memuat pasal persatuan
(Pasal 25) yang tidak hanya mengikat sesama muslim, namun juga persatuan
seluruh warga negara.
“Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga
(kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali
bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarga”109

Dalam khutbah Wada, Nabi SAW memerintahkan kaum muslim, untuk


melindungi hak hidup seluruh jiwa, sebagai pemilik kesucian darah yang
sama.110
“Wahai manusia sekalian! perhatikanlah kata-kataku ini! Aku tidak tahu,
kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan sep ini, tidak lagi aku akan
bertemu dengan kamu sekalian.
Wahai manusia sekalian! Bahwasanya darah kamu dan harta-benda
kamu sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini yang
suci sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan. Dan pasti
kamu akan menghadap Tuhan; pada waktu itu kamu dimintai pertanggung-
jawaban atas segala perbuatanmu.

108
Ade Supriyadi. 2018. Hak Asasi Manusia Dan Relevansinya Dengan Islam. Refleksi.
Volume 17. Nomor 1. Hlm. 38
109
Nurul Fajriah. 2019. Kerukunan umat beragama: relevansi pasal 25 Piagam Madinah
dan pasal 29 UUD 1945. Substantia. Volume 21. Nomor 2. Hlm. 165
110
Ade Supriyadi. 2018. Hak Asasi Manusia Dan Relevansinya Dengan Islam. Refleksi.
Volume 17. Nomor 1. Hlm. 38
62

Ya, aku sudah menyampaikan ini!.Barangsiapa telah diserahi amanat,


tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya. "111

d. Prinsip kemuliaan manusia sebagai makhluk Allah SWT (Takrim Al-Insan


Li Insaniyyatih)
Dalam AlQuran, Allah telah menjelaskan perihal kemuliaan dan kelebihan
manusia dibandingkan makhluk-makhluk lainnya (QS al-Isra [17]: 70).

‫ِير ِم َّم ْن َخلَ ْقنَا‬ َ ‫ت َوفَض َّْل ٰنَ ُه ْم‬


ٍّ ‫علَ ٰى َكث‬ َّ ‫َولَقَدْ ك ََّر ْمنَا بَن ِٓى َءادَ َم َو َح َم ْل ٰنَ ُه ْم فِى ٱ ْلبَ ِر َوٱ ْلبَ ْح ِر َو َرزَ ْق ٰنَ ُهم ِمنَ ٱل‬
ِ َ‫طيِ ٰب‬
‫يل‬ ً ‫ض‬ ِ ‫تَ ْف‬

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut


mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Nabi SAW, sebagai panutan kaum muslim, pun tidak segan untuk
menunjukkan penghormatannya terhadap jenazah Yahudi, semata dilakukan
sebab faktor kemanusiaan.
‘Jabir bin Abd Allah mengatakan, “Suatu hari kami melihat keranda
jenazah lewat. Nabi kemudian berdiri. Kami pun ikut berdiri bersamanya.
Lalu kami mengatakan, “Wahai Nabi, itu jenazah orang Yahudi”. Beliau
mengatakan, “Kematian itu membuat kesedihan yang mendalam. Bila
kalian melihat jenazah, berdirilah.”’112

Menganalisis prinsip-prinsip toleransi dari dua perspektif yang berbeda


(lihat Gambar II. B. 2. 1) yaitu prinsip toleransi perspektif konvensional dengan
prinsip toleransi perspektif Islam, secara konseptual terdapat perbedaan mendasar
antara toleransi konvensional dan tasamuh. Toleransi perspektif konvensional
berlandaskan pada hasil pemikiran rasio manusia untuk menciptakan kebersamaan
dalam perbedaan, sedangkan toleransi perspektif Islam berlandaskan pada prinsip-
prinsip Islam yang telah diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan keyakinan
diatas Tauhid yang mendorongnya untuk selalu yakin bahwa rules yang dibuat oleh

111
Muhyiddin. 2020. Khutbah Terakhir Rasulullah yang Menguras Air Mata Sahabat.
https://republika.co.id/berita/qcnuy4320/khutbah-terakhir-rasulullah-yang-menguras-air-mata-
sahabat
112
HR: Muslim, No. 2181
63

Allah SWT mengantarkan manusia pada kesuksesan di dunia dan di akhirat. Hal ini
berdampak pada pengaktualisasian toleransi keagamaan dalam konteks sosial
masyarakat, dimana pada tataran praktis kesadaran bertoleransi muncul dari
kebebasan nalar (menerima perbedaan baik suka atau tidak suka) ketika kesadaran
bertoleransi hanya didasarkan pada rasio manusia semata. Ketika kesadaran
bertoleransi karena dipandu oleh wahyu maka menyikapi perbedaan tumbuh dari
kemurnian hati.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa membentuk sikap toleransi di
pesantren dipengaruhi oleh: 1. Pengetahuan yang diajarkan; 2. Keyakinan
Tauhid di atas rasio manusia.

No Perspektf Prinsip Toleransi


Tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu berupa halus
maupun dilakukan secara kasar
Manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya
dan beribadat menurut keyakinan itu
1 Konvensional Tidak akan berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan
tertentu
Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan
yang tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari
sikap saling bermusuhan
Prinsip pluralitas dalam kehidupan manusia atau keragaman
(ta'addudiyah )
Prinsip perbedaan karena kehendak Allah SWT (Waqi’ bi
Masyi’atillah )
2 Syariat Islam
Prinsip memandang manusia sebagai satu kesatuan (Ka Usrah
Wahidah/Insaniyah )
Prinsip kemuliaan manusia sebagai makhluk Allah SWT (Takrim Al-
Insan Li Insaniyyatih )
Gambar. II. B. 2. 1. Prinsip-Prinsip Toleransi Perspektif Konvensional dan Syariat Islam

3. Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Toleransi di Pesantren


Karakteristik pesantren dengan sistem pendidikan didalamnya yang
khas, identik menggunakan konsep pembiasaan. Berdasarkan karakteristik
tersebut, teori pembiasaan menjadi pilihan dalam menginternalisasikan nilai-
nilai toleransi pada tataran praktis yang digunakan dalam penelitian ini
(applied theory). Menggunakan pola tarbiyah yang diatur dalam al-Qur’an dan
64

