Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN PEMBANGUNAN MORAL BANGSA

Disusun oleh :
Firda Amaliyah (2104090019)
Ariyuke Rambu Podu (210409003)
Ananda Rambu Edda (2104090014)
Oktavianus Bani Lalo (2104090017)

Dosen pengampu : Eny Wahyu Suryanti, S.PdI., M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA MALANG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN
PEMBANGUNAN MORAL BANGSA" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Budi Pekerti. Selain itu, makalah ini
menjelaskan mengenai kondisi mental dan moral bangsa khususnya bangsa Indonesia tercinta
ini. Uraian dalam bab pembahasan akan menjelaskan hal-hal mengenai krisis mental dan moral
bangsa, peran moral dan budi pekerti, serta etik pendidikan dalam pembangunan bangsa, serta
membentuk budi pekerti dan membangun karakter melalui pendidikan.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini, semoga dengan kata pengantar yang
singkat ini pembaca lebih tertarik lagi untuk membaca makalah “Pendidikan Budi Pekerti Dan
Pembangunan Moral Bangsa” secara keseluruhan dan bisa mengambil manfaatnya.

Malang, 20 september 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2
BAB I ........................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang............................................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 4
BAB II ....................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 5
A. Pendidikan Budi Pekerti .......................................................................................................... 5
B. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti .............................................................................................. 5
C. Bagimana Krisis Mentalitas dan Moralitas Bangsa ................................................................. 6
D. Peran Pendidikan Budi Pekerti dalam Pembangunan Moral Bangsa ..................................... 8
E. Pembangunan Budi Pekerti dan Pembangunan Karakter Melalui Pendidikan ..................... 14
BAB II ..................................................................................................................................................... 16
PENUTUP ............................................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyimpangan dimasyarakat dilakukan karena mereka tidak menghiraukan nilai dan
norma yang ada dimasyarakat. Penyimpangan yang dilakukan itulah yang menjadi
penyebab menurunnya moral dan mental bangsa ini. Dengan kondisi yang sedemikian
buruknya itulah sehingga penulis tertarik untuk menuliskan makalah yang bertemakan
pembangunan moral bangsa. Masalah politik yang korup adalah kondisi yang sangat
memprihatinkan negara di dunia pada umumnya dan di indonesia khususnya.
Pemerintah banyak yang menggunakan wewenangnya sebagai pemimpin rakyatbanyak
telah beralih fungsi sebaga alat mengeruk harta rakyat yang semakin menyiksa rakyat.
Kondisi ekonomi dunia kini semakin parah sehingga menimbulkan ketidakstabilan
kehidupan rakyat khususnya bagi rakyat yang hanya bisa mencukupi kebutuhannya hari
demi hari. Rakyat miskin dan rakyat kaya tak lagi mau saling mengenal pemuda tidak
lagi memiliki budi pekerti dalam berperilaku dan sikap individualitas semakin marak
dimasyarakat. Hal inilah yang menjadi celah perpecahan sebuah bangsa. Beberapa hal
yang telah disebutkan diatas adalah hal yang menjadi latar belakang dibuatnya makalah
"PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN PEMBANGUNAN MORAL BANGSA" agar
kehidupan berbangsa dan bernegara semakin harmonis dan sejahtera dengan
menanamkan pendidikan budi pekerti kepada warga negara khususnya anak didik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Pendidikan budi pekerti ?
2. Apa tujuan Pendidikan budi pekerti ?
3. Bagaimana krisis mentalitas dan moralitas bangsa ?
4. Peran budi pekerti dalam pembangunan moral bangsa
5. Pembentukan budi pekerti dan membangun karakter melalui Pendidikan ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Budi Pekerti


Dalam UU No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah
suatu proses sadar dan terencana yang bertujuan untuk menciptakan suasana belajar dan
prosess pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak
mulia serta keterampilan yang berguna bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedangkan budi pekerti secara etimologi terdiri dari dua unsur kata,yaitu budi dan pekerti.
Budi dalam bahasa (Sansekerta) berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan
kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku.
Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam
berprilaku.
Jadi pendidikan budi pekerti adalah proses sadar dan terencana dalam pembelajaran agar
seseorang atau peserta didik mampu berperilaku sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang
ada di masyarakat, mampu mengidentifikasi perilaku positif, yang diharapkan dapat
terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta
didik yang baik.
menurut Haidar (2004) pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan dalam
rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan
prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah)
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama
manusia maupun dengan alam/lingkungan.

B. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti


Tujuan pendidikan budi pekerti yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan dan
kecakapan berpikir, menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat dan memiliki
kemampuan yang terpuji. Dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional, pendidikan
budi pekerti yang diintegrasikan sejumlah mata pelajaran yang relevan mempunyai tujuan
agar peserta didik mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi
nilai dan keterampilan sosial untuk mengembangkan akhlak mulia yang diwujudkan dalam
perilaku sehari-hari.
Secara rinci tujuan Pendidikan budi pekerti menurut Cahyoto (2002 : 9-13 ) dapat
dijelaskan sebagai berikut : (1) mendorong kebiasaan berperilaku terpuji sesuai nilai-nilai
unversal dan tradisi budaya yang religius; (2) menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab; (3) memupuk ketegaran mental peserta didik agar tidak terjerumus pada
perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun sosial, dan (4) meningkatkan
kemampuan untuk menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain,
dan lingkungan.

C. Bagimana Krisis Mentalitas dan Moralitas Bangsa


Menurut Azyumardi Azra (2000) merebaknya tuntutan dan gagasan mengenai pentingnya
pendidikan budi pekerti dilingkungan sekolah, harus diakui berkaitan erat dengan semakin
berkembangnya pandangan dalam masyarakat bahwa pendidikan nasional dalam berbagai
jenjang, khususnya jenjang menengah dan tinggi, telah gagal dalam membentuk peserta
didik yang memiliki akhlak moral, dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak
peserta didik dinilai tidak memiliki kesantunan di sekolah dan di lingkungan masyarakat
dan sering terlibat dalam aksi tawuran masal antar pelajar dan sebagainya. Krisis yang
dihadapi bangsa tidak hanya menyangkut kinerja sekolah atau dunia pendidikan dalam hal
kualitas akademis lulusannya, tetapi juga dalam mentalitas moral, dan karakter. Dalam
pembahasan mengenai masalah krisis mentalitas dan moralitas peserta didik, terdapat
beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar permasalahan krisis mentalitas dan
moralitas dilingkungan pendidikan nasional.
Menurut Azyumardi Azra terdapat tujuh permasalahan yang harus ditangani antara lain
1. Arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya
Sekolah dan lingungannya tidak lagi menjadi tempat anak untuk melatih diri untuk berbuat
sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan budi pekerti, dimana mereka mendapat koreksi
tentang sikap, perilaku dan tindakannya; slah atau benar, baik atau buruk. Dengan kata lain
tidak ada kepedulian terhadap nilai dan moral yang dipraktikkan peserta didik, yaitu
keengganan guru untuk menegur siswanya jika siswanya melakukan perbuatan tidak
bermoral.
2. Proses pendewasaan diri tidak berjalan dengan baik di lingkungan sekolah
Lembaga pendidikan umumnya cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat
bersosialisasi dan pembudayaan peserta didik. Selain berfungsi pokok untuk mengisi
kognisi, afeks dan psikomotorik peserta didik, sekolah juga harus bertugas untuk
mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespon dan memecahkan masalah
dirinya dan orang lain. Dengan demikian terjadi proses pendewasaan peserta didik secara
bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bertanggung jawab.
Pemecahan maslah secara tidak bertanggung jawab akan mengakibatkan tawuran, anarkis,
dan kekerasan lainnya adalah indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui
sekolah.
3. Proses pendidikan disekolah membelenggu guru dan peserta didiknya
Dalam proses belajar mengajar disekolah cenderung ketat, serta beban kurikulum yang
sangat berat. Akibatnya tidak ada sisa waktu bagi peserta didik untuk mengembangkan
imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan psikomotoriknya.
4. Beban kurikulum yang berat
Pengembangan kecerdasan hanya mengarah pada ranah kognitif saja, sedangkan ranah
afeksi dan psikomotor hampir tidak mendapatkan perhatian untuk pengembangan sebaik-
baiknya. Padahal kedua ranah tersebut sangat berperan penting dalam pembentukan
akhlak, moral, dan budi pekerti atau karakter yang baik.
5. Mata pelajaran agama hanya untuk diketahui dan hafalkan tetapi tidak diinternalisasikan
Meskipun ada mata pelajaran yang bisa menumbuhkan rasa afeksi seperti mata pelajaran
agama, tetapi umumya disampaikan dalam bentuk verbalisme, dan disertai dengan sistem
hafalan. Akibatnya mata pelajaran agama cenderung hanya sekedar untuk diketahui dan
dihafalkan oleh pesrta didik tanpa ada internalisasi dan praktikkan. Sehingga nilai-nilai
baik dalam mata pelajaran agama menjadi terpisahkan dari diri setiap peserta didik
6. Peserta didik tidak memiliki contoh teladan yang baik (uswatun hasanah)
Di lingkungan sekolah, guru adalah teladan yang baik yang bisa peserta didik contoh,
tetapi kemudian mereka sulit menemukan keteladanan di lingkungan luar sekolah.
Sehingga semua pihak harus bisa mendidik anak didiknya baik disekolah, dirumah, dan
masyarakat luas agar anak didik menjadi generasi penerus bangsa yang bermoral dan
berkarakter baik.
D. Peran Pendidikan Budi Pekerti dalam Pembangunan Moral Bangsa
Beberapa tahun terakhir ini sering kita lihat dan alami terjadinya tawuran antar sekolah, konflik
antar sekolah, kenakalan remaja yang berlebihan, siswa-siswi yang dianggaap tidak sopan,
tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya, dan juga banyak siswa sekolah yang menjadi
korban narkoba. Banyak siswa-siswi sekolah menengah yang merasa bangga bila ikut
mengacau dan melanggar aturan lalu lintas. saling membenci kelompok lain, cukup banyak.
Dan di banyak kota besar, bahkan juga sudah sampai di banyak desa, siswa-siswi terlibat pada
narkoba dan menjadi malas untuk belajar. Mengapa mereka sampai seperti itu? Siapa yang
bertanggung jawab? Siapa yang bersalah?

