Anda di halaman 1dari 152

am

b
cover_keadaan memaksa_v4_arsip_dpn.pdf 1 12/15/10 5:42 PM

u
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
Penjelasan Hukum tentang KEADAAN MEMAKSA

ah

lik
am

ub
C

(Syarat-syarat pembatalan perjanjian yang


M
ep
k

Y
disebabkan keadaan memaksa/force majeure)
ah

CM
R

si
MY

CY

ne
ng

CMY

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

Rahmat S.S. Soemadipradja


es
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
PENJELASAN HUKUM
am

TENTANG KEADAAN
MEMAKSA ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 1 12/13/2010 11:40:17 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa

ne
ng
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010

do
gu

In
A
ah

lik
Penulis: Rahmat S.S. Soemadipradja Editor: Sebastian Pompe
Pengulas: Richardo Simanjuntak Gregory Churchill
Ahli Internasional: Prof. Dr. Jaap Hijma Mardjono Reksodiputro
am

ub
Pelaksana Penelitian: Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Binziad Kadafi
Otonomi Daerah Fritz Edward Siregar
Universitas Gadjah Mada
Harjo Winoto
Peneliti: Nurhasan Ismail
Fisella Mutiara A.L.Tobing
ep
Aminoto
k

Siti Ismijati Jenie


Antari Innaka Turingsih
ah

Andi Sandi Ant T.T.


Ari Hernawan
R

si
Irna Nurhayati
Veri Antoni
Saida Rosdiana S.H.

ne
ng

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fo-

do
tokopi, mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.
gu

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
In
A

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
ah

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
lik

ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
m

ub
ka

ep

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan
ah

es
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 2 12/13/2010 11:40:17 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu
DAFTAR ISI

In
A
ah

lik
Kata Pengantar ............................................................................................................... v
am

ub
Ringkasan Eksekutif ................................................................................................... 1
Dokumen Penjelas ....................................................................................................... 3
ep
k

Perspektif Internasional ......................................................................................... 23


ah

si
ANALISIS LITERATUR TERKAIT OVERMACHT . .......................................................... 31
31

ne
ng

A. Pengertian, Unsur, dan Ruang Lingkup Overmacht ..........................................


1. Era Pertama, Kurun Waktu 1950-1970: Kusumadi dan R. Subekti . ....... 32
2. Era Kedua, Kurun Waktu 1970−1990: Sri Soedewi Maschun Sofwan,

do
gu

Purwahid Patrik, Mariam Darus Badrulzaman, dan R.Setiawan............ 34


3. Era Ketiga, Kurun Waktu 1990−2009: Era Abdulkadir Muhammad,
In
J.Satrio, Hartono Hadisoeprapto, Djohar Santoso dan Ahmad Ali,
A

Munir Fuady, dan Agus Yudha Hernoko . ..................................................... 36


47
ah

lik

B. Akibat Overmacht ..........................................................................................................

ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT KEADAAN


m

ub

MEMAKSA (FORCE MAJEURE) ......................................................................................... 71


A. Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak terkait
ka

Keadaan Memaksa ....................................................................................................... 71


ep

B. Pengertian Keadaan Memaksa (Force Majeure) . ................................................ 72


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa iii


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 3 12/13/2010 11:40:17 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
C. Unsur-Unsur Force Majeure . ...................................................................................... 77

si
D. Ruang Lingkup (Peristiwa Penyebab) Force Majeure . ...................................... 77
E. Jenis-Jenis Force Majeure ............................................................................................. 89

ne
ng
F. Akibat Force Majeure ..................................................................................................... 90
G. Perkembangan Pengaturan Force Majeure dalam Peraturan Perundang-

do
gu
undangan ......................................................................................................................... 94
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN

In
99
A
TERKAIT KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) ................................................
A. Dasar Hukum Force Majeure ....................................................................................... 99
ah

101

lik
B. Uraian Yurisprudensi . ...................................................................................................
C. Bagan Yurisprudensi dan Putusan MA ................................................................... 103
D. Paparan Yurisprudensi MA . ........................................................................................ 107
am

ub
E. Definisi dan Unsur Keadaan Force Majeure ........................................................... 114
F. Ruang Lingkup/Jenis Peristiwa Force Majeure ..................................................... 119
ep
120
k

G. Akibat Force Majeure .....................................................................................................


H. Perkembangan Force Majeure ................................................................................... 128
ah

si
CATATAN TENTANG KONSISTENSI PUTUSAN HAKIM DENGAN DOKTRIN
DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......................................................... 134

ne
ng

A. Konsistensi Putusan Hakim dengan Doktrin ...................................................... 134


B. Konsistensi Putusan Hakim dengan Peraturan Perundang-undangan ..... 136

do
gu

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 139


In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

iv Dokumen
Daftar Isi Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 4 12/13/2010 11:40:17 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
KATA PENGANTAR

si
PENJELASAN HUKUM TENTANG KEADAAN MEMAKSA/FORCE MAJEURE

ne
ng
Ketiadaan kepastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman
modern ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang

do
gu
mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan
hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil
dan adil. Singkat kata, jika seseorang ditanya apa hukum Indonesia tentang subjek

In
A
tertentu, sangat sulit bagi orang tersebut untuk menjelaskannya dengan pasti,
apalagi bagaimana hukum tersebut nanti diterapkan. Ketidakpastian ini banyak yang
ah

lik
bersumber dari hukum tertulis yang umumnya tidak jelas dan kontradiktif satu sama
lain. Selain itu, ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi pemerintah
maupun pengadilan. Yang menjadi garis bawah dari ketidakpastian hukum adalah
am

ub
lemahnya lembaga dan profesi hukum.. Itu dapat kita lihat di lingkungan peradilan,
di mana hakim terus-menerus tidak menjaga konsistensi dalam putusan mereka.
Advokasi pun tidak berhasil untuk betul-betul menjaga standar profesi mereka.
ep
k

Ketidakpastian hukum juga bersumber dari dunia akademik yang ternyata kurang
ah

berhasil untuk membangun suatu disiplin ilmiah terpadu dalam analisis peraturan
R
perundangan dan putusan pengadilan. Lemahnya ‘legal method’ di dunia akademik

si
adalah alasan pokok kenapa akuntabilitas pengadilan dan lembaga negara tetap
lemah.

ne
ng

Proyek Restatement ini merupakan upaya untuk menjawab isu ketidakpastian


hukum tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mewujudkan suatu

do
gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern.
gu

Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan
In
A

kedua dari proyek ini adalah untuk membangun kembali ‘the legal method’, yaitu
sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan universitas, institusi
penelitian dan organisasi swadaya masyarakat. Tentunya Restatement ini tidak
ah

lik

dimaksudkan sebagai kata terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang
dibahas di dalamnya. Namun, Restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum
m

ub

Indonesia, terutama karena analisisnya bersandarkan pada putusan pengadilan dan


literatur yang berwibawa mulai Indonesia merdeka. Ahli hukum, hakim, dan advokat
ka

jelas mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau menolak hasil analisis dalam
ep

Restatement ini, namun kami berharap supaya Restatement ini bisa mencapai suatu
kepastian hukum lebih besar untuk topik-topik tertentu, terutama dalam struktur
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa v


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 5 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
analisis terhadap disiplin hukum tertentu, agar pembahasan tentang topik tersebut

si
mampu menapak suatu tingkatan intelektual yang lebih tinggi.
Tujuan kami memilih topik overmacht/force majeure sebagai salah satu pokok

ne
ng
bahasan Restatement adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam berinvestasi
dan melaksanakan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan memperjelas konsep-
konsep hukum yang masih menjadi perdebatan di dunia praktek, khususnya untuk

do
gu
memperjelas konsep-konsep syarat-syarat pembatalan perjanjian berdasarkan pasal
1244 dan 1245 KUH Perdata. Selain itu, kami juga menemukan catatan bahwa MA
dan pengadilan di bawahnya menerapkan konsep keadaan memaksa ini sesuai

In
A
kata-kata dalam Undang-Undang, dan belum memberikan tafsiran yang lebih luas.
Oleh karena itu, topik mendapatkan tempat yang cukup khusus dalam rezim hukum
ah

lik
perdata di Indonesia.
Akhir kata, kami berharap “mimpi” kami untuk mewujudkan koherensi,
konsistensi dan kesesuaian diskursus hukum perdata dapat terakomodasi dengan
am

ub
baik dalam program Restatement ini sehingga mempunyai faedah bagi para
stakeholders.
ep
k
ah

Hormat kami,
R

si
ne
ng

Sebastiaan Pompe
Program Manager

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

vi Dokumen
Kata Pengantar
Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 6 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
RINGKASAN EKSEKUTIF

si
ne
ng
Kajian ini lebih memfokuskan pada tuntutan pembatalan perjanjian sebagai
akibat terjadinya wanprestasi. Tuntutan pembatalan perjanjian tentu dihadapkan

do
gu
pada kemungkinan adanya perlawanan oleh pihak yang melakukan wanprestasi.
Perlawanan dimaksudkan untuk mencegah dilakukan pembatalan perjanjian dengan
akibat hukum lanjutannya. Kemungkinan untuk melakukan perlawanan tersebut

In
A
memang secara yuridis dibuka oleh Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer), namun perlawanan tersebut harus didasarkan, antara lain
ah

lik
pada adanya keadaan memaksa yang menyebabkan kewajiban-kewajiban dalam
perjanjian tidak dilaksanakan. Artinya, pihak yang melakukan perlawanan harus
membuktikan telah terjadinya keadaan memaksa. Sebaliknya, pihak yang menuntut
am

ub
pembatalan perjanjian harus membuktikan tidak terjadinya keadaan memaksa.
Kajian ini memberikan penjelasan dan pendalaman mengenai makna/unsur-
unsur, ruang lingkup, dan akibat hukum dari pembatalan/pemutusan perjanjian
ep
k

yang disebabkan oleh hal-hal di luar kekuasaan (force majeur) dan keadaan
ah

memaksa (overmacht) sebagaimana diatur pada Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata
R
dengan melakukan penelusuran berbagai pendapat/pandangan yang telah dimuat

si
dalam literatur sebagai doktrin hukum maupun dalam pendapat/pandangan yang
menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun peraturan perundang-undangan

ne
ng

dan putusan pengadilan.


Hasil kajian yang berupa pertelaan kembali (restatement) ini menjadi penting,

do
gu

terutama dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam berinvestasi dan


melaksanakan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan memperjelas konsep-
konsep hukum yang masih menjadi perdebatan di dunia praktik, khususnya untuk
In
A

memperjelas konsep-konsep syarat-syarat pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal


1244 dan 1245 KUH Perdata.
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 1


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 1 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 2 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
DOKUMEN PENJELAS

si
KEADAAN MEMAKSA

ne
ng
(OVERMACHT ATAU

do
gu
FORCE MAJEURE)

In
A
ah

lik
A. Pengertian
am

ub
Istilah ”keadaan memaksa”, yang berasal dari istilah overmacht atau force majeure,
dalam kaitannya dengan suatu perikatan atau kontrak tidak ditemui rumusannya
secara khusus dalam Undang-Undang, tetapi disimpulkan dari beberapa pasal dalam
ep
k

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dari pasal-pasal KUH Perdata,
ah

sebagaimana akan ditunjukkan di bawah ini, disimpulkan bahwa overmacht adalah


R
keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban

si
untuk dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan (i.e. si berutang atau debitur), yang tidak
atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk memberi ganti

ne
ng

rugi, biaya dan bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya
tersebut.1

do
gu

In
A
ah

lik

1 Sebagai perbandingan, mengenai overmacht berkaitan dengan kontrak-kontrak internasional di bidang


komersial, lihat 2004 Unidroit Principles of International Commercial Contracts (UPICC 2004), khu-
susnya Pasal 7.1.7 (force majeure) beserta komentarnya. Lihat juga Pasal 6.2.1 hingga Pasal 6.2.3
(tentang hardship), serta Pasal 7.4.1. berkenaan dengan akibat dari force majeure dan hardship. Karena
m

ub

UPICC 2004 ini dipersiapkan oleh pakar-pakar hukum perikatan baik dari negara-negara dengan sistem
hukum kontinental (civil law) dan dari negara-negara dengan sistem hukum anglo-saxon (common
law), serta karena sistem hukum perdata yang dianut di Republik Indonesia sebagiannya bersumber dari
ka

sistem hukum kontinental, ada baiknya prinsip-prinsip UPICC 2004 ini dikaji dan dijadikan pedoman
ep

di Indonesia bagi pengembangan konsep overmacht pada khususnya, dan konsep perikatan pada um-
umnya. UPICC 2004 berikut komentarnya dapat diunduh dari http://www.unidroit.org/english/princi-
ples/contracts/principles2004/integralversionprinciples2004-e.pdf (1.89MB).
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 3


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 3 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. Keadaan Memaksa dalam KUH Perdata

si
Konsep keadaan memaksa, overmacht, atau force majeure (dalam kajian
ini selanjutnya disebut keadaan memaksa)2 dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata)3 ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:4

ne
ng
a. Pasal 1244 KUH Perdata

do
“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi
gu
dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan
karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan

In
A
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.”
ah

lik
b. Pasal 1245 KUH Perdata
“Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan
memaksa [overmacht] atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja,
am

ub
si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan
yang terlarang.”
ep
k
ah

si
ne
ng

2 Konsep overmacht ini tercakup dalam konsep impossibility of performance (ketidakmungkinan pelak-
sanaan perikatan). Lihat: R.W. Lee, An Introduction to Roman Dutch Law (Oxford: Oxford at the

do
gu

Clarendon Press, 1953), 5th ed., hlm.275-276. Lihat juga C.G. Weeramantry, The Law of Contracts
(Colombo: The Mortlake Press, 1967), Vol.II, hlm.746 dst.
3 KUH Perdata diundangkan dan diberlakukan di Indonesia dengan Staatsblad 30 April 1847 No.23,
sejak deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Pasal
In
A

II Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Berita Republik Indonesia, II, 7 halaman 45-48,
penjelasan halaman 51-56. Karena KUH Perdata berasal dari negeri Belanda, dan teks aslinya masih
dalam Bahasa Belanda, kebanyakan ahli hukum Indonesia senior yang membahas mengenai overmacht
masih mengacu kepada materi mengenai overmacht yang ditulis ahli hukum Belanda mengenai topik
ah

lik

ini, terutama sebelum terjadinya perubahan pada KUH Perdata Belanda pada tahun 1992, misalnya
buku Handleiding Tot de Beofening van het Nederlands Burgerlijk Recht (Asser–Rutten I, Verbintenis-
sen Recht, 1967, cet. ke-3) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sulaiman Binol,
S.H., dengan judul Pedoman Untuk Pengajian Hukum Perdata, Jilid Tiga–Hukum Perikatan, Bagian
m

ub

Pertama– Perikatan, Mr. C. Asser, dikerjakan oleh Mr. L.E.H Rutten (Jakarta: Dian Rakyat, bekerja
sama dengan Pusat Penerjemahan Nasional, Universitas Nasional dan bantuan dari Netherlands Coun-
cil for Cooperation with Indonesian in Legal Matters, 1991), cet. ke-1. Mengenai overmacht pada buku
ka

terjemahan ini, lihat hlm..336 dst.


ep

4 Pasal-pasal yang dikutip dalam kajian ini diambil dari KUH Perdata dengan teks Bahasa Indonesia
hasil terjemahan Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio. Lihat Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitro-
sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), cet. ke-36.
ah

es

4 Dokumen Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 4 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Selain kedua ketentuan tersebut, konsep keadaan memaksa juga diacu dalam

si
Pasal 1444 dan 1445 KUH Perdata, sebagai berikut.

ne
ng
a. Pasal 1444 KUH Perdata
“(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak
dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui

do
gu
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang
itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.

In
A
(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,
sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang
ah

lik
tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga
dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah
diserahkan kepadanya.
am

ub
(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga,
yang dimajukannya itu.
ep
k

(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah
atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang
ah

yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.”


R

si
ne
ng

b. Pasal 1445 KUH Perdata


“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak
dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia

do
gu

mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang


tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut
kepada orang yang mengutangkan kepadanya.”
In
A

2. Unsur-Unsur Keadaan Memaksa


Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata di atas, unsur-unsur keadaan memaksa
ah

lik

meliputi
a. peristiwa yang tidak terduga;
m

ub

b. tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;


c. tidak ada itikad buruk dari debitur;
ka

d. adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;


ep

e. keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;


f. jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 5


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 5 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
g. keadaan di luar kesalahan debitur;

si
h. debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);
i. kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur

ne
ng
maupun pihak lain);
j. debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.5

do
gu
B. Keadaan Memaksa dalam Peraturan Perundang-
undangan Lainnya

In
Konsep keadaan memaksa berkaitan dengan perikatan, juga telah diberi pengertian
A
dalam peraturan perundangan masa kini. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa keadaan memaksa/force majeure
ah

lik
sebagai suatu kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak
yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.6 Keputusan Presiden Nomor
80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam lampirannya
am

ub
mengartikan keadaan kahar sebagai suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak
para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat
ep
dipenuhi.7
k

C. Keadaan Memaksa dalam Yurisprudensi dan


ah

Putusan Pengadilan
R

si
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, konsep keadaan memaksa diakui, diacu,

ne
ng

dipertimbangkan, dan diterapkan pada fakta kasus oleh Mahkamah Agung (MA)
dan pengadilan-pengadilan di bawahnya, namun belum banyak publikasi putusan
pengadilan yang memberi tafsiran mengenai keadaan memaksa. Hasil penelitian

do
gu

mengenai keadaan memaksa dalam putusan pengadilan menunjukkan bahwa MA


dan pengadilan di bawahnya menerapkan konsep keadaan memaksa ini sesuai
kata-kata dalam Undang-Undang, dan belum memberikan tafsiran yang lebih luas.
In
A

Beberapa putusan yang dapat dikumpulkan menunjukkan sebagai berikut.


ah

lik

5 Walaupun tidak disebutkan dalam pasal-pasal KUH Perdata tersebut, dan karenanya tidak dapat disim-
pulkan dari pasal-pasal KUH Perdata tersebut, perlu dipertimbangkan mengenai perlunya penyebutan
adanya kewajiban bagi pihak yang terkena keadaan memaksa untuk di mana mungkin mengurangi
dampak yang terjadi akibat adanya keadaan memaksa tersebut.
m

ub

6 Pasal 22 ayat (2) huruf j Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Nomor 3833.
7 Pasal 29 ayat (1) Angka 10 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan
ka

Jasa, beserta lampirannya, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Keputusan Presiden
ep

Nomor 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun
2005, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2006, Peraturan
Presiden Nomor 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007.
ah

es

6 Dokumen Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 6 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Perampasan suatu kendaraan mobil oleh bala tentara Jepang ketika menyerang

si
Indonesia disebut sebagai alasan adanya keadaan memaksa. (Putusan MA Reg. No.15
K./Sip./1957 tertanggal 16 Desember 1957; untuk putusan yang lebih mutakhir lihat

ne
ng
juga Putusan Pengadilan Niaga No.21/Pailit/2004/PN Niaga.Jkt.Pst tanggal 13 Juli
2004). Namun, putusan-putusan ini tidak membahas mengenai keadaan memaksa
itu sendiri.

do
gu
Tidak terlaksananya perjanjian oleh Tergugat dikarenakan ia tidak mempunyai
izin devisa berkaitan dengan apa yang diperjanjikan bukanlah keadaan memaksa.
(Putusan MA Reg. No.24 K/Sip./1958 tertanggal 26 Maret 1958). Putusan ini

In
A
menunjukkan keadaan apa yang tidak tercakup dalam keadaan memaksa.
Untuk mendalilkan adanya keadaan keadaan memaksa, seseorang harus dapat
ah

lik
membuktikan bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah disebabkan kesalahannya.
(Keadaan di mana seseorang yang sepatutnya mengetahui bahwa cara mengisi
bensin dengan alat yang tidak aman, yang kemudian melakukan hal tersebut dan
am

ub
berakibat pada kebakaran yang menyebabkan musnahnya bus milik orang lain yang
letaknya berdekatan, bukanlah keadaan memaksa). (Putusan MA No. Reg. 558 K/
Sip/1971 tertanggal 4 Juni 1973).
ep
k

Instruksi penguasa administratif yang dikonstruksikan berdasarkan Pasal


ah

1337 KUH Perdata sebagai pihak pada suatu perjanjian charter partij yang menunda
R
pemenuhan prestasi (dalam bentuk pengembalian kapal) bukan alasan adanya

si
keadaan memaksa. (Putusan MA Reg. No. 3389 K/PDT/1984 tertanggal 27 Maret
1986).

ne
ng

Keadaan keadaan memaksa harus memenuhi unsur tidak terduga, tidak dapat
dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan perjanjian,

do
gu

dan di luar kesalahan dari pihak tersebut. (Putusan MA No.409K/Sip/1983 tertanggal


25 Oktober 1984).
In
A

D. Pendapat Ahli tentang Keadaan Memaksa


1. Pengertian Keadaan Memaksa Berdasarkan Pendapat Ahli
ah

lik

Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep keadaan memaksa lebih banyak


dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini.
m

ub

a. R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang


dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga,
ka

dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa
ep

yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya
perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 7


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 7 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang

si
tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.8
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan

ne
ng
itu “di luar kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah
timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu
perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur.9

do
b. gu
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir Dr. H.F.A. Vollmar: overmacht
adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi
perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi

In
A
perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau
kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian
ah

lik
yang sangat besar (relative overmacht).10
c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur
tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan
am

ub
dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya.11
ep
k

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa


ah

pengertian keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam
R
suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai

si
apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu
pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu

ne
ng

membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak
dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.

do
gu

2. Jenis-Jenis Keadaan Memaksa Menurut Pendapat Ahli


Dalam perkembangannya, keadaan memaksa dapat dibedakan menjadi beberapa
In
A

jenis berdasarkan kriteria-kriteria yang berbeda sebagai berikut.


ah

lik

8 Prof. R. Subekti. Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1992), hlm.55. Subekti menggunakan
istilah “si berhutang” untuk istilah “debitur” yang digunakan dalam kajian ini.
9 Prof. R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT Intermasa, 2001), cet. ke-29, hlm.150.
m

ub

10 Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A (Jogjakarta:
Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm.20. Namun, perlu dike-
tahui bahwa buku ini menurut penulisnya merupakan terjemahan dari buku yang ditulis Mr. Dr. H.F.A.
ka

Vollmar, Inleiding tot de Studie van het Nederlands Burgerlijk Recht. Buku yang disebut terakhir ini
ep

juga telah diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, dengan judul Pengantar Studi Hukum Perdata (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1995).
11 Prof. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.18.
ah

es

8 Dokumen Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 8 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Kriteria Penjelasan

si
Berdasarkan penyebab1 Overmacht karena keadaan alam, yaitu keadaan memaksa yang dise-
babkan oleh suatu peristiwa alam yang tidak dapat diduga dan dihin-

ne
ng
dari oleh setiap orang karena bersifat alamiah tanpa unsur kesenga-
jaan, misalnya banjir, longsor, gempa bumi, badai, gunung meletus,
dan sebagainya.

do
Overmacht karena keadaan darurat, yaitu keadaan memaksa yang di­
gu timbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus
yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat, tanpa dapat
diprediksi sebelumnya, misalnya peperangan, blokade, pemogokan,

In
A
epidemi, terorisme, ledakan, kerusuhan massa, termasuk di dalamnya
adanya kerusakan suatu alat yang menyebabkan tidak terpenuhinya
suatu perikatan.
ah

lik
Overmacht karena musnahnya atau hilangnya barang objek perjan-
jian.
Overmacht karena kebijakan atau peraturan pemerintah, yaitu
am

keadaan memaksa yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana

ub
terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluar-
kannya kebijakan yang baru, yang berdampak pada kegiatan yang
sedang berlangsung, misalnya terbitnya suatu peraturan Pemerintah
ep
(pusat maupun daerah) yang menyebabkan suatu objek perjanjian/
k

perikatan menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.


ah

Berdasarkan sifat Overmacht tetap, yaitu keadaan memaksa yang mengakibatkan suatu
R

si
perjanjian tidak mungkin dilaksanakan atau tidak dapat dipenuhi
sama sekali.
Overmacht sementara, adalah keadaan memaksa yang mengakibat-

ne
ng

kan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda daripada waktu yang di-


tentukan semula dalam perjanjian. Dalam keadaan yang demikian,
perikatan tidak berhenti (tidak batal), tetapi hanya pemenuhan pres­

do
tasinya yang tertunda.2
gu

Berdasarkan objek Overmacht lengkap, artinya mengenai seluruh prestasi itu tidak dapat
dipenuhi oleh debitur.
In
Overmacht sebagian, artinya hanya sebagian dari prestasi itu yang
A

tidak dapat dipenuhi oleh debitur.

Berdasarkan subjek3 Overmacht objektif adalah keadaan memaksa yang menyebabkan


ah

lik

pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan oleh siapa pun, hal ini
didasarkan pada teori ketidakmungkinan (imposibilitas).
Overmacht subjektif adalah keadaan memaksa yang terjadi apa-
m

ub

bila pemenuhan prestasi menimbulkan kesulitan pelaksanaan bagi


debitur tertentu. Dalam hal ini, debitur masih mungkin memenuhi
prestasi, tetapi dengan pengorbanan yang besar yang tidak seim-
ka

bang, atau menimbulkan bahaya kerugian yang besar sekali bagi de-
ep

bitur. Hal ini di dalam sistem Anglo American disebut hardship yang
menimbulkan hak untuk renegosiasi.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 9


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 9 12/13/2010 11:40:18 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Berdasarkan ruang ling- Overmacht umum, dapat berupa iklim, kehilangan, dan pencurian.
kup4 Overmacht khusus, dapat berupa berlakunya suatu peraturan (Un-
dang-Undang atau Peraturan Pemerintah). Dalam hal ini, tidak berarti

ne
ng
prestasi tidak dapat dilakukan, tetapi prestasi tidak boleh dilakukan.

Kriteria lain dalam ilmu Ketidakmungkinan (impossibility). Ketidakmungkinan pelaksanaan

do
hukum kontrak5gu kontrak adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak mungkin lagi
melaksanakan kontraknya karena keadaan di luar tanggung jawab-
nya. Misalnya, kontrak untuk menjual sebuah rumah, tetapi rumah

In
A
tersebut hangus terbakar api sebelum diserahkan kepada pihak pem-
beli.
Ketidakpraktisan (impracticability). Maksudnya adalah terjadinya per-
ah

lik
istiwa juga tanpa kesalahan dari para pihak, peristiwa tersebut sede-
mikian rupa, di mana dengan peristiwa tersebut para pihak sebe-
narnya secara teoretis masih mungkin melakukan prestasinya, tetapi
am

ub
secara praktis terjadi sedemikian rupa sehingga kalaupun dilaksana-
kan prestasi dalam kontrak tersebut, akan memerlukan pengorbanan
yang besar dari segi biaya, waktu atau pengorbanan lainnya. Dengan
demikian, berbeda dengan ketidakmungkinan melaksanakan kon-
ep
k

trak, di mana kontrak sama sekali tidak mungkin dilanjutkan, pada


ketidakpastian pelaksanaan kontrak ini, kontrak masih mungkin di-
ah

laksanakan, tetapi sudah menjadi tidak praktis jika terus dipaksakan.


R

si
Frustrasi (frustration). Yang dimaksud dengan frustrasi di sini adalah
frustrasi terhadap maksud dari kontrak, yakni dalam hal ini terjadi pe-

ne
ristiwa yang tidak dipertanggungjawabkan kepada salah satu pihak,
ng

kejadian mana mengakibatkan tidak mungkin lagi dicapainya tujuan


dibuatnya kontrak tersebut, sungguhpun sebenarnya para pihak ma-
sih mungkin melaksanakan kontrak tersebut. Karena, tujuan dari kon-

do
gu

trak tersebut tidak mungkin tercapai lagi sehingga dengan demikian


kontrak tersebut dalam keadaan frustrasi.
In
A

3. Akibat Hukum dari Keadaan Memaksa


Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa membawa
ah

lik

konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat
memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi.
m

ub

Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak


wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat
ka

menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus.


ep

Beberapa pakar membahas akibat hukum dari keadaan memaksa sebagai


berikut.
ah

es

10 Dokumen Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 10 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
a. R. Setiawan merumuskan bahwa suatu keadaan memaksa menghentikan be­

si
kerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu12
1) kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;

ne
ng
2) debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai,13 dan karenanya tidak wajib
membayar ganti rugi;
3) risiko tidak beralih kepada debitur;

do
gu
4) pada persetujuan timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut
pembatalan.
b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang menyitir Dr. H.F.A Vollmar. Overmacht

In
A
harus dibedakan apakah sifatnya sementara ataukah tetap. Dalam hal overmacht
sementara, hanya mempunyai daya menangguhkan dan kewajibannya untuk
ah

lik
berprestasi hidup kembali jika dan sesegera faktor overmacht itu sudah tidak
ada lagi, demikian itu kecuali jika prestasinya lantas sudah tidak mempunyai
arti lagi bagi kreditur. Dalam hal terakhir ini, perutangannya menjadi gugur
am

ub
(misalnya taksi yang dipesan untuk membawa seseorang ke stasiun karena
ada kecelakaan lalu lintas, tidak dapat datang pada waktunya, dan ketika lalu
lintas sudah aman kembali, kereta api sudah tidak dapat dicapai lagi).14
ep
k

c. Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa yang bersifat


ah

objektif dan subjektif. Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat
R
tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the

si
agreement would be void from the outset).15
d. Salim H.S., mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu16

ne
ng

1) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
2) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;

do
gu

3) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi


hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi,
kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
In
A

Ketiga akibat tersebut lebih lanjut dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat butir a dan c, dan (2) akibat
ah

lik

keadaan memaksa relatif, yaitu akibat butir b.


m

ub

12 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung: Binacipta, 1994), hlm.27-28.


13 “Lalai” agar dibaca “gagal” atau “wanprestasi”.
ka

14 Prof.Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op,cit., hlm. 22.


ep

15 Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Perikatan (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm.28-31.
16 Salim H.S., S.H., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001),
hlm.184-185.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 11


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 11 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
e. Mariam Darus Badrulzaman, et.al., mengemukakan beberapa akibat keadaan

si
memaksa terhadap perikatan. Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan
tersebut tidak lagi bekerja (werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada,

ne
ng
dalam hal ini maka:17
1) kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;
2) debitur tidak dapat dikatakan berada dalam keadaan lalai dan karena itu

do
gu
tidak dapat menuntut;
3) kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;
4) pada perjanjian timbal balik maka gugur kewajiban untuk melakukan

In
A
kontraprestasi.
ah

lik
Dengan demikian, pada asasnya perikatan itu tetap ada dan yang lenyap
hanyalah daya kerjanya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan
memaksa yang bersifat sementara. Perikatan itu kembali mempunyai daya
am

ub
kerja jika keadaan memaksa itu berhenti.
Selanjutnya, hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan
memaksa ini adalah (a) debitur tidak dapat mengemukakan adanya keadaan
ep
k

memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi); (b) berdasarkan jabatan


ah

Hakim tidak dapat menolak gugat berdasarkan keadaan memaksa yang


R
berutang memikul beban untuk membuktikan adanya keadaan memaksa.

si
f. M. Yahya Harahap memberikan pendapatnya mengenai akibat dari keadaan
memaksa.18 Berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, keadaan

ne
ng

memaksa telah ditetapkan sebagai alasan hukum yang membebaskan


debitur dari kewajiban melaksanakan pemenuhan (nakoming) dan ganti

do
gu

rugi (schadevergoeding) sekalipun debitur telah melakukan perbuatan yang


melanggar hukum/onrechtmatig. Itulah sebabnya keadaan memaksa disebut
sebagai dasar hukum yang membenarkan atau rechtvaardigings-grond. Ada
In
A

dua hal yang menjadi akibat overmacht, yaitu sebagai berikut:


1) membebaskan debitur dari membayar ganti rugi (schadevergoeding).
Dalam hal ini, hak kreditur untuk menuntut gugur untuk selama-lamanya.
ah

lik

Jadi, pembebasan ganti rugi sebagai akibat keadaan memaksa adalah


pembebasan mutlak;
m

ub

2) membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi


(nakoming). Pembebasan pemenuhan (nakoming) bersifat relatif.
ka

ep

17 Prof. Mariam Darus Badrulzaman, et.al, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2001), hlm 26-29.
18 M. Yahya Harahap, S.H., Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm.82-98.
ah

es

12 Dokumen Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 12 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Pembebasan itu pada umumnya hanya bersifat menunda, selama keadaan

si
overmacht masih menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan
prestasi. Bila keadaan memaksa hilang, kreditur kembali dapat menuntut

ne
ng
pemenuhan prestasi. Pemenuhan prestasi tidak gugur selama-lamanya,
hanya tertunda, sementara keadaan memaksa masih ada.

do
gu
Selanjutnya, konsekuensi dari perikatan yang batal ialah pemulihan kembali
dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan jika perikatan
itu sudah dilaksanakan. Tetapi jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya

In
A
untuk melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan, pengadilan
berdasarkan kebijaksanaannya boleh memperkenankannya memperoleh
ah

lik
semua atau sebagian biaya dari pihak lainnya, atau menahan uang yang sudah
dibayar.
g. Agus Yudha Hernoko, mengemukakan pendapatnya mengenai hardship yang
am

ub
menimbulkan akibat hukum bagi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana
diatur dalam Pasal 6.2.3 UPICC yang memberikan alternatif penyelesaian,
sebagai berikut.19
ep
k

1) Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan renegosiasi kontrak


ah

kepada pihak lainnya. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan


R
menunjukkan dasar (hukum) permintaan renegosiasi tersebut.

si
2) Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya
memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan

ne
ng

pelaksanaan kontrak.
3) Apabila renegosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu

do
gu

yang wajar maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan.


4) Apabila adanya hardship terbukti di pengadilan maka pengadilan
dapat memutuskan untuk (a) mengakhiri kontrak pada tanggal dan
In
A

waktu yang pasti; atau (b) mengubah kontrak dengan mengembalikan


keseimbangannya.

ah

lik
m

ub

19 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Yog­
yakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hlm. 255. Perlu diketahui bahwa UPICC 2004 yang diacu oleh
ka

Agus Yudha Hernoko tampak membedakan hardship dengan force majeure. Pada hardship, belum ter-
ep

jadi wanprestasi (dalam bentuk non-performance, artinya tidak memenuhi kewajibannya). Sementara
dalam hal force majeure, telah terjadi wanprestasi (lihat komentar nomor 6 atas Pasal 6.2.2 UPICC
berjudul hardship and force majeure).
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 13


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 13 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Memperhatikan akibat hukum adanya hardship di atas, pada prinsipnya diakui

si
bahwa dalam keadaan demikian, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permintaan renegosiasi. Tujuan dari renegosiasi ini agar diperoleh pertukaran

ne
ng
hak dan kewajiban yang wajar dalam pelaksanaan kontrak karena terjadi
peristiwa yang secara fundamental mempengaruhi keseimbangan kontrak.

do
E. Kesimpulan gu
Restatement, atau menyatakan kembali apa yang merupakan kaidah hukum,

In
A
tentang keadaan memaksa masih mengandalkan pada siratan yang terdapat dalam
beberapa pasal KUH Perdata serta ulasan atau pendapat pakar serta baru sedikit
yang didasarkan pada putusan lembaga judisial karena kurangnya informasi serta
ah

lik
publikasi putusan lembaga judisial yang dapat digunakan sebagai bahan penelitian
untuk keperluan ini.
am

ub
Namun, konsep keadaan memaksa tersebut sebagaimana diuraikan dan
dibahas pada kajian ini, keberadaannya diakui, dan telah diacu dalam pertimbangan
hukum dalam putusan-putusan lembaga judisial yang diteliti.
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

14 Dokumen Penjelas
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 14 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
LAMPIRAN: PUTUSAN MA DAN PENGADILAN LAINNYA

si
ne
ng
(1) Putusan MA Reg. No.15 K./Sip./1957 tertanggal 16 Desember 1957
Penggugat : NV Handel Maatschappij L’Auto
Tergugat : G.G. Jordan

do
Inti
gu
: Putusan pengadilan dalam perkara ini menyinggung mengenai
konsep keadaan memaksa akan putusan pengadilan dimaksud
belum memberi tafsiran mengenai konsep itu.

In
A
Kasus posisi:
Toko mobil NV Handel Maatschappij L’Auto menggugat Jordan untuk mem­
ah

lik
bayar lunas kekurangan cicilan atas harga sebuah mobil yang sudah disewa beli
oleh Jordan tersebut. Mobil kemudian sempat dirampas oleh tentara Jepang
ketika mendarat di Pulau Jawa pada Oktober 1944. Jordan berpendirian, ia
am

ub
sudah tidak perlu membayar cicilan yang tersisa karena mobil tersebut dapat
dianggap sudah musnah.
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Februari
ep
k

1951 membenarkan pendirian Jordan atas pertimbangan bahwa perjanjian


ah

sewa beli itu harus diartikan sebagai suatu perjanjian sewa, dan menyatakan
R
gugatan tidak dapat diterima.

si
Pada tingkat Banding, putusan PN Surabaya tersebut dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya dengan putusannya tertanggal 30 Agustus

ne
ng

1956, atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa beli itu adalah suatu jenis
perjanjian jual beli.

do
MA menolak permohonan kasasi dari Jordan atas pertimbangan bahwa
gu

putusan PT Surabaya menurut isi perjanjian sewa beli risiko atas hilangnya
barang karena keadaan memaksa dipikul si penyewa beli adalah mengenai
In
A

suatu kenyataan sehingga hal itu tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim
kasasi.
ah

lik

(2) Putusan MA Reg. No.24 K/Sip./1958 tertanggal 26 Maret 1958


Penggugat : Oey Tjoeng Tjoeng
m

ub

Tergugat : Super Radio Company NV


Inti : Putusan atas perkara ini menyebutkan apa yang bukan
ka

keadaan memaksa: tidak terlaksananya perjanjian oleh Tergugat


ep

dikarenakan ia tidak mempunyai izin devisa berkaitan dengan


apa yang diperjanjikan bukanlah keadaan memaksa.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 15


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 15 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Kasus posisi:

si
Pada tanggal 6 April1954, Penggugat telah memesan kepada Tergugat satu
sepeda motor merek AJS 350 cc model 16 MS/54 dengan kondisi-kondisi

ne
ng
sebagai berikut:
Harga : menurut penetapan.
Voorschot: Rp6.500,00.

do
gu Pengiriman lebih kurang empat bulan.

Sebagai bukti atas perjanjian tersebut telah dibuat kontrak dan kuitansi

In
A
yang telah dilampirkan. Setelah lebih dari empat bulan dan berkali-kali telah
diingatkan, Tergugat tidak juga memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan
ah

lik
sepeda motor yang telah dipesan Penggugat. Tergugat menyatakan bahwa
tidak dapat diserahkannya sepeda motor tersebut karena adanya force majeure
dengan alasan Tergugat hanya dealer dari sepeda motor sehingga harus
am

ub
mendapatkan dan bergantung dari importir. Waktu Tergugat pesan, tidak ada
stok. Menurut Tergugat, hal tersebut bukan salah Tergugat dan juga importir
yang bersangkutan, yaitu NV ”Danau” tidak bersalah. Importir tidak mendapat
ep
k

izin devisa untuk mengimpor motor AJS karena tidak hanya kekurangan
ah

devisa, tetapi juga karena keluar aturan dari KPUI bahwa tiap importir hanya
R
boleh mengimpor satu merek sepeda motar. Sepeda motor merek AJS hanya

si
boleh diimpor oleh NV Ratadjasa, sedangkan NV Danau hanya diperkenankan
mengimpor merek ”Durkopp”. Karena aturan tersebut, permohonan izin devisa

ne
ng

NV ”Danau” untuk merek AJS ditolak pada tanggal 3 Juli 1954. Tergugat tidak
diangkat sebagai dealer NV Ratadjasa, dan kalaupun harus membeli motor AJS

do
gu

di pasaran gelap (seperti diminta oleh Penggugat), Tergugat menolak karena


berkaitan dengan reputasinya sebagai pedagang. Menurut Tergugat, hal di
atas merupakan force majeure, yaitu importir yang biasa menyerahkan sepeda
In
A

motor merek AJS itu, tidak dapat mengimpor barang-barang itu.


Baik PN maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh
Tergugat tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeure karena
ah

lik

apabila Tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau maka
untuk memenuhi kewajibannya terhadap Penggugat, Tergugat harus berusaha
m

ub

mendapatkan sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal
tidak dengan cara melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa
ka

Tergugat telah melalaikan kewajibannya. Sebagai akibatnya maka kepada


ep

Tergugat diwajibkan untuk menyerahkan sepeda motor AJS dengan menerima


sisa harga sepeda motor itu menurut penetapan jawatan yang bersangkutan.
ah

es

16 Dokumen Penjelas
Lampiran
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 16 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Di samping itu, juga menghukum Tergugat membayar uang paksa Rp100,00

si
sehari untuk setiap hari keterlambatan penyerahan sepeda motor itu.
MA menguatkan putusan PN dan PT tersebut dengan menyatakan bahwa

ne
ng
Tergugat harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan Pasal 1267 KUH
Perdata. Hal ini sesuai dengan keinginan Penggugat yang tidak menuntut
ganti kerugian, melainkan hanya pelaksanaan isi perjanjian.

do
gu
(3) Putusan MA No. Reg. 558 K/Sip/1971 tertanggal 4 Juni 1973

In
A
Penggugat : Lim Chiao Soen, Direktur Perusahaan Otobis NV Indah
Tergugat : Perusahaan Otobis NV Bintang berkedudukan di Tegal (Tergugat
1), dan Soegono Atmodiredjo (Tergugat 2)
ah

lik
Inti : Untuk mendalilkan adanya keadaan memaksa, seseorang harus
dapat membuktikan bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah
am

ub
disebabkan kesalahannya. (Keadaan di mana seseorang yang
sepatutnya mengetahui bahwa cara mengisi bensin dengan alat
yang tidak aman, yang kemudian melakukan hal tersebut dan
ep
k

berakibat pada kebakaran yang menyebabkan musnahnya bus


ah

milik orang lain yang letaknya berdekatan, bukanlah keadaan


R
memaksa.)

si
Kasus posisi:

ne
Bus milik Penggugat terbakar akibat dari kelalaian Tergugat 2 yang adalah
ng

karyawan Tergugat 1, sewaktu Tergugat mengisi bensin otobus Bintang No.


Pol. G-9660 dengan ember, di mana tiba-tiba terjadi semburan api pada ember

do
gu

yang digunakan untuk mengisi bensin, ember itu kemudian dilemparkan ke


kolong Bus Indah No.Pol. G-9688 milik Penggugat yang sedang diparkir dan
akhirnya bus milik Penggugat itu habis terbakar.
In
A

Tergugat 1 dan Tergugat 2 mendalihkan bahwa kebakaran tersebut adalah


akibat keadaan memaksa sehingga mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan
ah

lik

atas akibat dari kebakaran tersebut.