Sunnah, konsep pendidikan pembiasaan menjadi lebih bersifat holistik dan


universal. Sebagaimana ditegaskan Quthb bahwa segenap unsur tarbiyah -baik
dimensi ibadah, syari’at, akhlak, maupun muamalah- termaktub dalam al-Qur’an
dan kebenaran yang menyertainya tidak diragukan lagi.113 Metode pendidikan ini
telah menjadi keumuman dari pelaksanaan pendidikan di lingkungan pondok
pesantren.
Pendidikan metode pembiasaan/habituasi sebagaimana pendidikan
secara umum, ranah yang dikembangkan adalah dimensi kognitif, afektif, dan
psikomotor. Melalui dimensi kognitif, pembiasaan dilakukan dengan tujuan
menguatkan pemahaman terhadap pengetahuan sehingga mampu memahami
berbagai hal yang terdapat didalamnya.
Pembiasaan pada dimensi afektif merupakan bentuk pendidikan yang
bertujuan membentuk pribadi yang dapat mengolah rasa sehingga mampu
memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dimensi psikomotor, pembiasaan
dilakukan untuk membiasakan berperilaku baik dan menjadi bagian dari
aktivitas kesehariannya. Pendidikan pembiasaan berbasis al-Qur’an dan
Sunnah memposisikan pendidikan sebagai aktivitas yang dipandu oleh wahyu.
Pola kehidupan santri yang mondok di pesantren, kesehariannya
dipenuhi dengan aktivitas yang melibatkan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya. Pembiasaan yang ditumbuhkan dalam interaksi harian
memudahkan untuk membangun nilai-nilai yang baik dan akan mengkarakter
dalam diri individu.
Teori psikolog Kurt Lewin yang dikenal dengan Field Theory (Teori
Lingkungan), bahwa: 1. Perilaku harus diderivasi dari totalitas fakta yang
hidup berdampingan; 2. Bahwa fakta-fakta yang berdampingan tersebut
membentuk lingkungan yang dinamis, dalam arti bahwa keadaan pada setiap
bagian bidang tersebut bergantung pada setiap bagian bidang lainnya; dan 3.

113
Muhammad Quthb. 1987. Manhaju at-Tarbiyah al-Islamiyah. Beirut: Dar asy-Syuruq.
Hlm. 194.
65

Bahwa tingkah laku lebih bergantung pada bidang pada saat tingkah laku itu
berlangsung. 114
Teori ini menekankan bahwa karakter (behavior)115 individual
dipengaruhi oleh situasi yang terjadi di lingkungan (termasuk saat berinteraksi
dengan individu lainnya) tempat individu tersebut beraktivitas dan pengaruh
yang ditimbulkan dari situasi dalam dirinya sendiri (pengetahuan/imajinasi). 116
Muatan dari teori Lewin ini efektif diimplementasikan di lingkungan dengan
komunitas yang berada di bawah kepemimpinan sosok yang dipatuhi untuk
menanamkan nilai-nilai yang diinginkan untuk dilakukan.
Internalisasi nilai-nilai toleransi dan menjadikannya sebagai landasan
dalam berperilaku, memerlukan ruang tersendiri untuk merealisasikannya.
Perilaku itu dibentuk dan bukan sesuatu yang bersifat genetika. Lewin
menegaskan bahwa lingkungan dan kondisi diri adalah dua faktor yang
determinan membentuk perilaku individu. Berada dalam lingkungan yang
mendukung terhadap program yang dituju, memudahkan bagi tercapainya
tujuan dari pendidikan. sebaliknya, lingkungan dengan settingan yang tidak
mendukung akan mengantarkan pada kegagalan mewujudkan yang diharapkan.
Kondisi diri turut determinan mempengaruhi perilaku seseorang. Calhoun
dengan teori konsep dirinya mengemukakan bahwa perilaku seseorang,
termasuk persepsi, perasaan, mindset, dan pengalaman berpengaruh terhadap
penilaian yang dilakukan terhadap kondisi dirinya.117
Merujuk Berzonsky bahwa konsep diri terbagi dalam empat dimensi,
yakni:118
a. Physical self. Melingkupi kepemilikan individu terhadap entitas yang
bersifat fisik/nyata seperti nyata yang dikeseluruhan benda-benda fisik

114
Kurt Lewin. 1951. Field Theory in Social Science. New York: Harper & Brothers. Hlm.
25
115
Behavior yang dimaksud oleh Lewin adalah keseluruhan dari thinking, action, wishing,
striving, achieving, dan sebagainya. Kurt Lewin. 1951. Field Theory in Social Science. Hlm. xi.
116
Kurt Lewin Hlm. xi.
117
Calhoun. 1999. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaam. Semarang:
IKIP Semarang Press. Hlm. 46.
118
Michael D. Berzonsky. 1999. Adolescent Development. New York: Mc Milan
Publishing Co. Inc. Hlm. 56.
66

secara keseluruhan benda- benda nyata yang dimiliki individu seperti


tubuh, benda material, pakaian dan sebagainya.
b. Social self. Mengacu pada bagaimana individu memandang dirinya
sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Pada aspek lain, social
self memengaruhi kesejahteraan mental dan kemampuan Anda secara
keseluruhan untuk memenuhi tujuan hidupDimensi ini melibatkan
pembangunan hubungan, empati, dan komunikasi.
c. Moral self. Berfungsi untuk mengatur perilaku. Persepsi diri moral
harus memotivasi dan mengatur "memberi" dan "menerima" dari
hubungan sosial, dan mengancam atau menegaskan diri moral harus
mempengaruhi penilaian dan perilaku. Mencerminkan dan mengatur
hubungan dengan orang lain, seperti hak dan kewajiban.
d. psychological self. Meliputi daya pikir, perasaan, dan sikap individu
terhadap dirinya (proses ego).
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari perspektif toleransi bahwa terdapat
tiga keadaan yang mendukung dalam membentuk sikap toleransi di pesantren
yaitu: 1. Metode yang digunakan; 2. Lingkungan yang kondusif; 3. Konsep
diri.

