TINJAUAN PUSTAKA
54
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat 1.
55
Al-Musanna. 2017. Indigenisasi Pendidikan: Rasionalitas Revitalisasi Praksis
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2017.
Hlm. 121.
56
Sifuna, D. N, and Otiende J.E. 2006. An Introductory History of Education. Revised
edition; Kenya: University of Nairobi. Hlm. 1.
57
Muhibbin Syah. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:PT
Remaja Rosdakarya. Hlm. 10
38
39
sehingga dapat berperan aktif dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang
adil dan beradab.
Omachar memaknai pendidikan sebagai sebuah proses dan produk.
Menurutnya, peserta didik diibaratkan bahan mentah yang melalui proses industri
diubah menjadi produk jadi. Dalam proses ini guru memainkan peran penting.
Produk yang dihasilkan dari proses edukasi tersebut harus dimurnikan dan
berkualitas tinggi seperti halnya bahan baku industri yang telah mengalami proses
pemurnian. Seorang individu yang berpendidikan harus dibekali dengan
kemampuan secara ekonomi, sosial, politik, moral dan intelektual dan ini dapat
dilihat secara praktis dalam kehidupannya.58
UNESCO menegaskan bahwa pendidikan yang diberikan harus mencakup
gagasan perdamaian, toleransi dan saling pengertian, pendidikan hak asasi manusia
dan tema pendidikan terkait. Deklarasi ini menjadi kerangka kerja untuk mencegah
kekerasan di sekolah dan menggalakkan pemahaman antar budaya, dialog antar
agama, menghormati keragaman dan empati.59 Secara eksplisit, deklarasi ini
dikemas dalam tujuan pendidikan yang dikenal dengan istilah empat pilar
pendidikan (four pillars of education/learning), yaitu (1) learning to know,
(2) learning to do; (3) learning to live together) dan (4) learning to be.
Jean Piaget dalam Shahsavari mengemukakan bahwa pendidikan harus
memberikan pemahaman yang baik, toleransi dan persahabatan antar semua bangsa,
kelompok ras dan agama serta memperluas dan peningkatan kegiatan penjaga
perdamaian PBB.60 Penegasannya bahwa tujuan akhir pendidikan adalah
kesesuaian dengan lingkungan sosial. Adapun yang menjadi tujuan utama
pendidikan adalah menentukan kebutuhan masyarakat; pendidikan dan kecerdasan;
58
Barasa Samson Omachar. 2016. History of Education: Unending Persona, Demystifying
and Demythologizing; Demonization, Perception and Superstition: A Reflection on the role of
Educational Foundations in programmes of teacher preparation. International Journal of Education
and Research. Vol. 4 No. 9 September 2016. Hlm. 301-302.
59
UNESCO. 2011. UNESCO and Education. The United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization. Hlm. 23.
60
Mahmood Shahsavari. 2012. Jean Piaget’s Ideas About Foundations of Education.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(5): 185-188, 2012 ISSN 1991-8178
40
61
Mahmood Shahsavari. 2012. Jean Piaget’s Ideas About Foundations of Education.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(5): 185-188, 2012 ISSN 1991-8178. Hlm. 188
62
Samsul Nizar. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press. Hlm. 25.
63
Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi. Kairo:
Barus Sya`bi, Juz 1. Hlm. 120.
64
Fahrur Razi. Tafsir Fahrur Razi. Teheran: Darul Kuthubil Ilmiah, Juz XXI. Hlm. 151.
41
65
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jaris Al-Thabary. 1988. Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil ayat al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm. 67.
66
Muhammad Rasyid Rasyid Ridla. (n.d.). Tafsir Al Qur’an Al Hakim: Tafsir Al Manar
Juz IV. Mesir: Darul Manar. Hlm. 262.
42
67
Abdul Fatah Jalal. 1977. Min Ushul al-Tarbiyyah fi al-Islam. Mesir: Daar al-Kutuh al-
Misriyah. Hlm. 32
43
Term yang ketiga adalah ta’dib yang secara harfiyah bermakna undangan
kepada suatu perjamuan. Kata addabahu fataaddaba menurut Ibn Mandzur
mencakup pengertian ‘allamahu (mendidiknya). Ditegaskan Al-Attas bahwa term
ini lebih merepresentasikan makna pendidikan yang seharusnya sebagaimana hadits
Nabi Muhammad SAW berikut:68
68
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Hlm. 151.
69
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1993. Islam and Secularism. Hlm. 151.
44
70
Muzayyin Arifin. filsafat Pendidikan Islam. Hal. 118.
71
Wina Sanjaya. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. cet. ke-9. Hlm. 2-3.
45
72
Thomas Lickona. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantam Books. Hlm. 51.
73
Kartini Kartono dan Dali Gulo. 1987. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya. Hlm. 285
74
Dian Andayani dan Abdul Majid. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
Rosda Karya. Hlm. 23.
75
R Megawangi. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat Membangun Bangsa.
Jakarta: BP Migas. Hlm. 113.
76
Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta : Perspektif. Hal. 212.
46
Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan
budayanya yang khas.
Berbicara toleransi, hal yang harus dijadikan sebagai sandaran dalam
memahami toleransi adalah memahami esensi dari toleransi melalui pengertian akar
katanya. Toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1. Sifat atau sikap
toleran: 2. Batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan; 3. Penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran
kerja.77 Toleransi dalam cambridge dictionary adalah willingness to accept
behaviour and beliefs that are different from your own, although you might not
agree with or approve of them.78 Dalam kamus Psikologi, toleransi didefinisikan
sebagai. 1. The capacity to endure differences from expectations with equanimity
(Kapasitas untuk menanggung perbedaan dari ekspektasi dengan ketenangan hati).
2. The range of permissible deviations from norms or standards (Kisaran
penyimpangan yang diizinkan dari norma atau moral).79
King dan Crick dalam Lukes mendefinisikan toleransi bahwa tolerance as
disapproval plus acceptance. The tolerator is free to reject the item accepted and
has the power to do so.80 Inti dari pengertian toleransi yang dikemukakan oleh King
dan Crick ini menegaskan bahwa di satu sisi seseorang berhak untuk menerima
perbedaan dan di sisi lain memiliki hak untuk menolak konten dari perbedaan
tersebut. Sebuah penerimaan terhadap perbedaan yang masih terkotakkan oleh
kondisi dirinya secara psikologis.
