Anda di halaman 1dari 20

I.1.

Penyemenan
Pengertian penyemenan adalah proses pendorongan sejumlah suspensi bubur semen
(slurry) yang mengalir dari bawah sepatu casing hingga naik ke annulus diantara casing dan
formasi, yang kemudian membutuhkan beberapa waktu untuk mengeras sehingga mengikat
antara casing dengan dinding lubang bor atau casing dengan casing. Berdasarkan tujuannya
proses penyemenan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Penyemenan Awal (Primary Cementing)

2. Penyemenan Kedua atau Perbaikan (Secondary atau Remedial Cementing)

I.1.1. Primary Cementing

Primary cementing adalah penyemenan pertama kali yang dilakukan setelah casing
diturunkan ke dalam sumur. Pada primary cementing, penyemenan casing pada dinding
lubang sumur dipengaruhi oleh jenis casing yang akan disemen. Penyemenan conductor
casing bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi fluida pemboran (lumpur
pemboran) dengan formasi. Penyemenan surface casing bertujuan untuk melindungi air
tanah agar tidak tercemar dari fluida pemboran, memperkuat kedudukan surface casing
sebagai tempat dipasangnya BOP (Blow Out Preventer). Untuk menahan beban casing yang
terdapat di bawahnya danuntuk mencegah terjadinya aliran fluida pemboran atau fluida
formasi yang akan melalui surface casing. Penyemenan intermediate casing bertujuan untuk
menutup tekanan formasi abnormal atau mengisolasi daerah lost ciculation. Penyemenan
production casing bertujuan untuk mencegah terjadinya aliran antar formasi ataupun aliran
fluida formasi yang tidak diinginkan yang akan memasuki sumur. Selain itu juga bertujuan
untuk mengisolasi zona produktif yang akan diproduksikan fluida formasi dan juga untuk
mencegah terjadinya korosi pada casing yang disebabkan oleh material–material korosif.
Berikut skema mengenai primary cementing.
Gambar 3.16 Primary Cementing9)
Adapun kegunaan dari Primary cementing adalah :
1. Melindungi casing terhadap tekanan formasi.

2. Melekatkan casing pada formasi.

3. Membuat pemisahan–pemisahan zone antara lapisan permeable dan dinding lubang bor.

4. Melindungi daerah produksi dari water bearing sands.

5. Mencegah casing berkarat, karena masuk cairan formasi.

6. Mencegah adanya migrasi fluida yang tidak diinginkan dari satu formasi ke formasi yang
lain.

4.2

4.3

I.1.2. Secondary/Remedial Cementing

Apabila pekerjaan penyemenan pertama (primary cementing) telah dilakukan, dapat


dilakukan pengecekan keberhasilan dengan melakukan running CBL (Cement Bond
Logging) dan VDL (Variable Density Logging). Jika pada hasil logging tersebut terdapat
kerusakan maka dilakukanlah secondary cementing. Selain itu, secondary cementing
dilakukan apabila dari proses pengeboran gagal mendapatkan minyak dan zona produksi
yang diperforasi akan ditutup. Penyemenan yang kurang baik dapat membuat operasi
pemboran tidak berjalan lancar, sehingga tingkat kualitas dari penyemenan sangat
diperhatikan dan solusi dari buruknya penyemenan pertama ialah secondary cementing.
Secondary cementing dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

4.2
4.2.2

I.1.2.1. Squeeze Cementing

Squeeze cementing adalah proses bubur semen (slurry) yang diberi tekanan hingga
terdorong ke bawah sampai pada titik tertentu di dalam sumur dengan maksud perbaikan
sumur tersebut. Juga mempunyai tujuan untuk :
a. Mengurangi water-oil ratio, water gas ratio atau gas-oil ratio
b. Menutup formasi yang tidak lagi produktif
c. Menutup lubang perforasi
d. Menutup Zona lost circulation
e. Memperbaiki Primary cementing yang kurang memuaskan

I.1.2.2. Re-Cementing

Re-cementing dilakukan untuk menyempurnakan primary cementing yang gagal dan


untuk memperluas perlindungan casing di atas top semen.