PN Tegal dalam putusan No.415/1965/Pidana yang sudah mempunyai
kekuatan pasti telah menghukum Tergugat 2 dengan kurungan 1 bulan
m

ub

dengan waktu percobaan selama 6 bulan karena melanggar Pasal 188 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
ka

ep

Tergugat 2 pada waktu melakukan perbuatan tersebut sedang menjalan­


kan tugasnya sebagai alat dari Tergugat 1. Dengan dasar itu juga, majikan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 17


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 17 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pe­ngurus-pengurus Tergugat 1 secara perdata bertanggung jawab atas

si
perbuatan Tergugat 2 tersebut.
PT Semarang membenarkan alasan-alasan yang digunakan PN Tegal dalam

ne
ng
putusannya. Karena bus Penggugat terbakar disebabkan kelalaian Tergugat 2
perlu ditetapkan jumlah uang pengganti bus termaksud.

do
MA berpendapat bahwa overmacht yang diajukan Tergugat 1 sebagai sebab
gu
timbulnya kebakaran yang menyebabkan musnahnya bus merek Dodge milik
Penggugat tidak terbukti. Setiap orang mengetahui bahwa mengisi bensin pada

In
A
kendaraan bermotor tanpa melalui pompa bensin adalah sangat berbahaya.
Bila yang bersangkutan meskipun mengetahui bahaya tersebut tetap mengisi
ah

lik
bensin dengan menggunakan ember (tanpa melalui pompa bensin) maka ia
harus menanggung risikonya. Kebakaran tersebut terjadi karena kelalaian
seorang pegawai Tergugat 1 dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena
am

ub
itu, menurut yurisprudensi tetap majikannya harus mengganti kerugian
yang timbul karena kesalahan pegawainya. Dengan demikian, dalam soal
ep
ganti rugi dan keadaan memaksa ini, suatu soal yang mendahuluinya adalah
k

menetapkan maksud dari kedua belah pihak dan kesadaran atau pemahaman
ah

para pihak atas perbuatannya. Apakah suatu peristiwa dapat dianggap sebagai
R

si
suatu keadaan memaksa atau tidak adalah suatu soal mengenai penilaian hasil
pembuktian faktual yang tidak tunduk pada pemeriksaaan kasasi.

ne
ng

(4) Putusan MA Reg. No. 3389 K/PDT/1984 tertanggal 27 Maret 1986

do
gu

Penggugat : R.P. Adianto Notonindito


Tergugat : PT Tirta Santika
In
A

Inti : Instruksi Penguasa Administratif yang merupakan pihak pada


suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata yang
ah

lik

menunda pemenuhan prestasi (pengembalian kapal) bukan


alasan adanya keadaan memaksa.
Kasus posisi: Hal lain yang cukup menarik dari penelitian mengenai Putusan
m

ub

MA ini adalah Putusan MA Reg. No. 3389 K/PDT/1984 dalam


ka

perkara R.P. Adianto Notonindito melawan PT Tirta Sartika yang


ep

lebih dikenal dengan ”Charter Partij Kapal–Demmurage–Force


majeur.
ah

es

18 Dokumen Penjelas
Lampiran
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 18 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Kasus posisi:

si
Penggugat telah menandatangani surat perjanjian sewa-menyewa kapal
(Charter Partij) dengan Tergugat tertanggal 6 April 1982. Dalam Charter Partij

ne
ng
itu disetujui bahwa Penggugat menyediakan bagi Tergugat sebuah kapal
bernama MV OSAM TREK (bulk carrier/5.055 ton) berbendera Singapura kelas

do
gu
N.K.K.
Kapal tersebut dipergunakan Tergugat untuk mengangkut muatan
berupa aspal curah sebanyak 4.800 ton dihitung berdasarkan survei yang

In
A
ditandatangani bersama antara Master dan Perusahaan Aspal Negara dari
Pelabuhan Buton sekitar tanggal 16-17 April 1982 dan tanggal dan tempat
ah

lik
penyerahan kembali kapal oleh Tergugat dilakukan di Pelabuhan Tanjung
Priok setelah bongkar muatan usai.
am

ub
Dalam hal ini, Penggugat dan Tergugat telah setuju bahwa jumlah uang
tambang adalah Rp10.500,00 per ton FIOST/FREIGHT. Disetujui juga bahwa
biaya demmurage yang harus dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat
ep
k

adalah sebesar Rp2.000.000,00 per hari untuk kelebihan pemakaian kapal di


ah

luar 12 hari yang telah disepakati. Menurut time sheet yang ditandatangani
R
oleh Kapten MV OSAM TREK ternyata MV OSAM TREK mengalami demurrage

si
selama 27 hari sehingga Tergugat wajib membayar 27 x Rp2.000.000,00 =

ne
ng

Rp54.000.000,00 kepada Penggugat sesuai Charter Partij. Penggugat dalam


hal ini telah melakukan teguran berkali-kali kepada Tergugat untuk menaati
Charter Partij, tetapi Tergugat tidak menghiraukannya.

do
gu

Tergugat berdalih bahwa ia tidak memenuhi kewajiban karena keadaan


memaksa, yaitu berupa keluarnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara
In
A

yang berisi mengenai aturan lalu lintas barang dan bongkar muat. Dalam hal
ini, Tergugat harus menunggu waktu atau giliran muat tiba, yaitu tanggal 17
ah

sampai dengan 19 Mei 1983 sesuai Surat Direksi tersebut. Menurut Tergugat,
lik

hal tersebut adalah keadaan memaksa (force majeure) karena dengan


dikeluarkannya Surat Direksi tersebut, Tergugat tidak dapat berbuat apa-apa
m

ub

dalam arti tidak dapat memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan.


Tergugat mendasarkan alasannya pada Pasal 13 Charter Partij yang
ka

ep

menyebutkan mengenai force majeure, selain act of God. Yang termasuk dalam
pengertian itu adalah perintah dari yang berkuasa, keputusan atau segala
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 19


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 19 12/13/2010 11:40:19 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
tindakan-tindakan administratif yang menentukan atau mengikat atau suatu

si
kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian
tersebut. Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara merupakan suatu ketentuan

ne
ng
atau tindakan administratif dari penguasa setempat yang mengikat untuk
mengatur lalu lintas barang atau bongkar muat barang di pelabuhan sehingga
Tergugat berpendapat hal ini sebagai keadaan memaksa.

do
gu
PN memutuskan Tergugat bersalah melanggar Charter Partij antara
Penggugat dan Tergugat dan menghukum Tergugat untuk membayar secara

In
A
tunai kepada Penggugat jumlah uang demurrage sebesar Rp54.000.000,00
ditambah bunga sebesar 2% per bulan dihitung mulai tanggal 6 Juni 1982
hingga pembayaran dilunasi.
ah

lik
PT memutuskan membatalkan putusan PN. Pertimbangan Hakim PT
adalah walaupun sudah ada Notice of Readiness, yang berarti siap untuk
am

ub
pemuatan, pemuatan tersebut tentunya harus menurut urutan dari penguasa
setempat dan ternyata menurut bukti T-5 yang dibuat oleh Direksi Perusahaan
Aspal Negara, MV OSAM TREK tidak dapat langsung muat, tetapi harus
ep
k

menunggu sampai giliran muat tiba, yaitu tanggal 17 sampai dengan 19 Mei
1983. Menurut Hakim PT, menunggu sampai giliran muat tiba adalah suatu
ah

R
fakta yang tidak dapat diatasi oleh Tergugat karena fakta ini adalah suatu

si
ketentuan atau tindakan administratif dari penguasa setempat yang mengikat

ne
untuk mengatur lalu lintas barang atau bongkar muat di pelabuhan. Hal ini
ng

merupakan suatu kondisi yang bersifat force majeure.


MA membatalkan putusan PT, dan menilai bahwa PT salah menerapkan

do
gu

hukum, dengan pertimbangan bahwa dasar hukum perjanjian antara


Penggugat dan Tergugat adalah Charter Partij yang telah memuat, antara lain
jumlah hari bongkar muat barang dari kapal adalah dua belas hari. Apabila
In
A

lebih dari dua belas hari Tergugat akan dikenakan biaya demurrage sebesar
Rp2.000.000,00 per hari kapal menunggu, dihitung sejak kapal tiba dalam
ah

lik

keadaan siap menerima muatan barang yang dinyatakan dalam Notice of


Readiness (NOR). NOR tersebut telah di-accepted oleh charterer, berarti pada
saat itu kapal tersebut telah siap untuk menerima muatan. Charterer dalam hal
m

ub

ini telah lalai memenuhi isi Charter Partij dan menurut Time Sheet telah terjadi
demurrage selama 27 hari. Sebagai catatan, NOR tersebut dibuat berdasarkan
ka

ep

Pasal 1337 KUH Perdata sehingga Charter Partij mengikat para pihak sebagai
hukum.
ah

es

20 Dokumen Penjelas
Lampiran
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 20 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Atas hal tersebut, MA berpendapat bahwa keadaan memaksa yang

si
dikemukakan oleh Tergugat berupa terbitnya Surat Direksi Perusahaan Aspal
Negara adalah keliru karena Direksi Perusahaan Aspal Negara bukan penguasa,

ne
ng
melainkan sebagai pihak yang berkontrak. Dengan demikian, menurut MA,
alasan yang dikemukakan oleh Tergugat tentang adanya keadaan memaksa

do
untuk membebaskan Tergugat mengganti kerugian tidak berdasarkan
gu
hukum.

In
A
(5) Putusan MA No.409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984
Penggugat : Rudy Suardana
ah

lik
Tergugat : Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim
Inti : Keadaan keadaan memaksa harus memenuhi unsur tidak
am

ub
terduga, tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi
kewajiban atau melaksanakan perjanjian, dan di luar kesalahan
dari pihak tersebut.
ep
k

Kasus posisi:
ah

Penggugat mengadakan perjanjian pengangkutan barang dengan Tergugat, di


R
mana Penggugat menyerahkan barang kepada Tergugat untuk diangkut dan

si
diserahkan Tergugat kepada Penggugat di alamat Penggugat di Samarinda,

ne
ng

pada tanggal yang disepakati. Namun, pada tanggal yang telah disepakati
barang tersebut tidak diserahkan Tergugat kepada Penggugat di alamat
Penggugat di Samarinda. Penggugat menuntut ganti rugi.

do
gu

Tergugat mendalihkan bahwa barang tersebut dikirim dan diangkut melalui


kapal milik pihak ketiga yang diageni oleh Tergugat, dan kapal tersebut
In
A

tenggelam. Tergugat menyatakan bahwa tenggelamnya kapal tersebut adalah


keadaan memaksa, dan karenanya Tergugat tidak bersedia membayar ganti
ah

rugi kepada Penggugat.


lik

PN menyatakan bahwa Tergugat wanprestasi dan menghukum Tergugat


untuk membayar ganti rugi.
m

ub

Pada tingkat banding, PT menguatkan putusan PN.


Pada tingkat kasasi, MA membatalkan putusan PT dan PN, dan
ka

ep

memutuskan bahwa ketidakmampuan Tergugat untuk menyerahkan barang


kepada Penggugat terjadi karena keadaan memaksa. Dalam hal ini, MA
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 21


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 21 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
mempertimbangkan bahwa seorang pengangkut harus mengganti kerugian

si
sebagian atau seluruhnya akibat dari tidak dapat diserahkannya barang-
barang tersebut, terkecuali bila ia dapat membuktikan bahwa tidak dapat

ne
ng
diserahkannya barang tersebut atau kerusakan barang adalah suatu akibat
malapetaka yang secara patut ia tak dapat mencegahnya.

do
Dalam kasus ini, pengangkut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
gu
atau mengganti kerugian karena kapal pengangkut mengalami kecelakaan
dan tenggelam akibat ombak besar yang merusak lambung kapal, padahal

In
A
sebelumnya kapal telah dinyatakan laik laut dan tidak ada kelebihan muatan.
Keberangkatan kapal juga sudah mendapatkan izin dari Syahbandar sehingga
ah

lik
tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan dari pengangkut. Dengan demikian,
dalam kasus tersebut tidak ada beban bagi pengangkut untuk memberi ganti
rugi karena tidak terpenuhinya prestasi adalah akibat suatu kondisi yang siapa
am

ub
pun tidak akan dapat mencegahnya. Logika hukumnya, tidak ada ganti rugi
karena tidak ada kelalaian atau kesalahan di dalamnya.
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik

1 Prof.Koesoemadi, Asas-Asas Perjanjian dan Hukum Perikatan (Jakarta: ISA, 1956), hlm.181.
m

ub

2 Bandingkan dengan Penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf j Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi.
3 Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H.,M.H., Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
ka

Komersial (Surabaya: LaksBang Mediatama Yogyakarta 2008), hlm.245-249.


ep

4 Prof. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis (Bandung: Alumni, 1994).
5 Mr.J.H.Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (judul asli Hoofdstukken Verbintenissenrecht,
diterjemahkan oleh Jasadin Saragih, S.H.,LL.M), (Surabaya: Tanpa Penerbit, 1985), hlm.93-95.
ah

es

22 Dokumen Penjelas
Lampiran
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 22 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
PERSPEKTIF INTERNASIONAL

si
FORCE MAJEURE (‘OVERMACHT’)

ne
ng
ACCORDING TO THE CIVIL CODE OF

do
THE NETHERLANDS
gu
Oleh: Prof. dr. Jaap Hijma 

In
A
ah

lik
Table of contents

Introduction
Obstruction of performance
am

ub
Due to the debtor’s fault
For the debtor’s account pursuant to the law (1); use of persons
For the debtor’s account pursuant to the law (2); use of things
For the debtor’s account pursuant to the law (3); special situations
ep
For the debtor’s account pursuant to a contract
k

For the debtor’s account pursuant to generally accepted principles


ah

Consequences of force majeure


Force majeure in tort law
R

si
ne
A. Introduction
ng

1. Every failure in performance of an obligation shall require the obligor (debtor)

do
to repair the damage which the obligee (creditor) suffers therefrom, unless the
gu

failure is not attributable to the obligor (art. 6:74 par. 2 DCC ). When the failure
in performance is caused by force majeure, this failure cannot be attributed to
In
A

the debtor. As a result, the debtor is not liable for damages. The DCC contains
a rather elaborate set of provisions on this subject.
The core article art. 6:75 DCC: A failure in the performance cannot be
ah

lik

attributed to the debtor, if it is neither due to his fault (see infra, no. 3) nor for
his account pursuant to the law (no. 4-6), a juridical act (no. 7) or generally
m

ub

accepted principles (no. 8).


ka

2. The burden of proof rests with the obligor (debtor). The obligee (creditor) only
ep

needs to show the presence of a failure in the performance. The obligor then is
liable for damages, unless he succeeds in proving force majeure. To that aim the
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 23


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 23 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
debtor will have to prove, according to art. 6:75 DCC, that the failure is neither

si
due to his fault nor for his account. Art. 6:74 par. 2 DCC indicates this allocation of
the burden of proof by means of a so-called ‘unless-formula’ (‘unless the failure

ne
ng
is not attributable ...’).

B. Obstruction of Performance

do
gu
1. The Dutch Civil Code does not explicitly require that performance shall be
obstructed (impossibility to perform). Nevertheless, when performance is still

In
possible, a force majeure plea will almost automatically fail. As long as performance
A
is possible, the debtor can and must perform. Under these circumstances a non-
performance will be due to the debtor’s fault1 and therefore will be attributable
ah

lik
to him. For this reason, obstruction of performance is considered to be an
implicit requirement of force majeure.
The reason why the Code does not mention the requirement of an
am

ub
impediment explicitly is, that the legislator accepts the possibility of exceptions.
As an example he mentions the case that a debtor is obliged as an heir,
whereas he is not aware that the original debtor has died.2 Such situations will
ep
k

be extremely scarce. Most commentators argue that these situations are not
important enough to justify the implicitness of the obstruction requirement.
ah

si
2. The concept of ‘obstruction’ not only comprises absolute impossibility, but
also relative impossibilities. Examples of relative impediments are: practical

ne
ng

impossibility (performance demands a disproportionate sacrifice), moral


impossibility (a serious danger for health, life, honour), juridical impossibility

do
(e.g. when the government forbids performance).
gu

C. Due to the Debtor’s Fault


In
A

1. A failure is due to the debtor’s fault, if he took too little care to prevent it. The
standard is ‘a prudent debtor’, in other words ‘a reasonable man in the position
of the debtor’. Every degree of guilt suffices to exclude force majeure, including
ah

lik

slight guilt (culpa levissima).3


m

ub

2. As for case law, the first and foremost possibility is the debtor’s own carelessness
or negligence in the performance of the contract. In the second place, we can
ka

ep

1 See infra, no. 3.


2 Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW, Boek 6, Deventer: Kluwer 1981, p. 263-264.
3 E.g. Brunner & De Jong, o.c., no. 173.
ah

es

24 Perspektif Internasional
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 24 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
think of culpa in eligendo: the debtor chooses a person who or an object which

si
is unfit to deliver the performance correctly. A third category is formed by the
cases already mentioned above:4 the debtor does not perform although the

ne
ng
(correct) performance is not obstructed.

D. For the Debtor’s Account Pursuant to the Law

do
gu
(1); Use of Persons
1. The next few articles comprise examples of accountability according to the

In
A
law. The legislator distinguishes between persons used (no. 4) and things used
(see no. 5).
Where, in the performance of an obligation, the obligor uses the services
ah

lik
of other persons (hulppersonen), he is responsible for their conduct as if it
was his own (art. 6:76 DCC). This attribution principle rests upon a number of
am

ub
considerations, which are mentioned in a decision of the Dutch Supreme Court
(Hoge Raad der Nederlanden).5 In the first place, the debtor profits from the use
of the other persons. In the second place, the debtor shall be prompted to a
ep
careful choice and organisation.
k
ah

2. The ‘other person’ will often be a servant or employee. However he can as


R

si
well be someone who is not subordinate to the debtor, like a family member,
a friend or a subcontractor. The sole requirements are that the debtor made

ne
ng

use of the services of this other person, and that he did so in performing this
specific obligation. The latter formula means, that the provision does not cover
persons who are only at the debtor’s service in a general way, like a general

do
gu

mechanic in his factory or warehouse. The Supreme Court (Hoge Raad) has
indicated that the group covered by art. 6:76 DCC is ‘not large’.6 If a certain
person’s conduct is not covered by this article, there is still the possibility of an
In
A

attribution of his activities directly on the basis of art. 6:75 DCC.7


ah

lik

3. If art. 6:76 DCC is applicable, the debtor is responsible for the other person’s
conduct ‘as if it was his own (conduct)’. The latter formula indicates a comparison
with the hypothetic case that the debtor himself would have behaved exactly
m

ub
ka

4 See supra, no. 2.


ep

5 HR 21-05-1999, NJ 1999, 733 (B/W).


6 HR 14-06-2002, NJ 2002, 495 (Geldnet/Kwantum).
7 See supra, no. 1.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 25


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 25 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
like the other person did. If the debtor would have been liable in that hypothetic

si
case, he now will be liable too. But if the debtor would not have been liable
in that hypothetic case because he would have been entitled to invoke force

ne
ng
majeure, he now will not be liable either.

E. For the Debtor’s Account Pursuant to the Law

do
(2); Use of Things
gu
1. Where, in the performance of an obligation, a thing is used which is unfit for

In
the purpose, the resulting failure is attributed to the debtor unless this would
A
be unreasonable in view of the terms and necessary implication of the juridical
act from which the obligation arises, generally accepted principles and other
ah

lik
circumstances of the case (art. 6:77 DCC).

2. The article contains three requirements. In the first place, the debtor’s failure
am

ub
must have been caused by the use of an unfit thing. This means the provision
does not extend to cases wherein a defective thing is given instead of used (e.g.
sales contract). In the second place, the thing must be used in the performance
ep
k

of this specific obligation. In the third place, the thing must be unfit for the
ah

purpose: it did not comply with the requirements which were reasonably valid
R
for the thing under the circumstances of the case.

si
3. If art. 6:77 DCC applies, the debtor is liable for damages, unless that would

ne
ng

be unreasonable (art. 6:77 DCC in fine). The ‘unless-formula’ indicates that the
burden of proof rests with the debtor (see no. 1.3).

do
gu

The Supreme Court (Hoge Raad) decisions show some interesting examples of
4.
such a reasonability test.
In
A

In a first famous case, the debtor transported an airplane wing by means of


a crane in which a bolt broke.8 He was not held liable for damages. Relevant
point of view were: the nature of the contract, the fact that the crane as such
ah

lik

was not unsuitable for this kind of use, the discrepancy between the debtor’s
(small) fee and he (large) damage that occurred, plus the fact that the creditor
m

ub

was insured for occurrences like these.


In a second case, the debtor cleaned a factory hall, containing aluminium, by
ka

means of a chemical which had been recommended to him by its manufacturer


ep

8 HR 5-1-1968, NJ 1968, 102 (Fokker/Zentveld; Vliegtuigvleugel).


ah

es

26 Perspektif Internasional
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 26 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
but which appeared corrosive when used on aluminium.9 He was held liable

si
for damages. Relevant points of view were: the nature of the contract, the fact
that the chemicals were absolutely unfit for this kind of use, plus the fact that

ne
ng
the debtor possessed a manufacturer’s guarantee.

F. For the Debtor’s Account Pursuant to the Law

do
(3); Special Situations
gu
1. For a few atypical situations, the Code provides special provisions.

In
The most important one thereof is the debtor’s default. Every impossibility of
A
performance arising during the default of the debtor en not attributable to
the creditor is attributed to the debtor. The debtor must repair the damage
ah

lik
incurred thereby, unless the creditor would equally have incurred the damage
on proper and timely performance (art. 6:84 DCC). The underlying idea is that
if the debtor would have performed timely, the loss would not have been
am

ub
encountered.

2. The second atypical situation is the creditor’s default. Creditor’s default exists
ep
k

when the debtor is willing and capable to perform but the creditor is not
ah

prepared to take delivery. The legislator aims to reduce the debtor’s liability
R
during such a specific situation. Therefore art. 6:64 DCC reads: An event

si
occurring during the default of the creditor making proper performance
wholly or partially impossible shall not be attributed to the debtor, unless by

ne
ng

his fault or by that of his sub-ordinate he has failed to exercise the care which
could have been expected from him in the given circumstances.

do
gu

3. A third atypical field of law governed by a special–mitigated–liability regime is


that of restitution. See art. 6:204 DCC regarding undue payment and art. 6:273
In
A

DCC regarding the setting aside of a contract.

G. For the Debtor’s Account Pursuant to a Contract


ah

lik

1. The second group of accountabilities is formed by contractual arrangements.


As a result of the freedom of contract, the parties are free to decide which risks
m

ub

shall be borne by the debtor and which shall be borne by the creditor. This
freedom also exists with regard to statutory force majeure rules like art. 6:75-76
ka

DCC (persons or things used).


ep

9 HR 13-12-1968, NJ 1969, 174 (Cadix; Polyclens).


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 27


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 27 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Compared with the standard situation deriving from the statutory

si
provisions, the parties can both extend and reduce the number of occurrences
constituting force majeure.

ne
ng
2. Extension of force majeure normally takes the form of warranties (guarantee
clauses); e.g. ‘export guaranteed’. Guarantees, like all other kinds of contractual

do
gu
arrangements, deserve a careful juridical interpretation.10 In most cases the
rendering of a guarantee is considered to imply that the guarantor abandons a
possible force majeure defense.

In
A
Reduction of force majeure comes down to the exclusion of liability for certain
3.
ah

events or occurrences (exemption clauses).

lik
Exemption clause is used by a professional party to the detriment of a
consumer, this clause will be annullable, unless the professional user succeeds
am

ub
in proving it was reasonable in view of the circumstances (art. 6:237 sub f jo.
art. 6:233 sub a DCC). Used to the detriment of a professional party, exemption
clauses are generally considered tolerable.11
ep
k

H. For the Debtor’s Account Pursuant to Generally


ah

Accepted Principles
R

si
1. According to generally accepted principles (verkeersopvattingen) the debtor
cannot invoke force majeure to his defence, if he–as a prudent debtor–could

ne
ng

have foreseen the obstructing circumstances at the moment the contract was
concluded. The background of this principle is, that a debtor who can foresee

do
that his performance will be obstructed and who does not want to bear the
gu

consequences thereof, should stipulate a reservation. If he does not, he will be


liable when the obstructive event occurs.
In
A

2.
According to generally accepted principles the debtor can neither claim force
majeure, when the obstructing circumstances are connected with his person
ah

lik

or with his personal circumstances.


Examples are his insolvency, his susceptibility for illnesses or his lack of
m

ub

capabilities.
As for illness, this will only result in an impediment if the debtor is obliged
ka

ep

10 HR 13-3-1981, NJ 1981, 635 (Haviltex).


11 E.g. 31-12-1993, NJ 1995, 389 (Matatag/De Schelde).
ah

es

28 Perspektif Internasional
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 28 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
to perform personally. In such cases regular illnesses–like a severe cold or the

si
flu–are generally considered to result in force majeure; they affect everyone
equally and therefore are not for the account of this specific debtor. An

ne
ng
abnormal illnesses however, for which this debtor is more susceptible than
other persons, will be attributed to him (no force majeure).

do
3. gu
The Supreme Court (Hoge Raad) has passed an interesting judgment regarding
the frequent case in which a professional seller delivers defective goods,
whereas he did not produce the goods himself and is in good faith regarding

In
A
their quality. The Supreme Court argued that in such a case, pursuant to
generally accepted principles, the failure in performance will normally be for
ah

the debtor’s account.12 As a result, the creditor is entitled to claim damages.13

lik
I. Consequences of Force Majeure
am

ub
1. Dutch law principally acknowledges the remedy of specific performance (art.
3:295 DCC). Force majeure presupposes impossibility;14 no judge will sentence
a party to accomplish what is impossible. For this reason, in cases of force
ep
k

majeure the route to specific performance is blocked. Strictly speaking this


ah

route is barred not because of the force majeure as such, but purely because of
R
the existence of the impediment.

si
As a result of force majeure the debtor is not liable for damages (art. 6:74 par. 2
2.

ne
ng

DCC).
There is one exception to this rule. If the debtor derives a benefit in

do
connection with the failure, which he would not have had in the case of proper
gu

performance, the creditor shall be entitled to reparation of his damage by


application of the rules relating to unjustified enrichment, up to the maximum
In
A

of the amount of such benefit (art. 6:78 DCC).


The latter provision is complex but stands to reason; an example may clarify
it. A sold (but not delivered) a painting to B. A’s house is struck by lightning
ah

lik

and burns down to the ground. A had the painting heavily insured and is
compensated for its loss by the insurance company. If buyer B suffers a loss he
m

ub

normally cannot claim damages; lightning will be considered force majeure.


ka

12 HR 27-4-2001, NJ 2002, 213 (Oerlemans/Driessen), in a matter of contaminated rose fertilizer, sold in


ep

a closed drum.
13 Asser/Hijma 5-I, Asser series, Koop en ruil, Deventer: Kluwer 2007, nos. 436-438.
14 See infra, no. 2.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 29


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 29 12/13/2010 11:40:20 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Art. 6:78 DCC ensures that B is nevertheless entitled to damages insofar A was

si
enriched by the insurance company’s payment.15

ne
ng
Force majeure does not automatically set aside the obstructed obligation or
3.
contract. The other party however can choose to set the contract aside, either
by means of an extra-juridical declaration or by means of demanding a court

do
gu
decision (art. 6:267 DCC).
Every failure of one party in the performance of one of its obligations gives
the other party the right to set the contract aside, in whole or in part (art. 6:265

In
A
par. 1 DCC). Accountability of the failure to the debtor is not required; therefore
the creditor will also be entitled to set the contract aside in case of force
ah

majeure. The background idea is that when a creditor misses the performance

lik
he stipulated, he should always be able to escape the performance he promised
(equal balance between the parties).
am

ub
4. Dutch law embraces the doctrine of unforeseen circumstances (change of
circumstances; clausula rebus sic stantibus). Upon the demand of one of the
ep
k

parties, the court may modify the effects of a contract or it may set it aside, in
whole or in part, on the bases of unforeseen circumstances of such a nature
ah

that the other party, according to the standards of reasonableness and fairness,
R

si
may not expect the contract to be maintained in unmodified form (art. 6:258
par. 2 DCC). In certain cases, the occurrence of force majeure can constitute an

ne
ng

unforeseen circumstance, which allows the judge to alter the contract if one of
the parties (here: the creditor) so demands. The Dutch courts are reserved with
applying this art. 6:258 DCC16 (and rightly so).

do
gu

J. Force Majeure in Tort Law


In
A

1. The concept of force majeure is not only important in the law of contracts
(juridical acts), but also plays a role in the law of torts (onrechtmatige daad).
In that context, force majeure is defined as an–external–power which a person
ah

lik

(i.e. the tortfeasor) cannot resist. If a normally unlawful act is committed under
the influence of force majeure, the act is not unlawful after all. Force majeure in
m

ub

this respect is called a ‘ground for justification’ (rechtvaardigingsgrond). Within


contract law it can be called a justification ground too.
ka

ep

15 Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW, Boek 6, p. 272-273.


16 E.g. HR 20-2-1998, NJ 1998, 493 (Briljant Schreuders/ABP).
ah

es

30 Perspektif Internasional
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 30 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng
ANALISIS LITERATUR

do
gu
TERKAIT OVERMACHT

In
A

ah

lik
A. Pengertian, Unsur, dan Ruang Lingkup
Overmacht
am

ub
Ketentuan mengenai overmacht (keadaaan memaksa) dapat dilihat dalam Pasal 1244
KUH Perdata yang berbunyi: ”Jika ada alasan untuk itu si berutang harus dihukum
ep
k

untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa
ah

tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan
R
perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat

si
dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.”
Selanjutnya Pasal 1245 menyatakan: “Tidaklah biaya rugi dan bunga harus

ne
ng

digantinya bila keadaan memaksa atau lantaran kejadian tidak disengaja si berutang
berhalangan untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau

do
gu

lantaran hal-hal yang sama telah melakukan hal yang terlarang.


Berdasarkan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, dapat ditarik pengertian
overmacht adalah suatu keadaan di mana debitor terhalangan memberikan sesuatu
In
A

atau melakukan sesuatu atau melakukan perbuatan yang dilarang di dalam


perjanjian. Dari kedua pasal ini dapat disimpulkan ada tiga unsur/kriteria overmacht,
yaitu
ah

lik

1. adanya peristiwa yang tak terduga;


2. tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor;
m

ub

3. debitor tidak beritikad buruk.


ka

Selain pengertian overmacht yang dikemukakan dalam Pasal 1244 dan 1245
ep

KUH Perdata sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat beberapa doktrin yang


memberikan pengertian mengenai overmacht. Oleh karena itu, sebagai pembanding
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 31


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 31 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dari pengertian yang telah diberikan oleh UU akan dikemukakan juga pengertian

si
overmacht sebagai perkembangan yang dikemukakan dalam doktrin. Mulai dari
peristilahan, pengertian dan unsur-unsur overmacht dalam perkembangannya

ne
ng
akan dibahas dengan dibedakan dalam tiga era.
1. Era yang pertama antara tahun 1950−1970: terdiri dari Kusumadi dan
R. Subekti;

do
gu
2. Era kedua, antara tahun 1970−1990: era Sri Soedewi Masjchun Sofwan,
Purwahid Patrik, Mariam Darus Badrulzaman dan R.Setiawan;
3. Era ketiga, antara tahun 1990−2009: era J. Satrio, Munir Fuady, Abdulkadir

In
A
Muhamad, Hartono Hadisoeprapto, Djohar Santoso dan Ahmad Ali serta
Agus Yudha Hernoko.
ah

lik
Beberapa istilah overmacht digunakan oleh para ahli hukum, misalnya baik
Kusumadi maupun Subekti menerjemahkan menggunakan terminologi keadaan
am

ub
memaksa. Sementara Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Purwahid Patrik, Mariam
Darus Badrulzaman dan R. Setiawan, serta J. Satrio menggunakan istilah overmacht,
sedangkan Agus Yudha Hernoko menggunakan istilah daya paksa sebagai
ep
k

terjemahan overmacht/force majeure. Meskipun ada beberapa istilah yang digunakan


ah

untuk overmacht, semua mempunyai arti atau terjemahan yang sama.


R

si
1. Era Pertama, Kurun Waktu 1950−1970: Kusumadi dan R. Subekti

ne
ng

Istilah yang digunakan untuk menyebut overmacht/force majeure adalah keadaan


memaksa meskipun kedua ahli hukum ini telah menerjemahkan terminologi
itu dengan keadaan memaksa, dalam pembahasan selanjutnya keduanya tetap

do
gu

menggunakan terminologi overmacht.

Kusumadi
In
A

Kusumadi tidak memberikan pengertian overmacht secara spesifik, tetapi memberi


pengertian overmacht, dengan mendasarkan pada dua ajaran tentang overmacht,
ah

lik

yaitu ajaran lama yang disebut Overmacht Objektif dan ajaran baru, yaitu Overmacht
Subjektif. Makna Overmacht objektif adalah setiap orang sama sekali tidak mungkin
memenuhi verbintenis (perikatan) yang oleh Kusumadi disebut sebagai‘Impossibilitas”,
m

ub

sedangkan Overmacht subjektif adalah tidak terpenuhinya verbintenis karena faktor


“difficult” (yang merupakan lawan dari impossibilitas).17
ka

ep

17 Kusumadi, “Kumpulan Bahan-Bahan Kuliah”, Fakultas Hukum UGM.


ah

es

32 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 32 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Alasan yang digunakan oleh Kusumadi dasar adanya overmacht objektif karena

si
didasarkan pada ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata tentang musnahnya barang yang
terutang dikaitkan dengan Pasal 1381 KUH Perdata tentang hapusnya perikatan butir

ne
ng
ke-7, yaitu musnahnya barang terutang. Berdasarkan butir ke-7 tersebut, perikatan
hapus jika terjadi tiga hal, yaitu
1. barang binasa;

do
2.
3.
gu
barang ada di luar perdagangan;
barang hilang.

In
A
Isi Pasal 1444 KUH Perdata adalah
Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah, tak lagi dapat
ah

diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui

lik
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang
itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
am

ub
Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan
ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga,
perikatan hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama di tangan
ep
k

si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya.


ah

Siberutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga yang


R

si
dimajukan itu.
Dengan cara bagaimanapun sesuatu barang, yang telah dicuri, musnah

ne
atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang
ng

yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya.

Berdasarkan kedua ketentuan itu, ajaran lama, overmacht objektif

do
gu

mengakui adanya overmacht absolut untuk keadaan barang musnah


dan overmacht relatif untuk keadaan di mana barang berada di luar
perdagangan dan hilang. Kusumadi memberi komentar untuk overmacht
In
A

relatif telah ada kompromistis.18

Dasar ajaran overmacht subjektif menurut Kusumadi adalah difficultas


ah

lik

(kebalikan dari impossibilitas). Misalnya, seorang penyanyi telah berjanji


untuk mengikatkan diri mengisi suatu acara, namun beberapa saat
sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal
m

ub

dunia sehingga ia tidak dapat memenuhi perikatan untuk menyanyi.


Contoh lain, sesudah diadakan perjanjian jual-beli secara tiba-tiba, terjadi
ka

kenaikan harga barang yang tidak dapat diduga lebih dahulu sehingga
ep

18 Ibid.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 33


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 33 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
untuk memenuhi kewajibannya melever barang, si penjual harus membeli

si
barang yang harus di-lever tersebut dengan harga yang sangat tinggi.19

ne
ng
Kusumadi menambahkan juga bahwa kedua ajaran di atas tidak ada artinya
jika tidak dilengkapi dengan ajaran risiko.

do
R. Subekti20 gu
Mengemukakan bahwa overmacht atau keadaan memaksa adalah suatu keadaan
di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan disebabkan oleh hal-hal yang

In
A
sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan kata lain, tidak
ah

terlaksananya perjanjian atau terlambat dalam pelaksanaan perjanjian bukan

lik
karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak
salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.
am

ub
Subekti mendasarkan keadaan memaksa pada dua pasal, yaitu Pasal 1244 dan
1245 KUH Perdata. Lebih lanjut Subekti menyatakan bahwa isi kedua pasal sama,
hanya penilaian lebih baik diberikan pada isi Pasal 1244 KUH Perdata karena dianggap
ep
k

paling tepat menunjukkan overmacht. Overmacht yang merupakan pembelaan bagi


debitor yang dituduh lalai juga memberikan beban pembuktian pada debitor untuk
ah

membuktikan adanya peristiwa yang disebut overmacht (keadaan memaksa) itu.21


R

si
2. Era Kedua, Kurun Waktu 1970−1990: Sri Soedewi Masjchun

ne
ng

Sofwan, Purwahid Patrik, Mariam Darus Badrulzaman, dan


R.Setiawan

do
gu

Pada kurun waktu 1970−1980, Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Purwahid Patrik,
dan R.Setiawan, istilah yang digunakan untuk menerjemahkan istilah overmacht
adalah keadaan memaksa. Meskipun telah menerjemahkan istilah itu, mereka
In
A

tetap menggunakan istilah/terminologi overmacht. Pada era kedua ini, pengertian


overmacht tidak banyak mengalami perubahan.
ah

lik

Sri Soedewi Masjchun Sofwan


Sri Soedewi Masjchun Sofwan memberikan pengertian overmacht adalah keadaan di
m

ub

mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht)
atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan
ka

ep

19 Kusumadi, op.cit.
20 R. Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, hlm.55.
21 Ibid, hlm.56.
ah

es

34 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 34 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau

si
dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht). Sebuah contoh
digunakan oleh Sri Soedewi untuk menjelaskan perbedaan antara overmacht dengan

ne
ng
tidak mungkin melakukan hak. Misalnya, seseorang telah memesan kamar-kamar di
suatu hotel dan kemudian hotel itu terbakar di luar kesalahan pemilik hotel, pemilik
hotel tidak dapat dikatakan tidak dapat memenuhi kewajibannya karena keadan

do
gu
overmacht. Berbeda jika tamu hotel yang telah memesan kamar di hotel tadi tiba-
tiba sakit sehingga tidak dapat menggunakan haknya tidak dapat mengemukakan
alasan overmacht untuk melaksanakan kewajibannya membayar kamar tadi. Contoh

In
A
lain, adanya larangan-larangan ekspor, pemogokan buruh.22
Secara tegas Sri Soedewi dalam buku Hukum Perutangan A menyatakan bahwa
ah

lik
overmacht hanya dapat timbul dari kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan yang
tidak dapat diduga lebih dahulu. Harus diingat juga bahwa kemungkinan terjadinya
sesuatu di kemudian hari (misalnya perang) tidak cukup untuk menganggap adanya
am

ub
hal dapat diduga lebih dulu, kecuali jika ada kepastian bahwa peristiwa itu akan
terjadi sehingga orang yang berpikiran sehat akan dapat memperhitungkannya.23
ep
k

Mariam Darus Badrulzaman


ah

Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian overmacht adalah adanya hal


R
yang tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang,

si
sedangkan yang bersangkutan dengan segala daya berusaha secara patut memenuhi
kewajibannya. Selanjutnya, dikemukakan juga bahwa hanya debitor yang dapat

ne
ng

mengemukakan keadaan memaksa, apabila setelah dibuat suatu perjanjian timbul


suatu keadaan yang tidak diduga-duga akan terjadi dan keadaan itu tidak dapat

do
gu

dipertanggungjawabkan kepadanya.24

Purwahid Patrik
In
A

Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitor


tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan
dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.25
ah

lik
m

ub

22 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, 1980, Hukum Perutangan (Bagian A), Seksi Hukum Perdata Fakultas
ka

Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


ep

23 Ibid.
24 Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.
25 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hlm.19.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 35


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 35 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R. Setiawan

si
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh R. Setiawan, keadaan memaksa
adalah keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi

ne
ng
debitor untuk memenuhi prestasinya, di mana debitor tidak dapat dipersalahkan
dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga waktu persetujuan
dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitor lalai untuk memenuhi prestasinya pada

do
gu
saat timbulnya keadaan tersebut.26

3. Era Ketiga, Kurun Waktu 1990−2009: Era Abdulkadir

In
A
Muhammad, J.Satrio, Hartono Hadisoeprapto, Djohar Santoso
dan Ahmad Ali, Munir Fuady, dan Agus Yudha Hernoko
ah

lik
Abdulkadir Muhammad
Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur
am

ub
karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak
dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan. Dalam hukum Anglo Saxon, keadaan memaksa ini dilukiskan dengan
ep
k

istilah frustration, yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang
terjadi di luar tanggung jawab para pihak, yang membuat perjanjian itu tidak dapat
ah

dilaksanakan sama sekali.27


R

si
Berdasarkan pengertian itu, Abdulkadir Muhammad mengemukakan ada tiga
unsur dari overmacht, yaitu28

ne
ng

1. tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau


memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat

do
tetap;
gu

2. tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi


perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau
In
sementara;
A

3. peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan, baik oleh debitur maupun kreditur. Jadi, bukan
ah

lik

karena kesalahan para pihak, khususnya debitur.


m

ub

26 R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Keenam, Putra A Bardin, Bandung,
hlm.27.
ka

27 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 27, (disadur dalam
ep

tesis Teguh Soesetijo Kasnoputra, 2004, Perjanjian Siaran Iklan Antara CV Kencana Jaya dengan Ra-
dio Swara Zenith Angkasa Salatiga, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang).
28 Ibid, hlm. 28.
ah

es

36 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 36 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
J. Satrio

si
J. Satrio menyatakan bahwa keadaan memaksa merupakan keadaan di mana
seorang debitor terhalang untuk melakukan prestasi karena keadaan peristiwa

ne
ng
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan pada debitor sementara keadaan
debitor tidak dalam keadaan buruk.29

do
gu
Johari Santoso dan Achmad Ali
Pengertian overmacht yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Johari Santoso dan
Achmad Ali. Overmacht adalah suatu keadaan memaksa, yaitu suatu keadaan di

In
A
luar kekuasaannya pihak debitur, yang menjadi dasar hukum untuk “memaafkan”
kesalahan pihak debitur.30
ah

lik
Pengertian overmacht di atas mengandung dua unsur, yaitu
1. keadaan di luar kekuasaannya pihak debitur dan bersifat memaksa;
2. keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat sehingga
am

ub
pihak debitur tidak memikul risikonya.31
Dengan demikian, jika terbukti adanya keadaan overmacht ini, pihak debitur
akan luput dari penghukuman untuk menanggung risiko suatu perjanjian. Dengan
ep
k

perkataan lain, overmacht merintangi pihak debitur untuk memenuhi prestasi.


ah

si
Ada dua macam keadaan memaksa (overmacht), yaitu sebagai berikut.
1. Yang bersifat absolut (mutlak): dalam hal sama sekali tidak mungkin lagi

ne
ng

melaksanakan perjanjiannya, misalnya barangnya telah musnah karena


terbakar musnah.
2. Yang bersifat relatif (tidak mutlak): berupa suatu keadaan di mana

do
gu

perjanjian masih dapat juga dilaksanakan, namun dengan pengorbanan-


pengorbanan yang terlalu besar dari pihak debitur, misalnya saja, harga
barang melonjak terlalu tinggi, ada larangan mengirimkan barang sejenis
In
A

itu oleh Pemerintah, dan sebagainya.