UNESCO dalam declaration of principles on tolerance tahun 1995
mendefinisikan toleransi sebagai:81
77
https://kbbi.web.id/toleransi
78
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance.
79
David Matsumoto. 2009. The Cambridge Dictionary of Psychology. New York:
Cambridge University Press. Hlm. 547.
80
Steven Lukes. 1971. Social and Moral Tolerance. https://doi.org/10.1111/j.1477-
7053.1971.tb01219.x. Hlm. 224.
81
47
political and legal requirement. Tolerance, the virtue that makes peace possible,
contributes to the replacement of the culture of war by a culture of peace.
Berdasarkan beberapa pengertian toleransi di atas, bahwa toleransi
merupakan sikap individu menerima perbedaan yang ada dan memberikan hak
sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun
pendapatnya berbeda. Toleransi menjadi sarana bagi terbangunnya keharmonisan
dalam perbedaan. Melalui toleransi tercapainya perdamaian di dunia.
Secara etimologis, istilah toleransi tersebut juga dikenal dengan sangat baik
di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan
slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di
Perancis.82 Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah
toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
sukarela dan kelembutan.
Di negara dengan kondisi masyarakat majemuk, sikap toleransi sangat
diperlukan untuk menjaga stabilitas bangsa. Toleransi adalah salah satu pondasi
terpenting dalam demokrasi.83 Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika
seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang
lain. Kemajemukan seringkali menjadi triger terjadinya kekerasan fisik maupun
mental, egosentris individu terhadap individu lainnya yang menimbulkan
ketidakadilan, hingga hancurnya tatanan kehidupan manusia seperti pembunuhan
suku atau yang dikenal dengan istilah genosida. Sikap-sikap negatif yang
ditimbulkan dari kemajemukan ini terjadi ketika individu manusia tidak melengkapi
dirinya dengan sikap toleran. Dengan sikap toleran inilah terwujudnya peradaban
manusia yang positif.
Sikap-sikap negatif tersebut muncul saat egosentris manusia muncul. Hal iini
dapat ditemukan sejak awal disosialisasikannya sikap toleransi keberagamaan.
Kesalahan pemahaman konsep toleransi diantaranya –hampir dikeseluruhan agama
pada tataran realitas- memiliki klaim yang sama bahwa agama mereka yang paling
benar, bahwa surga hanya diperuntukkan bagi penganut agamanya sendiri, dan
82
Zuhairi Misrawi. 2007. Al-Quran Kitab Toleransi. Jakarta : Pustaka Oasis. Hal. 161.
83
Kevin Osborn. 1993. Tolerance. New York. Hal. 11.
48
keselamatan hanya ada dalam agama mereka sendiri sementara agama yang lain
dianggap sesat. Misal, doktrin Gereja Katolik “Extra Ecclesiam nulla salus (diluar
gereja tidak ada keselamatan)”, doktrin kelompok protestan “di luar Kristen tidak
ada keselamatan”. Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi triger lahirnya gagasan
pluralise agama para teolog dan filosof Barat di awal abad 20. Barat menjadi pusat
pergerakan utama pemikiran pluralisme agama.84
Toleransi sendiri dilihat dari kacamata sosio-historis berawal dari fenomena
sosial masyarakat dengan agama sebagai pemicu. Sebagaimana difahami bahwa
agama yang tumbuh subur di dunia ini majemuk. Keanekaragaman ini ternyata
menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berbagai kejadian yang disebabkan konflik keagamaan semakin melebar dan
mencuat. Meskipun dalam perjalanannya seringkali konflik keagamaan dicetuskan
oleh muatan politik.85
Kenyataan objektif di lapangan menunjukkan intoleransi dan efek-efek yang
diakibatkannya seperti radikalisme, ekstrimisme, hingga kejahatan kemanusiaan
seringkali dikaitkan dengan agama. Perdebatan sengit keagamaan terjadi ketika
mendefinisikan agama hanya dari satu dimensi saja, maka pluralisme agama
menjadi sebuah fenomena subjektif hingga terbangunnya dinding intoleransi. Hasil
penelitian yang dilakukan Thoha ketika mendefinisikan agama dengan
menggunakan dimensi substansi semata hanya akan melahirkan pemahaman
reduksionistik. Diantaranya pluralis John Hick yang menyatakan bahwa semua
agama sama, tidak ada agama yang lebih unggul dari agama lain dikarenakan agama
merupakan aktualisasi dari realitas yang satu (semua agama sama/religious
equality). Persamaan agama tersebut tidak hanya pada aspek presensi agama-agama
secara realita (equality on existence), melainkan include didalamnya menyamakan
84
Anis Malik Thoha 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Hlm 17-18.
Dikemukakan Thoha dalam buku yang sama bahwa diawal keberadaannya, pluralisme agama
merupakan gerakan reformasi pemikiran agama atau kebebasan (liberalisasi) agama dalam
teologi Kristen, sebagai pondasi teoretis membangun interaksi secara toleran dengan agama-
agama lain.
