Anda di halaman 1dari 24

CEMENTING

Setelah rangkaian casing diturunkan ke dalam lubang, ruang antara rangkaian casing de-
ngan dinding lubang diisi dengan bubur semen. Bubur semen ini dibiarkan disitu sampai keras
membatu, sehingga mengikatkan rangkaian ke dinding lubang, dan sumur menjadi kuat dan
kokoh. Gambaran casing yang sudah disemen dapat dilihat pada gambar 8.1.

Gb. 1.1. Gambaran Rangkaian Casing yang Telah Disemen


Penyemenan dapat dibagi dua, yaitu :
 Primary Cementing
 Secondary Cementing
Penyemenan yang dilakukan setelah pemasangan casing di dalam disebut dengan primary
casing. Sedangkan penyemenan selain dari primary cementing dikelompokkan ke dalam
secondary cementing

1. Primary Cementing
Primary cementing adalah penyemenan yang langsung dilakukan setelah rangkaian casing
diturunkan ke dalam lubang.
1. Fungsi Penyemenan Primary

a. Semen melekatkan casing ke formasi


Bubur semen yang ditempat diannulus antara casing dan dinding lubang, setelah
dibiarkan akan mengeras. Dengan demikian casing menyatu dengan formasi dan sumur menjadi
kuat dan kokoh. Gambarannya seperti gambar 8.1
Gb. 8.1 casing menyatu dengan formasi
b. Melindungi casing dari cairan korosif
Bila terdapat formasi yang mengandung cairan korosif, cairan ini kontak dengan casing,
maka casing akan berkarat dan lama kelamaan akan bocor. Dengan ditempatkan semen diantara
casing dan dinding lubang, cairan korosif akan ditahan oleh semen dan tidak kontak langsung dengan
casing. Sehingga casing terhindar dari berkarat. Gambarannya dapat dilihat pada gambar 8.2

Gb. 8.2 Semen menahan cairan korosif

c. Mencegah hubungan formasi formasi di belakang


casing
Bila di belakang casing terdapat dua formasi yang berbeda tekanannya, fluida dari
formasi yang bertekanan tinggi akan masuk ke formasi yang bertekanan rendah. Untuk mencegah
perpindahan fluida dari formasi-formasi yang berbeda tekanan ini, annulus casing dengan formasi
diisi dengan semen, sehingga semen akan mengisolasi annulus, sehingga tidak ada perpindahan
fluida diantara formasi yang mempunyai perbedaan tekanan.. Gambarannya dalapat dilihat pada
gambar 8.3

d. Menutupi formasi formasi yang membahayakan


Formasi yang membahayakan misalkan formasi bertekanan tinggi. Selama tekanan
hydrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi , formasi ini tidak berbahaya.Akan tetapi
apabila disaat melanjutkan pemboran terjadi mud loss, permukaan lumpur turun, tekanan
hisdrostatik lumpur turun.
Gb. 8.3 Semen mencegah hubungan formasi-formasi dibelakang casing

Bila tekanan hidrostatik lumpur menjadi lebih kecil dari tekanan formasi, maka sumur
akan menjadi kick, ini yang berbahaya. Terjadi dua masalah, lumpur masuk ke dalam formasi
loss, dan fluida formasi yang bertekanan tinggi masuk ke dalam sumur, dan terjadi kick. Kondisi
seperti ini sulit mengatasinya.Sebaiknya bila menemukan formasi bertekanan tinggi, rangkaian
casing dipasang setelah menembus formasi tersebut dan disemen, kemudian baru melanjutkan
pemboran. Apabila terjadi mud loss formasi yang bertekanan tinggi sudah tertutup, fluida
formasi tidak dapat keluar lagi karena sudah ditahan semen dan casing. Masalah yang dihadapi
hanya loss Gambarannya dapat dilihat pada gambar 8.4

Formasi-formasi yang membahayakan yang lain adalah :


 formasi bertekanan rendah ( loss)
 formasi yang mengandung gas H2S
 formasi yang mengandung cairan korosif
 formasi shale yang mudah runtuh dan menjepit pipa.

Gb. 8.4 Semen Menutup Formasi Bertekanan Tinggi.

2. Teknik Penyemenan Primer


Teknik penyemenan primer dilakukan segera setelah rangkaian casing dipasang di dalam
lubang. Penyemenan ini adalah penyemenan yang utama
Primary cementing adalah penyemenan yang langsung dilakukan setelah rangkaian
casing diturunkan ke dalam lubang.
Peralatan penyemenan yang dipasang pada rangkaian casing adalah sebagai berikut :
 casing shoe
 casing collar
 shoetrack
 centralizer
 scratcher
 cementing head