Berhubungan dengan overmacht yang relatif, keadaan memaksa sudah
ah

berakhir, penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian masih dapat dituntut
lik

oleh pihak kreditur. Berbeda dengan overmacht absolut, karena objeknya memang
telah musnah sehingga jelas pelaksanaan perjanjian untuk seterusnya tidak dapat
m

ub

lagi dituntut.
ka

29 J. Satrio, 2002, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung.


ep

30 Djohari Santoso dan Achmad Ali, 1989, Hukum Perjanjian Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta. hlm.63.
31 Ibid.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 37


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 37 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
 Ketentuan tentang overmacht berarti membebaskan debitur dari kewajiban

si
untuk memenuhi prestasinya. Tetapi ada kekecualian dari ketentuan umum itu, di
mana risiko overmacht menjadi beban yang harus dipikul oleh debitur.

ne
ng
Overmacht atau disebut juga force majeure atau keadaan memaksa, yaitu suatu
keadaan yang dapat menyebabkan seorang debitur tidak dapat memenuhi prestasi
kepada kreditur, di mana keadaan tersebut merupakan keadaan yang tidak dapat

do
gu
diketahui oleh debitur pada waktu membuat perjanjian atau dengan perkataan lain
bahwa keadaan itu terjadinya di luar kekuasaan debitur.3

In
A
Munir Fuady
Munir Fuady juga mengemukakan pendapatnya tentang overmacht, di mana keadaan
ah

lik
memaksa/keadaan darurat adalah suatu keadaan yang menghalangi seseorang untuk
melaksanakan prestasinya karena keadaan yang tidak terduga pada saat dibuatnya
am

perjanjian, keadaan/peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada

ub
kreditor karena keadaan debitor tidak dalam keadaan beritikad buruk.32
Berdasar pengertian ini, unsur-unsur overmacht menurut Munir Fuady
ep
meliputi
k

1. sebab yang tidak terduga oleh para pihak (Pasal 1244 KUH Perdata);
ah

2. peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak


R

si
yang harus melaksanakan prestasi (Pasal 1244 KUH Perdata);
3. peristiwa itu terjadi di luar kesalahan debitor (Pasal 1545 KUH Perdata);

ne
ng

4. peristiwa yang terjadi tidak disengaja oleh debitor;


5. pihak debitor tidak berada pada keadaan itikad buruk.

do
gu

R.M. Suryodiningrat
Senada dengan pendapat Munir Fuady, R.M. Suryodiningrat memberi pengertian
In
overmacht/keadaan memaksa ialah peristiwa yang terjadi di luar kesalahan
A

debitor setelah dibuat perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya


terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan, atau sepatutnya tidak dapat
ah

lik

memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan.33


Keadaan memaksa (overmacht) adalah suatu keadaan yang menghalangi
m

ub

debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan
tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan
ka

ep

32 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Pertama, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung. hlm.113.
33 R.M. Suryodiningrat, 1995, Azas-Azas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung. hlm.31.
ah

es

38 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 38 12/13/2010 11:40:21 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada

si
saat timbul keadaan tersebut.34

ne
ng
Agus Yudha Hernoko
Agus Yudha Hernoko memberikan pengertian overmacht setelah menyimpulkan
empat pasal dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1244, 1245, 1444, dan 1445. Overmacht

do
gu
adalah peristiwa yang tak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitor setelah
penutupan kontrak yang menghalangi debitor untuk memenuhi prestasinya,
sebelum ia dinyatakan lalai dan karenannya tidak dapat dipersalahkan serta tidak

In
A
menanggung risiko atas kejadian tersebut. Untuk itu, sebagai sarana bagi debitor
melepaskan diri dari gugatan kreditor, dalil overmacht harus memenuhi syarat
ah

lik
bahwa35
1. pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah;
2. terhalangnya pemenuhan prestasi di luar kesalahan debitor;
am

ub
3. peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan
merupakan risiko debitor.
ep
k

Lebih lanjut Agus Yudha Hernoko juga membandingkan antara overmacht


ah

dengan adanya peristiwa yang disebut dengan hardship. Istilah hardship diterjemahkan
R
dengan keadaan sulit. Pengertian hardship dalam Pasal 6.2.2 UPICC adalah peristiwa

si
yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak, yang disebabkan
oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi, membebani pihak yang

ne
ng

melaksanakan kontrak (debitor) atau nilai pelaksanaan kontrak menjadi sangat


kurang bagi pihak yang menerima (kreditor). Aturan tentang hardship (Pasal 6.2.1

do
gu

UPICC) menentukan bahwa jika pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah
satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya
dengan tunduk pada ketentuan hardship. Contoh hardship A dealer barang elektronik
In
A

berdomisili di bekas Republik Demokrasi Jerman, telah melakukan kontrak jual-beli


stok barang dengan B, yang berdomisili di negara X, juga bekas negara sosialis.
Barang itu seharusnya dikirim B pada bulan Desember 1990. A memberi tahu B
ah

lik

bahwa barang tersebut tidak dapat dikirim seperti biasanya, dengan alasan bahwa
setelah penyatuan Republik Demokrasi Jerman dengan Republik Federasi Jerman,
m

ub

34 Agus Suki Widodo, 2004, Tanggungjawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa-menyewa
ka

Kendaraan Bermotor di Surakarta, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, hlm.


ep

38.
35 Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsonalitas dalam Kontrak Komersial, Laks-
Bang Mediatama, Yogyakarta, hlm.241-243.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 39


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 39 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
tidak lagi terbuka pasar untuk barang-barang yang diimpor dari negara X tersebut,

si
kecuali keadaan tersebut menunjukkan sebaliknya, A berhak mendalilkan adanya
hardship. Di Indonesia belum ada pengaturan tentang hardship ini sehingga pada

ne
ng
umumnya hakim akan memutus masalah hardship dengan ketentuan overmacht.36
Dikemukakan lebih lanjut perbedaan antara overmacht dengan hardship.
Pada overmacht, jika terbukti ada overmacht maka saat itu juga kontrak berakhir

do
gu
dan debitor tidak lagi bertanggung gugat atas risiko yang timbul. Pada hardship,
peristiwa yang menghalangi pelaksanaan prestasi lebih ditekankan pada peristiwa
yang mengubah keseimbangan kontrak secara fundamental, baik karena biaya

In
A
pelaksanaan atau karena nilai pelaksanaan yang akan diterima berubah secara
signifikan sehingga menimbulkan kerugian yang tidak wajar bagi pihak lain; jika
ah

lik
terbukti ada hardship, kontrak tidak berakhir, tetapi dapat dilakukan negosiasi ulang
oleh para pihak untuk kelanjutan kontrak; jika renegosiasi gagal, sengketa dapat
diajukan ke pengadilan dan hakim dapat memutus kontrak atau merevisi kontrak
am

ub
untuk mengembalikan keseimbangan secara proporsional.37
Pengertian yang diberikan oleh Kusumadi dan Subekti mempunyai
penekanan yang berbeda. Kusumadi mendasarkan pengertian yang diberikannya
ep
k

untuk overmacht objektif pada ketentuan Pasal 1444 jo Pasal 1381 butir (7) yang
ah

menekankan pada keadaan di mana debitur tidak dapat dipertanggungjawabkan


R
untuk melaksanakan perikatan karena barang yang menjadi objek perjanjian

si
musnah, hilang atau ada di luar lalu lintas perdagangan, bukan karena kesalahan
debitur dan keadaan itu terjadi sebelum debitur lalai menyerahkan barang sebagai

ne
ng

objek perjanjian. Sementara untuk overmacht subjektif, Kusumadi mengemukakan


ada dua alasan, yaitu 1) pemenuhan perikatan tidak dapat dilakukan oleh debitur

do
gu

yang bersangkutan saja dan 2) pemenuhan perikatan masih dapat dilakukan, tetapi
akan menimbulkan masalah yang lain. Misalnya, seorang penyanyi yang telah berjanji
untuk tampil dalam suatu acara tidak dapat memenuhi prestasi karena sebelum
In
A

tampil di panggung mendapat kabar bahwa anaknya meninggal dunia. Lebih lanjut
dikemukakan oleh Kusumadi bahwa tidak ada perbedaan antara overmacht objektif
maupun subjektif, keduanya sama-sama bermuara pada ajaran tentang risiko.
ah

lik

Sementara Subekti menekankan pada keadaan, di mana tidak terlaksananya


perjanjian bukan karena kesalahan/kelalaian debitur sehingga debitur tidak dikenai
m

ub

sanksi karena kesalahan/kelalaiannya itu.


ka

ep

36 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hlm.254.


37 Ibid., hlm.259.
ah

es

40 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 40 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Pengertian yang diberikan oleh Sri Soedewi M.S. mirip apa yang dikemukakan

si
oleh Kusumadi, hanya istilah yang digunakan berbeda. Kusumadi menggunakan
istilah overmacth objektif dan overmacht subjektif, sedangkan Sri Soedewi

ne
ng
menggunakan istilah absulute overmacht dan relative overmacht untuk memberikan
pengertian overmacht atau keadan memaksa. Namun, keduanya menggunakan
contoh yang sama untuk menggambarkan keadaan memaksa.

do
gu
Pengertian overmacht yang diberikan oleh Purwahid Patrik lebih menekankan
pada sebab dan akibat keadaan tidak terlaksananya prestasi, yaitu karena tidak
adanya kesalahan debitur dan tidak perlunya ada pertanggungjawaban dari

In
A
debitur.
Pengertian keempat penulis pada era ketiga ini lebih komplek. Hal itu tampak
ah

lik
pada pengertian yang diberikan oleh Abdulkadir Muhammad yang menekankan
pengertian overmacht pada keadaan yang tidak dapat diprediksi pada saat
pembuatan perjanjian yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakan prestasi
am

ub
oleh debitor. Abdulkadir Muhammad juga menyandingkan overmacht dengan
frustration (halangan), keadaan serupa yang terjadi di negara dengan sistem Anglo
Saxon. Penekanan yang berbeda dikemukakan oleh J. Satrio dan Munir Fuady.
ep
k

Satrio dan Munir Fuady menekankan pengertian overmacht pada keadaan di mana
ah

debitor tidak dapat melaksanakan prestasinya karena terhalang suatu keadaan yang
R
memaksa dan ketiadaan itikad buruk dalam hal tidak dilaksanakannya prestasi oleh

si
debitor.
Sementara Agus Yudha Hernoko, mendefinisikan overmacht sebagai suatu

ne
ng

peristiwa. Peristiwa dalam Kamus Bahasa Indonesia diberi arti keadaan yang tidak
disengaja terjadi. Artinya, para pihak memang tidak memperjanjikan untuk adanya

do
gu

overmacht ini dan dijelaskan pula bahwa overmacht terjadi setelah perjanjian
disepakati oleh para pihak.
Berdasarkan beberapa uraian tentang unsur-unsur overmacht sebagaimana
In
A

dijabarkan di atas, dapat ditarik beberapa unsur utama dalam overmacht, yaitu
1. tidak terpenuhi prestasi karena di luar kesalahan atau kesengajaan debitur;
2. terdapat peristiwa yang menyebabkan objek yang diperjanjikan musnah;
ah

lik

3. peristiwa yang mendasari terjadinya overmacht tidak dapat diduga


sebelumnya;
m

ub

4. peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;


5. debitur tidak beritikad buruk.
ka

ep

Lebih lanjut berdasarkan ruang lingkup overmacht, secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 41


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 41 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. Overmacht karena keadaan alam, yaitu overmacht yang disebabkan oleh

si
keadaan alam yang tidak dapat diduga dan dihindari oleh setiap orang
karena bersifat alamiah tanpa unsur kesengajaan. Termasuk di dalam

ne
ng
overmacht ini, antara lain banjir, longsor, gempa bumi, badai, gunung
meletus, dan sebagainya.
2. Overmacht karena keadaan darurat, yaitu overmacht yang ditimbulkan oleh

do
gusituasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera
dan berlangsung dengan singkat, tanpa bisa diprediksi sebelumnya.

In
Termasuk di dalam overmacht tersebut, antara lain peperangan, blokade,
A
pemogokan, epidemi, terorisme, ledakan, kerusuhan massa, dan
sebagainya.
ah

lik
3. Overmacht karena keadaan ekonomi, yaitu overmacht yang disebabkan
oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi
am

tertentu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor

ub
ekonomi. Termasuk di dalam overmacht tersebut, antara lain terjadi
perubahan kondisi perekonomian atau peraturan perundang-undangan
ep
sedemikian rupa sehingga mengakibatkan tidak dapat dipenuhi prestasi,
k

timbulnya gejolak moneter yang menimbulkan kenaikan biaya bank dan


ah

sebagainya.
R

si
4. Overmacht karena kebijakan atau peraturan pemerintah, yaitu overmacht
yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan

ne
ng

pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan yang baru, yang


berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung. Termasuk di dalam
overmacht tersebut, antara lain larangan Pemerintah karena ada Peraturan

do
gu

Daerah yang melarang masuknya objek perjanjian, perubahan kebijakan


pajak yang ditetapkan pemerintah, dan sebagainya.
In
5. Overmacht keadaan teknis yang tidak terduga, yaitu overmacht yang
A

disebabkan oleh peristiwa rusaknya atau berkurangnya fungsi peralatan


teknis atau operasional yang berperan penting bagi kelangsungan proses
ah

lik

produksi suatu perusahaan, dan hal tersebut tidak dapat diduga akan
terjadi sebelumnya. Termasuk di dalam overmacht tersebut, antara lain tidak
m

ub

bekerjanya mesin yang berpengaruh besar pada kegiatan perusahaan.


ka

Berdasarkan sifatnya, terdapat dua jenis overmacht, antara lain


ep

1. Overmacht tetap, artinya overmacht yang mengakibatkan suatu perjanjian


terus- menerus atau selamanya tidak mungkin dilaksanakan atau tidak
ah

es

42 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 42 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dapat dipenuhi sama sekali. Dalam keadaan yang demikian itu, secara

si
otomatis keadaan memaksa itu mengakhiri perikatan karena tidak
mungkin dapat dipenuhi.

ne
ng
2. Overmacht sementara, artinya overmacht yang mengakibatkan pelaksanaan
suatu perjanjian ditunda daripada waktu yang ditentukan semula dalam
perjanjian. Dalam keadaan yang demikian, perikatan tidak berhenti (tidak

do
gu batal), melainkan hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan
itu sudah tidak ada lagi, pemenuhan prestasi dapat diteruskan.

In
A
Selain itu, overmacht juga dapat dibedakan menurut objeknya, yang terdiri
dari:
ah

lik
1. Overmacht lengkap, artinya mengenai seluruh prestasi itu tidak dapat
dipenuhi oleh debitur.
2. Overmacht sebagian, artinya hanya sebagian dari prestasi itu yang tidak
am

ub
dapat dipenuhi oleh debitur.

Sementara berdasarkan subjeknya, overmacht dapat dibagi menjadi:


ep
k

1. Overmacht objektif, di sini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan


ah

oleh siapa pun. Dasar ajaran ini adalah ketidakmungkinan (imposibilitas).


R
2. Overmacht subjektif, dalam hal ini menimbulkan kesulitan pelaksanaan

si
bagi debitor tertentu. Overmacht subjektif menyangkut kemampuan
debitor sendiri. Ajaran overmacht subjektif di sini kita berhadapan dengan

ne
ng

difficulitas (kesulitan-kesulitan). Debitor masih mungkin memenuhi


prestasi, tetapi dengan pengorbanan yang besar yang tidak seimbang,

do
gu

atau menimbulkan bahaya kerugian yang besar sekali bagi debitur. Hal ini
di dalam sistem Anglo American disebut Hardship yang menimbulkan hak
untuk renegosiasi.
In
A

Mariam Darus Badrulzaman membedakaan overmacht menjadi dua yang


ruang lingkupnya meliputi38
1. Overmacht Umum, dapat berupa iklim, kehilangan, dan pencurian.
ah

lik

2. Overmacht Khusus, dapat berupa berlakunya suatu peraturan (UU atau


Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini tidak berarti prestasi tidak dapat
m

ub

dilakukan, tetapi prestasi tidak boleh dilakukan.


Berbeda dengan Mariam Darus Badrulzaman, Munir Fuady menggunakan
ka

istilah force majeure untuk menerjemahkan overmacht. Munir Fuady membedakan


ep

38 Mariam Darus Badrulzaman,1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 43


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 43 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
force majeure berdasarkan sasaran, pelaksanaan prestasi, jangka waktu berlakunya

si
keadaan yang menyebabkan overmacht sebagai berikut.39
1. Berdasarkan sasaran yang terkena force majeure, force majeure dibedakan

ne
ng
menjadi berikut ini.
a. Force Majeure yang Objektif
Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi atas benda yang merupakan

do
guobjek kontrak tersebut. Artinya, keadaan benda tersebut sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya
unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya, benda tersebut terbakar.

In
A
Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan.
Karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek kontrak, force
ah

lik
majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility.
b. Force Majeure yang Subjektif
Sebaliknya, force majeure yang bersifat subjektif terjadi manakala force
am

ub
majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan (objek
yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam
hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri.
ep
k

Misalnya, jika si debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi


ah

lagi.
R
2. Selanjutnya jika dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam

si
kontrak, suatu force majeure dapat dibeda-bedakan ke dalam:
a. Force Majeure yang Absolut

ne
ng

Yang dimaksud dengan force majeure yang absolut adalah suatu force
majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak

do
gu

mungkin dilakukan. Misalnya, barang yang merupakan objek dari kontrak


musnah. Dalam hal ini, kontrak tersebut tidak mungkin (impossible) untuk
dilaksanakan.
In
A

b. Force Majeure yang Relatif


Sementara itu, yang dimaksud dengan force majeure yang bersifat relatif
adalah suatu force majeure di mana pemenuhan prestasi secara normal
ah

lik

tidak mungkin dilakukan, sungguh pun secara tidak normal masih


mungkin dilakukan. Misalnya, terhadap kontrak impor-ekspor di mana
m

ub

setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang tersebut.


Dalam hal ini, barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan (diimpor),
ka

sungguh pun dalam keadaan tidak normal masih dapat dilakukan.


ep

39 Munir Fuady, op.cit, hlm. 115-117.


ah

es

44 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 44 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Misalnya, jika dikirim barang dengan jalan penyelundupan. Dalam hal ini,

si
sering dikatakan bahwa kontrak masih mungkin (possible) dilaksanakan,
tetapi tidak praktis lagi (impracticability).

ne
ng
3. Kemudian, apabila dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang
menyebabkan terjadinya force majeure, force majeure dapat dibeda-bedakan
ke dalam:

do

gu
a. Force Majeure Permanen
Suatu force majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali sampai
kapan pun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan

In
A
lagi. Misalnya, jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut
musnah di luar kesalahan debitur.
ah

lik
b. Force Majeure Temporer
Sebaliknya, suatu force majeure dikatakan bersifat temporer bilamana
terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin
am

ub
dilakukan untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi peristiwa
tertentu, di mana setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut
dapat dipenuhi kembali. Misalnya, jika barang objek dari kontrak tersebut
ep
k

tidak mungkin dikirim ke tempat kreditur karena terjadinya pergolakan


ah

sosial di tempat kreditur tersebut. Akan tetapi, nantinya ketika keadaan


R
sudah menjadi aman, tentunya barang tersebut masih mungkin dikirim

si
kembali.
 

ne
ng

Dalam ilmu hukum kontrak, suatu force majeure sering pula dipilah-pilah ke
dalam berikut ini.40

do
gu

1. Ketidakmungkinan
Ketidakmungkinan pelaksanaan kontrak adalah suatu keadaan di mana
seseorang tidak mungkin lagi melaksanakan kontraknya karena keadaan di
In
A

luar tanggung jawabnya. Misalnya, kontrak untuk menjual sebuah rumah,


tetapi rumah tersebut hangus terbakar api sebelum diserahkan kepada pihak
pembeli.
ah

lik

2. Ketidakpraktisan (impracticability)
Maksudnya adalah terjadinya peristiwa juga tanpa kesalahan dari para pihak,
m

ub

peristiwa tersebut sedemikian rupa, di mana dengan peristiwa tersebut para


pihak sebenarnya secara teoretis masih mungkin melakukan prestasinya,
ka

tetapi secara praktis terjadi sedemikian rupa sehingga kalaupun dilaksanakan


ep

40 Munir Fuady, op.cit, hlm. 123-126.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 45


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 45 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
prestasi dalam kontrak tersebut, akan memerlukan pengorbanan yang besar

si
dari segi biaya, waktu atau pengorbanan lainnya. Dengan demikian, berbeda
dengan ketidakmungkinan melaksanakan kontrak, di mana kontrak sama

ne
ng
sekali tidak mungkin dilanjutkan, pada ketidakpastian pelaksanaan kontrak
ini, kontrak masih mungkin dilaksanakan, tetapi sudah menjadi tidak praktis
jika terus dipaksakan.

do
gu
Misalnya:
a. Kematian atau sakit dari debitor
Kematian atau sakit dari pihak debitur tidak merupakan tindakan force

In
A
majeure jika pihak ketiga (substitusi) masih mungkin melaksanakan
kontrak tersebut. Akan tetapi jika kontrak untuk melakukan personal
ah

lik
service, misalnya debitur adalah penyanyi terkenal yang dikontrak untuk
membuat rekaman, hal tersebut tidak bisa disubstitusi oleh pihak lain
sehingga dengan demikian, keadaan force majeure dapat dianggap
am

ub
terjadi.
b. Tidak mungkin dilaksanakan dengan cara yang disetujui
Jika dalam suatu kontrak ditentukan bahwa kontrak tersebut dilaksanakan
ep
k

dengan cara-cara tertentu, kemudian cara yang telah disepakati tersebut


ah

tidak dapat ditempuh lagi, force majeure kemungkinan dapat diterapkan


R
jika dipenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya, telah disepakati di antara

si
para pihak tentang cara pembayaran atau cara pengangkutan barang
yang menjadi objek dari kontrak jual-beli.

ne
ng

c. Munculnya larangan oleh hukum


Suatu keadaan force majeure dapat juga terjadi manakala setelah terjadinya

do
gu

kontrak, terbit aturan hukum yang melarang dilaksanakan kontrak


tersebut. Misalnya, kontrak jual-beli secara impor, tetapi setelah kontrak
jual-beli ditandatangani tetapi sebelum barang dikirim, ke luar peraturan
In
A

yang melarang impor barang yang bersangkutan, atau mengenakan bea


impor yang luar biasa tinggi sehingga pelaksanaan impor tersebut secara
bisnis sudah tidak lagi reasonable.
ah

lik

d. Barang objek kontrak musnah atau tidak lagi tersedia


Jika dilakukan kontrak untuk menyewa suatu aula dari gedung kesenian
m

ub

untuk pertunjukan suatu music show, kemudian sebelum acara dilakukan


gedung tersebut terbakar, kontrak sewa gedung tersebut dapat dianggap
ka

dalam keadaan force majeure. Sebab gedung tersebut, yang dalam hal ini
ep

merupakan dasar dari pembuatan kontrak tersebut, sudah tidak tersedia


lagi.
ah

es

46 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 46 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Frustrasi (Frustration)

si
Yang dimaksud dengan frustrasi di sini adalah frustrasi terhadap maksud dari
kontrak.Yakni, dalam hal ini terjadi peristiwa yang tidak dipertanggungjawabkan

ne
ng
kepada salah satu pihak, kejadian mana mengakibatkan tidak mungkin lagi
dicapainya tujuan dibuatnya kontrak tersebut, sungguh pun sebenarnya
para pihak masih mungkin melaksanakan kontrak tersebut. Karena tujuan

do
gu
dari kontrak tersebut tidak mungkin tercapai lagi sehingga dengan demikian
kontrak tersebut dalam keadaan frustrasi.
Misalnya, kasus di mana seseorang membuat kontrak dengan menyewa

In
A
suatu rumah di sebelah selatan Jakarta (daerah yang dianggap relatif aman)
untuk dua bulan mengingat dalam bulan-bulan tersebut diduga terjadi
ah

lik
kerusuhan di Jakarta karena adanya Pemilu yang tidak terkontrol, tetapi
kemudian Pemilu tersebut karena sesuatu dan lain hal dibatalkan oleh
pemerintah. Dengan demikian, tujuan dari kontrak sewa rumah tersebut
am

ub
sudah tidak ada lagi sehingga sungguh pun kontrak tersebut masih mungkin
dilakukan, tujuan dan sekaligus dasar dari kontrak tersebut sudah tidak ada
lagi. Karenanya, kontrak sudah tidak perlu dilanjutkan.
ep
k
ah

B. Akibat Overmacht
R

si
Terjadinya peristiwa overmacht menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan

ne
ng

maupun terhadap risiko yang harus dihadapi oleh para pihak di dalam perjanjian.
Pengaturan akibat terjadinya overmacht dapat ditemukan di dalam berbagai doktrin
yang dikemukakan oleh para ahli. Berikut ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai

do
gu

akibat overmacht ditinjau dari segi akibat terhadap perikatan dan risiko.

R. Setiawan
In
A

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa


akibat, yaitu41
ah

lik

1. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;


2. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib membayar
ganti rugi;
m

ub

3. risiko tidak beralih kepada debitur;


4. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik.
ka

ep

41 R. Setiawan, op.cit, hlm.28.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 47


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 47 12/13/2010 11:40:22 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hartono Hadisoeprapto

si
Hartono Hadisoeprapto mengemukakan tentang beberapa akibat dari timbulnya
overmacht terhadap perikatan. Dengan adanya overmacht maka akibat yang timbul

ne
ng
ialah42
1. kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi;
2. debitur tidak dapat dinyatakan lalai, dan oleh karenanya debitur tidak

do
gu
dapat dituntut untuk mengganti kerugian;
3. risiko tidak beralih kepada debitur.

In
A
Sehubungan dengan terjadinya overmacht itu, perikatannya sendiri sebenarnya
masih ada, tetapi berlakunya perikatan itu saja yang berhenti.
ah

lik
Sri Soedewi Masjchun Sofwan
Ada pendapat lain yang berbeda mengenai bagaimana akibat-akibat dari overmacht
am

ub
itu salah satunya menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan, yang menyatakan bahwa
overmacht harus dibedakan apakah sifatnya sementara ataukah tetap. Dalam hal
yang pertama overmacht hanya mempunyai daya menangguhkan dan kewajibannya
ep
k

untuk berprestasi hidup kembali jika dan sesegera faktor overmacht itu sudah tidak
ah

ada lagi, demikian itu kecuali jika prestasinya lantas sudah tidak mempunyai arti lagi
R

si
bagi kreditur dalam hal terakhir ini perutangannya menjadi gugur (misalnya taksi
yang dipesan untuk membawa seseorang ke stasiun karena ada kecelakaan lalu

ne
ng

lintas, tidak dapat datang pada waktunya, dan ketika lalu lintas sudah aman kembali,
kereta api sudah tidak dapat dicapai lagi).43

do
gu

Abdulkadir Muhammad
Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa yang bersifat objektif dan
subjektif. Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis
In
A

mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void
from the outset). Konsekuensi dari perikatan yang batal ialah pemulihan kembali
ah

dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan jika perikatan
lik

itu sudah dilaksanakan. Tetapi jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya untuk
melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan, pengadilan berdasarkan
m

ub

kebijaksanaannya boleh memperkenankannya memperoleh semua atau sebagian


ka

ep

42 Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yog­
yakarta. Hlm. 47.
43 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, op.cit.
ah

es

48 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 48 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
biaya dari pihak lainnya, atau menahan uang yang sudah dibayar. Dalam hal

si
keadaan memaksa yang bersifat subjektif dan sementara, keadaan memaksa itu
hanya mempunyai daya menangguhkan, dan kewajiban berprestasi hidup kembali

ne
ng
jika keadaan memaksa itu sudah tidak ada lagi. Tetapi jika prestasinya sudah tidak
mempunyai arti lagi bagi kreditur, perikatannya menjadi gugur. Pihak yang satu
tidak dapat menuntut kepada pihak lainnya. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat

do
gu
sementara. Dalam keadaan yang demikian ini, perikatan tidak berhenti (tidak batal),
melainkan hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan itu sudah tidak
ada lagi, pemenuhan prestasi diteruskan.44

In
A
Salim H.S.
ah

lik
Pendapat lain, yaitu Salim H.S., dalam bukunya mengemukakan tiga akibat dari
keadaan memaksa, yaitu45
1. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
am

ub
2. beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;
3. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi, kecuali untuk
ep
k

yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.


ah

R
Ketiga akibat tersebut lebih lanjut dibedakan menjadi dua macam, yaitu

si
1. akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c;
2. akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b.

ne
ng

Mariam Darus Badrulzaman

do
gu

Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan beberapa akibat keadaan memaksa


terhadap perikatan. Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tersebut tidak lagi
bekerja (werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada, dalam hal ini maka46
In
A

1. kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;


2. tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu
tidak dapat menuntut;
ah

lik

3. kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;


m

ub
ka

44 Abdulkadir Muhammad. op.cit, hlm.32.


ep

45 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 103.
46 Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeni, Heru Soepraptomo, H. Faturrahman Djamil, Tary-
ana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 26.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 49


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 49 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. pada perjanjian timbal balik, gugur kewajiban untuk melakukan

si
kontraprestasi;
Jadi pada asasnya, perikatan itu tetap ada dan yang lenyap hanyalah daya

ne
ng
kerjanya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan memaksa yang
bersifat sementara. Perikatan itu kembali mempunyai daya kerja jika keadaan
memaksa itu berhenti.

do
5. gu
hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah
sebagai berikut.
a. Debitur tidak dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu dengan

In
A
jalan penangkisan (eksepsi).
b. Berdasarkan Jabatan Hakim tidak dapat menolak gugat berdasarkan
ah

lik
keadaan memaksa, yang berutang memikul beban untuk membuktikan
adanya keadaan memaksa.
am

ub
Akibat dari overmacht (force majeure) sebagaimana dikemukakan oleh
Purwahid Patrik, yaitu berikut ini.47
a. Kreditur tidak dapat minta pemenuhan prestasi (pada overmacht
ep
k

sementara pada sampai berakhirnya overmacht).


ah

b. Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian.


R
c. Pihak lawan tidak perlu minta pemutusan perjanjian (Pasal 1266 tidak

si
berlaku, putusan hakim tidak perlu).
d. Gugurnya kewajiban untuk berprestasi dari pihak lawan.

ne
ng

M. Yahya Harahap

do
gu

M. Yahya Harahap juga memberikan pendapatnya mengenai akibat dari overmacht.


Berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, overmacht telah ditetapkan
sebagai alasan hukum yang membebaskan debitur dari kewajiban melaksanakan
In
A

pemenuhan (nakoming) dan ganti rugi (schadevergoeding) sekalipun debitur telah


melakukan perbuatan yang melanggar hukum/onrechtmatig. Itulah sebabnya
overmacht disebut sebagai dasar hukum yang membenarkan atau rechtvaardigings-
ah

lik

grond. Ada dua hal yang menjadi akibat overmacht, yaitu sebagai berikut.48
m

ub

47 Purwahid Patrik, 1988, Hukum Perdata I (Asas-Asas Hukum Perikatan), Jurusan Hukum Perdata
ka

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Hlm.20 (disadur dalam tesis Dewi Padusi Daeng
ep

Muri, 2005, Wanprestasi dalam Perjanjian Pembangunan Tower Air Antara CV Macro dengan Gedung
Keuangan Negara di Semarang, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang).
48 Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung, Hlm.95.
ah

es

50 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 50 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. Pembebasan debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding

si
Dalam hal ini, hak kreditur untuk menuntut gugur untuk selama-lamanya.
Jadi, pembebasan ganti rugi sebagai akibat overmacht adalah pembebasan

ne
ng
mutlak.
2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi
(nakoming)

do
gu
Pembebasan pemenuhan/nakoming bersifat relatif. Pembebasan itu pada
umumnya hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht masih
menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan prestasi. Bila

In
A
overmacht hilang, kreditur kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi.
Pemenuhan prestasi tidak gugur selama-lamanya. Hanya tertunda, sementara
ah

lik
overmacht masih ada.
Berdasarkan atas aturan-aturan dalam KUH Perdata yang disebutkan bahwa
atas terjadinya overmacht terdapat dua teori yang relevan, yaitu berikut ini.
am

ub
a) Pihak debitur digugurkan kewajibannya dalam mengganti rugi.
b) Gugurnya kewajiban berprestasi dari pihak debitur.
ep
k

Dengan berlandaskan dari dua teori tersebut maka cara yang dipakai oleh
ah

lembaga adalah tidak memberikan ganti rugi apa pun dan perjanjian dianggap batal
R
dengan sendiri. Beban itu adalah bebas untuk kedua belah pihak.49

si
Agus Yudha Hernoko

ne
ng

Agus Yudha Hernoko mengemukakan pendapatnya mengenai hardship yang


menimbulkan akibat hukum bagi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana

do
gu

diatur dalam Pasal 6.2.3 UPICC yang memberikan alternatif penyelesaian, sebagai
berikut.50
1. Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan renegosiasi kontrak
In
A

kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan


menunjukkan dasar (hukum) permintaan renegosiasi tersebut.
2. Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya
ah

lik

memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan


pelaksanaan kontrak.
m

ub
ka

49 Irenea Sri Widyanti Poedjiotani, 2004, Perjanjian Pengikatan Jual-beli Rumah Antara Purba
ep

Danarta Group dengan Karyawan di Kota Semarang, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
Se­marang
50 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, Hlm 255.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 51


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 51 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Apabila negosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang

si
wajar, para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan.
4. Apabila pengadilan membuktikan adanya hardship maka pengadilan dapat

ne
ng
memutuskan untuk:
a. mengakhiri kontrak pada tanggal dan waktu yang pasti; atau
b. mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya.

do
gu
Memperhatikan akibat hukum adanya hardship di atas, pada prinsipnya
diakui bahwa dalam keadaan demikian, pihak yang dirugikan dapat mengajukan

In
A
permintaan renegosiasi. Tujuan dari renegosiasi ini agar diperoleh pertukaran hak
dan kewajiban yang wajar dalam pelaksanaan kontrak karena terjadi peristiwa yang
ah

lik
secara fundamental mempengaruhi keseimbangan kontrak.

R. Subekti
am

ub
Terkait dengan persoalan risiko, R. Subekti dalam bukunya, juga memberikan
pemahaman mengenai persoalan risiko dengan mengelompokkannya dalam
beberapa macam, misalnya seperti risiko dalam perjanjian jual-beli, tukar-menukar,
ep
k

dan sewa-menyewa. Berikut diuraikan lebih lanjut persoalan risiko dalam beberapa
ah

perjanjian yang dimaksud.


R
1. Risiko dalam Perjanjian Jual-Beli

si
Mengenai risiko dalam jual-beli ini, dalam B.W. ada tiga peraturan, yaitu51
a. mengenai barang tertentu (Pasal 1460);

ne
ng

b. mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal
1461);

do
gu

c. mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462).

Mengenai barang tertentu ditetapkan (oleh Pasal 1460) bahwa barang itu
In
A

sejak saat pembelian (saat ditutupnya perjanjian) adalah atas tanggungan si


pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak
menuntut harganya.
ah

lik

Mengenai hal tersebut, lebih lanjut R. Subekti mengemukakan akan timbul


pertanyaan dari banyak orang, ”Apakah itu adil?”. Secara terus terang harus
m

ub

dijawab: Memang, itu tidak adil. Sebab, bukankah si pembeli (di dalam sistem
B.W.) belum pemilik. Ia baru seorang calon pemilik dan baru menjadi pemilik
ka

pada saat barang itu diserahkan kepadanya (di rumahnya). Selama barang
ep

51 R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm.25.


ah

es

52 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 52 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
belum diserahkan kepada pembeli, apabila si penjual jatuh pailit, barang itu

si
masih termasuk dalam harta kekayaan (boedel) si penjual.52
Tentunya ditanyakan lagi oleh orang banyak: ”Mengapa ada pasal undang-

ne
ng
undang yang memberikan peraturan yang tidak adil itu?” Jawabannya adalah,
secara terus terang lagi, bahwa Pasal 1460 itu (seperti halnya dengan Pasal
1471) telah begitu saja dari Code Civil Perancis, juga tanpa disadari bahwa

do
gu
B.W. menganut suatu sistem yang berlainan dengan Code Civil itu dalam hal
pemindahan hak milik. Dalam sistem Code Civil barang yang dibicarakan tadi
sejak ditutupnya perjanjian sudah menjadi miliknya pembeli. Kalau demikian

In
A
halnya, memang adil bahwa pembeli sudah pula memikul risiko atas barang
yang dibelinya itu. Bukanlah sudah wajar bahwa setiap pemilik barang sendiri
ah

lik
(bukan orang lain) yang harus menanggung semua akibat kejadian yang
menimpa barang miliknya kalau tidak ada yang salah dalam kejadian itu.53
Dengan menginsyafi adanya keganjilan itu, yurisprudensi di Nederland
am

ub
sudah mengambil jalan menafsirkan Pasal 1460 itu secara sempit. Ditunjuknya
pada perkataan ”barang tertentu” yang harus diartikan sebagai barang yang
dipilih dan ditunjuk oleh pembeli, dengan pengertian tidak lagi dapat ditukar
ep
k

dengan barang lain. Dengan membatasi berlakunya Pasal 1460 seperti itu,
ah

keganjilan sudah agak dikurangi. Si pembeli yang sudah menunjuk sendiri


R
barang yang sudah dibelinya, dapat dianggap seolah-olah menitipkan

si
barangnya sampai barang diantarkan ke rumahnya (dalam hal diperjanjikan
bahwa penyerahan akan terjadi di rumah pembeli). Selain itu, berlakunya

ne
ng

Pasal 1460 dibatasi lagi, yaitu ia hanya dipakai jika yang terjadi itu adalah
suatu keadaan memaksa yang mutlak (absolute overmacht) dalam arti bahwa

do
gu

barang yang dibeli, tetapi belum dilever itu musnah sama sekali. Kalau keadaan
memaksa hanya bersifat tak mutlak (relative overmacht), misalnya sekonyong-
konyong oleh pihak berwajib dikeluarkan larangan untuk mengekspor suatu
In
A

macam barang, sedangkan barang yang dibeli terkena larangan itu sehingga
tidak bisa dikirimkan kepada pembeli, akan dirasakan sangat ganjil apabila
pembeli ini masih diwajibkan membayar harganya, padahal si penjual tetap
ah

lik

memiliki barang itu.54


Sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3
m

ub

Tahun 1963 telah menyatakan beberapa pasal dari B.W. tidak berlaku lagi, antara
lain Pasal 1460 tersebut. Dalam anggapan R. Subekti, Surat Edaran Mahkamah
ka

ep

52 Ibid, hlm.26.
53 R. Subekti, op.cit, hlm.26.
54 Ibid, hlm.26-27.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 53


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 53 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Agung itu merupakan suatu anjuran kepada semua Hakim dan Pengadilan

si
untuk membuat yurisprudensi yang menyatakan Pasal 1460 tersebut sebagai
pasal yang mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi.55

ne
ng
Menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1461 dan 1462, risiko atas barang-
barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran diletakkan pada
pundaknya si penjual hingga barang-barang itu telah ditimbang, dihitung atau

do
gu
diukur, sedangkan risiko atas barang-barang yang dijual menurut tumpukan
diletakkan pada si pembeli.56

In
Kalau mengenai barang-barang yang masih ditimbang, dihitung atau diukur
A
dahulu, sebelum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran,
risikonya diletakkan di pundak si penjual, itu memang sudah tepat, tetapi
ah

lik
kalau setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran,
risiko tersebut otomatis dipindahkan kepada pembeli, itu merupakan suatu
ketidakadilan seperti yang dilakukan oleh Pasal 1460 yang dibicarakan di atas.
am

ub
Begitu pula ketentuan tentang barang tumpukan adalah sama karena barang
tumpukan sebetulnya merupakan kumpulan dari barang-barang tertentu
ep
menurut pengertian Pasal 1460.57
k

Kesimpulannya adalah selama belum dilever, mengenai barang dari macam


ah

apa saja, risikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang masih merupakan
R

si
pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan pada pembeli.

ne
ng

2. Risiko dalam Tukar-Menukar58


Risiko dalam perjanjian tukar-menukar diatur dalam Pasal 1545 yang berbunyi:
Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar

do
gu

kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap gugur dan pihak yang


telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang telah ia
In
berikan dalam tukar-menukar.
A

Menurut R. Subekti, peraturan tentang risiko dalam perjanjian tukar-


menukar ini sudah tepat sekali untuk suatu perjanjian yang bertimbal-balik
ah

lik

karena dalam perjanjian yang demikian itu seorang menjanjikan prestasi demi
untuk mendapatkan suatu kontraprestasi. Oleh karena itu, peraturan tentang
risiko dalam perjanjian tukar-menukar ini sebaiknya dipakai sebagai pedoman
m

ub
ka

55 R. Subekti, op. cit, hlm.27.


ep

56 Ibid, hlm.27.
57 Ibid, hlm.28.
58 Ibid, hlm.37.
ah

es

54 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 54 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dalam perjanjian bertimbal-balik lainnya yang timbul dalam praktik (kebiasaan)

si
dan karenanya tidak ada peraturan yang tertulis, misalnya perjanjian sewa-
beli.

ne
ng
3. Risiko dalam Sewa-Menyewa59
Menurut Pasal 1553, dalam sewa-menyewa itu risiko mengenai barang yang

do
gu
dipersewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang menyewakan.
Namun, peratuan risiko dalam sewa-menyewa itu tidak begitu jelas diterangkan
oleh Pasal 1553 tersebut seperti halnya dengan peraturan tentang risiko

In
A
dalam jual-beli yang diberikan oleh Pasal 1460, di mana dengan terang dipakai
perkataan “tanggungan” yang berarti risiko.
ah

lik
Peraturan tentang risiko dalam sewa-menyewa itu harus diambil dari
Pasal 1553 tersebut secara mengambil kesimpulan. Dalam pasal ini dituliskan
bahwa apabila barang yang disewakan itu musnah karena suatu peristiwa
am

ub
yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa
“gugur demi hukum”. Dari perkataan “gugur demi hukum” inilah kita simpulkan
bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari
ep
k

pihak lawannya, hal mana berarti bahwa kerugian akibat musnahnya barang
ah

yang dipersewakan dipikul seluruhnya oleh pihak yang menyewakan. Ini


R
memang sutau peraturan risiko yang sudah setepatnya karena pada asasnya

si
setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas barang miliknya.

ne
ng

R. Setiawan
Sehubungan dengan persoalan risiko ini, R. Setiawan membedakan risiko pada

do
gu

persetujuan sepihak dan risiko pada persetujuan timbal balik.60


1. Risiko pada Persetujuan Sepihak
Menurut Pasal 1245 B.W., risiko dalam perjanjian sepihak ditanggung oleh
In
A

kreditur atau dengan kata lain, debitur tidak wajib memenuhi prestasinya.
Penerapan ketentuan ini pada perikatan untuk memberikan barang tertentu,
terdapat dalam Pasal 1237 B.W., di mana ditentukan bahwa kreditur yang
ah

lik

harus menanggung risiko. Ketentuan tersebut dalam Pasal 1237 B.W. diulang
lagi dalam Pasal 1444 B.W. dengan perluasan, yaitu selain barangnya musnah,
m

ub

juga jika barangnya di luar perdagangan atau dicuri.


ka

ep

59 R. Subekti, op.cit, hlm.44.


60 R. Setiawan, op.cit, hlm.32.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 55


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 55 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Menurut Pasal 1237 dan Pasal 1444 B.W., debitur diwajibkan membayar

si
ganti rugi jika bendanya musnah setelah debitur lalai untuk menyerahkan
barangnya. Selanjutnya, Pasal 1444 B.W. masih memberikan perlunakan, yaitu

ne
ng
debitur sekalipun lalai, masih dapat dibebaskan dari kewajiban berprestasi
jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah, sekalipun ia
menyerahkan tepat pada waktunya. Pasal 1445 B.W. menentukan bahwa apa

do
gu
yang diperoleh debitur sebagai penggantian daripada barang yang musnah
harus diserahkan kepada kreditur (asuransi).
2. Risiko pada Persetujuan Timbal Balik

In
A
Pitlo mengemukakan bahwa menurut kepantasan, jika debitur tidak lagi
berkewajiban, pihak lainnya pun bebas dari kewajibannya.
ah

lik
Selain berdasarkan alasan tersebut, pendapat Pitlo tersebut pun didukung
oleh ketentuan undang-undang, yaitu antara lain Pasal 1246, 1545, dan 1563
B.W.
am

ub
Ketentuan-ketentuan tersebut membebankan kerugian dalam hal terjadi
keadaan memaksa kepada debitur pada siapa barangnya musnah. Kecuali
yang diatur dalam Pasal 1460 B.W., yang menentukan bahwa jual-beli barang
ep
k

tertentu risikonya dibebankan kepada pembeli.


ah

Abdulkadir Muhammad
R

si
Mengenai risiko dalam hal terjadi keadaan memaksa menurut Abdulkadir Muhammad,
hanya ditemukan satu pasal, yaitu Pasal 1237 KUH Perdata yang berbunyi, “Dalam hal

ne
ng

adanya perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu, maka benda itu sejak
perikatan dilahirkan adalah menjadi tanggung jawab kreditur”.61

do
gu

Jadi menurut pasal ini, risiko ada pada kreditur. Tetapi, pasal ini hanya berlaku
untuk perjanjian unilateral (sepihak), bukan untuk perjanjian bilateral (timbal balik).
Untuk perjanjian bilateral, pasal-pasal yang mengatur soal risiko harus dicari dalam
In
A

bagian khusus, yang mengatur perjanjian-perjanjian khusus. Pasal-pasal itu adalah


Pasal 1460 tentang jual-beli barang tertentu, Pasal 1545 tentang perjanjian tukar-
menukar, Pasal 1553 tentang perjanjian sewa-menyewa.62
ah

lik

Pasal 1460 KUH Perdata: ”Sejak saat pembelian (ditutupnya perjanjian), barang
itu menjadi tanggung jawab pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan,
m

ub

dan penjual berhak menuntut harganya.” Menurut pasal ini, dalam hal terjadi
keadaan memaksa, risiko ada pada pembeli. Pasal ini dirasakan tidak adil karena
ka

ep

61 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm.33.


