Anda di halaman 1dari 6

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala


dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita,
serta dengan menjauhi segala larangan-Nya. Dan marilah kita senantiasa
mengingat bahwa dunia yang kita tempati ini bukanlah tempat tinggal
selamanya. Bahkan sebenarnya kita sedang dalam suatu perjalanan
menuju tempat tinggal yang sesungguhnya di alam akhirat nanti. Telah
banyak orang yang dulunya bersama kita atau bahkan dahulu tinggal
satu rumah dengan kita, telah melewati dan meninggalkan dunia ini.
Mereka telah meninggalkan tempat beramal di dunia ini menuju tempat
perhitungan dan pembalasan amalan. Akan segera datang pula saatnya
kita menyusul mereka. Maka, marilah kita manfaatkan dunia ini sebagai
tempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat kita. Sungguh seseorang
akan menyesal ketika pada hari perhitungan amal nanti dia datang dalam
keadaan tidak membawa amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

“Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi
mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku
dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini’.” (Al-
Fajr: 23-24)

Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa


Ta'ala,
Di dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita akan menjumpai hari-hari
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan keutamaan di dalamnya. Yaitu
dengan dilipatgandakannya balasan amalan dengan pahala yang berlipat,
tidak seperti hari-hari biasanya. Di antara hari-hari tersebut adalah
sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana tersebut
di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh
Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah
jihad di jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata: “Tidaklah jihad lebih utama (dari beramal di hari-
hari tersebut), kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan
hartanya, kemudian tidak kembali dengan keduanya (karena mati
syahid).” (HR. Al-Bukhari)

Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa


dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Pada sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan untuk banyak
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik itu berupa ucapan
takbir, tahmid, maupun tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang
telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)
Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat
tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan
ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya
rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan bagi orang
yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk mendapatkan
keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari
pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum muslimin
memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah,
seperti berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah
yang disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari
yang kesepuluh– adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah,
yaitu hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum
muslimin untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah,
kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab:

“Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang
telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)
Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat
tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan
ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya
rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan bagi orang
yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk mendapatkan
keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari
pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum muslimin
memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah,
seperti berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah
yang disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari
yang kesepuluh– adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah,
yaitu hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum
muslimin untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah,
kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab:
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka,
lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Pada bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa yang dikenal
dengan istilah hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut, di saat
kaum muslimin merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta
memulai ibadah penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji
menyempurnakan amalan hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang
setelahnya, yang dikenal dengan istilah hari tasyriq, yaitu hari yang
kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengkhususkan hari-hari tersebut sebagai hari-hari untuk makan,
minum, dan berdzikir. Dan hari-hari itulah yang menurut keterangan
para ulama adalah hari yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang


berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang hari-
hari tersebut:

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang


berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang hari-
hari tersebut:

“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari


kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari Muslim)

Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang penuh
dengan keutamaan untuk menambah dan meningkatkan amal shalih kita.
Begitu pula kita manfaatkan waktu yang ada untuk memperbanyak
dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita akan menjadi
orang yang mendapatkan kelapangan hati, senantiasa takut kepada-Nya
dan terjaga dari gangguan setan, serta faedah lainnya dari amalan
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Khutbah Kedua

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,


Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan selalu menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Di antara
bentuk ketaatan yang sangat besar keutamaannya dan sangat penting
untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
menyembelih binatang qurban. Amalan ini merupakan sunnah Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka seorang muslim yang memiliki kemampuan semestinya
menjalankan amal ibadah yang mulia ini, yaitu menyembelih hewan
qurban, baik dia lakukan sendiri dan ini lebih afdhal, atau meminta
orang lain yang mengetahui hukum dan cara penyembelihan yang syar’i
untuk melakukan penyembelihannya.
Namun tidak boleh baginya untuk membayar upah penyembelihannya
dengan sebagian dari hewan qurbannya, baik itu kepalanya, kulitnya,
atau yang semisalnya. Meskipun boleh baginya untuk memberinya
sebagai sedekah sebagaimana diberikan kepada yang lainnya dari
kalangan fakir miskin. Atau bisa pula dia memberikan sebagian dari
hewan qurbannya sebagai hadiah, sebagaimana dia berikan pula kepada
yang lainnya baik tetangga ataupun kerabatnya meskipun mereka orang
yang kaya. Dan disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk memakan
hewan sembelihannya, namun tidak boleh baginya untuk menjual bagian
apapun dari hewan sembelihannya. Begitu pula tidak boleh bagi orang
yang berqurban untuk memotong rambut dan kukunya dari mulai
masuknya awal bulan Dzulhijjah sampai dia melakukan ibadah
penyembelihan hewan qurban. Yang demikian tadi disebutkan dalam
hadits-hadits yang shahih.
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa
dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Disebutkan pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
untuk melaksanakan ibadah qurban ini, tujuh orang atau kurang bisa
bergabung secara bersama-sama dengan menyembelih seekor onta atau
sapi. Begitu pula bisa dengan menyembelih seekor kambing, namun itu
hanya mencukupi untuk satu orang. Namun dengan menyembelih satu
ekor kambing sudah mencukupi untuk diri dan keluarganya, baik yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara dia
niatkan pahalanya untuk dirinya dan seluruh keluarganya baik yang
hidup maupun yang telah meninggal dunia1. Maka semua akan
mendapat keutamaan dan pahala yang sangat besar. Wallahu a’lam bish-
shawab.
Hadirinrahimakumullah,
Ibadah menyembelih qurban ini harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang telah disyariatkan. Baik yang berkaitan dengan waktu
penyembelihan maupun yang berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat
hewan yang bisa dijadikan sebagai hewan qurban. Adapun yang
berkaitan dengan waktu penyembelihan, waktunya adalah dimulai dari
setelah selesai shalat Idul Adha dan berakhir waktunya menurut
pendapat yang benar hingga tenggelamnya matahari pada hari ketiga
belas di bulan Dzulhijjah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah
(lagi) kambing untuk menggantikan kambing (yang disembelih sebelum
saatnya) tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
Adapun berkaitan dengan syarat hewan yang akan dijadikan sebagai
hewan qurban, hewan tersebut harus sudah mencapai umur yang telah
ditentukan. Juga sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, hewan itu bukanlah hewan yang buta satu matanya
dan sangat jelas butanya, serta bukan pula hewan yang terkena sakit dan
sangat jelas sakitnya. Bukan pula hewan yang pincang sehingga tidak
bisa berjalan mengikuti lainnya, serta bukan hewan yang sudah sangat
tua sehingga tidak pantas untuk dikonsumsi dagingnya. Oleh karena itu,
wajib bagi kaum muslimin untuk belajar dan bertanya kepada ahlinya
tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah qurban ini.
Hadirin rahimakumullah,
Semestinya seseorang yang berqurban berusaha untuk mencari sebaik-
baik hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban. Hewan yang
tinggi nilai/harganya, seperti yang banyak dagingnya, bagus warnanya,
dan kuat/sehat tubuhnya, atau yang semisalnya. Karena, yang demikian
termasuk bentuk pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang menunjukkan besarnya ketakwaan dirinya. Hal ini
sebagaimana tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka


sesungguhnya itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa
memberikan kepada kita petunjuk-Nya sehingga kita bisa menjalankan
ibadah sebagaimana yang disyariatkan-Nya. Dan mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kita menjadi orang yang sia-sia
amalannya, karena beribadah dengan tidak ikhlas atau tidak sesuai
dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-
Khulafa` Ar-Rasyidin. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-


orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-
104)

Anda mungkin juga menyukai