I.1.2.3. Plug-Back Cementing

Pluck-Back Cementing adalah adalah penempatan cement slurry ke dalam sumur


dengan tujuan agar tercipta solid seal atau plug. Digunakan untuk :
a. Menutup atau meninggalkan sumur (abandonment)
b. Melakukan directional drilling sebagi landasan whipstock yang dikarenakan adanya
perbedaan compressive strength antara semen dan formasi
c. Menutup zona air di bawah zona minyak agar water oil ratio berkurang.

I.2. Klasifikasi dan Komposisi Semen

Klasifikasi dan komposisi semen disesuaikan berdasarkan dengan kondisi sumur pada
lapangan yang akan dilakukan penyemenan. Hal tersebut dapat dijelaskan seperti hal di
bawah ini :

I.2.1. Klasifikasi Semen Berdasarkan Standarisasi API

Klasifikasi semen berfungsi sebagai pemilihan jenis semen sesuai dengan kondisi
surmur dan perlu adanya standarisasi. Klasifikasi ini menggunakan standarisasi API yang
mempunyai 9 kelas semen, tergantung kedalaman dan kondisi sumur :
a. Kelas A : Digunakan untuk penyemenan selubung sampai kedalaman 1830 meter (6000
ft).

b. Kelas B : Digunakan untuk sumur sampai kedalaman 1830 meter (6000 ft), apabila
kondisi formasi memiliki tahanan sulfat sedang sampai tahanan sulfat tinggi.

c. Kelas C : Digunakan untuk sumur sampai kedalaman 1830 meter (6000 ft), apabila
kondisi membutuhkan sifat kekuatan awal tinggi.

d. Kelas D : Digunakan untuk sumur sampai kedalaman 1830 meter (6000 ft) sampai 3050
meter (10.000 ft) dengan kondisi suhu dan tekanan sedang.

e. Kelas E : Digunakan untuk sumur sampai kedalaman 3050 meter (10.000 ft) sampai
kedalaman 4270 meter (14.000 ft) dengan kondisi suhu dan tekanan tinggi.

f. Kelas F : Digunakan untuk sumur sampai kedalaman 3050 meter (10.000 ft) sampai
kedalaman 4880 meter (16.000 ft) dengan kondisi suhu dan tekanan tinggi.

g. Kelas G : Digunakan sebagai semen pemboran dasar untuk kedalaman 2440 meter (8000
ft), atau dapat digunakan dengan akselerator dan retader untuk memperoleh batas
jangkauan kedalaman sumur dan suhu yang lebih luas.

h. Kelas H : Digunakan sebagai semen pemboran dasar untuk kedalaman sampai 2440 meter
(8000ft) dan dapat digunakan dengan penambahan akselerator dan retarder untuk
memperoleh batas jangkauan suhu dan kedalaman sumur yang lebih luas.

i. Kelas J : Digunakan untuk semen dasar pemboran untuk kedalaman 3660 meter (12.000
ft) sampai kedalaman 4880 meter (16.000 ft) pada kondisi suhu dan tekanan yang amat
tinggi atau dapat digunakan dengan penambahan akselerator dan retader untuk
memperoleh batas jangkauan sumur dan suhu yang lebih besar.

I.2.2. Komposisi Semen

Komposisi dasar dari semen adalah Tricalsium Silikat (C 3S), Dicalsium Silikat (C2S),
Tricalcium Aluminat (C3A), Tetra Aluminoferrite (C4AF). Tricalsium Silikat (C3S)
menunjukkan laju penguapan tercepat dan menjadi penyebab atas sifat kekuatan yang
menyeluruh dan kekuatan awal dari semen. Komponen Tricalsium Silikat (C3S) sebagian
besar sebagian besar berfungsi untuk melindungi pengerasan semen terhadap serangan sulfat.
Dicalsium Silikat (C2S) adalah komponen yang bereaksi secara lambat dan sebagai penyebab
bertambahnya kekuatan semen secara bertahap. Tricalsium Aluminat (C3A) ialah penyebab
mengerasnya semen mula–mula dan kekuatan awal karena cepatnya penguapan. Tetra
Aluminoferrite (C4AF) memberikan sumbangan yang berarti bagi pengerasan semen sama
dengan Tricalcium Aluminat (C3A), tetapi sangat tergantung pada temperatur dan persentase
additive yang digunakan.