a. Casing Shoe
Casing shoe adalah peralatan yang dipasang pada ujung bawah rangkaian casing.
Bentuknya adalah bulat lonjong. Kegunaannya adalah untuk menuntun rangkaian casing agar
tidak tersangkut disaat menurunkan ke dasar lubang.
Casing shoe yang hanya berfungsi untuk menuntun rangkaian casing agar tidak
tersangkut disaat menurunkan ke dasar lubang, disebut dengan Guide Shoe.
Gambaran dari beberapa guide shoe dapat dilihat pada gambar 8.6.
Gb.8.6 Guide Shoe
b. Shoetrack
Shoe track adalah satu sampai dua batang casing yang dipasang antara casing shoe
dengan casing collar. Fungsinya adalah untuik menampung bubur semen yang terkontaminasi.
Kalau bubur semen yang terkontaminasi sampai masik ke annulus casing dengan lubang, kualitas
semen akan tidak baik.
c. Casing Collar
Casing collar adalah sambuangan pendek yang dipasang di atas shoetrack. Alat ini
berfungsi manahan cementing plug setelah penyemenan.
Bila casing shoe adalah float shoe, maka casing collar umumnya tidak pakai floating
system. Casing collar yang pakai floating system disebut dengan float collar . Gambaran dari
beberapa float collar dapat dilihat pada gambar 8.8.
d. Cantralizer
Centralizer adalah peralatan yang dipasang untuk membuat rangkaian casing berada
ditengah-tengah lubang , agar didapatkan ketebalan semen dibelakang casing sama.
Centralizer dipasang di bagian luar casing. Gambaran dari centralizer dapat dilihat pada
gambar 8.9.
e. Scratcher
Scratcher adalah peralatan yang berfungsi untuk mengikis mudcake pada dinding
lubang. Mud cake harus dikikis agar ikatan bubur semen dengan dinding lubang dapat bagus.
Scratcher dipasang di bagian luar rangkaian casing.
Scratcher yang mengikis dengan cara menaik turunkan rangkaian casing disebut dengan
reciprocating scratcher. Gambaran dari centralizer dapat dilihat pada gambar 8.10.
Scratcher yang mengikis dengan cara memutar rangkaian casing disebut dengan
rotating scratcher. Gambaran dari centralizer dapat dilihat pada gambar 8.11.

f. Cementing Head
Cementing head dipasang pada ujung atas dari rangkaian casing. Jenis cementing head
untuk Perkin’s Cementing System umumnya adalah plug container, yang mempunyai tiga
saluran, yaitu :
- saluran lumpur
- saluran bubur cement
- saluran lumpur pendorong
Di dalam cementing head ditempatkan cementing plug, yaitu :
- bottom plug
- top plug
Gambaran plug container dapat dilihat pada gambar 8.12
2. Secondary Cementing

Secondary cementing sering disebut juga dengan remedial cementing yaitu proses
penyemenan yang dilakukan apabila pengeboran gagal mendapatkan minyak dan menutup
kembali zona produksi yang diperforasi. Secondary cementing dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu: Squeeze cementing, Re-cementing dan Plug-back cementing.
a. Squeeze cementing
Squeeze cementing dilakukan untuk :
1.Menutup formasi yang sudah tidak lagi produktif
2.Menutup zona lost circulation
3.Memperbaiki kebocoran yang terjadi di casing
b. Re-cementing
Re-Cementing dilakukan untuk menyempurnakan primary cementing yang gagal dan untuk
memperluas perlindungan casing di atas top semen.

c. Plug-back cementing
Plug-back cementing dilakukan untuk :
1. Menutup atau meninggalkan sumur
2. Menutup zona air di bawah zona minyak agar water-oil ratio berkurang pada open hole
completion.

2
12.6.1. Accelerator.
Accelerator adalah aditif yang dapat mempercepat proses pengerasan suspensi
semen. Selain itu dapat juga mempercepat naiknya strength semen dan
mengimbangi aditif lain (seperti dispersant dan fluida loss control agent), agar tidak
tertunda proses pengerasan suspensi semennya.
Sumur-sumur yang dangkal seringkali menggunakan accelerator, karena selain
temperatur dan tekanan yang umumnya rendah, juga karena jarak untuk mencapai
target tidak terlalu panjang.
Contoh-contoh aditif yang berlaku sebagai accelerator adalah kalsium klorida ,
sodium klorida, gipsum, sodium silikat dan air laut.
Kalsium Klorida
Umumnya penambahan kalsium klorida antara 2 - 4% saja kedalam suspensi
semen. Pengaruhnya dapat mempercepat thickening time dan menaikkan
compressive strength .
Sodium Klorida
Sodium klorida atau Narium klorida dengan kadar sampai 10% BWOMW (by weight
on mix water) berlaku sebagai accelarator. Pengaruhnya terhadap thickening time
dan compressive strength semen dapat dilihat pada gambar 12.19.
Gambar 12.19. Efek Sodium Klorida pada Thickening Time dan Compressive
Strength