C. Pesantren dan Modernisasi


1. Pengertian dan Tipologi Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, kehadiran pesantren
beberapa abad lalu,memberikan corak tersendiri bagi perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia. Lembaga pendidikan indigenous ini mampu menyatukan
dirinya dalam lingkungan masyarakat dan seringkali dijadikan rujukan dalam aspek
moral bagi masyarakat disekelilingnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
berbasis masyarakat ini beserta semua sistem yang ada di dalamnya,
keberadaaannya diakui oleh negara sejak diberlakukannya UU No. 20 tahun 2003
dan menjadi salah satu komponen terpenting dalam pendidikan keagamaan di
Indonesia, yang berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota yang
67

memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam dan menjadi ahli dalam
bidang agama.119
Merujuk Mastuhu bahwa keberhasilan suatu lembaga pendidikan dalam
menjalankan perannya ialah pada saat lembaga pendidikan tersebut mampu
mengintegrasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat yang berada
disekelilingnya. Keberhasilan pengintegrasian itu sendiri menurut Mastuhu dapat
dicapai oleh lembaga pada tataran kecocokan nilai antara lembaga pendidikan
dengan masyarakat sekitar. Aspek lain yang mendukung terhadap keberhasilan
tersebut ialah ketika lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
terhadap sains dan teknologi dalam bidang-bidang kehidupan yang ditunjang
dengan kemampuan moral keagamaan dan sosial budaya bagi tercapainya
kehidupan yang terhormat. 120
Pengertian di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai pesantren memainkan
peranan penting dalam upaya mengibarkan eksistensi pesantren mewarnai
kehidupan masyarakat sekitarnya. Merujuk Darajat, bahwa nilai adalah bentuk
identitas yang terdiri dari perangkat keyakinan ataupun perasaan yang membentuk
pola pikiran, perasaan, maupun perilaku.121 Ini berarti bahwa corak tiga ranah yang
terdapat dalam individu yakni pikiran, perasaan, maupun perilaku terbentuk oleh
keyakinan ataupun perasaan yang mempengaruhinya.
Secara institusi, nilai-nilai pesantren adalah aspek yang menjadi keyakinan
pesantren yang membentuk karakter pesantren tersebut dalam menjalankan
perannya, karena nilai yang dianut oleh pesantren secara signifikan berpengaruh
terhadap program kelembagaan dan menjadi ciri khas dari pesantren tersebut. Nilai
yang membangun aqidah, pemikiran, pemahaman, sikap dan berperilaku seluruh
masyarakat pesantren.
Nilai-nilai pesantren yang berpengaruh terhadap eksistensi pesantren
berbentuk nilai-nilai kearifan pesantren dan nilai-nilai budaya religius pesantren.
Nilai-nilai pesantren yang menjadi kearifan lokal pondok pesantren menurut Sauri

119
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 30 dan Pasal 55
120
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem pendidikan Pesantren. Jakarta; INIS. hlm. 4.
121
Abu Ahmadi dan Noor Salimi. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Bumi Aksara. Hlm. 202.
68

meliputi:122 1. Ikhlas sebagai landasan dalam melakukan berbagai amalan; 2.


Keseimbangan dunia dan akhirat (wara’ dan zuhud); 3. Menyadari kedudukan
bersyukur; 4. Saling tolong menolong dalam kebaikan (ta’awun); 5. Kesederhanaan
dalam hidup.
Nilai-nilai keagamaan (nilai-nilai budaya religius) pesantren menurut
merujuk pada Takdir, terdiri dari:123 1. Seimbang dalam bersikap dan beramal
(tawazun); 2. Moderat dalam bersikap dan berpendirian (tawassuth); 3. Keadilan
sosial (ta’adul); 4. Toleransi (tasamuh).
Esensi dari nilai-nilai pesantren sebagaiana dikemukakan di atas,
merupakan nilai-nilai yang melekat dalam kehidupan masyarakat pesantren.
Sebagai bagian dari realitas kehidupan masyarakat, pesantren dituntut untuk mampu
hadir menjadi lembaga pendidikan Islam yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat mencetak generasi dengan kemampuan moral keagamaan. Hal ini
sejalan dengan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri yaitu berpusat pada
ketakwaaan dan ketundukan kepada Allah SWT.
Peran pesantren yang sangat mulia tersebut ternyata tidak sebanding dengan
apresiasi masyarakat saat ini. Realita menunjukkan bahwa lembaga pendidikan
nuansa keagamaan (tafaqquh fi al-diin) ini perlahan mengalami kemunduran dan
termarjinalisasikan seiring pesatnya perkembangan zaman karena dianggap kuno.
Masyarakat cenderung memilih lembaga pendidikan yang dipandang modern dan
mampu membekali anaknya dalam menguasai ilmu-ilmu pengetahuan dan
teknologi yang up to date. Tidak sedikit pesantren yang akhirnya gulung tikar
karena minat masyarakat yang semakin sedikit memasukkan anaknya ke pesantren.
Berbagai perubahan pun dilakukan dalam tubuh pesantren guna
mengimbangi tuntutan zaman. Fenomena pesantren dengan modernitasnya banyak
ditemukan dengan alasan perkembangan zaman. Disisi lain, tidak sedikit pesantren
yang hidup dengan mempertahankan warisan-warisan budaya terdahulu (salaf).
mengingat peran pesantren dimasa depan sebagai lembaga pendidikan yang

122
Sofyan Sauri. 2017. Nilai Kearifan Pesantren. Bandung Rizqi Press. Hlm. 176.
123
Mohammad Takdir. 2018. Modernisasi Kurikulum Pesantren. Yogyakarta:IRCiSoD.
Hlm. 124.
69

mendidik santrinya menjadi manusia agamis yang idealis, moralis, dan berorientasi
ukhrawi.
Pesantren secara bahasa ialah pondok; asrama tempat santri atau tempat
murid-murid belajar mengaji dan sebagainya.124 Secara istilah pesantren adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-diin) dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Adapun dalam penyelenggaraannya, lembaga pendidikan pesantren berbentuk
asrama dengan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama dibantu
oleh seorang guru atau beberapa orang ulama dan atau para ustadz yang hidup
bersama di tengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat
kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar
sebagai pusat kegiatan belajar, serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para
santri.125
Ditinjau dari aspek sejarah pengertian pesantren ialah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
tradisional, unik,dan indigenous. Pesantren mempunyai hubungan historis dengan
lembaga pra-islam yang sudah ada semenjak kekuatan Hindu-Budha, sehingga
tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk
penyesuaian dan perubahannya.126
Secara historiografi, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional,
pesantren tumbuh dan berkembang seiring dengan masuk dan menyebarnya ajaran
Islam di Nusantara. Seperti pesantren di pulau Jawa yang dirintis pertama kali oleh
salah seorang walisongo yang berasal dari Gujarat India yaitu Maulana Malik
Ibrahim.127 Pendirian lembaga ini disamping sebagai alternatif untuk
mempermudah proses transmisi pengetahuan Islam kepada masyarakat sekitar, juga