Komposisi kimia yang umumnya terkandung didalam semen disajikan dalam Tabel
4.1 berikut ini
Tabel 4.1
Komposisi Kimia Komponen – Komponen Semen
Komponen Formula Jumlah

Tricalsium Silikat 3CaO. SiO2 50%

Dicalsium Silikat 2CaO. SiO2 25%

Tricalcium Aluminat 3CaO. Al3O3 10%

Tetra Aluminoferrite 4CaO.Al2O3Fe2O3 10%

Berbagai macam oksidasi 5%

Suspensi semen yang dipompakan ke dalam lubang sumur terdiri dari :

Additive khusus, zat tambahan ini digunakan untuk mengatur karakteristik semen,
seperti thickening time, densitas dan compressive strengths.

Air, merupakan bagian yang penting dalam penyemenan, sehingga sampel semen dan
air harus dites sebelum digunakan dalam penyemenan yang sebenarnya.

I.3. Sifat – Sifat Semen

Semen mempunyai beberapa sifat yang berpengaru dalam proses dan harus disesuaikan
dengan kondisi sumur. Beberapa sifat semen yang harus disesuaikan dengan kondisi sumur.
Beberapa sifat semen yang harus dibahas yaitu :
a. Kekuatan semen (Strength)
b. Perbandingan jumlah air dan semen yang dicampurkan (Water Cement Ratio)
c. Densitas (Density)
d. Waktu pemompaan (Thickening Time)
e. Viscositas (Viscosity)
f. Sifat Filtrasi (Water Loss)
g. Permeabilitas (Permeability)
h. Waktu pengerasan semen (Waiting On Cement)

I.3.1. Kekuatan Semen (Strength)

Untuk mengetahui kekuatan semen yang akan dipergunakan, maka biasanya dilakukan
uji pengetesan terhadap Compressive Strength dan Shear Strength. Compressive Strength
adalah kekuatan semen untuk menahan tekanan yang berasal dari formasi maupun casing.
Shear Strength adalah kekuatan semen dalam menahan berat casing. Perbandingan antara
Compressive Strength dengan Shear Strength ialah bisa mencapai 10:1 jadi apabila semen
dengan Shear Strength 10 psi maka Compressive Strength 100 psi. Akan tetapi tidak ada
ketentuan secara pasti mengenai kekuatan semen yang harus dipergunakan, namun beberapa
engineer mengambil nilai 500 psi dengan waktu pengerasan 24 jam sebagai standarisasi.
Beberapa faktor untuk menentukan lamanya pengerasan yang berkaitan dengan kekuatan
semen yaitu menentukan nilai strength semen yang diperlukan agar pemboran selanjutnya
dapat dilakukan dan dapat mengetahui bagaimana karakteristik peningkatan strength semen
yang digunakan. Pengujian besarnya strength semen dapat dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan alat Curing Chamber dan Hydraulic Mortar. Masing– masing alat tersebut
mempunyai kegunaan yaitu Curing Chamber berfungsi sebagai alat temperatur dan tekanan
dapat disesuaikan dengan kondisi formasi.

I.3.2. Water Cement Ratio (WCR)

Water Cement Ratio (WCR) ialah perbandingan antara jumlah air dan semen yang
dicampurkan untuk mendapatkan komposisi bubur semen yang pas dan sesuai dengan
karakteristik sumur.

