Anda di halaman 1dari 142

EVALUASI PRIMARY CEMENTING UNTUK PERENCANAAN

SQUEEZE CEMENTING PADA CASING LINER 7”


DENGAN ANALISA LOGGING CBL-USIT
SUMUR “DN” LAPANGAN “GP”

SKRIPSI

Disusun Oleh:
DIONISIUS NOVANDA GUNTUR PRAYOGA
113180096

JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2022

i
EVALUASI PRIMARY CEMENTING UNTUK PERENCANAAN
SQUEEZE CEMENTING PADA CASING LINER 7”
DENGAN ANALISA LOGGING CBL-USIT
SUMUR “DN” LAPANGAN “GP”

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Disusun Oleh:
DIONISIUS NOVANDA GUNTUR PRAYOGA
113180096

Disetujui untuk Program Studi Teknik Perminyakan


Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta
Oleh Dosen Pembimbing:

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. H. Avianto Kabul P., MT. Puji Hartoyo, ST., MT.

ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya menyatakan bahwa judul dan keseluruhan dari isi skripsi ini adalah
asli karya ilmiah saya, dan saya menyatakan bahwa dalam rangka menyusun,
konsultasi dengan Dosen Pembimbing hingga menyelesaikan Skripsi ini tidak
pernah melakukan penjiplakan (plagiasi) terhadap karya orang lain atau pihak lain
baik karya lisan maupun tulisan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Saya menyatakan bahwa apabila dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi
saya ini mengandung unsur jiplakan (plagiasi) dari karya orang lain atau pihak lain,
maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya, di luar tanggung jawab Dosen
Pembimbing saya. Oleh karenanya saya sanggup bertanggung jawab secara hokum
dan bersedia dibatalkan atau dicabut gelar kesarjanaan saya oleh Otoritas atau
Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

Yogyakarta, 09 September 2022


Yang Menyatakan

Dionisius Novanda Guntur Prayoga


NIM. 113180096

Nomor HP : +6281249691626
Alamat E-mail : dionisiusnvnd@gmail.com
Nama Orang Tua : Thomas Ratna Kurniawan
Alamat Orang Tua : No.03, RT 02, RW 32, Duwet, Sendangadi, Mlati, Sleman,
D.I. Yogyakarta, Indonesia.

iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Kepada Bapa, Putra, dan Roh Kudus atas segala berkat dan
karunia-Nya.

Untuk Bapak Ir. H. Avianto Kabul Pratiknyo, MT dan Bapak Puji


Hartoyo, ST., MT yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan
skripsi ini.

Untuk Ibu Dewi Asmorowati, ST., M.Eng. selaku Kepala


Laboratorium Plan Of Development yang telah memberi izin
melaksanakan Tugas Akhir di Laboratorium Plan Of Development

Untuk Ayah saya Thomas Ratna Kurniawan, Ibu saya Nuning Purba,
Kakak saya Felicitas Noventa Adelia Putri, skripsi ini saya
dedikasikan karena telah selalu mendukung, memberi support, dan
mendoakan saya setiap saat.

Untuk Antonia Selena Nawawi yang selalu menemani dimanapun


kapanpun dan selalu mensupport dalam doa pada kondisi apapun.

Untuk teman-teman seperjuangan POSEIDON yang sering


memberikan bantuan dan dukungan pula.

Untuk para dosen dan senior yang sudah mendukung dan memberi bantuan.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga Skripsi berjudul: EVALUASI PRIMARY CEMENTING UNTUK
PERENCANAAN SQUEEZE CEMENTING PADA CASING LINER 7”
DENGAN ANALISA LOGGING CBL-USIT SUMUR “DN” LAPANGAN
“GP”, dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini dibuat guna memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas
Teknologi Mineral UPN “Veteran” Yogyakarta.
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. M. Irhas Effendi, M.Si., selaku Rektor UPN “Veteran”
Yogyakarta.
2. Dr. Ir. Sutarto Hartosuwarno, M.T., selaku Dekan Fakultas Teknologi
Mineral UPN “Veteran” Yogyakarta.
3. Dr. Boni Swadesi, S.T., M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Perminyakan,
UPN “Veteran” Yogyakarta.
4. M.Th. Kristiati EA, S.T., M.T., selaku Sekretaris Jurusan Teknik
Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta.
5. Hariyadi, ST., MT., selaku Koordinator S1 Program Studi Teknik
Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta.
6. Ir. H. Avianto Kabul P., MT., selaku Dosen Pembimbing I saya.
7. Puji Hartoyo, ST., MT., selaku Dosen Pembimbing II saya.
8. Edgie Yuda Kaesti, ST., MT. selaku Dosen Wali saya
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, penulis
sangat mengharapkan saran-saran guna perbaikan dan kesempurnaan di masa
yang akan datang. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, 09 September 2022

Dionisius Novanda Guntur Prayoga

v
RINGKASAN

Pada Sumur “DN” di Lapangan “GP” terdapat operasi squeeze cementing.


Adapun faktor yang menyebabkan dilakukannya operasi squeeze cementing
tersebut yaitu untuk memperbaiki bonding semen pada zona yang akan dilakukan
perforasi yaitu pada kedalaman 8032-8107 ft. Perlu dilakukannya evaluasi terhadap
operasi squeeze cementing pada Sumur “DN”.
Metodologi yang digunakan untuk melakukan evaluasi operasi squeeze
cementing meliputi analisa hasil penyemanan primer baik dengan kualitatif maupun
kuantitatif pada interval zona produktif, analisa kualitatif dilakukan dengan
interpretasi log VDL, dan analisa kuantitatif dilakukan dengan interpretasi log
CBL. Kemudian menghitung volume bubur semen, aditif yang digunakan pada
operasi squeeze cementing, menghitung ketinggian kolom semen, tekanan, dan
tekanan maksimum pompa. Lalu diakhiri dengan analisa hasil pekerjaan squeeze
cementing yang telah dilakukan, dan mengevaluasi apakah pekerjaan squeeze
cementing pada Sumur “DN” efisien dan telah berhasil memperbaiki ikatan semen
(Bonding).
Analisa CBL-VDL untuk primary cementing pada Sumur “DN” untuk zona
produktif pada trayek 7” dengan interval kedalaman 7980-8150 ft terindikasi
terjadinya channeling yang ditandai dengan nilai amplitude pada CBL sekitar 10-
42 mV dan pada pembacaan VDL untuk casing arrival yang dibaca jelas dan
formation arrival yang masih dapat terlihat bentukannya, maka dari itu perlu
dilakukannya squeeze cementing untuk memperbaiki ikatan semen pada sekitar
zona produktif.
Berdasarkan perhitungan penulis, volume bubur semen yang diperlukan
adalah 14,66 bbl namun pada kondisi actual volume semen yang masuk ke dalam
formasi adalah 2,4 bbl. Dari segi operasional, program squeeze cementing yang
dilakukan dapat dikatakan berhasil karena tekanan yang digunakan tidak melebihi
tekanan rekah formasi. Hasil analisa CBL-USIT menunjukkan ikatan semen (bond)
yang baik dengan nilai amplitudo pada CBL yang mengecil dengan nilai amplitude
berkisar 1-24 mV dengan rata-rata 7,05 mV dan pembacaan USIT memperlihatkan
bahwa dengan nilai CBL yang cukup baik, tetap memungkinkan adanya micro-
debonding pada beberapa kedalaman. Dengan hasil interpretasi yang cukup
lengkap, USIT juga memperlihatkan bahwa pada kedalaman 7980-8150 ft terdapat
beberapa kedalaman yang keadaan dibalik casingnya memiliki kandungan gas dan
fluida, Walaupun demikian terdapat cukup banyak kedalaman dengan nilai good
bond namun terdapat beberapa kedalaman di zona interval dengan nilai bad bond.
Oleh karena itu untuk penutupan zona interval 7980 – 8150 ft masih dapat diatasi
yang dikarenakan kualitas semennya bagus, namun masih terdapat beberapa
kedalaman dengan kualitas ikatan yang semen buruk (bad bond) dan banyak
interval kedalaman yang telah memiliki kualitas ikatan semen yang baik (good
bond). Terutama pada zona interval perforasi yang seluruh nilai baik atau good
bond.

vi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
RINGKASAN ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................. 1
1.2. Permasalahan ................................................................... 2
1.3. Maksud dan Tujuan ......................................................... 2
1.4. Metodologi....................................................................... 2
1.5. Sistematika Penulisan ...................................................... 4
BAB II TINJAUAN UMUM LAPANGAN “GP” ........................... 5
2.1. Tinjauan Geografis Lapangan “GP” ................................ 5
2.2. Struktur Geologi Lapangan “GP” .................................... 6
2.3. Struktur Cekungan Jawa Timur Bagian Utara ................. 8
2.4. Riwayat Sumur “DN” Lapangan “GP” ........................... 10
2.5. Petroleum System............................................................. 12
2.6. Sejarah Lapangan “GP” ................................................... 14
BAB III TEORI DASAR SQUEEZE CEMENTING ........................ 15
3.1. Penyemenan ..................................................................... 15
3.2. Squeeze Cementing .......................................................... 15
3.2.1. Sifat-Sifat Semen Pemboran ................................. 16
3.2.1.1. Strength .................................................... 16
3.2.1.2. Water Cement Ratio ................................. 17
3.2.1.3. Densitas.................................................... 18
3.2.1.4. Thickening Time....................................... 19
3.2.1.5. Plastic Viscosity dan Yield Point ............. 19
3.2.1.6. Filtration Loss ......................................... 20

vii
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
3.2.1.7. Permeabilitas Semen ................................ 20
3.2.1.8. Sulfate Resistance .................................... 21
3.2.1.9. Waiting on Cement .................................. 21
3.2.2. Aditif Semen ......................................................... 21
3.2.2.1. Accelerator .............................................. 23
3.2.2.2. Retarder ................................................... 23
3.2.2.3. Extender ................................................... 23
3.2.2.4. Antifoam Agents ....................................... 23
3.2.2.5. Weighting Agents ..................................... 24
3.2.2.6. Dispersant ................................................ 24
3.2.2.7. Fluid Loss Control Agents ....................... 24
3.2.2.8. Loss Circulation Agents ........................... 24
3.2.2.9. Special Additive ....................................... 24
3.3. Teknik Squeeze Cementing .............................................. 25
3.3.1. Low Pressure Squeeze Cementing ........................ 26
3.3.2. High Pressure Squeeze Cementing ....................... 27
3.3.3. Metode Penempatan Bubur Semen....................... 28
3.3.3.1. Metode Bradenhead................................. 28
3.3.3.2. Metode Squeeze Packer ........................... 30
3.3.4. Metode Pemompaan ............................................. 31
3.3.4.1. Metode Running Squeeze Pumping ......... 31
3.3.4.2. Metode Hesitation Squeeze Pumping ...... 32
3.4. Perencanaan Pekerjaan Squeeze Cementing .................... 33
3.4.1. Fluida dalam Sumur.............................................. 33
3.4.2. Desain Bubur Semen ............................................ 33
3.4.2.1. Suhu dan Tekanan.................................... 33
3.4.2.2. Jenis Semen ............................................. 35
3.4.2.3. Pengendalian Filtrasi ............................... 35
3.4.2.4. Volume Bubur Semen.............................. 36
3.4.3. Tekanan Squeeze................................................... 37
3.4.4. Waktu Pemompaan ............................................... 37
3.4.5. Compressive Strength ........................................... 38
3.4.6. Injectivity Test....................................................... 39
3.4.7. Peralatan Penyemenan .......................................... 39
3.4.7.1. Peralatan di atas Permukaan .................... 39
3.4.7.2. Peralatan di bawah Permukaan ................ 41
3.5. Perhitungan-Perhitungan dalam Pekerjaan
Squeeze Cementing .......................................................... 41

viii
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
3.5.1. Perhitungan Volume Bubur Semen ...................... 43
3.5.2. Perhitungan Volume Aditif .................................. 44
3.5.3. Perhitungan Tinggi Kolom Semen ....................... 44
3.5.4. Perhitungan Tekanan ............................................ 45
3.5.5. Perhitungan Tekanan Pompa ................................ 46
3.6. Pengujian dan Evaluasi Hasil Pekerjaan Cementing ....... 49
3.6.1. Tes Tekanan Positif (Positive Pressure Test) ....... 50
3.6.2. Tes Tekanan Negatif (Negative Pressure Test) .... 50
3.6.3 Cement Integrity Log ............................................ 51
3.6.4. Log Akustik (CBL-VDL) ..................................... 51
3.6.3.1. Cement Bond Log (CBL) ......................... 52
3.6.3.2. Variable Density Log (VDL) ................... 56
3.6.3.3. Analisa CBL-VDL ................................... 57
3.6.3.4. Ultra Sonic Imager Tool (USIT) ............. 66
BAB IV EVALUASI DAN PERHITUNGAN SQUEEZE
CEMENTING ........................................................................ 70
4.1. Evaluasi Primary Cementing pada Zona Produktif ......... 72
4.2. Program Squeeze Cementing pada Sumur “DN” ............. 77
4.2.1. Data Komplesi dan Workstring Sumur “DN” ....... 78
4.2.2. Data Aktual Squeeze Cementing ........................... 79
4.3. Evaluasi Teknis dan Perhitungan Pekerjaan Squeeze
Cementing Sumur “DN” .................................................. 80
4.3.1. Perhitungan Volume Bubur Semen ....................... 81
4.3.2. Perhitungan Volume Aditif ................................... 83
4.3.3. Perhitungan Ketinggian Kolom Semen ................ 84
4.3.4. Perhitungan Tekanan ............................................ 84
4.3.5. Perhitungan Tekanan Maksimum Pompa ............. 94
4.4. Evaluasi Waktu Pelaksanaan Squeeze Cementing
Sumur “DN” .................................................................... 97
4.5. Evaluasi Hasil Pekerjaan Squeeze Cementing ................. 99
4.5.1. Pengujian terhadap Hasil Operasi Squeeze
Cementing Sumur “DN” ....................................... 100
4.5.2. Evaluasi Kualitatif CBL-USIT ............................. 100
4.5.3. Evaluasi Kuantitatif CBL-USIT ........................... 103
BAB V PEMBAHASAN ...................................................................... 111

ix
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
BAB VI KESIMPULAN ........................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 121
LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1.1. Diagram Alir Penyusunan Skripsi ..................................................... 3
2.1. Peta Lokasi Sumur “DN” Lapangan “GP” ........................................ 6
2.2. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Bagiant Utara .............................. 8
2.3. Stratigrafi dan Litologi Blok Jawa Timur Bagian Utara .................... 10
2.4. Stratigrafi dan Litologi Blok Tuban ................................................... 11
2.5. Elemen dari Petroleum System .......................................................... 13
3.1. Low Pressure Squeeze........................................................................ 26
3.2. High Pressure Squeeze ...................................................................... 27
3.3. Rekahan Vertikal yang Disebabkan High Pressure Squeeze ............. 28
3.4. Metode Bradenhead ........................................................................... 29
3.5. Metode Squeeze Packer ..................................................................... 30
3.6. Tipe Tekanan Teknik Hesitation Squeeze Pumping .......................... 32
3.7. Pembentukan Node oleh Beberapa Water Loss yang Berbeda .......... 36
3.8. Cementing Unit .................................................................................. 40
3.9. Drillable Squeeze Packer ................................................................... 42
3.10. Retrievable Squeeze Packer ............................................................... 43
3.11. Skema Peralatan CBL-VDL. ............................................................. 53
3.12. Prinsip Kerja Peralatan CBL-VDL .................................................... 54
3.13. Pengukuran Transit Time pada CBL.................................................. 55
3.14. Hubungan Amplitude terhadap Ikatan Semen .................................... 56
3.15. Prinsip Kerja dari VDL ...................................................................... 57
3.16. Contoh Hasil Pengukuran CBL-VDL ................................................ 59
3.17. Interpretasi CBL-VDL Untuk Free Pipe ........................................... 60
3.18. Interpretasi CBL-VDL Untuk Well Bonded ...................................... 61
3.19. Interpretasi CBL-VDL Menunjukkan Ikatan Semen Buruk
dengan Formasi .................................................................................. 62
3.20. Interpretasi CBL-VDL Menunjukkan Channeling ............................ 63

xi
DAFTAR GAMBAR
(Lanjutan)

Gambar Halaman
3.21. CBL Interpretation Chart .................................................................. 65
3.22. Perbandingan Gelombang Sonic dan Ultrasonic ............................... 67
3.23. Proses Perambatan Gelombang Ultrasonic........................................ 68
3.24. Hasil Interpretasi Ultrasonic Imager Tool ......................................... 69
4.1. Profil Sumur “DN”.............................................................................. 71
4.2. CBL-VDL pada Primary Cementing .................................................. 72
4.3. Tahapan Analisa Kuantitatif Primary Cementing ............................... 74
4.4. Skema Perencanaan Squeeze Cementing ........................................... 78
4.5. Kondisi Fluida Saat Workstring Tercelup.......................................... 86
4.6. Kondisi Fluida Saat Workstring Diangkat ......................................... 89
4.7. Perkiraan Ketinggian Puncak Semen ................................................. 91
4.8. Grafik Penentuan Tekanan Maksimum Pemompaan yang
Diizinkan (MASP) ............................................................................. 97
4.9. Kurva CBL-USIT pada Kedalaman 7980 – 8150 ft .......................... 102
4.10. Analisa Kuantitatif Menggunakan CBL Interpretation Chart........... 104

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
III-1 Compressive Strength Semen Berdasarkan API .............................. 17
III-2 Kandungan Air Normal dalam Suspensi Semen .............................. 18
III-3 Pengaruh Aditif pada Suspensi Semen ............................................ 22
III-4 Kondisi Sirkulasi Dasar Sumur Selama Squeeze dan Primary
Cementing ........................................................................................ 34
III-5 Thickening Time Semen pada Primary Cementing vs Squeeze
Cementing ....................................................................................... 35
IV-1 Hasil Analisa Kuantitatif Primary Cementing ................................. 76
IV-2 Perbandingan Volume Cement Slurry yang Dibutuhkan ................. 83
IV-3 Perhitungan Tekanan Hidrostatis (@Start Squeeze) ........................ 92
IV-4 Perhitungan Tekanan Hidrostatis (@End Squeeze) ......................... 93
IV-5 Hasil Perhitungan Tekanan Maksimum Pemompaan yang
Diizinkan (MASP) ........................................................................... 95
IV-6 Perbandingan Penentuan Tekanan Maksimum Pemompaan yang
Diizinkan .......................................................................................... 96
IV-7 Estimasi Waktu Pelaksanaan Squeeze Cementing Sumur “DN” ..... 98
IV-8 Analisa Kuantitatif Cement Bond Log (Before Squeeze) ................. 105
IV-8 Analisa Kuantitatif Cement Bond Log (After Squeeze) .................... 106
IV-9 Persentase Berdasarkan Compressive Strength ................................ 108
IV-10 Presentase Berdasarkan Bond Index................................................. 109

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
A. Proposal Squeeze Cementing Sumur “DN” .........................................
B. CBL-VDL Primary Cementing............................................................
C. CBL-USIT Squeeze Cementing ...........................................................

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sumur “DN” Lapangan “GP” merupakan sumur produksi. Sumur produksi
tersebut memiliki cacatan historis produksi minyak, dan seiring berjalannya waktu
terdapat zona perforasi yang sudah tidak produktif lagi. Untuk menutup zona yang
sudah tidak produktif maka dilakukan squeeze cementing. Adapun pada Sumur
“DN” juga terdapat zona yang akan dilakukan re-perforasi, sehingga sebelum
dilakukan re-perforasi, zona tersebut dilakukan squeeze cementing terlebih dahulu.
Pada sumur ini zona perforasi nya terletak pada trayek liner 7”. Berdasarkan analisa
hasil penyemenan untuk sekitar zona produktif di trayek 7” yaitu pada interval
kedalaman 7980 – 8150 ft terindikasi bahwa telah terjadi discontinuous channeling,
yang dibuktikan melalui hasil analisa kuantitatif (CBL) maupun kualitatif (VDL)
pada interval kedalaman tersebut. Sehingga perlu dilakukannya perbaikan ikatan
semen dengan pengerjaan squeeze cementing. Pekerjaan squeeze cementing diawali
dengan perforasi untuk jalur masuk squeeze cementing pada interval kedalaman
8032 – 8107 ft.
Evaluasi untuk pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN” ini dilakukan
setelah pekerjaan squeeze cementing tersebut selesai. Tujuannya adalah untuk
mengetahui berhasil atau tidaknya pekerjaan squeeze cementing tersebut. Dan hal
yang dibahas dalam evaluasi pekerjaan squeeze cementing ini meliputi evaluasi
perhitungan teknis operasional pengerjaan penyemenan dan evaluasi hasil
penyemenan melalui hasil pembacaan kurva CBL-USIT. Penyemenan dikatakan
berhasil apabila hasil analisa pada kurva CBL-USIT memenuhi cutoff yang
ditetapkan, sehingga menghasilkan semen yang tahan terhadap pressure dari
formasi dan dari dalam casing.

1
2

1.2. Permasalahan
1. Apakah penyemenan primer yang terdapat pada interval zona produktif
sumur “DN” mempunyai hasil yang buruk?
2. Apakah pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN” sudah dilakukan secara
optimum dan se-efisien mungkin?
3. Apakah pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN” telah memiliki ikatan
semen pada zona tersebut dengan tidak merekahkan formasi?

1.3. Maksud dan Tujuan


Evaluasi dari hasil penyemenan pada zona produktif dimaksudkan untuk
mengetahui keberhasilan dari squeeze cementing yang telah dilakukan.

Tujuannnya adalah:

• Untuk mengetahui kualitas ikatan semen setelah dilakukannya squeeze


cementing menggunakan analisa korelasi antara CBL dan USIT
• Untuk menentukan langkah selanjutnya terhadap hasil dilakukannya
squeeze cementing.

1.4. Metodologi
Metodologi dalam mengevaluasi hasil squeeze cementing pada zona prospek
ini meliputi :
1. Menganalisa hasil penyemenan primer pada interval zona produktif
2. Menentukan interval zona squeeze cementing
3. Mengevaluasi perhitungan teknis operasional squeeze cementing:
a. Perhitungan volume bubur semen.
b. Perhitungan volume aditif.
c. Perhitungan ketinggian kolom semen.
d. Perhitungan tekanan.
e. Perhitungan tekanan maksimum pompa.
3

4. Mengevaluasi dan menganalisa hasil pekerjaan squeeze cementing yang telah


dilakukan dengan menggunakan analisa korelasi CBL-USIT secara kualitatif
dan kuantitatif.
Untuk lebih jelasnya metodologi dapat dilihat melalui diagram alir pada Gambar
1.1 berikut.