124
Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. Hlm. 762
125
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. Hlm. 6.
126
Nurcholis Madjid. 1997. Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina. Hlm. 10.
127
Suparlan Suryopratondo dkk, Kapita Selekta Pondok Pesantren-1, (Jakarta: Paryu
Barkah, 1976), hlm. 5.
70

mencetak mubaligh-mubaligh yang aktif dan handal guna mempercepat tersebarnya


Islam di Nusantara.128
Materi utama pembelajaran agama Islam yang diberikan di pesantren yang
terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia pada umumnya memiliki kesamaan.
Dengan berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah, pokok-pokok ajaran Islam yang
dipelajari pada level dasar terdiri dari pelajaran membaca al-Qur’an (tanpa perlu
memahaminya), pelajaran tentang dasar-dasar ajaran Islam praktis yang
berhubungan dengan kehidupan beragama sehari-hari seorang muslim seperti
keimanan, tauhid, peraturan dan cara shalat, shaum, zakat (sekurang-kurangnya
zakat fitrah), dan fiqh munakahat.129
Pengajaran yang berlangsung di dalamnya pun bersifat khusus yaitu: (1)
sifat keagamaan semata-mata daripada pelajaran; (2) penghormatan tinggi kepada
guru; (3) tidak ada gaji guru.130 Adapun untuk level lanjutan (bagi mereka yang
ingin melanjutkan pelajarannya sampai umur remaja atau pemuda) pada lembaga
bersangkutan. Sistem pengajaran sangat bergantung pada kebijaksanaan masing-
masing lembaga dalam membuat kurikulum pembelajaran tingkat lanjutan dan
keragaman minat dari para guru di dalamnya, karena tidak memiliki kurikulum yang
jelas. Hal ini berdampak pada kompetensi yang dimiliki lulusan antar masing-
masing lembaga setelah pendidikan lanjutan ini, tidaklah sama.131
Pesantren sebagai lembaga pendidikan indegenous inkulturasi wajah Islam
dengan tradisi/kebudayaan telah berurat berakar dalam kehidupan bangsa Indonesia
sepanjang sejarah dunia pendidikan bangsa Indonesia. Metode pembelajaran yang
sampai sekarang ini masih digunakan dalam proses pengajaran di lingkungan
pesantren ialah metode pembelajaran sorogan dan wetonan/bandongan.132 Tidak

128
Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 70.
129
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 48.
130
Suparlan Suryopratondo dkk, Kapita, hlm. 10.
131
Deliar Noer, Administrasi, hlm. 48
132
Mujamil Qomar. 2002. Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi
Institusi, Jakarta: Erlangga. hlm. 90-91. Lihat Karel Steenbrink, Pesantren, hlm. 142-143.
Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa metode pembelajaran sorogan (metode pengajaran
individual. Melalui metode yang menerapkan kedisiplinan tinggi ini, kiai dapat memantau
perkembangan intelektual santri secara utuh. Dengan memberikan bimbingan kejiwaan, kiai dapat
memberikan tekanan pengajaran kepada santri tertentu melalui observasi langsung terhadap
71

sedikit tokoh-tokoh intelektual Islam yang berpengaruh di Indonesia, lahir dari


dunia pesantren ini. Karel steenbrink menilai sebagai lembaga informal yang tidak
berorientasi mencetak lulusan yang intelek, pesantren dengan lingkungan Islam
yang khas memiliki kedisiplinan yang diterapkan dengan tegas dalam pengamalan
dan praktek keagamaan seperti kewajiban melaksanakan shalat.133
Sebuah lembaga pendidikan dapat dikategorikan sebagai pesantren apabila
memenuhi 5 (lima) elemen utama yaitu, kyai, masjid, santri, pondok, dan
pengkajian kitab Islam klasik (kitab gundul). Penegasan ini diperlukan untuk
memberi batasan pengertian dari sebuah pesantren, karena apabila tidak terpenuhi
salah satu dari kelima elemen tersebut, maka lembaga pendidikan tersebut bukanlah
pesantren melainkan hanya sebatas majelis ta’lim semata.134
Dalam perkembangannya, berdasarkan fasilitas yang dimiliki, tipologi
pesantren dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk135 sebagaimana yang tertera pada
tabel II.C.1.1. Adapun tipologi pesantren berdasarkan ilmu pengetahuan yang
diajarkan, pesantren diklasifikasikan dalam 3 bentuk136, yang tertera pada tabel
II.C.1.2

kemampuan dasar dan kapasistas santri). Metode wetonan/bandongan (metode pengajaran bagi
santri tingkat menengah, diselenggarakan dengan berorientasi pada pemompaan materi tanpa
melalui kontrol tujuan yang tegas. Metode pembelajaran yang berpusat pada kiai/guru ini dilakukan
dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam
bahasa Arab. Santri yang mengikuti dan mendengarkan, memperhatikan bukunya sendiri disertai
pencatatan (arti/keterangan) mengenai kata-kata atau pemikiran yang sukar. Metode ini lebih
menempatkan santri pada posisi pasif, tidak terdapat ruang yang memberikan kesempatan pada santri
untuk mengkritisi suatu pendapat sebagai bentuk latihan mengekspresikan daya kreativitas).
133
Karel Steenbrink. 1974. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES. hlm. 17.
134
Lihat pula Zamakhsyari Dhofier. 1984. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES. Hlm. 44, dan Ahmad Tafsir. 2011. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Hlm. 191.
135
Kafrawi. 1976. Kapita Selekta Pondok Pesantren. Jakarta: Paryu Barkah. Hlm. 184-185.
136
Departemen Agama RI. 2004. Profil Pondok Pesantren. Jakarta:Dirjen Binbaga Islam
Depag RI. Hal. 15-16. Tipologi pesantren berdasarkan ilmu pengetahuan yang diajarkan lebih
spesifik lagi sebagaimana yang dikemukakan oleh Bactiar bahwa: a. Pesantren salafi, yakni
pesantren yang mengajarkan kitab-kitab islam klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk
mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan; b. pesantran khalafi, yakni
pesantren yang selain memberikan pengajaran kitab islam klasik, juga membuka sistem sekolah
umum di lingkungan dan berada dibawah tanggungjawab pesantren, lihat Wardi Bachtiar.1990.
Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat. Bandung: Balai Penelitian IAIN SGD.
Hlm. 22.
72

No Type Ciri Khas


a. Para santri belajar dan bertempat tinggal bersama-sama dengan kyai
1 A b. Kurikulum otoritas kyai; pembelajaran dilakukan individual
c. Tidak menyelenggarakan madrasah untuk belajar
a. Mempunyai madrasah untuk belajar
b. Kurikulum tertentu
c. Pembelajaran dari kyai bersifat aplikatif; Pembelajaran pokok diperoleh
santri dari madrasah
2 B d. Kyai memberikan pelajaran secara umum kepada santri sesuai
waktuyang telah ditentukan

e. Santri tinggal di tempat tersebut dan mengikuti pelajaran pada kyai


disamping mendapat pengetahuan agama maupun umum di madrasah

a. Pondok pesantren bersifat sebagai tempat tinggal semata (asrama)