Cukup jelas bahwa peristiwa di atas bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, karena
kebanyakan waktu siswa adalah di luar sekolah, di dalam keluarga dan masyarakatnya. Namun
sekolah tidak dapat lepas tangan, karena itu kiranya juga menjadi tanda bahwa sekolah formal
kira kurang dapat membantu siswa tersebut untuk lebih bersikap manusiawi dan lebih
menghargai orang lain meskipun berbeda pandangan, gagasan, dan keyakinan. Sekolah
nampaknya kurang dapat membantu siswa untuk lebih berkembang sebagai manusia yang lebih
utuh, bukan hanya pandai dalam hal pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga menjadi
manusia yang bertanggung jawab, dan mempunyai nilai kesopanan, yang memperlakukan
orang lain secara manusiawi.

Para pendidik dan pengelola sekolah sekarang ini tahu bahwa cukup lama sekolah formal hanya
menekankan soal perkembangan pengetahuan (kognitif) melalui kosep “learning to know” dan
lebih sempit hanya menekankan dan mengejar NEM (Nilai Ebtanas Murni). Cukup lama
sekolah bangga bila siswa mereka lulus dengan NEM tinggi. Orang tua juga senang bila anak
mereka ber-NEM tinggi dan merasa sedih bila NEM mereka rendah. Sampai beberapa orang
tidak berani menceritakan NEM akanya yang rendah kepada teman-temannya karena malu;
sedangkan bila NEM anak mereka tinggi mereka membanggakan kepada teman-teman mereka.
Maka mati-matian sekolah dan orang tua memaksakan banyak les pengetahuan agar anak ber-
NEM tinggi. Akibatnya nilai kemanusiaan yang lain kurang mendapatkan tempat dalam
pendidikan formal. Pendidikan sosialitas, religiositas, rasa keadilan, humaniora kurang
mendapatkan tempat. Bila ada, hanya ditekankan kepada aspek pengetahuan dan kurang
sampai pada praktek dan pengalaman. Bahkan beberapa sekolah tidak menjamah pendidikan
kemanusiaan itu. Tidak mustahil bila banyak anak muda meski sangat pandai dalam bidang
ilmu pengetahuan, mereka tidak berbudi luhur dan berbuat hal-hal yang merugikan banyak
orang lain.
Menurut undang-undang pendidikan sebenarnya sudah dicantumkan bahwa pendidikan
nasional kita ini bertujuan untuk membantu generasi muda agar berkembang menjadi manusia
yang utuh, yang berpengetahuan tinggi, bermoral, beriman, berbudi luhur, bersosialitas, dan
lain-lain. Dengan kata lain menurut undang-undang pendidikan, pendidikan sekolah kita ini
ingin membentu generasi muda untuk berkembang menjadi manusia yang lebih utuh dengan
segala aspek kemanusiaannya,. Namun nyatanya cukup lama segi non pengetahuan itu kurang
mendapatkan perhatian sehingga yang dihasilkan adalah siswa yang sungguh pandai dalam hal
pengetahuan tetapi tidak bermoral atau tidak seimbang dalam segi kehidupan yang lain. Secara
ekstrem malah dapat terjadi bahwa dengan pengetahuannya yang begitu tinggi dimanfaatkan
untuk berbuat hal-hal yang tidak baik.

Dengan kesadaran akan keadaan dan hasil pendidikan yang kurang utuh itu, banyak pendidik
dalam dua tahun terakhir memikirkan adanya pendidikan budi pekerti untuk membantu
pemenuhan segi yang kurang dari pendidikan sampai sekarang ini. Banyak orang berpikir
bahwa pendidikan budi pekerti dapat menjadi alternatif membantu siswa berkembang dalam
segi kemanusiaan. Dalam kurikulum terbaru yang sudah dicobakan dalam beberapa sekolah,
pendidikan budi pekerti ditekankan untuk diberikan.

Dari keinginan dan dambaan orang tua dan para pendidik pada umumnya manusia seperti apa
yang mereka inginkan terjadi dalam diri anak didik. Yang jelas mereka menginginkan bahwa
anak didik menjadi manusia yang utuh, yang berkembang bukan hanya ilmu pengetahuan tetapi
juga sikap dan nilai kemanusiaan yang lain. Lebih jelasnya manusia macam apa yang
didambakan dengan pendidikan budi pekerti dijelaskan oleh Suparno (2002:13-18) sebagai
berikut:

1) Manusia sebagai makhluk yang berakal budi

Manusia dapat berpikir, dapat mempunyai kehendak bebas untuk memilih dan menentukan apa
yang akan dibuatnya dan ia dapat bertanggung jawab terhadap pilihannya. Semuanya karena
manusia mempunyai akal budi. Maka manusia sering disebut animal rationale, binatang yang
berakal budi. Binatang hidup dari naluri dan isntink tidak menggunakan akal budi, dan ikut
saja apa yang menggerakkan dirinya. Sedangkan manusia dapat mengatur tindakannya dengan
akal budinya. Meski manusia lapar, dia dapat menunda keinginan itu sampai di rumah. Meski
dia marah sekali, manusia dapat mengatur untuk tidak melampiaskan kemarahannya kepada
orang yang membuat marah. Meski manusia disakiti, dia dapat memilih untuk tidak membalas
menyakiti, bahkan dapat mengampuni yang menyakitinya. Hal ini disebabkan karena manusia
bertindak berdasarkan akal budinya bukan berdasarkan instink. Dengan akal budinya itu
manusia dapat memikirkan, memilih tindakan yang mau diambil, dan akhirnya bertanggung
jawab terhadap pilihan itu.

2) Manusia sebagai pribadi

Manusia sering juga dianggap sebagai pribadi, sebagai persona. Pribadi karena semua yang dia
buat dia sendirilah yang menentukan, dia sendirilah yang menginginkan. Sebagai pribadi secara
ekstrem, kebahagiaan manusia pertama-tama menjadi tanggung jawab dia sendiri, karena
dialah yang memilih dan menentukan tindakan yang baik dan tidak baik. Maka bila seseorang
celaka, tidak bahagia dalam hidup, pertama-tama karena dia sendiri yang bertanggung jawab.