Gambar 1.1.
Diagram Alir Penyusunan Skripsi
4

1.5. Sistematika Penulisan


Pada penulisan Skripsi yang berjudul “Evaluasi Squeeze Cementing untuk
Perbaikan Cement Bond Casing Liner 7” Sumur “DN” Lapangan “GP” ini terdiri
dari enam bab, yaitu: Bab I Pendahuluan; Bab II Tinjauan Umum Lapangan “GP”;
Bab III Teori Dasar Squeeze Cementing dan Pengujian Semen, Bab IV Evaluasi dan
Perhitungan Squeeze Cementing ; Bab V Pembahasan; Bab VI Kesimpulan.
BAB II
TINJAUAN UMUM LAPANGAN

Pada tanggal 29 Februari 1988 Trend International Ltd. Menandatangani


kontrak bagi hasil dengan Pertamina sehingga terbentuk JOB Pertamina – Trend
Tuban. Tanggal 31 Agustus 1993, perusahaan ini mengalami peralihan dari JOB
Pertamina – Trend Tuban menjadi JOB Pertamina – Santa Fe Tuban. Pada tanggal
2 Juli 2001, terjadi perubahan nama dari JOB Pertamina – Santa Fe Tuban menjadi
JOB Pertamina – Devon Tuban dan mulai tanggal 1 Juli 2002, JOB Pertamina –
Devon Tuban menjadi JOB Pertamina Petrochina East Java. Lalu pada tanggal 20
Mei 2018 JOB Pertamina Petrochina East Java mengalami peralihan menjadi
Pertamina EP Asset 4 Lapangan “GP”.

2.1. Letak dan Sejarah PT. Pertamina Ep Asset 4 Lapangan “GP”


Sumur “DN”, terletak di Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, Kabupaten
Bojonegoro. Sumur “DN” berada 135 km di sebelah Barat Surabaya. Untuk lebih
jelasnya terlihat pada Gambar 2.1.. Dibuka pada April 2001 dengan dimulainya
pemboran ekplorasi Sumur “DN”. Sampai tahun 2015, Lapangan “GP” sudah
memiliki 36 sumur.
Lapangan “GP”, ditemukan pada bulan April 1994 setelah pemboran sumur
ekplorasi DN. Lapangan “GP” terletak di kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban,
Propinsi Jawa Timur. Jumlah sumur yang sudah dibor sebanyak 25 sumur terdiri
dari 22 sumur yang diproduksikan menggunakan Electric Submersible Pump, 2
sumur tidak diproduksikan lagi menjadi 1 sumur kosong (dry hole).
Pada lapangan JOB Pertamina – Petrochina East Java yang berada pada
West Tuban Block terdiri dari 2 lapangan yang pertama adalah Lapangan “GP” yang
berada pada sebelah barat Surabaya yang terletak di Kabupaten Bojonegoro yang
memiliki 24 sumur dan Lapangan “GP” yang berada Kabupaten Tuban yang
memiliki total 23 sumur, 2 sumur yang tidak diproduksikan lagi menjadi sumur
disposal dan 1 sumur dry hole.

5
6

Lapangan
GP

Sumur “DN”

Gambar 2.1.
Peta Lokasi Sumur “DN” Lapangan “GP”
(PT Pertamina EP Asset 4)

2.2. Struktur Geologi Lapangan “GP”


Blok Tuban Terletak dalam busur Jawa Timur Basin. Struktural Basin
terlihat jelas pada Gambar 2.2., struktural ini lebih kompleks dimana telah
mengalami beberapa periode deformasi, dengan kompleks Akhir Tersier tektonik
overprinting banyak gaya sebelumnya. Deposisi Tersier awal Basin itu
dikendalikan oleh pengembangan horst extensional dan sistem struktur graben yang
dimulai pada saat pra-Tersier. Kemudian pembangunan struktural dari Miosen
Tengah seterusnya mencerminkan interaksi yang kompleks dari tiga besar
Australia, Pasifik dan lempeng Sunda-Eurasion ditandai dengan sudut rendah
kompresional dan inversi menyodorkan fitur ekstensional tua.
7

Formasi Ngimbang menandai terjadinya sedimentasi Tersier di Cekungan


Jawa Timur dengan distribusi sedimen Formasi Ngimbang Bawah dikendalikam
oleh konfigurasi pra-Tersier ada sekitar Timur Barat setengah grabens berorientasi.
The lower Formasi Ngimbang yang terdiri dari laut dangkal untuk sedimen klastik
fluvio-delta dan lacustrinal diisi lows basement kesalahan dikontrol selama Tengah-
Eosen akhir. Unit ini merupakan potensi hidrokarbon selang sumber penting di
cekungan dengan sumber menegtik geokimia menunjukkan bahwa itu adalah
sumber kemungkinan minyak di Lapangan Mudi, Cepu Field, dan sisa minyak di
Kembang Baru sumur. Ngimbang sedimentasi formasi berlanjut selama oligosen
awal dengan pengendapan atas formasi Ngimbang serpih transgesif dan batu
lempung dan karbonat platform yang ringan dan jarang lega karbonat rendah bulid-
up.
Selama Oligosen akhir, kujung karbonat formasi yang diendapkan di atas
Formasi Ngimbang dan ada tertinggi basemen pra-Tersier dengan reefal build-up
yang dikembangkan di seluruh wilayah Jawa Timur. Karang pecahan
dikembangkan sepanjang tepi pusat cekungan dengan puncak jenis terumbu terjadi
di daerah yang lebih dalam air basinal mana sedimentasi disimpan didominasi
berlempung berkapur batu gamping, batu lempung dan napal. Pertumbuhan reefal
/ gundukan karbonat berhenti mendadak di beberapa daerah pada akhir
pengendapan Kujung , mungkin kerena kondisi air yang tidak menguntungkan,
sementara di daerah terpensil beberapa terumbu Kujung terus tumbuh menjadi
Miosen Awal (Formasi Tuban).
Pembentukan Tuban Miosen baya Awal menandai perubahan dari sebagian
besar deposisi karbonat dari siklus Kujung untuk silisiklastika berbutir sebagian
besar baik disimpan selama fase regeresif utama. Sebuah Tuban rak tepi terletak
kira-kira di posisi hari ini pantai utara jawa. Untuk bagian utara tepi rak, urutan
interbedded dari serpih, batu oasir dan batu gamping yang diendapakan dalaim air
relatif dangkal sedangkan untuk pengendapan selatan terdiri tanah liat terutama
basinal dan silt. Selama Miosen Tengah Formasi Ngrayong, terdiri dari serpih
shelfal dengan batu pasir ringan dan batu lempung, diendapkan selama beberapa
8

terisolasi formasi Tuban buld up karbonat tersisa menandai akhir pertumbuhan


karang. Dalam air batu pasir turbidit juga disimpan secara lokal di seluruh daerah.
Sedimentasi klastik berlanjut selama Miosen Akhir dengan pengendapan batu
lempung air dalam dari Formasi Wonocolo, sebelum terjadi kompresi tektonik yang
meneybabkan mengangkat luas dan cekungan inversi pada akhir Miosen kali. Acara
tektonik ini menyebabkan serangkaian siklus sedimen regersif dan transgresif
seluruh Plio-Pleistosen sebagian besar dikuasai oleh munculnya busur vulkanik
selatan.

Gambar 2.2
Lokasi Cekungan Jawa Timur Bagian Utara
(PT Pertamina Asset 4)

2.3. Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Bagian Utara


Berdasarkan data dan literature yang diperoleh, terdapat 7 formasi utama
yang masuk kedalam lingkup daerah telitian, yaitu dari tua ke muda (Gambar 2.3.):
1. Formasi Ngimbang
Formasi ini berumur Eosen Tengah – Oligosen awal dan ditandai dengan
sedimen klastik yang terdiri dari perselingan batu pasir, serpih dan batu
9

gamping serta kadang-kadang dijumpai batu bara. Lingkungan


pengendapannya merupakan transisi laut dangkal diatasnya diendapkan
Formasi ujung secara tidak selaras.
2. Formasi Kujung
Formasi ini berumur Oligosen Akhir – Miosen awal dan terdiri dari dua
sub formasi, yaitu kranji dan prupuh. Dan formasi ini disusun oleh serpih,
batu gamping dan batu pasir serta pada beberapa daerah berkembang
terumbu karbonat. Lingkungan penegndapannya merupakan laut dangkal.
Diatasnya terendapkan secara selaras Formasi Tuban.
3. Formasi Tuban
Formasi ini berumur Miosen Awal dan disusun oleh batu lempung, serpih,
dan beberapa sisipan batu gamping. Lingkungan pengendapannya
merupakan laut dangkal – laut dalam. Di atasnya diendapkan Formasi
Ngrayong secara selaras.
4. Formasi Ngrayong
Formasi ini berumur Miosen Tengah dan disusun oleh batu pasir, serpih,
batu lempung, batu lanau, dan beberapa sisipan batu gamping.
Lingkungan pengendapannya merupakan teresterial – laut dangkal.
5. Formasi Wonocolo.
Formasi ini berumur Miosen Tengah Akhir dan disusun oleh Napal batu
lempung serta didapati sisipan batu gamping dan bagian bawah tersusun
oleh batu gamping pasiran. Lingkungan pengendapannya merupakan laut
dalam.
6. Formasi Kawengan
Formasi ini berumur Pliosen Awal-Akhir dan tersusun oleh beberapa sub
formasi seperti Karren, Ledok, Mundu, dan Klitik. Dan formasi ini
disusun oleh perselingan batu pasir dengan sisipan napal, batu gamping
pasiran, dan batu lempung. Lingkungan pengendapannya merupakan laut
dangkal-laut dalam.
7. Formasi Lidah Formasi ini berumur Pleistosen dan tersusun oleh batu
lempung hitam dan napal berlapis.
10

Gambar 2.3.
Stratigrafi dan Litologi Blok Jawa Timur Bagian Utara
(Harsono Pringgoprawiro, 1983)
11

2.4. Karakteristik Reservoir


Sumur – Sumur pada Lapangan “GP” ditajak pada batuan karbonat dari
Formasi Tuban, yang disusun oleh batu lempung, serpih, dan beberapa sisipan batu
gamping. Dari Gambar 2.4. dapat diketahui batuan penutup yang utama adalah
shale dan mudstone Formasi Ngrayong yang berada di atas maupun onlapping
Formasi Tuban, sehingga fluida dan gas terperangkap pada batuan karbonat di
Formasi Tuban.

Gambar 2.4.
Stratigrafi dan Litologi Blok Tuban
(Harsono Pringgoprawiro, 1983)
12

2.5. Petroleum System


Sebagian besar sistem minyak bumi pada cekungan Jawa Timur terbentuk
dari sistem graben, akibat tumbukan belakang busur (back arc). Batuan sumber
pada cekungan ini mengandung batuan yang kaya akan organik seperti shale
lacustrine dari Eocene hingga Oligocene Ngimbang dan Formasi Kujung. Adapun
ringkasan petroleum system lapangan “GP” dapat dilihat pada Gambar 2.3
Kualitas dari Source Rock Formasi Ngimbang pada daerah tinggian,
disebabkan oleh pengangkatan dan erosi yang terjadi secara merata pada masa
Oligocene awal. Formasi Ngimbang menunjukkan dua fasies batuan sumber utama
yaitu fluvial deltaic dan Lacustrine. Fasies Fluvial deltaic banyak didominasi
dengan carbonaceous shale dan batu bara dengan kerogen tipe 3 yang mampu
untuk menghasilkan minyak dan gas. Total Organic Content (TOC) pada formasi
ini berkisar antara 2 – 17 % pada shale dan 20-80 % pada batu bara. Sedangkan
indeks sebagian mencapai angka 100. Fasies lakustrin mempunyai nilai TOC
berkisar 2-4 % dengan indeks sebagian melebihi angka 400. Secara umum, batuan
sumber pada Formasi Ngimbang dapat dikatakan matang karena menghasilkan gas
pada kedalaman 7600 ftMD.
Pada Formasi Kujung, batuan lempung berasal dari penurunan struktur
secara regional pada lingkungan pengendapan marine yang terjadi pada masa
Oliogocene akhir sampai dengan Miocene awal. Walaupun Formasi Kujung terdiri
dari interbedded klastik dan karbonat, batuan sumber hanya dibatasi sampai
jangkauan klastik yang terdiri dari interbedded shale, siltstone dan batupasir dengan
campuran tipis dari limestone dan terkadang batubara yang diendapkan pada
intertidal ke dalam sebagian selama trangresi utama, hal ini mampu untuk
mencampur tipe-tipe kerogen.
Pada saat refleksi Vitrinite (Ro) paparan dangkal adalah 0,4 % atau kurang
dari lebar area, ini akan bertambah sampai 0,55 % sepanjang selatan platform dan
menjadi 0,8 – 0,9% (cukup matang) pada graben (pada sumur JS-20 di tengah
graben). Pada Formasi Kujung III yang terdiri dari shale dengan interbedded batu
kapur, menunjukkan potensi hidrokarbon sebesar 0,51 – 3,18 % TOC. TOC akan
lebih baik pada sekitaran cekungan dan sumur akan menyimpan pada kondisi
13

tereduksi. Kujung II terdiri dari interbedded shale dan batu kapur dengan batu bara
dengan kandungan TOC berkisar antara 0,3 – 1,4 % termasuk dalam kerogen tipe
3. Batuan sumber ini termasuk tipis dengan ketebalan kearah Selatan. Pada Formasi
Tuban, batuanlempung menunjukkan pengendapan laut batial yang diendapkan
selama Miocene awal sampai ke Miocene tengah.
Kemunculan hidrokarbon dapat ditemukan pada berbagai kedalaman, namun
dari data ekstrapolasi kematangan, menunjukkan bahwa keberadaan hidrokarbon di
daerah cekungan Selatan Jawa Timur dapat ditemukan pada kisaran kedalaman
7300 ftMD.

Gambar 2.5.
Elemen dari Petroleum System
(LBR Petroleum Five, 2011)

2.5.1 Batuan Reservoir dan Mekanisme Jebakan


Terdapat beberapa batuan sebagian utama yang ditemukan di cekungan
Jawa Timur, diantaranya batupasir pada Formasi Ngimbang, batupasir pada
Formasi Kujung III, batugamping pada Formasi Kujung I, batupasir pada Formasi
Ngrayong dan juga pasir stringer pada Formasi Wonocolo dan Formasi Lidah.
14

Dua orientasi cekungan utama kearah NE-SW dan E-W, dengan beberapa
tinggian dan rendahan yang mendominasi cekungan geologi. Masing-masing sub
basin mengandung sistem celah Paleogene yang diikuti oleh banyak cekungan
berikutnya dan menghasilkan struktur inversi. Pada umumnya, sebagian besar
cekungan dicirikan dengan pembalikan sub basin dengan batas lipatan utama
adalah sudut tinggian thrust fault. Inversi secara umum menggambarkan struktur
jebakan.
2.6. Sejarah Lapangan “GP”
Pada tanggal 29 Februari 1988 Trend International Ltd. Menandatangani
kontrak bagi hasil dengan Pertamina sehingga terbentuk JOB Pertamina – Trend
Tuban. Tanggal 31 Agustus 1993, perusahaan ini mengalami peralihan dari JOB
Pertamina – Trend Tuban menjadi JOB Pertamina – Santa Fe Tuban. Pada tanggal
2 Juli 2001, terjadi perubahan nama dari JOB Pertamina – Santa Fe Tuban menjadi
JOB Pertamina – Devon Tuban dan mulai tanggal 1 Juli 2002, JOB Pertamina –
Devon Tuban menjadi JOB Pertamina Petrochina East Java. Lalu pada tanggal 20
Mei 2018 JOB Pertamina Petrochina East Java mengalami peralihan kembali
menjadi Pertamina EP Asset 4 Lapangan “GP” hingga saat ini.
Lapangan “GP” memiliki 37 sumur yang diantaranya 22 sumur Produksi, 4
sumur Injeksi dan 11 sumur suspended. Dengan angka rata-rata produksi di tahun
2020 mencapai 8,688 bopd dan 12.35 MMscfd, lalu volume air yang diinjeksi
sebesar 63,279 bwpd. Sumur “DN” mulai diproduksikan pada tanggal 24 Agustus
2014 dengan laju produksi minyak awal sebesar 271 BOPD dan laju produksi air awal
sebesar 83 BWPD dengan laju produksi gas awal sebesar 190 MSCFD dan water cut
(WC) sebesar 23%. Tahun 2019 bulan Agustus dilakukan pekerjaan well service di
sumur ini, dengan hasil 322 BOPD, 1306 BWPD, WC 80% dimana sebelum dilakukan
pekerjaan well service ini sumur “DN” berproduksi 43 BOPD, 762 BWPD dan WC
95%. Pada tahun 2020 bulan September, laju produksi sumur “DN” sebesar 180 BOPD,
31000 BWPD dan WC 96%.
BAB III
TEORI DASAR SQUEEZE CEMENTING

3.1. Penyemenan
Pada umumnya operasi penyemenan bertujuan untuk melekatkan casing pada
dinding lubang sumur, melindungi casing dari masalah-masalah mekanis sewaktu
operasi pemboran, melindungi casing dari fluida formasi yang bersifat korosi dan
untuk memisahkan zona yang satu terhadap zona yang lain di belakang casing.
Menurut alasan dan tujuannya, penyemenan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
primary cementing dan secondary cementing. Pada penulisan kali ini yang dibahas
adalah pada secondary cementing yaitu berupa squeeze cementing.

3.2. Squeeze Cementing


Squeeze cementing merupakan salah satu jenis secondary cementing dimana
pengertian dari squeeze cementing itu sendiri adalah proses pengaplikasian tekanan
hidrolis untuk mendesak bubur semen untuk masuk ke celah kosong yang ada di
formasi.
Operasi ini biasanya dilakukan untuk memperbaiki kegagalan atau kerusakan
pada penyemenan pertama ataupun untuk tujuan-tujuan tertentu. Secara umum
kegunaan dari squeeze cementing adalah:
a) Memperbaiki primary cementing yang rekah atau semen yang tidak baik
ikatannya.
b) Menutup perforasi-perforasi yang tidak diinginkan atau yang sudah tidak
dipakai.
c) Mengontrol gas oil ratio (GOR) dan water oil ratio (WOR) yang tinggi dengan
jalan mengisolasi zona minyak dari formasi gas bearing dan atau water
bearingnya.
d) Menutup zona lost circulation atau zona dengan tekanan tinggi atau produksi
air/gas yang berlebihan.
e) Memperbaiki casing yang pecah atau bocor.

15
16

Pada tulisan ini operasi squeeze cementing dilakukan untuk memperbaiki


penyemenan primer yang yang ikatan semennya buruk.
Untuk menyelesaikan tujuan di atas hanya dibutuhkan volume bubur semen
yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan penyemenan primer, akan tetapi
bubur semen tersebut harus ditempatkan pada titik yang tepat pada sumur. Untuk
itu diperlukan perencanaan yang baik terutama perencanaan bubur semen dan
penentuan tekanan serta pemilihan metode yang digunakan untuk operasi ini.