12.6.2. Retarder
Retarder adalah aditif yang dapat memperlambat proses pengerasan suspensi
semen, sehingga suspensi semen mempunyai waktu yang cukup untuk mencapai
kedalaman target yang diinginkan.
Retarder sering digunakan dalam menyemen casing pada sumur-sumur yang
dalam, sumur-sumur yang bertemperatur tinggi atau untuk kolom penyemenan yang
panjang.
Aditif yang berlaku sebagai retarder antara lain lignosulfonat, senyawa-senyawa
asam organik dan CMHEC.
Lignosulfonat
Lignosufonat merupakan polymer yang terbuat dari pulp. Umumnya dengan kadar
0,1 - 1,5% BWOC (by weight on cement) efektif dicampur ke dalam suspensi semen
untuk berfungsi sebagai retarder. Pada gambar 12.20 dapat dilihat fungsi
lignosulfonat hingga temperatur 62oC (144oF), namun tetap efektif sampai
temperatur 121oC (250oF). Dan bila ditambah dengan sodium borate dapat bertahan
sebagai retarder hingga temperatur 315oC (600oF).
Gambar 12.20. Efek Retardasi Lignosulfonat24)
CMHEC
CMHEC atau Carboxymethyl Hydroxyetyl Cellulose merupakan polisakarid yang
terbentuk dari kayu, dan tetap stabilbila terdapat alkalin pada suspensi semen.
CMHEC tetap efektif sebagai retarder hingga temperatur 121oC (250oF).

12.6.3. Extender
Extender adalah aditif yang berfungsi untuk menaikkan volume suspensi semen,
yang berhubungan dengan mengurangi densitas suspensi semen tersebut. Pada
umumnya penambahan extender ke dalam suspensi semen diikuti dengan
penambahan air.
Adapun yang termasuk extender antara lain bentonite, attapulgite, sodium silikat,
pozzolan, perlite dan gilsonite.
Bentonite
Bentonite bersifat banyak mengisap air, sehingga volume suspensi semen bisa
menjadi 10 kalinya. API merekomendasikan bahwa setiap penambahan 1%
bentonite ditambahkan pula 5,3 % air (BWOC), yang berlaku untuk seluruh kelas
semen. Pengaruh lain dari penambahan bentonite adalah yield semen naik, kualitas
perforasi lebih baik, compressive strength menurun, permeabilitas naik, viskositas
naik dan biaya lebih murah. Untuk temperatur di atas 110oC (230oF), penambahan
bentonite akan menyebabkan turunnya compressive strength secara drastis.
Sodium Silikat
Sodium silikat dengan kadar 0,2 - 3% BWOC dapat menurunkan densitas suspensi
semen dari 14,5 ppg menjadi 11 ppg. Dan umumnya dengan bertambahnya kadar
sodium silikat tersebut, maka compressive strength semen menurun.
Pozzolan
Pozzolan terbentuk dari material-material seperti aluminium dan silika yang
bereaksi dengan kalsium hidroksida. Ada dua jenis pozzolan, yaitu pozzolan alam
seperti diatomaceous earth dan pozzolan buatan seperti fly ashes. Diatomaceous
earth sebagai extender tidak memperbesar viscositas suspensi semen dan
harganya cukup mahal. Sedangkan fly ashes dapat mempercepat naiknya
compressive strength serta harganya sangat murah.
Expanded Perlite
Perlite merupakan extender yang berasal dari batuan vulkanik. Penambahan
Perlite biasanya diikuti dengan penambahan bentonite sekitar 2 - 4% untuk
mencegah terjadinya pemisahan dengan slurry.
Gilsonite
Gilsonite terjadi pada mineral aspal, yang mula-mula ditemukan di Colorado dan
Utah. Dengan spesific gravity 1,07 dan cukup dengan jumlah air yang sedikit (sekitar
2 gal/ft3) akan didapat densitas suspensi semen yang rendah. Kadar gilsonite
sampai 50 lb yang dicampur dengan 1 sak semen Portland dapat menghasilkan
densitas suspensi semen sekitar 12 ppg.

Tabel 12.5. Berbagai Extender Sebagai Penurunan Tekanan

12.6.4. Weighting Agents


Weighting agents adalah aditif-aditif yang berfungsi menaikkan densitas
suspensi semen. Umumnya weighting agents digunakan pada sumur-sumur yang
mempunyai tekanan formasi yang tinggi.
Aditif-aditif yang termasuk ke dalam weighting agents adalah hematite, ilmenite,
barite dan pasir.
Hematite.
Hematite adalah material berbentuk kristal yang berwarna merah. Dengan
mempunyai spesific gravity sebesar 4,95, maka hematite termasuk paling efisien
sebagai weighting agent. Densitas suspensi semen bisa mencapai 19 - 22 ppg bila
ditambah hematite.
Ilmenite
Ilmenite merupakan aditif yang terbaik sebagai weighting agent. Material ini
merupakan inert solid dan tidak berpengaruh terhadap thickening time. Dengan
mempunyai spesific gravity sekitar 4,45, maka supensi semen bila ditambahkan
ilmenite bisa mencapai densitas lebih dari 20 ppg.