Sebagai pribadim, manusia bernilai, berharga. Sebagai pribadi manusia mempunyai nilai
kemanusiaan yang tidak boleh diganggu atau disengsarakan. Oleh karena itu, manusia tidak
boleh dipaksa, direndahkan, diobjekkan, apalagi dihancurkan begitu saja. Manusia, bahkan
juga bila dia sangat miskin ataupun penjahat, tetap merupakan pribadi yang tidak boleh begitu
saja dihancurkan. Dalam pengertian ini maka setiap manusia mempunyai hak asasinya yang
tidak boleh dilanggar oleh orang lain, juga bila orang itu pimpinannya. Hak asasi, seperti hak
hidup, hak beragama, hak bertempat tinggal, perlu dilindungi, karena manusia tidak dapat
menentukan hidup orang lain. Bahwa orang itu dilahirkan di dunia dalam keluarga tertentu dan
di tanah tertentu dengan agama orang tuanya yang tertentu, jelas bukan pilihan anak itus
sendiri, tetapi harus sudah begitu. Maka hal itu perlu diulindungi demi kehidupan orang
tersebut. Paksaan apalagi penghancuran hal tadi jelas tidak dapat dibenarkan.

3) Manusia adalah makhluk sosial

Dalam kenyataan hidup, ternyata manusia yang berpribadi itu tidak dapat hidup sendirian.
Seorang anak yang baru lahir tidak dapat hidup begitu saja tanpa bantuan orang lain, seperti
orang tuanya. Seorang anak yang baru lahir bila dibiarkan di tengah hutan tanpa berelasi
dengan manusia lain tidak akan menjadi manusia. Bahkan ada pengalamanseorang anak yang
sejak kecil dipelihara oleh serigala di tengah hutan, akhirnya ia bertingkah sepeerti serigala.
Sebagai makhluk sosial inilah manusia akhirnya membangun persaudaraan atau persekutuan
dengan orang lain. Persaudaraan terkecil adalah keluarga yang berdasarkan darah kelahiran.
Persekutuan yang lebih luas terwujud dalam hidup bermasyarakat, berorganisasi karena tugas
dan tujuan yang sama, dan yang lebih besar membangun suatu negara yang dapat menjamin
hidup mereka masing-masing.

4) Manusia sebagai makhluk yang berbudaya

Berbudaya mempunyai berbagai makna. Kita berada dan hidup dalam budaya tertentu.
Misalnya, kita hidup dan berada dalam budaya Sunda. Kita lahir sebagai anak Sunda, dan
dibesarkan dalam lingkungan nilai Kepasundanan. Buidaya Sunda itu jelas mempengaruhi
hidup kita dan kita tidak dapat lepas begitu saja dengan nilai adat tersebut. Agar kita sungguh
dapat hidup dalam budaya itu, maka kita perlu masuk dalam budaya itu sungguh-sungguh.
Namun kita juga diharapkan ikut mengembangkan budaya tempat kita dilahirkan. Hal ini hanya
mungkin bila kita sadar akan budaya asal kita dan kritis terhadap budaya tersebut sehingga
dapat menilai mana yang kurang baik untuk dapat diubah dan dikembangkan. Dengan demikian
kita aktif mengembangkan dan memperbaiki budaya tempat kita lahir. Proses ini semua akan
semakin menjadikan kita berbudaya tinggi, yaitu dengan meneruskan nilai budaya yang sudah
baik dan mengubah nilai budaya yang sudah tidak baik lagi keran perkembangan zaman
ataupun situasi. Hal ini dimungkinkan karena kita mempunyai akal budi, kesadaran, dan juga
hati.

Kita menyadarai bahwa setiap orang dilahirkan dalam budaya tertentu dan dapat berbeda
dengan budaya orang lain yang dilahirkan di tempat lain. Maka dalam pergaulan dan
komunikasi, sering dapat muncul persoalan dan bahkan konflik (Karl Marx) karena perbedaan
budaya tersebut. Di sini perlu keterbukaan dan juga kepekaan terhadap nilai budaya yang
berbeda itu dan saling memperkaya.