3.2.1. Sifat-Sifat Semen Pemboran


Bubur semen yang dibuat harus mempunyai sifat-sifat yang dapat
disesuaikan dengan kondisi formasi yang akan disemen. Sifat-sifat bubur semen
yang dimaksud adalah:

3.2.1.1. Strength
Bubur semen setelah berada di tempat yang diinginkan harus mempunyai
kekuatan yang sesuai dengan kekuatan formasi yang disemen. Strength minimum
yang direkomendasikan oleh API untuk dapat melanjutkan operasi pemboran
adalah 6.7 Mpa (1000 psi), umumnya diambil patokan bila strength semen telah
mencapai 500 psi, maka strength semen sudah dianggap baik. Strength semen
meliputi compressive strength, yaitu kemampuan semen menahan tekanan dari arah
horizontal (tekanan dari formasi) dan shear bond strength, yaitu kemampuan semen
menahan tekanan dari arah vertikal (gaya tensile dari berat casing).
Dari segi teknis, strength semen diharuskan memenuhi persyaratan sebagai
berikut: (Rudi Rubiandini, 2012, 35)
1. Kuat menahan dan melindungi casing.
2. Dapat mengisolasi zona-zona permeable.
3. Mampu menahan guncangan pemboran dan tidak pecah karena perforasi.
4. Mampu menahan tekanan hidrolik yang tinggi tanpa terjadinya perekahan.
5. Dapat mencegah terjadinya kontak antara casing dengan fluida formasi yang
bersifat korosif.
Pada Tabel III-1 memperlihatkan compressive strength dari beberapa
klasifikasi kelas semen berdasarkan API.
17

Tabel III-1
Compressive Strength Semen Berdasarkan API
(Dwight K. Smith, 1990)
Curing Curing Minimum Compressive Strength (psi)
Schedule
Temp Pressure
Compressive Number A B C D E F G H
(°F) (psi)
Strength - 100 Atmos 250 200 300 - - - 300 300
Test, 8-hr
- 140 Atmos - - - - - - 1500 1500
Curing
Time 6S 230 3000 - - - 500 - - - -
8S 290 3000 - - - - 500 - - -
9S 320 3000 - - - - - 500 - -
- 100 Atmos 1800 1500 2000 - - - - -
Compressive 4S 170 3000 - - - 1000 1000 - - -
Strength 6S 230 3000 - - - 2000 - 1000 - -
Test, 24-hr
Curing 8S 290 3000 - - - - 2000 - - -
Time 9S 320 3000 - - - - - 1000 - -
10S 350 3000 - - - - - - - -

3.2.1.2. Water Cement Ratio


Water cement ratio adalah perbandingan antara volume air yang
dicampurkan dengan bubuk semen untuk memperoleh bubur semen dengan sifat-
sifat yang diharapkan. Air yang dicampurkan tidak boleh terlalu banyak atau
sedikit, karena akan memberikan ikatan semen yang tidak baik terhadap formasi.
Batasan yang diberikan dalam bentuk kadar air minimum dan kadar air maksimum.
Water cement ratio minimum adalah batas air minimum yang harus
ditambahkan ke dalam semen untuk membuat bubur semen dengan kekentalan 30
poise. Bila air yang ditambahkan kurang dari batas minimum, maka semen yang
terjadi akan terlalu kental dan pemompaan akan terlalu berat. Maka akan terjadi
gesekan (friksi) yang cukup besar di annulus sewaktu suspensi semen dipompakan
dan juga akan menaikkan tekanan di annulus. Bila formasi yang dilalui tidak tahan
terhadap tekanan yang besar maka formasi akan pecah.
Water cement ratio maksimum adalah batas air maksimum yang masih
boleh ditambahkan ke dalam semen tanpa menyebabkan terjadinya pemisahan air
bebas pada bubur semen. Apabila melebihi batas ini akan terjadi pengendapan pada
semen. Kadar air maksimum yang dicampurkan adalah kadar air yang digunakan
untuk membuat bubur semen 250 ml, yang didiamkan selama 2 jam dalam suhu
kamar tanpa terjadi pembebasan air melebihi 2.5 ml. Jika kadar air melebihi kadar
18

air maksimumnya maka akan terjadi kantong-kantong air dalam bubur semen dan
akan mengurangi kualitas semen. Pada Tabel III-2 memperlihatkan WCR menurut
API, dimana tiap kelas semen memiliki nilai (Water Cement Ratio) yang berbeda-
beda karena tiap kelas semen memiliki komposisi yang berbeda-beda pula.
Tabel III-2
Kandungan Air Normal dalam Suspensi Semen
(Erik B. Nelson, 1990)

3.2.1.3. Densitas
Densitas suspensi semen didefinisikan sebagai perbandingan jumlah berat
bubuk semen, air pencampur dan aditif terhadap jumlah volume bubuk semen, air
pencampur dan aditif. Pada umumnya densitas bubur semen dibuat lebih besar dari
densitas lumpur pemboran, karena kontaminasi bubur semen akan meningkat
dengan densitas yang relatif sama.
Densitas suspensi semen sangat berpengaruh terhadap tekanan hidrostatik
suspensi semen di dalam lubang sumur. Bila formasi tidak sanggup menahan
tekanan suspensi semen, maka akan menyebabkan formasi pecah sehingga terjadi
lost circulation. Besarnya densitas semen harus lebih besar dari tekanan formasi
dan harus lebih kecil dari tekanan rekah formasi, untuk menghindari terjadinya lost
circulation.
Densitas suspensi semen yang rendah biasanya sering digunakan dalam
operasi primary cementing dan remedial cementing, guna menghindari terjadinya
fracture pada formasi lemah. Densitas suspensi yang tinggi digunakan apabila
tekanan formasi cukup besar. Densitas bubur semen berkisar antara 10,8 – 22,0 ppg.
Densitas bubur semen dapat dirumuskan sebagai berikut: (Rudi Rubiandini, 2012, 28)
19

Gbk + Gw + Ga
Dbs = ............................................................................. (3-1)
Vbk + Vw + Va
Keterangan:
Dbs = Densitas bubur semen, ppg
Gbk = Berat bubuk semen, lb
Gw = Berat air, lb
Ga = Berat aditif, lb
Vbk = Volume bulk semen, gal
Vw = Volume air, gal
Va = Volume aditif, gal

3.2.1.4. Thickening Time


Thickening time adalah waktu yang diperlukan suspensi semen untuk
mencapai konsistensi sebesar 100 uc (unit of consistency). Konsistensi sebesar 100
uc merupakan batasan bagi suspensi semen masih dapat dipompakan lagi. Namun
pada umumnya yang digunakan adalah 70 uc. Besarnya thickening time yang
dipergunakan tergantung pada kedalaman penyemenan, volume bubur semen yang
dipompakan, serta jenis penyemenan. Perhitungan thickening time tersebut mulai
sejak pembuatan bubur semen sampai pemompaan bubur semen di belakang casing
ditambah harga safety factor.
Thickening time suspensi semen ini sangat penting, waktu pemompaan
harus lebih kecil dari thickening time. Bila tidak, akan menyebabkan suspensi
semen mengeras lebih dulu sebelum seluruh suspensi semen mencapai target yang
diinginkan. Bila suspensi semen mengeras di dalam casing, merupakan kejadian
yang sangat fatal yang akan menghambat dalam operasi pemboran selanjutnya.

3.2.1.5. Plastic Viscosity dan Yield Point


Plastic Viscosity seringkali digambarkan sebagai bagian dari resistansi
untuk mengalir yang disebabkan oleh friksi mekanik, sedangkan yield point adalah
bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik-menarik antar partikel. Gaya
tarik-menarik ini disebabkan oleh muatan-muatan pada permukaan partikel yang
didispersikan fasa fluida.
20

3.2.1.6. Filtration Loss


Komponen bubur semen terdiri dari padatan dan cairan. Cairan dari bubur
semen dapat masuk ke dalam formasi permeable yang dilaluinya, peristiwa tersebut
dinamakan filtration loss. Cairan atau umumnya air yang masuk ini disebut filtrat.
Filtrat ini tidak boleh terlalu banyak karena akan membuat bubur semen
kekurangan air, hal ini yang disebut flash set.
Jika filtration loss terlalu besar, menyebabkan semen menjadi semakin
viskos dan kepadatannya meningkat sehingga pressure drop akibat dari friksi
mekanik semakin besar. Apabila hal ini terjadi maka formasi akan rekah jika tidak
mampu menahannya.
Pada squeeze cementing, filtration loss yang diizinkan sebesar 55 – 65 cc
selama 30 menit. (Rudi Rubiandini, 2012, 31)
Pada umumnya standard API untuk filtration loss adalah:
1. Extremely Low-Permeability Formation: 200 ml/30min
2. Low-Permeability Formation: 100 to 200 ml/30 min
3. High-Permeability Formation (>100 md): 35 to 100 ml/30 min
Jika pada zona permeable terdapat gas zone, hal ini dapat menyebabkan
terjadinya gas migration. Pada masalah ini, bubur semen harus dapat menghasilkan
filtration loss sekitar 20-40 ml/30 menit.
Pada bubur semen dengan densitas tinggi, penurunan kadar air kritis dapat
mengganggu saat penempatan bubur semen, khususnya pada pemompaan bubur
semen dengan tekanan rendah. Oleh karena itu, API filtration loss harus sangat
rendah. Filtration loss yang dihasilkan oleh suatu bubur semen harus memenuhi
standar API, namun bila semakin kecil besarnya filtration loss semakin baik.

3.2.1.7. Permeabilitas Semen


Dalam hasil penyemenan diharapkan permeabilitas tidak ada atau sekecil
mungkin, karena bila permeabilitas semen besar akan menyebabkan terjadinya
kontak fluida antara formasi dengan annulus sehingga strength semen akan
berkurang dan masuknya fluida formasi yang korosif. Akibatnya fungsi utama
semen untuk menyekat dan mengisolasi casing dengan formasi menjadi tidak
21

terpenuhi dan diperlukan pekerjaan tambahan untuk memperbaiki penyemenan


tersebut.
Harga permeabilitas maksimum yang direkomendasikan oleh API adalah
tidak lebih dari 0,1 mD. Permeabilitas semen erat kaitannya dengan kekuatan
semen. Harga permeabilitas yang kecil akan menyebabkan harga strength yang
besar begitu juga sebaliknya.

3.2.1.8. Sulfate Resistances


Batuan formasi yang mengandung cairan-cairan seperti Na2SO4, MgSO4
dan MgCl2 ada kalanya dapat merusak semen, karena semen akan lunak bila terkena
cairan tersebut di atas dan akibatnya semen tidak berfungsi dalam menahan cairan
formasi menuju casing, sehingga casing akan berkarat. Untuk menghindari
pelunakan semen, maka dipilih semen yang tahan terhadap cairan yang disebutkan
di atas.
Cairan garam sulfat atau MgCl2 tidak melunakkan semen untuk temperatur
tinggi, jadi pelunakan semen sangat kritis untuk formasi dangkal. Melunaknya
semen dikarenakan cairan garam di atas bereaksi dengan limestone dan senyawa
alumina, oleh sebab itu tricalcium aluminate di dalam semen tidak boleh lebih dari
3 %.(Carl Gatlin, 1960, 276)

3.2.1.9. Waiting on Cement


Waiting on cement atau waktu menunggu pengerasan suspensi semen adalah
waktu yang diperlukan semen untuk mencapai tingkat compressive strength
tertentu. WOC ditentukan oleh faktor-faktor seperti tekanan dan temperatur sumur,
WCR, compressive strength dan aditif-aditif yang ditambahkan ke dalam suspensi
semen (seperti accelerator atau retarder), pada umumnya diambil angka 24
jam.(Rudi Rubiandini, 2012, 34)

3.2.2. Aditif Semen


Aditif digunakan sebagai zat tambahan dalam campuran semen pemboran
untuk memberikan variasi yang lebih luas terhadap sifat-sifat bubur semen untuk
memenuhi kebutuhan berbagai macam kondisi sumur, seperti menaikkan atau
22

menurunkan berat jenis semen, menaikkan volume semen untuk mengurangi biaya,
mempercepat atau memperlambat waktu pengerasan semen, menaikkan kekuatan
semen, mencegah lost circulation dan menaikkan atau menambah sifat tahan lama
(durability). Pada Tabel III-3 memperlihatkan pengaruh aditif pada suspensi
semen, aditif yang ditambahkan dalam semen pemboran yaitu: (Dwight K. Smith, 1976, 16)

Tabel III-3
Pengaruh Aditif pada Suspensi Semen
(Nelson E.B, 1990)
23

3.2.2.1. Accelerator
Accelerator berfungsi untuk mempercepat waktu pengerasan bubur semen
dan dapat digunakan untuk mempercepat naiknya strength semen serta
mengimbangi aditif lain agar tidak tertunda proses pengerasannya. Sumur-sumur
dangkal sering menggunakan accelerator karena jarak target yang tidak terlalu
panjang, juga tekanan dan temperatur yang rendah sehingga pengerasan perlu
dipercepat. Aditif yang termasuk dalam kelompok accelerator adalah kalsium
klorida, sodium klorida, gypsum, sodium silikat dan air laut.

3.2.2.2. Retarder
Retarder digunakan untuk memperlambat waktu pengerasan bubur semen
sehingga bubur semen memiliki waktu yang cukup mencapai target kedalaman
yang diinginkan. Dengan cara memperpanjang waktu pemompaan (pumpability
dan thickening time). Retarder umumnya digunakan pada sumur-sumur dalam,
sumur bertemperatur tinggi, atau untuk kolom penyemenan yang panjang. Sumur-
sumur dalam dengan temperatur tinggi mempercepat proses pengerasan bubur
semen karena mempercepat reaksi kimia antara semen dan air. Untuk pemakaian
retarder maka perlu ditambahkan aditif penghisap air karena adanya air berlebihan
akibat penggunaan retarder tersebut. Aditif yang termasuk retarder adalah
lignosulfonate, senyawa-senyawa asam organik dan CMHEC (carboxy matyl
hydroxil ethyl cellulose).

3.2.2.3. Extender
Extender berfungsi untuk menaikkan volume bubur semen dengan cara
mengurangi densitasnya. Pada umumnya penambahan extender diikuti dengan
penambahan air karena sifatnya additifnya yang mengikat banyak air. Aditif yang
termasuk extender adalah bentonite, attapulgite, sodium silikat, pozzolan, perlite,
dan gilsonite.

3.2.2.4. Antifoam Agents


Adanya foam dalam suspensi semen sering menyebabkan hilangnya tekanan
pemompaan, maka untuk mencegahnya ditambahkan antifoam agents.
24

Polypropylene glycol adalah contoh antifoam agents yang sering digunakan karena
selain efektif juga harganya murah.

3.2.2.5. Weighting Agents


Weighting agents adalah aditif yang digunakan untuk menaikkan densitas
bubur semen. Digunakan pada proses penyemenan untuk sumur-sumur yang
bertekanan tinggi, untuk mencegah terjadinya blow out. Contoh dari weighting
agents adalah hematite, ilmenite, barite dan pasir.

3.2.2.6. Dispersant
Dispersant atau friction reducer digunakan untuk mengurangi viskositas
bubur semen. Pengurangan viskositas atau friksi terjadi karena dipersant berfungsi
sebagai pengencer (thinner). Hal ini menyebabkan bubur semen menjadi encer
sehingga bubur semen dapat mengalir secara turbulen meski dipompakan dengan
rate pemompaan yang rendah. Contoh dari dispersant adalah senyawa-senyawa
sulfonat, polymer, sodium chlorite dan calcium lignosulfonate.

3.2.2.7. Fluid Loss Control Agents


Fluid loss control agents berfungsi untuk mencegah hilangnya fasa cair
semen ke dalam formasi sehingga kandungan air pada bubur semen tetap terjaga.
Contoh-contoh dari aditifnya adalah polymer, CMHEC, latex.

3.2.2.8. Lost Circulation Agents


Lost circulation agents berfungsi untuk mengontrol hilangnya bubur semen
ke dalam formasi yang lemah atau formasi bergua (caving). Umumnya lost
circulation material juga digunakan dalam lumpur pemboran, tetapi terkadang
material tersebut dapat dicampur juga ke dalam semen. Material-material yang
termasuk lost circulation agents adalah gilsonite, perlite, walnut, shells, coal,
cellophaneflakes, dan nylonfibers.

3.2.2.9. Special Additive


Ada beberapa jenis aditif lain yang dikelompokkan sebagai speciality aditif,
diantaranya : silica, mud kill, radioactive tracers, gas block aditif dan lainnya.
25

1. Silica
Silica digunakan pada sumur bertemperatur tinggi, silica berfungsi menjaga
strength semen agar tetap stabil pada temperatur tinggi dan menurunkan
harga permeabilitas dari semen.
2. Mud Kill
Mud kill berfungsi sebagai aditif yang menetralisir bubur semen terhadap
zat-zat kimia dalam lumpur pemboran. Contoh mud kill adalah
paraformaldehyde. Mud kill juga memberi keuntungan, seperti memperkuat
ikatan semen dan memperbesar strength semen.
3. Radiactive Tracers
Radioactive tracers ditambahkan ke dalam suspensi semen supaya
memudahkan operasi logging dan menentukan posisi semen serta untuk
mengetahui kualitas ikatan semen.
4. Gas Block Aditif
Adalah air suspensi silica dengan partikel yang kecil, ukuran rata-rata 0,8-
micron secara efektif mengurangi permabilitas internal semen dengan cara
memblok matrik slurry baik secara kimiawi maupun fisika.

3.3. Teknik Squeeze Cementing


Dalam operasi squeeze cementing, pemompaan bubur semen dilakukan
melalui lubang perforasi pada casing. Secara mendasar, ada dua macam klasifikasi
pekerjaan squeeze cementing yang diterapkan, yaitu: (Dwight K. Smith, 1976, 13)
1. Low-pressure squeeze: Tekanan yang diterapkan pada saat melakukan
squeeze tidak lebih besar dari tekanan rekah formasi, sehingga tidak
menyebabkan formasi rekah.
2. High-pressure squeeze: Tekanan squeeze yang diterapkan melebihi tekanan
rekah formasi, sehingga menyebabkan formasi rekah.
Dari dua klasifikasi diatas, kemudian dibagi lagi menjadi dua metode dasar
(metode Bradenhead dan metode Squeeze Packer) dan dua jenis metode
pemompaan (metode Running Squeeze dan metode Hesitation Squeeze). Adapun
penjelasan tentang teknik squeeze cementing adalah sebagai berikut:
26

3.3.1. Low Pressure Squeeze Cementing


Teknik squeeze cementing ini menggunakan tekanan rendah yang mana
yang dimaksud rendah disini adalah dibawah tekanan rekah formasi, sehingga saat
pekerjaan squeeze dilakukan tidak menyebabkan formasi menjadi rekah. Tujuan
dari teknik ini adalah untuk mengisi lubang perforasi dan celah celah yang ada
dengan semen yang didehidrasi. Pada teknik ini volume yang digunakan relatif
lebih rendah jika dibandingkan dengan teknik high pressure squeeze cementing
karena sebenarnya tidak ada bubur semen yang dipompakan secara langsung ke
dalam formasi. Dalam teknik tekanan rendah ini, tekanan hidrostatis yang terbentuk
didalam sumur dijaga jangan sampai melebihi tekanan rekah formasi agar tidak
menyebabkan formasi pecah (Gambar 3.1.). Pada low pressure squeeze harus
dipakai semen dengan fluid loss yang rendah (50 – 100 cc/30 menit API fluid loss).

Gambar 3.1. Low Pressure Squeeze


(Dwight K. Smith, 1990)
27

3.3.2. High Pressure Squeeze cementing


Pada beberapa kasus, menggunakan teknik low pressure squeeze tidak dapat
mencapai tujuan dilakukannya suatu pekerjaan squeeze cementing. Misalnya pada
kasus terdapatnya channeling dibelakang casing yang tidak terhubung langsung
dengan lubang perforasi, oleh karena itu channel ini perlu diperbesar supaya dapat
diisi oleh bubur semen. Secara garis besar, pada high pressure squeeze cementing
ini, formasi direkahkan dulu untuk menempatkan bubur semen. Jadi teknik ini
mencakup perekahan formasi dan pemompaan bubur semen dengan tekanan tinggi
tanpa kebocoran. Besar kecilnya rekahan yang terbentuk dipengaruhi oleh rate
pompa yang digunakan.

Gambar 3.2. High Pressure Squeeze


(Dwight K. Smith, 1990)
28

Gambar 3.3. Rekahan Vertikal yang Disebabkan High Pressure Squeeze


(Nelson E.B, 1990)

3.3.3. Metode Penempatan Bubur Semen


Dalam penempatan bubur semen ke dalam lubang bor dari permukaan
diperlukan pemilihan metode yang sesuai dengan peralatan yang ada di lapangan.
Ada dua metode penempatan yang digunakan dalam operasi squeeze cementing,
yaitu: Metode Bradenhead dan Metode Squeeze Packer.

3.3.4.3. Metode Bradenhead


Metode ini merupakan metode yang paling asli dalam pekerjaan squeeze
cementing. Bradenhead umumnya digunakan pada saat menerapkan low pressure
squeeze cementing dan kapasitas casing mampu menahan tekanan squeeze yang
diberikan. Metode ini dilakukan hanya menggunakan rangkaian tubing atau drill
pipe untuk mengalirkan semen dan tanpa menggunakan packer.
29

Pada Gambar 3.4., memperlihatkan metode bradenhead squeeze


cementing. Bubur semen dipompakan melalui tubing atau drill pipe kemudian
keluar ke annulus antara tubing atau drill pipe dengan casing. Perkiraan ketinggian
bubur semen di dalam sumur berdasarkan volume bubur semen yang dipompakan,
kapasitas annulus antara tubing dengan casing, dan kapasitas tubing. Rangkaian
tubing atau drill pipe kemudian dicabut sampai kira-kira 25 ft di atas permukaan
top semen.

Gambar 3.4. Metode Bradenhead


(Nelson E.B, 1990)

Tekanan dibentuk dengan menutup pipe ram pada blow out preventer dan
casing valve. Dalam hal ini tekanan squeeze di permukaan akan diderita oleh
seluruh rangkaian casing dan karenanya dinamakan bradenhead. Pemompaan
fluida displacement yang biasanya berupa air maupun lumpur dilakukan dengan
cara memompakan ke dalam tubing atau drill pipe sampai tekanan squeeze
maksimum telah tercapai atau volume yang diinginkan telah tercapai, tergantung
mana yang tercapai terlebih dahulu.
30

3.3.4.4. Metode Squeeze Packer


Metode ini dalam operasinya selalu menggunakan packer yang diturunkan
dengan tubing ke suatu posisi di dekat zona yang akan dilakukan pekerjaan squeeze
cementing. Pada metode ini, ada dua jenis packer yang dapat digunakan, yaitu :
1. Retrievable Packer : merupakan jenis packer yang dapat dipasang dan
dilepas sesuai dengan kubutuhan (fleksibel).
2. Drillable Packer : jenis packer yang hanya sekali digunakan, namun bersifat
drillable (dapat dibor) setelah pekerjaan squeeze cementing selesai
dilakukan atau pada saat DOC (Drilling Out Cement).
Pada Gambar 3.5. menunjukkan langkah – langkah yang dilakukan pada saat
pekerjaan squeeze cementing dengan menggunakan metode Squeeze Packer.

Gambar 3.5. Metode Squeeze Packer


(Dwight K. Smith, 1990)

Teknik ini pada umumnya lebih baik dibandingkan metode bradenhead


karena metode ini dapat menfokuskan tekanan ke titik tertentu dalam lubang bor.
Sebelum semen ditempatkan, terlebih dahulu dilakukan test tekanan untuk
31

menentukan tekanan rekah formasi. Dalam hal tertentu, di bagian bawah set
perforasi yang hendak dilakukan squeeze harus dipisahkan dengan alat yang disebut
bridge plug.
Apabila tekanan squeeze yang diinginkan telah tercapai maka bubur semen
yang masih tertinggal di dalam tubing atau di dalam casing dikeluarkan kembali.
Penentuan penggunaan teknik tekanan tinggi atau rendah tergantung dari tujuan
pekerjaan squeeze cementing yang dilakukan dan kondisi dari interval zona yang
akan dilakukan pekerjaan squeeze cementing.
Keterbatasan dari metode ini adalah pencabutan packer dapat mengganggu
bubur semen yang sedang membentuk atau mengeras. Sedang kelebihannya
dibandingkan metode bradenhead adalah dapat digunakan teknik tekanan tinggi,
packer dapat memisahkan zona yang akan dilakukan squeeze, seluruh operasi dapat
dikontrol dengan baik, penempatan bubur lebih efisien, kemungkinan pengeluaran
kembali bubur semen dapat diperkecil.

3.3.4. Metode Pemompaan


Besarnya tekanan akhir dari squeeze (final squeeze pressure) dapat
digunakan sebagai indikasi keberhasilan dari pekerjaan squeeze. Tekanan akhir dari
squeeze sangat dipengaruhi oleh metode pemompaan bubur semen. Ada dua metode
pemompaan yang digunakan dalam operasi squeeze cementing, yaitu: Metode
Running Squeeze Pumping dan Metode Hesitation Squeeze Pumping. (Erick B. Nelson,
1990, 13-9)

3.3.4.1. Metode Running Squeeze Pumping


Pada metode ini, bubur semen (cement slurry) dipompakan secara kontinyu
atau terus-menerus hingga tekanan akhir squeeze yang ditentukan telah tercapai.
Setelah pemompaan cement slurry berhenti, tekanan pada zona yang di squeeze
diawasi dan jika terjadi penurunan tekanan akibat adanya peningkatan proses
filtrasi pada permukaan semen/formasi, maka slurry akan dipompakan lagi untuk
menjaga tekanan squeeze tersebut. Tekanan squeeze telah tercapai jika tidak adanya
perubahan tekanan tanpa adanya penambahan volume slurry selama beberapa
32

menit. Oleh karena itu, pada metode ini dibutuhkan jumlah bubur semen yang
cukup banyak.