Tabel 4.2
Kandungan Air Normal dalam Suspensi Semen
Water
Class of Cement Water (%)
Gal (sack) L (sack)
by weight of cement

A and B 46 5,19 19,6

C 56 6,32 23,9

D,E,F and H 38 4,29 16,2

G 44 4,97 14,8

J (tentative) - - -

Water Cement Ratio tersebut dipengaruhi oleh surface area cement, yaitu dimana luas
permukaan dari semua butir yang ada dalam cm 2/gram semen yang dipergunakan. Dengan
perbandingan semakin kecil butiran semen maka semakin besar surface areanya sehingga
makin besar strength permukaannya dan untuk Thickening Time atau waktu pemompaan akan
semakin pendek.

I.3.3. Densitas

Densitas erat kaitannya dengan tekanan hidrostatis pada sumur yang akan di semen.
Densitas pada semen tidak jauh halnya sama dengan densitas lumpur. Apabila dalam kondisi
normal maka densitas semen dan densitas lumpur dapat dianggap sama atau bisa lebih besar
densitas semen sedikit dibandingkan densitas lumpur. Jika sumur tersebut memiliki tekanan
yang rendah atau zone lost ciculation, maka densitas bubur semen harus disesuaikan dengan
kondisi sumur tersebut. Karena apabila tidak sesuai maka dapat membuat bubur semen
hilang ke dalam formasi. Sebaliknya, pada sumur yang memiliki tekanan besar maka bubur
semen harus cukup besar untuk mengimbangi tekanan formasi agar tidak terjadi blow out
pada saat penyemenan.
Apabila menginginkan kontaminasi lumpur terhadap bubur semen sedikit maka
densitas bubur semen dibuat lebih kecil dibandingkan densitas lumpur. Untuk mendukung
hal tersebut, maka digunakan beberapa additives yaitu seperti Bentonite, Diatomaceous
Earth, Expended Perlite, dll. Namun apabila kita ingin menaikkan densitas bubur semen
makan additive yang digunakan ialah Barite, Heavy Weight, Illmenite dan Densified Cement
(semen yang dikurangi kadar airnya).
Dbc= ...............................................(4-1) dimana :
Dbc : Densitas suspensi semen, ppg
GBk : Berat bubuk semen, lbs
Gw : Berat air, lbs
Ga : Berat aditif, lbs
VBk : Volume bubuksemen, gallon
Vw : Volume air, gallon
Va : Volume aditif, gallon

I.3.4. Thickening Time

Thickening Time ialah waktu yang diperlukan oleh semen untuk mencapai harga
consistency 100 poise atau 100 BeardonConsistency. Nilai tersebut dianggap batas
maksimum semen masih dapat dipompakan karena semen dalam hidirasinya dengan air
maka consistency nya makin naik. Kedalaman penyemanan, volume bubur semen, jenis
semen erat hubungannya dengan waktu pemompaan. Waktu yang biasa dilakukan dalam
pemompaan bubur semen biasanya ialah 3–3,5 jam pada kedalaman 6000–18.000 ft. Pada
waktu tersebut sudah dapat dilakukan pembuatan bubur semen hingga penempatan semen di
belakang casing dan harga safety factor, namun pada kondisi yang berbeda yaitu tekanan dan
temperatur tinggi maka diperlukan aditif-aditif untuk memperlambat pengerasan. Additive
yang biasa digunakan untuk hal tersebut ialah Lignin Retaders, Calcium Lignosulfonate
(organic acid), carboxymethil hydroxyeth cellulose (CMHEC), saturated salt water, borax,
dll.
Thickening Time sangat penting pengaruhnya terhadap waktu pemompaan. Waktu
pemompaan harus lebih kecil dari thickening time, karena apabila hal terseut tidak dilakukan
maka suspensi semen akan mengeras lebih cepat sebelum seluruh suspensi semen mencapai
target yang diinginkan. Dan apabila hal tersebut terjadi maka sangat fatal dalam operasi
pemboran.
Sumur yang mempunyau kedalaman dan kolom penyemenan yang panjang diperlukan
waktu pemompaan yang lama, sehingga thickening time harus diperpanjang. Hal yang perlu
dilakukan yaitu dengan penambahan retarder ke dalam suspensi semen. Sedangkan untuk
sumur yang dangkal diperlukan thickening time yang singkat, karena selain target yang tidak
terlalu panjang, juga untuk mempersingkat waktu. Maka dapat ditambahkan accelerator ke
dalam suspensi semen. Di laboratorium, pengukuran thickening time menggunakan alat High
Pressure High Temperature Consistometer (HPHT)
I.3.5. Viskositas