62 Ibid, hlm.34.
ah

es

56 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 56 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pembeli belum menjadi pemilik sebab belum ada penyerahan (transfer of ownership,

si
levering). Pasal ini adalah sisa pengaruh Perancis. Menurut hukum Perancis, hak milik
itu berpindah seketika terjadi perjanjian, jadi tidak dikenal levering.63

ne
ng
Pasal 1545 KUH Perdata: ”Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan
untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap
gugur, dan bagi pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat dituntut kembali

do
gu
barangnya yang telah diberikan dalam tukar-menukar itu.” Menurut pasal ini, dalam
hal terjadi keadaan memaksa, risiko ada pada masing-masing pemilik barang

In
yang dipertukarkan. Perbedaannya dengan Pasal 1460 di atas bahwa dalam Pasal
A
1545 dengan tegas dinyatakan perjanjiannya gugur, karena itu dipulihkan dalam
keadaan semula seolah-olah tidak ada perjanjian. Sementara dalam Pasal 1460 itu
ah

lik
perjanjiannya tidak gugur, tetapi jalan terus. Oleh karena itu, harus dilaksanakan
sebagaimana dikehendaki pihak-pihak walaupun terjadi keadaan memaksa.64
am

ub
Pasal 1545 dipandang sebagai pasal yang bisa diperlukan secara umum karena
dirasakan lebih adil dan lebih sesuai dengan selera masyarakat yang mempertahankan
haknya. Diperlakukan secara umum maksudnya ialah dapat diikuti oleh perbuatan
ep
hukum selain tukar-menukar, di mana kedua belah pihak saling berprestasi. Dalam
k

pembentukan hukum perikatan nasional nantinya, ide Pasal 1545 ini perlu diikuti.65
ah

Namun demikian, dalam Pasal 1545 ini penggunaan istilah ”gugur” itu kurang
R

si
tepat dilihat dari segi konsekuensi hukumnya. Sebab dalam istilah ”gugur”, tidak
terpenuhinya tujuan perikatan karena keadaan memaksa yang mengakibatkan

ne
ng

pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak yang lainnya.66
Pasal 1553 KUH Perdata: ”Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan itu

do
musnah sama sekali karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian
gu

sewa-menyewa gugur demi hukum (ayat 1)”. ”Jika barangnya musnah sebagian,
penyewa boleh memilih menurut keadaan, meminta pengurangan harga sewa atau
In
A

pembatalan perjanjian sewa-menyewa itu, tetapi dalam kedua hal ini ia tidak berhak
meminta ganti rugi (ayat 2).”67
Dari kata ”gugur demi hukum” ini dapat diketahui bahwa masing-masing pihak
ah

lik

tidak dapat menuntut apa-apa dari pihak lainnya. Rumusan Pasal 1553 ini lebih tepat,
menggunakan istilah ”gugur demi hukum”. Karena pada dasarnya, masing-masing
m

ub

63 Ibid, hlm.34.
ka

64 Ibid, hlm.35.
ep

65 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 35.


66 Ibid, hlm.35.
67 Ibid, hlm.36.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 57


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 57 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pihak telah menikmati prestasi yang diperjanjikan. Hanya saja karena keadaan

si
memaksa, penikmatan itu menjadi terhenti.
Kerugian akibat kemusnahan itu dipikul sepenuhnya oleh pemilik barang.

ne
ng
Jadi, dalam keadaan memaksa yang mengakibatkan musnahnya barang, risiko
sepenuhnya ditanggung oleh pemilik. Pasal ini mengatur risiko dalam perjanjian
timbal balik (bilateral). Dalam pembentukan hukum perikatan nasional nantinya, ide

do
gu
pasal ini dapat diikuti.68

Sri Soedewi Masjchun Sofwan

In
A
Doktrin lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchun Sofwan,
membedakan mengenai risiko yang lebih khusus, yaitu dalam pemborongan
bangunan. Hal ini sedikit berbeda dengan pengaturan mengenai risiko sebagaimana
ah

lik
telah dikemukakan oleh ahli-ahli lainnya.69
Jika pekerjaan yang dilakukan musnah di luar kesalahan dari pemborong,
am

misalnya karena banjir, gempa bumi, kebakaran, dan sebagainya, dan dia telah

ub
berusaha untuk menanggulangi bahaya tersebut, si pemborong berhak memperoleh
pembayaran kerugian seimbang dengan pekerjaan yang telah dihasilkan dan
ep
ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan.70
k

Pemborong juga akan dibebaskan dari kewajiban penggantian kerugian, yang


ah

disebabkan kurang tepatnya perencanaan bangunan yang terdapat dalam bestek


R
yang dibuat oleh si pemberi tugas. Dalam keadaan demikian maka risiko kerugian

si
ada pada pemberi tugas.71

ne
ng

Salim H.S.
Dalam teori hukum menurut Salim H.S., dikenal suatu ajaran yang disebut dengan

do
resicoleer (ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu seorang
gu

berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini
In
timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan
A

pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Dalam perjanjian sepihak yang
menanggung risiko atas musnahnya tanah (misalnya) adalah penerima tanah (Pasal
ah

lik

1237 KUH Perdata), sedangkan yang termasuk dalam perjanjian timbal balik, yaitu
jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan lain-lain.72
m

ub

68 Ibid, hlm.37.
69 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, 1982, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty,
ka

Yogyakarta. Hlm.87.
ep

70 Ibid, hlm.87.
71 Ibid, hlm.87.
72 Salim H.S., op.cit, hlm. 103.
ah

es

58 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 58 12/13/2010 11:40:23 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Salim H.S. dalam bukunya memberikan contoh mengenai risiko dalam jual-

si
beli, yaitu A telah membeli sebuah rumah beserta tanahnya kepada B seharga
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Rumah itu dibeli pada tanggal 10 Januari

ne
ng
1996. Namun, rumah tersebut belum diserahkan kuncinya oleh B kepada A. Akan
tetapi, pada tanggal 10 Februari 1996, terjadi gempa bumi yang memusnahkan
rumah tersebut. Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, yang menanggung risiko atas

do
gu
musnahnya rumah tersebut adalah A (pembeli) walaupun rumah tersebut belum
diserahkan dan dibayar lunas. Jadi, B berhak menagih berapa pembayaran yang
belum dilunasi oleh A.73

In
A
Lebih lanjut menurutnya, ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata telah dicabut
berdasarkan SEMA No. 3 Tahun 1963. Ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara
ah

lik
tegas, namun penerapannya harus memperhatikan:
1. bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan
2. bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
am

ub
tersebut.

Di dalam perjanjian tukar-menukar, risiko tentang musnahnya barang di luar


ep
k

kesalahan pemilik, persetujuan dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi
ah

persetujuan dapat menuntut pengembalian barang yang telah ia berikan dalam


R
tukar-menukar (Pasal 1545 KUH Perdata). Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-

si
menukar sangat sedikit jika dibandingkan dengan perjanjian jual-beli. Namun, di
dalam ketentuan mengenai tukar-menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang

ne
ng

jual-beli berlaku bagi perjanjian tukar-menukar.74


Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual-beli risiko

do
gu

atas musnahnya barang menjadi tanggung jawab pembeli, sedangkan dalam


perjanjian tukar-menukar, perjanjian menjadi gugur.75
Dalam perjanjian sewa-menyewa apabila barang yang menjadi objek sewa itu
In
A

hancur atau musnah, yang bukan disebabkan oleh pihak penyewa. Terhadap hal ini,
dapat kita lihat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1553 KUH Perdata. Musnah
atas barang objek sewa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu musnah secara total
ah

lik

dan musnah sebagian dari objek sewa.76


1. Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan
m

ub

di luar kesalahannya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu gugur


ka

73 Salim H.S., op.cit, hlm. 104.


ep

74 Ibid, hlm.104.
75 Ibid, hlm.104.
76 Ibid, hlm. 63.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 59


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 59 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
demi hukum dan yang menanggung risiko atas musnahnya barang tersebut

si
adalah pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH Perdata). Artinya, pihak
yang menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggung segala

ne
ng
kerugiannya.
2. Jika barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat
memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau akan

do
gu
meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUH Perdata).

Pada dasarnya, pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia tidak

In
A
dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan (Pasal
1553 KUH Perdata).
ah

lik
M. Yahya Harahap
Selanjutnya, M. Yahya Harahap dalam bukunya Segi-Segi Hukum Perjanjian, juga
am

ub
mengemukakan tentang risiko, yang dibeda-bedakan dalam jual-beli, tukar-
menukar, dan sewa-menyewa.77
1. Risiko Jual-Beli
ep
Risiko atas barang objek jual-beli tidak sama, terdapat perbedaan sesuai
k

dengan sifat keadaan barang yang menjadi objek jual-beli. Jika objek jual-beli
ah

terdiri dari barang tertentu, risiko atas barang berada pada pihak pembeli,
R
terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian. Sekalipun penyerahan

si
barang belum terjadi, penjual berhak menuntut pembayaran harga seandainya
barang musnah (Pasal 1460 BW).

ne
ng

Dari ketentuan Pasal 1460 BW, jual-beli mengenai barang tertentu, sekejap
setelah penjualan berlangsung, risiko berpindah kepada pembeli. Seandainya

do
barang yang hendak dilevering lenyap, pembeli tetap wajib membayar harga.
gu

Menurut pendapat M. Yahya Harahap, ketentuan Pasal 1460 di atas adalah


hukum yang mengatur (aanvullendrecht), bukan hukum yang memaksa
In
A

(dwiringendrecht) karena ketentuan tersebut dapat dikesampingkan oleh


persetujuan. Lebih lanjut diterangkan bahwa Pasal 1460 itu sendiri belum
dapat memberi jawaban atas semua keadaan, terutama atas persoalan jika
ah

lik

barang yang menjadi objek jual-beli tadi benar-benar tidak dapat diserahkan,
bukan karena barangnya musnah.
Objek jual-beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan, bilangan
m

ub

atau ukuran, risiko atas barang, tetap berada di pihak penjual, sampai saat
barang itu ditimbang, diukur, dan dihitung (Pasal 1461 BW). Akan tetapi jika
ka

ep

77 M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 184.


ah

es

60 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 60 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
barang telah dijual dengan tumpukan atau onggokan, barang-barang menjadi

si
risiko pembeli meskipun barang-barang itu belum ditimbang, diukur atau
dihitung (Pasal 1462).

ne
ng
2. Risiko Tukar-Menukar
Pasal 1545 BW mengatur persetujuan tukar-menukar atas barang tertentu. Jika
salah satu objek tukar-menukar tadi terdiri dari barang tertentu, dan sebelum

do
gu
diserahkan kepada pihak lain barang tertentu tersebut hilang atau musnah
akibat suatu sebab di luar kesalahan si empunya, persetujuan tukar-menukar
dalam hal seperti ini:

In
A
a. dianggap gugur;
b. pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut pengembalian
ah

barang yang telah sempat diserahkannya.

lik
3. Risiko Sewa-Menyewa
am

ub
Risiko dalam sewa-menyewa ditemukan dalam Pasal 1553 di mana telah
menjelaskan mengenai kemungkinan musnahnya barang yang disewa,
sebagai akibat suatu kejadian yang tiba-tiba yang tak dapat dielakkan. Jadi
ep
apabila barang yang disewa musnah dalam jangka waktu masa perjanjian
k

sewa masih berlangsung, bisa menimbulkan persoalan sebagai berikut.


ah

a. Musnahnya seluruh barang


R

si
Apabila yang musnah itu seluruh barang, dengan sendirinya menurut
hukum perjanjian sewa-menyewa gugur. Kalau begitu, akibat musnahnya

ne
ng

seluruh barang yang disewa dengan sendirinya (van rechtswege)


menggugurkan sewa-menyewa. Tidak perlu diminta pernyataan batal
(nietig verklaring) dan risiko kerugian dibagi dua antara pihak yang

do
gu

menyewakan dengan pihak si penyewa.


b. Musnahnya sebagian barang
Apabila yang musnah hanya sebagian, si penyewa dapat memilih:
In
A

1) meminta pengurangan harga sewa sebanding dengan bagian yang


musnah;
ah

lik

2) atau menuntut pembatalan perjanjian sewa.


Si penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah ia akan meminta pe­
ngurangan harga sewa ataukah ia akan meminta, bahkan pembatalan perjanjian
m

ub

sewa, tetapi tidak dalam satu dari kedua hal itu ia berhak atas suatu ganti rugi.78
ka

ep

78 Royen Saragi, 2003, Tanggungjawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa-menyewa Save
Deposit Box (SDB) (Suatu Studi di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Sema-
rang), Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 61


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 61 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Mariam Darus Badrulzaman

si
Mariam Darus Badrulzaman juga memberikan beberapa pandangan mengenai
risiko di mana beliau mengacu pada ketentuan-ketentuan di dalam KUH Perdata,

ne
ng
yang membagi lebih lanjut dalam hal-hal berikut ini.79
1. Risiko pada Perjanjian Sepihak
Di dalam bagian umum, yaitu Pasal 1237 KUH Perdata diatur siapa yang

do
gu
menanggung risiko dalam perjanjian sepihak. Perikatan sepihak adalah
perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu pihak. Ketentuan Pasal

In
1237 KUH Perdata diperluas lagi dalam suatu ketentuan lain, yaitu dalam Pasal
A
1444 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1237 KUH Perdata, dalam perikatan untuk memberikan
ah

lik
sesuatu tertentu, kebendaan itu sejak perikatan dilahirkan adalah tanggungan
si berpiutang. Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, sejak kelalaian,
am

ub
kebendaan adalah atas tanggungan si berutang.
Pasal 1444 KUH Perdata mengatakan bahwa apabila barang dapat
diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui
ep
apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya asal barang
k

itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang dan sebelum ia lalai
ah

menyerahkannya.
R

si
Dari asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 KUH Perdata, dapat
diketahui bahwa dalam perikatan sepihak apabila terjadi ingkar janji karena

ne
ng

force majeure (di luar kesalahan debitur), risiko ada pada kreditur. Demikian
juga halnya menurut ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata.

do
gu

2. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik


Dalam bagian umum dari KUH Perdata tidak diatur tentang risiko dalam
In
perjanjian timbal balik. Para pengarang mencari penyelesaian hal ini di dalam
A

asas kepatutan (billijkheid), menurut kepatutan dalam perjanjian timbal balik,


risiko ditanggung oleh mereka yang tidak melakukan prestasi.
ah

lik

Asas kepatutan di dalam KUH Perdata dituangkan di dalam ketentuan-


ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Menurut
m

ub

Pasal 1545, apabila sesuatu barang tertentu yang dijanjikan musnah di luar
salah pemiliknya, persetujuan dianggap gugur dan siapa yang dari pihak
ka

telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang telah


ep

79 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm.29-32.


ah

es

62 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 62 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
diberikannya dalam tukar-menukar. Pasal 1553 KUH Perdata menyebutkan

si
pula bahwa selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah
karena suatu kejadian yang tidak disengaja maka persetujuan gugur demi

ne
ng
hukum.
Dari kedua ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian
yang timbal balik, apabila terjadi keadaan memaksa sehingga suatu pihak tidak

do
gu
memenuhi prestasi maka risiko adalah atas tanggungan dari pemilik. Bahwa
merupakan suatu keadilan dan pantas untuk perjanjian tersebut di mana pihak
yang lain dibebaskan dari kewajibannya untuk menyerahkan barang.

In
A
KUH Perdata masih memberikan suatu ketentuan lagi mengenai risiko dalam
perjanjian timbal balik, yang jika dilihat dari segi isinya mempunyai perbedaan
ah

lik
dengan apa yang diatur oleh Pasal 1545 dan Pasal 1553 KUH Perdata. Pasal
1460 KUH Perdata mengatakan jika barang yang dijual itu berupa suatu
barang yang sudah ditentukan maka barang itu sejak saat pembelian adalah
am

ub
atas tanggungan si pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si
penjual berhak menuntut harganya.
Asas yang terkandung di dalam Pasal 1460 KUH Perdata bertentangan
ep
k

dengan asas yang terkandung di dalam perjanjian tukar-menukar dan sewa-


ah

menyewa (perjanjian timbal balik).


R
Pertentangan ini dapat dipahami apabila kita memperhatikan sejarah dari

si
Pasal 1460 KUH Perdata itu. Menurut sejarahnya, ketentuan itu berasal dari
Code Civil yang di dalam sistemnya tidak mengenal lembaga penyerahan

ne
ng

untuk terjadinya hak milik, berlainan dengan sistem yang berlaku di dalam KUH
Perdata. Oleh karena itu, di dalam menggunakan ketentuan-ketentuan yang

do
gu

mengatur tentang risiko dalam perjanjian timbal balik, para pengarang telah
sepakat untuk mempergunakan Pasal 1545 KUH Perdata sebagai ketentuan
pokok dan Pasal 1460 sebagai ketentuan yang mati.
In
A

Agus Yudha Hernoko


Terdapat beberapa teori menurut Agus Yudha Hernoko untuk membahas risiko
ah

lik

tanggung gugat dalam terjadi overmacht, yang mencoba memberikan argumentasi


masing-masing, meliputi sebagai berikut.80
m

ub

1. Teori Objektif. Teori ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ’prestasi tidak mungkin
bagi setiap orang’, artinya terkait dengan ketidakmungkinan mutlak bagi setiap
ka

orang (vide Pasal 1444 BW). Namun demikian, dalam perkembangannya teori
ep

80 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hlm. 245.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 63


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 63 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 70
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
ini tidak berlaku absolut (mutlak), tetapi lebih mendekati teori subjektif bahwa

si
apa yang dianggap secara objektif berlaku bagi semua orang, pada akhirnya
juga diterima bahwa perlu diperhatikan subjek-subjek perikatan yang terkena

ne
ng
akibat overmacht tersebut.
2. Teori Subjektif. Titik tolak teori ini adalah ’prestasi tidak mungkin bagi debitor
yang bersangkutan’ artinya terkait dengan ketidakmungkinan relatif (dengan

do
gu
mengingat keadaan pribadi atau subjek debitor).
J.F. Houwing dengan Teori Usahanya (Inspanningsleer) merupakan
pendukung teori subjektif. Teori ini beranjak dari pemikiran bahwa ’overmacht

In
A
mulai di mana kesalahan berhenti’, artinya debitor harus dihukum membayar
ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan bahwa demi perikatan, ia telah
ah

lik
melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya berdasarkan pendapat
dalam lalu lintas masyarakat dan makna yang wajar dari kontrak tersebut.
Untuk itu, debitor harus membuktikan bahwa ia telah berusaha, berdasarkan
am

ub
kriteria:
a. pendapat dalam lalu lintas masyarakat;
b. makna yang wajar dari kontrak yang bersangkutan.
ep
k

3. Teori Risiko dari J.L.L. Wery, beranjak dari pemikiran bahwa ’overmacht mulai
ah

diterima di mana risiko berhenti’, artinya debitor harus dihukum membayar


R
ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan

si
prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat.
Dengan kata lain, meskipun debitor tidak bersalah, ”Apakah ia harus

ne
ng

bertanggung gugat?” Apabila jawabannya positif, debitor memikul risiko


tanggung gugat. Teori ini menimbulkan bahaya atau teori ambil-alih risiko

do
gu

(Gevaarzetting Theorie) merupakan contoh dari teori risiko, bahwa di sini


debitor telah mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut.
In
A

Berdasarkan akibat overmacht terhadap perjanjian yang telah diuraikan oleh


beberapa doktrin sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya akibat
tersebut memiliki persamaan antara pendapat satu dengan yang lainnya. Dapatlah
ah

lik

ditarik suatu batasan tentang akibat overmacht terhadap perjanjian, yaitu perjanjian
putus baik selama-lamanya maupun sementara, pembebasan atas ganti rugi,
m

ub

peralihan risiko, dan sebagainya.


Ada beberapa doktrin yang memiliki kesamaan mengenai akibat overmacht
ka

terhadap perikatan sebagaimana dikemukakan oleh R. Setiawan, M. Yahya Harahap,


ep

Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Hartono Hadisoeprapto. Pendapat pertama,


yaitu menurut R. Setiawan, yang menyatakan keadaan memaksa menghentikan
ah

es

64 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 64 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 71
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu kreditur tidak lagi

si
dapat meminta pemenuhan prestasi, debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan
karenanya tidak wajib membayar ganti rugi, risiko tidak beralih kepada debitur dan

ne
ng
kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik. Ada dua
hal yang menjadi akibat overmacht yang lebih sederhana disampaikan oleh M. Yahya
Harahap, yaitu pembebasan debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding dan

do
gu
membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi (nakoming).
Pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman,
dkk., yang menyatakan keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tersebut tidak

In
A
lagi bekerja (werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada, dalam hal ini maka
kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi, tidak dapat mengatakan
ah

lik
debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut, kreditur
tidak dapat meminta pemutusan perjanjian, pada perjanjian timbal balik maka gugur
kewajiban untuk melakukan kontraprestasi. Hartono Hadisoeprapto mengemukakan
am

ub
beberapa akibat overmacht, yaitu kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi,
debitur tidak dapat dinyatakan lalai, dan oleh karenanya debitur tidak dapat dituntut
untuk mengganti kerugian, dan risiko tidak beralih kepada debitur.
ep
k

Ada pendapat lain yang berbeda mengenai bagaimana akibat-akibat


ah

dari overmacht itu, salah satunya menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan, yang
R
menyatakan bahwa overmacht harus dibedakan apakah sifatnya sementara dan

si
tetap, sedangkan Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa yang
bersifat objektif dan subjektif. Salim H.S. membedakan akibat keadaan memaksa

ne
ng

menjadi absolut dan relatif.


Berdasarkan berbagai doktrin yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik suatu

do
gu

garis besar mengenai akibat overmacht terhadap perikatan. Akibat overmacht


tersebut dapat dibedakan menjadi overmacht objektif/absolut/tetap dan overmacht
subjektif/relatif/sementara. Pada keadaan overmacht yang pertama perikatan
In
A

putus, pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi, sedangkan pada
overmacht yang kedua, perikatan tidak berhenti hanya pemenuhan prestasi
tertunda. Hal ini berakibat pihak lawan tidak dapat meminta pemenuhan prestasi
ah

lik

dan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian, tetapi jika kesulitan itu tidak ada
lagi maka pemenuhan prestasi harus diteruskan.
m

ub

Agus Yudha Hernoko dalam bukunya juga mengembangkan teori overmacht


yang disebut dengan hardship, di mana menurut penulis lebih condong ke arah
ka

overmacht yang bersifat relatif/sementara. Hardship memiliki akibat pihak yang


ep

dirugikan dapat mengajukan permintaan renegosiasi. Hal ini merupakan suatu


ajaran baru yang belum pernah secara khusus dibahas oleh doktrin terdahulu.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 65


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 65 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 72
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Munculnya hardship tidak terlepas dari pengaruh perkembangan pola kehidupan

si
masyarakat yang cenderung mengalami perubahan yang tentu saja berpengaruh
terhadap lahirnya ajaran hukum baru mengenai overmacht yang disebut hardship

ne
ng
tersebut.
Selanjutnya dalam hal terjadi overmacht maka tidak ada kewajiban untuk
mengganti biaya, rugi, dan bunga. Berikut ini akibat overmacht.

do
1. gu
Kreditur tidak dapat minta pemenuhan prestasi (pada overmacht sementara
sampai berakhirnya keadaan).
2. Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244 dan Pasal 1245

In
A
KUH Perdata).
3. Pihak lawan tidak perlu minta pemutusan perjanjian (Pasal 1266 KUH Perdata
ah

lik
tidak berlaku, dan tidak memerlukan putusan Hakim).
4. Gugur kewajiban untuk berprestasi dari pihak lawan.
am

ub
Berdasarkan uraian mengenai akibat overmacht yang telah dikemukakan
sebelumnya, dapat dibedakan akibat overmacht terhadap risiko dan terhadap
perjanjian itu sendiri. Risiko adalah suatu kewajiban untuk menanggung kerugian
ep
k

sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menimpa objek
ah

perjanjian dan bukan karena kesalahan dari salah satu pihak. Mengenai risiko telah
R
diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata di mana dalam perjanjian sepihak, risiko ada

si
pada kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik yang diatur dalam Pasal
1444 KUH Perdata, risiko ada pada para pihak. Di samping itu, ada aturan tentang

ne
ng

perjanjian-perjanjian khusus, misalnya perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUH


Perdata) jika ada overmacht maka perjanjian batal demi hukum. Jadi, risiko ada pada

do
gu

para pihak. Pada perjanjian tukar-menukar (Pasal 1545 KUH Perdata) di mana risiko
ada pada para pihak dan perjanjian menjadi gugur, sedangkan risiko pada perjanjian
jual-beli (Pasal 1460, 1461, dan 1462 KUH Perdata) risiko ada pada pembeli. Hal ini
In
A

karena kesalahan dalam pengambilan pasal yang ada dalam Code Civil.
Berdasarkan uraian mengenai akibat dari overmacht berupa risiko serta
terhadap perjanjian, dapat ditarik suatu asumsi dasar beberapa pendapat doktrin
ah

lik

sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pada intinya, pendapat-pendapat yang


telah dikemukakan dalam doktrin antara satu dengan yang lainnya memiliki
m

ub

kesamaan, baik dalam cara pandang maupun dasar yang digunakan. Kebanyakan
para ahli mengacu pada hukum positif yang berlaku, yaitu KUH Perdata dan
ka

peraturan-peraturan lainnya.
ep

Mengenai akibat overmacht, dewasa ini mengalami perkembangan yang


semakin kompleks meskipun tidak secara menyeluruh. Pada dasarnya, dari berbagai
ah

es

66 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 66 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 73
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pendapat doktrin yang telah dikemukakan, sebagian besar berpedoman pada

si
ketentuan dalam KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1237 KUH Perdata, Pasal 1460
KUH Perdata, Pasal 1545 KUH Perdata, dan Pasal 1553 KUH Perdata yang mengatur

ne
ng
tentang risiko.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya di atas, terdapat
beberapa hal yang dapat ditunjukkan mengenai perkembangan risiko dalam

do
gu
doktrin, dari doktrin yang dikemukakan oleh R. Subekti, R. Setiawan, Sri Soedewi
M.S., Abdulkadir Muhammad, M. Yahya Harahap, Mariam Darus Badrulzaman, dkk.
yang merupakan tokoh generasi terdahulu, sampai dengan doktrin dari Salim H.S.,

In
A
Agus Yudha Hernoko yang merupakan tokoh generasi baru.
R. Subekti mengenai risiko dalam bukunya lebih menyatakan Pasal 1460 KUH
ah

lik
Perdata sebagai ketentuan yang tidak adil. Selain itu, berlakunya Pasal 1460 KUH
Perdata dibatasi, yaitu hanya dipakai jika yang terjadi itu suatu keadaan yang mutlak
dan tidak mutlak. R. Subekti juga membahas mengenai risiko dalam Pasal 1461
am

ub
dan Pasal 1462, sedangkan pengaturan risiko dalam tukar-menukar sebagaimana
diatur dalam Pasal 1545 menurutnya sudah tepat sekali untuk suatu perjanjian yang
bertimbal-balik. Lebih lanjut pengaturan risiko berdasarkan Pasal 1553 tentang
ep
k

sewa-menyewa dianggap sudah setepatnya demikian karena pada asasnya setiap


ah

pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas barang miliknya.


R
Risiko yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad juga mengacu pada

si
ketentuan dalam KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1237, Pasal 1460, Pasal 1545, dan
Pasal 1553. Sejalan dengan pendapat dari R. Subekti, menurutnya Pasal 1460 ini

ne
ng

merupakan pasal yang tidak adil karena pembeli belum menjadi pemilik sebab
belum terjadi penyerahan. Dikemukakan pula olehnya bahwa pasal ini merupakan

do
gu

sisa pengaruh dari Perancis. Abdulkadir Muhammad menganggap Pasal 1545 KUH
Perdata sebagai pasal yang bisa diperlakukan secara umum karena dirasakan lebih
adil dan lebih sesuai dengan selera masyarakat yang mempertahankan hak-haknya.
In
A

Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari R. Subekti. Namun di pihak lain, beliau
mempermasalahkan istilah ”gugur” dalam Pasal 1545 kurang tepat dilihat dari segi
konsekuensi hukumnya.
ah

lik

Ada perbedaan dalam salah satu doktrin yang dikemukakan oleh Sri Soedewi
M.S. yang lebih mengkhususkan mengenai risiko dalam perjanjian pemborongan
m

ub

bangunan. Risiko di sini sebenarnya secara substansi tidak jauh berbeda dengan risiko
yang dikemukakan oleh para ahli lainnya. Perbedaannya hanya lebih menekankan
ka

pada risiko yang lebih khusus sifatnya terhadap perjanjian pemborongan bangunan,
ep

sedangkan doktrin atau pendapat ahli lainnya lebih umum sifatnya, yaitu hanya
dalam jual-beli, tukar-menukar, dan sewa-menyewa.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 67


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 67 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 74
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Salim H.S. menggunakan istilah risiko dengan ajaran resicoleer. Secara umum,

si
hal-hal yang dikemukakan sama seperti doktrin lainnya, yaitu hanya sebatas pada
Pasal 1237, Pasal 1460, Pasal 1545, dan Pasal 1553 KUH Perdata. Beliau menyatakan

ne
ng
bahwa ketentuan Pasal 1460 telah dicabut oleh SEMA No. 3 Tahun 1963. Ketentuan ini
tidak dapat diterapkan secara tegas, tetapi penerapannya harus memperhatikan:
1. bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu;

do
2. gu
bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
tersebut.

In
A
Risiko juga dikemukakan oleh M. Yahya Harahap yang membagi risiko jual-beli
(Pasal 1460), tukar-menukar (Pasal 1545), dan sewa-menyewa (Pasal 1553). Menurut
ah

lik
pendapat M. Yahya Harahap, ketentuan Pasal 1460 adalah hukum yang mengatur
(aanvullendrecht), bukan hukum yang memaksa (dwiringendrecht) karena ketentuan
tersebut dapat dikesampingkan oleh persetujuan. Lebih lanjut diterangkan bahwa
am

ub
Pasal 1460 itu sendiri belum dapat memberi jawaban atas semua keadaan, terutama
atas persoalan jika barang yang menjadi objek jual-beli tadi benar-benar tidak dapat
diserahkan, bukan karena barangnya musnah. Hal ini sejalan dengan pendapat
ep
k

doktrin yang telah dikemukakan oleh para ahli sebelumnya.


ah

Pandangan mengenai risiko Mariam Darus Badrulzaman, dkk. mengacu pada


R
ketentuan-ketentuan di dalam KUH Perdata yang membagi lebih lanjut dalam risiko

si
pada perjanjian sepihak dan risiko pada perjanjian timbal-balik. Perjanjian sepihak
mengacu pada Pasal 1237 dan juga menurut ketentuan Pasal 1444. Pada perjanjian

ne
ng

timbal-balik terkandung asas kepatutan sebagaimana Pasal 1460, Pasal 1545, dan
Pasal 1553 KUH Perdata. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat

do
gu

doktrin yang telah dikemukakan sebelumnya.


Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Agus Yudha Hernoko, yang
mengemukakan tentang risiko tanggung gugat dalam terjadi overmacht. Beliau
In
A

memberikan beberapa teori untuk membahas hal tersebut, yaitu berupa teori
subjektif yang didukung oleh J.F. Houwing dengan Teori Usahanya (Inspanningsleer),
teori objektif dan teori risiko yang dikemukakan oleh J.L.L. Wery. Teori-teori
ah

lik

tersebut agak sedikit berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh para ahli
sebelumnya. Perbedaannya lebih terletak pada penggunaan istilah risiko tanggung
m

ub

gugat yang lebih lanjut dibedakan menjadi beberapa teori. Ada hal yang menarik,
yaitu dalam teori usaha (Inspanningsleer) yang dikemukakan oleh J.F. Houwing, di
ka

mana merupakan pendukung dari teori subjektif. Menurut teori ini, prestasi masih
ep

memungkinkan dilakukan oleh debitor, tetapi dengan usaha yang berat.


ah

es

68 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 68 12/13/2010 11:40:24 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 75
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat

si
ditarik suatu asumsi bahwa akibat overmacht, baik terhadap perikatan maupun
menyangkut risiko mengalami perkembangan pemikiran dari doktrin era lama

ne
ng
dengan doktrin era baru. Pada doktrin era baru, pemikiran mengenai akibat overmacht
tidak hanya mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku seperti pasal-pasal
dalam KUH Perdata, tetapi memunculkan pula teori-teori yang baru seperti halnya

do
gu
teori Inspanningsleer yang dikemukakan oleh J.F. Houwing, dan akibat hukum dari
hardship sebagaimana dapat ditemukan dalam bukunya Agus Yudha Hernoko.
Tentunya perkembangan masyarakat yang semakin kompleks membutuhkan suatu

In
A
inovasi baru yang bisa mengakomodasi segala permasalahan yang muncul. Begitu
pula dalam hal pengaturan tentang overmacht juga mengalami perkembangan.
ah

lik
Masyarakat tentu saja dapat menerima perkembangan overmacht tersebut sesuai
dengan proporsinya masing-masing asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kepatutan, dan kesusilaan.
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 69


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 69 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 76
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 70 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 77
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ANALISIS PERATURAN

ne
ng
PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT KEADAAN

do
gu
MEMAKSA (FORCE MAJEURE)

In
A
ah

lik
A. Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak
Terkait Keadaan Memaksa
am

ub
Secara umum, pengaturan keadaan memaksa (force majeure/overmacht) dalam
perundang-undangan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar. Pertama,
ep
k

force majeure ditentukan sebagai klausul yang harus dimasukkan dalam kontrak/
ah

atau perjanjian mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundang-


R
undangan. Kedua, force majeure diatur dalam peraturan perundang-undangan,

si
tetapi tidak berkaitan dengan kontrak/perjanjian mengenai substansi yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

ne
ng

Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok pertama,


yang dikaji dalam penelitian ini adalah UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

do
gu

juncto Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa


Konstruksi; Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa beserta lampirannya, yang telah diubah beberapa kali berturut-
In
A

turut dengan Keppres No. 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 Tahun
2005, Perpres No. 70 Tahun 2005, Perpres No. 8 Tahun 2006, Perpres No. 79 Tahun
2006, Perpres No. 85 Tahun 2006, dan Perpres No. 95 Tahun 2007.
ah

lik

Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok kedua,


yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 23 Tahun 2007
m

ub

tentang Perkeretaapian, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batu Bara, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jasa Angkutan, Peraturan
ka

Bank Indonesia No. 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum, Peraturan
ep

Bank Indonesia No. 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank


Perkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia No. 10/4/PBI/2008 tentang Laporan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 71


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 71 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 78
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh

si
Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank, Surat Edaran Bank Indonesia No.
11/21/DKBU tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.

ne
ng
Keterbatasan pengaturan force majeure dalam peraturan perundang-undangan
menyebabkan kajian juga memasukkan kontrak-kontrak yang memuat ketentuan
force majeure, yaitu Kontrak Karya, Kontrak Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan

do
gu
Pokok Obligasi kepada Pemegang Obligasi oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia
melalui Pemegang Rekening untuk dan atas nama Perusahaan Terdaftar, Kontrak
Sewa-menyewa Kendaraan, Kontrak Pemborongan Pekerjaan Rencana Teknik Akhir

In
A
(FED) Pembangunan Jalan Tol, Kontrak Perjanjian Kerja Sama Berdasarkan Sistem
Kontrak Karya terkait dengan Eksploitasi Hutan (Logging), Kontrak Perjanjian Jual-
ah

lik
beli (Air Conditioning dan Peralatan Listrik), Kontrak Sewa-menyewa Rumah, Kontrak
Kerja Sama Pengolahan Kayu Jati dan Mahoni, Kontrak Kerja Sama Penangkaran
Satwa Primata, Kontrak Kerja Sama Penyusunan Corporate Plan, Kontrak Kerja Sama
am

ub
Penyelenggaraan Pelatihan Peternak Lebah, Kontrak Pengangkutan Hasil Hutan, dan
Model Kontrak Minyak Bumi dan Gas (AIPN Model Production Sharing Contract, AIPN
Model International Operating Agreement, AIPN Model Contract Gas Sales Agreement,
ep
k

dan AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement).


ah

Singkatnya, kajian ini melingkupi pengaturan force majeure yang diatur


R
dalam peraturan perundang-undangan dan kontrak. Di bawah ini akan diuraikan

si
perkembangan force majeure, yang meliputi perkembangan pengertian, unsur-
unsur, peristiwa penyebab, jenis, dan akibatnya. Uraian mengenai perkembangan

ne
ng

force majeure dalam peraturan perundang-undangan dan kontrak akan dirangkum


dalam subbagian tersendiri.

do
gu

B. Pengertian Keadaan Memaksa (Force Majeure)


In
A

Keadaan memaksa (force majeure/overmacht) merupakan suatu ketentuan yang


tidak begitu banyak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Jika
ditemukan atau diatur, seringkali hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan
ah

lik

peraturan tersebut, misalnya ditempatkan pada bagian ayat atau sub-ayat dari
suatu pasal. Sebagai contoh, dalam KUH Perdata hanya dua pasal yang mengatur
m

ub

tentang force majeure, yaitu Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Berdasarkan kedua
pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa force majeure adalah suatu keadaan di
ka

mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan karena hal-hal yang sama sekali
ep

tidak dapat diduga, dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau
peristiwa yang timbul di luar dugaan tersebut.
ah

es

72 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 72 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 79
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Selain dari KUH Perdata, pengertian force majeure juga bisa diperoleh dari

si
peraturan perundang-undangan. Namun, tidak semua ketentuan perundang-
undangan yang mengatur force majeure memberikan pengertian force majeure.

ne
ng
Peraturan perundang-undangan yang mengatur force majeure dengan memberikan
pengertian force majeure, di antaranya adalah peraturan mengenai Jasa Konstruksi,
Pengadaan Barang dan Jasa, Perbankan, dan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan. Hanya

do
gu
saja, ketentuan force majeure dalam peraturan Perbankan dan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan tidak terkait dengan perjanjian atau kontrak.
Dalam peraturan Jasa Konstruksi dan peraturan Pengadaan Barang dan

In
A
Jasa, pembentuk peraturan mewajibkan para pihak untuk memasukkan klausul
force majeure. Dalam peraturan Jasa Konstruksi, force majeure diartikan sebagai
ah

lik
suatu kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak81. Dalam peraturan Pengadaan Barang
dan Jasa, force majeure disebut keadaan kahar, artinya suatu keadaan yang terjadi
am

ub
di luar kehendak para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak
menjadi tidak dapat dipenuhi.82
Peraturan Bank Indonesia, di antaranya peraturan Laporan Harian Bank
ep
k

Umum,83 Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat,84 Laporan


ah

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank


R

si
81 Pasal 22 ayat (2) huruf j UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juncto Pasal 23 ayat (1)

ne
ng

huruf j Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Lihat
http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+99&f=uu18-1999.htm, dan http://docs.google.
com/viewer?a=v&q=cache:YNPzyuEm7a4J:hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_29_2000.pdf+Peraturan+P
emerintah+No.+29+Tahun+2000+tentang+Penyelenggaraan+Jasa+Konstruksi&hl=id&gl=id&pi

do
gu

d=bl&srcid=ADGEESh5LPnxkXo_L8V7DsW2qWWEZqMAgDlRrfmrEM9hgJ42dVcswOWYS0r4n-
ranOl5Qfw9qY9zax9EHpzjpQ39ZwYnH9ERG02r60JRzFqTzhswBw0QNwN_grLoCWiSWm-Rffo-
Np6Aq&sig=AHIEtbQhfETW4Ey_m31yKkdW0aGVye3axA, yang diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
82 Pasal 29 ayat (1) Angka 10 Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta
In
A

lampirannya, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Kepres No. 61 Tahun 2004, Pera-
turan Presiden No. 32 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 8
Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006, dan Pe-
raturan Presiden No. 95 Tahun 2007. Lihat http://www.jakarta.go.id/v70/direktorihukum/public/down-
ah

lik

load/kepres-80-2003.pdf, http://www.lkpp.go.id/v2/files/content/file/Keppres%20No%2061%20Th%20
2004.pdf, http://www.legalitas.org/database/puu/2005/perpres32-2005.pdf, http://www.inherent-dikti.
net/docs/Perpres_70_11_05.pdf, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/perpres/2006/008-06.pdf, http://
www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/281.pdf, http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/287.
m

ub

pdf, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/perpres/2007/095-07.pdf, yang diakses pada tanggal 27 Juli


2010.
83 Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum. Lihat
ka

http://www.legalitas.org/database/puu/2007/pbi9-2-2007.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.


ep

84 Pasal 26 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keu-
angan Bank Perkreditan Rakyat. Lihat http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C92E5466-AA6A-434B-B018-
A80F43AD4793/11951/pbi_82007.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 73


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 73 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 80
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Perkreditan Rakyat dan Lembaga selain Bank,85 Laporan Kantor Pusat Bank Umum,

si
dan Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat,86 memberikan
pengertian force majeure sebagai suatu keadaan yang menyebabkan suatu bank

ne
ng
tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pelaporan.
Sedikit berbeda dengan peraturan perbankan, dalam peraturan Lalu Lintas
dan Jasa Angkutan, force majeure diartikan sebagai suatu situasi di lingkungan

do
gu
lokasi kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan diri pengemudi, terutama
dari amukan massa dan kondisi pengemudi yang tidak berdaya untuk memberikan
pertolongan.87

In
A
Dari ketentuan ini terlihat bahwa pengertian force majeure sering disesuaikan
dengan karakteristik substansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
ah

lik
yang tersebut di atas.
Selanjutnya, terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai force
majeure, namun tidak memberikan pengertian force majeure. Peraturan tersebut,
am

ub
antara lain peraturan Kontrak Reksa Dana Berbentuk Investasi Kolektif.88 Selain
itu, pengaturan di luar konteks perjanjian dapat juga dilihat dalam peraturan
Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Kontrak Berjangka,89 peraturan
ep
k

Ketenagakerjaan,90 dan peraturan Perkeretaapian.91


ah

Dalam peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, para pihak diwajibkan


R
memasukkan klausul force majeure dalam kontrak yang mereka buat. Hal senada

si
ne
ng

85 Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegi-
atan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain
Bank. Lihat http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/645210FA-DF86-48CF-BEFB-42FDCDF393DE/12546/
PBI104LaporanAPMKBPRnonbank.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.

do
gu

86 Bagian X tentang Alamat, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/21/DKBU tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat (berlaku 10 Agustus 2009). Lihat http://www.bi.go.id/web/
id/Peraturan/Perbankan/se_112109.htm, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
87 Pasal 231 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jasa Angkutan. Lihat http://www.
In
A

menlh.go.id/Peraturan/UU/UU22-2009.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.