3.3.4.2. Metode Hesitation Squeeze Pumping


Metode Hesitation adalah dengan metode pemompaan bubur semen secara
bertahap untuk membentuk filter cake. Pada umumnya tekanan yang digunakan
adalah tekanan rendah. Tekanan squeeze akhir didapat setelah tidak terjadi
perubahan tekanan atau tekanan konstan selama waktu pemompaan. Laju
pemompaan yang digunakan berkisar dari ¼ hingga ½ bbl/min. dipisahkan oleh
interval 10 hingga 20 menit untuk tekanan leak off karena adanya flitration loss.

Gambar 3.6. Tipe Tekanan Teknik Hesitation Squeeze Pumping


(Nelson E.B, 1990)
33

3.4. Perencanaan Pekerjaan Squeeze cementing


Perencanaan pekerjaan squeeze cementing melibatkan beberapa faktor yaitu
fluida dalam sumur, desain bubur semen, volume bubur semen, strength, waktu
pemompaan dan peralatan squeeze.

3.4.1. Fluida Dalam Sumur


Fluida dalam sumur, baik berupa air maupun lumpur yang digunakan pada
waktu pekerjaan perbaikan disebut workover fluid. Saltwater atau fresh water
merupakan fluida yang digunakan untuk pekerjaan workover yang salah satunya
meliputi pekerjaan squeeze cementing bila kondisi sumur memungkinkan dan bila
mana tidak ada masalah yang serius, baik menggunakan teknik tekanan tinggi
maupun teknik tekanan rendah.

3.4.2. Desain Bubur Semen


Dalam mendesain bubur semen untuk pekerjaan squeeze cementing ada
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan:

3.4.2.1. Suhu dan Tekanan


Dalam pelaksanaan pekerjaan squeeze cementing, pengaruh suhu dan
tekanan harus diperhatikan seperti halnya dalam pekerjaan primary cementing.
Sebab suhu dan tekanan akan mempengaruhi terhadap penempatan dan thickening
time daripada bubur semen. Tekanan squeeze juga akan mempengaruhi dehidrasi
bubur semen. Suhu yang dijumpai pada saat pekerjaan squeeze cementing dapat
lebih tinggi dibanding suhu dalam pekerjaan primary cementing, karena pada
operasi squeeze cementing biasanya sumur belum dilakukan sirkulasi dengan air
atau lumpur yang menyebabkan terjadinya penurunan suhu dasar sumur. Pada
Tabel III-4, memperlihatkan waktu dimana bubur semen pertama kali mencapai
kondisi dasar sumur pada pekerjaan squeeze cementing dan suhu statik versus suhu
sirkulasi pada kedalaman yang berbeda-beda sesuai dengan API testing. *Harga
yang ditengah ini menunjukan waktu dalam menit untuk sak semen pertama
mencapai kondisi dasar sumur.
34

Tabel III-4
Kondisi Sirkulasi Dasar Sumur Selama Squeeze dan Primary Cementing
(Dwight K. Smith, 1990)
Kedalaman Suhu Statistik Suhu Sirkulasi Dasar Sumur ˚F
Ft Dasar Sumur ˚F Casing Squeeze Liner
91 98 91
2000 110
(9)* (4)* (4)*
113 136 113
6000 170
(20)* (10)* (10)*
25 159 125
8000 200
(28)* (15)* (15)*
172 213 172
12000 260
(44)* (24)* (24)*
248 271 248
16000 320
(60)* (34)* (34)*
340
20000 380
(75)*

Untuk perbandingan thickening time dari bubur semen yang digunakan


untuk pekerjaan primary cementing dengan pekerjaan squeeze cementing dapat
dilihat pada Tabel III-5 dibawah ini:
*Semua test berdasarkan kedalaman 8000 ft, suhu casing cementing 125˚F, jenis
semen API kelas H dan perbandingan air semen 4,3 gal/sak.
Pada pekerjaan squeeze cementing yang dilakukan pada sumur-sumur
dengan kedalaman yang dangkal, bubur semen juga harus didesain dengan waktu
pemompaan yang lebih cepat. Tetapi squeeze dengan teknik tekanan rendah disertai
metode hesitasi akan membutuhkan waktu pemompaan sekita 4 sampai 6 jam, perlu
diketahui bahwa bubur semen harus tetap dalam keadaan cair dalam waktu yang
cukup lama.
35

Tabel III-5
Thickening Time Semen pada Primary Cementing vs Squeeze Cementing
(Dwight K. Smith, 1990)
Thickening Time, Jam: Menit
Fluid-Loss Agent (%)
Primary Cementing Squeeze cementing

0,0 2:16 1:15


0,4 4:00 2:16
0,6 5:32 4:15
0,8 6:15 4:58

Jadi tidak hanya untuk ditempatkan dengan tepat tetapi juga untuk mencapai
tekanan squeeze yang ditentukan. Mencapai interval kedalaman yang ditentukan
dan pengeluaran bubur semen yang berlebihan.
3.4.2.2. Jenis Semen
Sebagian besar semen API kelas A, G, dan H digunakan dalam operasi
squeeze cementing. Semen kelas A digunakan untuk kondisi sumur sampai
kedalaman 6000 ft, semen kelas G dan H digunakan untuk kondisi sumur sampai
kedalaman 8000 ft dan suhu statik dasar lubang (BHST) tidak melebihi 170o F.

3.4.2.3. Pengendalian Filtrasi


Filtrasi sangat penting dalam pendesainan semen untuk pekerjaan squeeze
cementing. Bila semen didesak masuk terhadap media yang permeable maka
perbedaan tekanan akan memaksa air dari solid semen membentuk filter cake. Cake
ini bersifat lunak dan dapat dikeluarkan dengan jetting tetapi cake ini tidak dapat
dipompakan. Ketebalan filter cake tergantung pada permeabilitas cake tersebut atau
permeabilitas formasi, sifat fluid loss bubur semen, perbedaan tekanan dan waktu
lama perbedaan tekanan tersebut dapat dipertahankan. Fluid loss yang tinggi akan
menyebabkan cepatnya proses dehidrasi sehingga filter cake semen akan terbentuk
dan menutup bagian atas perforasi sebelum filtrat masuk ke dalam perforasi yang
lebih bawah. Fluid loss yang terlalu rendah menyebabkan pembentukan filter cake
yang menjadi terlalu lama.
36

API filter loss dari semen dasar berkisar antara 600 sampai 2500 cc dalam
30 menit tetapi kenyataan dehidrasi terjadi demikian cepat sehingga sukar untuk
mengukurnya. Filter loss dapat diperkercil sampai antara 25 hingga 100 cc dalam
30 menit, yaitu dengan denga cara menambah bentonite dan menyebar agent-agent
atau polymer-polymer.

Gambar 3.7. Pembentukan Node oleh Beberapa Water Loss yang Berbeda
(Erik B. Nelson, 1990)

3.4.2.4. Volume Bubur Semen


Volume optimum bubur semen adalah jumlah minimum yang diperlukan
untuk menutup perforasi atau channel. Kualitas bubur semen yang digunakan dalam
operasi secondary cementing atau squeeze cementing dapat berkisar dari beberapa
sak sampai ratusan sak. Ada aturan mutlak yang dapat dijadikan acuan dalam
menentukan volume bubur semen, yaitu volume bubur semen tidak boleh melebihi
kapasitas dari rangkaian tubing yang diturunkan.
37

3.4.3. Tekanan Squeeze


Penentuan tekanan akhir dalam squeeze cementing sangat penting karena
tekanan akhir akan menentukan selesai tidaknya dan tingkat keberhasilan dari suatu
pekerjaan squeeze cementing. Penggunaan tekanan squeeze yang tinggi sebenarnya
kurang memberikan efek yang berarti, sebab penambahan tekanan hanya akan
mengakibatkan terjadinya keretakan formasi apabila tekanannya melampaui
tekanan breakdown formasi. Apabila dalam suatu pekerjaan squeeze cementing
digunakan semen dengan fluid loss yang terlalu tinggi, maka semen akan cepat
terdehidrasi di dalam casing sehingga tekanan yang diberikan dari permukaan
sebenarnya diderita oleh casing itu sendiri dan sedikit atau tidak sama sekali
diderita oleh semen yang berada di dalam lubang perforasi. Apabila digunakan
semen dengan fluid loss terlalu rendah, maka adanya perbedaan tekanan wellbore
(lebih tinggi) dengan tekanan formasi akan menyebabkan filter cake semen
terdeposit di lubang perforasi. Perlu diketahui filter cake biasanya mampu menahan
tekanan sebesar tekanan yang dapat ditahan oleh casing.
Ketidakberhasilan squeeze cementing umumnya terjadi sebagai akibat
tersumbatnya lubang perforasi oleh lumpur. Jika squeeze cementing berhasil dan
tekanan yang digunakan cukup tinggi, maka ada kecenderungan untuk mengatur
tekanan itu sesuai dengan tekanan akhir minimal yang dikehendaki di daerah itu.
Namun demikian, suatu pekerjaan squeeze cementing yang sukses sering dicapai
dengan menggunakan teknik tekanan squeeze rendah.
3.4.4. Waktu Pemompaan
Waktu pemompaan yang cukup adalah waktu yang dikehendaki agar sisa
semen dapat dikeluarkan dari sumur. Penentuan waktu pemompaan lebih dari 1.5
jam cenderung memboroskan biaya pemboran apabila waktu tersebut hanya
digunakan untuk mendapatkan strength semen yang cepat terbentuk.

3.4.5. Compressive Strength


Compressive strength atau yang dikenal dengan kekuatan semen
menunjukan besarnya gaya yang dapat ditahan oleh ikatan dari semen. Gaya-gaya
38

yang bekerja pada ikatan semen tersebut terdiri dari gaya horizontal dan gaya
vertikal.
Kekuatan semen akan terbentuk ketika semen mulai terhidrasi dan kekuatan
semen tersebut terus meningkat untuk beberapa waktu, kemudian kekuatan ini akan
konstan. Peningkatan tekanan dan suhu akan menurunkan strength semen.
Penurunan kekuatan semen ini juga tergantung dari komposisi semen itu sendiri,
maka kebutuhan compressive strength antara 1000-2500 psi untuk suatu operasi
squeeze cementing seringkali dikatakan sebagai kebutuhan yang tepat. Semen yang
terbentuk didalam lubang perforasi berfungsi sebagai check valve dari kedua arah
dan mempunyai compressive strength yang tinggi. Perlu tahu bahwa filter cake
lumpur dengan sedikit atau tanpa compressive strength telah terbukti mempunyai
kekuatan menahan tekanan 2000 psi. Pengalaman dari beberapa pekerjaan squeeze
cementing, compressive strength diharapkan tidak terlalu besar ataupun kecil
karena akan mempengaruhi proses perforasi, jika terlalu besar maka pada saat
perforasi semen akan remuk/crack dan akan mempengaruhi batas antara minyak-
air atau antara minyak-gas.

3.4.6. Injectivity Test


Sebelum pencampuran dan pemompaan bubur semen, suatu injectivity test
harus dilakukan terlebih dahulu. Prosedur ini terdiri dari pemompaan suatu fluida,
khususnya air tawar atau mud flush ke dalam sumur. Dengan data ini akan diketahui
besarnya injectivity pressure dan volumenya, sehingga akan mempermudah dalam
mendesain bubur semen yang diperlukan dan teknik penempatannya. Injectivity test
ini dilakukan untuk beberapa alasan, yaitu:
• Untuk memastikan bahwa perforasi terbuka dan siap menerima fluida.
• Untuk memperoleh perkiraan injection rate bubur semen dengan tepat.
• Untuk memperkirakan tekanan saat pekerjaan squeeze akan dilakukan.
• Untuk memperkirakan jumlah dari bubur semen yang akan digunakan.
3.4.7. Peralatan Penyemenan
Peralatan dalam pekerjaan squeeze cementing dibagi menjadi dua bagian
umum, yaitu peralatan di permukaan dan peralatan di bawah permukaan.
39

3.4.7.1. Peralatan Di Atas Permukaan


Peralatan squeeze cementing di permukaan hampir sama dengan peralatan
yang digunakan untuk primary cementing. Peralatan di permukaan yang diperlukan
antara lain:
1. Cementing Unit
Cementing unit adalah suatu unit pompa yang mempunyai fungsi untuk
memompakan bubur semen dan lumpur pendorong dalam proses penyemenan.
Cementing unit terdiri dari:
a. Pump Skid
Pump skid merupakan pompa yang berfungsi untuk memompakan bubur
semen dan lumpur pendorong (Displacement Fluid). Selain itu pompa ini juga
digunakan untuk menekan bubur semen agar masuk ke dalam formasi melalui
lubang perforasi. Tekanan yang digunakan untuk memasukkan bubur semen
tersebut disebut tekanan squeeze.
b. Jet Mixer
Jet mixer berfungsi untuk mengaduk semen kering dan air yang ditempatkan
bersama-sama dalam mixing hopper, sehingga akan menghasilkan bubur
semen yang benar-benar bersifat homogen dan tercampur secara merata.
c. Mixing Hopper
Mixing tub atau mixing hopper adalah suatu alat yang dapat berfungsi sebagai
tempat untuk menampung bubur semen yang telah dihasilkan dari alat
sebelumnya yaitu jet mixer, bubur semen yang tertampung selanjutnya dihisap
oleh pump skid untuk selanjutnya diteruskan ke dalam sumur.
d. Bulk Cement
Bulk cement adalah suatu alat yang berfungsi untuk menyimpan atau
menampung semen kering. Semen kering umumnya adalah semen portland
kelas G sebagai semen dasar. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kelembapan
pada portland semen atau semen mengeras.
Untuk Cementing Unit dapat dilihat pada Gambar 3.8. di bawah ini:
40

Gambar 3.8. Cementing Unit


(Nelson E.B, 1990)

2. Flow Line
Flow Line Merupakan rangkaian pipa yang berfungsi untuk mengalirkan bubur
semen atau sebagai media untuk mengalirkan fluida pendorong dari cementing
unit ke cementing head.
41

3. Cementing Head
Cementing Head berfungsi untuk mengatur aliran bubur semen yang masuk ke
dalam sumur. Untuk pekerjaan squeeze cementing tidak diperlukan cementing
head tipe Mac Clatchie atau Plug Container tetapi hanya diperlukan Gate Valve
saja.

3.4.7.2. Peralatan Di Bawah Permukaan


Peralatan-peralatan di bawah permukaan pada pekerjaan squeeze cementing
tidak sama dengan pekerjaan primary cementing. Peralatan-peralatan yang berbeda
tersebut berupa packer yang disebut squeeze packer. Squeeze packer terdiri dari 3
jenis, yaitu Drillable Squeeze Packer (Cement Retainer), Retrievable Squeeze
Packer, Stinger

1. Drillable Squeeze Packer (Cement Retainer)


Drillable squeeze packer atau yang biasa dikenal sebagai cemen retainer adalah
suatu packer yang dirancang untuk dapat dibor kembali, karena jika packer ini
sudah ditempatkan secara tetap, packer ini tidak dapat dipindahkan posisinya
kembali. Untuk penempatan packer ini kedalam lubang bor dapat dilakukan
menggunakan tubing maupun wireline. Jenis packer ini umumnya lebih sering
digunakan dibandingkan jenis retrievable packer karena dapat mencegah aliran
balik dari semen dan memisahkan treated area dari tekanan pada saat melakukan
sirkulasi balik excess cement melalui tubing. Drillable squeeze packer dapat
dilihat pada Gambar 3.9. di halaman berikutnya :

2. Retrievable Squeeze Packer


Retrievable Squeeze Packer adalah suatu packer yang dirancang untuk dapat
dinaik-turunkan penempatannya dan dapat dicabut kembali.
42

Gambar 3.9. Drillable Squeeze Packer


(Nelson E.B, 1990)

Jadi packer ini dapat diatur penempatannya berkali-kali sesuai dengan


kebutuhan suatu pekerjaan penyemenan. Mempunyai suatu by-pass valve untuk
mensirkulasikan fluida selama pekerjaan. Kekurangan dalam menggunakan
Retrievable Squeeze Packer ini adalah aliran balik tidak dapat dicegah ketika
tekanan displacement dilepaskan pada saat mensirkulasikan balik bubur semen
yang telah masuk ke dalam perforasi. Retrievable Squeeze Packer dapat dilihat pada
Gambar 3.10. berikut :
43

Gambar 3.10. Retrievable Squeeze Packer


(Nelson E.B, 1990)

3. Stinger
Stinger adalah alat yang digunakan untuk menusuk seal pada EZ Drill squeeze
packer atau cement retainer supaya sliding valve bergerak sampai ke fluid port.
Akibatnya bubur semen yang dipompakan lewat tubing dapat masuk ke formasi.

3.5. Perhitungan-Perhitungan dalam Pekerjaan Squeeze Cementing


Perhitungan yang diperlukan dalam pekerjaan squeeze cementing
diantaranya:
1. Perhitungan Volume Bubur Semen.
2. Perhitungan Volume additif.
3. Perhitungan Ketinggian Kolom Semen.
4. Perhitungan Tekanan.
5. Perhitungan Tekanan Pompa.
44

3.5.1. Perhitungan Volume Bubur Semen


Untuk menentukan volume bubur semen yang dibutuhkan lebih dulu harus
diketahui diameter dalam dari casing, diameter dalam dan luar dari workstring
(tubing, drill pipe), dan tinggi kolom semen yang diinginkan, serta interval dan
densitas perforasi yang ingin ditutup. Setelah data-data tersebut diperoleh maka
volume bubur semen dan jumlah sak semen yang dibutuhkan dapat dicari dengan
persamaan:
a. Volume bubur semen yang dibutuhkan untuk mengisi tinggi kolom semen
didalam casing:
Volume = L × V ......................................................................................... (3-2)
Keterangan:
L = Panjang kolom casing yang akan disemen, ft
V = Kapasitas lubang, cuft/ft
b. Volume bubur semen yang masuk ke dalam perforasi (annulus):
Bit Size2 - 𝑂𝐷𝑐𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔2
Volume = × 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 .......................................... (3-3)
1029,4
c. Volume bubur semen yang masuk ke dalam perforasi (formasi):
Total hole × cement slurry/hole
Volume = ............................................................... (3-4)
5,615
Keterangan:
Total Hole = Interval Perforasi × Densitas Perforasi
d. Yield Semen (cuft/sack):
gal semen+ gal water+gal additive
𝑌ield Slurry = .................................................... (3-5)
7,48
e. Jumlah sak bubur semen (sack):
volume bubur semen x 5,615
Jumlah Sak Semen= ................................................. (3-6)
yield semen
Dalam menghitung volume bubur semen, untuk volume bubur semen yang
masuk kedalam perforasi harus dikoreksi dengan hasil dari injectivity test, hal ini
dikarenakan pada annulus belum tentu 100% tidak ada semen yang mengisi kolom
annulus tersebut., sehingga volume bubur semen yang dibutuhkan dapat diketahui
dengan mempertimbangkan hasil dari injectivity test.

3.5.2. Perhitungan Volume Aditif


Untuk menentukan volume aditif yang dibutuhkan dalam pembuatan
volume bubur semen yang diinginkan yaitu dengan menggunakan persamaan:
Va = Vu x Wc ........................................................................................ (3-7)
45

Keterangan:
Va = Volume aditif yang diperlukan untuk membuat slurry, gal.
Vu = Volume aditif yang diperlukan per sak semen, gal/sak.
Wc = Jumlah semen kering yang diperlukan, sak.