Barite
Barite merupakan aditif yang paling umum digunakan sebagai weighting agent, baik
itu untuk suspensi semen maupun dalam lumpur pemboran. Penambahan barite
harus disertai pula dengan penambahan air untuk membasahi permukaan partikel
barite yang besar. Dengan spesific gravity 4,23, maka barite dapat menaikkan
densitas suspensi semen sampai sekitar 19 ppg.
Pasir
Pasir yang digunakan sebagai weighting agent adalah pasir Ottawa. Dengan
spesific gravity 2,63, maka densitas suspensi semen yang mengandung pasir
Ottawa ini dapat mencapai 18 ppg. Penggunaan pasir Ottawa ini biasanya
digunakan untuk menyemen lubang sebagai tempat pemasangan whipstock dan
untuk plug job.

12.6.5. Dispersant
Dispersant adalah aditif yang dapat mengurangi viskositas suspensi semen.
Pengurangan vikositas atau friksi terjadi karena dispersant mempunyai kelakuan
sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer,
sehingga dapat mengalir dengan aliran turbulen walaupun dipompa dengan rate
yang rendah.
Aditif-aditif yang tergolong dispersant adalah senyawa-senyawa sulfonat.
Polymelamine Sulfonate. Polymelamine sulfonate (PMS) dengan kandungan
0,4% BWOC sering dicampur dengan suspensi semen sebagai dispersant. Sampai
temperatur 85oC (185oF), PMS tetap efektif karena unsur-unsur kimianya masih
stabil.
Gambar 12.21. Efek Dispersant Pada Rheologi Suspensi Semen

Polynaphtalena Sulfonate. Polynaphtalena sulfonate (PNS) merupakan


dispersant yang umum digunakan. Dan bila pada suspensi semen berisi NaCl, maka
ditambahkan PNS sebanyak 4% BWOC.
12.6.6. Fluid-Loss Control Agents
Fluid-loss control agent adalah aditif-aditif yang berfungsi mencegah hilangnya
fasa liquid semen ke dalam formasi, sehingga terjaga kandungan cairan pada
suspensi semen.
Pada primary cementing, fluid-loss yang diijinkan sekitar 150 - 250 cc yang
diukur selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan
pada tekanan 1.000 psi. Sedang pada squeeze cementing, fluid- loss yang diijinkan
sekitar 55-65 cc selama 30 menit dengan menggunakan saringan ukuran 325 mesh
dan pada tekanan 1.000 psi.
Aditif-aditif yang termasuk ke dalam fluid-loss control agents diantaranya
polymer, CMHEC dan latex.

12.6.7. Lost Circulation Control Agents


Lost circulation control agents merupakan aditif-aditif yang mengontrol hilangnya
suspensi semen ke dalam formasi yang lemah atau bergoa. Biasanya material lost
circulation yang dipakai pada lumpur pemboran digunakan pula dalam suspensi
semen.
Aditif-aditif yang termasuk dalam lost circulation control agents diantaranya
gilsonite, cellophane flakes, gipsum, bentonite dan nut shell.

12.6.8. Special Additives


Ada bermacam-macam aditif lainnya yang dikelompokkan sebagai special
additives, diantaranya silika, mud kill, radioactive tracers, fibers, antifoam agents
dan lainnya.
Silika
Bubuk silika atau tepung silika umumnya digunakan sebagai aditif dalam operasi
penyemenan supaya strength semen tidak hilang pada temperatur tinggi.
Dari test difraksi sinar-X menghasilkan bahwa penambahan silika sebanyak 20 -
40% menunjukkan naiknya strength semen bila temperatur diatas 110oC (230oF),
dan pada temperatur yang sama bila suspensi semen tidak mengandung silika bila
semen telah mengeras akan kehilangan strengthnya sampai setengah kalinya
setelah 14 jam.
Test difraksi sinar-X ini menerangkan bahwa strength retrogression terjadi karena
munculnya produk kalsium hidroksida dan alpha dicalcium silicate hydrate dalam
semen. Produk ini munculnya dapat sekaligus berdua atau sendiri-sendiri,
tergantung pada temperatur saat penyemenan terjadi. Ketika silika telah
ditambahkan, sebagian silika tersebut bereaksi dengan kalsium hidroksida
membentuk dicalcium silicate hidrate, dan sebagian silika lagi bereaksi dengan
alpha dicalcium silicate hydrate membentuk mineral yang dikenal sebagai
tobermorite ini yang memberikan strength semen tetap kuat.
Silika dapat ditambahkan kedalam semua kelas semen yang ada. Penambahan
silika yang baik sekitar 30 - 40%. Tepung silika yang berukuran kurang dari 200
mesh dapat ditambahkan air seba-nyak 40% dari berat silika. Gambar 12.22 adalah
gambaran mengenai pengaruh penambahan silika