Hubungan viskositas dengan penyemenan adalah untuk mendapatkan daya ikat yang
baik maka bubur semen harus memiliki consistency yang cukup. Consistency sendiri
berfungsi untuk membedakan viskositas bubur semen karena bubur semen merupakan fluida
non- Newtonian. Untuk mendapatkan consistency yang baik maka harus seimbang antara
jumlah air dengan komposisi semen. Jumlah air sendiri dapat dibagi 3, yaitu :
a. Minimum : jumlah air yang dicampurkan hingga memberi viskositas bubur semen sama
dengan 30µc setelah 20 menit pencampuran.
b. Optimum : jumlah air yang dicampurkan hingga consistency bubur semen mencapai
11µc
c. Maksimum : jumlah air yang dicampurkan pada semen dimana akan memberikan
volume set sama dengan volume bubur semen dengan tidak lebih dari 1,5% air yang
dipisahkan.

Viskositas optimum dari bubur semen ialah antara 5 – 11 µc, apabila lebih kecil dari
nilai optimum maka lebih dari 1% air dibebaskan serta adanya pemisahan partikel–partikel
yang berat. Apabila viskositas berada diatas nilai optimum maka sukar dipompakan sehingga
memerlukan tekanan pemompaan yang besar akibat adanya gesekan yang besar. Oleh karena
itu, pengontrolan terhadap air dan additive sangat penting.

I.3.6. Sifat Filtrasi

Water loss adalah hilangnya air dari bubur semen masuk ke dalam formasi yang
permeable selama operasi penyemenan berlangsung. Pengamatan terhadap filtasi pada saat
penyemenan dan squeeze cementing sangat penting. Karena apabila banyak air yang hilang
maka persentase terjadinya semen terjepit juga besar. Apalagi bila semen tersebut bertemu
dengan zone permeable atau formasi porous dimana mud cake telah hilang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu waktu, tekanan, temperatur dan
permeabilitas. Untuk menghitung filtrasi tersebut API telah menurunkan suatu persamaan
yang dilakukan pada tekanan 100 atau 1000 psi dengan waktu 30 menit. Persamaannya ialah
sebagai berikut :

F30 = .....................................................................................(4-2)
dimana :
F30: Banyaknya fluida tapisan selama 30 menit, dalam satuan ml.
Ft : Banyaknya fluida tapisan selama t menit, dalam satuan ml.
T : Waktu, dalam satuan menit.

Pada primary cementing, filtration loss yang diizinkan sekitar 150–250 cc yang diukur
selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan pada tekanan 1000
psi. Sedangkan untuk squeeze cemeting, filtration loss yang diizinkan sekitar 55–65 cc
selama 30 menit.

I.3.7. Waiting On Cement (WOC)

Waiting on cement adalah waktu pengerasan semen dan waktu yang dihitung saat
wiper plug diturunkan sampai kemudian plug di bor kembali untuk operasi selanjutnya.
Penentuan WOC berdasarkan faktor–faktor seperti tekanan dan temperatur sumur, WCR,
compressive sterngth dan aditif yang dicampurkan ke dalam suspensi semen. Waktu yang
biasa ditentukan ialah selama 24 jam.