3.5.3. Perhitungan Tinggi Kolom Semen


Perhitungan tinggi balance kolom semen sangat penting dalam operasi
squeeze cementingmengingat berhasil tidaknya operasi ditentukan oleh puncak
kolom semen atau top of cement (TOC) yang terbentuk. Perkiraan tinggi kolom
semen juga berpengaruh dalam penentuan tekanan hidrostatis yang terjadi dan
mejadi acuan untuk penentuan tekanan pompa yang diterapkan. Perhitungan yang
dapat digunakan adalah sebagai berikut:
a. Perkiraan tinggi kolom semen ketika tubing tercelup:
volume slurry (cuft)
H (ft)= cuft Cuft ................................................ (3-8)
kapasitas annulus ( ft )+kapasitas tubing ( ft )
b. Perkiraan tinggi kolom semen ketika tubing diangkat:
volume slurry (cuft)
H (ft)= Cuft ............................................................................. (3-9)
kapasitas casing ( ft )

3.5.4. Perhitungan Tekanan


Perhitungan tekanan merupakan salah satu perhitungan yang paling penting
dalam merencanakan pekerjaan squeeze cementing. Dalam perhitungan tekanan ini
dapat diketahui irregularitas yang mungkin terjadi selama pendorong dan mungkin
berpengaruh baik pada tekanan maksimun yang diharapkan dan menjadi
pertimbangan terakhir pada sebagian waktu operasi penyemenan selesai. Tekanan-
tekanan yang berhubungan dengan operasi penyemenan adalah:
1. Tekanan Hidrostatik (Ph)
Ph= 0,052 × densitas (ppg) × tinggi kolom (ft) ..................................... (3-10)
Keterangan:
Ph = Tekanan Hidrostatis, psi.
ρs = Densitas fluida, lbs/gal.
h = Kedalaman, ft.
46

2. Tekanan Rekah Formasi (Prf)


Tekanan rekah yang ada pada dasar lubang dapat diketahui dengan
menggunakan beberapa metode, salah satunya diantaranya adalah dengan
menggunakan metode Eaton. Besarnya grradien tekanan rekah dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan :(Neal J. Adam, 1985, 102)
S P v P
Grf = ( - ) ( )+ ........................................................................ (3-11)
D D 1-v D

Prf = Grf × D ......................................................................................... (3-12)


Keterangan:
Grf = Gradien rekah formasi, psi/ft
S = Overburden stress, psi
v = Poisson ratio’s
P = Tekanan formasi, psi
D = Kedalaman, ft
Prf = Tekanan Rekah Formasi, psi

3.5.5. Perhitungan Tekanan Pompa


1. Maximum Allowable Surface Pressure (MASP)
Tekanan pemompaan yang digunakan untuk memompakan bubur semen
adalah tekanan dari pada tekanan rekah formasi, tekanan hidrostatis dan kehilangan
tekanan sirkulasi. Tekanan pemompaan ini sering juga disebut dengan Maximum
Allowable Surface Pressure (MASP). Tekanan pemompaan dapat dihitung dengan
persamaan:
MASP = (Grf × D) – Ph – SF ................................................................. (3-13)
Keterangan:
MASP = Tekanan pompa maksimum yang diizinkan, psi.
Grf = Gradien rekah formasi, psi/ft
D = Kedalaman, ft
Ph = Tekanan hidrostatik fluida, psi
ΔPf = Kehilangan tekanan, psi
SF = Safety factor, psi
47

2. Frictional Pressure Drop (∆Pf)


Setiap fluida yang mengalir dalam pipa akan kehilangan sebagian energinya,
yang terserap akibat hilang karena adanya gaya gesekan yang bekerja pada fluida
tersebut. Gaya gesekan pada fluida disebabkan oleh:
a. Gesekan internal karena viskositas fluida
b. Gesekan eksternal karena kekasaran pipa
Hilangnya energi ini disebut sebagai kehilangan tekanan (pressure drop atau
loss), dan dihitung berdasarkan perbedaan tekanan fluida tersebut diantara dua
titik di pipa. Kehilangan tekanan terjadi di sepanjang sistem sirkulasi. Kehilangan
tekanan terjadi pada:
a. Di dalam pipa termasuk drillpipe dan tubing
b. Annulus antara lubang sumur dan drillstring
Persamaan kehilangan tekanan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Rheologi fluida
b. Tipe aliran (laminar atau turbulen)
c. Geometri lubang sumur dan pipa
Penentuan Frictional pressure drop digunakan untuk menanggulangi
kehilangan tekanan yang terjadi saat dilakukan pemompaan untuk squeeze dengan
cara menambah tekanan pompa sebesar kehilangan tekanan yang diakibatkan oleh
Frictional pressure drop. Berikut langkah-langkah perhitungan (∆Pf):
A. Kehilangan Tekanan Dalam Pipa dan Annulus
Menghitung kehilangan tekanan di dalam drillstring dan di annulus, sebaiknya
mempertimbangkan apakah aliran didalam pipa dan annulus tersebut laminar atau
turbulen, dan memperhatikan juga model rheologi yang dipilih, apakah Newtonian
atau non-Newtonian.
B. Penentuan Batasan Laminar atau Turbulen
Sebuah kriteria turbulensi, dengan kata lain titik di mana perubahan aliran dari
laminar menjadi turbulen, dibutuhkan baik untuk fluida non-Newtonian dan fluida
Newtonian. Penentuan apakah fluida laminar atau turbulen dapat menggunakan
persamaan kecepatan rata-rata dan perhitungan Nre (Reynold Number). Pententuan
jenis aliran pada fluida Newtonian menggunakan persamaan-persamaan berikut :
48

- Persamaan kecepatan rata-rata fluida didalam pipa :


q
v = ........................................................................................ (3-14)
2,448 d2
Keterangan :
v = Kecepatan rata-rata, ft/sec
q = Pumping rate, gpm
d = Diameter dalam pipa, in
- Untuk kecepatan rata-rata fluida di annulus :
q
v = ..................................................................... (3-15)
2,448 (Dh 2 −OD2 )

Dimana Dh dan OD adalah diameter dalam casing/open hole dan OD adalah


diameter luar pipa.
Setelah menentukan kecepatan rata-rata fluida, langkah berikutnya yaitu
menghitung Nre atau bilangan Reynold untuk menentukan jenis aliran fluida di
dalam pipa.
- Persamaan Nre :
928 ρ v d
Nre = ........................................................................... (3-16)
𝜇
Keterangan :
Nre= Bilangan Reynold
 = Densitas fluida, lb/ft3
v = Kecepatan rata-rata, ft/sec
d = Diameter dalam pipa, in
 = Viskositas fluida, cp
Untuk menentukan pola aliran fluida adalah dengan mengikuti syarat berikut :
- Jika Nre < 2.100, maka aliran adalah laminar
- Jika Nre > 2.100, maka aliran adalah turbulen

C. Aliran Turbulen Fluida di Pipa


Hilangnya tekanan yang terkait dengan aliran turbulen suatu fluida dipengaruhi
terutama oleh densitas dan viskositas. Persamaan untuk kehilangan tekanan
49

didalam pipa dengan fluida Newtonian dan aliran turbulen dituliskan sebagai
berikut:
𝜌0,75 𝑣 1.,75 𝜇0,25
Pp = x L ........................................................................... (3-17)
1800d1,25

Keterangan :
Pp = Kehilangan tekanan didalam pipa, psi
 = Densitas fluida, lb/ft3
v = Kecepatan rata-rata fluida, ft/sec
 = Viskositas fluida, cp
D = Diameter Pipa/Annulus, in
L = Panjang pipa, ft

D. Aliran Laminer Fluida di Pipa


Hilangnya tekanan yang terkait dengan aliran laminer suatu fluida dipengaruhi
terutama oleh densitas dan viskositas. Persamaan untuk kehilangan tekanan
didalam pipa dengan fluida Newtonian dan aliran laminer dituliskan sebagai
berikut:
16
𝜌 𝑣2
𝑁𝑟𝑒
Pp = 𝑥𝐿 ................................................................................. (3-19)
25,8 𝑑

Keterangan :
Pp = Kehilangan tekanan didalam pipa, psi
 = Densitas fluida, lb/ft3
v = Kecepatan rata-rata, ft/sec
Nre= Bilangan reynold
d = Diameter Pipa, in
L = Panjang pipa, ft
3.6. Pengujian dan Evaluasi Hasil Pekerjaan Penyemenan
Setelah dilakukan penyemenan maka pekerjaan selanjutnya adalah
melakukan pengujian dan evaluasi terhadap operasi penyemenan tersebut. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi hasil penyemenan
khususnya squeeze cementing, yaitu: (Erick B. Nelson, 1990, 13-17)
1. Tes Tekanan Positif (Positive Pressure Test)
50

2. Tes Tekanan Negatif (Negative Pressure Test).


3. Cement Integrity Log
4. Log Akustik (CBL, VDL).

3.6.1. Tes Tekanan Positif (Positive Pressure Test)


Pengujian dengan tes tekanan positif dilakukan setelah proses squeeze
selesai dikerjakan atau setelah WOC (Waiting on Cement) berakhir, dengan
memompakan fluida kedalam tubing hingga penuh kemudian diberikan tekanan
setelah itu didiamkan selama kurang lebih 5 menit untuk mengetahui ada tidaknya
perubahan tekanan. Apabila selama dilakukan tes positif terjadi perubahan tekanan,
hal tersebut mengindikasikan bahwa pelaksanaan squeeze cementing mengalami
kegagalan (terjadi kebocoran) dan harus dilakukan pekerjaan squeeze cementing
ulang. Begitu sebaliknya, apabila tidak terjadi penurunan tekanan maka bisa
dikatakan pekerjaan squeeze cementing berhasil dan dapat dilakukan operasi
selanjutnya.
Yang dimaksud tekanan positif disini adalah pengujian ini menggunakan
positive differential pressure sekitar 2000 – 5000 psi diatas tekanan formasi namun
tetap tidak boleh melebihi tekanan rekah formasi untuk menguji integritas dari
semen itu sendiri, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya casing burst pada
saat fase produksi di kemudian hari.

3.6.2. Tes Tekanan Negatif (Negative Pressure Test)


Setelah pengujian dengan tes positif selesai dilakukan maka hasil tersebut
dikorelasi dengan pengujian yang kedua, yaitu dengan melakukan tes tekanan
negatif. Pengujian dengan cara kedua ini adalah dapat dilakukan dengan beberapa
cara diantaranya: (Erick B. Nelson, 1990, 13-9)
1. Sirkulasi dengan fluida yang ringan densitasnya.
2. Swabbing.
3. Melakukan dry test.
Kemampuan pompa selain untuk menekan juga bisa digunakan untuk
menghisap pada lubang sumur, jadi setelah tes positif dilakukan dan ternyata semen
holding, akan tetapi tidak menutup kemungkinan semen squeeze hanya menempel
51

pada dinding lubang bor saja, sehingga jika melakukan swabbing, semen tersebut
akan dengan mudah terlepas dari dinding lubang bornya.
Yang dimaksud tekanan negatif disini adalah pengujian ini menggunakan
negative differential pressure sekitar 2000 – 5000 psi dibawah tekanan formasi
untuk menguji integritas dari semen itu sendiri, apabila pengujian yang dilakukan
berhasil maka pada grafik tekanan tidak akan menunjukkan penambahan tekanan
yang tandanya adalah tidak ada inflow yang masuk ke dalam sumur, hal ini sangat
penting dilakukan untuk memastikan apakah lubang perforasi sudah tersekat
dengan sempurna.

3.6.3. Cement Integrity Log


Pada Cement integrity logs dilakukan untuk menentukan kualitas dan
mengevaluasi ikatan semen antara formasi (batuan reservoir) dengan casing. Ikatan
semen yang buruk dapat memungkinkan fluida yang tidak diinginkan masuk
kedalam sumur. Pengisian semen yang buruk meninggalkan saluran di belakang
casing yang memungkinkan aliran fluida yang tidak diinginkan seperti gas atau air
kedalam sumur.
Hasil dari analisa cement integrity log adalah compressive strength, bond
index dan kualitas casing string. Ikatan yang buruk dan masalah pengisian semen
juga dapat menyebabkan fluida mengalir ke reservoir lain melalui belakang casing.
Hal ini menyebabkan hilangnya potensi minyak dan gas pada reservoir tersebut,
bahkan dapat menyebabkan blowout di kepala sumur, dampak lain yang disebabkan
buruknya kualitas ikatan semen adalah banyak reservoir dangkal yang tekanan dan
aliran fluida terjadi crossflow dari reservoir lain yang berdekatan.
Dalam penelitian ini, terdapat 2 tools untuk evaluasi cement integrity yang
akan digunakan yaitu Cement Bond Log - Variabel Density Log (CBL-VDL) dan
Ultra Sonic Imager Tool (USIT).

3.6.4. Log Akustik (CBL, VDL)


Evaluasi hasil squeeze cementing juga dapat dilakukan dengan
menggunakan log akustik, yaitu CBL (Cement Bond Log) yang dikombinasikan
52

dengan VDL (Variable Density Log) serta dikorelasikan dengan USIT (Ultra Sonic
Imager Tools) . Kedua alat tersebut pada prinsipnya menggunakan gelombang suara
dalam menginterpretasikan ikatan (bond) dari semen di annulus.

3.6.3.1. Cement Bond Log (CBL)


Cement Bond Log atau CBL merupakan alat yang digunaan untuk menilai
kualitas dan kuantitas dari penyemenan pada lubang annulus sumur pemboran. Baik
atau buruknya hasil penyemenan dapat terlihat pada chart log yang direkam
dipermukaan. Alat ini dioperasikan ketika bubur semen telah berada di annulus dan
telah melewati waktu semen kering (WOC). Metode ini sudah dikembangkan sejak
30 tahun yang lalu dan merupakan metode yang masih sering digunakan untuk
mengevaluasi pekerjaan penyemenan.
Konfigurasi dari alat CBL ini terdiri atas transmitter dan receiver, jika
hanya CBL tanpa ada VDL. Bila ditambah dengan VDL, maka perlu ada dua
penerima yang berjarak masing-masing 3 ft dan 5 ft (Gambar 3.11.). Receiver 3 ft
digunakan untuk merekam amplitude dan transit time. Sedangkan receiver untuk 5
ft digunakan untuk merekam gelombang suara untuk Vairable Density Log (VDL).
Peralatan CBL dilengkapi dengan sejmlah centralizer yang berfungsi agar
transmitter dan receiver tetap terpusat di dalam pipa.
53

Gambar 3.11. Skema Peralatan CBL-VDL


(Nelson E.B, 1990)

Pada rangkaian CBL-VDL juga biasanya dikombinasikan dengan Gamma


Ray dan Casing Collar Locator (CCL). Gamma Ray di sini berfungsi untuk
mengetahui lithologi batuan dengan tujuan agar dapat dikorelasikan dengan hasil
logging dengan rangkaian lain. Sedangkan CCL berfungsi untuk mengkorelasikan
ke dalam casing, log CCL ini digunakan untuk mengkorelasikan dengan log
Gamma Ray untuk memastikan kedalam terukur yang akurat. Maksimum kecepatan
pengukuran logging adalah sekitar 50 fpm (3000 ft/hr).
54

Gambar 3.12. Prinsip Kerja Peralatan CBL-VDL


(Nelson E.B, 1990)

1. Transit Time
Transit time yang diukur oleh CBL merupakan jumlah waktu yang dibutuhkan
oleh gelombang suara yang dipancarkan oleh transmitter untuk merambat menuju
semen yang berada di annulus dan kembali ke receiver 3 ft yang biasanya
dinyatakan dalam satuan μsec/ft.
Saat gelombang suara/akustik dipancarkan oleh transmitter, pencatat waktu
elektronik mulai menghitung waktu yang diperlukan gelombang suara tersebut
untuk mencapai titik tertinggi pertamanya, yang biasanya disebut dengan E1.
Ketika E1 sudah tercatat, maka pencatat waktu elektronik akan berhenti
menghitung. Namun, untuk menghitung besarnya transit time ketika gelombang
suara mencapai E1, perlu ditentukan batas (threshold) transit time-nya (Gambar
3.13.).
Pada CBL, transit time selalu merupakan garis lurus dan membentuk huruf W
(dilihat dari sisi kiri) di setiap casing collar, kecuali pada ikatan semen yang baik
dan atau rangkaian alat CBL mengalami kemiringan maka interpretasi transit time
55

pada chart log akan bergelombang.Apabila terdapat ikatan baik antara semen
dengan selubung, maka pengukuran ini memperlihatkan dua karakteristik khusus,
yaitu terbentuknya perenggangan (stretching) atau lompatan siklus (cycle skipping).
Perenggangan adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan transit time
(kurang dari 15 μs) akibat adanya ikatan semen yang baik. Sedangkan lompatan
siklus adalah suatu keadaan dimana peningkatan waktu transit yang cukup besar
(lebih dari 15 μs) akibat adanya ikatan semen yang baik.

Gambar 3.13. Pengukuran Transit Time pada CBL


(Nelson E.B, 1990)

2. Amplitude
Amplitude merupakan besarnya energi gelombang suara/akustik yang
dipancarkan oleh transmitter yang dinyatakan dalam satuan millivolt (mV).Untuk
mengukur amplitude, gerbang elektronik (electronic gate)yang terdapat pada CBL
akan terbuka beberapa saat dan sinyal terbesar yang diterimanya akan direkam.
Besarnya harga amplitude untuk kondisi ikatan semen yang buruk (contohnya free
pipe) ataupun ikatan yang baik tergantung pada ukuran casing dan berat
nominalnya.
56

Pada umumnya, pada kondisi ikatan semen yang baik harga atau besarnya
amplitude akan semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, semakin buruk ikatan semen
di annulus, semakin besar harga amplitude-nya (Gambar 3.14.).

Gambar 3.14. Hubungan Amplitude terhadap Ikatan Semen


(Dwight K. Smith, 1990)

3.6.3.2. Variable Density Log (VDL)


Peralatan VDL mempunyai receiver yang diletakkan 5 ft dari transmitter
(Gambar 3.11.). VDL akan menganalisis kualitas ikatan antara casing dengan
semen dan antara semen dengan formasi. Indentitas bentuk sinyal yang
diperlihatkan oleh VDL dapat dilihat pada Gambar 3.15., yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
a. Kedatangan sinyal selubung (casing arrival) ditunjukkan oleh bentuk strip
yang teratur (lurus).
b. Kedatangan sinyal formasi (formation arrival) ditunjukkan oleh bentuk
strip yang tidak beraturan (bergelombang/wiggly).
57

Apabila terdapat ikatan yang baik antara selubung (casing) dengan semen
dan antara semen dengan formasi, maka defleksi kurva VDL adalah sebagai
berikut:
a. Kedatangan sinyal selubung lemah atau tidak kelihatan.
b. Kedatangan sinyal formasi kuat
Tetapi sebaliknya, jika terjadi suatu keadaan pipa bebas atau free pipe, maka
defleksi kurva VDL akan menunjukkan:
a. Kedatangan sinyal selubung kuat.
b. Kemungkinan adanya sinyal formasi kecil.

Gambar 3.15. Prinsip Kerja dari VDL


(Nelson E.B, 1990)

3.6.3.3. Analisa CBL-VDL


Pada umumnya analisa yang dilakukan terhadap kualitas ikatan semen
hanya berdasarkan pada pembacaan kurva amplitude CBL saja, sehingga hasil yang
diperoleh tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu
disarankan untuk analisa yang baik adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk
analisa kualitatif menggunakan CBL dan VDL untuk mengetahui kondisi yang
58

terjadi yang berupa free pipe, channeling / microannulus dan juga good bond.
Untuk analisa secara kuantitatif dengan menggunakan CBL dan Log Interpretation
Chart dapat mengetahui compressive strength dan bond index.
Proses interpretasi Cement Bond – Variable Density Log adalah:
1. Memeriksa kualitas hasil logging.
- Koreksi harga transit time untuk ukuran casing yang disemen.
- Koreksi pembacaan amplitude untuk free pipe.
- Periksa apakah ada eccentering effect.
2. Memeriksa ada atau tidaknya fast formation pada hasil logging.
- Periksa penurunan pada kurva transit time.
- Periksa penurunan pada penerimaan pertama VDL.
3. Kondisi lubang bor.
- Tipe semen yang digunakan.
- Fluida pada lubang bor.
- Cement tops.
- Ukuran lubang bor dari log caliper.
- Deviated well.
4. Perhitungan hydraulic isolation.
- Menghitung harga 80 % Bond Index.
- Menghitung panjang minimum interval tersemen.
- Periksa pembacaan VDL untuk ikatan semen dengan formasi.
Contoh hasil perekaman CBL-VDL dapat dilihat pada Gambar 3.16., dimana:
Track I terdiri dari:
- CCL (Casing Collar Locator) berwarna biru.
- GR (Gamma Ray) berwarna hijau.
- Transit Time berwara merah.
Track II terdiri dari:
- Stuck Tool Indicator Total (STIT).
- Cable Tension (TENS).
Track III menunjukkan kurva amplitude yang terukur.
Track IV menujukkan kurva VDL.
59

Track II
Track I Track III Track IV

Gambar 3.16. Contoh Hasil Pengukuran CBL-VDL


(Nelson E.B, 1990)

1) Analisa Kualitatif Kurva CBL- VDL


Dalam analisa kurva CBL-VDL dilakukan dengan melihat perbandingan
respon yang dicatat dalam situasi yang berbeda yang seperti berikut:
a. Casing Tidak Tersemen (Free pipe)
Energi akustik yang dipancarkan transmitter hanya menjalar melalui casing
dan diterima receiver, sangat sedikit respon yang diterima dari formasi dikarenakan
tidak adanya semen pada annulus. Seperti terlihat pada Gambar 3.17., yang
dicirikan :
- Cement Bond Log (CBL) : amplitudo CBL tinggi yang nilainya diatas 50
mV. Namun, di setiap casing collar amplitudo CBL rendah.
- Variable Density Log (VDL) : Sinyal teratur dengan garis kontras. Casing
arrival jelas, formation arrival kecil atau tidak terlihat. Penampakan
chevron pattern (W) di setiap casing collar terlihat jelas.
Namun di sisi lain free pipe merupakan suatu hal yang penting pada saat
menjalankan alat logging CBL-VDL. Hal ini dimaksudkan agar daerah free pipe
memberi kalibrasi alat untuk suatu lingkungan tertentu di bawah kondisi logging.
60

Gambar 3.17. Interpretasi CBL-VDL Untuk Free pipe


(Dwight K. Smith, 1990)

b. Ikatan Semen dengan Casing dan Formasi Baik (Well Bonded)


Ketika energi akustik yang dipancarkan oleh transmitter diteruskan ke
formasi, akan menyebabkan sinyal casing melemah disertai dan sinyal formasi yang
sangat kuat. Seperti terlihat pada Gambar 3.18., yang dicirikan :
- Cement Bond Log (CBL) : Amplitudo CBL rendah yang nilai berkisar 0-20
mV.
- Variable Density Log (VDL) : Casing arrival berwarna gelap (melemah),
formation arrival kuat dan tidak beraturan bentuknya.
61

Gambar 3.18. Interpretasi CBL-VDL Untuk Well Bonded


(Dwight K. Smith, 1990)

Kondisi ikatan semen seperti ini merupakan ikatan semen yang ideal dan
diharapkan berada pada seluruh casing section di annulus. Kondisi well bonded ini
sangat penting bila berada pada daerah produktif untuk mengisolasi lapisan
produktif hidorkarbon agar tidak terjadi crossflow ke daerah yang memiliki tekanan
lebih rendah
c. Ikatan Semen dengan Casing Baik tetapi dengan Formasi Jelek
Semen memperlemah kekuatan energi akustik, tetapi energi yang dipancarkan
menuju dan kembali dari formasi sangat lemah. Seperti terlihat pada Gambar 3.19.,
yang dicirikan :
- Cement Bond Log (CBL) : Amplitudo rendah yang nilainya berkisar 0-20
mV.
- Variable Density Log (VDL) : Casing arrival melemah, formation arrival
berwarna gelap (lemah atau tidak ada.)
62

Kondisi seperti ini dapat disebabkan karena adanya mudcake yang gagal
dikikis oleh mud wash pada saat pendorongan bubur semen ke dalam annulus
(displacement). Pada Gambar 3.19. menunjukkan kondisi ikatan semen dengan
casing baik namun buruk dengan formasi.