88 Angka 1 huruf q Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. Kep-
177/bl/2008 tentang Perubahan Peraturan No. IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif, (”Peraturan No. IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk
ah

lik

Kontrak Investasi Kolektif”).Lihat http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/regulasi_pm/draft_peratu-


ran_pm/draft/Draft_IV.B.2_ Thn2010.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
89 Angka 9 Keputusan Direksi PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia No. Kep-005/DIR/KPEI/0505 ten-
tang Perubahan Peraturan Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Kontrak Berjangka tentang
m

ub

Peraturan Nomor III Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Kontrak Berjangka. Lihat http://
www.kpei.co.id/docupload/Kep-005_0505%20Kliring%20dan%20Penjaminan%20Penyelesaian%20
Transaksi%20Kontrak%20Berjangka.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
ka

90 Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lihat http://pkbl.bumn.go.id/file/UU-13-


ep

2003-ketenagakerjaan.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.


91 Pasal 88 huruf b UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Lihat http://dishubkomintel.acehprov.
go.id/wp-content/uploads/2009/12/23-07.pd, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
ah

es

74 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 74 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 81
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
juga ditemukan dalam ketentuan Penyusunan Kontrak Reksa Dana Berbentuk

si
Investasi Kolektif, di mana Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan) sebagai regulator mewajibkan para pihak untuk memasukkan klausul

ne
ng
force majeure tanpa memberikan penjelasan ataupun pengertian force majeure yang
dimaksud. Pembentuk peraturan seakan memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk mendefinisikan dan menentukan sendiri ruang lingkup dan pengertian force

do
gu
majeure. Atau dengan kata lain, para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak
dapat mendefinisikan sendiri ruang lingkup dan pengertian force majeure.
Adanya kebebasan berkontrak menyebabkan pengaturan force majeure

In
A
menjadi beragam. Ada pengaturan yang memberikan pengertian force majeure
termasuk peristiwa-peristiwa penyebabnya (ruang lingkup), ada pula yang
ah

lik
hanya menyebutkan peristiwa-peristiwa penyebab (ruang lingkup) yang dapat
dikategorikan sebagai salah satu keadaan penyebab terjadinya force majeure tanpa
memberikan pengertian force majeure. Namun, dalam berbagai kontrak lebih banyak
am

ub
ditemukan pengertian force majeure diartikan dengan memberikan bentuk-bentuk
atau ruang lingkup peristiwa konkret.
Kontrak-kontrak yang memberikan pengertian force majeure, termasuk dengan
ep
k

ruang lingkupnya, antara lain adalah Kontrak Pengeboran di Darat dan Perjanjian
ah

Kerja Sama Proses Cetak Koran. Dalam kontrak Pengeboran di Darat, force majeure
R
disebut dengan istilah keadaan paksa, diartikan sebagai kejadian di luar kendali satu

si
pihak. Pengaruh mana menunda atau menyebabkan pelaksanaan kewajiban suatu
pihak dalam kontrak tersebut tidak mungkin dan, sesudah timbul, pihak tersebut

ne
ng

tidak dapat menghindari atau mengatasi kejadian tersebut. Dalam Perjanjian


Kerja Sama Proses Cetak Koran, force majeure diartikan sebagai hal-hal (keadaan)

do
gu

luar biasa di luar kemampuan para pihak dan dapat mempengaruhi pelaksanaan
perjanjian oleh para pihak.92 Dalam model kontrak minyak bumi dan gas, antara lain
dalam AIPN Model International Operating Contract, force majeure diartikan sebagai
In
A

”circumstances which were beyond the reasonable control of the Party concerned and shall
include strikes, lockouts, and other industrial disturbances even if they were not ”beyond
the reasonable control” of the Party.93 Dalam AIPN Model Contract Gas Transportation
ah

lik

Agreement peristiwa force majeure diartikan sebagai ”any event or circumstance the
occurrence of which is beyond the reasonable control of the Claiming Party, and result
m

ub

92 Kontrak yang ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 11 Oktober 2007, pada intinya tentang per-
ka

janjian kerja sama tentang percetakan Koran. Kontrak merupakan milik pribadi dari peneliti.
ep

93 AIPN Model International Operating Contract, diperoleh dari Materi Course of Oil and Gas Law, kerja
sama antara Total E&P Indonesia berkolaborasi dengan Total Professeurs Associes (TPA) Paris dan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 22-26 Maret 2010.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 75


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 75 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 82
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
in the Claiming Party being unable to perform one or more of its obligation under this

si
Agreement, which inability could not have been prevented or overcome by the Claiming
Party exercising reasonable foresight, planning, and implementation as a Reasonable

ne
ng
and Prudent Operator.”94
Kontrak yang memberikan pengertian force majeure dengan menekankan
pada bentuk peristiwa konkret atau ruang lingkupnya saja antara lain ditemukan

do
gu
dalam Kontrak Karya,95 Perjanjian Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok
Obligasi kepada Pemegang Obligasi oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia
melalui Pemegang Rekening untuk dan atas nama Perusahaan Terdaftar,96 Perjanjian

In
A
Sewa-menyewa Kendaraan,97 Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Rencana Teknik
Akhir (FED) Pembangunan Jalan Tol,98 Perjanjian Kerja Sama Berdasarkan Sistem
ah

lik
Kontrak Karya terkait dengan Eksploitasi Hutan (logging),99 Perjanjian Jual-beli (Air
Conditioning dan Peralatan Listrik ),100 Perjanjian Sewa-menyewa Rumah,101 Perjanjian
Kerja Sama Pengolahan Kayu Jati dan Mahoni,102 Perjanjian Kerja Sama Penangkaran
am

ub
Satwa Primata,103 Perjanjian Kerja Sama Penyusunan Corporate Plan, Perjanjian Kerja
Sama Penyelenggaraan Pelatihan Peternak Lebah,104 dan Perjanjian Pengangkutan
Hasil Hutan.105 Terkait dengan bentuk-bentuk peristiwa kongkret (ruang lingkup)
ep
k

dari kontrak-kontrak di atas akan dijabarkan pada subbab selanjutnya.


ah

si
ne
ng

94 AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement, diperoleh dari Materi Course of Oil and Gas
Law, kerja sama antara Total E&P Indonesia berkolaborasi dengan Total Professeurs Associes (TPA)
Paris dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 22-26 Maret 2010.
95 Kontrak Karya tersebut terkait dengan kegiatan pertambangan yang meliputi proses penyelidikan

do
gu

umum, eksplorasi, pengembangan, pembangunan, penambangan, pengolahan serta penjualan. Kontrak


tersebut ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 2 Desember 1986. Kontrak merupakan milik pri-
badi dari peneliti.
96 Kontrak yang ditandatangani oleh para pihak tanggal 17 Maret 2005, pada intinya kontrak tersebut
In
A

terkait perusahaan yang akan menerbitkan obligasi untuk melakukan pendaftaran di KSEI sebagai per-
seroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagai Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian di kegiatan
Pasar Modal. Kontrak merupakan milik pribadi dari peneliti.
97 Kontrak ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 8 April 2005. Kontrak merupakan milik pribadi
ah

lik

dari peneliti.
98 Kontrak yang ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 9 Oktober 2008 tersebut, terkait dengan
kegiatan Pembangunan Jalan Tol Ciawi-Sukabumi. Kontrak merupakan milik pribadi dari peneliti.
99 R. Soeroso, 2007, Contoh-Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam Praktik, Sinar Gra-
m

ub

fika, hlm.196
100 Ibid, hlm. 85
101 Ibid, hlm. 144
ka

102 Ibid, hlm. 151


ep

103 Ibid, hlm. 166


104 Ibid, hlm. 177
105 Ibid, hlm. 512
ah

es

76 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 76 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 83
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
C. Unsur-Unsur Force Majeure

si
Dari pengertian force majeure dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
antara lain dalam ketentuan Jasa Konstruksi, Pengadaan Barang dan Jasa, Perbankan,

ne
ng
dan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana diuraikan di atas, serta dalam
beberapa kontrak, seperti Kontrak Karya, Kontrak Pengeboran di Darat, dapat

do
1.
gu
disimpulkan bahwa unsur-unsur force majeure antara lain
terjadinya keadaan106/kejadian107 di luar kemauan, kemampuan108 atau
kendali109 para pihak;

In
A
2. menimbulkan kerugian110 bagi para pihak atau salah satu pihak;
3. terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang,111
atau tidak dilaksanakannya prestasi112 para pihak;
ah

lik
4. para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari
peristiwa tersebut113;
am

ub
5. kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.

D. Ruang Lingkup (Peristiwa Penyebab)


ep
Force Majeure
k
ah

Ruang lingkup force majeure yang diatur dalam peraturan perundang-undangan


R
maupun dalam berbagai kontrak tidak sama. Makna force majeure telah disesuaikan

si
dengan karakteristik setiap peraturan perundang-undangan atau kontrak. Misalnya,
dalam kontrak terkait kegiatan perdagangan di bursa efek, peristiwa terjadinya

ne
ng

perubahan di bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter dapat dijadikan
sebagai suatu peristiwa konkret, mengingat kegiatan bursa sangat rentan atas

do
gu

peristiwa-peristiwa tersebut. Namun, dalam kontrak sewa-menyewa, kontrak


penangkaran satwa primata, dan kontrak pengangkutan hasil hutan, peristiwa
demikian jarang sekali dicantumkan sebagai bentuk atau peristiwa force majeure.
In
A

Berikut ruang lingkup force majeure yang diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan.
ah

lik

106 Lihat Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, Pasal 29 ayat (1) Angka 10 Keppres No.80 Tahun 2003,
Peraturan Perbankan, dan Kontrak Pengeboran di Darat.
107 Lihat Pasal 22 ayat (2) huruf J UU No.18 Tahun 1999 juncto Pasal 23 ayat (2) huruf J PP No.29 Tahun
m

ub

2000.
108 Ibid.
109 Lihat Kontrak Pengeboran di Darat.
ka

110 Ibid.
ep

111 Lihat Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata.


112 Ibid. Kontrak Pengeboran di Darat dan Peraturan Perbankan.
113 Lihat Kontrak Pengeboran di Darat.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 77


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 77 12/13/2010 11:40:25 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 84
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, ruang lingkup force majeure antara

si
lain:
- peperangan,

ne
ng
- kerusuhan,
- revolusi,
- bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, badai, gunung meletus, tanah

do

gu
longsor, wabah penyakit, dan angin topan,
- pemogokan,
- kebakaran, dan

In
A
- gangguan industri lainnya.
2. Peraturan Perbankan, ruang lingkup force majeure antara lain:
ah

lik
- kebakaran,
- kerusuhan massa,
- perang,
am

ub
- sabotase, dan
- bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
ep
k

3. Peraturan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan, ruang lingkup force majeure antara
ah

lain:
R
- amukan massa, dan

si
- keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh Pengemudi, se­
perti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba.

ne
ng

4. Peraturan Pertambangan Mineral dan Batu Bara,114 ruang lingkup force majeure

do
gu

antara lain:
- perang,
- kerusuhan sipil,
In
A

- pemberontakan,
- epidemik,
- gempa bumi,
ah

lik

- banjir,
- kebakaran, dan
m

ub
ka

ep

114 Pasal 113 ayat (1) huruf (a) dan (b) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara. Lihat http://www.esdm.go.id/prokum/uu/2009/UU%204%202009.pdf, diakses pada tanggal 27
Juli 2010.
ah

es

78 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 78 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 85
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- bencana alam di luar kemampuan manusia.

si
Selain itu, dalam peraturan pertambangan dan mineral dikenal juga istilah
”keadaan yang menghalangi”, yang terdiri atas

ne
ng
- blokade,
- pemogokan,
- perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP (Izin Usaha

do

gu
Pertambangan) atau IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), dan
- peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang
menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilaksanakan.

In
A
Berikut ruang lingkup force majeure yang diatur dalam beberapa kontrak.
ah

lik
1. Kontrak Karya, ruang lingkup force majeure antara lain:
- peperangan,
- pemberontakan,
am

ub
- kerusuhan sipil,
- blokade,
- sabotase,
ep
k

- embargo,
ah

- pemogokan dan perselisihan perburuhan lainnya,


R
- keributan,

si
- epidemik,
- gempa bumi,

ne
ng

- angin ribut, banjir, atau keadaan-keadaan cuaca lainnya yang merugikan,


- ledakan,

do
gu

- kebakaran,
- petir,
- perintah atau petunjuk (adverse order atau direction) pemerintahan ”de jure”
In
A

ataupun ”de facto” atau perangkatnya atau subdivisinya yang merugikan,


- takdir Tuhan,
- perbuatan musuh masyarakat, dan
ah

lik

- kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan


pengusahaan.
m

ub

2. Kontrak Pengeboran di Darat, ruang lingkup force majeure antara lain:


ka

- kerusuhan buruh secara umum,


ep

- huru hara,
- perang (apakah perintah tersebut dikeluarkan secara hukum atau tidak), dan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 79


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 79 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 86
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- tindakan Tuhan, seperti gempa bumi, angin ribut atau gelombang pasang.

si
3. Kontrak Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok Obligasi kepada

ne
ng
Pemegang Obligasi oleh PT KSEI melalui Pemegang Rekening untuk dan atas
nama Perusahaan Terdaftar, ruang lingkup force majeure antara lain:
- banjir,

do


gu
- gempa bumi,
- gunung meletus,
- kebakaran,

In
A
- perang,
- pemogokan,
ah

lik
- bencana nuklir atau radio aktif,
- huru-hara,
- perdagangan efek di bursa efek dihentikan untuk sementara atau dibatasi
am

ub
oleh instansi yang berwenang,
- perubahan di bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter,
- perubahan di bidang terkait dengan usaha Perusahaan Terdaftar, dan
ep
k

- terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional


ah

(namun tidak termasuk kejadian yang berkaitan dengan kegagalan sistem


R
KSEI).

si
4. Kontrak Sewa-menyewa Kendaraan, ruang lingkup force majeure antara lain:

ne
ng

- gempa bumi,
- perang,

do
gu

- angin topan,
- huru-hara, dan
- moneter.
In
A

5. Kontrak Pemborongan (Kontrak) Pekerjaan Rencana Teknik Akhir (FED)


Pembangunan Jalan Tol, ruang lingkup force majeure antara lain:
ah

lik

- gempa bumi,
- tanah longsor,
m

ub

- banjir,
- guntur,
ka

- kebakaran,
ep

- perang,
- huru-hara,
ah

es

80 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 80 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 87
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- pemogokan,

si
- pemberontakan, dan
- epidemi.

ne
ng
6. Kontrak Kerja Sama Proses Cetak Koran, ruang lingkup force majeure antara
lain:

do


gu
- bencana alam,
- kebakaran,
- wabah,

In
A
- pemogokan,
- banjir,
ah

lik
- perang,
- epidemik,
- blokade,
am

ub
- pengrusakan massa, dan
- jika ada perubahan izin-izin percetakan dan penerbitan dari Pemerintah
yang sah.
ep
k
ah

7. Kontrak Kerja Sama Berdasarkan Sistem Kontrak Karya Terkait dengan


R
Eksploitasi Hutan (Logging), ruang lingkup force majeure antara lain:

si
- perang,
- pemberontakan,

ne
ng

- pemogokan,
- kerusuhan,

do
gu

- gempa bumi,
- topan,
- banjir,
In
A

- keadaan cuaca buruk,


- ledakan kebakaran,
- petir,
ah

lik

- huru-hara,
- blokade,
m

ub

- epidemik, dan
- bencana-bencana alam lainnya.
ka

ep

8. Kontrak Perjanjian Jual-beli (Air Conditioning dan Peralatan Listrik ), ruang


lingkup force majeure antara lain:
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 81


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 81 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 88
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- pemogokan,

si
- embargo,
- huru-hara,

ne
ng
- peperangan,
- kebakaran,
- peledakan,

do


gu
- sabotase,
- badai,
- banjir, dan

In
A
- gempa bumi.
ah

lik
9. Kontrak Sewa-menyewa Rumah, ruang lingkup force majeure antara lain:
- bencana alam,
- banjir,
am

ub
- gempa bumi, atau
- keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah.
ep
k

10. Kontrak Kerja Sama Pengolahan Kayu Jati dan Mahoni, ruang lingkup force
ah

majeure antara lain:


R
- banjir,

si
- gempa bumi, atau
- bencana alam lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

ne
ng

11. Kontrak Kerja Sama Penangkaran Satwa Primata, ruang lingkup force majeure

do
gu

antara lain:
- banjir,
- kebakaran,
In
A

- gempa bumi, dan


- operasi militer.
ah

lik

12. Kontrak Kerja Sama Penyusunan Corporate Plan, ruang lingkup force majeure
antara lain:
m

ub

- huru hara,
- perang,
ka

- pemberontakan,
ep

- bencana alam,
- blokade,
ah

es

82 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 82 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 89
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- epidemik,

si
- pemogokan,
- peraturan pemerintah, dan

ne
ng
- lain-lain di luar kekuasaan manusia yang langsung mempengaruhi jalannya
pekerjaan.

do
gu
13. Kontrak Kerja Sama Penyelenggaraan Pelatihan Peternak Lebah, ruang lingkup
force majeure antara lain:

In
- banjir,
A
- tanah longsor,
- kebakaran,
ah

lik
- gempa bumi, dan
- keadaan darurat yang ditetapkan oleh Pemerintah maupun hal-hal
lainnya.
am

ub
14. Kontrak Pengangkutan Hasil Hutan, ruang lingkup force majeure antara lain:
ep
- bencana alam,
k

- banjir,
ah

- peperangan, dan
R

si
- keadaan darurat lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

ne
ng

15. Kontrak-kontrak terkait minyak bumi dan gas (oil and gas contract)
a. AIPN Model Production Sharing Contract, ruang lingkup force majeure antara

do
lain:
gu

- fire,
- epidemic,
In
A

- unavoidable accident,
- declared and undeclared war,
- strikes,
ah

lik

- lockout and other disturbances,


- flood,
m

ub

- stroms,
- earthquakes,
ka

- other natural disturbances,


ep

- insurrection, and
- riot.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 83


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 83 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 90
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
b. AIPN Model International Operating Agreement, ruang lingkup force majeure

si
antara lain:
- strikes, and

ne
ng
- lockout and other industrial disturbances even if they were not ”beyond the
reasonable control” of Party.

do
c.
gu
AIPN Model Contract Gas Sales Agreement, ruang lingkup force majeure antara
lain disebutkan:

In
A
- acts of war (wheather declared or uncleared),
- armed conflict,
- civil unrest or insurrection,
ah

lik
- blockade,
- embargo,
am

ub
- riot,
- sabotage,
- acts of terrorism,
ep
k

- or the specific threat of these acts or even or conditions duo to these acts or
events,
ah

R
- strikes,

si
- work slow down,

ne
- lockout,
ng

- or other industrial disturbance, or


- labor dispute,

do
gu

- epidemic or plague,
- fire,
- earthquake,
In
A

- cyclone,
- hurricane,
ah

lik

- flood,
- drought,
- lightning,
m

ub

- strorms,
- strorms warning,
ka

ep

- navigational and maritime perils,


- or other acts of God.
ah

es

84 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 84 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 91
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Selain peristiwa-peristiwa sebagaimana tersebut di atas, sebagai suatu model,

si
dalam model kontrak tersebut diberikan juga rumusan lain sebagai alternatif
(option), antara lain sebagai berikut.

ne
ng
Alternatif 1
Breakage, fire, freezing, explosion, mechanical breakdown, or other damage

do
gu
or malfunction resulting in the partial or complete shutdown of the facilities
of the Claiming Party.

In
A
Alternatif 2
A change in law, hindrance of government, or other act or failure to act by
any government claiming jurisdiction over this Agreement or the Parties.
ah

lik
Alternatif 3
Failure of Third Party Gas transporter to accept input, take delivery of, and
am

ub
transport Gas through the Third Party Gas transporter’s pipeline system for
reasons that would form a Force Majeure Event as defined in this Agreement
if the Third Party Gas transporter were a Party to this Agreement.
ep
k

Alternatif 4
ah

Hal-hal yang dikecualikan dari peristiwa force majeure antara lain:


R

si
- changes in market condition, including change that directly or indirectly
affect the demand for or price of Gas or any commodity produced from

ne
ng

or with Gas, such as loss of customers or loss of market share;


- financial hardship or the inability of a Party to make a profit or receive
satisfactory rate of return from its operation; or

do
gu

- failure or inability to perform due to a transportation tariff or currency


devaluation.
In
A

d. AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement, ruang lingkup force majeure
antara lain disebutkan:
- acts of war (wheather declared or uncleared),
ah

lik

- armed conflict,
- civil unrest or insurrection,
m

ub

- blockade,
- embargo,
ka

- riot,
ep

- sabotage,
- acts of terrorism,
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 85


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 85 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 92
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- or the specific threat of these acts or even or conditions duo to these acts or

si
events,
- strikes,

ne
ng
- work slow down,
- lockout,
- or other industrial disturbance, or

do


gu
- labor dispute,
- epidemic or plague,
- fire,

In
A
- earthquake,
- cyclone,
ah

lik
- hurricane,
- flood,
- drought,
am

ub
- lightning,
- storrms,
- storms warning,
ep
k

- navigational and maritime perils,


ah

- or other acts of God.


R

si
Selain peristiwa-peristiwa sebagaimana tersebut di atas, sebagai suatu model
kontrak, dalam kontrak tersebut diberikan juga rumusan lain sebagai alternatif

ne
ng

(option), antara lain:

do
gu

Alternatif 1
Breakage, fire, freezing, explosion, mechanical breakdown, or other damage
or malfunction resulting in the partial or complete shutdown of the facilities
In
of the Claiming Party.
A

Alternatif 2
ah

lik

A change in Law, hindrance of government, or other act or failure to act by


any government claiming jurisdiction over this Agreement or the Parties.
m

ub

Alternatif 3
Failure of Third Party Gas transporter to accept input, take delivery of, and
ka

transport Gas through the Third Party Gas transporter’s pipeline system for
ep

reasons that would form a Force Majeure Event as defined in this Agreement
if the Third Party Gas transporter were a Party to this Agreement.
ah

es

86 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 86 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 93
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Alternatif 4

si
Hal-hal yang dikecualikan dari peristiwa force majeure antara lain:
- changes in market condition, including change that directly or indirectly

ne
ng
affect the demand for or price of Gas or any commodity produced from
or with Gas, such as loss of customers or loss of market share;
- financial hardship or the inability of a Party to make a profit or receive

do
satisfactory rate of return from its operation; or
gu
- failure or inability to perform due to a transportation tariff or currency
devaluation; or
- except for failure to pay money caused by Force Majeure affecting the

In
A
agreed means of payment, which event shall be governed by Article 21.9,
the unavailability or lack of fund or failure to indemnify to other Party or
to pay money when due; or
ah

lik
- the breakdown or failure of machinery caused by normal wear and tear
that should have been avoided by a Reasonable and Prudent Operator, the
failure to comply with the manufacturer’s recommended maintenance
am

ub
and operating procedures, or the unavailability at appropriate
locations of standby equipment or spare parts in circumstances where
a Reasonable and Prudent Operator would have had the equipment or
ep
k

spare parts available.


ah

e. Concession Contract Model, tidak menyebutkan klausul tentang force majeure.


R

si
Berdasarkan ruang lingkup force majeure dalam peraturan perundang-
undangan dan kontrak-kontrak di atas, secara garis besar penyebab terjadinya

ne
ng

force majeure dapat dikelompokkan menjadi lima (5).

1. Force majeure karena faktor alam

do
gu

Yaitu force majeure yang disebabkan oleh keadaan alam yang tidak dapat
diduga dan dihindari oleh setiap orang karena bersifat alamiah tanpa
In
unsur kesengajaan. Yang termasuk di dalam force majeure ini adalah banjir,
A

tanah longsor, gempa bumi, badai, guntur, gunung meletus, topan, cuaca
buruk, petir, gelombang pasang, takdir Tuhan, keadaan-keadaan cuaca lain
ah

lik

yang merugikan, bencana alam di luar kemampuan manusia, dan bencana


alam yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di
daerah setempat.
m

ub

2. Force majeure karena kondisi sosial dan keadaan darurat


ka

ep

Yaitu force majeure yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak
wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 87


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 87 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 94
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
singkat tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Termasuk di dalam force

si
majeure tersebut adalah peperangan, pemberontakan, operasi militer,
sabotase, blokade, pemogokan dan perselisihan buruh, kebakaran,

ne
ng
epidemik, terorisme, peledakan, ledakan kebakaran, kerusuhan,
keributan, pengrusakan massa (amukan massa), bencana nuklir, radio
aktif, huru-hara, wabah, kerusuhan buruh secara umum, perbuatan

do
gumusuh masyarakat, keadaan-keadaan lain di luar kekuasaan manusia yang
langsung mempengaruhi jalannya pekerjaan, serta keadaan darurat lain
yang ditetapkan oleh pemerintah.

In
A
3. Force majeure karena keadaan ekonomi (moneter)
ah

lik
Yaitu force majeure yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang
berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang
berhubungan dengan sektor ekonomi. Termasuk di dalam force majeure
am

ub
ini adalah terjadi perubahan kondisi perekonomian atau peraturan
perundang-undangan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan
tidak dapat dipenuhinya prestasi; timbulnya gejolak moneter yang
ep
k

menyebabkan kenaikan biaya bank; embargo; perubahan di bidang


ah

politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter; perubahan di bidang terkait


R
dengan usaha Perusahaan Terdaftar; terjadinya kegagalan sistem orientasi

si
perbankan yang bersifat nasional.

ne
ng

4. Force majeure karena kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh


pemerintah

do
gu

Yaitu force majeure yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi
perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya
kebijakan baru, yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung.
In
A

Termasuk di dalam force majeure ini adalah perdagangan efek di bursa


efek yang dihentikan sementara oleh instansi yang berwenang; terjadinya
perubahan-perubahan izin percetakan dan penerbitan dari instansi;
ah

lik

perintah atau petunjuk (adverse order atau direction) pemerintahan ”de


jure” atau ”de facto” atau perangkatnya atau subdivisinya yang merugikan;
m

ub

peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah


menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilaksanakan.
ka

ep

5. Force majeure keadaan teknis yang tidak terduga


Yaitu force majeure yang disebabkan oleh peristiwa rusaknya atau
ah

es

88 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 88 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 95
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
berkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan

si
penting bagi kelangsungan proses produksi suatu perusahaan, dan
hal tersebut tidak dapat diduga akan terjadi sebelumnya. Termasuk di

ne
ng
dalam force majeure tersebut, yaitu terjadinya kegagalan sistem orientasi
perbankan yang bersifat nasional; keadaan yang secara teknis tidak
mungkin dielakkan oleh Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau

do
gu hewan secara tiba-tiba; kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh
besar terhadap kegiatan pengusahaan.

In
A
E. Jenis-Jenis Force Majeure
Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur force majeure,
ah

lik
terdapat beberapa ketentuan yang mengklasifikasikan force majeure atas beberapa
jenis berikut ini.
am

ub
1. Ketentuan Jasa Konstruksi
Dalam ketentuan Jasa Konstruksi, force majeure dibedakan atas:
ep
a. force majeure yang bersifat mutlak (absolute), yakni para pihak tidak
k

mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya;


ah

b. force majeure yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak
R

si
masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya.

ne
2. Ketentuan Perbankan
ng

Dalam ketentuan Perbankan, force majeure dibedakan atas:


a. force majeure dengan menyesuaikan pada karakteristik perbankan,

do
gu

diartikan sebagai keadaan yang secara nyata menyebabkan bank tidak


dapat melaksanakan kewajiban pelaporannya;
b. force majeure dapat teratasi, yaitu keadaan bank pelapor yang secara
In
A

normal telah dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat


menyampaikan laporan.
ah

lik

3. Ketentuan Pertambangan dan Mineral


Dalam peraturan Pertambangan dan Mineral, force majeure dibedakan atas:
m

ub

a. force majeure antara lain perang, kerusuhan sipil, pemberontakan,


epidemik, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar
ka

kemampuan manusia;
ep

b. yang dimaksud keadaan yang menghalangi antara lain blokade,


pemogokan, perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 89


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 89 12/13/2010 11:40:26 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 96
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
atau IUPK, dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh

si
Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang
sedang berjalan.

ne
ng
F. Akibat Force Majeure
Pengaturan akibat terjadinya force majeure dalam peraturan perundang-undangan

do
gu
dan kontrak ditinjau dari dua segi utama, yaitu terhadap perjanjian itu sendiri: apakah
dihentikan, dihentikan sementara, atau tetap dilanjutkan, dan terhadap pihak mana
yang akan menanggung risiko.

In
A
Berikut ini beberapa akibat terjadinya force majeure yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
ah

lik
1. Ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa
Terjadinya force majeure mengakibatkan:
am

ub
- keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan terjadinya keadaan
kahar tidak dapat dikenakan sanksi;
- pihak yang menanggung kerugian akibat terjadinya keadaan kahar
ep
diserahkan pada kesepakatan para pihak.
k

2. Ketentuan Perkeretaapian
ah

Terjadinya force majeure membebaskan penyelenggara prasarana


R

si
perkeretaapian atas tanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap
pihak yang dirugikan.

ne
ng

3. Ketentuan Pertambangan Mineral dan Batu Bara


Terjadinya force majeure berakibat penghentian sementara kegiatan
pertambangan atau perjanjian.

do
gu

Beberapa akibat terjadinya force majeure yang diatur dalam kontrak dinyatakan
sebagai berikut.
In
A

1. Kontrak Karya
Terjadinya force majeure antara lain mengakibatkan:
ah

lik

- terjadinya force majeure tidak akan dianggap sebagai pelanggaran kontrak


atau kelalaian;
- penambahan masa berlakunya kontrak sebanyak masa waktu
m

ub

berlangsungnya force majeure.


ka

2. Kontrak Pengeboran di Darat


ep

Terjadinya peristiwa force majeure membebaskan para pihak untuk


melaksanakan kewajibannya.
ah

es

90 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 90 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 97
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Kontrak Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok Obligasi kepada Pemegang

si
Obligasi oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia melalui Pemegang Rekening
untuk dan atas nama Perusahaan Terdaftar

ne
ng
Terjadinya force majeure berakibat membebaskan untuk tidak bertanggung
jawab atas biaya, kerugian, kegagalan atau keterlambatan dalam memenuhi
kewajiban masing-masing. Namun, dalam kontrak ini tidak disebutkan

do
gu
akibatnya terhadap perjanjian: apakah dihentikan atau dilanjutkan.

4. Kontrak Pemborongan Pekerjaan Rencana Teknik Akhir (FED) Pembangunan

In
A
Jalan Tol
Terjadinya force majeure mengakibatkan:
ah

lik
- kerugian akan ditanggung oleh masing-masing pihak dan masing-masing
pihak tidak dapat menuntut ganti rugi apa pun terhadap pihak lainnya;
- terkait dengan keberlanjutan kontrak diputuskan berdasarkan kesepakatan
am

ub
para pihak.

5. Kontrak Perjanjian Kerja Sama Proses Cetak Koran


ep
k

Jika force majeure maka para pihak akan menentukan penyelesaian secara
ah

bijaksana berdasarkan musyawarah mufakat.


R

si
6. Kontrak Kerja Sama Berdasarkan Sistem Kontrak Karya terkait dengan
Eksploitasi Hutan (Logging)

ne
ng

Terjadinya force majeure mengakibatkan:


- para pihak akan meninjau atau membubarkan kontrak atas dasar

do
gu

kesepakatan para pihak;


- apabila tidak terjadi kesepakatan maka akan diselesaikan oleh badan
pemisah atau diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
In
A

7. Kontrak Jual-beli (Air Conditioning dan Peralatan Listrik)


Terjadinya force majeure tidak boleh dianggap sebagai suatu kesalahan
ah

lik

dari pihak yang mengalami keterlambatan itu, dilindungi atau tidak akan
mengalami tuntutan atas kerugian yang diderita oleh pihak lain.
m

ub

8. Perjanjian Sewa-menyewa Rumah


ka

Terjadinya force majeure akan mengakibatkan:


ep

- segala kerugian yang ditimbulkan menjadi beban dan tanggung jawab


masing-masing pihak;
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 91


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 91 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 98
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- tidak disebutkan akibatnya terhadap perjanjian: apakah dihentikan atau

si
dilanjutkan.

ne
ng
9. Perjanjian Kerja Sama Pengolahan Kayu Jati dan Mahoni
Terjadinya force majeure berakibat:
- masing-masing pihak masih dapat menuntut sebagian atau seluruh

do

gu
prestasinya;
- dalam hal force majeure telah berjalan lebih dari 90 (sembilan puluh) hari
maka para pihak berhak untuk melanjutkan atau menghentikan perjanjian

In
A
berdasarkan usul tertulis dan musyawarah.

10. Perjanjian Kerja Sama Penyelenggaraan Pelatihan Peternak Lebah


ah

lik
Terjadinya force majeure akan berakibat:
- risiko kerugian akan diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah
am

ub
pihak;
- dalam hal force majeure berlangsung lama maka kedua belah pihak dapat
memutuskan atau melanjutkan perjanjian melalui kesepakatan.
ep
k

11. Kontrak-kontrak terkait dengan minyak bumi dan gas (oil and gas contract)
ah

a. AIPN Model Production Sharing Contract


R

si
Terjadinya force majeure mengakibatkan:
- penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan

ne
ng

jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh force majeure


tersebut;
- tiap peristiwa yang disebabkan oleh force majeure tidak dapat dianggap

do
gu

sebagai peristiwa wanprestasi.

b. AIPN Model International Operating Agreement


In
A

Terjadinya force majeure antara lain mengakibatkan:


- kontrak ditunda selama pihak yang terkena force majeure tersebut
tidak dapat atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Namun
ah

lik

penundaan tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu masa


berlakunya kontrak.
m

ub

c. AIPN Model Contract Gas Sales Agreement


ka

Terjadinya force majeure mengakibatkan:


ep

- penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan jangka


waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh force majeure tersebut.
ah

es

92 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 92 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 99
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
d. AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement

si
Terjadinya force majeure mengakibatkan:
- penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan

ne
ng
jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh force majeure
tersebut.

do
gu
Dari berbagai ketentuan perundang-undangan dan kontrak tersebut dapat
disimpulkan bahwa terjadinya force majeure mengakibatkan hal-hal berikut.
1. Terkait dengan adanya kerugian yang disebabkan oleh force majeure,

In
A
pengaturan siapa yang harus menanggung kerugian tidak sama pada setiap
perjanjian, di antaranya:
ah

lik
a. kerugian yang disebabkan oleh force majeure akan ditanggung masing-
masing pihak, misalnya dapat ditemukan dalam Kontrak Pemborongan
Pekerjaan Rencana Teknik Akhir (FED) Pembangunan Jalan Tol dan
am

ub
Perjanjian Sewa-menyewa Rumah;
b. penyelesaian atas kerugian tersebut diserahkan kepada para pihak
berdasarkan kesepakatan di antara mereka, misalnya dalam Ketentuan
ep
k

Pengadaan Barang dan Jasa, Kontrak Perjanjian Kerja Sama Proses Cetak
ah

Koran, dan Kontrak Kerja Sama Penyelenggaraan Pelatihan Peternak


R
Lebah.

si
2. Terkait dengan keberlanjutan kontrak sehubungan dengan force majeure,

ne
ng

pengaturannya pun tidak sama pada setiap perjanjian, di antaranya:


a. diserahkan pada kesepakatan para pihak, artinya tidak disebutkan secara

do
gu

tegas dalam kontrak apakah dihentikan, dihentikan sementara (ditunda),


atau dilanjutkan, misalnya terdapat dalam Kontrak Pemborongan
Pekerjaan Rencana Teknik Akhir (FED) Pembangunan Jalan Tol, Kontrak
In
A

Kerja Sama Berdasarkan Sistem Kontrak Karya terkait dengan Eksploitasi


Hutan (Logging), Kontrak Kerja Sama Pengolahan Kayu Jati dan Mahoni,
dan Kontrak Kerja Sama Penyelenggaraan Pelatihan Peternak Lebah;
ah

lik

b. kontrak tetap dilanjutkan setelah peristiwa force majeure dengan


penambahan masa berlaku kontrak selama waktu kontrak berhenti yang
m

ub

disebabkan oleh force majeure tersebut, misalnya terdapat dalam Kontrak


Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan kontrak-kontrak terkait dengan
ka

minyak bumi dan gas (AIPN Model Production Sharing Contract, AIPN
ep

Model International Operating Agreement, AIPN Model Contract Gas Sales


Agreement, dan AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement).
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 93


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 93 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 100
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Khusus terhadap Perjanjian Kredit, terjadinya force majeure tidak serta merta

si
membebaskan debitur melaksanakan kewajibannya membayar utang. Dalam
kasus bencana tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta misalnya,

ne
ng
terjadinya peristiwa alam tidak dijadikan sebagai suatu alasan oleh debitur
untuk meminta permohonan pembatalan perjanjian kredit. Sebaliknya, pihak
kreditur pun tidak memberikan perlakuan yang berbeda dengan debitur

do
gu
pada umumnya. Pada prinsipnya, kredit haruslah tetap dibayar sesuai dengan
kemampuan debitur.115
Terkait dengan hal ini, Bank Indonesia membuat kebijakan bahwa mereka

In
A
(debitur korban bencana alam) diperlakukan sebagai debitur kolektibilitas lancar
sampai dengan tiga tahun. Apabila sampai tiga tahun tetap tidak membayar
ah

lik
kewajibannya maka Bank akan melakukan langkah-langkah penagihan sampai
penjualan agunan. Khusus bagi korban tsunami yang secara nyata debitur
telah meninggal atau agunan telah musnah dan usaha juga tidak mungkin lagi
am

ub
dijalankan maka Bank membuat kebijakan untuk dihapusbukukan atau tidak
lagi ditagih. Selanjutnya, pemerintah akan menanggung utang tersebut dan
menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
ep
k

Dalam dunia perbankan, Perjanjian Kredit pada hakikatnya tidak dapat


ah

dibatalkan kecuali tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana


R
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Penggunaan ketentuan Pasal 1244 dan

si
1245 KUH Perdata sebagai alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban
membayar kredit haruslah dipertegas, artinya keadaan memaksa seperti apa

ne
ng

yang memenuhi ketentuan pasal tersebut.

G. Perkembangan Pengaturan Force Majeure dalam

do
gu

Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa hal yang dapat ditunjukkan mengenai
In
A

perkembangan pengaturan force majeure dalam peraturan perundang-undangan.


Perkembangan ini meliputi terminologi yang digunakan, pengertian, peristiwa
ah

lik

penyebab, dan akibat terjadinya force majeure terhadap perjanjian.


m

ub
ka

115 Surah Winarni, “Pembatalan Perjanjian Kredit”, disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD):
ep

Overmacht dalam Ketentuan Perundang-undangan, Yurisprudensi, dan Doktrin, kerja sama antara Pu-
sat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah FH UGM dengan National Legal Reform Program,
13 Maret 2010, Yogyakarta.
ah

es

94 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 94 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 101
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. Perkembangan Terminologi yang Digunakan

si
Perkembangan terminologi yang digunakan untuk menyebutkan force majeure
telah bergeser, dari hanya disebut force majeure/overmacht, sebagaimana terdapat

ne
ng
dalam KUH Perdata, menjadi keadaan paksa. Keadaan paksa banyak digunakan
dalam kontrak karya yang dibuat pada tahun 1980-an, bersamaan dengan booming-
nya harga minyak yang menyebabkan banyak sekali kontrak karya yang disetujui.

do
gu
Perubahan penggunaan terminologi ini menunjukkan adanya upaya untuk
menyerap terminologi force majeure/overmacht yang berasal dari kosakata bahasa

In
asing ke dalam koleksi kosakata Bahasa Indonesia.
A
Setelah menggunakan terminologi keadaan paksa, pada sekitar awal tahun
2000-an diperkenalkan terminologi lain, namun dengan maksud atau pengertian
ah

lik
yang tetap sama, yaitu keadaan kahar. Terminologi keadaan kahar dipergunakan
dalam peraturan yang mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa.
Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan dan teknologi maka terminologi
am

ub
yang digunakan pun bergeser dengan menggunakan terminologi keadaan yang
menghalangi. Terminologi ini secara tidak langsung melakukan perluasan dari makna
force majeure sebelumnya. Hal ini disebabkan telah dimasukkannya peristiwa yang
ep
k

disebabkan oleh perselisihan perburuhan dan diterbitkannya peraturan perundang-


ah

undangan atau kebijakan oleh pemerintah yang menghalangi pelaksanaan


R
perjanjian. Terminologi ini digunakan sekitar tahun 2007-an dan banyak digunakan

si
dalam kontrak-kontrak yang berkaitan dengan pertambangan mineral dan batu
bara.

ne
ng

2. Perkembangan Pengertian Force Majeure

do
gu

Pengertian force majeure juga berkembang dari masa ke masa. Pengertian awal
force majeure diberikan oleh KUH Perdata, yang menyatakan bahwa force majeure
adalah ”keadaan di mana debitur terhalang memberikan sesuatu atau melakukan
In
A

sesuatu atau melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian”. Pengertian ini
kemudian disesuaikan dengan terminologi yang digunakan, yaitu keadaan paksa.
ah

Keadaan paksa diartikan sebagai ”kejadian di luar kendali satu pihak. Pengaruh
lik

mana menunda atau menyebabkan pelaksanaan kewajiban suatu pihak dalam


kontrak tersebut tidak mungkin dan sesudah timbul, pihak tersebut tidak dapat
m

ub

menghindari atau mengatasi kejadian tersebut”.