85
Steven Lukes. 2014. Social and Moral Tolerance. Government & Opposition: an
International Journal of Comparative Politics. Vol.. 6 Issue 2.
https://www.cambridge.org/core/product/39EFCD4861CFEA75065FEEDD9AF22D26
49
aspek esensi dan hukum yang terkandung didalamnya (syariat). Bagi pluralis
sekelas Hick, berpandangan bahwa melalui doktrin persamaan agama ini, toleransi
dapat tercipta, terbangunnya harmonisasi kehidupan antar agama, dan mutual
respect.86
2. Macam-Macam Toleransi
Realita di lapangan menunjukkan bahwa toleransi memiliki jenis tersendiri
selain toleransi dalam keagamaan. Diantaranya Vogt dalam Doorn yang
menggolongkan toleransi dalam tiga dimensi, yaitu:87
a. Moral tolerance
Toleransi dimensi ini merupakan toleransi terhadap aksi yang
kontroversial dengan kehidupan manusia pada umumnya yang terjadi di
ruang privat, seperti permasalahan homoseksual, pornografi, dan aksi-aksi
yang berbau seksualitas lainnya seperti aborsi.
b. Political tolerance
Sikap toleransi berpolitik (ketatanegaraan) yang terjadi dalam ranah
publik. Pada dimensi ini, sikap toleransi yang diperlukan adalah etika
berpolitik dengan mengedepankan toleransi terutama aspek yang berkaitan
dengan dunia perpolitikan seperti menerima perbedaan dalam sistem
hukum dan undang-undang.
c. Social tolerance
Toleransi yang berkaitan dengan ranah sosial masyarakat seputar hal-hal
yang berbau suku agama dan ras (SARA).
Merespon dimensi toleransi yang dikemukakan Vogt di atas, memasuki era
globalisasi, dimensi toleransi tidak cukup diimplementasikan hanya sampai di
86
Anis Malik Thoha. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Hlm. 15-16. Lihat juga Abu
Muhammad Waskito. 2010. Cukup 1 Gusdur Saja: Sebuah Momen Konroversi Kebodohan Sistemik
dan Kerancuan Berfikir Bangsa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hlm. 113. Dalam bukunya, Waskito
meninjau makna pluralisme dalam dua aspek yakni ideologi dan praktis. Secara ideologi, pluralisme
adalah paham bahwa semua agama benar secara substantif namun berbeda secara interpretatif.
Adapun aspek praktis, pluralisme bermakna sikap menghormati perbedaan.
87
Doorn, M.V. 2012. Tolerance. Sociopedia.isa. 1-15. DOI: 10.1177/2056846012121. 1.
50
88
Mukhlas Syarkun. 2017. Toleransi Sosial dan Toleransi Ekonomi.
https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/08/07/oubi35396-toleransi-sosial-dan-
toleransi-ekonomi
89
Casram. 2016. Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural.
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2. Hal. 188. DOI:
http://dx.doi.org/10.15575/jw.v1i2.588
51
90
Masykuri Abdullah. 2001. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas. Hal. 13.
91
Said Agil Al Munawar. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press. Hal.
14.
92
Said Agil Al Munawar. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press. Hal.
16
93
Dyayadi, M.T. 2009. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta : Qiyas. Hal. 614.
52
(1) Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Hal ini bermakna,
kebenaran dalam hal keyakinan ada juga dalam agama-agama. Kenyataan
ini justru akan membawa umat beragama ke dalam jurang relativisme
kebenaran dan pluralisme agama. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran
tidak hanya ada dalam satu agama berarti merelatifkan kebenaran Tuhan
yang absolut. Argumen seperti ini sebenarnya tidak baru. Hal yang sama
telah lama diutarakan oleh John Hick dalam bukunya A Christian Theology
of Religions: The Rainbow of Faiths94,
(2) Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama yang ada,
(3) Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama, Antara
poin kedua dan ketiga terdapat korelasi dalam hal persamaan antar agama.
Namun, pada dasarnya, poin terpenting tersebut justru bukanlah sebab
keberadaan faktor persamaannya, akan tetapi faktor perbedaan yang ada
dalam agama-agama tersebut. Semisal, pada Teori evolusi Darwin, ia
meyakini bahwa manusia berasal dari monyet setelah melihat banyaknya
persamaan antara manusia dan kera. Akan tetapi, Darwin melupakan bahwa
manusia juga memiliki perbedaan mendasar yang tidak dimiliki monyet.
Manusia memiliki akal sedangkan monyet tidak. Inilah yang meruntuhkan
teori evolusi.
(4) Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan,
(5) Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Pendapat yang
dikemukakan Nasution ini, cenderung dilatarbelakangi oleh pandangan
tehadap sejarah kelam sekte-sekte agama Kristen. Sebab, dalam sejarah,
Islam tidak pernah menyerang agama lain terlebih dulu. Hal ini dapat
ditelusuri dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan
Khulafa’ ar-Rasyidin. Di mana agama-agama (Yahudi dan Kristen) justru
mendapatkan perlindungan penuh tanpa pembantaian.
Selain Harun Nasution, Zuhairi Misrawi juga mengemukakan
pendapatnya dalam buku al-Qur’an Kitab Toleransi, dengan menyatakan bahwa
94
John Hick. 1995. A Christian Theology Of Religions: The Rainbow Of Faiths. America :
SCM. Hal. 23.
53
95
Zuhairi Misrawi. 2007 Alquran Kitab Toleransi. Jakarta : Pustaka Oasis. Hal. 159.
96
Zuhairi Misrawi. 2007 Alquran Kitab Toleransi. Jakarta : Pustaka Oasis. Hal. 159
54
a. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu berupa halus
maupun dilakukan secara kasar;
b. Manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya dan
beribadat menurut keyakinan itu;
c. Tidak akan berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan
tertentu ;
d. Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang
tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari sikap
saling bermusuhan.97
4. Pendidikan Toleransi di Lembaga Pendidikan
Membangun pendidikan toleransi di lingkungan lembaga pendidikan akan
berbeda strateginya dengan membangun pendidikan toleransi di luar lingkungan
lembaga pendidikan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pendidikan
bertujuan membekali peserta didik dengan pengetahuan, melatih kepekaan, dan
mampu mengamalkan atau mengimplementasikannya, pendidikan toleransi di
lembaga pendidikan harus bisa mengakomodir kebutuhan peserta didik terhadap
pengetahuan toleransi dan aspek-aspek yang menyertainya termasuk memberikan
penguatan karakter peserta didik sehingga toleransi menjadi bagian melekat dan
mengkarakter dalam kehidupan keseharian peserta didik.