Menurut Sedyawati (1999:5) budi pekerti sering diartikan sebagai moralitas yang mengandung
pengertian antara lain adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Sebagai perilaku, budi pekerti
meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku itu. Jadi budi pekerti dapat bermacam-
macam, tergantung situasinya. Sikap dan perilaku itu mengandung lima jangkauan sebagai
berikut:

(1) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan Tuhan;

(2) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan diri sendiri


(3) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan keluarga

(4) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan masyarakat dan bangsa;

(5) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam semesta.

Era Globalisasi

Menghadapi AFTA tahun 2003 yang ditandai dengan perdagangan bebas Asia maka wawasan
global bukan satu-satunya wawasan yang harus diperkenalkan sekolah dan dikuasai anak-anak
kita. Dalam kehidupan sekarang ini setiap bangsa dituntut untuk memiliki empat jenis
wawasan; lokal, nasional, regional dan global (Buchori, 1995:144).

Ada hal-hal tertentu yang hanya akan dapat diselesaikan secara nasional. Lalu ada hal-hal
tertentu yang hanya akan dapat diselesaikan secara nasional. Lalu ada hal-hal tertentu yang
hanya akan dapat diselesaikan dengan baik kalau kita hadapi secara regional bersama bangsa-
bangsa lain di kawasan bersama kita. Dan akhirnya ada masalah-masalah yang bersifata global
tadi, yang hanya dapat diselesaikan dengan baik apabila antara bangsa-bangsa di dunia ini
benar-benar terdapat kerjasama yang baik.

Sudahkah keempat jenis wawasan ini ditanamkan secara seimbang dalam diri anak didik kita?
Pada umumnya sekolah kita hanya memperhatikan dan memupuk wawasan nasional saja.
Pemupukan wawasan lokal tampaknya dipandang sebagai suatu soal yang terlampau kecil bagi
agenda pendidikan di sekolah kita. Sebaliknya pemupukan wawasan regional dan global
rupanya dipandang suatu pekerjaan yang tidak terjangkau bagi kebanyakan sekolah kita. Dalam
keadaan seperti ini yang terpuruk pada anak-anak kita adalah wawasan nasional yang tidak
dilapisi oleh wawasan lokal serta tidak dilengkapi pula oleh wawasan regional dan wawasan
global. Bagi kehidupan modern dalam era globalisasi ini keadaan semacam ini merupakan
kondisi kebangsaan yang kurang memadai dan kurang menguntungkan.

Apa yang harus dilakukan sekolah untuk membimbing anak didik memahami situasi yang
terdapat di dunia dewasa ini? Apa yang harus dilakukan sekolah untuk membekalai anak didik
dengan eempat jenis wawasan; lokal, nasional, regional dan global maka menurut Buchori
(1995: 146-153) ada tiga hal yang perlu dianalisis, antara lain:

1) Masalah pendekatan atau approach

Sepintas lalu, pekerjaan mengajar dan mendidik untuk menimbulkan keempat jenis wawasan
ini tampak sebagai suatu pekerjaan yang asing, baru dan sukar. Ada dua cara yang dapat kita
tempuh untuk membuat pekerjaan ini menjadi lebih sederhana. Pertama, pekerjaan
menimbulkan wawasan ini kita pandang sebagai kegiatan mengajar untuk mengenal,
menghargai dan mencintai lingkungan. Dan Kedua, keempat jenis wawasan yang akan kita
ajarkan tadi –lokal, nasional, regional dan global—kita letakkan secara konsentris.

2) Masalah susunan Substansi

Apakah yang mutlak harus diajarkan untuk mengenal serta memahami, menghargai serta
mencintai berbagai lingkungan tadi, sehingga pada akhirnya timbul keempat wawasan tersebut.