I.3.8. Permeabilitas

Pengertian permeabilitas pada semen sama halnya dengan permeabilitas pada batuan
formasi yang berarti kemampuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas pada semen diukur
pada semen yang mengeras. Semakin besar permeabilitas pada semen maka semakin banyak
fluida yang dapat melalui semen dan sebaliknya. Permeabilitas pada proses penyemenan
diharapkan tidak ada permeabilitas atau sekecil mungkin nilai permeabilitas yang terdapat
pada semen. Karena apabila semen mempunyai nilai permeabilitas yang besar akan
menyebabkan terjadinya kontak fluida antara formasi dengan annulus dan strength semen
berkurang sehingga fungsi semen sebagai penyekat casing dengan fluida yang korosif tidak
akan terlaksana.
Dalam laboratorium, nilai permeabilitas semen dapat diukur dengan menggunakan
Cement Permeameter. Mekanisme kerjanya adalah dengan mengukur laju alir yang melalui
luas permukaan sampe yang diberi perbedaan tekanan sepanjang sampel tersebut dengan
rumus dibawah ini.
................................... (4-3)
dimana :
k : Permeabilitas,
D q : Laju alir, ml/s
µ : Viskositas air, cp

L : Panjang sampel, cm
A : Luas permukaan sampel, cm2
ΔP : Perbedaan tekanan, atm

I.3.9. Pengendapan Partikel dan Air Bebas

Penambahan dispersant mempunyai efek samping dimana akan terjadinya sedimentasi


dan terjadi degradasi densitas suspensi semen dari bagian atas dan bawahnya serta adanya air
bebas di bagian atas suspensi semen. Sedimentasi atau pengendapan partikel akan
menyebabkan terbentuknya semen berongga yaitu semen yang memiliki permeabilitas yang
cukup besar. Apabila ada free water di permukaan semen, maka akan memperburuk hasil
penyemenan. Terutama penyemenan sumur directional yang cukup panjang.

I.4. Aditif yang Digunakan Dalam Suspensi Semen

Dalam pembuatan semen, ada faktor - faktor lain yang turut mempengaruhi bubur
semen yaitu waktu pengerasan dan harga semen dari segi keekonomisan. Selain itu,
pembuatan bubur semen harus memperhatikan juga sifat dari bubur semen tersebut. Kondisi
sumur juga dapat mempengaruhi dalam pemilihan jenis semen namun sangat jarang memilih
bubuk semen hanya tergantung dari kondisi sumur saja. Oleh karena itu, agar dicapai hasil
penyemenan yang diinginkan perlu ditambahkan suatu zat-zat kimia atau aditif ke dalam
campuran slurry. Terdapat 8 kategori dalam penentuan jenis kimia, yaitu :
a. Accelerator
b. Retader
c. Extender
d. Weighting Agent
e. Dispersant
f. Fluid Loss Control Agent
g. Lost Circulation Agent

I.4.1. Accelerator

Accelerator adalah aditif yang dapat mempercepat proses pengerasan suspensi semen
dan dapat juga mempercepat naiknya strength semen serta mengimbangi aditif yang lain
agar tidak tertunda proses pengerasannya. Aditif yang berlaku sebagai accelerator adalah
kalsium klorida, sodium klorida, gipsum, sodium silikat dan air laut. Kalsium klorida dapat
mempercepat thickening time dan menaikkan compressive strength dengan penambahan
antara 2-4% ke dalam suspensi semen. NaCl juga berpengaruh terhadap thickening dan
compressive strength semen dengar kadar sampai 10%.

I.4.2. Retarder

Retarder adalah aditif yang dapat memperlambat proses pengerasan suspensi semen,
sehingga suspensi semen mempunyai waktu untuk mencapai kedalaman yang diinginkan.
Retarder paling sering digunakan dalam penyemenan casing pada sumur yang bertemperatur
tinggu atau mempunyai kolom penyemenan yang panjang.

I.4.3. Extender

Extender adalah aditif yang berfungsi untuk menaikkan volume suspensi semen, yang
berhubungan dengan mengurangi densitas suspensi semen tersebut, biasanya diikuti dengan
penambahan air. Extender dapat terdiri dari bentonite, attapulgite, sodium silikat, pozzolan,
perlite dan gilsonite. Bentonite bersifat menyerap air sehingga volume semen bisa menjadi
10 kalinya. Selain itu pengaruh lainnya ialah yield semen naik, kualitas perforasi lebih baik,
compressive strength menurun, permeablitas naik, viskositas naik dan biaya lebih murah.
Ketetapan dari API ialah setiap penambahan 1% bentonite harus ditambahkan pula 5,3% air
BWOC
.