Gambar 12.22. Efek Silika Terhadap Perubahan Compressive Strength Pada


Berbagai Temperatur

Mud Kill
Mud Kill berfungsi sebagai aditif yang menetralisir bubur semen terhadap zat-zat
kimia dalam lumpur pemboran. Contoh mud kil adalah 'paraformaldehyde'. Mud kill
juga memberi keuntungan, seperti memperkuat ikatan semen dan memperbesar
strength semen.
Radioactive Tracers
Radioactive tracers ditambahkan ke dalam suspensi semen supaya memudahkan
operasi logging dalam menentukan posisi semen dan mengetahui kualitas ikatan
semen.
Antifoam Agents.
Adanya foam dalam suspensi semen sering menyebabkan hilangnya tekanan
pemompaan, maka untuk mencegahnya ditambahkan antifoam agent.
Polypropylene Glycol adalah contoh antifoam agent yang sering digunakan, karena
selain efektif juga harganya murah.

3.

4.
Pressure Testing
Umumnya test ini dilakukan setelah penyemenan surface atau intermediate casing
telah dilakukan, dimana casing shoe telah dibor. Tekanan di dalam casing
ditingkatkan menjadi lebih tinggi dari tekanan yang akan diderita pada titik ini
selama operasi pemboran berikutnya. Casing shoe bila tidak tahan menahan
tekanan menunjukkan operasi penyemenan yang buruk dan remedial cementing
harus dilaksanakan.
5.
Jenis penyemenan
Primary cementing

Pada primary cementing, penyemenan casing pada dinding lubang sumur dipengaruhi oleh jenis
casing yang akan disemen.

Penyemenan conductor casing bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi fluida


pemboran (lumpur pemboran) terhadap lapisan tanah permukaan.

Penyemenan surface casing bertujuan untuk melindungi air tanah agar tidak tercemar dari fluida
pemboran, memperkuat kedudukan surface casing sebagai tempat dipasangnya alat BOP (Blow Out
Preventer), untuk menahan beban casing yang terdapat di bawahnya dan untuk mencegah terjadinya
aliran fluida pemboran atau fluida formasi yang akan melalui surface casing.

Penyemenan intermediate casing bertujuan untuk menutup tekanan formasi abnormal atau
untuk mengisolasi daerah lost circulation.
Penyemenan production casing bertujuan untuk mencegah terjadinya aliran antar formasi
ataupun aliran fluida formasi yang tidak diinginkan, yang akan memasuki sumur. Selain itu untuk
mengisolasi zona produktif yang akan diproduksikan fluida formasi (perforated completion), dan juga
untuk mencegah terjadinya korosi pada casing yang disebabkan oleh material-material korosif.

7.1.2. Secondary Cementing atau Remedial Cementing

Setelah operasi khusus semen dilakukan, seperti Cement Bond Logging (CBL) dan Variable Density
Logging (VDL), kemudian didapati kurang sempurnanya atau ada kerusakan pada primary cementing,
maka dilakukanlah secondary cementing. Secondary cementing dilakukan juga apabila pengeboran gagal
mendapatkan minyak dan menutup kembali zona produksi yang diperforasi.

Secondary cementing dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu squeeze cementing, re-cementing
dan plug-back cementing.

a. Squeeze Cementing
Squeeze Cementing bertujuan untuk :

1. Mengurangi water-oil ratio, water gas ratio atau gas-oil ratio.


2. Menutup formasi yang sudah tidak lagi produktif.
3. Menutup zona lost circulation.
4. Memperbaiki kebocoran yang terjadi di casing.
5. Memperbaiki primary cementing yang kurang memuaskan.
6. Operasi squeeze dilakukan selama operasi pemboran berlangsung, komplesi maupun
pada saat workover.
b. Re-cementing
Dilakukan untuk menyempurnakan primary cementing yang gagal dan untuk memperluas
perlindungan casing di atas top semen.

a. Plug-back cementing
Plug-back cementing dilakukan untuk:

1. Menutup atau meninggalkan sumur (abandonment well)


2. Melakukan directional drilling sebagai landasan whipstock, yang dikarenakan adanya
perbedaan compressive stregth antara semen dan formasi maka akan mengakibatkan bit
berubah arahnya.
3. Menutup zona air di bawah zona minyak agar water-oil ratio berkurang pada open hole
completion.
Peralatan penyemenan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Peralatan di atas permukaan (surface equipment).