Pada prinsipnya yang perlu kita ajarkan ialah pengertian secara apresiasi terhadap rangkaian
pola-pola kehidupan yang berkembang di setiap jenis lingkungan. Agar anak didik kita benar-
benar mengenal, memahami, menghargai dan akhirnya mencintai suatu lingkungan, kepada
mereka perlu diajarkan sejarah interaksi yang terjadi antara masyarakat penghuni suatu
lingkungan dengan alam sekitar yang menjadi sumber kehidupan mereka dan sekaligus juga
membatasai pengetahuan mereka. Pengetahuan tentang rangkaian interaksi antara masyarakat
manusia dengan lingkungan alamnya ini memungkinkan para siswa memahami watak suatu
masyarakat; mengenali kekuatan serta kelemahannya, dan mengenali pula ciri-ciri khas yang
menjadi milik masyarakat tadi.

3) Masalah Metode.

Metode apakah yang paling sesuai untuk mengajarkan soal belajar mengajar. Kemudian yang
perlu kita perhatikan bahwa pengetahuan yang paling berarti terntang lingkungan harus
dipupuk selama suatu jangka waktu tertentu. Di samping itu pengetahuan yang berarti tentang
berbagai lingkungan harus digali dari berbagai sumber. Dan akhirnya, pengetahuan yang
berarti tentang berbagai lingkungan yang pada akhirnya harus dipupuk oleh para siswa sendiri.