Dari dua pengertian awal ini setidaknya dapat dilihat adanya pergeseran.
ka

Pada pengertian pertama, penekanannya pada keadaan yang menghalangi debitur


ep

melakukan kewajibannya, sedangkan pada pengertian berikutnya lebih menekankan


pada kejadian di luar kendali satu pihak. Oleh sebab itu, tidak mengherankan pada
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 95


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 95 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 102
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pengertian terakhir ini banyak ditemui penyebutan peristiwa-peristiwa yang dapat

si
menyebabkan terjadinya keadaan paksa.
Perkembangan pengertian force majeure tidak berhenti pada perincian

ne
ng
peristiwa-peristiwa penyebab terjadinya force majeure, akan tetapi tetap berlanjut,
yaitu force majeure dimaknai dengan ”suatu kejadian yang timbul di luar kemauan
dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak”.

do
gu
Pengertian ini dijumpai pada peraturan terkait dengan jasa konstruksi, yang mulai
digunakan sekitar akhir tahun 1990-an atau awal tahun 2000-an.
Selanjutnya, pada sekitar tahun 2003-an, pengertian yang diberikan kepada

In
A
force majeure adalah ”suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak
sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi”.
ah

lik
Jika kedua pengertian terakhir ini dibandingkan, keduanya sama-sama
mengartikan force majeure sebagai keadaan yang terjadi di luar kendali para pihak.
Namun terdapat perbedaan, yaitu pada pengertian pertama jelas disebutkan
am

ub
bahwa keterhalangan pelaksanaan perjanjian harus menyebabkan adanya kerugian
sebagai dampak ikutan keterhalangan pelaksanaan perjanjian. Adapun pada
pengertian kedua, tidak dengan jelas mensyaratkan harus adanya kerugian, hanya
ep
k

mensyaratkan bahwa dengan terjadinya force majeure, kewajiban yang ditentukan


ah

tidak dapat dipenuhi.


R
Sekitar tahun 2007-an, force majeure diartikan sebagai ”hal-hal (keadaan)

si
luar biasa di luar kemampuan para pihak dan dapat mempengaruhi pelaksanaan
perjanjian oleh para pihak”. Berdasarkan pengertian force majeure ini, terjadinya

ne
ng

force majeure tidak harus membatalkan perjanjian, hanya pelaksanaannya saja yang
terpengaruh. Artinya, ketika terjadi force majeure, perjanjian tidak akan dibatalkan

do
gu

dengan sendirinya, melainkan dilaksanakan setelah force majeure berakhir.


Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian force majeure ditekankan
pada tidak dapat terlaksananya kewajiban para pihak. Hal ini dapat dilihat dalam
In
A

pengertian yang diberikan oleh peraturan di bidang perbankan dan lalu lintas dan
angkutan jalan. Dalam peraturan di bidang perbankan, force majeure dimaknai
sebagai ”suatu keadaan yang menyebabkan suatu bank tidak dapat melaksanakan
ah

lik

kewajibannya untuk melakukan pelaporan”. Adapun dalam bidang lalu lintas


dan angkutan jalan, force majeure ditekankan bahwa pengemudi tidak dapat
m

ub

melaksanakan kewajibannya dalam menolong korban kecelakaan lalu lintas karena


adanya ancaman luar biasa yang dapat mengancam keselamatan pengemudi itu
ka

sendiri. Kedua ketentuan force majeure dalam bidang perbankan dan lalu lintas ini
ep

diatur dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada tahun 2008


sampai dengan tahun 2009.
ah

es

96 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 96 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 103
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Secara singkat, pengertian force majeure berkembang dari masa ke masa.

si
Awalnya, force majeure merupakan suatu keadaan. Selanjutnya, diganti dengan
suatu kejadian. Dalam konteks gramatikal, keadaan diartikan sebagai sifat; perihal

ne
ng
(suatu benda) atau suasana; situasi yang sedang berlaku.116 Adapun kejadian
dimaknai sebagai perihal terjadinya; kelahiran atau tidak urung dilangsungkan atau
peristiwa di suatu drama yang dinyatakan dalam suatu dialog atau gerakan, atau

do
gu
sudah berlaku, atau peristiwa yang sudah berlaku.117
Melihat kedua pengertian di atas, force majeure dalam perkembangannya
lebih menekankan pada terjadinya suatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan

In
A
para pihak.
ah

lik
3. Perkembangan Ruang Lingkup Force Majeure
Sebagai dampak dari perubahan pengertian yang diberikan pada force majeure,
peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai penyebab terjadinya force majeure
am

ub
pun berkembang. Awalnya, hanya peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai
bencana yang murni disebabkan oleh alam, seperti banjir, tanah longsor, dan
ep
gempa bumi. Kemudian, berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dikategorikan
k

sebagai bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti kerusuhan,


ah

pemberontakan, dan bencana nuklir.


R

si
Selain kedua penyebab itu, peristiwa-peristiwa lain yang disebabkan oleh
keadaan darurat, kebijakan pemerintah, dan kondisi teknis yang berada di luar

ne
ng

kemampuan para pihak pun akhirnya dimasukkan sebagai peristiwa yang dapat
menyebabkan terjadinya force majeure. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa
yang dapat dikategorikan sebagai penyebab force majeure tidak hanya disebabkan

do
gu

oleh alam, melainkan berkembang pada peristiwa-peristiwa yang disebabkan


oleh tindakan manusia, yang dahulu tidak dapat dikategorikan sebagai peristiwa
penyebab terjadinya force majeure. Bahkan dalam perkembangan terakhir, tindakan
In
A

pemerintah, baik melalui peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya atau


melalui kebijakan, juga dikategorikan sebagai peristiwa penyebab force majeure.
ah

lik

Namun, semua penyebab itu di luar sepengetahuan para pihak ketika


mereka menyetujui perjanjian. Dengan begitu, semua peristiwa yang berada di
luar pengetahuan para pihak dapat saja dimasukkan sebagai peristiwa yang dapat
m

ub

menyebabkan terjadinya force majeure, dengan catatan bahwa peristiwa tersebut


harus disepakati oleh para pihak.
ka

ep

116 Hasan Alwi, et.al, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, hlm.5.
117 Ibid. hlm 449.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 97


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 97 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 104
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. Perkembangan Akibat Force Majeure

si
Perluasan jenis peristiwa penyebab terjadinya force majeure berdampak pula
pada akibat atau konsekuensinya terhadap perjanjian. Jika objek perjanjian tidak

ne
ng
dapat dikembalikan lagi karena bencana alam maka perjanjian atau kontrak dapat
dihentikan secara permanen berdasarkan kesepakatan para pihak. Namun, jika
objek perjanjian terpengaruh oleh peristiwa yang tidak disebabkan oleh bencana

do
gu
alam maka perjanjian hanya dihentikan sementara sampai para pihak dapat terlepas
dari peristiwa tersebut. Setelah halangan tersebut selesai maka perjanjian dapat

In
dilanjutkan.
A
Meskipun terdapat dua konsekuensi terhadap perjanjian, dari hasil kajian
peraturan perundang-undangan dan kontrak, terdapat hal yang sama, yaitu
ah

lik
keputusan untuk melanjutkan atau tidak suatu perjanjian karena terjadinya force
majeure harus dihasilkan dari mufakat para pihak.
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

98 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 98 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 105
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ANALISIS PUTUSAN

ne
ng
PENGADILAN TERKAIT
KEADAAN MEMAKSA

do
gu
(FORCE MAJEURE)

In
A
ah

lik
A. Dasar Hukum Force Majeure
am

ub
Debitur yang dinyatakan wanprestasi dan kepadanya dimintakan sanksi atas
wanprestasi yang terjadi dapat membela diri dengan mengemukakan berbagai
alasan. Salah satunya adalah karena adanya keadaan memaksa (force majeure atau
ep
k

overmacht).
Dengan mengajukan pembelaan seperti itu, debitur yang wanprestasi
ah

berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan itu


R

si
disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, di mana debitur tidak
dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan

ne
ng

tadi. Tidak terlaksananya perjanjian, dengan demikian bukan karena kesalahan atau
kelalaian debitur sehingga kepadanya tidak dapat diancam dan dijatuhi sanksi atau
hukuman.

do
gu

Dalam KUH Perdata, force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan 1245,
dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure merupakan alasan untuk
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
In
A

Pasal 1244 KUH Perdata mengatur: ”Jika ada alasan untuk itu si berutang harus
dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal
ah

lik

tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu
disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya”.
m

ub

Sementara itu, Pasal 1245 KUH Perdata menentukan: ”Tidaklah biaya, rugi,
dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu
ka

keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat


ep

sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan
yang terlarang”.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 99


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 99 12/13/2010 11:40:27 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 106
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dari kedua pasal di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai: (1) kriteria atau

si
unsur force majeure, dan (2) akibat force majeure. Kriteria atau unsur force majeure
meliputi hal-hal:

ne
ng
a. peristiwa yang tidak terduga;
b. tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
c. tidak ada itikad buruk dari debitur.

do
gu
Contoh force majeure karena peristiwa alam, misalnya banjir,
a. keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
b. keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;

In
A
c. jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan (contoh objek yang
semula tidak terlarang menjadi terlarang).
ah

lik
Contoh lain adalah kebakaran.
Force majeure ini juga diakomodasi dalam Pasal 1444 dan 1445 KUH Perdata,
am

ub
dalam bagian yang mengatur mengenai musnahnya barang yang terutang.
Pasal 1444 KUH Perdata menentukan ”Jika barang tertentu yang menjadi pokok
perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak
ep
diketahui apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya, asal barang itu
k

musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
ah

Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak


R

si
telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap
hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si

ne
ng

berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang diwajibkan


membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu”.
Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau

do
gu

hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri
barang dari kewajibannya mengganti harganya.
Pasal 1445 KUH Perdata menyatakan ”Jika barang yang terutang, di luar
In
A

salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang maka si
berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai
ah

lik

barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut


kepada orang yang mengutangkan kepadanya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1244, 1245 KUH Perdata serta Pasal 1444 serta
m

ub

1445 KUH Perdata maka dapat diambil kesimpulan bahwa kriteria force majeure
meliputi:
ka

a. peristiwa yang tidak terduga;


ep

b. tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;


c. tidak ada itikad buruk dari debitur;
ah

es

100 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 100 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 107
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
d. keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;

si
e. keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
f. jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;

ne
ng
g. keadaan di luar kesalahan debitur;
h. debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi (menyerahkan
barang);

do
gu
i. kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (debitur maupun
pihak lain);
j. debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.

In
A
Selain kriteria force majeure, dapat diambil kesimpulan pula bahwa peristiwa
atau ruang lingkup force majeure yang tersirat dalam pasal-pasal tersebut meliputi:
ah

lik
a. peristiwa alam (seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi);
b. kebakaran;
am

ub
c. musnah atau hilangnya barang objek perjanjian.

Di samping itu, dapat disimpulkan pula bahwa akibat force majeure dari aspek
ep
perjanjiannya adalah bahwa perikatan menjadi hapus bila barang objek perjanjian
k

musnah. Dari aspek risiko, debitur juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
ah

untuk membayar biaya, ganti rugi, maupun bunga yang timbul akibat force
R

si
majeure. Bila barang objek perjanjian dicuri maka pencurinyalah yang wajib
mempertanggungjawabkannya secara hukum. Akan tetapi, jika debitur mempunyai

ne
ng

hak atau tuntutan ganti rugi atas barang tersebut maka hak atau tuntutan ganti rugi
itu beralih kepada si berpiutang.

do
B. Uraian Yurisprudensi
gu

Dari ketentuan mengenai force majeure dalam KUH Perdata dapat dilihat bahwa
keadaan memaksa (force majeure atau overmacht) adalah suatu kejadian yang tidak
In
A

terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur


serta memaksa, dalam arti debitur terpaksa tidak menepati janjinya. Debitur wajib
ah

membuktikan bahwa terjadinya wanprestasi karena keadaan memaksa.


lik

Untuk dapat dikatakan sebagai force majeure, perlu dipenuhi unsur-unsur


seperti yang sudah dibahas di atas. Suatu peristiwa atau kondisi tertentu bisa jadi
m

ub

tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure jika hal tersebut sudah diduga
sebelumnya atau karena kelalaian dan atau kesalahan salah satu atau para pihak
ka

dalam perjanjian peristiwa tertentu itu terjadi.


ep

Hal lain yang juga muncul terkait dengan peristiwa atau kondisi force majeure
adalah akibat yang mengikutinya. Adanya peristiwa force majeure membawa
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 101


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 101 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 108
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
konsekuensi atau akibat hukum kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi

si
dan debitur tidak lagi dinyatakan wanprestasi. Dengan demikian, debitur tidak
wajib membayar ganti rugi, dan dalam perjanjian timbal balik kreditur tidak dapat

ne
ng
menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur. Jadi, pembicaraan
mengenai force majeure terkait dengan akibatnya terhadap perjanjian itu sendiri dan
persoalan risiko.

do
gu
Hal ini berbeda dengan persoalan mengenai wanprestasi, yang dikaitkan
dengan persoalan ganti rugi. Dalam wanprestasi, karena ada unsur kesalahan baik
karena kesengajaan atau kelalaian, debitur dapat dikenai sanksi berupa pembayaran

In
A
ganti rugi. Sebaliknya, dalam force majeure tidak ada ganti rugi karena tidak ada
unsur kesalahan. Persoalan yang muncul adalah siapa yang harus menanggung
ah

lik
risiko terhadap peristiwa atau kondisi force majeure itu? Itu sebabnya persoalan force
majeure terkait erat dengan persoalan risiko.
Menurut Prof. Subekti, risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang
am

ub
disebabkan kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalan risiko berpangkal
pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian. Dengan kata lain, persoalan risiko adalah buntut dari kaadaan memaksa
ep
k

atau force majeure.


ah

Dalam Bagian Umum Buku ke III KUH Perdata sebenarnya hanya dapat
R
ditemukan satu pasal yang sengaja mengatur persoalan risiko, yaitu dalam Pasal

si
1237. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa ”Dalam hal adanya perikatan untuk
memberikan suatu barang tertentu maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan

ne
ng

adalah atas tanggungan si berpiutang”. Dalam hal ini, perkataan ”tanggungan”


dipersamakan dengan ”risiko”.

do
gu

Jika ditilik dari redaksinya, pasal tersebut hanya mengatur mengenai perjanjian
sepihak, yaitu perjanjian di mana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu
kewajiban untuk memberikan suatu barang tertentu, dengan tidak memikirkan
In
A

bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat menjadi pihak yang berhak
atau dapat menuntut sesuatu. Pasal 1237 KUH Perdata tidak memikirkan perjanjian
yang bertimbal balik sehingga untuk menentukan risiko harus mencari pasal-pasal
ah

lik

dalam Bagian Khusus.


Dalam bagian khusus, ada beberapa pasal yang mengatur persoalan risiko,
m

ub

misalnya Pasal 1460 mengenai risiko dalam perjanjian jual-beli, Pasal 1545 mengenai
risiko dalam perjanjian tukar-menukar, dan Pasal 1553 yang mengatur risiko dalam
ka

perjanjian sewa-menyewa. Sebagai catatan, pasal-pasal di atas mengatur persoalan


ep

risiko secara berbeda. Pasal 1460 misalnya, meletakkan risiko pada pundak si
pembeli, yang merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya. Pasal 1545
ah

es

102 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 102 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 109
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
mengatur secara berbeda karena meletakkan risiko pada pundak masing-masing

si
pemilik barang yang dipertukarkan. Pemilik dalam hal ini adalah debitur terhadap
barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan.

ne
ng
Persoalan mengenai unsur force majeure, eksistensi perjanjian, dan risiko
yang merupakan akibat dari force majeure juga mengalami perkembangan dalam
berbagai putusan pengadilan yang diteliti. Berikut diuraikan beberapa putusan

do
gu
pengadilan (MA) yang menggambarkan hal tersebut.
Dari hasil penelitian ditemukan 3 yurisprudensi dan 3 putusan MA terkait force
majeure. Yurisprudensi tersebut terdiri dari:

In
A
1. Putusan MA RI No. Reg.15 K/Sip/1957
2. Putusan MA RI No. Reg.24 K/Sip/1958
ah

3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1971

lik
Sementara itu, putusan MA meliputi (sumber: Varia Peradilan):
am

ub
1. Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983
2. Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984
3. Putusan No. 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst
ep
k
ah

C. Bagan Yurisprudensi dan Putusan MA


R

si
Berikut bagan yurisprudensi dan putusan MA.

ne
ng

No. Klasifikasi No. Perkara Kaidah dan Dasar Hukum

1. Definisi Putusan MA RI No. 409 K/ Keadaan memaksa diakibatkan oleh


Sip/1983 suatu malapetaka yang secara patut

do
gu

tidak dapat dicegah oleh pihak yang


harus berprestasi.

Putusan No. 21/Pailit/2004/ Situasi atau keadaan yang sama sekali


In
A

PN.Niaga. Jkt.Pst tidak dapat diduga dan/atau yang


sangat memaksa yang terjadi di luar
kekuasaan.
ah

lik

2. U n s u r - u n s u r Putusan MA RI No. Reg. 15 K/ Tidak sanggup memenuhi tanggung­


keadaan force Sip/1957 annya karena rintangan yang tidak da-
majeure pat diatasi.
m

ub

Putusan MA RI No. Reg. 24 K/ Tidak ada lagi kemungkinan-kemung-


Sip/1958 kinan/alternatif lain yang legal atau
ka

tidak melanggar peraturan bagi pihak


ep

yang terkena force majeure untuk me-


menuhi perjanjian.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 103


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 103 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 110
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Putusan MA RI No. Reg. 558 K/ Risiko tidak terduga, tidak diketahui

si
Sip/1971 sebelumnya, tidak disebabkan oleh ke-
salahan pihak-pihak dalam perjanjian.

ne
ng
Putusan MA RI No. 409 K/ Tidak terpenuhinya perjanjian karena
Sip/1983 force majeure dan bukan karena kelalai­
an debitur.

do
gu Putusan MA RI No. Reg. 3389 K/ Perintah dari yang berkuasa, keputus­
Sip/1984 an atau segala tindakan-tindakan ad-
ministratif.

In
Putusan No. 21/Pailit/2004/ Situasi atau keadaan yang sama sekali
A
PN.Niaga. Jkt.Pst tidak dapat diduga dan/atau yang sa­ngat
memaksa yang terjadi di luar kekua-
saan pihak yang harus berprestasi.
ah

lik
3. Akibat hukum Putusan MA RI No. Reg. 15 K/ Kondisi perang mengakibatkan pelak-
Sip/1957 tertanggal 16 Desem- sanaan prestasi secara normal tidak
ber 1957 mungkin dilakukan. Debitur tidak da-
am

ub
pat dihukum membayar cicilan apa-
bila dapat membuktikan bahwa ter-
halangnya pelaksanaan prestasi timbul
dari keadaan yang selayaknya ia tidak
ep
k

bertanggung gugat. Hanya saja, dalam


putusan tersebut disebutkan bahwa
ah

risiko yang termasuk dalam force ma-


R
jeure harus dimasukkan dalam klausul

si
perjanjian.

Putusan MA RI No. 409K/ Jika dapat dibuktikan bahwa terjadi

ne
ng

Sip/1983 tertanggal 25 Oktober force majeure maka perjanjian dapat


1984 dibatalkan dan debitur tidak dapat
dibebankan penggantian kerugian.

do
gu

Putusan MA RI No. 3389K/ MA mengakui bahwa munculnya tin-


PDT/1984 dakan administratif penguasa yang
menentukan atau mengikat adalah
suatu kejadian yang tidak dapat di-
In
A

atasi oleh para pihak dalam perjanjian


dan dianggap sebagai force majeure
se­hingga membebaskan pihak yang
ah

lik

terkena dampak dari mengganti keru-


gian. Force majeure tersebut bersifat
relatif yang mengakibatkan pelak-
sanaan prestasi secara normal tidak
m

ub

mungkin dilakukan atau untuk semen-


tara waktu ditangguhkan sampai ada
ka

perubahan kebijakan atau tindakan


penguasa yang berpengaruh pada
ep

pelaksanaan prestasi.
ah

es

104 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 104 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 111
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. Ruang lingkup je- Putusan PT Surabaya No. Penyitaan yang dilakukan oleh pihak

si
nis force majeure 220/1951 Pdt/ PT SBY yang berwenang namun tidak me-
menuhi ketentuan yang seharusnya

ne
ng
tidak dapat dijadikan dasar yang dapat
membebaskan seseorang dari kewa-
jibannya (force majeure). Dalam arti

do
bahwa walaupun yang menyita adalah
gu pihak yang berwenang, namun apabila
pihak yang berwenang tersebut tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku,

In
A
yaitu membawa surat penyitaan/pe­
ngangkutan maka seseorang tersebut
seharusnya dapat menolak terjadinya
ah

lik
penyitaan sehingga apabila terdapat
perjanjian terhadap barang yang di­
sita tersebut, unsur keadaan memaksa
am

ub
tidak dapat dijadikan alasan.

Putusan MA RI No. Reg. 15 K/ Risiko perang, kehilangan benda objek


Sip/1957 perjanjian yang disebabkan dari kuasa
ep
k

Yang Maha Besar: disambar halilintar,


kebakaran, dirampas tentara Jepang
ah

dalam masa perang.


R

si
Putusan MA RI No. Reg. 24 K/ Peraturan-peraturan pemerintah
Sip/1958

ne
ng

Putusan MA RI No. Reg. 1180 K/ Keadaan darurat


Sip/1971

Putusan MA RI No. 409 K/ Kecelakaan di laut, misalnya kapal

do
gu

Sip/1983 tenggelam karena ombak besar me-


mukul lambung kapal.
In
Putusan MA RI No. 3389 K/ Act of God, tindakan administratif pe­
A

Pdt/1984 nguasa, perintah dari yang berkuasa,


keputusan, segala tindakan adminis-
ah

tratif yang menentukan atau mengikat,


lik

suatu kejadian mendadak yang tidak


dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam
perjanjian.
m

ub

Putusan No. 21/Pailit/2004/ Situasi atau keadaan yang sama sekali


PN.Niaga.Jkt.Pst tidak dapat diduga dan/atau yang sa­ngat
ka

memaksa yang terjadi di luar kekua-


ep

saan pihak yang harus berprestasi.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 105


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 105 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 112
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
5. Perkembangan Putusan MA RI No. Reg. 15 K/ Risiko perang, kehilangan benda objek

si
force majeure Sip/1957 perjanjian yang disebabkan dirampas
tentara dalam perang. Dari putusan

ne
ng
disebutkan juga bahwa risiko yang
termasuk dalam force majeure harus
dimasukkan dalam klausul perjanjian.

do
gu Hakim kasasi lebih melihat persoalan
risiko dalam perjanjian sewa beli dari
perjanjian yang dibuat oleh para pihak

In
A
dan tidak melihat atau berpedoman
pada KUH Perdata.

Putusan MA RI No. Reg. 24 K/ Bukan hanya kondisi alam yang meru-


ah

lik
Sip/1958 pakan Kuasa Tuhan dan perubahan
politik seperti perang yang menjadi ru-
ang lingkup keadaan memaksa, tetapi
am

ub
juga meliputi perubahan kebijakan
ekonomi pemerintah yang menjadikan
perjanjian sulit untuk dilaksanakan,
ep
k

kecuali dengan pengorbanan debitur


yang begitu besar.
ah

Kebijakan pemerintah sebagai force


R

si
majeure adalah keluarnya kebijakan
pemerintah yang melarang sesuatu

ne
ng

yang ada kaitannya dengan isi perjan-


jian, yang membuat kalau debitur me-
maksakan diri memenuhi isi perjanjian,

do
gu

dianggap melanggar kebijakan pe-


merintah tersebut, akibatnya debitur
ditangkap dan dihukum.
In
A

Putusan MA RI No. Reg. 558 K/ Dalil force majeure akan berhasil apabila
Sip/1971 force majeure terjadi di luar kesalah­an,
baik kesengajaan maupun kelalaian.
ah

lik

Putusan MA RI No. 3389 K/ Tindakan administrasi penguasa, per-


PDT/1984 intah dari yang berkuasa, keputusan,
m

ub

segala tindakan administratif yang me-


nentukan atau mengikat, suatu kejadi-
an mendadak yang tidak dapat diatasi
ka

ep

oleh pihak-pihak dalam perjanjian.


ah

es

106 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 106 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 113
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
D. Paparan Yurisprudensi MA

si
1. Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957

ne
ng
Putusan MA No. Reg. 15 K/Sip/1957 tertanggal 16 Desember 1957, dalam perkara G.G.
Jordan melawan NV Handel Maatschappij L’Auto mengenai risiko dalam perjanjian
sewa beli karena keadaan memaksa.

do
gu
Kasus posisinya adalah sebagai berikut. Sebuah toko mobil NV Handel
Maaschappij L’Auto menggugat seorang bernama G.G. Jordan untuk membayar
lunas kekurangan cicilan atas harga sebuah mobil yang sudah disewa beli olehnya.

In
A
Mobil tersebut telah dirampas oleh tentara Jepang ketika tentara itu mendarat di
Pulau Jawa pada Oktober 1944. Jordan berpendirian, ia sudah tidak perlu membayar
ah

cicilan yang tersisa karena mobil tersebut dapat dianggap sudah musnah.

lik
Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Februari 1951
membenarkan pendirian Jordan atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa beli itu
am

ub
harus diartikan sebagai suatu perjanjian sewa, dan menyatakan gugatan tidak dapat
diterima. Dalam tingkat Banding, putusan PN Surabaya tersebut dibatalkan oleh
PT Surabaya, dengan putusannya tertanggal 30 Agustus 1956, atas pertimbangan
ep
k

bahwa perjanjian sewa beli itu adalah suatu jenis perjanjian jual-beli.
Dalam tingkatan kasasi, permohonan kasasi dari tergugat terbanding (Jordan)
ah

ditolak oleh Mahkamah Agung, atas pertimbangan bahwa putusan PT Surabaya


R

si
menurut isi perjanjian sewa beli risiko atas hilangnya barang karena keadaan
memaksa dipikul si penyewa beli adalah mengenai suatu kenyataan, maka keberatan

ne
ng

pemohon kasasi tentang hal itu tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim kasasi.

2. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958

do
gu

Perluasan ruang lingkup keadaan memaksa juga dapat dilihat dari Putusan MA No.
Reg. 24 K/Sip/1958 tertanggal 26 Maret 1958 dalam perkara Super Radio Company
In
A

NV melawan Oey Tjoeng Tjoeng.


Kasus posisi dalam perkara tersebut adalah Oey Tjoeng Tjoeng sebagai
penggugat pada tanggal 6 April1954 telah memesan kepada tergugat satu sepeda
ah

lik

motor merek AJS 350 cc model 16 MS/54 dengan kondisi-kondisi sebagai berikut.
Harga: menurut penetapan
m

ub

Voorschot: Rp6.500,00
Pengiriman lebih kurang empat bulan
ka

ep

Sebagai bukti atas perjanjian tersebut telah dibuat kontrak dan kuitansi yang
telah dilampirkan. Setelah lebih dari empat bulan dan berkali-kali diingatkan, Super
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 107


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 107 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 114
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Radio Company NV, sebagai tergugat, tidak juga memenuhi kewajibannya untuk

si
melever sepeda motor yang telah dipesan penggugat. Super Radio Company NV
menyatakan bahwa tidak dapat dilevernya sepeda motor tersebut karena adanya

ne
ng
force majeure dengan alasan tergugat hanya dealer dari sepeda motor AJS sehingga
harus mendapatkan dan bergantung dari importir. Waktu tergugat pesan, barangnya
tidak ada atau kosong. Menurut tergugat, hal tersebut bukan salah tergugat dan juga

do
gu
importir yang bersangkutan, yaitu NV Danau. Importir tidak mendapat izin deviezen
untuk mengimpor motor AJS karena tidak hanya kekurangan deveizen, tetapi juga
karena keluar aturan dari KPUI bahwa tiap importir hanya boleh mengimpor satu

In
A
merek. Sepeda motor merek AJS hanya boleh dimpor oleh NV Ratadjasa, sedangkan
NV Danau hanya mendapat merek Durkopp. Permohonan izin deviezen dari NV
ah

lik
Danau untuk AJS karena aturan tersebut juga ditolak pada tanggal 3 Juli 1954.
Tergugat tidak diangkat sebagai dealer NV Ratadjasa, dan kalaupun harus membeli
motor AJS di pasaran gelap (seperti dipaksa oleh penggugat) tergugat menolak
am

ub
karena berkaitan dengan reputasinya sebagai pedagang. Menurut tergugat, hal di
atas merupakan force majeure, yaitu importir yang biasa melever sepeda motor AJS
itu tidak dapat mengimpor barang-barang itu.
ep
k

Baik PN maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tergugat


ah

Super Radio Company NV tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeure
R
karena apabila tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau maka untuk

si
memenuhi kewajibannya terhadap penggugat, ia harus berusaha mendapatkan
sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal tidak dengan cara

ne
ng

melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa tergugat Super Radio


Company NV telah melalaikan kewajibannya. Sebagai akibatnya, kepada tergugat

do
gu

diwajibkan untuk menyerahkan sepeda motor AJS dengan menerima sisa harga
sepeda motor itu menurut penetapan jawatan yang bersangkutan. Di samping itu,
juga menghukum tergugat membayar uang paksa Rp100,00 sehari untuk setiap hari
In
A

keterlambatan penyerahan sepeda motor itu.


Pengadilan tingkat Kasasi menguatkan putusan PN dan PT tersebut dengan
menyatakan bahwa Super Radio Company NV harus melaksanakan isi perjanjian
ah

lik

berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan keinginan penggugat
yang tidak menuntut ganti kerugian, melainkan hanya pelaksanaan isi perjanjian.
m

ub

Mengenai besarnya jumlah uang paksa terserah judex facti, dalam hal ini mengenai
penghargaan tentang kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
ka

pemeriksaan tingkat kasasi, oleh sebab keberatan itu tidak mengenai hal pelaksanaan
ep

hukum atau kesalahan pelaksanaan hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal


ah

es

108 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 108 12/13/2010 11:40:28 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 115
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
18 UU MA Indonesia. Mengenai uang paksa ini MA justru berpendapat bahwa dapat

si
didasarkan atas Pasal 225 HIR sebagai kewajiban untuk membayar ganti kerugian.

ne
ng
3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1971
Putusan MA No. Reg. 558 K/Sip/1971 tertanggal 4 Juni 1973 merupakan perkara
antara Perusahaan Otobus NV Bintang yang berkedudukan di Tegal dan Soegono

do
gu
Atmodiredjo, pegawai Perusahaan Otobus NV Bintang, melawan Lim Chiao Soen,
direktur Perusahaan Otobus NV Indah, juga mengilustrasikan mengenai hal yang

In
ada kaitannya dengan force majeure.
A
Kasus posisi dalam perkara tersebut berkaitan dengan terbakarnya bus milik
Lim Chiao Soen akibat dari kelalaian Soegondo Atmodiredjo, karyawan perusahaan
ah

lik
otobus NV Bintang. Kasus posisi dalam perkara tersebut adalah sebagai berikut.
Soegono Atmodiredjo, pegawai PO NV Bintang, waktu mengisi bensin otobus Bintang
No. Pol. G 9660 dengan ember tiba-tiba terjadi semburan api pada ember tempat
am

ub
mengisi bensin. Ia kemudian melemparkan ember itu ke bawah kolong bus Indah
G. 9688 milik Lim Chiao Soen yang sedang diparkir, dan akhirnya bus tersebut habis
ep
terbakar. Tergugat Soegono Atmodiredjo dan Perusahaan NV Bintang menyatakan
k

bahwa hal tersebut akibat dari kondisi force majeure sehingga kepada mereka tidak
ah

dapat dimintakan pertanggungjawaban atas akibat dari kebakaran tersebut.


R

si
Pengadilan Negeri Tegal, berdasarkan keputusan No. 415/1965/Pidana S,
menjatuhkan hukuman kepada tergugat Soegondo Atmodiredjo 1 bulan kurungan

ne
ng

dengan waktu percobaan selama 6 bulan karena melanggar Pasal 188 sub I KUHP.
Tergugat pada waktu melakukan perbuatan tersebut sedang menjalankan tugasnya
sebagai alat dari perusahaan otobus NV Bintang. Dengan dasar itu pula, majikan

do
gu

pengurus-pengurus NV Bintang secara perdata bertanggung jawab atas perbuatan


tergugat Soegondo Atmodiredjo tersebut.
Pengadilan Tinggi Semarang telah menyatakan bahwa keputusan PN Tegal
In
A

telah didasarkan pada alasan-alasan yang tepat. Karena penggantian otobus


penggugat yang terbakar karena kelalaian tergugat dalam pelaksanaannya perlu
ah

lik

ditetapkan jumlah uang pengganti otobus termaksud. Kerugian yang timbul karena
hilangnya otobus termaksud patut dinilai RP180.000,00 pada bulan Juni 1965.
Jumlah harga-harga tersebut harus dinilai kembali berdasarkan harga emas.
m

ub

Mahkamah Agung berpendapat bahwa keadaan memaksa (force majeure atau


overmacht) yang diajukan tergugat asal sebagai sebab timbulnya kebakaran yang
ka

menyebabkan musnahnya bus merk Dodge milik penggugat asli tidak terbukti. Setiap
ep

orang mengetahui bahwa mengisi bensin pada kendaraan bermotor tidak melalui
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 109


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 109 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 116
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pompa bensin adalah sangat berbahaya. Apabila yang bersangkutan meskipun

si
mengetahui bahaya tersebut tetap mengisi bensin dengan menggunakan ember (di
luar pompa bensin) maka ia harus menanggung risikonya. Kebakaran tersebut terjadi

ne
ng
karena kelalaian seorang pegawai PO NV Bintang dalam melakukan pekerjaannya.
Oleh karena itu, menurut yurisprudensi tetap majikannya harus mengganti kerugian
yang timbul karena kesalahan pegawainya. Dengan demikian, dalam soal ganti rugi

do
gu
dan keadaan memaksa ini, suatu soal yang mendahuluinya adalah menetapkan
maksud dari kedua belah pihak dan kesadaran atau pemahaman para pihak atas
perbuatannya. Apakah suatu peristiwa dapat dianggap sebagai suatu keadaan

In
A
memaksa atau tidak adalah suatu soal mengenai penilaian hasil pembuktian yang
tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.
ah

lik
4. Putusan MA RI No. Reg. 3389 K/PDT/1984
Hal lain yang cukup menarik dari penelitian mengenai Putusan MA ini adalah Putusan
am

ub
MA No. Reg. 3389 K/PDT/1984 dalam perkara RP Adianto Notonindito melawan PT
Tirta Sartika yang lebih dikenal dengan ”Charter Partij Kapal—Demmurage—Force
mayeur”.
ep
k

Kasus posisinya adalah sebagai berikut. Penggugat telah menandatangani


ah

Surat Perjanjian Sewa-menyewa Kapal atau Charter Partij dengan tergugat. Dalam
R
Charter Partij itu disetujui bahwa penggugat menyediakan sebuah kapal bernama

si
OSAM TREK/BULK Carier/5.055 ton berbendera Singapura klas N.K.K untuk tergugat.
Kapal tersebut dipergunakan tergugat untuk mengangkut muatan berupa aspal

ne
ng

curah sebanyak 4.800 ton, dihitung berdasarkan survei yang ditandatangani bersama
antara Master dan Perusahaan Aspal Negara dari Pelabuhan Buton sekitar tanggal

do
gu

16-17 April 1982. Tanggal dan tempat penyerahan kembali kapal oleh tergugat
dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok setelah usai bongkar muatan. Dalam hal ini,
telah disetujui oleh penggugat dan tergugat bahwa jumlah uang tambang adalah
In
A

Rp10.500,00 per ton FIOST/FREIGHT. Disetujui juga bahwa biaya demmurage yang
harus dibayarkan oleh tergugat kepada penggugat adalah sebesar Rp 2.000.000,00
setiap hari untuk kelebihan pemakaian kapal di luar 12 hari yang telah disepakati.
ah

lik

Menurut Time Sheet yang ditandatangani oleh kapten kapal OSAM TREK, ternyata
kapal OSAM TREK mengalami demurrage selama 27 hari sehingga tergugat wajib
m

ub

membayar 27 Rp2.000.000,00 = Rp54.000.000,00 kepada penggugat, sesuai


Charter Partij. Penggugat dalam hal ini telah melakukan teguran berkali-kali untuk
ka

menaati Charter Partij, tetapi tergugat tidak menghiraukan.


ep

Menurut tergugat, alasan tidak memenuhi kewajiban adalah force majeure


berupa keluarnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara yang berisi mengenai aturan
ah

es

110 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 110 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 117
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
lalu lintas barang dan bongkar muat. Dalam hal ini, tergugat harus menunggu waktu

si
atau giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei 1983, sesuai Surat Direksi tersebut.
Menurut tergugat, hal tersebut adalah force majeure karena dia tidak dapat berbuat

ne
ng
apa-apa, dalam arti dengan dikeluarkannya Surat Direksi tersebut, dia tidak dapat
memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan.
Tergugat mendasarkan pada Pasal 13 Charter Partij yang menyebutkan

do
gu
mengenai force majeure selain ”act of God”, yang termasuk dalam pengertian itu
adalah perintah dari yang berkuasa, keputusan atau segala tindakan-tindakan
administratif yang menentukan atau mengikat atau suatu kejadian mendadak yang

In
A
tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak yang tersebut dalam perjanjian ini. Surat Direksi
Perusahaan Aspal Negara merupakan suatu ketentuan atau tindakan administratif
ah

lik
dari penguasa setempat yang mengikat untuk mengatur lalu lintas barang atau
bongkar muat barang di pelabuhan sehingga tergugat berpendapat hal ini sebagai
force majeure.
am

ub
Pengadilan Negeri dalam hal ini memutuskan tergugat bersalah melanggar
surat perjanjian atau Charter Partij tanggal 6 April 1982 antara penggugat dan
tergugat, dan menghukum tergugat untuk membayar secara tunai kepada
ep
k

penggugat uang demmurage sebesar Rp54.000.000,00 ditambah bunga sebesar 2%


ah

per bulan dihitung mulai tanggal 6 Juni 1982 hingga lunas pembayaran.
R
Berkaitan dengan kasus tersebut, Pengadilan Tinggi dalam hal ini telah

si
memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Negeri. Alasan atau pertimbangan
hakim adalah bahwa walaupun sudah ada Notice of Readiness, yang berarti siap untuk

ne
ng

pemuatan, namun pemuatan tersebut tentu harus mengikuti urutan dari penguasa
setempat. Ternyata menurut bukti T-5 yang dibuat oleh Direksi Perusahaan Aspal

do
gu

Negara, NV OSAM TREK tidak dapat langsung muat, tapi harus menunggu sampai
giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei 1983. Menurut Hakim PT, menunggu
sampai giliran muat tiba adalah suatu fakta yang tidak dapat diatasi oleh tergugat
In
A

karena fakta ini adalah suatu ketentuan atau tindakan administrasi dari penguasa
setempat yang mengikat, untuk mengatur lalu lintas barang atau bongkar muat di
pelabuhan. Hal ini merupakan suatu kondisi yang bersifat force majeure.
ah

lik

MA dalam hal ini telah membatalkan putusan judex facti, karena menilai
Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan bahwa
m

ub

dasar hukum perjanjian antara penggugat dan tergugat adalah Charter Partij yang
telah memuat antara lain jumlah hari bongkar muat barang dari kapal adalah dua
ka

belas hari. Apabila lebih dari dua belas hari tergugat asal akan dikenakan biaya
ep

demmurage sebesar Rp2.000.000,00 untuk satu hari kapal menunggu. Hari tersebut
dihitung sejak kapal tiba dalam keadaan siap menerima muatan barang yang
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 111


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 111 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 118
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dinyatakan dalam Notice of Readiness (NOR). NOR tersebut telah diaccepted oleh

si
charterer, ini berarti pada saat itu kapal telah siap menerima muatan. Charterer
dalam hal ini telah lalai memenuhi isi Charter Partij dan menurut Time Sheet telah

ne
ng
terjadi demmurage selama 27 hari. Sebagai catatan, NOR tersebut dibuat berdasar
pada Pasal 1337 KUH Perdata sehingga Charter Partij mengikat para pihak sebagai
hukum.

do
gu
Atas hal tersebut, MA berpendapat bahwa force majeure yang dikemukakan
oleh tergugat, berupa terbitnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara, adalah keliru

In
karena Direksi bukan penguasa melainkan sebagai pihak yang berkontrak. Dengan
A
demikian, alasan yang dikemukakan oleh tergugat tentang adanya force majeure
untuk membebaskan tergugat mengganti kerugian tidak berdasarkan hukum.
ah

lik
5. Putusan MA RI No. 409K/Sip/1983
am

ub
Putusan MA No. 409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 dalam perkara
Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim melawan Rudy Suardana, kembali
menguatkan tentang ruang lingkup force majeure sebagai suatu peristiwa yang
ep
tidak terduga, yang tidak dapat dicegah oleh debitur dan bukan karena kelalaian
k

atau kesalahan debitur.


ah

Putusan MA di atas tentang pertanggungjawaban seorang pengangkut yang


R

si
harus bertanggung jawab sepenuhnya atas barang-barang yang diangkutnya sejak
diterima sampai diserahkannya barang-barang yang diangkut tersebut kepada

ne
ng

yang berhak. Seorang pengangkut juga harus mengganti kerugian sebagian atau
seluruhnya akibat dari tidak dapat diserahkannya barang-barang tersebut, kecuali
ia dapat membuktikan bahwa tidak dapat diserahkannya barang tersebut atau

do
gu

kerusakan barang adalah suatu akibat malapetaka yang secara patut ia tak dapat
mencegahnya.
In
Dalam kasus di atas, seorang pengangkut tidak dapat dimintakan
A

pertanggungjawaban atau mengganti kerugian jika kapal pengangkut mengalami


kecelakaan dan tenggelam akibat ombak besar yang merusak lambung kapal.
ah

lik

Apalagi, sebelumnya kapal telah dinyatakan laik laut dan tidak ada kelebihan muatan.
Keberangkatan kapal juga sudah mendapatkan izin dari syahbandar sehingga tidak
m

ub

ada unsur kelalaian atau kesalahan dari debitur atau pengangkut. Dengan demikian,
dalam kasus tersebut tidak ada beban bagi pengangkut untuk memberikan ganti
ka

rugi kepada kreditur karena tidak terpenuhinya prestasi akibat sebuah kondisi yang
ep

siapa pun tidak akan bisa mencegahnya. Logika hukumnya, tidak ada ganti rugi
karena tidak ada kelalaian atau kesalahan di dalamnya.
ah

es

112 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 112 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 119
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Putusan di atas konsisten dengan Putusan MA sebelumnya (Putusan MA

si
No. Reg. 348 K/Sip/1957 yang menyatakan bahwa untuk terjadinya force majeure,
diperlukan unsur-unsur, seperti risiko tidak terduga sebelumnya, kejadian atau

ne
ng
peristiwa tidak diketahui sebelumnya serta tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan
para pihak dalam perjanjian.

do
gu
6. Putusan No. 21/Pailit/2004/PN Niaga.Jkt.Pst
Putusan ini tentang perkara antara PT Besland Pertiwi sebagai pemohon pailit

In
dengan PT Krone Indonesia sebagai termohon pailit. Kasus posisi perkara tersebut
A
adalah sebagai berikut. Termohon pailit telah menyewa tanah pemohon pailit
berdasarkan perjanjian sewa yang diperpanjang untuk masa 3 tahun ke depan dan
ah

lik
kemudian diperpanjang lagi untuk 3 tahun. Adendum dalam perjanjian sewa hanya
meliputi masa berlaku sewa dan harga sewa. Pembayaran sewa dilakukan secara
am

ub
teratur, tetapi sejak adendum Termohon pailit tidak lagi melaksanakan kewajiban
membayar harga sewa. Pemohon pailit sudah mengirimkan surat tagihan uang
sewa kepada Termohon, tetapi Termohon pailit tetap tidak membayar uang sewa
ep
tersebut.
k

Pada sisi lain, Termohon pailit juga mempunyai utang kepada kreditur lain,
ah

yaitu PT Sarana Bukit Indah Industrial City. Oleh karena itu, Pemohon memohon
R

si
agar Termohon pailit dinyatakan berada dalam keadaan pailit dengan segala
akibat hukumnya berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan dan Pasal 6 ayat (3) UU

ne
ng

Kepailitan.
Atas hal tersebut di atas, Termohon menolak dengan alasan perjanjian sewa
yang menjadi dasar dalam permohonan pernyataan pailit adalah tidak sah, karena

do
gu

utang yang dipermasalahkan adalah utang yang timbul karena masalah penafsiran
dan pelaksanaan ketentuan mengenai kewajiban pembayaran harga sewa.
In
Termohon juga menyatakan bahwa tagihan Pemohon tidak sah, karena Pemohon
A

sudah melepaskan haknya berdasarkan perjanjian sewa. Termohon berpendapat


bahwa keterlambatan atau ketiadaan pembayaran adalah hal yang biasa terjadi,
ah

lik

dan sudah diatur dalam perjanjian sewa. Menurut perjanjian sewa tersebut, pemberi
sewa berhak memutuskan perjanjian jika penyewa gagal memenuhi kewajiban
m

ub

pembayaran sewa selama jangka waktu dua bulan setelah tanggal jatuh tempo.
Atas dasar hal itu, seharusnya atau sepatutnya pemohon melakukan
ka

tindakan-tindakan seperti memutus suplai air, telepon, atau melarang Termohon


ep

memasuki objek sewa. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan Pemohon. Termohon juga
beranggapan bahwa Pemohon melanggar ketertiban umum, hukum, kepatutan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 113


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 113 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 120
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dan kesusilaan yang berlaku, karena itu tidak berhak menuntut harga sewa sampai

si
akhir perjanjian sewa.
Termohon juga menyatakan bahwa kondisi di atas terjadi karena Termohon

ne
ng
mengalami keadaan atau situasi yang tidak dapat diduga dan/atau yang sangat
memaksa yang mengakibatkan Termohon harus menghentikan kegiatan bisnisnya.
Atas kondisi tersebut, Termohon sudah menyatakan niatnya kepada Pemohon untuk

do
gu
memutus lebih awal perjanjian sewa, tetapi Pemohon selalu menolak. Termohon
dengan itikad baik juga telah berulang kali mengembalikan objek sewa, tetapi

In
A
Pemohon selalu menolak. Dalam praktik, Termohon juga sudah tidak lagi menikmati
objek perjanjian sewa.
Majelis hakim berpendapat bahwa di persidangan tidak ditemukan bukti
ah

lik
bahwa Termohon menyatakan mengakhiri perjanjian sewa terhadap Pemohon.
Alasan terjadi kondisi di luar kekuasaan Termohon yang menyebabkan kegiatan
am

ub
bisnis Termohon terhenti dan tidak lagi menempati objek perjanjian sewa tidak
terbukti. Hal ini sekaligus membuktikan Termohon mempunyai utang kepada
Pemohon yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
ep
k

Majelis hakim berpendapat bahwa utang tidak hanya bertumpu pada


konstruksi pinjam meminjam uang, akan tetapi pengertian utang adalah segala
ah

R
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang.

si
Pernyataan Pemohon bahwa termohon mempunyai utang pada kreditur lain

ne
tidak terbukti, karena perjanjian yang dijadikan dasar adanya utang pada kreditur
ng

lain adalah perjanjian accesoir. Oleh karena itu, hakim memutuskan menolak
permohonan Pemohon.

do
gu

E. Definisi dan Unsur Keadaan Force Majeure


In
Dari yurisprudensi maupun putusan MA dapat diambil kesimpulan bahwa definisi
A

force majeure atau overmacht adalah keadaan memaksa diakibatkan oleh suatu
malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus berprestasi
ah

lik

(Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983). Force majeure juga dapat diartikan sebagai situasi
atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa
m

ub

yang terjadi di luar kekuasaan (Putusan No. 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst).


Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa force majeure merupakan
ka

keadaan memaksa yang diakibatkan oleh peristiwa alam atau peristiwa lain yang
ep

tidak dapat diduga dan tidak dapat dicegah terjadinya oleh debitur sehingga
menghalangi debitur untuk dapat melaksanakan prestasinya dalam perjanjian.
ah

es

114 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 114 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 121
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Unsur-unsur force majeure meliputi hal-hal berikut.

si
1. Tidak terpenuhinya perjanjian karena force majeure dan bukan karena kelalaian
debitur (Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983).

ne
ng
2. Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak
melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure untuk memenuhi
perjanjian (Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958).

do
gu
Dalam perkara Super Radio Company NV melawan Oey Tjoeng Tjoeng, baik PN
maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tergugat Super
Radio Company NV tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeure,

In
A
karena apabila tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau
maka untuk memenuhi kewajibannya terhadap penggugat, ia harus berusaha
ah

lik
mendapatkan sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal
tidak dengan cara melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa
tergugat Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya. Sebagai
am

ub
akibatnya, kepada tergugat diwajibkan untuk menyerahkan sepeda motor AJS
dengan menerima sisa harga sepeda motor itu menurut penetapan jawatan
yang bersangkutan. Di samping itu, juga menghukum tergugat membayar
ep
k

uang paksa Rp100,00 sehari untuk setiap hari keterlambatan penyerahan


ah

sepeda motor itu.


R
Pengadilan tingkat Kasasi menguatkan putusan PN dan PT tersebut dengan

si
menyatakan bahwa Super Radio Company NV harus melaksanakan isi
perjanjian berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan keinginan

ne
ng

penggugat yang tidak menuntut ganti kerugian, melainkan hanya pelaksanaan


isi perjanjian. Mengenai besarnya jumlah uang paksa terserah judex facti,

do
gu

dalam hal ini mengenai penghargaan tentang kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, oleh sebab keberatan itu
tidak mengenai hal pelaksanaan hukum atau kesalahan pelaksanaan hukum
In
A

sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 18 UU MA Indonesia.

3. Risiko tidak terduga, tidak diketahui sebelumnya, tidak disebabkan oleh


ah

lik

kesalahan pihak-pihak dalam perjanjian (Putusan MA RI No. Reg. 558 K/


Sip/1971).
m

ub

Kebakaran yang menimpa bus Indah dengan No. Pol G 9688 milik Lim Chiao
Soen diakibatkan oleh kelalaian seorang pegawai PO NV Bintang, dalam
ka

melakukan pekerjaannya mengisi bensin otobus Bintang No. Pol. G 9660


ep

dengan ember, tiba-tiba terjadi semburan api pada ember tempat mengisi
bensin. Kemudian pegawai itu melemparkan ember ke bawah kolong bus
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 115


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 115 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 122
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Indah dengan No. Pol. G 9688 milik Lim Chiao Soen yang sedang diparkir, dan

si
akhirnya bus tersebut habis terbakar.
Dalam Putusan tersebut, MA berpendapat bahwa suatu peristiwa yang

ne
ng
tidak terduga bukan force majeure apabila konsekuensi atau bahaya dari
peristiwa tersebut sudah diketahui atau diduga sebelumnya tetapi tetap
tidak diindahkannya. Peristiwa tersebut bukan force majeure karena ada unsur

do
gu
kelalaian atau kesalahan di dalamnya.
Dalam konteks kasus di atas, kebakaran secara umum diakui merupakan

In
A
force majeure, kecuali bahaya kebakaran sudah diketahui sebelumnya tetapi
tidak diindahkan, dianggap ada unsur kelalaian atau kesalahan sehingga
harus mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya
ah

lik
tersebut. Majikan harus mengganti kerugian yang timbul karena kesalahan
pegawainya.
am

ub
4. Tidak sanggup memenuhi tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat
diatasi (Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957).
ep
k

Putusan MA No. Reg. 15 K/Sip/1957 mengenai risiko dalam Perjanjian Sewa


Beli menggambarkan hal tersebut. Kasus posisinya adalah sebagai berikut.
ah

R
Sebuah toko mobil NV Handel Maatschappij L’auto menggugat seorang

si
bernama G.G. Jordan untuk membayar lunas kekurangan cicilan atas harga

ne
sebuah mobil yang sudah disewa beli olehnya. Mobil tersebut telah diambil
ng

oleh tentara Jepang ketika tentara itu mendarat di Pulau Jawa Oktober 1944.
Jordan berpendirian, ia sudah tidak usah membayar cicilan yang tersisa karena

do
gu

mobil tersebut dapat dianggap sudah musnah.


Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Februari 1951
membenarkan pendirian Jordan atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa
In
A

beli itu harus diartikan sebagai suatu perjanjian sewa, dan menyatakan
gugatan tidak dapat diterima.
ah

lik

Dalam tingkat banding, putusan PN Surabaya tersebut dibatalkan oleh PT


Surabaya, dengan putusannya tertanggal 30 Agustus 1956, atas pertimbangan
bahwa perjanjian sewa beli itu adalah suatu jenis perjanjian jual-beli.
m

ub

Dalam tingkatan kasasi, permohonan kasasi dari tergugat terbanding (Jordan)


ditolak oleh Mahkamah Agung atas pertimbangan bahwa putusan PT Surabaya
ka

ep

menurut isi perjanjian sewa beli si penyewa beli juga harus menanggung risiko
atas hilangnya barang karena keadaan memaksa adalah suatu kenyataan.
ah

es

116 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 116 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 123
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
5. Perintah dari yang berkuasa, keputusan atau segala tindakan-tindakan

si
administratif (Put MA RI No. Reg. 3389 K/Sip/1984).
Perkara R.P. Adianto Notonindito, Direktur CV Shinta Rama sebagai penggugat

ne
ng
melawan PT Tirta Santika sebagai tergugat. Kasus posisinya adalah sebagai
berikut.
Penggugat telah menandatangani Surat Perjanjian Sewa-menyewa Kapal

do
gu
atau Charter Partij dengan tergugat. Dalam Charter Partij itu disetujui
bahwa penggugat menyediakan sebuah kapal bernama OSAM TREK/BULK
Carier/5.055 ton berbendera Singapura klas N.K.K. untuk tergugat. Kapal

In
A
tersebut dipergunakan tergugat untuk mengangkut muatan berupa aspal
curah sebanyak 4.800 ton dihitung berdasarkan survei yang ditandatangani
ah

lik
bersama antara Master dan Perusahaan Aspal Negara dari Pelabuhan Buton
sekitar tanggal 16-17 April 1982, dan tanggal dan tempat penyerahan kembali
kapal oleh tergugat dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok setelah usai
am

ub
bongkar muatan. Dalam hal ini, telah disetujui oleh penggugat dan tergugat
bahwa jumlah uang tambang adalah Rp10.500,00 per ton FIOST/FREIGHT.
Disetujui juga bahwa biaya demmurage yang harus dibayarkan oleh tergugat
ep
k

kepada penggugat adalah sebesar Rp2.000.000,00 setiap hari untuk kelebihan


ah

pemakaian kapal di luar 12 hari yang telah disepakati. Menurut Time Sheet
R
yang ditandatangani oleh kapten kapal OSAM TREK ternyata kapal OSAM TREK

si
mengalami demurrage selama 27 hari sehingga tergugat wajib membayar 27
Rp2.000.000,00 = Rp54.000.000,00 kepada penggugat sesuai Charter Partij.

ne
ng

Penggugat dalam hal ini telah melakukan teguran berkali-kali untuk menaati
Charter Partij, tetapi tergugat tidak menghiraukan.

do
gu

Menurut tergugat, alasan tidak memenuhi kewajiban adalah force majeure


berupa keluarnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara yang berisi mengenai
aturan lalu lintas barang dan bongkar muat. Dalam hal ini tergugat harus
In
A

menunggu waktu atau giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei 1983 sesuai
Surat Direksi tersebut. Menurut tergugat, hal tersebut adalah force majeure
karena dia tidak dapat berbuat apa-apa, dalam arti dengan dikeluarkannya Surat
ah

lik

Direksi tersebut dia tidak dapat memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan.
Tergugat mendasarkan pada Pasal 13 Charter Partij yang menyebutkan
m

ub

mengenai force majeure selain ”act of God”, yang termasuk dalam pengertian
itu adalah perintah dari yang berkuasa, keputusan atau segala tindakan-
ka

tindakan administratif yang menentukan atau mengikat atau suatu kejadian


ep

mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak yang tersebut dalam
perjanjian ini. Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara merupakan suatu
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 117


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 117 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 124
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
ketentuan atau tindakan administratif dari penguasa setempat yang mengikat

si
untuk mengatur lalu lintas barang atau bongkar muat barang di pelabuhan
sehingga tergugat berpendapat hal ini sebagai force majeure.

ne
ng
Pengadilan Negeri dalam hal ini memutuskan tergugat bersalah melanggar
surat perjanjian atau Charter Partij tanggal 6 April 1982 antara penggugat dan
tergugat, dan menghukum tergugat untuk membayar secara tunai kepada

do
gu
penggugat jumlah uang demmurage sebesar Rp54.000.000,00 ditambah
bunga sebesar 2% per bulan dihitung mulai tanggal 6 Juni 1982 hingga lunas
pembayaran.

In
A
Berkaitan dengan kasus tersebut, Pengadilan Tinggi telah memutuskan
membatalkan putusan Pengadilan Negeri. Alasan atau pertimbangan hakim
ah

lik
adalah bahwa walaupun sudah ada Notice of Readiness, yang berarti siap untuk
pemuatan, pemuatan tentu harus mengikuti urutan dari penguasa setempat.
Ternyata, menurut bukti T-5 yang dibuat oleh Direksi Perusahaan Aspal Negara,
am

ub
NV OSAM TREK tidak dapat langsung muat, tapi harus menunggu sampai
giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei 1983. Menurut Hakim PT, menunggu
sampai giliran muat tiba adalah suatu fakta yang tidak dapat diatasi oleh
ep
k

tergugat karena fakta ini adalah suatu ketentuan atau tindakan administrasi
ah

dari penguasa setempat yang mengikat untuk mengatur lalu lintas barang
R
atau bongkar muat di pelabuhan. Hal ini merupakan suatu kondisi yang

si
bersifat force majeure.
MA telah membatalkan putusan judex facti karena menilai Pengadilan Tinggi

ne
ng

telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan bahwa dasar hukum


perjanjian antara penggugat dan tergugat adalah Charter Partij yang telah

do
gu

memuat antara lain jumlah hari bongkar muat barang dari kapal adalah dua
belas hari. Apabila lebih dari dua belas hari tergugat akan dikenakan biaya
demmurage sebesar Rp2.000.000,00 untuk satu hari kapal menunggu. Hari
In
A

tersebut dihitung sejak kapal tiba dalam keadaan siap menerima muatan
barang yang dinyatakan dalam ”Notice of Readiness (NOR)”. NOR tersebut telah
disetujui oleh charterer, ini berarti pada saat itu kapal telah siap menerima
ah

lik

muatan. Charterer dalam hal ini telah lalai memenuhi isi Charter Partij dan
menurut Time Sheet telah terjadi demmurage selama 27 hari. Sebagai catatan,
m

ub

NOR dibuat berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata sehingga Charter Partij
mengikat para pihak sebagai hukum.
ka

Atas hal tersebut, MA berpendapat bahwa force majeure yang dikemukakan


ep

oleh tergugat berupa terbitnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara adalah
keliru karena Direksi bukan penguasa melainkan pihak yang berkontrak.
ah

es

118 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 118 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 125
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dengan demikian, menurut MA, alasan yang dikemukakan oleh tergugat

si
tentang adanya force majeure untuk membebaskan tergugat mengganti
kerugian tidak berdasarkan hukum.

ne
ng
6. Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sa­
ngat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi

do
gu
(Putusan No. 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst).

Bila disimpulkan, unsur-unsur force majeure dalam yurisprudensi meliputi unsur

In
A
risiko yang tidak dapat diduga sebelumnya, tidak adanya kesalahan atau kelalaian
pada pihak debitur, tertutupnya alternatif lain bagi debitur untuk melaksanakan
ah

prestasinya, dan debitur tidak dapat mengatasi keadaan akibat force majeure.

lik
Dengan demikian, jika diperbandingkan dengan ketentuan unsur force majeure
dalam KUH Perdata, terdapat kesesuaian dengan putusan MA atau yurisprudensi
am

ub
yang dikeluarkan MA.

F. Ruang Lingkup/Jenis Peristiwa Force Majeure


ep
k

Berdasarkan yurisprudensi dan putusan MA yang diperoleh dari penelitian, dapat


ah

disimpulkan mengenai ruang lingkup atau jenis peristiwa force majeure. Ruang
R
lingkup atau jenis peristiwa tersebut meliputi:

si
1. risiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa
Yang Maha Besar: disambar halilintar, kebakaran, dirampas tentara Jepang

ne
ng

dalam masa perang (Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957);


2. act of God, tindakan administratif penguasa, perintah dari yang berkuasa,

do
gu

keputusan, segala tindakan administratif yang menentukan atau mengikat,


suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam
perjanjian (Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984);
In
A

3. peraturan-peraturan pemerintah (Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958);


Baik PN maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tergugat
Super Radio Company NV tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force
ah

lik

majeure karena apabila tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV
Danau karena keluarnya peraturan-peraturan pemerintah (KPUI) tentang
m

ub

larangan untuk mengimpor lebih dari satu merek motor maka untuk
memenuhi kewajibannya terhadap penggugat, ia harus berikhtiar/berusaha
ka

mendapatkan sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal
ep

tidak dengan cara melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa


tergugat Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 119


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 119 12/13/2010 11:40:29 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 126
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. kecelakaan di laut, misalnya kapal tenggelam karena ombak besar memukul

si
lambung kapal (Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983);
5. keadaan darurat (Putusan MA RI No. Reg. 1180 K/Sip/1971);

ne
ng
6. situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang
sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi
(Putusan No. 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst).

do
gu
Bila diperbandingkan dengan lingkup force majeure yang diatur di dalam KUH
Perdata maka ada perkembangan yang terjadi. Lingkup force majeure tidak lagi

In
A
terbatas pada peristiwa alam atau act of God, dan hilangnya objek yang diperjanjikan,
tetapi sudah meluas kepada tindakan administratif penguasa, kondisi politik seperti
ah

lik
perang. Menurut hemat penulis, perkembangan ini merupakan perubahan ke arah
yang lebih maju, dan bukan kemunduran, karena bagaimanapun kondisi-konsisi
tersebut realitanya merupakan kondisi yang tidak dapat diatasi debitur sehingga
am

ub
menghalangi debitur untuk berprestasi.

G. Akibat Force Majeure


ep
k

Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai force majeure membawa konsekuensi


ah

atau akibat hukum kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi dan debitur
R

si
tidak lagi dinyatakan wanprestasi sehingga debitur tidak wajib membayar ganti
rugi dan dalam perjanjian timbal balik kreditur tidak dapat menuntut pembatalan

ne
ng

karena perikatannya dianggap gugur. Dengan demikian, pembicaraan mengenai


force majeure terkait dengan persoalan risiko.
Risiko menurut Subekti adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan

do
gu

kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalan risiko berpangkal pada
terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian. Dengan kata lain, persoalan risiko adalah buntut dari keadaan memaksa
In
A

atau force majeure.


Dalam Bagian Umum Buku III KUH Perdata sebenarnya hanya dapat ditemukan
ah

lik

satu pasal yang sengaja mengatur persoalan risiko, yaitu Pasal 1237, yang menentukan
”dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang
itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang”. Dalam hal
m

ub

ini, perkataan ”tanggungan” dipersamakan dengan ”risiko”.


Hanya saja jika ditilik dari redaksinya, pasal tersebut hanya mengatur mengenai
ka

perjanjian sepihak, yaitu perjanjian di mana hanya ada suatu kewajiban pada satu
ep

pihak, yaitu kewajiban untuk memberikan suatu barang tertentu, dengan tidak
ah

es

120 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 120 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 127
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat menjadi pihak

si
yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Pasal 1237 tidak memikirkan perjanjian
yang bertimbal balik sehingga untuk menentukan risiko harus mencari pasal-pasal

ne
ng
dalam Bagian Khusus.
Dalam bagian khusus, ada beberapa pasal yang mengatur persoalan risiko,
misalnya Pasal 1460 mengenai risiko dalam perjanjian jual-beli, Pasal 1545 mengenai

do
gu
risiko dalam perjanjian tukar-menukar, dan Pasal 1553 yang mengatur risiko dalam
perjanjian sewa-menyewa. Pasal-pasal di atas mengatur persoalan risiko secara
berbeda. Misalnya, pasal 1460 meletakkan risiko pada pundak si pembeli, yang

In
A
merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya. Pasal 1545 mengatur secara
berbeda karena meletakkan risiko pada pundak masing-masing pemilik barang
ah

lik
yang dipertukarkan. Pemilik dalam hal ini adalah debitur terhadap barang yang
dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan.
Persoalan mengenai eksistensi perjanjian dan risiko yang merupakan akibat
am

ub
dari force majeure juga mengalami perkembangan dalam berbagai putusan
pengadilan yang diteliti berikut ini.
ep
k

1. Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957


ah

Dari Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957 mengenai risiko dalam perjanjian


R
sewa beli dapat dilihat bahwa menurut isi perjanjian sewa beli, si penyewa

si
beli juga harus menanggung risiko atas hilangnya barang karena keadaan
memaksa. Kondisi perang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara

ne
ng

normal tidak mungkin dilakukan. Debitur tidak dapat dihukum membayar


cicilan apabila dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi

do
gu

timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Kondisi


perang adalah rintangan yang tidak dapat diatasi debitur sehingga tidak perlu
lagi melaksanakan prestasi atau dibebaskan dari risiko berupa kewajiban
In
A

memenuhi prestasi. Hanya saja dalam putusan tersebut disebutkan bahwa


risiko yang termasuk dalam force majeure harus dimasukkan dalam klausul
perjanjian.
ah

lik

Dalam tingkatan kasasi, permohonan kasasi dari tergugat terbanding


(Jordan) ditolak oleh Mahkamah Agung atas pertimbangan bahwa putusan PT
m

ub

Surabaya menurut isi perjanjian sewa beli, risiko atas hilangnya barang karena
keadaan memaksa dipikul si penyewa beli adalah mengenai suatu kenyataan.
ka

Maka keberatan pemohon kasasi tentang hal itu tidak dapat dipertimbangkan
ep

oleh hakim kasasi.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 121


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 121 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 128
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Menurut hemat penulis, Hakim Kasasi tidak meninjau persoalan risiko

si
dalam sewa beli dan hanya menafsirkan apa yang sudah diperjanjikan oleh
para pihak, padahal persoalan risiko adalah persoalan hukum. Pada dasarnya,

ne
ng
putusan PN Surabaya sudah tepat, hanya saja akan lebih kuat kalau juga
mendasarkan pada Pasal 1545 KUH Perdata tentang tukar-menukar sebagai
pedoman untuk perjanjian bertimbal balik, seperti sewa beli.

do
gu
Dari Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957 mengenai risiko dalam perjanjian
sewa beli dapat dilihat hal-hal berikut.
a. Pada satu sisi, hakim berpendapat bahwa kondisi perang mengakibatkan

In
A
pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan. Debitur tidak
dapat dihukum membayar cicilan apabila dapat membuktikan bahwa
ah

lik
terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya
ia tidak bertanggung gugat. Kondisi perang adalah rintangan yang tidak
dapat diatasi debitur sehingga debitur tidak perlu lagi melaksanakan
am

ub
prestasi atau dibebaskan dari risiko berupa kewajiban memenuhi prestasi.
Akibatnya, perjanjian itu batal demi hukum. Dalam hal yang demikian,
secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula
ep
k

suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian


ah

itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat
R
mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut

si
pihak yang lain di depan hakim karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim
diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada

ne
ng

suatu perjanjian atau perikatan.


b. Di sisi lain, dalam putusan tersebut juga disebutkan bahwa risiko yang

do
gu

termasuk dalam force majeure harus dimasukkan dalam klausul perjanjian.


Hakim kasasi lebih melihat persoalan risiko dalam perjanjian sewa beli dari
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dan tidak melihat atau berpedoman
In
A

pada KUH Perdata, terutama Pasal 1545 tentang Tukar-menukar. Pasal


1545 KUH Perdata meletakkan risiko pada pundak masing-masing pemilik
barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan. Menurut
ah

lik

hemat penulis, Pasal 1545 KUH Perdata ini lebih tepat dijadikan pedoman
bagi perjanjian bertimbal balik seperti sewa beli, karena dianggap adil.
m

ub

Prof Subekti juga berpendapat bahwa apa yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tukar-menukar harus dipandang sebagai asas berlaku pada
ka

umumnya dalam perjanjian bertimbal balik. Selaras dengan Pasal 1545


ep

KUH Perdata adalah Pasal 1553 KUH Perdata yang mengatur masalah
risiko dalam perjanjian sewa-menyewa. Pasal 1553 berbunyi ”Jika selama
ah

es

122 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 122 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 129
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
waktu sewa, barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan

si
salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum”. Dari
perkataan gugur dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak tidak

ne
ng
dapat menuntut sesuatu dari pihak lainnya. Dengan kata lain, risiko akibat
kemusnahan barang dipikul seluruhnya oleh pemilik barang. Dengan
demikian, menurut hemat penulis, pendirian Hakim PN Surabaya yang

do
gu menerapkan Pasal 1553 tentang risiko dalam perjanjian sewa menyewa
ke dalam perjanjian sewa beli dalam kasus tersebut sudah tepat.

In
A
2. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958
Dari Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 dalam perkara Super Radio Company
ah

lik
NV melawan Oey Tjoeng Tjoeng juga dapat dilihat bahwa debitur menanggung
risiko kewajiban membayar ganti rugi sebagai akibat tidak dilaksanakannya
kewajiban untuk melaksanakan suatu perbuatan (prestasi). Adanya kebijakan
am

ub
pemerintah yang melarang importir mengimpor lebih dari satu merek motor
bukan merupakan force majeure karena debitur masih memiliki kemungkinan-
kemungkinan atau alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan
ep
k

untuk memenuhi perjanjian.


ah

Pengadilan tingkat kasasi menguatkan putusan PN dan PT tersebut


R
dengan menyatakan bahwa Super Radio Company NV harus melaksanakan isi

si
perjanjian berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan keinginan
penggugat yang tidak menuntut ganti kerugian melainkan hanya pelaksanaan

ne
ng

isi perjanjian. Mengenai besarnya jumlah uang paksa terserah judex facti,
dalam hal ini mengenai penghargaan tentang kenyataan, hal mana tidak dapat

do
gu

dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, oleh sebab keberatan itu


tidak mengenai hal pelaksanaan hukum atau kesalahan pelaksanaan hukum
sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 18 UU MA Indonesia. Mengenai uang
In
A

paksa ini, MA justru berpendapat bahwa dapat didasarkan atas Pasal 225 HIR
sebagaimana ditegaskan oleh Oey Tjoeng Tjoeng sebagai penggugat asli.
Menurut hemat penulis, dari Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958
ah

lik

juga dapat dilihat bahwa debitur tetap menanggung risiko karena tidak
terlaksananya prestasi adalah akibat kelalaiannya atau karena kesalahannya.
m

ub

Adanya kebijakan pemerintah yang melarang importir mengimpor lebih dari


satu merek motor bukan alasan force majeure karena dalam kasus di atas masih
ka

ada kemungkinan-kemungkinan atau alternatif lain yang legal atau tidak


ep

melanggar peraturan bagi pihak yang terkena dampak dari sebuah kebijakan
untuk memenuhi perjanjian.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 123


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 123 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 130
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1971

si
Putusan MA RI Reg. No. 558 K/Sip/1971 dalam perkara Perusahaan Otobus NV
Bintang dan Soegondo Atmodiredjo melawan Lim Chiao Soen. Kasus posisi

ne
ng
dalam perkara tersebut berkaitan dengan terbakarnya bus milik Lim Chiao Soen
akibat dari kelalaian Soegondo Atmodiredjo, karyawan perusahaan otobus NV
Bintang. Dalam kasus di atas, Soegondo Atmodiredjo tetap dihukum untuk

do
gu
membayar ganti rugi karena tidak melakukan sesuatu yang sudah menjadi
kewajibannya. Soegondo Atmodiredjo, berdasarkan pendapat dalam lalu

In
lintas masyarakat dan kelayakan, seharusnya juga mengetahui risiko yang
A
akan timbul akibat perbuatannya. Dalil force majeure akan berhasil apabila
force majeure terjadi di luar kesalahan Soegondo. Kenyataannya, Soegondo
ah

lik
telah dalam keadaan lalai sehingga kebakaran terjadi. Dalam putusannya,
Hakim juga menetapkan pihak lain yang harus bertanggung jawab di luar
kesalahannya. Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, majikan
am

ub
(Perusahaan Otobus NV Bintang) harus bertanggung jawab atas kesalahan
pekerjanya.
ep
Mahkamah Agung berpendapat bahwa keadaan memaksa atau force
k

majeure yang diajukan tergugat asal sebagai sebab timbulnya kebakaran


ah

yang menyebabkan musnahnya bus merek Dodge milik penggugat asli tidak
R

si
terbukti. Setiap orang mengetahui bahwa mengisi bensin pada kendaraan
bermotor tidak melalui pompa bensin adalah sangat berbahaya. Apabila

ne
ng

yang bersangkutan, meskipun mengetahui bahaya tersebut, tetap mengisi


bensin dengan menggunakan ember (di luar pompa bensin) maka ia harus
menanggung risikonya. Kebakaran tersebut terjadi karena kelalaian seorang

do
gu

pegawai PO NV Bintang dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu,


menurut yurisprudensi majikannya harus mengganti kerugian yang timbul
In
karena kesalahan pegawainya.
A

Menurut hemat penulis, keputusan PN dan PT dalam kasus di atas sudah


tepat. Demikian pula putusan MA yang menguatkan bahwa Soegondo
ah

lik

Atmodiredjo tetap dihukum untuk membayar ganti rugi karena tidak


melakukan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya. Berdasarkan
pendapat dalam lalu lintas masyarakat dan kelayakan, Soegondo Atmodiredjo
m

ub

seharusnya juga mengetahui risiko yang akan timbul akibat perbuatannya.


Menurut hemat penulis, dalil force majeure akan berhasil apabila force majeure
ka

ep

terjadi di luar kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian. Dalam kasus ini,
Soegondo dalam keadaan lalai sehingga menyebabkan terjadinya kebakaran.
ah

es

124 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 124 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 131
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Putusan Hakim MA yang menetapkan pihak lain (Pengusaha NV Bintang) harus

si
bertanggung jawab di luar kesalahannya juga tepat. Berdasarkan Pasal 1367
KUH Perdata, majikan (Perusahaan Otobus NV Bintang) harus bertanggung

ne
ng
jawab atas kesalahan pekerjanya.
Menurut hemat penulis, keputusan MA yang menyatakan bahwa majikan
perusahaan otobus NV Bintang harus bertanggung jawab sudah tepat karena

do
gu
perbuatan yang telah dilakukan Soegondo Atmodiredjo tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum. Umumnya, pribadi orang itu sendiri dapat
dimintai pertanggungjawaban. Seorang majikan hanya bertanggung jawab

In
A
berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, jika buruhnya sendiri dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum yang ia lakukan.
ah

lik
Soegondo Atmodiredjo, yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut,
adalah orang yang mempunyai hubungan kerja dengan NV Bintang maka
pertanggungjawaban majikan NV Bintang didasarkan pada Pasal 1367 KUH
am

ub
Perdata.

4. Putusan MA RI No. 3389 K/PDT/1984


ep
k

Dari Putusan MA RI No. 3389 K/PDT/1984 dapat dilihat bahwa munculnya


ah

tindakan administratif penguasa yang menentukan atau mengikat adalah


R
suatu kejadian yang tidak dapat diatasi oleh para pihak dalam perjanjian.

si
Tindakan atau kebijakan dari penguasa dianggap sebagai force majeure
dan membebaskan pihak yang terkena dampak dari mengganti kerugian.

ne
ng

Tindakan penguasa merupakan force majeure yang bersifat relatif, yang


mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan,

do
gu

atau untuk sementara waktu ditangguhkan sampai ada perubahan kebijakan


atau tindakan penguasa yang berpengaruh pada pelaksanaan prestasi.
MA dalam hal ini telah membatalkan putusan judex facti, karena dinilai
In
A

Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan


bahwa dasar hukum perjanjian antara penggugat dan tergugat adalah Charter
Partij yang telah memuat antara lain jumlah hari bongkar muat barang dari
ah

lik

kapal adalah dua belas hari. Apabila lebih dari dua belas hari, tergugat asal
akan dikenakan biaya demmurage sebesar Rp2.000.000,00 untuk satu hari
m

ub

kapal menunggu. Hari tersebut dihitung sejak kapal tiba dalam keadaan
siap menerima muatan barang, yang dinyatakan dalam ”Notice of Readiness
ka

(NOR)”. NOR tersebut telah diaccepted oleh charterer, ini berarti pada saat itu
ep

kapal tersebut telah siap menerima muatan. Charterer dalam hal ini telah lalai
memenuhi isi Charter Partij dan menurut Time Sheet telah terjadi demmurage
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 125


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 125 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 132
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
selama 27 hari. Sebagai catatan, NOR tersebut dibuat berdasar pada Pasal 1337

si
KUH Perdata sehingga Charter Partij mengikat para pihak sebagai hukum.
Atas hal tersebut, MA berpendapat bahwa force majeure yang dikemukakan

ne
ng
oleh tergugat berupa terbitnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara adalah
keliru, karena Direksi ini bukan penguasa melainkan sebagai pihak yang
berkontrak. Dengan demikian, alasan yang dikemukakan oleh tergugat tentang

do
gu
adanya force majeure untuk membebaskan tergugat mengganti kerugian tidak
berdasarkan hukum.
Menurut hemat penulis, dari Putusan MA RI No. 3389 K/PDT/1984 dapat

In
A
dilihat bahwa MA sebenarnya mengakui munculnya tindakan administratif
penguasa yang menentukan atau mengikat adalah suatu kejadian yang tidak
ah

lik
dapat diatasi oleh para pihak dalam perjanjian. Tindakan atau kebijakan dari
penguasa dianggap sebagai force majeure dan membebaskan pihak yang
terkena dampak dari mengganti kerugian. Tindakan penguasa merupakan
am

ub
force majeure yang bersifat relatif, yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi
secara normal tidak mungkin dilakukan atau untuk sementara waktu
ditangguhkan sampai ada perubahan kebijakan atau tindakan penguasa
ep
k

yang berpengaruh pada pelaksanaan prestasi. Hanya saja, dalam kasus di


ah

atas, interpretasi mengenai siapa yang disebut penguasa tidak kena, karena
R
menurut MA penguasa adalah pihak yang berwenang di luar para pihak yang

si
mengadakan perjanjian atau kontrak. Tepat seperti apa yang diputuskan MA
bahwa Direksi bukan penguasa melainkan pihak dalam perjanjian atau kontrak

ne
ng

tersebut. Dengan demikian, penafsiran tergugat bahwa terbitnya Surat Direksi


sebagai alasan force majeure menurut hemat penulis tidak dapat dibenarkan,

do
gu

karena menurut pendapat umum penguasa adalah Pemerintah (Daerah dan


Pusat), Kepolisian, dan pihak-pihak lain yang bukan Contract Partij (pihak yang
berkontrak). Dalam kasus di atas, Direksi Perusahaan Aspal Negara adalah
In
A

pihak yang berkontrak karena yang diangkut adalah aspal Perusahaan Aspal
Negara dengan trayek Banabungi/Buton ke Tanjung Priok/Jakarta, seperti
telah disebut dalam Charter Partij.
ah

lik

5. Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983


m

ub

Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 dalam perkara


Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim melawan Rudy Suardana,
ka

menguatkan tentang akibat force majeure sebagai suatu peristiwa yang tidak
ep

terduga, yang tidak dapat dicegah oleh debitur dan bukan karena kelalaian
atau kesalahan debitur.
ah

es

126 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 126 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 133
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Putusan MA di atas tentang pertanggungjawaban seorang pengangkut yang

si
harus bertanggung jawab sepenuhnya atas barang-barang yang diangkutnya
sejak diterima sampai diserahkannya barang-barang tersebut kepada yang

ne
ng
berhak. Seorang pengangkut juga harus mengganti kerugian sebagian atau
seluruhnya akibat dari tidak dapat diserahkannya barang-barang tersebut,
kecuali ia dapat membuktikan bahwa tidak dapat diserahkannya barang

do
gu
tersebut atau kerusakan barang adalah suatu akibat malapetaka yang secara
patut ia tak dapat mencegahnya.
Dalam kasus di atas, seorang pengangkut tidak dapat dimintai

In
A
pertanggungjawaban atau mengganti kerugian jika kapal pengangkut
mengalami kecelakaan dan tenggelam akibat ombak besar yang merusak
ah

lik
lambung kapal. Apalagi, sebelumnya kapal telah dinyatakan laik laut dan
tidak ada kelebihan muatan. Keberangkatan kapal juga sudah mendapat
izin dari syahbandar sehingga tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan dari
am

ub
debitur atau pengangkut. Dengan demikian, dalam kasus tersebut tidak ada
beban bagi pengangkut untuk memberikan ganti rugi kepada kreditur, karena
tidak terpenuhinya prestasi akibat sebuah kondisi yang siapa pun tidak akan
ep
k

bisa mencegahnya. Logika hukumnya, tidak ada ganti rugi karena tidak ada
ah

kelalaian atau kesalahan di dalamnya.


R
Putusan di atas konsisten dengan Putusan MA sebelumnya (Putusan MA

si
RI No. Reg. 348 K/Sip/1957 yang menyatakan bahwa untuk terjadinya force
majeure, diperlukan unsur-unsur, seperti risiko tidak terduga sebelumnya,

ne
ng

kejadian atau peristiwa tidak diketahui sebelumnya, serta tidak ada unsur
kelalaian atau kesalahan para pihak dalam perjanjian. Akibatnya, debitur tidak

do
gu

dapat dituntut untuk membayar ganti rugi karena tidak ada unsur kesalahan
di dalamnya.
In
A

Dari yurisprudensi dan putusan MA di atas dapat disimpulkan bahwa akibat-


akibat force majeure meliputi:
a. debitur bebas dari kewajiban untuk memenuhi perjanjian (Putusan MA RI No.
ah

lik

Reg. 24 K/Sip/1958);
b. debitur dibebaskan dari menanggung risiko (Putusan MA RI No. Reg.15 K/
m

ub

Sip/1957 dan Putusan MA RI No. Reg. 588 K/Sip/1957);


Dalam Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957 dinyatakan bahwa penggugat
ka

kasasi dibebaskan dari tanggungannya dalam kondisi force majeure.


ep

c. kepada debitur tidak dapat dibebankan penggantian kerugian (Putusan MA RI


No. 3389 K/Pdt/1984 dan Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983).
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 127


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 127 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Bila diperbandingkan dengan ketentuan mengenai akibat force majeure dalam

si
KUH Perdata, apa yang diputuskan oleh MA dalam yurisprudensi ataupun dalam
putusan MA tersebut tidaklah bertentangan. Dapat dinyatakan pula bahwa adanya

ne
ng
kesesuaian antara putusan MA dengan ketentuan force majeure dalam KUH Perdata
ini berarti dapat memberi kepastian hukum bagi yustisiabel.

do
gu
H. Perkembangan Force Majeure
Dalam perkembangannya, ruang lingkup keadaan memaksa (force majeure atau

In
overmacht) mengalami perkembangan. Dari putusan MA yang diteliti setidaknya
A
terlihat ada pergeseran makna keadaan memaksa. Awalnya, force majeure hanya
meliputi keadaan memaksa yang bersifat mutlak, artinya debitur sama sekali tidak
ah

lik
mungkin memenuhi apa yang sudah diperjanjikan karena kuasa Tuhan, seperti
bencana alam. Akibat force majeure terhadap perjanjian maupun kewajiban
menanggung risiko juga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dapat
am

ub
dipaparkan dalam bagian berikut.
1. Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957 pada saat itu sempat menjadi
ep
perbincangan, utamanya di kalangan ahli hukum, karena terjadi tarik menarik
k

dalam persoalan risiko dalam Perjanjian Sewa Beli. Dalam Perjanjian Sewa Beli,
ah

ada unsur Perjanjian Sewa-menyewa dan Perjanjian Jual-beli. Menurut hemat


R

si
penulis, kasus ini lebih melihat dan berfokus pada persoalan risiko dalam
Perjanjian Sewa Beli, dan bukan pada unsur force majeure. Perjanjian Sewa

ne
ng

Beli adalah perjanjian jenis baru campuran. Pada saat itu, hal ini memunculkan
persoalan siapa yang harus menanggung risiko dalam Perjanjian Sewa Beli.
Bagaimana mengatur persoalan risiko terhadap perjanjian jenis baru campuran

do
gu

seperti itu? Hal inilah yang kemudian membawa pada pembicaraan tentang
teori-teori yang dapat dirasakan membantu memecahkan persoalan tersebut.
Menurut hemat penulis, Hakim Kasasi tidak meninjau persoalan risiko
In
A

dalam sewa beli, namun hanya menafsirkan apa yang sudah diperjanjikan oleh
para pihak. Padahal persoalan risiko adalah persoalan hukum. Pada dasarnya,
ah

lik

putusan PN Surabaya sudah tepat, hanya saja akan lebih kuat kalau juga
mendasarkan pada Pasal 1545 KUH Perdata tentang tukar-menukar sebagai
pedoman untuk perjanjian bertimbal balik, seperti sewa beli.
m

ub

Dari Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957 tentang risiko dalam


perjanjian sewa beli, dapat dilihat bahwa hakim berpendapat kondisi perang
ka

mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan.


ep

Debitur tidak dapat dihukum membayar cicilan apabila dapat membuktikan


ah

es

128 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 128 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya

si
ia tidak bertanggung gugat.
Menurut Hakim, kondisi perang adalah rintangan yang tidak dapat

ne
ng
diatasi debitur sehingga debitur tidak perlu lagi melaksanakan prestasi atau
dibebaskan dari risiko berupa kewajiban memenuhi prestasi. Akibatnya,
perjanjian itu batal demi hukum.

do
gu
Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan

In
A
suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak
dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena
ah

lik
dasar hukumnya tidak ada. Hakim diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan
bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Dalam putusan tersebut juga disebutkan bahwa risiko yang termasuk
am

ub
dalam force majeure harus dimasukkan dalam klausul perjanjian. Hakim kasasi
lebih melihat persoalan risiko dalam perjanjian sewa beli dari perjanjian yang
dibuat oleh para pihak dan tidak melihat atau berpedoman pada KUH Perdata
ep
k

terutama Pasal 1545 tentang Tukar-menukar.


ah

Pasal 1545 KUH Perdata meletakkan risiko pada pundak masing-masing


R
pemilik barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan. Menurut

si
hemat penulis, Pasal 1545 KUH Perdata ini lebih tepat dijadikan pedoman
bagi perjanjian bertimbal balik, seperti sewa beli, karena dianggap adil. Prof

ne
ng

Subekti juga berpendapat bahwa apa yang telah ditetapkan dalam perjanjian
tukar-menukar harus dipandang sebagai asas berlaku pada umumnya dalam

do
gu

perjanjian bertimbal balik.