2. Peralatan di bawah permukaan (subsurface equipment).

7.1.3. Reverse Cementing

Dalam operasi penyemenan sirkulasi terbalik, penyemenan cairan ditempatkan turun


melalui anulus dan ke casing shoe di bagian bawah casing. Kelebihan dari reverse cementing
adalah tenaga yang diperlukan lebih sedikit dan operasi penyemenan lebih cepat daripada operasi
penyemenan tradisional.
Operasi penyemenan sirkulasi terbalik bergantung pada gaya gravitasi dan perbedaan
densitas yang membantu dalam proses aliran fluida. Reverse cementing tepat digunakan pada
kondisi :
a. Penyemenan yang melewati formasi lemah yang hanya dapat ditolerir dengan densitas
fluida yang ekuivalen dengan formasi tersebut.
b. Ketika porositas bagian atas lubang sumur membutuhkan pengembangan kekuatan tekan
yang cepat.
c. Ketika probabilitas kehilangan rembesan dari sistem semen bisa membuat penyumbatan di
zona produksi.
d. Menempatkan volume bubur yang besar dengan waktu perpindahan yang lama dan
perbedaan suhu yang besar.
e. Pembatasan suhu seperti zona suhu tinggi dibagian dalam atau zona suhu rendah dibagian
dangkal.
6. Tahapan cementing job
7. PErbedaan desain semen dan lumpur
8. Prinsip VDL

Gambar 12.72 Contoh Amplitudo pada Berbagai Kondisi Ikatan Semen

Variable Density Log dibuat dengan memberikan bayangan gelap untuk sinyal positif
yang kuat dan bayangan putih terang untuk sinyal negatif. Intensitas gelap atau terang
pada log tergantung pada harga amplitudonya. Interpretasi gelombang ini selanjutnya
direkam secara kontinyu terhadap kedalaman. Sebagaimana terlukis pada gambar
12.73 VDL menampikan rangkaian seluruh gelombang sinyal acoustic dimana
amplitudonya diidentifikasikan pada perbandingan antara pita gelap dan terang.
Semakin tinggi perbedaannya semakin tinggi pula amplitudonya. VDL dapat ditampilkan
secara kontinyu terhadap kedalaman sumur dan menyoroti perubahan rangkaian
gelombang terhadap kedalaman. Karena harga transit time bervariasi tergantung
perubahan litologi, penampilan VDL akan berombak selama menerima respon sinyal
formasi. Transit time, CBL juga menampilkan waktu yang dicapai sinyal gelombang
yang pertama kali muncul pada receiver.

Penentuan transit time digunakan untuk mengecek tool centering dan untuk menguatkan
interpretasi amplitudo log. Apabila CBL dipasang di tengah-tengah pipa, transit time sama
dengan waktu yang dicapi sinyal pipa pada saat pertama kali muncul. Pada free pipa (memiliki
amplitudo tinggi), transit time berharga konstan terhadap kedalaman, kecuali sedikit variasi
karena pengaruh ukuran pipe joint. Pada pipa yang disemen, transit time dipengaruhi oleh fast
formation, cycle skipping dan stretching
9. CARA menentukan nilai atenuasi dan bond index pada CBL

Bond Log dipresentasikan dengan format log standar yang terdiri dari tiga track
dengan track kedalaman berada diantara track 1 dan 2.
Track 1 menggambarkan ukuran transit time dan kurva koreksi seperti GR atau neutron.
Skala yang dipakai untuk transit time 3 ft adalah 200 - 400 mS.
Track 2 menggambarkan kurva amplitudo dan atau attenuation rate. Kurva rate atenuasi
dipresentasikan dalam skala 20 - 0 dB/ft. Sedangkan kurva amplitudo umumnya dalam
skala 0 - 100 atau 0 - 50 mV dengan kurva penguat antara 0 - 20 atau 0 - 10 mV. Skala
ganda sangat penting karena pembacaan pada free pipe dapat mencapai 100 mV bahkan
lebih, sedangkan ikatan yang baik bisa mencapai 1 mV atau kurang.
Track 3 menggambarkan display seluruh rangkaian gelombang baik dalam bentuk x-y
presentation maupun VDL. Skala yang digunakan antara 200 - 1200 mS.