Pemerintah sendiri belum menetapkan standar khusus pendidikan toleransi
di lembaga pendidikan. Saat ini, pemerintah hanya mengatur berbagai pedoman
standar pendidikan secara umum. Sehingga, setiap lembaga pendidikan dapat
mengembangkan dan melaksanakan pendidikan, sesuai kebijakan masing-masing,
termasuk edukasi toleransi. Namun, sejatinya, pengembangan kurikulum
pendidikan yang mengajarkan toleransi, mesti mengacu pada tujuan pendidikan
nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
97
Muhammad Daud Ali. 1986. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik.
Jakarta: CV Wirabuana. Hlm. 82.
55
98
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 3.
99
Delfian Widianto. 2017. Penanaman nilai toleransi dan keragaman melalui Strategi
Pembelajaran Tematik Storybook pada Mata Pelajaran PPKn di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan. Volume 7. No. 2. Hlm. 28-29.
100
Ahmad Warson Munawir. t.th. Kamus Arab Indonesia al-Munawir. Yogyakarta: Balai
Pustaka Progresif. 1098.
101
Umar Hasyim. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai
Dasar menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya: Bina Ilmu. Hal. 22.
56
own, although you might not agree with or approve of them.102 Pengertian toleransi
tersebut bahwa suka atau tidak suka seseorang terhadap perbedaan yang
dihadapinya, individu tersebut harus menerimanya dengan keterbukaan.
Tasamuh adalah konsep toleransi yang dikembangkan perspektif Islam.
Berangkat dari dimensi semantik, toleransi dalam bahasa Arab diambil dari kata
سماحةatau تسامحyang bermakna sa’at al-ṣadr yang berarti lapang dada, tasāhul yang
berarti pemaaf/ramah, dan al-jūd yang berarti kemuliaan, Salman mendefinisikan
tasamuh sebagai sikap permisif/keterbukaan yang berakar dari sifat mulia individu
dalam menghadapi perbedaan.103
Teori toleransi tersebut diatas, keduanya menunjukkan kesamaan arti yakni
menerima perbedaan (sebagai dampak dari kemajemukan manusia dalam berbagai
dimensi kehidupan) dengan kelapangan dada. Namun secara hakikat keduanya
tumbuh dari akar yang berbeda. Toleransi perspektif konvensional berakar dari
keterpaksaan menghadapi perbedaan, adapun toleransi perspektif Islam menerima
perbedaan dilakukan dalam lingkaran kemuliaan akhlak individu.
102
Cambridge Dictionary. https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance.
103
Abdul Malik Salman. 1993. al-Tasâmuh Tijâh al-Aqaliyyât ka Dharûratin li al-Nahdhah.
Kairo: The International Institute of Islamic Thought. Hlm. 2.
57
Hadits di atas menegaskan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin,
dibangun di atas al-hanifiyyah dan al-samhah. Hanif secara harfiyah artinya
58
bermakna lurus atau betul.104 Hanif juga bermakna condong menjauhi seluruh
agama kepada agama Islam.105 Hal ini bermakna bahwa hanif dapat diartikan
dengan orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan tidak
mengalihkannya pada yang lain. Artinya setiap orang yang berserah diri kepada
perintah Allah dan tidak berpaling sedikit pun dinamakan hanif.
Adapun makna al-samhah menurut al-Qaradawi mengandung afinitas
linguistik yakni merujuk pada toleransi (al-tasamuh). Ditegaskan al-Qaradawi
bahwa hadits ini menjadi dalil rujukan Islam mendukung toleransi. Toleransi adalah
bagian dari ajaran Islam yang dibentuk oleh ajaran Islam itu sendiri yakni wahyu
(al-Qur’an dan Hadits) dan bukan dibentuk -sebagaimana yang dipersepsikan oleh
Barat- dari reaksi terhadap sosio-historis.106 Tuduhan yang dilayangkan oleh
mereka yang fobia Islam yang meneriakkan suara negatif bahwa Islam mengajarkan
intoleran dengan berbagai nilai-nilai yang ada didalamnya sama sekali tidak dapat
dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan uraian di atas, nilai toleransi yang membedakan antara toleransi
konvensional dengan tasamuh berdasarkan deskripsi di atas adalah hakikat dari
menerima perbedaan itu sendiri. Isu intoleransi yang merebak dewasa ini tercetus
dari konflik keagamaan atau yang dikenal dengan istilah pluralisme agama
Memaknai pluralisme dan pluralitas agama, adalah dua istilah yang serupa
namun berbeda makna. Pluralisme agama merupakan bentuk pemahaman bahwa
semua agama sama, sedangkan pluralitas agama adalah pemahaman yang
menegaskan penerimaan terhadap keanekaragaman agama. Islam sendiri
mengajarkan toleransi dengan paham pluralitas agama, sehingga toleransi tidak
dapat dipertentangkan dengan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa membentuk sikap toleransi di pesantren
dipengaruhi oleh: 1. Hakikat tasamuh; 2. Keyakinan terhadap konteks wahyu
memandu ilmu.
104
Idrus H. Alkaff. 1993. Kamus Pelik-Pelik al-Qur’an. Bandung: Pustaka. Hlm. 107
105
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu
Bakr Al-Suyuṭi. t. th.. Tafsir al-Qur’an al-Aẓīm. Semarang: Toha Putra. Hlm. 57.
106
Yusuf al-Qaraḍawi. 1994. Fatawa Mu’asirah. Mansurah: Dar al-Wafa. Hlm. 667.