Gambar 3.19.
Interpretasi CBL-VDL Menujukkan Ikatan Semen Buruk dengan Formasi
(Dwight K. Smith, 1990)

d. Channeling dan Microannulus


Microannulus adalah suatu lubang kecil yang terbentuk antara casing dan
semen. Microannulus dapat terjadi karena adanya ekspansi panas pada casing,
perbedaan tekanan hidrostatik di dalam dan di luar casing, kontaminasi bersifat oil
wet pada permukaan luar casing, usaha menahan tekanan untuk mencegah back
flow. Sedangkan channeling adalah kondisi dimana distribusi semen pada kolom
annulus tidak merata. Channeling dapat terjadi karena casing tidak sentris, terdapat
wash hole dan terjadi kontaminasi akibat pola aliran tidak sesuai. Kedua peristiwa
63

ini sulit dibedakan oleh hasil interpretasi log maupun bentuk gelombang.
Microannulus atau channeling dapat dicirikan sebagai berikut:
- Cement Bond Log (CBL) : Amplitudo sedang sampai tinggi mendekati free
pipe yang berkisar 20-50 mV.
- Variable Density Log (VDL) : Casing arrival jelas dan formation arrival
bisa terlihat.
Untuk membedakan kondisi microannulus atau channeling adalah dengan
melakukan CBL log dalam kondisi pressurize (tekanan dapat dimulai dari 500 psi
sampai limit bumping pressure sewaktu penyemenan). Jika setelah diberikan
tekanan, amplitudonya menurun maka bisa dipastikan merupakan microannulus.
Namun jika tidak ada penurunan pada amplitudonya, maka merupakan channel.
Gambar 3.20. menunjukkan kondisi microannulus pada hasil pengukuran.

Gambar 3.20. Interpretasi CBL-VDL Menunjukkan Channeling


(Nelson E.B, 1990)
64

2) Analisa Kuantitatif
Untuk memperoleh hasil evaluasi yang baik, selain metode kualitatif juga
digunakan metode kuantitatif yang bertujuan untuk menentukan besarnya
compressive strength dan besarnya harga bond index .
a. Penentuan dan Analisa Bond Index
Bond Index (BI) merupakan indeks kualitas ikatan semen yang didefinisikan
sebagai perbandingan antara harga attenuasi pada kedalaman tertentu (zona
interest) dengan harga attenuasi zona tersemen 100%. Bond index secara matematis
ditulis sebagai berikut:
db
attenuasi@ zona interest ( )
ft
BI = db ................................................. (3-20)
attenuasi@ zona tersemen 100% ( )
ft

Harga bond index yang telah diperoleh pada tiap kedalaman akan digunakan
untuk menganalisis kualitas ikatan semen pada annulus. Nilai tertinggi untuk bond
index adalah satu sebagai acuan bahwa ikatan penyemenan yang baik. Harga good
bond cut off untuk bond index menurut buku Log Interpretation Charts oleh
Schlumberger adalah sebesar 0,8.
Adapun prosedur yang digunakan dalam menentukan besarnya bond index
dalam suatu zona interest adalah sebagai berikut:
1. Tentukan ukuran casing yang sedang dilakukan analisa CBL-VDL (OD dan
nominal weight casing)
2. Pada suatu kedalaman diperoleh harga amplitudo berdasarkan pembacaan log
CBL dan dengan bantuan CBL interpretation chart (Gambar 3.21.) maka akan
diperoleh suatu harga attenuasi (disesuaikan dengan ukuran casing).
3. Harga attenuasi yang telah diperoleh, kemudian dibagi dengan harga attenuasi
tertinggi (zona tersemen 100%) sehingga didapatkan harga bond index.
4. Mengulangi langkah kedua dan ketiga untuk mendapatkan harga bond index
kedalaman yang lain.
Berdasarkan langkah-langkah diatas, untuk menentukan bond index
diperlukan besarnya amplitude yang dibaca pada CBL dan pada CBL Interpretation
Chart didapatkan harga attenusi seperti pada Gambar 3.21 yaitu contohnya pada
garis biru. Bond index tersebut dapat dicari dengan Persamaan 3-20 dengan
65

diketahuinya nilai attenuasi pada zona interest dan attenuasi pada zona 100 %
tersemen atau pada kedalaman dengan nilai CBL yang paling rendah.

b. Penentuan dan Analisa Compressive Strength


Compressive strength adalah kekuatan semen dalam menahan tekanan-
tekanan yang berasal dari samping yaitu dari casing maupun formasi. Penentuan
harga CS pada suatu sumur diperoleh dengan bantuan data-data penunjang, seperti
diameter luar casing, berat, dan tebal casing yang dapat dilihat pada cement bond
log interpretation chart (Gambar 3.21.). Besarnya harga good bond cut off untuk
compressive strength menurut buku Log Interpretation Charts oleh Schlumberger
adalah sebesar 500 psi.

Gambar 3.21. CBL Interpretation Chart


(Schlumberger, 2019)
66

Adapun prosedur yang digunakan dalam menentukan besarnya compressive


strength pada setiap kedalaman adalah sebagai berikut:
1. Harga compressive strength pada suatu kedalaman diperoleh dengan cara
memasukkan harga amplitudo pada kedalaman tertentu ke dalam cement bond
log interpretation chart (Gambar 3.21.)
2. Harga amplitudo ini kemudian dimasukkan ke dalam cement bond log
interpretation chart lalu ditarik garis sejajar ke atas sampai memotong garis
vertical yang mewakili diameter luar (OD) casing yang digunakan.
3. Dari gari vertikal yang mewakili diameter luar casing kemudian ditarik garis
perpanjangan ke kanan sejajar garis horizontal attenuasi sehingga akan
didapatkan harga attenuasinya.
4. Harga compressive strength didapatkan dengan meneruskan harga attenuasi ke
kanan memotong grafik tebal casing yang diinginkan dan kemudian
meneruskan hingga memotong garis compressive strength.
5. Langkah pertama sampai keempat diulang untuk memperoleh harga
compressive strength dari kedalaman lainya.
Berdasarkan langkah diatas dan dicontoh pada garis biru di Gambar 3.21. untuk
menentukan compressive strength maka diperlukan harga amplitude yang dibaca
pada CBL untuk suatu kedalaman, yang nantinya dengan menggunakan bantuan
CBL Interpretation Chart maka dapat ditentukan besarnya compressive strength
pada suatu kedalaman tersebut.

3.6.3.4. Ultra Sonic Imager Tool (USIT)


USIT (Ultrasonic Imager Tool) merupakan salah satu jenis alat logging
yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas semen dan kondisi casing. Dalam
mengevaluasi sementasi, terdapat dua metode yang sering digunakan, yaitu
dengan gelombang sonic dan gelombang ultrasonic. Sementasi yang baik
diindikasikan oleh :
• Low amplitude
• High attenuation
• High bond index
67

• High compressive strength


• High acoustic impedance

Gambar 3.22.
Perbandingan Gelombang Sonic dan Ultrasonic
(Schlumberger, 2019)
Namun, terdapat dua kekurangan dalam penggunaan gelombang sonic,
yaitu sulitnya membedakan indikasi channeling dan microannulus. Gelombang
sonic memberikan respon pembacaan yang sama terhadap keberadaan
channeling dan bonding semen yang tidak baik, begitu juga terhadap
pembacaan microannulus dan keberadaan fluida di belakang casing yang
memberikan respon yang sama.
Dalam pengukurannya, USIT menggunakan gelombang ultrasonic
karena gelombang ultrasonic memiliki frekuensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan gelombang sonic sehingga dapat memberikan gambaran
yang lebih teliti mengenai objek yang akan diidentifikasi, seperti yang
diilustrasikan oleh Gambar 3.22
68

Gambar 3.23.
Proses Perambatan Gelombang Ultrasonic
(Schlumberger, 2019)
Prinsip kerja USIT dalam signal-processing disebut T3 (Traitement Tres
Tot atau Very Early Processing) dimana USIT akan menganalisa gelombang
pertama yang kembali setelah dipantulkan oleh material. Ketika gelombang
ultrasonic dipancarkan dari transducer, sebagian besar gelombang suara akan
dipantulkan kembali pada batas antara fluida yang mengisi lubang sumur dan
permukaan casing. Pantulan gelombang dapat terjadi karena perbedaan
impedansi yang besar antara keduanya. Sebagian kecil dari gelombang
ultrasonic lalu akan diteruskan menembus ke dalam casing dan dipantulkan
berulang kali di dalam ketebalan casing, dan sebagian gelombang yang lain
akan diteruskan ke dalam semen atau fluida di lubang sumur setiap kali
gelombang menabrak permukaan casing. Gambar 3.23. menunjukkan proses
perambatan gelombang pada 3 material yang berbeda.
Gelombang ultrasonic yang dipantulkan oleh material semakin lama
akan semakin berkurang. Cepat lambatnya penurunan amplitudo gelombang
ultrasonic tergantung pada densitas material di belakang casing. Keberadaan
semen dan air di belakang casing akan memberikan respon yang berbeda,
dimana keberadaan semen menyebabkan penurunan amplitudo yang lebih
cepat daripada air. Hal ini dapat terjadi karena semen memiliki rapat massa
yang lebih besar dari air.
69

Waktu yang dibutuhkan gelombang untuk kembali setelah pertama kali


dipantulkan (transit time) dirumuskan dengan 2S/vmud, dimana S merupakan
jarak antara transducer dengan permukaan casing dan vmud merupakan
acoustic velocity fluida di lubang sumur. Gelombang yang dipantulkan dan
ditangkap oleh transducer selanjutnya akan diproses dan diterjemahkan
menjadi chart log seperti yang terlihat pada Gambar 3.24

Gambar 3.24.
Hasil Interpretasi Ultrasonic Imager Tool
(Schlumberger, 2019)
BAB IV
EVALUASI DAN PERHITUNGAN SQUEEZE CEMENTING

Evaluasi dalam pekerjaan squeeze cementing pada Sumur “DN” bertujuan


untuk mengetahui keberhasilan atau tidaknya suatu pekerjaan squeeze cementing
tersebut, dan hasil dari evaluasi ini bisa dapat digunakan sebagai suatu
pertimbangan untuk langkah kedepannya ataupun juga sebagai pertimbangan
dalam melakukan pekerjaan squeeze cementing yang memiliki kondisi yang
hampir sama dengan Sumur “DN”.
Keberhasilan dalam melakukan pekerjaan squeeze cementing dalam
memperbaiki ikatan semen sangat bergantung pada perencanaan dan perhitungan
secara menyeluruh sesuai dengan kondisi sumur yang akan di-squeeze. Maka dari
itu letak perforasi untuk jalur squeeze cementing harus sesuai, agar hasil yang
diharapkan menjadi lebih baik.
Dalam bab ini akan membahas beberapa hal pokok, diantaranya:
1. Evaluasi primary cementing pada zona produktif
2. Program squeeze cementing pada Sumur “DN”
3. Evaluasi teknis dan perhitungan squeeze cementing pada Sumur “DN”
4. Evaluasi hasil pekerjaan squeeze cementing pada Sumur “DN”
Sumur “DN” Lapangan “GP” merupakan sumur directional, tahapan
konstruksi sumur diawali dengan pemasangan stove pipe 30” dengan kedalaman
80 ftMD. Selanjutnya dibuat lubang 26” dan kemudian dipasang surface casing
20” sampai kedalaman 997 ftMD. Setelah itu dibuat lubang 17 ½” dan kemudian
dipasang intermediate casing 13 3/8” sampai kedalaman 3997 ftMD. Selanjutnya
dibuat lubang 12 ¼” dan dipasang production casing 9 5/8” sampai kedalaman
7555 ftMD. Dan setelah itu di bor dengan pahat 8 ½” dan dipasang liner 7” dari

70
71

kedalaman 7355 – 8210 ftMD. Skema profil Sumur “DN” dapat dilihat pada
Gambar 4.1. dibawah ini:

Directional Well

Problem Channeling
pada kedalaman
8000-8021 ft,
8040-4044 ft, dan
8090-8110 ft

Dilakukannya
Squeeze Cementing
8032-8107 ftMD

8210 ftMD / 6476 ftTVD

Gambar 4.1. Profil Sumur “DN”


(PT Pertamina EP Asset 4)
72

4.1. Evaluasi Primary Cementing pada Zona Produktif


Setelah penyemenan selesai, dilakukan kegiatan logging CBL-VDL untuk
mengetahui bonding dari semen primer, dan untuk pada zona produktif
dapat ditunjukkan pada Gambar 4.2. dibawah ini:

8000-8021 ftMD

8040-8044 ftMD

Terindikasi
Problem Channeling

8090-8110 ftMD

Gambar 4.2. CBL-VDL pada Primary Cementing


(PT Pertamina EP Asset 4)
73

Pada analisa kualitatif dengan menggunakan CBL-VDL, untuk analisa


dengan menggunakan CBL harga amplitude dari kedalaman 7980 – 8150 ftMD
yang dihasilkan berkisar dari 10 - 42 mV dengan rata-ratanya adalah sebesar
26,68 mV, dimana berdasarkan ini dapat dikatakan bahwa ikatan semen tersebut
adalah buruk dan kemungkinan terjadinya channeling pada kedalaman tersebut.
Dan pada kurva VDL untuk pembacaan casing arrival yang disebelah kiri pada
VDL terlihat jelas atau seperti bentuk rel, dan untuk formation arrival yang
disebelah kanan pada VDL terlihat lemah meskipun terdapat beberapa kedalaman
yang memiliki sinyal kuat, maka dari itu dapat diindikasikan terjadinya
channeling dan bad to formation pada daerah tersebut. Berdasarkan analisa
kualitatif dengan menggunakan CBL-VDL dapat diindikasikan telah terjadinya
channeling untuk interval kedalaman 7980 - 8150 ftMD, oleh karena itu perlu
dilakukannya perbaikan ikatan semen dengan menggunakan squeeze cementing.
Sedangkan untuk analisa kuantitatif yang dilakukan adalah dengan
menggunakan CBL dan CBL Interpretation Chart, dimana dari analisa tersebut
didapatkan harga untuk compressive strength dan bond index. Untuk mendapatkan
besarnya compressive strength dapat dilakukan dengan cara memplot harga
amplitude yang didapatkan dari CBL kedalam CBL Interpretation Chart dan
kemudian dari harga amplitude tadi ditarik garis ke ukuran casing tersebut dan
kemudian mendapatkan harga attenuasinya. Setelah itu dari harga attentuasinya
ditarik garis ke harga compressive strength dengan melewati ketebalan casing
tersebut, untuk lebih jelasnya dapat dilihat garis warna hijau pada Gambar 4.3.
sebagai berikut
74

Gambar 4.3. Tahapan Analisa Kuantitatif Primary Cementing

Contohnya adalah pada kedalaman 8000 ftMD, didapatkan harga


amplitude pada pembacaan CBL yang ditunjukkan oleh garis merah adalah
sebesar 28 mV, dari harga amplitude tersebut dengan menggunakan langkah yang
telah dicontohkan diatas maka didapatkan harga attentuasinya yaitu sebesar 2,9
dB/ft. dan untuk nilai compressive strength yang didapatkan adalah sebesar 50
psi. Untuk mencari casing thickness di sini bisa dilihat pada software Pipesim
yang menunjukkan casing table dengan ukuran casing 7” 26 ppf yang didapat
hasilnya 0.362 inch.
Sedangkan untuk mendapatkan nilai bond index dapat menggunakan
Persamaan (3-20), dimana untuk attenuasi pada zona interest yang didapatkan
pada kedalaman 8000 ftMD adalah sebesar 2,9 db/ft, dan untuk attenuasi pada
zona tersemen 100 % yaitu sebesar 12,4 db/ft. Untuk attenuasi pada tersemen
100% dapat dilihat pada harga amplitude yang dibaca pada CBL dengan harga
75

amplitude yang paling kecil, dari harga tersebut dapat dilihat nilai attenuasinya
dengan menggunakan CBL Interpretation Chart seperti langkah diatas. Adapun
untuk Persamaan (3-20) adalah sebagai berikut:
db
attenuasi@ zona interest ( ft )
BI = db
attenuasi@ zona tersemen 100% ( ft )

2,9
BI = = 0,23
12,4

Berdasarkan persamaan tersebut didapatkan nilai bond index untuk


kedalaman 8000 ftMD adalah sebesar 0,23.
Setelah mendapatkan harga compressive strength dan bond index untuk
masing-masing kedalaman, dan untuk cut off yang digunakan berdasarkan buku
Log Interpretation Chart oleh Schlumberger adalah seperti berikut:
• CS (Compressive Strength) ≥ 500 psi = “Good”
• BI (Bond Index) ≥ 0,5 = “Good”
Nilai minimum CS 500 psi umumnya direkomendasikan sebelum operasi
pengeboran dilanjutkan, tetapi nilai CS yang lebih tinggi lebih diharapkan pada
saat melakukan evaluasi. Nilai BI 0,5 didapatkan dari hasil nilai BI pada
kedalaman yang memiliki nilai CS 500 psi lalu dibagi dengan nilai BI pada
kedalaman yang tersemen 100%. Berdasarkan nilai compressive strength sebesar
50 psi dan bond index sebesar 0,23. Maka untuk kualitas semen pada kedalaman
8000 ftMD berdasarkan analisa dengan compressive strength adalah bad bonding
dan berdasarkan analisa dengan bond index juga bad bonding. Maka dapat
disimpulkan pada kedalaman 8000 ft untuk kualitas ikatan semennya adalah
buruk. Untuk lebih lengkapnya hasil analisa kuantitatif pada setiap kedalaman,
dapat dilihat pada Tabel IV-1 sebagai berikut:
Tabel IV-1
Hasil Analisa Kuantitatif Primary Cementing
Kedalaman Amplitude Attenuasi CS Analisa Bond Analisa
(ft) (mV) (dB/ft) (psi) CS Index BI
7980 35 2,3 25 Bad 0,19 Bad
7985 32 2,5 35 Bad 0,20 Bad
76

7990 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad


7995 26 3,4 65 Bad 0,27 Bad
8000 29 2,85 48 Bad 0,23 Bad
8005 28 2,9 50 Bad 0,23 Bad
8010 30 2,95 45 Bad 0,24 Bad
8015 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
8020 36 2,2 20 Bad 0,18 Bad
8025 29 2,85 48 Bad 0,23 Bad
8030 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
8032 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
8037 20 3,8 100 Bad 0,31 Bad
8042 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
8047 18 4 125 Bad 0,32 Bad
8052 29 2,85 48 Bad 0,23 Bad
8057 23 3,4 78 Bad 0,27 Bad
8062 22 3,5 90 Bad 0,28 Bad
8067 20 3,8 100 Bad 0,31 Bad
8072 24 3,3 80 Bad 0,27 Bad
8077 10 6,05 440 Bad 0,49 Bad
8082 18 4 125 Bad 0,32 Bad
8087 18 4 125 Bad 0,32 Bad
8092 32 2,5 35 Bad 0,20 Bad
8097 38 2 0 Bad 0,16 Bad
8102 40 1,8 0 Bad 0,15 Bad
8107 42 1,6 0 Bad 0,13 Bad
8110 42 1,6 0 Bad 0,13 Bad
8115 11 5,65 350 Bad 0,46 Bad
8120 42 1,6 0 Bad 0,13 Bad
8125 35 2,3 25 Bad 0,19 Bad
77

8130 20 3,8 100 Bad 0,31 Bad


8135 22 3,5 90 Bad 0,28 Bad
8140 19 3,9 110 Bad 0,31 Bad
8142 19 3.9 110 Bad 0,31 Bad
Berdasarkan Tabel IV-1 untuk kedalaman 7980 – 8150 ftMD, untuk analisa
kuantitatif yang didapatkan adalah pada interval kedalaman tersebut memiliki
kualitas ikatan semen yang buruk, yaitu dengan ditandainya dengan nilai
compressive strength yang berkisar antara 0-440 psi dengan rata-ratanya adalah
81,2 psi dan untuk nilai bond index yang berkisar antara 0,13-0,49 dengan rata-
ratanya adalah 0,26.
Sehingga berdasarkan analisa kualitatif dan juga kuantitatif untuk sekitar
interval zona produktif tersebut terindikasi bahwa ikatan semennya buruk, dan
perlu dilakukannya perbaikan ikatan semen pada daerah tersebut agar dapat
mengisolasi lapisan zona produktif yang akan diperforasi pada kedalaman 7980 –
8150 ftMD. Oleh karena itu dilakukannya pekerjaan squeeze cementing dengan
interval perforasi squeeze cementing adalah pada interval kedalaman 8032 – 8107
ftMD.

4.2. Program Squeeze Cementing pada Sumur “DN”


Pekerjaan squeeze cementing yang dilakukan pada sumur ini adalah dengan
menggunakan metode low pressure squeeze cementing, yaitu dengan
menggunakan tekanan yang dibawah tekanan rekah formasi. Untuk
penempatannya adalah menggunakan metode bradenhead yaitu dengan
menggunakan workstring berupa drill pipe, metode bradenhead digunakan karena
pada program ini menggunakan low pressure squeeze cementing dan kapasitas
casing tersebut dapat menahan tekanan squeeze yang diberikan. sedangkan untuk
metode pemompaannya adalah jenis hesitation yaitu dengan cara bertahap untuk
membentuk filter cake, dan metode hesitation ini digunakan juga karena dengan
tekanan rendah dan tekanan squeeze akhir yang didapat adalah ketika tekanan
78

konstan selama waktu pemompaan. Adapun skema perencanaan squeeze


cementing dapat dilihat pada Gambar 4.4. berikut ini.