Selaras dengan Pasal 1545 KUH Perdata adalah Pasal 1553 KUH Perdata,
yang mengatur masalah risiko dalam perjanjian sewa-menyewa. Pasal 1553
In
A

berbunyi ”jika selama waktu sewa, barang yang dipersewakan itu musnah di
luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi
hukum”. Dari perkataan gugur dapat disimpulkan bahwa masing-masing
ah

lik

pihak tidak dapat menuntut sesuatu dari pihak lainnya. Dengan kata lain, risiko
akibat kemusnahan barang dipikul seluruhnya oleh pemilik barang. Menurut
m

ub

hemat penulis, pendirian Hakim PN Surabaya yang menerapkan Pasal 1553


tentang risiko dalam perjanjian sewa menyewa ke dalam perjanjian sewa beli
ka

dalam kasus tersebut sudah tepat. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro,


ep

tujuan sebenarnya dari kedua belah pihak adalah mengadakan perjanjian jual-
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 129


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 129 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
beli dengan pembayaran harga secara mencicil, dan untuk menjaga jangan

si
sampai barangnya dijual lagi oleh pembeli sebelum harganya dibayar lunas.
Dikatakan sebagai perjanjian sewa-menyewa karena selama barang yang

ne
ng
disewakan belum dilunasi maka barang tetap menjadi milik si penjual, dan
menjadi perjanjian jual-beli apabila si penyewa sudah melunasi harga sewa.
Bila si penyewa menjual barangnya sebelum melunasi harganya maka penyewa

do
gu
dapat dituntut pidana berdasarkan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan
barang. Secara teoretis, perjanjian sewa beli selalu dirumuskan sebagai sewa-

In
menyewa dengan syarat bahwa apabila uang sewa sudah dibayar selama
A
beberapa waktu berturut-turut, barangnya menjadi milik penyewa.
2. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 juga membuktikan bahwa bukan hanya
ah

lik
kondisi alam yang merupakan Kuasa Tuhan dan perubahan politik seperti
perang yang menjadi ruang lingkup keadaan memaksa, tetapi juga meliputi
am

perubahan kebijakan ekonomi pemerintah yang menjadikan perjanjian sulit

ub
untuk dilaksanakan kecuali dengan pengorbanan debitur yang begitu besar.
MA dalam kaitan dengan kasus ini beranggapan bahwa peraturan pemerintah
ep
yang menjadikan debitur sulit melaksanakan kewajibannya kecuali dengan
k

pengorbanan yang besar merupakan keadaan memaksa. Hanya saja, dalam


ah

kasus ini MA juga memberi catatan bahwa ketika masih ada kemungkinan
R

si
debitur memenuhi kewajiban dengan cara lain, asal tidak melanggar peraturan
perundangan-undangan maka tidak dapat dikatakan force majeure. Dengan

ne
ng

demikian, dari kasus tersebut dapat disimpulkan MA menganut bahwa yang


dimaksud kebijakan pemerintah sebagai force majeure adalah keluarnya
kebijakan pemerintah yang melarang sesuatu yang ada kaitannya dengan

do
gu

isi perjanjian, yang membuat kalau debitur memaksakan diri memenuhi isi
perjanjian maka dianggap melanggar kebijakan pemerintah tersebut, yang
In
berakibat debitur ditangkap dan dihukum. Debitur tetap menanggung risiko
A

karena tidak terlaksananya prestasi adalah akibat kelalaiannya atau karena


kesalahannya.
ah

lik

Aturan dari KPUI menyatakan bahwa tiap importir hanya boleh mengimpor
satu merek motor. Siapa yang telah menjadi wakil tunggal boleh memilih
m

ub

terlebih dahulu merek yang diimpor. Kasus di atas berkaitan dengan jual-beli
sepeda motor AJS di mana tidak ada force majeure si penjual pada waktu importir
ka

yang ia adalah dealernya, tidak dapat lagi mengimpor sepeda motor merek
ep

AJS, karena penjual masih leluasa membeli sepeda motor itu dari importir,
yang mengimpor sepeda motor merek itu. Adanya kebijakan pemerintah yang
ah

es

130 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 130 12/13/2010 11:40:30 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 137
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
melarang importir mengimpor lebih dari satu merek motor bukan alasan force

si
majeure karena dalam kasus di atas masih ada kemungkinan-kemungkinan
atau alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang

ne
ng
terkena dampak dari sebuah kebijakan untuk memenuhi perjanjian.
Dalam kasus di atas, terdapat unsur kelalaian atau kesalahan dan masih
adanya peluang debitur untuk memenuhi prestasi tanpa harus melanggar

do
gu
hukum karena tidak ada larangan untuk itu.

In
3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1971 dalam perkara Perusahaan Otobus
A
NV Bintang dan Soegondo Atmodiredjo melawan Lim Chiao Soen. Menurut
hemat penulis, keputusan PN, PT maupun MA yang menguatkan bahwa
ah

lik
Soegondo Atmodiredjo tetap dihukum untuk membayar ganti rugi karena
tidak melakukan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya adalah tepat.
am

Berdasarkan pendapat dalam lalu lintas masyarakat dan kelayakan, Soegondo

ub
Atmodiredjo seharusnya juga mengetahui risiko yang akan timbul akibat
perbuatannya. Menurut hemat penulis, dalil force majeure akan berhasil
ep
apabila force majeure terjadi di luar kesalahan, baik kesengajaan maupun
k

kelalaian Soegondo. Namun, dalam kasus ini Soegondo telah dalam keadaan
ah

lalai sehingga kebakaran terjadi. Putusan Hakim MA yang menetapkan pihak


R

si
lain (Pengusaha NV Bintang) harus bertanggung jawab di luar kesalahannya
juga tepat. Dalam hal ini majikan (Perusahaan Otobus NV Bintang) harus

ne
ng

bertanggung jawab atas kesalahan pekerjanya, berdasar Pasal 1367 KUH


Perdata.
Menurut hemat penulis, keputusan MA yang menyatakan bahwa majikan

do
gu

perusahaan otobus NV Bintang harus bertanggung jawab sudah tepat karena


perbuatan yang telah dilakukan Soegondo Atmodiredjo tersebut merupakan
In
perbuatan melawan hukum. Umumnya, pribadi dari orang itu sendiri dapat
A

dimintakan pertanggungjawaban. Seorang majikan hanya bertanggung


jawab berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, jika buruhnya sendiri dapat
ah

lik

dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum yang ia


lakukan. Soegondo Atmodiredjo, yang melakukan perbuatan melawan hukum
m

ub

tersebut, adalah orang yang mempunyai hubungan kerja dengan NV Bintang


maka pertanggungjawaban majikan NV Bintang didasarkan kepada Pasal 1367
ka

KUH Perdata.
ep

Jika dicermati, sebetulnya kasus di atas tidak berkaitan dengan perjanjian,


tetapi berkaitan dengan perikatan yang lahir dari undang-undang karena
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 131


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 131 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 138
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
perbuatan melawan hukum. Hanya saja force majeure dijadikan pembelaan

si
diri bagi tergugat asal untuk dibebaskan dari hukuman atau sanksi. Sebagai
catatan, dalam perbuatan melawan hukum juga dikenal adanya ganti rugi.

ne
ng
Dalam kasus di atas, apa yang dikemukakan sebagai force majeure oleh
tergugat asal tidak terbukti karena peristiwa kebakaran sudah dapat diduga
sebelumnya akan terjadi serta adanya unsur kesalahan, di samping adanya

do
gu
hukum yang dilanggar.

In
4. Putusan MA RI No. 3389 K/PDT/1984 menunjukkan bahwa MA sebenarnya
A
mengakui bahwa munculnya tindakan administratif penguasa yang
menentukan atau mengikat adalah suatu kejadian yang tidak dapat diatasi oleh
ah

lik
para pihak dalam perjanjian. Tindakan atau kebijakan dari penguasa dianggap
sebagai force majeure dan membebaskan pihak yang terkena dampak dari
am

mengganti kerugian. Tindakan penguasa merupakan force majeure yang

ub
bersifat relatif, yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal
tidak mungkin dilakukan, atau untuk sementara waktu ditangguhkan sampai
ep
ada perubahan kebijakan atau tindakan penguasa yang berpengaruh pada
k

pelaksanaan prestasi. Hanya saja, dalam kasus di atas interpretasi mengenai


ah

siapa yang disebut penguasa tidak kena, karena penguasa menurut MA


R

si
adalah pihak yang berwenang di luar para pihak yang mengadakan perjanjian
atau kontrak. Tepat seperti apa yang diputuskan MA bahwa Direksi bukan

ne
ng

penguasa, melainkan pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut. Dengan


demikian, penafsiran tergugat bahwa terbitnya Surat Direksi sebagai alasan
force majeure menurut hemat penulis tidak dapat dibenarkan, karena menurut

do
gu

pendapat umum penguasa adalah Pemerintah (Daerah dan Pusat), Kepolisian


dan pihak-pihak lain yang bukan Contract Partij (pihak yang berkontrak). Dalam
In
kasus di atas, Direksi Perusahaan Aspal Negara adalah pihak yang berkontrak
A

karena yang diangkut adalah aspal Perusahaan Aspal Negara dengan trayek
Banabungi/Buton ke Tanjung Priok/Jakarta, seperti telah disebut dalam Charter
ah

lik

Partij.
Melalui kasus ini setidaknya dapat dilihat bahwa terbitnya keputusan
m

ub

penguasa yang menyebabkan debitur tidak dapat melaksanakan prestasi juga


dapat dikategorikan sebagai force majeure. Akan tetapi, unsur penguasa di sini
ka

tidak terpenuhi karena bukan di luar pihak yang berkontrak. Jika keputusan
ep

yang lahir itu adalah keputusan penguasa setempat, seperti pemda, menurut
hemat penulis unsur-unsur force majeure terpenuhi.
ah

es

132 Analisis
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 132 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 139
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Berdasarkan yurisprudensi maupun putusan MA di atas dapat disimpulkan

si
bahwa ada perkembangan yang terjadi mengenai force majeure, baik dari aspek
unsur-unsur, lingkup peristiwa, maupun akibatnya.

ne
ng
Peristiwa atau ruang lingkup yang menjadi ranah force majeure menurut pasal-
pasal KUH Perdata meliputi:
1. peristiwa alam;

do
gu
2. kebakaran;
3. musnah atau hilangnya barang yang menjadi objek perjanjian.

In
A
Dalam perkembangannya, peristiwa atau ruang lingkup force majeure melebar
kepada ranah:
ah

lik
1. risiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan
dirampas tentara dalam perang (Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957);
2. tindakan administrasi penguasa, perintah dari yang berkuasa, keputusan,
am

ub
segala tindakan administratif yang menentukan atau mengikat, suatu
kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam
perjanjian (Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984);
ep
k

3. peraturan-peraturan pemerintah (Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958).


ah

R
Dapat disimpulkan pula bahwa akibat force majeure dari aspek perjanjiannya

si
menurut KUH Perdata adalah perikatan menjadi hapus bila barang yang
menjadi objek perjanjian musnah. Dari aspek risiko, debitur tidak dapat dimintai

ne
ng

pertanggungjawaban untuk membayar biaya, ganti rugi maupun bunga yang timbul
dari force majeure. Akan tetapi, jika debitur mempunyai tuntutan hak atau tuntutan

do
gu

ganti rugi atas barang tersebut maka hak atau tuntutan ganti rugi itu beralih kepada
si berpiutang.
Dalam perkembangannya, bila force majeure memang terjadi, perjanjian
In
A

tidak otomatis hapus tetapi dibuka adanya renegosiasi di antara para pihak dalam
perjanjian. Hal ini juga sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada
kreditur, karena kreditur sebenarnya berhak atas prestasi dari debitur, dan sebaliknya
ah

lik

debitur berkewajiban memberikan prestasi.


Perkembangan baik mengenai unsur, ruang lingkup peristiwa, maupun akibat
m

ub

force majeure ini menurut hemat penulis tidaklah bertentangan dengan ketentuan
force majeure dalam KUH Perdata. Perkembangan ini merupakan kemajuan yang
ka

tentu saja tidak terlepas dari perkembangan perjanjian dalam praktik, yang juga
ep

mengikuti perkembangan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para para pihak
dalam perjanjian.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 133


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 133 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 140
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
CATATAN TENTANG KONSISTENSI PUTUSAN HAKIM DENGAN DOKTRIN

si
DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

ne
ng
A. Konsistensi Putusan Hakim dengan Doktrin
Terdapat beberapa catatan tentang konsistensi putusan hakim dengan doktrin.

do
gu
1. Pertama, hakim masih melihat dan mempertimbangkan doktrin dalam
putusannya.

In
A
Hal ini mewakili putusan hakim atas perkara yang menurut doktrin
termasuk kategori force majeure yang bersifat mutlak. Hal yang demikian,
ah

lik
menurut hemat penulis, karena force majeure yang bersifat mutlak relatif
lebih mudah dilihat oleh hakim. Dalam doktrin, peristiwa-peristiwa yang
disebut force majeure mutlak sering menjadi contoh force majeure sehingga
am

ub
tidak sulit bagi hakim untuk memutus peristiwa tersebut sebagai force
majeure.
Contoh: Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957 tertanggal 16 Desember
ep
k

1957, dalam perkara G.G. Jordan melawan NV Handel Maatschappij L’Auto


mengenai risiko dalam perjanjian sewa beli karena keadaan memaksa. MA
ah

memutuskan permohonan kasasi dari tergugat terbanding (Jordan) ditolak


R

si
atas pertimbangan bahwa putusan PT Surabaya menurut isi perjanjian
sewa beli risiko atas hilangnya barang karena keadaan memaksa dipikul

ne
ng

si penyewa beli adalah mengenai suatu kenyataan. Maka, keberatan


pemohon kasasi tentang hal itu tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim
kasasi.

do
gu

Contoh lain, yaitu Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983 tertanggal 25


Oktober 1984 dalam perkara Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim
In
melawan Rudy Suardana, kembali menguatkan tentang ruang lingkup
A

force majeure sebagai suatu peristiwa yang tidak terduga, yang tidak
dapat dicegah oleh debitur dan bukan karena kelalaian atau kesalahan
ah

lik

debitur. Putusan MA tersebut mengenai seorang pengangkut tidak dapat


dimintakan pertanggungjawaban atau mengganti kerugian jika kapal
pengangkut mengalami kecelakaan dan tenggelam akibat ombak besar
m

ub

yang merusak lambung kapal. Apalagi, sebelumnya kapal telah dinyatakan


laik laut dan tidak ada kelebihan muatan. Keberangkatan kapal juga sudah
ka

mendapatkan izin dari syahbandar sehingga tidak ada unsur kelalaian atau
ep

kesalahan dari debitur atau pengangkut. Dengan demikian, dalam kasus


ah

es

134 Dokumen Penjelas


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 134 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 141
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
tersebut tidak ada beban bagi pengangkut untuk memberikan ganti rugi

si
kepada kreditur karena tidak terpenuhinya prestasi akibat sebuah kondisi
yang siapa pun tidak akan bisa mencegahnya. Logika hukumnya, tidak ada

ne
ng
ganti rugi karena tidak ada kelalaian atau kesalahan di dalamnya.

2. Kedua, hakim tidak serta merta menyatakan sebuah peristiwa sebagai

do

guforce majeure, tetapi terlebih dahulu melihat pada perjanjiannya.
Hal ini mewakili putusan hakim atas perkara yang menyangkut force
majeure yang menurut doktrin termasuk kategori force majeure relatif.

In
A
Menurut hemat penulis, pertimbangan hakim untuk melihat apakah
perjanjian mengatur persoalan force majeure atau tidak, tidak sesuai
ah

dengan kodifikasi sistem. Menurut sistem kodifikasi, dalam perjanjian

lik
tidak harus diakomodasikan mengenai force majeure, artinya force majeure
bukan unsur esensialia perjanjian. Apabila tidak diatur mengenai force
am

ub
majeure dalam perjanjian maka KUH Perdata yang akan melengkapinya.
Force majeure diatur dalam Buku III KUH Perdata yang bersifat pelengkap,
artinya KUH Perdata akan melengkapi perjanjian yang dibuat secara tak
ep
lengkap oleh para pihak yang membuatnya.
k

Contoh: Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 tertanggal 26 Maret


ah

1958 dalam perkara Super Radio Company NV melawan Oey Tjoeng


R

si
Tjoeng menguatkan putusan PN dan PT dengan menyatakan bahwa
Super Radio Company NV harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan

ne
ng

Pasal 1267 KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan keinginan penggugat yang
tidak menuntut ganti kerugian, melainkan hanya menuntut pelaksanaan
isi perjanjian.

do
gu

Contoh lain: Putusan MA RI No. Reg. 3389 K/PDT/1984 dalam perkara


R.P. Adianto Notonindito melawan PT Tirta Sartika, yang lebih dikenal
dengan ”Charter Partij Kapal – Demmurage – Force mayeur”. Dalam hal
In
A

ini, MA telah membatalkan putusan judex facti karena Pengadilan Tinggi


dinilai telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan bahwa
ah

lik

dasar hukum perjanjian antara penggugat dan tergugat adalah Charter


Partij, yang telah memuat antara lain jumlah hari bongkar muat barang dari
kapal adalah dua belas hari. Apabila lebih dari dua belas hari tergugat asal
m

ub

akan dikenakan biaya demmurage sebesar Rp2.000.000,00 untuk satu hari


kapal menunggu. Hari tersebut dihitung sejak kapal tiba dalam keadaan
ka

siap menerima muatan barang yang dinyatakan dalam ”Notice of Readiness


ep

(NOR)”. NOR tersebut telah diaccepted oleh charterer. Ini berarti pada saat
itu kapal tersebut telah siap untuk menerima muatan. Charterer dalam hal
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 135


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 135 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 142
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
ini telah lalai memenuhi isi Charter Partij dan menurut Time Sheet telah

si
terjadi demmurage selama 27 hari. Sebagai catatan, NOR tersebut dibuat
berdasar pada Pasal 1337 KUH Perdata sehingga Charter Partij mengikat

ne
ng
para pihak sebagai hukum. Atas hal tersebut MA berpendapat bahwa force
majeure yang dikemukakan oleh tergugat berupa terbitnya Surat Direksi
Perusahaan Aspal Negara adalah keliru karena Direksi ini bukan penguasa

do
gumelainkan sebagai pihak yang berkontrak. Dengan demikian, menurut
MA, alasan yang dikemukakan oleh tergugat tentang adanya force majeure
untuk membebaskan tergugat mengganti kerugian tidak berdasarkan

In
A
hukum.

B. Konsistensi Putusan Hakim dengan Peraturan Perundang-undangan


ah

lik
Terkait dengan peraturan perundang-undangan, terdapat dua pandangan.
am

ub
1. Hakim di dalam menjatuhkan putusannya masih melihat peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini hakim tidak hanya melihat peristiwa
dan akibatnya, tetapi juga melihat ada tidaknya aturan hukum yang
ep
dilanggar. Walaupun peristiwanya oleh doktrin disebut sebagai force
k

majeure, tetapi ketika ada aturan yang dilanggar maka tidak dapat disebut
ah

force majeure karena ada unsur dapat diduga sebelumnya. Putusan seperti
R

si
ini lebih tepat untuk perbuatan melawan hukum.
Contoh: Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1971 tertanggal 4 Juni

ne
ng

1973 merupakan perkara antara Perusahaan Otobus NV Bintang yang


berkedudukan di Tegal dan Soegono Atmodiredjo, pegawai Perusahaan
Otobus NV Bintang, melawan Lim Chiao Soen, direktur Perusahaan

do
gu

Otobus NV Indah juga telah mengilustrasikan mengenai hal yang ada


kaitannya dengan force majeure. Mahkamah Agung berpendapat bahwa
keadaan memaksa atau force majeure yang diajukan tergugat asal sebagai
In
A

sebab timbulnya kebakaran yang menyebabkan musnahnya bus merek


Dodge milik penggugat asli tidak terbukti. Setiap orang mengetahui
bahwa mengisi bensin pada kendaraan bermotor tidak melalui
ah

lik

pompa bensin adalah sangat berbahaya. Apabila yang bersangkutan,


meskipun mengetahui bahaya tersebut, tetap mengisi bensin dengan
m

ub

menggunakan ember (di luar pompa bensin) maka ia harus menanggung


risikonya. Kebakaran tersebut terjadi karena kelalaian seorang pegawai
ka

PO NV Bintang dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, menurut


ep

yurisprudensi majikannya harus mengganti kerugian yang timbul karena


kesalahan pegawainya.
ah

es

136 Dokumen Penjelas


Catatan
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 136 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 143
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Hakim di dalam menjatuhkan putusan tidak hanya melihat peraturan

si
perundang-undangan. Hal ini karena hakim lebih menitikberatkan pada
aspek keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Menurut hemat

ne
ng
penulis, hal ini bukan berarti ada ketidakkonsistenan hakim pada peraturan
perundang-undangan, karena idee des recht hukum bukan hanya kepastian
hukum, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan. Hukum acara perdata

do
guIndonesia juga mengakomodasikan hal tersebut. Dalam dunia bisnis,
putusan-putusan seperti ini yang dirasakan lebih mengakomodasikan
kebutuhan mereka, karena lebih mendekati keadilan substantif dan

In
A
bukan pada keadilan formal atau prosedural. Hal ini juga selaras dengan
sistem kontinental yang memberi kebebasan pada hakim untuk memutus
ah

perkara.

lik
Contoh: Putusan No. 21/Pailit/2004/PN Niaga.Jkt.Pst. Majelis hakim
berpendapat bahwa di persidangan tidak ditemukan bukti bahwa
am

ub
Termohon menyatakan mengakhiri perjanjian sewa terhadap Pemohon.
Alasan terjadi kondisi di luar kekuasaan Termohon menyebabkan kegiatan
bisnis Termohon terhenti dan tidak lagi menempati objek perjanjian sewa
ep
k

tidak terbukti. Itu sekaligus membuktikan Termohon mempunyai utang


kepada Pemohon yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Putusan
ah

MA ini tentang perkara antara PT Besland Pertiwi sebagai pemohon pailit


R

si
dengan PT Krone Indonesia sebagai termohon pailit. Kasus posisi perkara
tersebut adalah sebagai berikut. Termohon pailit telah menyewa tanah

ne
ng

pemohon pailit berdasarkan perjanjian sewa yang diperpanjang untuk


masa 3 tahun ke depan dan kemudian diperpanjang lagi untuk 3 tahun.
Adendum dalam perjanjian sewa hanya meliputi masa berlaku sewa

do
gu

dan harga sewa. Pembayaran sewa dilakukan secara teratur, tetapi sejak
adendum Termohon pailit tidak lagi melaksanakan kewajiban membayar
harga sewa. Pemohon pailit sudah mengirimkan surat tagihan uang sewa
In
A

kepada Termohon, tetapi Termohon pailit tetap tidak membayar uang


sewa tersebut. Pada sisi lain, Termohon pailit juga mempunyai utang
ah

lik

kepada kreditur lain, yaitu PT Sarana Bulit Indah Industrial City. Oleh
karena itu, Pemohon memohon agar Termohon pailit dinyatakan berada
dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya berdasarkan Pasal 1
m

ub

ayat (1) UU Kepailitan dan Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan. Atas hal tersebut,
Termohon menolak dengan alasan perjanjian sewa yang menjadi dasar
ka

dalam permohonan pernyataan pailit adalah tidak sah, karena utang yang
ep

dipermasalahkan adalah utang yang timbul karena masalah penafsiran


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 137


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 137 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 144
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dan pelaksanaan ketentuan mengenai kewajiban pembayaran harga

si
sewa. Termohon juga menyatakan bahwa tagihan Pemohon tidak sah,
karena Pemohon sudah melepaskan haknya berdasarkan perjanjian sewa.

ne
ng
Termohon berpendapat bahwa keterlambatan atau ketiadaan pembayaran
adalah hal yang biasa terjadi, dan sudah diatur dalam perjanjian sewa.
Menurut perjanjian sewa tersebut, pemberi sewa berhak memutuskan

do
guperjanjian jika penyewa gagal memenuhi kewajiban pembayaran sewa
selama jangka waktu dua bulan setelah tanggal jatuh tempo. Atas dasar
itu, seharusnya atau sepatutnya melakukan tindakan-tindakan seperti

In
A
memutus suplai air dan telepon, serta melarang Termohon memasuki
objek sewa. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan Pemohon. Pemohon juga
ah

beranggapan bahwa Pemohon melanggar ketertiban umum, hukum,

lik
kepatutan dan kesusilaan yang berlaku, karena itu tidak berhak menuntut
harga sewa sampai akhir perjanjian sewa. Termohon juga menyatakan
am

ub
bahwa kondisi di atas terjadi karena Termohon mengalami keadaan atau
situasi yang tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang
mengakibatkan Termohon harus menghentikan kegiatan bisnisnya.
ep
k

Atas kondisi tersebut, Termohon sudah menyatakan niatnya kepada


Pemohon untuk memutus lebih awal perjanjian sewa, tetapi Pemohon
ah

selalu menolak. Termohon dengan itikad baik juga telah berulang kali
R

si
mengembalikan objek sewa, tetapi Pemohon selalu menolak. Dalam
praktik, Termohon juga sudah tidak lagi menikmati objek perjanjian sewa.

ne
ng

Majelis hakim berpendapat bahwa utang tidak hanya bertumpu pada


konstruksi pinjam meminjam uang, akan tetapi pengertian utang adalah
segala kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah

do
gu

uang. Pernyataan Pemohon bahwa termohon mempunyai utang pada


kreditur lain tidak terbukti, karena perjanjian yang dijadikan dasar adanya
utang pada kreditur lain adalah perjanjian accesoir. Oleh karena itu, hakim
In
A

memutuskan menolak permohonan Pemohon.


ah

lik

1 Prof.Koesoemadi, Asas-Asas Perjanjian dan Hukum Perikatan (Jakarta: ISA, 1956), hlm.181.
m

ub

2 Bandingkan dengan Penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf j Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 ten-
tang Jasa Konstruksi.
3 Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H.,MH., Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komer-
ka

sial (Surabaya: LaksBang Mediatama Yogyakarta 2008), hlm.245-249.


4 Prof. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis (Bandung: Alumni, 1994).
ep

5 Mr.J.H.Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (judul asli Hoofdstukken Verbintenissenrecht,


diterjemahkan oleh Jasadin Saragih, S.H.,LL.M), (Surabaya: Tanpa Penerbit, 1985), hlm.93-95.
ah

es

138 Dokumen Penjelas


Catatan
M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 138 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 145
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu
DAFTAR PUSTAKA

In
A
ah

lik
Buku
am

ub
Aman, Edy Putra Tje. 1989. Kredit Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Andi.
Badrulzaman, Mariam Darus. 2005. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.
______________. 1998. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni.
ep
k

______________. Sutan Remy Sjahdeni, Heru Soepraptomo, H. Faturrahman Djamil,


ah

Taryana Soenandar. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT Citra Aditya


R
Bakti.

si
Djumhana, Muhammad. 1996. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra

ne
ng

Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2000. Jaminan Fidusia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
______________. 2003. Hukum Perbankan Modern. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

do
gu

______________. 2007. Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Buku
Pertama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
In
A

Hadisoeprapto, Hartono. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.


Liberty: Yogyakarta.
ah

lik

Harahap, Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.


Hasan, Djuhaedah. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda
Lain yang Melekat pada Tanah dalam Penerapan Asas Pemisahan Horizontal.
m

ub

Bandung: Citra Aditya Bakti.


Hay, Murhainis Abdul. 1979. Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
ka

ep

Hernoko, Agus Yudha. 2008. Hukum Perjanjian Asas Proporsonalitas dalam Kontrak
Komersial. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 139


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 139 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 146
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
H.S., Salim. 2006. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar

si
Grafika.

Kasmir. 2004. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

ne
ng
______________. 2004. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kusumadi. ”Kumpulan Bahan-Bahan Kuliah”. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.

do
gu
Muhammad, Abdulkadir. 1992. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung: Mandar Maju.

In
A
______________. 1988. Hukum Perdata I (Asas-Asas Hukum Perikatan). Semarang:
Jurusan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
ah

lik
Santoso, Djohari dan Achmad Ali. 1989. Hukum Perjanjian Indonesia. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
am

ub
Santoso, Rudy Tri. 1995. Kredit Usaha Perbankan. Yogyakarta: Andi.

Satrio, J. 2002. Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni.


ep
Setiawan, R. 1994. Pokok-Pokok Perjanjian. Bandung: Bina Cipta.
k

______________. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Cetakan Keenam. Bandung:


ah

Putra A. Bardin.
R

si
Siamat, Dahlan. 1993. Manajemen Bank Umum. Jakarta: Intermedia.

ne
ng

Soeroso, R. 2007. Contoh-contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam Praktik.


Sinar Grafika.

do
Sofwan, Sri Soedewi Masjchun. 1982. Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan
gu

Bangunan. Yogyakarta: Liberty.

______________. 1980. Hukum Perutangan (Bagian A). Yogyakarta: Seksi Hukum


In
A

Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.


ah

lik

______________. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.

Supratmono, Gatot. 1995. Perbankan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta:
m

ub

Djambatan.

Suryodiningrat, R.M. 1995. Azas-Azas Hukum Perikatan. Bandung: Tarsito.


ka

ep

Usman, Ruchmadi. 1999. Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah. Jakarta:
Djambatan.
ah

es

140 Daftar Pustaka


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 140 12/13/2010 11:40:31 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 147
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Tesis

si
AIPN Model International Operating Contract, diperoleh dari Materi Course of Oil and
Gas Law, kerja sama antara Total E&P Indonesia berkolaborasi dengan Total

ne
ng
Professeurs Associes (TPA) Paris dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 22-26 Maret 2010.

do
AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement, diperoleh dari Materi Course of
gu
Oil and Gas Law, kerja sama antara Total E&P Indonesia berkolaborasi dengan
Total Professeurs Associes (TPA) Paris dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah

In
A
Mada, Yogyakarta, 22-26 Maret 2010.

Kasnoputra, Teguh Soesetijo. 2004. ”Perjanjian Siaran Iklan Antara CV Kencana


ah

lik
Jaya dengan Radio Swara Zenith Angkasa Salatiga”. Semarang: Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro.

Muri, Dewi Padusi Daeng. 2005. “Wanprestasi dalam Perjanjian Pembangunan


am

ub
Tower Air Antara CV Macro dengan Gedung Keuangan Negara di Semarang”.
Semarang: Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.
ep
k

Poedjiotani, Irenea Sri Widyanti. 2004. “Perjanjian Pengikatan Jual-beli Rumah


Antara Purba Danarta Group dengan Karyawan di Kota Semarang”. Semarang:
ah

Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.


R

si
Saragi, Royen. 2003. “Tanggungjawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa-

ne
Menyewa Save Deposit Box (SDB) (Suatu Studi di PT Bank Negara Indonesia
ng

(Persero) Tbk. Kantor Cabang Semarang)”. Semarang: Magister Kenotariatan


Universitas Diponegoro.

do
gu

Widodo, Agus Suki. 2004. ”Tanggungjawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian
Sewa- Menyewa Kendaraan Bermotor di Surakarta”. Semarang: Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro.
In
A

UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Informasi diperoleh dari http://www.
legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+99&f=uu18-1999.htm.
ah

lik

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Informasi diperoleh dari http://pkbl.


bumn.go.id/file/UU-13-2003-ketenagakerjaan.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli
m

ub

2010.

UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Informasi diperoleh dari http://


ka

ep

dishubkomintel.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2009/12/23-07.pdf, diakses
pada tanggal 27 Juli 2010.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 141


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 141 12/13/2010 11:40:32 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 148
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Informasi

si
diperoleh dari http://www.esdm.go.id/prokum/uu/2009/UU%204%202009.pdf,
diakses pada tanggal 27 Juli 2010.

ne
ng
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jasa Angkutan. Informasi diperoleh
dari http://www.menlh.go.id/Peraturan/UU/UU22-2009.pdf, diakses pada tang-
gal 27 Juli 2010.

do
gu
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kon-

In
A
struksi. Informasi diperoleh dari http://docs. google.com/viewer?a=v&q=cache:
YNPzyuEm7a4J:hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_29_2000.pdf+Peraturan+Pemerinta
ah

lik
h+No.+29+Tahun+2000+tentang+Penyelenggaraan+Jasa+Konstruksi&hl=id&g
l=id&pid=bl&srcid=ADGEESh5LPnxkXo_L8V7DsW2qWWEZqMAgDlRrfmrEM9h-
gJ42dVcswOWYS0r4nranOl5Qfw9qY9zax9EHpzjpQ39ZwYnH9ERG02r60JRzFqT-
am

ub
zhswBw0QNwN_grLoCWiSWm-RffoNp6Aq&sig=AHIEtbQhfETW4Ey_m31yK-
kdW0 aGVye3axA, yang diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta lampiran-
ep
k

nya, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Keppres No. 61
ah

Tahun 2004, Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 70
R

si
Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 79
Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden No.

ne
ng

95 Tahun 2007. Informasi diperoleh dari http://www.jakarta.go.id/v70/direkto-


rihukum/public/ download/kepres-80-2003.pdf, http://www.lkpp.go.id/v2/files/
content/file/Keppres% 20No%2061%20Th%202004.pdf, http://www.legalitas.org/

do
gu

database/puu/2005/ perpres32-2005.pdf, http://www.inherent-dikti.net/docs/


Perpres_70_11_05.pdf, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/perpres/2006/008-
06.pdf, http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/281.pdf, http://www.
In
A

presidenri.go.id/DokumenUU.php/287.pdf, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/
perpres/2007/095-07.pdf, yang diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
ah

lik

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum.
Informasi diperoleh dari http://www.legalitas.org/database/puu/2007/pbi9-2-
2007.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
m

ub

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi


Keuangan Bank Perkreditan Rakyat. Informasi diperoleh dari http://www.bi.go.
ka

ep

id/NR/rdonlyres/C92E5466-AA6A-434B-B018-A80F43AD4793/11951/pbi_82007.
pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.
ah

es

142 Daftar Pustaka


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 142 12/13/2010 11:40:32 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 149
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan

si
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan
Rakyat dan Lembaga selain Bank. Informasi diperoleh dari http://www.bi.go.id/

ne
ng
NR/rdonlyres/645210FA-DF86-48CF-BEFB-42FDCDF393DE/12546/PBI104Lapo-
ranAPMKBPRnonbank.pdf, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.

do
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. Kep-
gu
177/bl/2008 tentang Perubahan Peraturan No. IV.B.2 tentang Pedoman Kon-
trak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, (”Peraturan No. IV.B.2

In
A
tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif”).
Informasi diperoleh dari http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/regulasi_
pm/draft_ peraturan_pm/draft/Draft_IV.B.2_Thn2010.pdf, diakses pada tanggal
ah

lik
27 Juli 2010.

Keputusan Direksi PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia No. Kep-005/DIR/KPEI/0505


am

ub
tentang Perubahan Peraturan Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi
Kontrak Berjangka tentang Peraturan Nomor III Kliring dan penjaminan
penyelesaian transaksi kontrak berjangka. Informasi diperoleh dari http://
ep
k

www.kpei.co.id/docupload/Kep-005_0505%20Kliring%20dan%20Penjaminan
%20Penyelesaian%20Transaksi%20Kontrak%20Berjangka.pdf, diakses pada
ah

tanggal 27 Juli 2010.


R

si
Kontrak Karya. Ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 11 Oktober 2007.

ne
ng

Kontrak merupakan milik pribadi dari peneliti.

Perjanjian Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok Obligasi kepada Pemegang
Obligasi oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia melalui Pemegang Rekening

do
gu

untuk dan atas nama Perusahaan Terdaftar. Kontrak yang ditandatangani


oleh para pihak tanggal 17 Maret 2005. Kontrak merupakan milik pribadi dari
In
peneliti.
A

Perjanjian Sewa-menyewa. Kontrak ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 8


April 2005. Kontrak merupakan milik pribadi dari peneliti.
ah

lik

Perjanjian Pemborongan (Kontrak) Pekerjaan Rencana Teknik Akhir (FED)


Pembangunan Jalan Tol. Kontrak yang ditandatangani oleh para pihak pada
m

ub

tanggal 9 Oktober 2008. Kontrak merupakan milik pribadi dari peneliti.

Perjanjian Kerja Sama Berdasarkan Sistem Kontrak Karya terkait dengan Eksploitasi
ka

ep

Hutan (logging). Kontrak diperoleh dari R. Soeroso, 2007, Contoh-Contoh


Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam Praktik, Sinar Grafika.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa 143


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 143 12/13/2010 11:40:32 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 150
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Perjanjian Jual-beli (Air Conditioning dan Peralatan Listrik). Kontrak diperoleh dari

si
R. Soeroso, 2007, Contoh-Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam
Praktik, Sinar Grafika.

ne
ng
Perjanjian Sewa-menyewa Rumah. Kontrak diperoleh dari R. Soeroso, 2007, Contoh-
Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam Praktik, Sinar Grafika.

do
Perjanjian Kerja Sama Pengolahan Kayu Jati dan Mahoni. Kontrak diperoleh dari R.
gu
Soeroso, 2007, Contoh-Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam
Praktik, Sinar Grafika.

In
A
Perjanjian Kerja Sama Penangkaran Satwa Primata. Kontrak diperoleh dari R. Soeroso,
2007, Contoh-Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam Praktik, Sinar
Grafika.
ah

lik
Perjanjian Kerja Sama Penyusunan Corporate Plan. Kontrak diperoleh dari R. Soeroso,
2007, Contoh-Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam Praktik, Sinar
am

ub
Grafika.
Perjanjian Kerja Sama Penyelenggaraan Pelatihan Peternak Lebah. Kontrak diperoleh
dari R. Soeroso, 2007, Contoh-Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan
ep
k

dalam Praktik, Sinar Grafika.


ah

Perjanjian Pengangkutan Hasil Hutan. Kontrak diperoleh dari R. Soeroso, 2007,


R

si
Contoh-Contoh Perjanjian yang Banyak Dipergunakan dalam Praktik, Sinar
Grafika.

ne
ng

Putusan MA RI Reg. No. 15 K/Sip/1957


Putusan MA RI Reg. No. 24 K/Sip/1958
Putusan MA RI Reg. No. 558 K/Sip/1971

do
gu

Putusan MA RI Reg. No. 409 K/Sip/1983


Putusan MA RI Reg. No. 3389 K/Sip/1984
In
A

Putusan No. 21/Pailit/2004/PN Niaga.Jkt.Pst diakses dari http://www.bphn.go.id/jdih/


index.php?action=download&file=04pn21.doc
ah

lik

Subekti. R. 1985, Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni. dan Tjitrosudibio. R. 1989. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya. Jakarta:
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/21/DKBU tentang Batas Maksimum Pem-
m

ub

berian Kredit Bank Perkreditan Rakyat (berlaku 10 Agustus 2009). Informasi


diperoleh dari http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_112109.
ka

ep

htm, diakses pada tanggal 27 Juli 2010.


ah

es

144 Daftar Pustaka


M

ng

on

Rev-3-Final Setting Buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa.indd 144 12/13/2010 11:40:32 PM
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 151
am

b
cover_keadaan memaksa_v4_arsip_blk.pdf 1 12/15/10 6:41 PM

u
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Penjelasan Hukum tentang

ne
ng
KEADAAN MEMAKSA

do
gu

In
A
Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang
mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Di samping itu,
ah

lik
ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan untuk
mewujudkan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi yang stabil
am

ub
serta adil. Ketidakpastian ini umumnya bersumber dari hukum
C tertulis yang tidak jelas dan kontradiktif satu sama lain. Selain itu,
juga karena ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi
M
ep
k

Y
pemerintah ataupun pengadilan.
ah

CM
R

si
MY

Overmacht/force majeure sebagai salah satu pokok bahasan Restatement dalam buku ini, memberikan
CY

kepastian hukum dalam berinvestasi dan melaksanakan kegiatan ekonomi di Indonesia. Caranya , yaitu

ne
ng

CMY

dengan memperjelas konsep-konsep hukum yang masih menjadi perdebatan di dunia praktik, khususnya
K

memperjelas konsep-konsep syarat-syarat pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUH
Perdata. Selain itu, MA dan pengadilan di bawahnya menerapkan konsep keadaan memaksa ini sesuai

do
gu

kata-kata dalam Undang-Undang, dan belum memberikan tafsiran yang lebih luas.
In
Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab isu ketidakpastian hukum tersebut. Tujuan utama dari
A

buku ini adalah mewujudkan gambaran yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia
modern. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum, yaitu peraturan
ah

lik

perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif.


m

ub

National Legal Reform Program (NLRP)


ka

Gedung Setiabudi 2 Lantai 2 Suite 207D


ep

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62


Jakarta 12920 - INDONESIA
Phone : +62 21 52906813
ah

Fax : +62 21 52906824


R

34608100142
es
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 152

Anda mungkin juga menyukai