Selain fokus pada siswa pola fikir pembelajaran perlu diubah dari sekedar memahi konsep dan
prinsip keilmuan, siswa juga harus memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan
menggunakan konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai. Seperti dinyatakan dalam
pilar-pilar pembelajaran dari USESCO, Selain terjadi ‘learning to know’ (pembelajaran untuk
tahu), juga harus terjadi ‘learning to do’ (pembelajaran untuk berbuat) dan bahkan dituntut
sampai pada ‘learning to be’ (pembelajaran untuk membangun jati diri yang kokoh) dan
‘learning to live together’ (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmoni).
E. Pembangunan Budi Pekerti dan Pembangunan Karakter Melalui Pendidikan
Berbagai usulan tentang perlunya budi pekerti dalam pembangunan karakter dan
pembentukan moralitas dan mentalitas bangsa, bukanlah sesuatu yang baru. Sebelum mata
pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran pada tahun 1947
yang ada hanyalah mata pelajaran budi pekerti yang bersumber pada nilai-nilai tradisional,
khususnya yang terdapat dalam cerita pewayangan. Kemudian, hasil perundingan antara
departemen Pendidikan dan kebudayaan dengan departemen agama pada tahun 1975
menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti diintegrasikan dalam mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan. Dalam kurikulum 1984, moral Pancasila diintegrasikan ke
dalam empat matapelajaran, yaitu PMP, Pendidikan Sejarah Perjuangan bangsa, P4, dan
Sejarah Nasional. Sejalan dengan hilangnya mata pelajaran budi pekerti dan kegagalan
mata pelajaran agama dalam merealisasikan nilai kebaikan mengakibatkan masalah akhlak
semakin mengalami degradasi moral di kalangan peserta didik. Hal penting dalam
menangani masalah tersebut maka ada kesimpulan dan rekomendasi penting diantaranya ;
1. Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab pihak sekolah, tetapi juga
tanggung jawab keluarga dan masyarakat luas. Jadi pendidikan budi pekerti yang ada
disekolah tidak akan ada artinya jika lingkungan keluarga dan masyarakat tidak ikut
bekerja sama dalam mendidik budi pekerti.
2. Pendidikan budi pekerti telah terkandung dalam pendidikan agama dan mata pelajaran
lainnya. Namun pendidikan budi pekerti tersebut tidak teraktualisasi jika mata pelajaran
tersebut hanya mendidik dalam ranah kognitif peserta didik dari pada ranah afeksi (budi
pekerti) peserta didiknya.
Dalam perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan krisis ekonomi dan politik indonesia
yang juga memicu peninjauan ulang terhadap pendidikan nasional, maka masalah budi
pekerti kembali menjadi wacana publik. Hasil keputusan Depdiknas dan Depag
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti bukan menjadi mata pelajaran tersendiri,
tetapi merupakan program pendidikan yang memerlukan perilaku, keteladanan,
pembiasaan, bimbingan, dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Dengan demikian
pendidikan budi pekerti diintegrasikan kesemua mata pelajaran dan program pendidikan
seperti mata pelajaran agama dan PPKn.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membentuk karakter anak bangsa adalah sebagai
berikut ini.
Pertama, menerpakan pendekatan modelling dan exemplary. Yaitu mencoba membiasakan
peserta didik dan lingkungan pendidkan agar selalu menjadi teladan atau model dalam
menegakkan nilai-nilai yang benar.
Kedua, menjelaskan dan mengklarifikasi secara terus-menerus mengenai berbagai nilai
yang baik atau buruk. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut;