10. ..
11. Evaluasi semen

Evaluasi penyemenan adalah pengujian tujuan dari penyemenan telah tercapai


setelah operasi penyemenan dilaksanakan. Evaluasi penyemenan tidak akan
efisien bila tujuan dari penyemenan tidak jelas, apakah primary cementing,
remedial cementing atau plugging cementing. Untuk pengetesan ada beberapa
macam metode yaitu :
Hydraulic Testing
Test ini umumnya untuk menguji isolasi yang terjadi di lubang bor. Hal ini
dilakukan setelah dilakukan operasi primary cementing, bila zone air terletak dekat
dengan zone minyak atau gas yang akan diproduksi, atau dapat dilakukan setelah
remedial cementing.
Berbagai type pengujian dapat dilakukan, umumnya menggunakan uji tekanan
(pressure testing) dan Dry testing
Pressure Testing
Umumnya test ini dilakukan setelah penyemenan surface atau intermediate
casing telah dilakukan, dimana casing shoe telah dibor. Tekanan di dalam casing
ditingkatkan menjadi lebih tinggi dari tekanan yang akan diderita pada titik ini
selama operasi pemboran berikutnya. Casing shoe bila tidak tahan menahan
tekanan menunjukkan operasi penyemenan yang buruk dan remedial cementing
harus dilaksanakan.
Dry testing semacam DST yang khusus untuk menguji penyekatan semen.
Dry testing umumnya digunakan untuk menguji keefektifan dari squeeze
cementing, atau penyekatan semen di atas liner. Sementara tujuan utama dari
DST adalah untuk mengevaluasi kandungan lapisan berdasarkan rate dan
tekanan. Pengujian dry test dikatakan berhasil bila tidak terjadi perubahan
tekanan selama penutupan sumur. Gambaran test ini dapat dilihat pada gambar
12.65.
. Temperatur Log
Temperatur log juga kadang-kadang dipakai untuk mengevaluasi hasil
penyemenan, biasanya digunakan untuk pengujian primary cementing, yaitu
untuk mendeteksi kedudukan puncak semen (lihat gambar 12.66). Temperatur
log juga digunakan untuk mendeteksi bagian semen yang bocor dan channeling.
Nuclear Logging
Dalam industri perminyakan, sangat praktis bila dilakukan penambahan
radioaktif sebagai tracer, sehingga dengan menggunakan detector kita dapat
men-trace posisi dan kedudukan semen dalam annulus casing-lubang bor, (lihat
gambar 12.67).
Gelombang Acoustic
12.11.4.1. Karakteristik Gelombang Acoustic
Acoustic berkaitan erat dengan karakteristik perambatan gelombang suara
(sound wave). Pada hakekatnya perambatan gelombang suara ini merupakan
proses compression (penekanan) dan refraction (pengembangan) molekul-
molekul gas atau cairan atau sebagai proses squeezing (pemerasan) dan
stretching (perentangan) struktur butiran padatan.
Ada dua jenis gelombang acoustic, compressional wave dan shear wave.
Apabila proses perambatan gelombang terjadi searah dengan arah perambatan
gelombang, gelombang tersebut disebut dengan gelombang kompressional
(compressional wave). Dan apabila gerakan di atas tegak lurus dengan arah
perambatan gelombang disebut gelombang shear (shear wave).
Ditinjau dari jumlah frekuensi yang dipancarkan, gelombang acoustic dibagi
menjadi 3, infrasonic (frekuensi kurang dari 20 kHz), gelombang suara (frekuensi
antara 20 sampai 20.000 kHz) serta utrasonic (frekuensi di atas 20 kHz).
Karakteristik Acoustic Formasi
Sifat-sifat dasar formasi memiliki pengaruh pada acosutic log. Untuk maksud-
maksud evaluasi semen dikenal istilah fast formation dan slow formation. Kedua
istilah ini berkenaan dengan kecepatan suara. Suatu formasi dikatakan sebagai
fast formation apabila kecepatan perambatan gelombang suara yang melaluinya
lebih cepat dari pada yang melalui casing, yakni memiliki perambatan (T) kurang
dari 57 mu s/ft. Sedangkan suatu formasi disebut sebagai slow formation apabila
kecepatan perambatan gelombang suara yang melaluinya lebih rendah dari
pada yang melalui casing T 57 mu s/ft. Karakteristik acoustic untuk berbagai
jenis formasi dan fluida yang umum dapat kita lihat pada Tabel 12.20.
Tabel yang sama tidak dapat dibuat untuk karakteristik atenuasinya karena
karakteristik tersebut bergantung pada frekuensi namun secara umum dikatakan
bahwa harga attenuasi besar bila perlambatannya besar. Atenuasi akan sangat
besar pada material non consolidated seperti shale pada tempat yang dangkal
attenuasi diabaikan pada batuan yang memiliki ikatan yang kuat.
12.11.5. Metode Acoustic Logging
Ada dua metode acoustic logging yang dipakai dan memiliki prinsip
pengukuran yang berbeda, yakni Cement Bond Log (CBL) dan Cemen Evaluation
Tool (CET). Jenis ketiga yakni Cement Bond Tool (CBT) pada dasarnya
merupakan borehole-compensated CBL.
12. D
13. TAHAPAN PRIMARY CEMENTING

Pada primary cementing, penyemenan casing pada dinding lubang sumur


dipengaruhi oleh jenis casing yang akan disemen.
Penyemenan conductor casing bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi
fluida pemboran (lumpur pemboran) terhadap lapisan tanah permukaan.
Penyemenan surface casing bertujuan untuk melindungi air tanah agar tidak
tercemar dari fluida pemboran, memperkuat kedudukan surface casing sebagai
tempat dipasangnya alat BOP (Blow Out Preventer), untuk menahan beban casing
yang terdapat di bawahnya dan untuk mencegah terjadinya aliran fluida pemboran
atau fluida formasi yang akan melalui surface casing.
Penyemenan intermediate casing bertujuan untuk menutup tekanan formasi
abnormal atau untuk mengisolasi daerah lost circulation.
Penyemenan production casing bertujuan untuk mencegah terjadinya aliran antar
formasi ataupun aliran fluida formasi yang tidak diinginkan, yang akan memasuki
sumur. Selain itu untuk mengisolasi zona produktif yang akan diproduksikan fluida
formasi (perforated completion), dan juga untuk mencegah terjadinya korosi pada
casing yang disebabkan oleh material-material korosif.
14. Multistage CEMENTING