59
ۖ ُعلَ ْي ِه ۖ فَٱحْ ُكم بَ ْينَ ُهم ِب َما ٓ أَنزَ َل ٱ َّّلل َ ب َو ُم َهيْمِ نًا ِ َص ِدقًا ِل َما بَيْنَ يَدَ ْي ِه مِ نَ ٱ ْل ِك ٰت َ ق ُم ِ ب ِبٱ ْل َحَ ََوأَنزَ ْلنَا ٓ ِإلَيْكَ ٱ ْل ِك ٰت
ًشا ٓ َء ٱ َّّللُ لَ َجعَلَ ُك ْم أ ُ َّمة َ ق ۚ ِل ُك ٍّل َجعَ ْلنَا مِ ن ُك ْم ش ِْر
َ عةً َومِ ْن َها ًجا ۚ َولَ ْو ِ ع َّما َجا ٓ َءكَ مِ نَ ٱ ْل َح َ َو ََل تَتَّبِ ْع أ َ ْه َوآ َءهُ ْم
ّلل َم ْر ِجعُ ُك ْم َجمِ يعًا فَيُن َِبئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ْم فِي ِه ِ َّ ت ۚ ِإلَى ٱ ِ ٰ َوحِ دَةً َو ٰلَكِن ِليَ ْبلُ َو ُك ْم فِى َما ٓ َءات َ ٰى ُك ْم ۖ فَٱ ْست َ ِبقُوا ٱل َخي ٰ َْر
ْ ۟
َتَ ْخت َ ِلفُون
107
A Ilyas Ismail. 2020. Toleransi Islam Berakar pada Empat Prinsip.
https://republika.co.id/berita/np1770/toleransi-islam-berakar-pada-empat-prinsip
60
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.
َّ وا َربَّ ُك ُم ٱلَّذِى َخلَقَ ُكم ِمن نَّ ْف ٍّس ٰ َوحِ دَةٍّ َو َخلَقَ مِ ْن َها زَ ْو َج َها َو َب
ً ث مِ ْن ُه َما ِر َج ًاَل َكث
ِيرا ُ َّٰ َيٓأَيُّ َها ٱلن
۟ ُاس ٱتَّق
علَ ْي ُك ْم َرقِيبًا َ َّ ام ۚ إِ َّن ٱ
َ َّلل َكان َ َّلل ٱلَّذِى ت
َ سا ٓ َءلُونَ بِ ِهۦ َوٱ ْْل َ ْر َح ۟ ُسا ٓ ًء ۚ َوٱتَّق
َ َّ وا ٱ َ َِون
dan, semua jiwa akan dikembalikan kepada Tuhan yang Maha Satu, Allahu
Ahad (QS. An-Nuur [24] : 42).
ير
ُ صِ ّلل ٱ ْل َم ِ ت َوٱ ْْل َ ْر
ِ َّ ض ۖ َو ِإلَى ٱ َّ ّلل ُم ْلكُ ٱل
ِ س ٰ َم ٰ َو ِ َّ ِ َو
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah
kembali (semua makhluk).
Selain itu, Piagam Madinah dan Khutbah Wada’ telah menekankan pula
tentang kesatuan manusia108. Piagam Madinah memuat pasal persatuan
(Pasal 25) yang tidak hanya mengikat sesama muslim, namun juga persatuan
seluruh warga negara.
“Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga
(kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali
bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarga”109
108
Ade Supriyadi. 2018. Hak Asasi Manusia Dan Relevansinya Dengan Islam. Refleksi.
Volume 17. Nomor 1. Hlm. 38
109
Nurul Fajriah. 2019. Kerukunan umat beragama: relevansi pasal 25 Piagam Madinah
dan pasal 29 UUD 1945. Substantia. Volume 21. Nomor 2. Hlm. 165
110
Ade Supriyadi. 2018. Hak Asasi Manusia Dan Relevansinya Dengan Islam. Refleksi.
Volume 17. Nomor 1. Hlm. 38
62
Nabi SAW, sebagai panutan kaum muslim, pun tidak segan untuk
menunjukkan penghormatannya terhadap jenazah Yahudi, semata dilakukan
sebab faktor kemanusiaan.
‘Jabir bin Abd Allah mengatakan, “Suatu hari kami melihat keranda
jenazah lewat. Nabi kemudian berdiri. Kami pun ikut berdiri bersamanya.
Lalu kami mengatakan, “Wahai Nabi, itu jenazah orang Yahudi”. Beliau
mengatakan, “Kematian itu membuat kesedihan yang mendalam. Bila
kalian melihat jenazah, berdirilah.”’112
111
Muhyiddin. 2020. Khutbah Terakhir Rasulullah yang Menguras Air Mata Sahabat.
https://republika.co.id/berita/qcnuy4320/khutbah-terakhir-rasulullah-yang-menguras-air-mata-
sahabat
112
HR: Muslim, No. 2181
63
Allah SWT mengantarkan manusia pada kesuksesan di dunia dan di akhirat. Hal ini
berdampak pada pengaktualisasian toleransi keagamaan dalam konteks sosial
masyarakat, dimana pada tataran praktis kesadaran bertoleransi muncul dari
kebebasan nalar (menerima perbedaan baik suka atau tidak suka) ketika kesadaran
bertoleransi hanya didasarkan pada rasio manusia semata. Ketika kesadaran
bertoleransi karena dipandu oleh wahyu maka menyikapi perbedaan tumbuh dari
kemurnian hati.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa membentuk sikap toleransi di
pesantren dipengaruhi oleh: 1. Pengetahuan yang diajarkan; 2. Keyakinan
Tauhid di atas rasio manusia.
113
Muhammad Quthb. 1987. Manhaju at-Tarbiyah al-Islamiyah. Beirut: Dar asy-Syuruq.
Hlm. 194.
65
Bahwa tingkah laku lebih bergantung pada bidang pada saat tingkah laku itu
berlangsung. 114
Teori ini menekankan bahwa karakter (behavior)115 individual
dipengaruhi oleh situasi yang terjadi di lingkungan (termasuk saat berinteraksi
dengan individu lainnya) tempat individu tersebut beraktivitas dan pengaruh
yang ditimbulkan dari situasi dalam dirinya sendiri (pengetahuan/imajinasi). 116
Muatan dari teori Lewin ini efektif diimplementasikan di lingkungan dengan
komunitas yang berada di bawah kepemimpinan sosok yang dipatuhi untuk
menanamkan nilai-nilai yang diinginkan untuk dilakukan.
Internalisasi nilai-nilai toleransi dan menjadikannya sebagai landasan
dalam berperilaku, memerlukan ruang tersendiri untuk merealisasikannya.