Gambar 4.4. Skema Perencanaan Squeeze Cementing oleh Service Company


(Superior Service Company)

4.2.1. Data Komplesi dan Workstring Sumur “DN”


a. Kedalaman sumur : 8230 ftMD
b. Temperatur : 262 °F
c. Gradien formasi : 0,4 psi/ft
79

d. Gradien rekah formasi : 0,7 psi/ft


e. Konfigurasi casing, drill pipe dan tubing:
• 0 – 997 ft : Casing 20’’ 98 ppf
• 0 – 3997 ft : Casing 13 3/8” 68 ppf
• 0 – 7555 ft : Casing 9 5/8” 47 ppf
• 7355 – 8210 ft : Liner 7” 26 ppf
• 0 – 7629 ft : Drill Pipe 3 ½” 13,3 ppf
f. Interval perforasi squeeze cementing:
• Zona : 8032 - 8107 ft
g. Casing
• Ukuran : 9 5/8”
• Berat : 47 ppf
• Kapasitas : 0, 0732 bbl/ft
h. Drill pipe
• Ukuran : 3 1/2”
• Berat : 13,3 ppf
• Kapasitas : 0,00742 bbl/ft
• End of DP : 7201 ft
i. Liner
• Ukuran : 7”
• Berat : 26 ppf
• Kapasitas : 0,0383 bbl/ft
• Top of liner : 7392 ft
j. Kapasitas annulus
• Kapasitas annulus 1 ( 7” – 3 1/2” ) : 0,0264 bbl/ft
• Kapasitas annulus 2 (9 5/8” – 3 1/2”) : 0,0613 bbl/ft

4.2.2. Data Aktual Squeeze Cementing Sumur “DN”


a. Data semen
• Densitas semen : 15,8 ppg
80

• Yield semen
1. Tail : 1,630 cuft/sak
• Plastic viscosity
1. Tail @BHCT : 96
• Yield point
1. Tail @BHCT : 19
• Fluid loss @220oF
1. Tail : 64 cc/30 menit/1000 psi
• Thickening time @40 Bc
1. Tail : 03 jam : 20 menit
• Thickening time @70 Bc
1. Tail : 03 jam : 29 menit
• Thickening time @100 Bc
1. Tail : 03 jam : 34 menit
• Compressive strength @BHST
1. Tail : 1742 psi after 24 hours
b. Aditif yang digunakan
1. Tail Cement
• AF – 102L (Defoamer) : 0,05 gal/sak
• BA – 101LI (Bonding Agent) : 0,9 gal/sak
• CD – 11LA (Dispersant) : 0,08 gal/sak
• FL – 17W (Fluid Loss Additive) : 1,4 gal/sak
• CR – 9LI (Retarder) : 0,06 gal/sak
c. Fluida yang Digunakan
• Densitas spacer : 8,34 ppg
• Densitas displacement fluid (brine) : 8,7 ppg
• Water Head : 15 bbls
• Water Behind (Spacer) : 3,05 bbls
• Displacement fluid : 53 bbls
81

4.3. Evaluasi Teknis dan Perhitungan Squeeze Cementing Sumur “DN”


Data-data yang digunakan dalam perhitungan diperoleh dari drilling
program milik PT. Pertamina EP dan proposal pekerjaan squeeze cementing
Sumur “DN” yang disusun oleh company man. Dalam melakukan evaluasi
perhitungan ini, penulis menggunakan satuan feet (ft) yang mana artinya
diperlukan perhitungan tersendiri untuk mengkonversi satuan dari data yang di
dapat yaitu meter (m) menjadi feet (ft). Adapun langkah-langkah perhitungannya
adalah sebagai berikut:
1. Perhitungan Volume Cement Slurry.
2. Perhitungan Volume Aditif.
3. Perhitungan Ketinggian Kolom Semen.
4. Perhitungan Tekanan.
5. Perhitungan Tekanan Maksimum Pompa (MASP).
Setelah data-data diperlukan diperoleh, maka volume cement slurry dan
jumlah sak semen yang dibutuhkan dapat dicari dengan langkah-langkah sebagai
berikut:

4.3.1. Perhitungan Volume Bubur Semen


1. Perhitungan Volume Cement Slurry di Casing
a. Menghitung ujung rangkaian sampai perforasi teratas
= Bottom of cement – top perforation
= 8210 ft – 8032 ft
= 178 ft
b. Ditambah safety margin 30 m (98,4 ft) dari top perforation (perkiraan puncak
semen):
= 178 ft + 98,4 ft
= 276,4 ft
c. Menghitung volume cement slurry yang dibutuhkan untuk mengisi kolom
casing setinggi 276,4 ft, dengan Persamaan (3-2):
= panjang kolom casing (L) × kapasitas casing (V)
82

= (276,4) × 0,0383 bbl/ft


= 10,59 bbl
2. Perhitungan Volume Cement Slurry yang Masuk Ke Dalam Perforasi
Perhitungan volume cement slurry yang masuk ke dalam lubang yang telah
diperforasi mempertimbangkan banyaknya lubang yang harus ditutup, serta hasil
injectivity test untuk menentukan volume cement slurry yang dapat diinjeksikan
per lubangnya.
Perhitungan volume cement
slurry yang masuk ke dalam perforasi menggunakan Persamaan (3-3) dan
Persamaan (3-4):
a. Menghitung total lubang perforasi:
• Zona I (8032 – 8107 ft)
= interval perforasi total x densitas perforasi
= (75 ft) x 5 spf
= 375 lubang
Cement slurry/hole untuk formasi loss =0,000757 cuft/hole
b. Menghitung volume cement slurry yang masuk lubang perforasi
Lubang perforasi x cement slurry/hole
=
5,615
375 x 0,000757 cuft/hole
=
5,615

= 0,05 bbl
c. Menghitung volume cement slurry mengisi annulus I ( 7” liner - 8 1/2” bit)
Bit Size2 - 𝑂𝐷𝑐𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔2 7”
= × 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚
1029,4
8,52 - 72
= x (8210-8032)
1029,4

= 4,02 bbl
d. Menghitung volume cement slurry yang masuk ke dalam formasi:
• Volume semen yang masuk annulus + volume semen yang masuk
lubang perforasi
= 0,05 bbl + 4,02 bbl
83

= 4,07 bbl
• Menghitung total volume slurry yang dibutuhkan
= Volume semen pada kolom casing + volume cement slurry yang
masuk ke perforasi
= 10,59 bbl + 4,07 bbl
= 14,66 bbl
= 15 bbl
• Sak-semen (tail) yang dibutuhkan:
14,66 bbl × 5,615 cuft/bbl
=
yield cement tail
14,66 bbl × 5,615 cuft/bbl
=
1,63 cuft/sak

= 50,49 sak
= 51 sak

Tabel IV-2
Perbandingan Volume Cement Slurry yang Dibutuhkan
Hasil Perhitungan
Parameter Kondisi Aktual
Penulis
Cement slurry
masuk ke dalam 4,07 bbl 2,4 bbl
perforasi (formasi)
Cement slurry
tertinggal di dalam 10,59 bbl 11,6 bbl
casing
Total cement slurry
15 bbl 14 bbl
dipompakan

Jumlah sak semen 51 sak 49 sak

Volume Fluida yang Dibutuhkan


Volume fluida yang dibutuhkan sudah ditentukan oleh company man yang
menangani pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN”, data yang diperoleh adalah
sebagai berikut:
84

a. Cairan pengawal (water ahead) = 15 bbl


b. Cairan pengiring (water behind) = 3,05 bbl
c. Cairan pendorong (water displacement) = 53 bbl
4.3.2. Perhitungan Volume Aditif
Company man yang menangani pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN”
telah menghitung jumlah aditif yang digunakan untuk dicampur dengan semen
sejumlah sak, dengan data yang didapat cementing program dan disesuaikan oleh
hasil perhitungan penulis sebagai berikut (Persamaan 3-7):
1. Tail Cement
• AF – 102L (Defoamer) = 0,05 gal/sak x 51 sak
= 2,55 gal
• BA – 101LI (Bonding Agent) : 0,9 gal/sak x 51 sak
= 45,9 gal
• CD – 11LA (Dispersant) : 0,08 gal/sak x 51 sak
= 4,08 gal
• FW – 17W (FL Control) : 1,4 gal/sak x 51 sak
= 71,4 gal
• CR – 9LI (Retarder) : 0,06 gal/sak x 51 sak
= 3,06 gal

4.3.3. Perhitungan Ketinggian Kolom Semen


• Perkiraan Ketinggian Kolom Semen dan Fluida Saat Tubing Tercelup
Dalam Cement Slurry
a. Menghitung perkiraan ketinggian slurry semen:
Total semen
• =
Drill pipe cap + annulus capacity 7"
14,66
=
0,0074 + 0,0264

= 434,11 ft
• Menghitung puncak ketinggian slurry saat workstring tercelup (TOC1):
= (Bottom of cement – ketinggian slurry cement)
85

= (8210 – 434,11) ft
= 7775,89 ft
b. Menghitung perkiraan ketinggan cairan pendorong (water a head):
= (TOC1 – top of liner) x annulus 1 capacity (V1)
= (7775,59 ft – 7392 ft) x 0,0264 bbl/ft
= 10,12 bbl
• Menghitung volume cairan pengawal pada annulus 2 (V2):
= 15 bbl – 10,12 bbl
= 4,88 bbl
• Menghitung ketinggian cairan pengawal di annulus2 (V2):
V2
=
Annulus 2 capacity
4,88 bbl
=
0,0613 bbl/ft

= 79,59 ft
• Menghitung puncak ketinggian cairan pengawal
= TOC1 - ketinggian cairan pengawal di annulus 1 dan annulus 2
= 7775,89 ft – (383,89 ft + 79,59 ft)
= 7312,41 ft
c. Menghitung perkiraan ketinggian cairan pengiring (water behind):
Volume water ahead
=
Annulus 2 capacity
15 bbl
=
0,0613 bbl/ft

= 412,16 ft
• Maka puncak ketinggian cairan pengiring (water behind) :
= TOC I– ketinggian cairan pengiring
= 7775,89 ft – 412,16 ft
= 7363,73 ft
d. Menghitung perkiraan ketinggian cairan pendorong (water
displacement):
86

volume water displacement


=
DP capacity
54,49 bbl
=
0,0074 bbl/ft

= 7363,73 ft
Keterangan:. Perkiraan ketinggian puncak kolom fluida saat workstring tercelup
berdasarkan perhitungan dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Kondisi Fluida Saat Workstring Tercelup

Perlu diketahui sebelum dilakukan pemberian tekanan squeeze, rangkaian


penyemenan diangkat sampai kedalaman 7201 ft, sehingga ada volume semen,
water behind, dan displacement fluid yang turun, hal ini dilakukan agar
workstring tidak ikut tersemen di dalam lubang bor.
87

• Perkiraan Ketinggian Semen dan Fluida Sebelum Pendesakan, Saat


Workstring Diangkat (@ 7201 ft)
a. Menghitung perkiraan ketinggian slurry semen:
Menghitung ketinggian kolom slurry saat workstring diangkat
(Persamaan 3-9):
= (Bottom of cement – top of liner) x liner capacity
= (8210 – 7392) ft x 0,0264 bbl/ft
= 31,33 bbl

Ketinggian cement slurry di liner 7”


Total volume slurry
=
Casing liner 7"
14,66 bbl
=
0,0383 bbl/ft

= 382,69 ft
Menghitung puncak ketinggian semen (TOC 2)
= Bottom of Cement – ketinggian slurry di liner 7”
= 8210 – 382,69
= 7827,31ft
b. Menghitung perkiraan ketinggian kolom cairan pengawal cairan
pengiring (water behind):
Menghitung volume cairan pengawal cairan water ahead dan water
behind di casing 9 5/8”
= (volume water head + volume water behind) – (volume semen di
casing 7” – total volume semen)
= (15 + 3,05) – (31,33 – 14,66)
= 1,38 bbl
Menghitung ketinggian cairan pengawal cairan water ahead dan water
behind
Volume cairan water head+ water behindcasing 9 5/8”
=
casing 9 5/8 capacity
88

1,38 bbl
=
0,0732 bbl/ft

= 18,82 ft
Menghitung puncak ketinggian cairan (water ahead dan water
behind):
= TOC2 – ketinggian cairan pengiring
= 7827,31 – 18,82 ft
= 7808,49 ft
c. Menghitung perkiraan ketinggian cairan pendorong (water
displacement):
Volume displacement fluid
=
Dp capacity
53 bbl
=
0,0074 bbl/ft

= 7162,16 ft
d. Menghitung kedalaman posisi OE sebelum dilakukan pendesakan
semen
= puncak ketinggian water behind – 100 ft
= 7808,49 ft – 100 ft
= 7708,49 ft
e. Menghitung total ketinggian semen sebelum dilakukan pendesakan
= Bottom of cement – TOC2
= 8210 ft – 7827,31 ft
= 382,69 ft
Perkiraan ketinggian puncak kolom fluida setelah workstring diangkat
berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh penulis dapat dilihat pada
Gambar 4.6.
89

Gambar 4.6. Kondisi Fluida Saat Workstring Diangkat

• Perkiraan Ketinggian Semen dan Fluida Setelah Pendesakan.


a. Menghitung perkiraan volume semen setelah pendesakan:
={BOC – (BOC – top perforasi + safety margin) – TOC2} x liner
capacity
= {8210 ft - (8210 – 8032 + 98.4) ft – 7828,31 ft} x 0,0383 bbl/ft
= (8210 ft – 276,4 ft – 7828,31 ft) x 0,0383 bbl/ft
= (7933,6 ft – 7828,31) x 0,0383 bbl/ft
= 4,07 bbl
Menghitung total sisa volume yang ada di casing
= Total volume semen yang dipompakan – volume yang akan didesak
= 14,66 bbl – 4,07 bbl
90

= 10,59 bbl
Menghitung puncak ketinggian kolom semen (TOC3):
= BOC – (sisa volume yang ada di liner 7” / liner capacity 7”)
= 8210 ft – (10,59 bbl / 0,0383 bbl/ft)
= 8210 ft – 276,4 ft
= 7933,60 ft
b. Menghitung perkiraan ketinggian kolom cairan pengiring (water head
dan water behind):
Menghitung ketinggian cairan water head dan water behind:
Volume water ahead + volume water behind
=
liner 7" capacity
15 + 3,05 bbl
=
0,0383 bbl/ft

= 94,63 ft
Maka ketinggian cairan water head dan water behind pada liner 7”
= (TOC3 – 94,63 ft)
= (7933,60 ft – 94,63 ft)
= 7838,97 ft
Keterangan: cairan pendorong mengisi sumur sampai ke permukaan
Setelah dilakukan pendesakan dan dilakukan waiting on cement, ternyata
kedalaman top of cement yang terbentuk adalah 7949 ft, naik sebesar 110,03 ft
dari perkiraan top of cement dari hasil perhitungan (7838,97 ft). Hal ini
dikarenakan semen mengeras sebelum sampai pada target yang diinginkan dan
menurunnya thickening time
91

Gambar 4.7. Perkiraan Ketinggian Puncak Semen

Perkiraan ketinggian puncak semen atau top of cement (TOC) berdasarkan


perhitungan yang telah dilakukan oleh penulis dapat dilihat pada Gambar 4.7.

4.3.4. Perhitungan Tekanan


1. Perhitungan Tekanan Hidrostatik (Ph):
a. Menghitung tekanan hidrostatis @ start squeeze (Persamaan 3-10):
Menghitung tekanan hidrostatis semen @ start squeeze:
= 0,052 × densitas (ppg) × tinggi kolom (ft)
= 0,052 × 15,8 × 434,11
= 356,67 psi
Menghitung tekanan hidrostatis water behind
= 0,052 × densitas (ppg) × tinggi kolom (ft)
= 0,052 × 8,34 × 412,16
92

= 178,75 psi
Menghitung tekanan hidrostatis water displacement @ start squeeze:
= 0,052 × densitas (ppg) × tinggi kolom (ft)
= 0,052 × 8,7 × 7363,73
= 3331,35 psi
Menghitung tekanan hidrostatis total @ start squeeze:
= Phsemen + Phspacer + Phdisplacement
= 356,67 psi + 178,75 psi + 3331,35 psi
= 3866,76 psi
Berdasarkan ketinggian kolom semen, water behind, serta ketinggian
kolom water displacement dapat ditentukan tekanan hidrostatik (Ph) pada saat
mulai dilakukan pendesakan (squeezing) seperti yang dijelaskan pada Tabel IV-3.
Tabel IV-3
Perhitungan Tekanan Hidrostatis (@ Start Squeeze)
Densitas Ketinggian
Fluida Tekanan Hidrostatis, psi
, ppg Kolom Fluida, ft
= 0,052 x ρ x h
Semen 15,8 434,11 = 0,052 x 15,8 x 434,11
= 356,67
= 0,052 x 8,34 x 412,16
Water behind 8,34 412,16
= 178,75
Water = 0,052 x 8,7 x 7363,33
8,7 7363,33
Displacement = 3331,35
= 357,67 + 178,75 + 3331,35
Ph @ start squeeze
= 3866,76

b. Menghitung tekanan hidrostatis @ end of squeeze (Persamaan 3-10):


Menghitung tekanan hidrostatis semen @ end of squeeze:
= 0,052 × densitas (ppg) × tinggi kolom (ft)
= 0,052 × 15,8 × 276,4
= 227,09 psi
Menghitung tekanan hidrostatis water behind @ end of squeeze:
= 0,052 × densitas (ppg) × tinggi kolom (ft)
93

= 0,052 × 8,34 × 94,63


= 41,04 psi
Menghitung tekanan hidrostatis water displacement @ end of squeeze:
= 0,052 × densitas (ppg) × tinggi kolom (ft)
= 0,052 × 8,7 × 7838,97
= 3546,35 psi
Menghitung tekanan hidrostatis total @ end of squeeze:
= Phsemen + Phspacer + Phdisplacement
= 227,09 psi + 41,04 psi + 3546,35 psi
= 3814,48 psi
Berdasarkan ketinggian kolom semen, kolom water behind, serta
ketinggian kolom water displacement dapat ditentukan tekanan hidrostatik (Ph)
pada saat akhir dari pendesakan (hesitation) seperti pada Tabel IV-4, sebagai
berikut.
Tabel IV-4
Perhitungan Tekanan Hidrostatis (@ End of Squeeze)
Densitas Volume, Tinggi Kolom
Fluida Tekanan Hidrostatis, psi
, ppg Bbl Fluida, ft
= 0,052 × 15,8 × 276,4
Semen 15,8 14 276,4
= 227,09
Water = 0,052 × 8,34 × 94,63
8,34 3,23 94,63
behind = 41,04
Water
= 0,052 × 8,7 × 7838,97
Displacem 8,7 48,5 7838,97
= 3546,35
ent
= 227,09 + 41,04 + 3546,35
Ph @ end of squeeze
= 3814,48

2. Perhitungan Tekanan Rekah Formasi (Prf):


Menghitung tekanan rekah formasi (Prf ) (Persamaan 3-12):
= gradien rekah formasi × kedalaman bottom of cement
= 0,7 psi/ft × 8210 ft
= 4533,2 psi
94

4.3.5. Perhitungan Tekanan Maksimum Pompa atau Maximum Allowable


Surface Pressure (MASP)
1. Perhitungan Frictional Pressure Drop (∆Pf)
Penentuan frictional pressure drop digunakan untuk menanggulangi
kehilangan tekanan yang terjadi saat hidrodinamis. Berikut perhitungan
pressure drop yang terjadi:
a. Pressure Drop yang terjadi di dalam drill pipe
Diketahui dari data, panjang drill pipe yang diisi oleh fluida (L)
adalah 7201 ft. Pada saat dilakukan pendesakan, rate yang digunakan
untuk pemompaan water displacement adalah sebesar 84 gpm. Maka
kecepatan rata-rata (ft/sec) di drillpipe yang diketahui mempunyai ID
sebesar 2,764” dapat dihitung dari Persamaan sebagai berikut:
laju alir displacement fluid
V =
2,448 x ID2
84
V =
2,448 x 2,7642

V = 4,49 ft/sec
Untuk menentukan jenis pola aliran dengan menggunakan
perhitungan Nre melalui Persamaan :
928 𝑝 𝑣𝑑
NRe =
µ
928 x 8,7 x 4,49 x 2,764
NRe =
29
NRe = 3456,20
Dari perhitungan diatas dapat diketahui jenis pola aliran di
dalam drill pipe adalah aliran turbulen dikarenakan Nre > 2.100 , maka
perhitungan kehilangan tekanan di dalam drill pipe menggunakan
Persamaan :
∆Pf Displacement fluid @ drill pipe:
𝜌0,75 𝑥 𝑣 1,75 𝑥 𝜇0,25
Pdrillpipe = 𝑥𝐿
1800 𝑥 𝑑 1,25
95

8,70,75 𝑥 4,491,75 𝑥 290,25


Pdrillpipe = 𝑥 7201
1800 𝑥 2,7641,25

Pdrillpipe = 182,86 psi


Penentuan tekanan maksimum pompa sangat penting untuk menentukan
kapan operasi pemberian tekanan squeeze selesai, untuk menghindari rusaknya
formasi akibat tekanan yang terlalu besar.
2. Penentuan tekanan maksimum pompa @ start squeeze menggunakan
Persamaan (3-13):
= Prf – Ph – Safety Factor
= 4533,2 psi – 3866,76 psi – 100 psi
= 566,44 psi
3. Penentuan tekanan maksimum pompa @ end of squeeze menggunakan
Persamaan (3-13):
= Prf – Ph – Safety Factor
= 4533,2 psi – 3814,48 psi – 100 psi
= 618,72 psi
Hasil perhitungan tekanan disajikan pada Tabel IV-5, sebagai berikut:

Tabel IV-5
Hasil Perhitungan Tekanan Maksimum Pemompaan yang Diizinkan (MASP)
Volume Tekanan
Tekanan Squeeze
Squeeze Hidrostatis, MASP, psi Prf, psi
Maksimum, psi
, bbl psi
= Prf – Ph – SF = MASP + Ph - ∆Pf
0 3866,76 = 4533,2 – = 566,44+ 3866,76 – 4533,2
3866,76 – 100 182,86
= 566,44 = 4250,34
= 4533,2 – = 618,72 + 3814,48–
2,4 3814,48 3814,48 – 100 182,86 4533,2
= 618,72 = 4250,34

Berdasarkan Tabel IV-5, kondisi semen yang ter-squeeze sebanyak 2,4 bbl
dicapai dengan tekanan permukaan sebesar 618,72 psi. Sehingga tekanan yang
96

boleh digunakan yaitu dibawah atau sama dengan harga tersebut. Dan tekanan
squeeze maksimum yang diperbolehkan adalah 4240,36 psi, tekanan squeeze ini
masih di bawah harga tekanan rekah formasi sebesar 4533,2 psi sehingga tekanan
squeeze yang diberikan tidak mengakibatkan rekahnya formasi.
Sedangkan pada kondisi aktual operasi squeeze cementing Sumur “DN”
tekanan pompa yang diberikan untuk mendorong 2,4 bbl semen ke dalam formasi
(peforasi) sebesar 1000 psi. Dengan tekanan pompa tersebut, maka tekanan
squeeze-nya masih dibawah tekanan rekah formasi yaitu 4533,2 psi sehingga
dapat dikatakan operasi squeeze cementing Sumur “DN” tidak mengakibatkan
rusak atau rekahnya formasi. Perbandingan penentuan tekanan maksimum
pemompaan yang diijinkan atau MASP (Maximum Allowable Squeeze Pressure)
antara hasil perhitungan penulis dengan kondisi aktual disajikan pada Tabel IV-6,
sebagai berikut:

Tabel IV-6
Perbandingan Penentuan Tekanan Maksimum Pemompaan yang Diizinkan
Hasil Perhitungan
Parameter Kondisi Lapangan
Penulis
MASP, psi 618,72 1000
Maksimum Tekanan
4250,34 4250,34
Squeeze yang Diizinkan, psi
Prf, psi 4533,2 4533,2

Dari Tabel IV-6 diatas, dapat diketahui bahwa MASP yang diterapkan di
lapangan berbeda dengan harga MASP teoritis, sehingga secara langsung akan
mempengaruhi tekanan akhir squeeze yang terjadi.
97