Multi stage cementing diterapkan pada penyemenan rangkaian casing yang panjang khususnya guna :
 Mengurangi tekanan total pemompaan .
 Mengurangi tekanan total hidrostatis pada formasi-formasi lemah sehingga tidak terjadi atau terbentuk
rekahan.
 Memungkinkan pemilihan penyemenan daripada formasi.
 Memungkinkan penyemenan keseluruhan total panjang casing.
 Memastikan penyemenan efektif di sekeliling shoe dari rangkaian casing sebelumnya.
Pada multi stage cementing sebuah stage cementer dipasang pada posisi tertentu pada rangkaian casing.
Posisi stage cementer ditentukan oleh panjang total kolom semen dan kekuatan formasi.
Untuk pekerjaan two-stage cementing, sebuah one-stage cementer digunakan pada rangkaian casing.
Casing lalu diturunkan ke dasar lubang. Kemudian casing disirkulasikan dengan sejumlah volume sebesar
dua kali kapasitas lubang. Tahap pertama penyemenan ditujukan sebagai operasi tahap tunggal, akan tetapi
bagian top kolom semen berakhir tepat dibawah stage cementer.
Tahap kedua diawali dengan menjatuhkan sebuah opening bomb dari permukaan sehingga
memungkinkan untuk jatuh pada opening seat pada stage collar. Saat bomb telah ditempatkan, tekanan
pemompaan sebesar 1200 - 1500 psi diatas tekanan sirkulasi diterapkan pada penyeretan pin penahan dan
memungkinkan sebuah bottom sleeve bergerak turun. Gerakan sleeve akan membuka terminal, sehingga
menetapkan hubungan antara bagian dalam (internal) casing dengan annulus. Lumpur kemudian
disirkulasikan guna mengkondisikan sumur yang ditujukan untuk memulai tahap kedua.
Volume semen yang diperlukan untuk tahap kedua lalu dipompakan dan diikuti dengan sebuah closing
plug. Bubur semen melewati terminal dari stage cementer dan akan ditempatkan pada annular area. Jika
plug telah mencapai stage cementer maka tekanan sebesar 1500 psi diatas tekanan yang diperlukan untuk
mensirkulasikan semen diterapkan pada closing plug sehingga mendorong upper sleeve turun dan dengan
demikian akan menutup terminal dan menyekat ruang antara casing dengan annulus. Sehingga dengan
demikian keseluruhan rangkaian casing telah disemen.

Versi lain

First stage
The procedure for the first stage of the operation is similar to that described in Section 4.3 above,
except that a wiper plug is not used and only a liquid spacer is pumped ahead of the cement slurry.
The conventional shut-off plug is replaced by a plug with flexible blades. This type of shut-off plug is
used because it has to pass through the stage cementing collar which will be discussed below. It is
worth noting that a smaller volume of cement slurry is used, since only the lower part of the annulus
is to be cemented. The height of this cemented part of the annulus will depend on the fracture
gradient of the formations which are exposed in the annulus (a height of 3000′ – 4000′ above the
shoe is common).

Second stage
The second stage of the operation involves the use of a special tool known as a stage collar (Figure
14), which is made up into the casing string at a pre-determined position. The position often
corresponds to the depth of the previous casing shoe.The ports in the stage collar are initially sealed
off by the inner sleeve. This sleeve is held in place by retaining pins. After the first stage is complete
a special dart is released form surface which lands in the inner sleeve of the stage collar. When
apressure of 1000 – 1500 psi is applied to the casing above the dart, and therefore to the dart, the
retaining pins on the inner sleeve are sheared and the sleeve moves down, uncovering the ports in
the outer mandrel. Circulation is established through the stage collar before the second stage slurry
is pumped.

The normal procedure for the second stage of a two stage operation is as follows:
1 Drop opening dart
2 Pressure up to shear pins
3 Circulate though stage collar whilst the first stage cement is setting
4 Pump spacer
5 Pump second stage slurry
6 Release closing plug
7 Displace plug and cement with mud
8 Pressure up on plug to close ports in stage collar and pressure test the casing.

To prevent cement falling down the annulus a cement basket or packer may be run on the casing
below the stage collar. If necessary, more than one stage collar can be run on the casing so that
various sections of the annulus can be cemented. One disadvantage of stage cementing is that the
casing cannot be moved after the first stage cement has set in the lower part of the annulus. This
increases the risk of channelling and a poor cement bond.

Anda mungkin juga menyukai