3 C b. Para santri belajar di madrasah-madrasah atau di sekolah-sekolah umum
c. Fungsi kyai sebagai pengawas dalam pembinaan mental
Tabel II.C.1.1 Typologi Pesantren berdasarkan Fasilitas yang Dimiliki

No Type Ciri Khas

Pesantren
1 Pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan
Salafiyah tradisional secara individual maupun kelompok, dengan konsentrasi
pembelajaran kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

Pesantren pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan


2
Khalafiyah pendekatan modern, melalui suatu pendidikan formal,baik madrasah (MI,
MTs, MA/MAK) maupun sekolah (SD, SMP, SMA/SMK). Pada
pesantren tipe ini, pondok lebih berfungsi sebagai asrama yang
memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama.
Pesantren
3 Campuran/
Kombinasi tipe pesantren gabungan antara Salafiyah dan Khalafiyah.
Tabel II.C.1. 2. Typologi Pesantren berdasarkan Ilmu yang Diajarkan

Keberadaan pesantren di Indonesia tidak dapat dinafikan lagi. Eksistensinya


dalam dunia pendidikan telah memberikan sumbangsih yang sangat besar dan
73

berpengaruh bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Potensi-potensi yang


dimiliki oleh pesantren di Indonesia antara lain:137
a. Berperan dalam pembinaan manusia teladan. Lingkungan kehidupan yang
kental dengan nuansa keagamaan, seluruh santri yang ‘mondok’ di pesantren
selam 24 jam hidup bersama dalam kedisiplinan, saling berinteraksi dalam
kebersamaan dan membiasakan bekerja sama dengan orang lain dengan
mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dengan
sendirinya, santri dilatih untuk menjadi manusia teladan dengan sifat-sifat
keutamaan dan percaya diri.
b. Sistem pendidikan yang asli. Umumnya pesantren menggunakan system
pembelajaran yang dikenal dengan sorogan atau wetonan. System ini cenderung
membantu kyai dalam melimpahkan ilmu dan pengisian watak santri secara
langsung sehingga lebih utuh dan seksama. System ini pun menjadi dasar bagi
santri untuk membaca kitab sendiri serta memperluas pengetahuan dengan cara
belajar sendiri.
c. Lembaga pendidikan ulama dan pemimpin masyarakat. Kurikulum yang
digunakan di pesantren dengan mengedepankan pendidikan agama Islam telah
menjadikan pesantren sebagai wadah untuk melahirkan ulama dengan selektif.
Disamping itu, pesantren juga merupakan wadah latihan mental dan fisik yang
mampu berperan sebagai wadah lahirnya pemimpin masyarakat.
d. Wadah pembinaan manusia dan pekerja terampil. Kehidupan pesantren yang
berada ditengah-tengah pedesaan, menjadikan pesantren sebagai wadah
pendidikan mental dan watak kewiraswastaan yang menitikberatkan
kepercayaan santri pada diri sendiri. Ditunjang oleh lingkungan, modal, dan
alam yang melingkunginya secara langsung membawa kehidupan santri-santri
sehari-hari dalam lingkungan pertanian, kerajinan, perkebunan, serta segala
aspek kehidupan pedesaan lainnya.
Tujuan pendidikan pesantren tidak tertulis eksplisit sebagaimana halnya
tujuan pendidikan dilembaga pendidikan lainnya. Dengan mengacu pada prinsip-

137
Kafrawi. 1976. Kapita Selekta Pondok Pesantren. Jakarta: Paryu Barkah. Hlm. 186-187.
74

prinsip pendidikan Islam, prinsip-prinsip pendidikan Islam terakomodasi dalam


tujuan pendidikan pesantren yaitu: menanamkan kepada anak didik tiga unsur
pokok ajaran yang satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan: 1. Iman; 2. Islam;
3. Ihsan.138
Sementara itu Abdullah dalam Educational Theory: Qur’anic Outlook
menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam harus meliputi empat aspek:139
a. Membangun jasmani yang sehat (ahdaf al-jismiyah). Bahwa kekuatan iman
harus ditopang oleh kekuatan fisik.
b. Pendidikan ruhani dan agama (ahdaf al-ruhaniyah wa ahdaf al-diniyah). Bahwa
proses pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas pribadi manusia berbentuk
kesetiaan yang hanya kepada Allah dan direalisasikan dalam bentuk akhlak
mulia sebagai perwujudan perilaku keagamaan.
c. Pendidikan intelektual (ahdaf al-aqliyah). Bahwa pendidikan ditujukan untuk
meningkatkan potesi intelektual manusia dalam membaca dan menelaah ayat-
ayat qauliyah dan kauniyah yang membawa kepada perasaan keimanan kepada
Allah.
b. Pendidikan sosial (ahdaf al-ijtima’iyyah), proses pendidikan bertujuan untuk
membentuk kepribadian manusia yang berjiwa sosial sehingga bisa beradaptasi
dengan lingkungan masyarakat yang plural.

2. Pendidikan dan Pembentukan Karakter di Pesantren


Problematika sosial yang seringkali muncul di tengah pergulatan
perkembangan zaman, menuntut solusi tepat untuk menyelesaikannya. Merujuk
Azra dalam Mahfud dkk bahwa pendekatan pendidikan merupakan solusi efektif
untuk menyelesaikan konflik sosial yang ditimbulkan oleh kemajemukan
masyarakat baik aspek agama, etnis, budaya, dan bahasa. Kurikulum pendidikan
yang holistik mencakup subjek-subjek seperti toleransi, tema-tema tentang
perbedaan etno- kultural dan agama, perumusan dan implementasi pendidikan