1. Memberi ganjaran dan menumbuh suburkan nilai-nilai baik.
2. Secara terbuka dan kontinu mengaskan nilai-nilai yang baik dan yang buruk.
3. Melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang berbagai konsekuensi dan setiap
sikap dan tindakan.
4. Membiasakan bersikap dan bertindak dengan niat baik.
5. Mebiaskan berbuat baik secara konsisten dan terus menerus.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter. Hal ini dilakukan dengan cara
sebisa mungkin memasukkan pendekatan berdasarkan karakter ke dalam setiap mata
pelajaran yang ada. Kemudian melakukan reorientasi baru, baik dari segi isi dan
pendekatan terhadap mata pelajaran yang relevan dan berkaitan, seperti mata pelajaran
agama dan PPKn. Bahkan dalam rumusan Diknas, bisa pula mencakup mata pelajaran
bahasa indonesia, matematika, IPA, IPS, penjaskes, serta mata pelajaran lokal.
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, dengan memperkaya dimensi nilai, norma, dan moral
pada aktifitas pendidikan disekolah akan memberi pegangan hidup yang kokoh bagi anak-
anak dalam menghadapi perubahan zaman.
Kematangan secara moral akan menjadikan seorang anak mampu menentukan sikap
terhadap substansi nilai dan norma baru yang muncul akibat dari proses perubahan sosial
yang sangat cepat. Demikian juga dengan bekal pendidikan budi pekerti yang memadai,
akan memperkuat konstruksi moralitas peserta didik sehingga mereka tidak goyah dalam
menghadapi berbagai maacam pengaruh negatif di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat luas.
BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti adalah proses sadar dan terncana dalam
pembelajaran agar seseorang atau peserta didik mampu berperilaku sesuai dengan
norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakat, mampu mengidentifikasi perilaku positif
yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan,
dan kepribadian peserta didik yang baik dengan tujuan untuk mengembangkan nilai-
nilai, sikap dan perilaku peserta didik yang dapat mengaplikasikan ahlak yang mulia
atau budi pekerti yang luhur.
Krisis yang dihadapi bangsa tidak hanya menyangkut kinerja sekolah atau dunia
pendidikan dalam hal kualitas akademis lulusannya saja, tetapi juga dalam mentalitas,
moral, dan karakter.
Dalam upaya mengatasi krisis moralitas dan mentalitas tidak hanya dilakukan di
lingkungan sekolah saja. Harus ada kesatu paduan untuk mengatasi krisis moralitas dan
mentalitas ini dalam masyarakat yang lebih luas, dalam rumah tangga, dan lingkungan
lainnya.
Dengan memperkaya dimensi nilai, norma, dan moral pada aktivias pendidikan
disekolah akan memberi pegangan hidup yang kokoh bagi anak-anak dalam
menghadapi perubahan zaman.

B. SARAN
Saran dari penulis kepada pembaca agar bisa memahami isi makalah ini dengan sebaik
mungkin dan hendaknya bisa menerapkan perilaku yang berbudi pekerti luhur agar
tercipta masyarakat yang bermoral. Membaca sumber bacaan lain sangat diperlukan
dan jika pembaca akan membuat sebuah makalah, maka harus mencantumkan
sumbernya dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/327722872/MAKALAH-Etika-untuk-Pembangunan-
Moral-Bangsa

https://ruangguruku.com/pendidikan-budi-pekerti/

https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/LIK/article/download/487/444#:~:text=Budi
%20pekerti%20diwujudkan%20dalam%20bentuk,dan%20memiliki%20kemampuan
%20yang%20terpuji

http://www.geocities.ws/endang.komara/Peran_Pendidikan_Budi_Pekerti.htm

Anda mungkin juga menyukai