I.4.4. Weighting Agents

Weighting Agents adalah aditif yang berfungsi menaikkan densitas suspensi semen.
Umumnya digunakan pada sumur yang mempunyai tekanan formasi yang tinggi. Weighting
Agents terdiri dari hematite, ilmenite, barite dan pasir. Barite ialah aditif yang paling umum
digunakan sebagai Weighting Agents, baik itu suspensi semen atau lumpur pemboran.
Dengan Spesific Gravity sebesar 4,23 maka dapat menaikkan densitas sampai 19 ppg. Dan
untuk pasir sebagai Weighting Agents adalah Pasir Ottawa. Jenis pasir ini digunakan untuk
menyemen lubang sebagai tempat pemasangan whipstock dan plug job.

I.4.5. Dispersant

Dispersant ialah aditif yang mengurangi viskositas suspensi semen. Pengurangan


viskositas terjadi karena dispersant mempunyai kelakuan sebagai thinner. Hal ini
menyebabkan suspensi semen menjadi encer, sehingga dapat mengalir dengan aliran
turbulen walaupun dipompa dengan rate rendah.

I.4.6. Fluid Loss Control Agents

Fluid Loss Control Agents adalah aditif yang berfungsi mencegah hilangnya fasa
liquid semen ke dalam formasi. Pada squeeze cementing, fluid loss yang diizinkan sekitar 55-
65 cc selama 30 menit dengan menggunakan saringan ukuran 325 mesh dan pada tekanan
1000 psi. Yang termasuk ke dalam Fluid Loss Control Agents ialah polymer, CMHEC, dan
latex.

I.4.7. Lost Circulation Control Agents

Lost Circulation Control Agents merupakan aditif yang mengontrol hilangnya suspensi
semen ke dalam formasi yang lemah atau bergoa. Aditif yang termasuk di antaranya ialah
gilsonite, cellophane flakes, gipsum, bentonite dan nut shell. Aditif ini digunakan saat akan
menyemen pada formasi yang memiliki permeabilitas tinggi namun abnormal, contohnya
terdapat rekahan atau goa–goa disamping sisi casing yang akan disemen.

I.5. Peralatan dan Teknik Penyemenan

Peralatan penyemenan merupakan suatu rangkaian peralatan yang harus tersedia untuk
dapat melakukan operasi penyemenan pada operasi pemboran, peralatan penyemenan dapat
dibedakan menjadi peralatan permukaan dan peralatan bawah permukaan.

I.5.1. Peralatan Permukaan


Peralatan penyemenan yang digunakan di atas permukaan tanah biasanya disebut
Cementing Unit, yang merupakan suatu kesatuan alat yang digunakan untuk membuat bubur
semen dapat dipompakan ke dalam lubang bor. Fungsi dari Cementing Unit ialah alat untuk
membuat bubur semen, memompakan bubur semen dalam lubang bor, tempat pengendalian
operasi penyemenan dan untuk pressure test. Peralatan permukaan terdiri dari :

I.5.1.1. Mixer

Pada prinsipnya adalah mempertemukan cement slurry dan air dengan kecepatan yang
sangat tinggi (sistem jet) melalui suatu venturi sehingga timbul aliran turbulensi yang
menjadikan proses pencampuran menjadi sempurna. Pencampuran bubuk semen dan air
beserta aditif merupakan kegunaan alat ini. Pencampuran komposisi semen yang telah
direncanakan akan disesuaikan dengan waktu pengadukan. Besar kemungkinan proses
pengadukan akan terganggu apabila mixer tidak diperhatikan.

Gambar 3.17 Cementing Mixer15)

I.5.1.2. Pompa Semen


Pompa semen dipakai untuk pemompaan bubur semen ke dalam sumur. Pompa yang
biasa dipakai adalah pompa duplex double acting piston atau single acting triplex pluner
pump.