138
Hasil Lokakarya Pembinaan Pondok Pesantren MUI. Kapita Selekta Pondok Pesantren.
Jakarta: Paryu Barkah. Hal.198.
139
Abdul Kodir. 2008. Manusia dan Pendidikan Perspektif al-Qur’an. Bandung: Institute
for Religious and Institusional Studies. Hlm. 137.
75

multikultural di Indonesia.140 Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pendidikan


memainkan peranan penting di ranah sosial. Tidak terkecuali dengan pendidikan di
Pesantren. Bercermin dari sejarah pendiriannya dan berbagai prestasi pesantren
dalam keikutsertaannya membangun bangsa, peran pesantren dalam dunia
pendidikan nasional tidak diragukan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren
dengan nilai-nilai pendidikan yang melekat, signifikan dalam pembangunan
bangsa.
Merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Tafsir, bahwa pendidikan
di pesantren mengakomodir kebutuhan santri yang mondok di pesantren tersebut
dalam tiga dimensi nilai pendidikan yang terdiri dari pendidikan i’tiqodiyah,
pendidikan amaliyah, dan pendidikan khuluqiyah.141
a. Nilai Pendidikan I’tiqodiyah, yakni nilai-nilai yang berhubungan dengan
dimensi ketauhidan yang direpresentasikan dengan kekuatan keyakinan
terhadap rukun iman, dan dimanifestasikan dalam enam dimensi sikap dan
perbuatan: 1). Kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya; 2). Melakukan
perbuatan yang diperintahkan oleh-Nya; 3). Meninggalkan perbuatan yang
dilarang oleh-Nya; 4) Senantiasa berpegang teguh pada tali Allah SWT dan
Rasul-Nya; 5) Membangun interaksi yang kuat dengan Allah SWT
(hablumminallah) dan membangun interaksi yang kuat dengan sesama
manusia (hablumminannas). 6). Beramal shalih; 7) Berjihad dijalan Allah
SWT dan berkewajiban untuk berdakwah.
b. Nilai Pendidikan Amaliyah adalah nilai-nilai pendidikan yang menjadi
landasan dalam berperilaku, terdiri dari:
1) Pendidikan yang mengenalkan dan mengajarkan nilai-nilai ‘ubudiyyah dan
menguatkan nilai-nilai ketauhidan/akidah. (pendidikan ibadah);
2) Pendidikan yang mengajarkan dalam menjalin interaksi positif sengan
sesama manusia di lingkungan sosial baik secara individua maupun

140
Mahfud MD. 2012. Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-Nilai
Pancasila. Yogyakarta: PSP UGM. Hlm. 156.
141
Ahmad Tafsir. 2004. Ilmu Pendidikan dan Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda
Karya. Hlm. 93
76

komunitas (pendidikan Muamalah) yang terdiri dari: 1. Pendidikan yang


fokus pada individu dalam bertingkah laku (pendidikan Syakhsiyah); 2.
Pendidikan yang fokus pada pengelolaan harta benda yang menjadi hak-
hak individu atau golongan (pendidikan Madaniyah); 3. Pendidikan yang
fokus pada perkara hukum pidana (pendidikan Jinayah); 4. Pendidikan
yang berfokus pada perkara hukum perdata (pendidikan Murafa’at). 5.
Pendidikan kewarganegaraan (pendidikan Dusturiyah); 6. Pendidikan
kenegaraan (pendidikan Duwaliyah); 7. Pendidikan yang berhubungan
dengan perekonomian (pendidikan Iqtishadiyah).
c. Nilai Pendidikan Khuluqiyah. Dimensi pendidikan yang berkaitan dengan
akhlak/etika dalam berperilaku terpuji dan menjauhi dari perilaku tidak
terpuji.
Ketiga nilai primordial tersebut menjadi pilar dalam dunia pendidikan di
pesantren. Ketiganya membentuk pribadi dengan karakter yang sempurna bagi
output dan outcome pesantren. Pribadi yang berkarakter positif akan mampu
menginternalisasikan sikap toleran dalam seluruh lini kehidupannya. Karena,
sebagai embrio bagi terbentuknya sikap toleransi, pembentukan nilai-nilai karakter
adalah aspek yang mendasar dalam membangun sikap toleran.
Merujuk teori pembentukan karakter Lickona bahwa pembentukan karakter
terdiri dari lima aspek yaitu: a. Keteladanan/moral modeling. b. Habituasi santri
dalam keseharian/moral habituation; c. Upaya penumbuhan kepekaan terhadap
lingkungan dalam menghargai nilai-nilai baik/moral feeling; d. Penguatan program
pembelajaran/moral knowing; e. Perilaku moral/moral action.142
a. Keteladanan/moral modeling. Bentuk pengajaran di mana seseorang
belajar bagaimana melakukan suatu tindakan dengan memperhatikan dan
meniru sikap serta tingkah laku orang lain.143 Keteladanan ini dijabarkan
dalam dua sub komponen yakni: pertama, keteladanan internal (internal

142
Menurut Likona. karakter mengandung tiga aspek yaitu: moral knowing, moral
feeling, and moral behavior. Lihat Thomas Lickona. 1991. Educating for Character: How Our
School Can Teach Respect and Responsibility. Canada: Bantam books. Hal. 51.
143
Kartini Kartono dan Dali Gulo. 1987. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya. Hlm.
285.
77

modelling) yaitu keteladanan yang datang dari dalam diri. Keteladanan ini
dapat dilakukan oleh individu sendiri melalui pemberian contoh dalam
proses pembelajaran; dan kedua, keteladanan eksternal (external
modelling) yaitu keteladanan yang datang dari luar diri. Keteladanan ini
dilakukan dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari para tokoh
yang dapat diteladani, baik tokoh lokal maupun tokoh internasional.144
b. Kebiasaan/moral habituation. Kegiatan-kegiatan habituasi (pembiasaan)
menjadi aspek penting bagi pembentukan karakter. Secara terminologi,
habituasi adalah sebuah proses pembiasaan pada/atau dengan “sesuatu”
supaya menjadi terbiasa atau terlatih melakukan “sesuatu” yang bersifat
instrisik pada lingkungan kerjanya.145 Yang dijabarkan dalam tiga sub
komponen antara lain: (a) Competence (kompetensi), (b)
Will (keinginan) dan (c) Habit (kebiasaan)
c. Daya perasaan/moral feeling. Merupakan tahapan tingkat lanjut pada
komponen karakter yang dijabarkan dalam 6 sub komponen, antara
lain: (a) Conscience(nuranI), (b) Self-esteem (harga diri), (c)
Empathy (empati), (d) Loving the good (cinta kebaikan), (e) Self-
control (kontrol diri) dan(f) Humility (rendah hati)
d. Pengetahuan/moral knowing
Moral knowing (pengetahuan moral) berhubungan dengan bagaimana
seorang individu mengetahui sesuatu nilai yang abstrak yang dijabarkan
dalam 6 sub komponen, antara lain: (a) moral awareness (kesadaran
moral), (b) knowing moral values (pengetahuan nilai moral), (c)
perspective-taking (memahami sudut pandang lain), (d) moral
reasoning(penalaran moral), (e) decision-making (membuat keputusan),
(f) self-knowledge (pengetahuan diri)
e. Perilaku/moral action