Perilaku itu dibentuk dan bukan sesuatu yang bersifat genetika. Lewin
menegaskan bahwa lingkungan dan kondisi diri adalah dua faktor yang
determinan membentuk perilaku individu. Berada dalam lingkungan yang
mendukung terhadap program yang dituju, memudahkan bagi tercapainya
tujuan dari pendidikan. sebaliknya, lingkungan dengan settingan yang tidak
mendukung akan mengantarkan pada kegagalan mewujudkan yang diharapkan.
Kondisi diri turut determinan mempengaruhi perilaku seseorang. Calhoun
dengan teori konsep dirinya mengemukakan bahwa perilaku seseorang,
termasuk persepsi, perasaan, mindset, dan pengalaman berpengaruh terhadap
penilaian yang dilakukan terhadap kondisi dirinya.117
Merujuk Berzonsky bahwa konsep diri terbagi dalam empat dimensi,
yakni:118
a. Physical self. Melingkupi kepemilikan individu terhadap entitas yang
bersifat fisik/nyata seperti nyata yang dikeseluruhan benda-benda fisik
114
Kurt Lewin. 1951. Field Theory in Social Science. New York: Harper & Brothers. Hlm.
25
115
Behavior yang dimaksud oleh Lewin adalah keseluruhan dari thinking, action, wishing,
striving, achieving, dan sebagainya. Kurt Lewin. 1951. Field Theory in Social Science. Hlm. xi.
116
Kurt Lewin Hlm. xi.
117
Calhoun. 1999. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaam. Semarang:
IKIP Semarang Press. Hlm. 46.
118
Michael D. Berzonsky. 1999. Adolescent Development. New York: Mc Milan
Publishing Co. Inc. Hlm. 56.
66
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam dan menjadi ahli dalam
bidang agama.119
Merujuk Mastuhu bahwa keberhasilan suatu lembaga pendidikan dalam
menjalankan perannya ialah pada saat lembaga pendidikan tersebut mampu
mengintegrasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat yang berada
disekelilingnya. Keberhasilan pengintegrasian itu sendiri menurut Mastuhu dapat
dicapai oleh lembaga pada tataran kecocokan nilai antara lembaga pendidikan
dengan masyarakat sekitar. Aspek lain yang mendukung terhadap keberhasilan
tersebut ialah ketika lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
terhadap sains dan teknologi dalam bidang-bidang kehidupan yang ditunjang
dengan kemampuan moral keagamaan dan sosial budaya bagi tercapainya
kehidupan yang terhormat. 120
Pengertian di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai pesantren memainkan
peranan penting dalam upaya mengibarkan eksistensi pesantren mewarnai
kehidupan masyarakat sekitarnya. Merujuk Darajat, bahwa nilai adalah bentuk
identitas yang terdiri dari perangkat keyakinan ataupun perasaan yang membentuk
pola pikiran, perasaan, maupun perilaku.121 Ini berarti bahwa corak tiga ranah yang
terdapat dalam individu yakni pikiran, perasaan, maupun perilaku terbentuk oleh
keyakinan ataupun perasaan yang mempengaruhinya.
Secara institusi, nilai-nilai pesantren adalah aspek yang menjadi keyakinan
pesantren yang membentuk karakter pesantren tersebut dalam menjalankan
perannya, karena nilai yang dianut oleh pesantren secara signifikan berpengaruh
terhadap program kelembagaan dan menjadi ciri khas dari pesantren tersebut. Nilai
yang membangun aqidah, pemikiran, pemahaman, sikap dan berperilaku seluruh
masyarakat pesantren.
Nilai-nilai pesantren yang berpengaruh terhadap eksistensi pesantren
berbentuk nilai-nilai kearifan pesantren dan nilai-nilai budaya religius pesantren.
Nilai-nilai pesantren yang menjadi kearifan lokal pondok pesantren menurut Sauri
119
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 30 dan Pasal 55
120
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem pendidikan Pesantren. Jakarta; INIS. hlm. 4.
121
Abu Ahmadi dan Noor Salimi. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Bumi Aksara. Hlm. 202.
68
122
Sofyan Sauri. 2017. Nilai Kearifan Pesantren. Bandung Rizqi Press. Hlm. 176.
123
Mohammad Takdir. 2018. Modernisasi Kurikulum Pesantren. Yogyakarta:IRCiSoD.
Hlm. 124.
69
mendidik santrinya menjadi manusia agamis yang idealis, moralis, dan berorientasi
ukhrawi.
Pesantren secara bahasa ialah pondok; asrama tempat santri atau tempat
murid-murid belajar mengaji dan sebagainya.124 Secara istilah pesantren adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-diin) dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Adapun dalam penyelenggaraannya, lembaga pendidikan pesantren berbentuk
asrama dengan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama dibantu
oleh seorang guru atau beberapa orang ulama dan atau para ustadz yang hidup
bersama di tengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat
kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar
sebagai pusat kegiatan belajar, serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para
santri.125
Ditinjau dari aspek sejarah pengertian pesantren ialah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
tradisional, unik,dan indigenous. Pesantren mempunyai hubungan historis dengan
lembaga pra-islam yang sudah ada semenjak kekuatan Hindu-Budha, sehingga
tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk
penyesuaian dan perubahannya.126
Secara historiografi, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional,
pesantren tumbuh dan berkembang seiring dengan masuk dan menyebarnya ajaran
Islam di Nusantara. Seperti pesantren di pulau Jawa yang dirintis pertama kali oleh
salah seorang walisongo yang berasal dari Gujarat India yaitu Maulana Malik
Ibrahim.127 Pendirian lembaga ini disamping sebagai alternatif untuk
mempermudah proses transmisi pengetahuan Islam kepada masyarakat sekitar, juga
124
Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. Hlm. 762
125
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. Hlm. 6.
126
Nurcholis Madjid. 1997. Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina. Hlm. 10.
127
Suparlan Suryopratondo dkk, Kapita Selekta Pondok Pesantren-1, (Jakarta: Paryu
Barkah, 1976), hlm. 5.
70
128
Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 70.
129
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 48.
130
Suparlan Suryopratondo dkk, Kapita, hlm. 10.