Gambar 3.18 Cementing Pump20)

Digunakan untuk memompakan bubur semen dan fluida pendorong ke dalam sumur.
Sehingga bubur semen dapat mengisi lubang perforasi atau menutup sumur. Penyebab
kegagalan proses penyemenan terkadang berasal dari kinerja pompa semen yang buruk.
Maka dari itu untuk kelancaran proses penyemenan dilakukan pengecekan terhadap pompa
semen agar proses pemompaan semen tidak terhambat. Berikut contoh gambar pompa
semen.

I.5.1.3. Casing Cementing Head

Alat ini berfungsi sebagai media penghubung antara pipa penyemenan dari pompa
semen ke casing dan sebagai tempat untuk menempatkan plug. Dengan adanya alat ini maka
lumpur dapat disirkulasikan oleh desakan bottom plug sampai ke dasar casing lalu diisikan
bubur semen di atasnya sebelum pendesakan oleh top plug dimulai.
Gambar 3.19 Cementing Head19)

Perbedaan top plug dan bottom plug ialah dari segi bentuk top plug tidak mempunyai
diafragma sedangkan bottom plug mempunyai diafragma. Berikut contoh gambar cementing
head yang biasa digunakan.

I.5.2. Peralatan Bawah Permukaan

Peralatan–peralatan ini diturunkan bersama casing dan tinggal tersemen bersama


casing. Artinya peralatan–perlatan ini tidak dapat diambil kembali atau irretrievable.
Peralatan penyemenan di bawah permukaan terdiri dari beberapa jenis, yaitu :

I.5.2.1. Floating Equipment

Guide shoe adalah peralatan yang dipasang pada ujung casing agar casing tidak
tersangkut selama diturunkan. Berikut contoh gambar guide shoe dapat dilihat di gambar
dibawah ini.

Gambar 3.20 Guide Shoe14)

Float Shoe berfungsi untuk mencegah aliran balik pada waktu casing diturunkan, mencegah
aliran balik semen. Berikut contoh gambar float shoe.
Gambar 3.21 Float Shoe11)

I.5.2.2. Wiper Plug

Wiper Plug adalah plug yang dipakai untuk membersihkan dinding dalam casing dari
lumpur pemboran, dan dibedakan menjadi top plug dan bottom plug. Bottom plug berfungsi
untuk mendorong lumpur dalam casing sedangkan top plug dipakai untuk mendesak kolom
semen dalam casing.

Gambar 3.22. Top Plug dan Bottom Plug17)

I.5.2.3. Scratchers

Adalah alat pembersih dinding lubang sumur dari mud cake sehingga semen dapat
melekat langsung pada dinding formasi dan dapat menghindarkan channeling (lubang saluran
diantara semen dan formasi).
Gambar 3.23. Scratcher25)

I.5.2.4. Centralizer

Centralizer adalah alat untuk menempatkan casing tepat di tengah– tengah lubang
sumur agar diperoleh jarak yang sama antara casing dengan dinding lubang sumur.
Pemasangan alat ini pada casing biasanya dengan cara di las atau welding.

Gambar 3.24. Centralizer12)

I.5.2.5. Landing Collar

Berguna untuk menyekat dan menangkap liner wiper plug, mencegahnya naik
kembali ke atas lubang. Menyekat tekanan dari bawah dan mencegahnya berputar sewaktu
pemboran keluar. Juga sebagailandasar liner wiper plug untuk bersandar. Berikut adalah
contoh gambar Landing Collar.

Gambar 3.25. Landing Collar23)


I.5.2.6. Cementing Basket

Digunakan bersama-sama dengan casing atau liner pada titik dimana terdapat formasi
yang porous atau lemah. Guna alat ini adalah agar cement slurry tidak bercampur dengan
batuan formasi yang gugur.

Gambar 3.26. Cementing Basket24)

I.5.2.7. Liner Hanger

Digunakan untuk menggantung liner dan dipasang pada bagian atas liner.

Gambar 3.27. Liner Hanger26)

I.5.2.8. Liner Packer

Dipasang pada bagian atas liner sebagai penyekat antara liner dan selubung selama atau
setelah penempatan semen.
Gambar 3.28. Liner Packer27)

Anda mungkin juga menyukai