144
Dian Andayani dan Abdul Majid. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.
Bandung: Rosda Karya. Hal. 23.
145
Muchlas Samani, Hariyanto. 2011. Pendidikan Karakter: Konsep dan Model. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 239.
78

Kilpatrick dalam Megawangi menegaskan bahwa hal yang menyebabkan


seseorang secara kognitif mengetahui akan tetapi mereka tidak mampu
berperilaku baik, karena dalam diri mereka tidak terlatih melakukan
kebajikan atau perbuatan yang bermoral (moral action).146
Merujuk pada pola hidup pesantren, pembentukan karakter yang berlaku
didalamnya secara garis besar memiliki kesamaan dengan pola pembentukan
karakter yang dicetuskan oleh Lickona. Karakter yang baik dalam konsep Lickona
terdiri dari tiga jenis tingkat komponen pembentukan karakter (moral knowing,
moral feeling, dan moral behavior).147
1. Moral knowing: Moral awareness, knowing moral values, perspective-
taking, moral reasoning, decision-making, self knowledge
2. Moral feeling: Conscience, self esteem, empathy, loving the good, self-
control, humanity.
3. Moral action: Competence, will, habit.
Dalam perspektif Islam, merujuk Ulwan bahwa metode pendidikan yang
berpengaruh terhadap anak terdiri dari lima jenis yaitu:148 1) Pendidikan dengan
keteladanan 2) Pendidikan dengan adat kebiasaan 3) Pendidikan dengan nasihat 4)
Pendidikan dengan perhatian atau pengawasan 5) Pendidikan dengan hukuman.
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari perspektif toleransi bahwa terdapat
dua jenis dalam tipologi pesantren yang membentuk sikap toleransi di
pesantren yaitu: 1. Nilai-nilai pendidikan pesantren, terdiri dari nilai-nilai
kearifan lokal pesantren dan nilai-nilai religious culture pesantren. 2. Tujuan
pendidikan pesantren.

3. Karakteristik Pesantren
Karakteristik pesantren yang sampai dengan saat ini masih melekat menurut
Soebahar memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan lembaga pendidikan

146
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat Membangun Bangsa.
Jakarta: BP Migas. Hal. 113.
147
Thomas Lickona. 1992. Educating for Character: How Our Schools Camn Teach Respect and
Responsibility. Canada: Bantam Books. Hlm. 53.
148
Abdullah Naṣih Ulwan. 2007. Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Hlm. 142.
79

yang lainnya. Keunikan pesantren tersebut dapat ditinjau dari dua aspek yakni pola
kehidupan di pesantren dan pola adopsi sistem pendidikan pesantren.149
a. Pola hidup di pesantren. Pola kehidupan di pesantren terdiri dari:150
1) Eksistensinya sebagai lembaga kehidupan yang berbeda dengan
pola kehidupan umum. Mencakup rutinitas keseharian di
pesantren.
2) Sarana prasarana yang menunjang kehidupan di pesantren.
3) Tata nilai yang berlaku di pesantren sebagai daya tarik pesantren
bagi dunia luar. Unsur utama dalam penciptaan tata nilai terdiri dari
peniruan dan pengekangan. Peniruan dimaksud adalah proses
pengimitasian pola kehidupan Rasulullah SAW, para shahabat dan
ulama-ulama salaf ke dalam pola hidup pesantren dan
mempraktikkannya secara berkesinambungan dan kesadaran penuh
dalam rutinitas harian pesantren. Pengekangan dimaksud adalah
hukum yang ditegakkan di lingkungan tersebut berbentuk
kedisiplinan, kepatuhan pada kyai, kesetiaan pada pesantren dalam
bentuk ketaatan menjalankan pola hidup yang ditetapkan
pesantren, punishment bagi yang melanggar aturan. seperti
pemulangan santri ke rumahnya. Tata nilai ini didukung oleh
kepribadian yang kuat dari pengasuh pesantren
4) Transformasi nilai yang dihasilkan dari interaksi saling
mempengaruhi dengan masyarakat di luar pesantren.
Karakteristik pesantren yang sampai dengan saat ini melekat dalam pola
kehidupan warganya meliputi; kyai sebagai pemimpin pesantren, santri,
pondok, pengajaran teks-teks keagamaan Islam klasik, dan masjid.151
b. Pola adopsi sistem pendidikan pesantren. Proses adopsi adalah the mental
process through which an individual passes from first hearing about an

149
Abdul Halim Soebahar. 2013. Modernisasi Pesantren. Yogyakarta: LkiS. Hlm. 33
150
Abdurrahman Wahid. 2001. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LkiS. Hlm. 3.
151
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai
dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hal. 44-55.
80

innovation to final adoption.152 Berdasarkan pengertian adopsi tersebut,


pesantren tidak dapat berlepas diri dari keharusan beradaptasi dengan
perkembangan pendidikan. Sistem pendidikan di pesantren harus mampu
menghadirkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menyeimbangkan antara kebutuhan ilmu duniawi dan ukhrawi dengan
tujuan terbentuknya manusia yang sempurna (insan kamil). Realita di
lapangan, kompleksitas kehidupan masyarakat seiring dengan
perkembangan zaman, memaksa pesantren untuk hadir dan eksis dalam
menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini dapat terpenuhi ketika pesantren memiliki kemampuan untuk
mengadopsi sistem pendidikan yang berkembang (modernisasi) tanpa
menghilangkan pola pendidikan yang telah menjadi identitas pesantren.
Adopsi sistem pendidikan menjadi sebuah kebutuhan bagi pesantren untuk
bisa selalu eksis dalam membangun pendidikan nasional.
Pondok pesantren bukan hanya terbatas dengan kegiatan-kegiatan
pendidikan keagamaan melainkan mengembangkan diri menjadi suatu lembaga
pengembangan masyarakat. Oleh karena itu sejak pendiriannya, pondok pesantren
merupakan ajang mempersiapkan kader masa depan dengan perangkat-perangkat
pengembangan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari perspektif toleransi bahwa terdapat
dua jenis dalam karakteristik pesantren yang membentuk sikap toleransi di
pesantren yaitu: 1. Pola hidup warga pesantren. 2. Pola adopsi sistem
pendidikan pesantren.