131
Deliar Noer, Administrasi, hlm. 48
132
Mujamil Qomar. 2002. Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi
Institusi, Jakarta: Erlangga. hlm. 90-91. Lihat Karel Steenbrink, Pesantren, hlm. 142-143.
Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa metode pembelajaran sorogan (metode pengajaran
individual. Melalui metode yang menerapkan kedisiplinan tinggi ini, kiai dapat memantau
perkembangan intelektual santri secara utuh. Dengan memberikan bimbingan kejiwaan, kiai dapat
memberikan tekanan pengajaran kepada santri tertentu melalui observasi langsung terhadap
71
kemampuan dasar dan kapasistas santri). Metode wetonan/bandongan (metode pengajaran bagi
santri tingkat menengah, diselenggarakan dengan berorientasi pada pemompaan materi tanpa
melalui kontrol tujuan yang tegas. Metode pembelajaran yang berpusat pada kiai/guru ini dilakukan
dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam
bahasa Arab. Santri yang mengikuti dan mendengarkan, memperhatikan bukunya sendiri disertai
pencatatan (arti/keterangan) mengenai kata-kata atau pemikiran yang sukar. Metode ini lebih
menempatkan santri pada posisi pasif, tidak terdapat ruang yang memberikan kesempatan pada santri
untuk mengkritisi suatu pendapat sebagai bentuk latihan mengekspresikan daya kreativitas).
133
Karel Steenbrink. 1974. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES. hlm. 17.
134
Lihat pula Zamakhsyari Dhofier. 1984. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES. Hlm. 44, dan Ahmad Tafsir. 2011. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Hlm. 191.
135
Kafrawi. 1976. Kapita Selekta Pondok Pesantren. Jakarta: Paryu Barkah. Hlm. 184-185.
136
Departemen Agama RI. 2004. Profil Pondok Pesantren. Jakarta:Dirjen Binbaga Islam
Depag RI. Hal. 15-16. Tipologi pesantren berdasarkan ilmu pengetahuan yang diajarkan lebih
spesifik lagi sebagaimana yang dikemukakan oleh Bactiar bahwa: a. Pesantren salafi, yakni
pesantren yang mengajarkan kitab-kitab islam klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk
mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan; b. pesantran khalafi, yakni
pesantren yang selain memberikan pengajaran kitab islam klasik, juga membuka sistem sekolah
umum di lingkungan dan berada dibawah tanggungjawab pesantren, lihat Wardi Bachtiar.1990.
Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat. Bandung: Balai Penelitian IAIN SGD.
Hlm. 22.
72
Pesantren
1 Pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan
Salafiyah tradisional secara individual maupun kelompok, dengan konsentrasi
pembelajaran kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
137
Kafrawi. 1976. Kapita Selekta Pondok Pesantren. Jakarta: Paryu Barkah. Hlm. 186-187.
74
138
Hasil Lokakarya Pembinaan Pondok Pesantren MUI. Kapita Selekta Pondok Pesantren.
Jakarta: Paryu Barkah. Hal.198.
139
Abdul Kodir. 2008. Manusia dan Pendidikan Perspektif al-Qur’an. Bandung: Institute
for Religious and Institusional Studies. Hlm. 137.
75
140
Mahfud MD. 2012. Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-Nilai
Pancasila. Yogyakarta: PSP UGM. Hlm. 156.
141
Ahmad Tafsir. 2004. Ilmu Pendidikan dan Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda
Karya. Hlm. 93
76
142
Menurut Likona. karakter mengandung tiga aspek yaitu: moral knowing, moral
feeling, and moral behavior. Lihat Thomas Lickona. 1991. Educating for Character: How Our
School Can Teach Respect and Responsibility. Canada: Bantam books. Hal. 51.
143
Kartini Kartono dan Dali Gulo. 1987. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya. Hlm.
285.
77
modelling) yaitu keteladanan yang datang dari dalam diri. Keteladanan ini
dapat dilakukan oleh individu sendiri melalui pemberian contoh dalam
proses pembelajaran; dan kedua, keteladanan eksternal (external
modelling) yaitu keteladanan yang datang dari luar diri. Keteladanan ini
dilakukan dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari para tokoh
yang dapat diteladani, baik tokoh lokal maupun tokoh internasional.144
b. Kebiasaan/moral habituation. Kegiatan-kegiatan habituasi (pembiasaan)
menjadi aspek penting bagi pembentukan karakter. Secara terminologi,
habituasi adalah sebuah proses pembiasaan pada/atau dengan “sesuatu”
supaya menjadi terbiasa atau terlatih melakukan “sesuatu” yang bersifat
instrisik pada lingkungan kerjanya.145 Yang dijabarkan dalam tiga sub
komponen antara lain: (a) Competence (kompetensi), (b)
Will (keinginan) dan (c) Habit (kebiasaan)
c. Daya perasaan/moral feeling. Merupakan tahapan tingkat lanjut pada
komponen karakter yang dijabarkan dalam 6 sub komponen, antara
lain: (a) Conscience(nuranI), (b) Self-esteem (harga diri), (c)
Empathy (empati), (d) Loving the good (cinta kebaikan), (e) Self-
control (kontrol diri) dan(f) Humility (rendah hati)
d. Pengetahuan/moral knowing
Moral knowing (pengetahuan moral) berhubungan dengan bagaimana
seorang individu mengetahui sesuatu nilai yang abstrak yang dijabarkan
dalam 6 sub komponen, antara lain: (a) moral awareness (kesadaran
moral), (b) knowing moral values (pengetahuan nilai moral), (c)
perspective-taking (memahami sudut pandang lain), (d) moral
reasoning(penalaran moral), (e) decision-making (membuat keputusan),
(f) self-knowledge (pengetahuan diri)
e. Perilaku/moral action
144
Dian Andayani dan Abdul Majid. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.
Bandung: Rosda Karya. Hal. 23.
145
Muchlas Samani, Hariyanto. 2011. Pendidikan Karakter: Konsep dan Model. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 239.
78
3. Karakteristik Pesantren
Karakteristik pesantren yang sampai dengan saat ini masih melekat menurut
Soebahar memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan lembaga pendidikan
146
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat Membangun Bangsa.
Jakarta: BP Migas. Hal. 113.
147
Thomas Lickona. 1992. Educating for Character: How Our Schools Camn Teach Respect and
Responsibility. Canada: Bantam Books. Hlm. 53.
148
Abdullah Naṣih Ulwan. 2007. Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Hlm. 142.
79
yang lainnya. Keunikan pesantren tersebut dapat ditinjau dari dua aspek yakni pola
kehidupan di pesantren dan pola adopsi sistem pendidikan pesantren.149
a. Pola hidup di pesantren. Pola kehidupan di pesantren terdiri dari:150
1) Eksistensinya sebagai lembaga kehidupan yang berbeda dengan
pola kehidupan umum. Mencakup rutinitas keseharian di
pesantren.
2) Sarana prasarana yang menunjang kehidupan di pesantren.
3) Tata nilai yang berlaku di pesantren sebagai daya tarik pesantren
bagi dunia luar. Unsur utama dalam penciptaan tata nilai terdiri dari
peniruan dan pengekangan. Peniruan dimaksud adalah proses
pengimitasian pola kehidupan Rasulullah SAW, para shahabat dan
ulama-ulama salaf ke dalam pola hidup pesantren dan
mempraktikkannya secara berkesinambungan dan kesadaran penuh
dalam rutinitas harian pesantren. Pengekangan dimaksud adalah
hukum yang ditegakkan di lingkungan tersebut berbentuk
kedisiplinan, kepatuhan pada kyai, kesetiaan pada pesantren dalam
bentuk ketaatan menjalankan pola hidup yang ditetapkan
pesantren, punishment bagi yang melanggar aturan. seperti
pemulangan santri ke rumahnya. Tata nilai ini didukung oleh
kepribadian yang kuat dari pengasuh pesantren
4) Transformasi nilai yang dihasilkan dari interaksi saling
mempengaruhi dengan masyarakat di luar pesantren.
Karakteristik pesantren yang sampai dengan saat ini melekat dalam pola
kehidupan warganya meliputi; kyai sebagai pemimpin pesantren, santri,
pondok, pengajaran teks-teks keagamaan Islam klasik, dan masjid.151
b. Pola adopsi sistem pendidikan pesantren. Proses adopsi adalah the mental
process through which an individual passes from first hearing about an
149
Abdul Halim Soebahar. 2013. Modernisasi Pesantren. Yogyakarta: LkiS. Hlm. 33
150
Abdurrahman Wahid. 2001. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LkiS. Hlm. 3.
151
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai
dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hal. 44-55.
80
152
Everett Rogers. 2003. Diffusion of Innovations. 5th Edition. Simon and Schuster. Hlm.
20.
81
yang digunakannya telah terjadi sejak awal abad 19.153 Hal ini dilakukan untuk
mengimbangi perkembangan dunia pendidikan formal, sehingga sistem pendidikan
yang adaptif menjadi pilihan bagi pesantren untuk tetap survive sebagai lembaga
pendidikan keagamaan yang menanamkan pendidikan untuk pemurnian jiwa dan
penguatan intelektual.
Hingga saat ini, sistem pendidikan pesantren yang adaptif dikenal dengan
sebutan pesantren khalaf dan pesantren yang tetap dengan sistem pendidikan
tradisionalnya dikenal dengan pesantren salaf. Dikemukakan Zamakhsyari bahwa
ditinjau dari tingkat konsistensi pesantren dalam menyelenggarakan sistem
pendidikan didalamnya, jenis pesantren terbagi kedalam dua kelompok besar yakni
pesantren dengan sistem pendidikan konservatif dan pesantren dengan
keterpengaruhan oleh sistem modern. Pertama, pesantren salafi adalah pesantren
konservatif yang tetap mempertahankan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren; Dan kedua pesantren khalaf yakni pesantren dengan sistem
pendidikan beradaptasi dengan sistem pendidikan modern. Hal ini ditandai dengan
perubahan sistem pendidikan yang membuka sistem pendidikan sekolah umum
maupun madrasah yang mengintegrasikan pendidikan pesantren dengan pendidikan
umum.154
Salah satu jenis sistem pendidikan pesantren yang masih umum berlaku
hingga saat ini hampir dikeseluruhan pesantren salaf adalah sistem bimbingan
individual atau yang dikenal dengan istilah sistem ijazah lisan. Ijazah lisan
diberikan kyai pada santrinya sebagai bukti bahwa santri tersebut telah menguasai
penuh pengetahuan yang terdapat dalam teks-teks keagamaan yang dipelajari dan
layak mengajarkannya, merupakan kekhasan dari sistem pendidikan dan pengajaran
di pesantren.
Teks-teks keagamaan yang dipelajari di lingkungan pesantren fokus pada
kajian seputar ilmu tafsir, ilmu fikih, ilmu hadits, tauhid, akhlak, ilmu ushuluddin,
153
Mujamil Qomar. 2002. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.Hlm.78.
154
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai
dan visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
82
155
Ridlwan Nasir. 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal. 310-311.
156
Abdurrahman Wahid. 1999. ‘Pondok Pesantren Masa Depan’ dalam Said Aqiel Siraj
et.al., Pesantren Masa depan: wacana pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung:
Pustaka Hidayah. Hal. 16-17.
157
Setyosari, P. 2001. Rancangan Pembelajaran Teori dan Praktek. Malang: Elang Mas.
158
Deviana Ika Maharani, M. Huda A.Y, Imron Arifin. 2016. Manajemen Pembelajaran
Pondok Pesantren. Manajemen dan Supervisi Pendidikan. Volume 1. No.1. Hlm. 18-1.
83
sesuai kebijakan yang ada. Sementara itu, penilaian hasil belajar santri oleh
pemerintah dilakukan melalui ujian akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar
nasional. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan
Nasional Pasal 22 Ayat (2) menjelaskan bahwa teknik penilaian hasil pembelajaran
nasional adalah dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan
perseorangan atau kelompok.
159
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Panduan Penilaian oleh Pendidik
dan Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas.
84