4. Sistem Pendidikan Pesantren


Setiap lembaga pendidikan memiliki sistem pendidikan yang berbeda untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di dalamnya. Sistem pendidikan yang selama ini
menjadi bagian dalam menghidupkan pendidikan berkualitas di pesantren dikenal
dengan sistem pendidikan tradisional. Namun dalam perjalanannya, Husni Rahim
dalam Qamar menegaskan bahwa modernisasi pesantren dimensi sistem pendidikan

152
Everett Rogers. 2003. Diffusion of Innovations. 5th Edition. Simon and Schuster. Hlm.
20.
81

yang digunakannya telah terjadi sejak awal abad 19.153 Hal ini dilakukan untuk
mengimbangi perkembangan dunia pendidikan formal, sehingga sistem pendidikan
yang adaptif menjadi pilihan bagi pesantren untuk tetap survive sebagai lembaga
pendidikan keagamaan yang menanamkan pendidikan untuk pemurnian jiwa dan
penguatan intelektual.
Hingga saat ini, sistem pendidikan pesantren yang adaptif dikenal dengan
sebutan pesantren khalaf dan pesantren yang tetap dengan sistem pendidikan
tradisionalnya dikenal dengan pesantren salaf. Dikemukakan Zamakhsyari bahwa
ditinjau dari tingkat konsistensi pesantren dalam menyelenggarakan sistem
pendidikan didalamnya, jenis pesantren terbagi kedalam dua kelompok besar yakni
pesantren dengan sistem pendidikan konservatif dan pesantren dengan
keterpengaruhan oleh sistem modern. Pertama, pesantren salafi adalah pesantren
konservatif yang tetap mempertahankan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren; Dan kedua pesantren khalaf yakni pesantren dengan sistem
pendidikan beradaptasi dengan sistem pendidikan modern. Hal ini ditandai dengan
perubahan sistem pendidikan yang membuka sistem pendidikan sekolah umum
maupun madrasah yang mengintegrasikan pendidikan pesantren dengan pendidikan
umum.154
Salah satu jenis sistem pendidikan pesantren yang masih umum berlaku
hingga saat ini hampir dikeseluruhan pesantren salaf adalah sistem bimbingan
individual atau yang dikenal dengan istilah sistem ijazah lisan. Ijazah lisan
diberikan kyai pada santrinya sebagai bukti bahwa santri tersebut telah menguasai
penuh pengetahuan yang terdapat dalam teks-teks keagamaan yang dipelajari dan
layak mengajarkannya, merupakan kekhasan dari sistem pendidikan dan pengajaran
di pesantren.
Teks-teks keagamaan yang dipelajari di lingkungan pesantren fokus pada
kajian seputar ilmu tafsir, ilmu fikih, ilmu hadits, tauhid, akhlak, ilmu ushuluddin,

153
Mujamil Qomar. 2002. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.Hlm.78.
154
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai
dan visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
82

ilmu nahwu, sharaf, ma’ani, bayan dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya.155


Abdurrahman Wahid dalam Siraj et. al. menegaskan bahwa pengajaran
menggunakan teks-teks keagamaan klasik tersebut menjadi program pendidikan
pesantren salaf dan sarana penguatan pengetahuan santri terhadap warisan
khazanah keilmuan Islam untuk membangun kesadaran beribadah, termasuk
menjalankan muamalah dalam tatanan sosial kemasyarakatan.156 Pembelajaran
terhadap kitab-kitab klasik dipandang penting karena dapat menjadikan santri
menguasai dua materi sekaligus. Pertama, bahasa arab yang merupakan bahasa
kitab itu sendiri. Kedua, pemahaman/penguasaan muatan dari kitab tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari perspektif toleransi bahwa terdapat
tiga aspek utama dalam sistematika pendidikan pesantren yang membentuk
sikap toleransi di pesantren yaitu: 1. Peran kyai sebagai pemilik sekaligus
pengasuh pesantren. 2. Kurikulum pesantren. 3. Kitab-kitab referensi yang
menjadi rujukan pembelajaran di pesantren.

D. Evaluasi Pendidikan Toleransi di Pesantren


Evaluasi pembelajaran merupakan proses untuk menentukan dan
menggunakan teknik untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang ada atau
yang terjadi dalam pembelajaran.157
Terdapat tiga komponen yang terlibat dalam proses pengujian hasil belajar,
terkait pencapaian mutu pendidikan, yaitu (1) peserta didik, (2) orang tua dan
anggota masyarakat, (3) tenaga pendidik dan komponen-komponen yang terlibat
dalam proses kependidikan.158
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 pasal 21 ayat 1
menyiratkan bahwa evaluasi pendidikan oleh pendidik dan satuan didik dilakukan

155
Ridlwan Nasir. 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal. 310-311.
156
Abdurrahman Wahid. 1999. ‘Pondok Pesantren Masa Depan’ dalam Said Aqiel Siraj
et.al., Pesantren Masa depan: wacana pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung:
Pustaka Hidayah. Hal. 16-17.
157
Setyosari, P. 2001. Rancangan Pembelajaran Teori dan Praktek. Malang: Elang Mas.
158
Deviana Ika Maharani, M. Huda A.Y, Imron Arifin. 2016. Manajemen Pembelajaran
Pondok Pesantren. Manajemen dan Supervisi Pendidikan. Volume 1. No.1. Hlm. 18-1.
83

sesuai kebijakan yang ada. Sementara itu, penilaian hasil belajar santri oleh
pemerintah dilakukan melalui ujian akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar
nasional. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan
Nasional Pasal 22 Ayat (2) menjelaskan bahwa teknik penilaian hasil pembelajaran
nasional adalah dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan
perseorangan atau kelompok.

Terkait evaluasi pendidikan nilai toleransi, secara umum Kementrian


Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan indikator kepemilikan toleransi, melalui
sejumlah karakter yang dilahirkan oleh para peserta didik. Diantaranya:159
1. Tidak mengganggu teman yang berbeda pendapat.
2. Menerima kesepakatan meskipun berbeda dengan pendapatnya.
3. Dapat menerima kekurangan orang lain
4. Dapat memaafkan kesalahan orang lain
5. Mampu dan mau bekerjasama dengan siapa pun yang memiliki
keberagaman latar belakang, pandangan, dan keyakinan.
6. Tidak memaksakan pendapat atau keyakinan diri pada orang lain.
7. Kesediaan untuk belajar dari (terbuka terhadap) keyakinan dan gagasan
orang lain agar dapat memahami orang lain lebih baik, dan
8. Terbuka terhadap atau kesediaan untuk menerima sesuatu yang baru.

159
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Panduan Penilaian oleh Pendidik
dan Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas.
84

Anda mungkin juga menyukai