MASP
1000,00

900,00

800,00
MASP, psi

700,00

618,72
600,00

500,00 Safe Area

400,00
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
Volume Squeeze, bbl 2,4

Gambar 4.8. Grafik Penentuan Tekanan Maksimum Pemompaan


yang Diizinkan atau MASP (Maximum Allowable Squeeze Pressure)

Berdasarkan Gambar 4.8, maka dapat dapat diketauhi besarnya tekanan


maksimum pompa yang diizinkan dengan jumlah volume squeeze dengan harga
tertentu, agar tekanan tersebut tidak melebihi tekanan rekah formasinya.
4.4. Evaluasi Waktu Pelaksanaan Squeeze Cementing Sumur “DN”
Untuk pelaksanaan squeeze cementing pada Sumur “DN” dimulai pada
tanggal 23 November 2020 sampai setelah tunggu semen kering (TSK) selesai
tanggal 24 November 2020. Dan untuk prosedur pelaksanaan pekerjaan squeeze
cementing Sumur “DN” adalah sebagai berikut:
1. Masuk rangkaian open end DP 3 ½” sampai kedalaman 8158 ft.
2. Mensirkulasi bersih lubang sumur.
3. PJSM (Pre-Job Safety Meeting)
4. Injectivity test interfal perforation 8158 ft
5. PJSM penyemenan
6. Mixing chemical cement.
7. Pompakan water ahead 15 bbl dengan rate 3 bpm, pump pressure 430 psi.
98

8. Pompakan slurry 14 bbl 15,8 ppg cement slurry dengan rate 3 bpm, pump
pressure 440 psi.
9. Pompakan water behind 3,41 bbl dengan rate 3 bpm, pump pressure 400 psi.
10. Pompakan water displacement 53,5 bbl 8,7 ppg brine water dengan rate 2
bpm, pump pressure 300 psi.
11. Cabut rangkaian OE (Open End) dari kedalaman 8158 ftMD sampai 7201
ftMD.
12. Close BOP dan coba lakukan squeeze 2,4 bbl dengan rate 0,5 bpm, pump
pressure 900 psi drop ke 380 psi
13. Mensirkulasi balik dengan brine untuk membersihkan kontaminasi semen
(sisa semen) yang menempel pada dinding workstring. (direkomendasikan
dilakukan 3x)
14. TSK sambil monitor casing pressure.
15. Hesitation squeeze job dengan 0.3 bpm final pressure sampai 1000 psi total
volume squeeze 6 bbl selama 20 menit
16. Sample semen di permukaan 100% keras
17. Pengujian tekanan 2000 psi/15 menit. Hal ini menandakan tidak terjadi
penurunan tekanan yang mengindikasikan bahwa pekerjaan squeeze
cementing
Estimasi waktu pada pelaksanaan pekerjaan squeeze cementing Sumur
“DN” disajikan pada Tabel IV-7 dibawah ini:
Tabel IV-7
Estimasi Waktu Pelaksanaan Squeeze Cementing Sumur “DN”
Laju
Volume Estimasi Waktu
Kegiatan Operasi Pemompaan
(bbl) Pekerjaan
(bpm)
Pemompaan
15 3 5 Menit
Water Ahead
Pemompaan
14 2 5 Menit
Cement Slurry
Pemompaan
3,41 2 2 Menit
Water Behind
99

Pemompaan
Water 53,3 2 27 Menit
Displacement
Pengangkatan
Rangkaian
Penyemenan dan 3 min/joint 72 Menit
Reverse
Circulation
Pendesakan
6,00 0,3 20 Menit
Hesitasi

Total Waktu Pekerjaan 131 Menit

Dari Tabel IV-7, dapat dilihat pada kondisi di lapangan, pelaksanaan


pekerjaan squeeze cementing mulai dari pemompaan cement slurry dan fluida
komplesi, sampai dengan pendesakan dibutuhkan waktu 2 jam 11 menit. Ini
berarti bahwa dari sifat cement slurry yang telah didesign dengan thickening time
@70 Bc rata-rata dari semen tail selama 3 jam 29 menit. Tersisa waktu kurang
lebih 1 jam 18 menit bagi cement slurry untuk mencapai waktu thickening time
yang telah didesign. Dengan selang waktu 1 jam 18 menit tersebut dapat
digunakan sebagai safety factor apabila ada pekerjaan tambahan yang diluar
dugaan sehingga masih ada cukup waktu sebelum akhirnya semen mengeras dan
sulit untuk dipompakan.

4.5. Evaluasi Hasil Pekerjaan Squeeze Cementing Sumur “DN”


Evaluasi hasil squeeze cementing pada Sumur “DN” ini seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya yaitu menggunakan pressure test dan analisa kurva CBL-
USIT. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi secara kualitatif dimana evaluasi
secara kualitatif dilakukan dengan membaca dan menganalisa perubahan kurva
CBL-USIT dengan indikasi yang terjadi sebelum dan sesudah dilakukannya
squeeze cementing serta dilakukan juga evaluasi secara kuantitatif dengan
menggunakan nilai CBL dan dikorelasikan dengan CBL Interpretation Chart
sehingga mendapatkan nilai compressive strength dan bond index setelah
dilakukannya squeeze cementing.
100

4.5.1. Pengujian Terhadap Hasil Operasi Squeeze Cementing Sumur “DN”


Setelah evaluasi hasil squeeze cementing pada sumur “DN” ini seperti yang
sudah disebutkan sebelumnya yaitu menggunakan pressure test dan Analisa kurva
CBL-USIT. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi secara kualitatif diman
evaluasi secara kualitatif dilakukan dengan membaca dan menganalisa perubahan
kurva CBL-USIT. Dilakukan juga pengujian terhadap semen dengan pressure
test. Dari hasil terebut pada saat dilakukan penekanan 2000 psi / 15 menit, hasil
yang didapatkan stabil. Artinya hasil pressure test tersebut mengindikasi bahwa
semen dan casing tidak bocor, sehingga tidak perlu dilakukan squeeze cementing
ulang.

4.5.2. Evaluasi Kualitatif CBL-USIT


Evaluasi secara kualitatif ini dilakukan dengan membaca perubahan kurva
CBL-VDL dengan indikasi yang terjadi sebelum dan sesudah dilakukannya
squeeze cementing, sebagai contoh pada pembacaan kurva CBL-VDL sebelum
dilakukannya squeeze cementing pada kedalaman 7980 – 8150 ft terdapat indikasi
channeling, namun setelah dilakukan squeeze cementing pada kedalaman 7980 –
8150 ft terdapat perbaikan bonding semen yang ditandai dengan turunnya nilai
amplitudo pada CBL dengan nilai amplitude berkisar 10-42 mV dengan rata-rata
26,68 mV. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Untuk salah satu contoh pembacaan CBL pada kedalaman 8032 ft adalah 9
mV, dimana dalam pembacaan untuk setiap kotaknya adalah 10 mV, maka dari itu
nilai CBL untuk kedalaman 8032 ft adalah 9 mV. Dalam pembacaan log ini
dibantu juga dengan alat Digitizer untuk memudahkan dan hasil log yang di
dapatkan lebih akurat dalam pembacaannya.
Selanjutnya analisa menggunakan USIT, dilihat pada kedalaman 7980
hingga 8010 ft terdapat kandungan gas dan fluida dibalik semen. Juga semen
dinilai masih mengalami micro-debonding ditandai dengan garis warna hija serta
sebaran micro-annulus yang cukup banyak di kedalaman tersebut. Radius casing
pada kedalaman tersebut jgua terlihat sedikit jelas, yang menandakan bahwa
101

casing pada kedalaman tersebut sudah pada keadaan centre. Namun pada
kedalaman 7980 hingga 8000 ft ketebalan semen dianggap kurang karena warna
merah dan biru yang samar samar pada kolom casing thickness. Untuk kedalaman
8015 hingga 8030 ft casing dinilai kurang centre, nilai CBL yang besar, serta
kondisi di belakang casing terdapat kandungan gas dan fluida. Ditandai oleh nilai
micro-debonding yang cukup besar pada kedalaman tersebut. Terkorelasi oleh log
CBL dan perhitungan CS-BI yang didapatkan hasil bad bonding. Pada kedalaman
8052 ft terdapat garis merah pada proses Flags atau UFLG, yang menandakan
pada kedalaman tersebut alat USIT kehilangan gemanya sehingga terjadi
kekosongan pada hasil interpretasi. Namun pada hasilnya, kedalaman tersebut
dianggap memiliki hasil penyemenan yang baik. Nilai CBL kecil dan interpretasi
USIT lainnya menandakan bahwa pada kedalaman tersebut terdapat gas namun
nilai micro-debonding tidak terlalu besar. Pada Kedalaman 8072 hingga 8130 ft
terlihat cukup banyak kandungan gas di belakang casing semen. Pada kedalaman
tersebut juga terlihat galaxy pattern yang menandakan bahwa terdapat sisi sempit
annulus. Meskipun begitu, keadaan semen dinilai cukup baik dan letak casing
sudah centre. Ketebalan semen pun juga dianggap sudah baik, terlihat dari warna
biru dan merah pada kolom casing thickness (AIBK). Hasil yang baik juga
ditunjukkan pada kedalaman 8135 hingga 8150 ft karena letak casing yang sudah
centre dan nilai micro-debonding kecil, serta tidak ada indikasi adanya fluida
maupun gas pada kedalaman tersebut.
Berdasarkan analisa kualitatif dengan pembacaan pada CBL-USIT dapat
disimpulkan bahwa pada sekitar zona produktif tersebut terdapat kualitas ikatan
semen yang menjadi lebih baik dari sebelumnya, namun dengan adanya korelasi
antara CBL-USIT ini, hasil yang didapat menjadi lebih banyak. Antara lain
kandungan gas, interpretasi semen yang terbentuk melalui warna, letak casing,
ketebalan semen yang terbentuk, serta gambaran mengenai keadaan atau kondisi
dibalik semen. Serta membantu untuk mengetahui micro-debonding yang
terbentuk pada kegiatan penyemenan.
102

Gambar 4.9. Kurva CBL-USIT pada kedalaman 7980 - 8150 ft


103

4.5.3. Evaluasi Kuantitatif CBL


Evaluasi secara kuantitatif ini meliputi perhitungan harga compressive
strength dan bond index, dimana dalam penentuannya dibutuhkan harga
amplitude. Harga amplitude diperoleh dari hasil pembacaan kurva CBL tiap
kedalaman dimana pada evaluasi ini menggunakan interval 5 ft untuk pembacaan
harga amplitude. Dengan menggunakan harga amplitude tersebut dan dengan CBL
interpretation chart seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.21. serta dengan
spesifikasi casing yang di evaluasi (OD, thickness), maka dapat ditentukan
besarnya harga compressive strength dan bond index untuk tiap kedalaman.
Dengan menggunakan bantuan CBL Interpretation Chart, harga amplitude
tersebut digunakan untuk mencari attenuation rate pada zona interest dan besar
compressive strength dan bond index dengan mengikuti langkah-langkah seperti
yang tercantum pada Bab III (Bagian 3.5.3.3.). Data-data yang dibutuhkan untuk
menggunakan CBL Interpretaton Chart adalah data casing yang digunakan,
adapun data casing yang digunakan pada Sumur “DN” adalah sebagai berikut :
a. OD Casing :7 Inch
b. ID Casing : 6,276 Inch
c. Casing Thickness : 0,362 Inch
d. Nominal Weight : 26 lb/ft
Menggunakan data-data diatas, langkah selanjutnya adalah mengeplot
hasil pembacaan amplitude CBL pada kedalaman yang akan dianalisa, untuk
perhitungan atau langkah dalam mendapatkan parameter compressive strength dan
bond index.
Untuk tahapan analisa kuantitatif dengan menggunakan CBL
Interpretation Chart untuk mendapatkan besarnya compressive strength dapat
dilakukan dengan cara memplot harga amplitude yang didapatkan dari CBL
kedalam CBL Interpretation Chart dan kemudian dari harga amplitude tadi ditarik
garis ke ukuran casing tersebut dan kemudian mendapatkan harga attenuasinya.
Setelah itu dari harga attentuasinya ditarik garis ke harga compressive strength
104

dengan melewati ketebalan casing tersebut, untuk lebih jelasnya dapat dilihat
garis warna hijau pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10. Analisa Kuantitatif Menggunakan CBL Interpretation Chart

Contohnya adalah pada kedalaman 8032 ft, didapatkan harga amplitude


pada pembacaan CBL yang ditunjukkan oleh garis hijau adalah sebesar 9 mV,
dari harga amplitude tersebut dengan menggunakan langkah yang telah
dicontohkan diatas maka didapatkan harga attentuasinya yaitu sebesar 6,2 dB/ft.
dan untuk nilai compressive strength yang didapatkan adalah sebesar 500 psi.
Sedangkan untuk mendapatkan nilai bond index dapat menggunakan
Persamaan (3-20), dimana untuk attenuasi pada zona interest yang didapatkan
pada kedalaman 8032 ft adalah sebesar 6,2 db/ft, dan untuk attenuasi pada zona
tersemen 100 % yaitu sebesar 12,4 db/ft. Untuk attenuasi pada tersemen 100%
dapat dilihat pada harga amplitude yang dibaca pada CBL dengan harga
105

amplitude yang paling kecil, dari harga tersebut dapat dilihat nilai attenuasinya
dengan menggunakan CBL Interpretation Chart seperti langkah diatas. Adapun
untuk Persamaan (3-20) adalah sebagai berikut:
db
attenuasi@ zona interest ( ft )
BI = db
attenuasi@ zona tersemen 100% ( ft )

6,2
BI = = 0,5
12,4

Berdasarkan persamaan tersebut didapatkan nilai bond index untuk


kedalaman 8032 ft adalah sebesar 0,5.
Berdasarkan nilai compressive strength sebesar 500 psi dan bond index
sebesar 0,5. Maka untuk kualitas semen pada kedalaman 8032 ft berdasarkan
analisa dengan compressive strength adalah good bonding dan berdasarkan
analisa dengan bond index juga sudah cut off good bonding. Maka dapat
disimpulkan pada kedalaman 8032 ft untuk kualitas ikatan semennya bagus.
Untuk lebih lengkapnya hasil analisa kuantitatif sebelum dan setelah
dilakukannya squeeze cementing untuk setiap kedalaman, dapat dilihat pada
Tabel IV-8 dan Tabel IV-9 sebagai berikut:
Tabel IV-8
Analisa Kuantitatif Cement Bond Log (Before Squeeze)
Kedalaman Amplitude Attenuasi CS Analisa Bond Analisa
(ft) (mV) (dB/ft) (psi) CS Index BI
7980 35 2,3 25 Bad 0,19 Bad
7985 32 2,5 35 Bad 0,20 Bad
7990 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
7995 26 3,4 65 Bad 0,27 Bad
8000 29 2,85 48 Bad 0,23 Bad
8005 28 2,9 50 Bad 0,23 Bad
8010 30 2,95 45 Bad 0,24 Bad
8015 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
8020 36 2,2 20 Bad 0,18 Bad
8025 29 2,85 48 Bad 0,23 Bad
106

8030 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad


8032 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
8037 20 3,8 100 Bad 0,31 Bad
8042 25 3,35 75 Bad 0,27 Bad
8047 18 4 125 Bad 0,32 Bad
8052 29 2,85 48 Bad 0,23 Bad
8057 23 3,4 78 Bad 0,27 Bad
8062 22 3,5 90 Bad 0,28 Bad
8067 20 3,8 100 Bad 0,31 Bad
8072 24 3,3 80 Bad 0,27 Bad
8077 10 6,05 440 Bad 0,49 Bad
8082 18 4 125 Bad 0,32 Bad
8087 18 4 125 Bad 0,32 Bad
8092 32 2,5 35 Bad 0,20 Bad
8097 38 2 0 Bad 0,16 Bad
8102 40 1,8 0 Bad 0,15 Bad
8107 42 1,6 0 Bad 0,13 Bad
8110 42 1,6 0 Bad 0,13 Bad
8115 11 5,65 350 Bad 0,46 Bad
8120 42 1,6 0 Bad 0,13 Bad
8125 35 2,3 25 Bad 0,19 Bad
8130 20 3,8 100 Bad 0,31 Bad
8135 22 3,5 90 Bad 0,28 Bad
8140 19 3,9 110 Bad 0,31 Bad
8142 19 3.9 110 Bad 0,31 Bad

Tabel IV-9
Analisa Kuantitatif Cement Bond Log ( After Squeeze)
Kedalaman Amplitude Attenuasi CS Analisa Bond Analisa
(ft) (mV) (dB/ft) (psi) CS Index BI
7980 11 5.65 350 Bad 0.46 Bad
107

7985 8 6.4 580 Good 0.52 Good


7990 12 5.4 310 Bad 0.44 Bad
7995 15 4.7 240 Bad 0.38 Bad
8000 9 6.2 500 Good 0.50 Good
8005 9 6.2 500 Good 0.50 Good
8010 8 6.4 580 Good 0.52 Good
8015 12 5.4 310 Bad 0.44 Bad
8020 11 5.65 350 Bad 0.46 Bad
8025 24 3.3 70 Bad 0.27 Bad
8030 20 3.8 85 Bad 0.31 Bad
8032 9 6.2 500 Good 0.50 Good
8037 9 6.2 500 Good 0.50 Good
8042 7 6.8 660 Good 0.55 Good
8047 8 6.4 580 Good 0.52 Good
8052 4 8.4 1240 Good 0.68 Good
8057 9 6.2 500 Good 0.50 Good
8062 5 7.8 940 Good 0.63 Good
8067 8 6.4 580 Good 0.52 Good
8072 9 6.2 500 Good 0.50 Good
8077 4 8.5 1240 Good 0.69 Good
8082 9 6.2 500 Good 0.50 Good
8087 2 10.4 2540 Good 0.84 Good
8092 1 12.4 4400 Good 1.00 Good
8097 5 7.8 940 Good 0.63 Good
8102 3 9.2 1680 Good 0.74 Good
8107 3 9.2 1680 Good 0.74 Good
8110 1 12.4 4400 Good 1.00 Good
8115 2 10.4 2540 Good 0.84 Good
8120 4 8.5 1240 Good 0.69 Good
8125 2 10.4 2540 Good 0.84 Good
8130 1 12.4 4400 Good 1.00 Good
8135 1 12.4 4400 Good 1.00 Good
8140 1 12.4 4400 Good 1.00 Good
8142 1 12.4 4400 Good 1.00 Good
* Label Kuning menandakan kedalaman yang memiliki ikatan semen baik.
* Label Putih menandakan kedalaman yang memiliki ikatan semen yang belum
baik.
108

Berdasarkan analisa kuantitatif pada Tabel IV-8 dan Tabel IV-9, dapat
dikatakan bahwa telah terjadi peningkatan terhadap nilai compressive strength dan
juga bond index untuk setiap kedalaman, yaitu untuk nilai compressive strength
berkisar 79-4400 psi dengan rata-rata 1462,14 psi dan untuk nilai bond index
berkisar 0,27-1 dengan rata-rata 0,63. Walaupun demikian terdapat beberapa
kedalaman yang bad bonding namun lebih banyak kedalaman yang good bonding.
Oleh karena itu untuk channeling yang terjadi di atas interval perforasi masih
dapat diatasi yang dikarenakan kualitas semennya bagus, namun pada kedalaman
yang di atas masih banyak terdapat kualitas ikatan yang semen buruk dan hanya
beberapa interval kedalaman saja yang memiliki kualitas ikatan semen yang
bagus.
Evaluasi terhadap persentase kenaikan compressive strength dan bond
index sebelum dan sesudah dilakukannya squeeze cementing didasarkan pada
tabel hasil pembacaan harga amplitude serta perhitungan dan analisa bond index
dan compressive strength. Evaluasi terhadap persentase tersebut termasuk evaluasi
secara kuantitatif disamping menentukan harga BI dan CS serta analisanya. Dari
data analisa semen yang telah didapatkan sebelum squeeze (Tabel IV-8) dan
setelah squeeze (Tabel IV-9) dapa ditentukan presentase perubahan atau kenaikan
BI dan juga CS. Adapun perhitungan dalam menentukan persentase perubahan
atau kenaikan BI dan CS sesudah dilakukannya squeeze cementing adalah sebagai
berikut:
Persentase berdasarkan compressive strength:
Tabel IV-10
Persentase Berdasarkan Compressive Strength

Parameter After
Squeeze
Interval (ft) 165
Panjang zona good cemented (ft) 130
Panjang zona bad cemented (ft) 32
% good cemented 80,2
% bad cemented 19,2
109

Nilai compressive strength setelah dilakukannya squeeze cementing berkisar


0-440 psi dengan rata-rata 81,20 psi. Sedangkan setelah dilakukannya squeeze
cementing berkisar 70-4400 psi dengan rata-rata 1462,14 psi. Sehingga untuk
menghitung persen kenaikan compressive strength adalah sebagai berikut:
CSbaru-CSlama
% Kenaikan CS = x 100%
CSbaru
1462,14 – 81,20
= x 100%
1462,14

= 94,4 %
Sehingga untuk kenaikan compressive strength yang terjadi sekitar 94,4 %
dari sebelum dilakukannya squeeze cementing.
Persentase berdasarkan bond index:
Tabel IV-10
Persentase Berdasarkan Bond Index
After
Parameter
Squeeze
Interval (ft) 162
Panjang zona good cemented (ft) 130
Panjang zona bad cemented (ft) 32
% good cemented 80,2
% bad cemented 19,8

Nilai bond index sebelum dilakukannya squeeze cementing adalah berkisar 0,13-
0,49 dengan rata-ratanya adalah 0,24. Sedangkan setelah dilakukannya squeeze
cementing nilai bond index berkisar 0,27-1 dengan rata-rata 0,63. Sehingga untuk
menghitung persen kenaikan bond index adalah sebagai berikut:
BIbaru-BIlama
% Kenaikan BI = x 100%
BIbaru
0,63 - 0,24
= x 100%
0,63

= 61,9 %
Sehingga untuk kenaikan bond index yang terjadi sekitar 61,9 % dari sebelum
dilakukannya squeeze cementing.
110

Maka berdasarkan analisa secara kualitatif dan kuantitatif diatas, setelah


dilakukannya squeeze cementing ikatan semen menjadi lebih bagus, namun
demikian terdapat beberapa kedalaman di atas interval perforasi yang dinilai bad
bonding.
BAB V
PEMBAHASAN

Sumur “DN” Lapangan “GP” merupakan sumur directional, tahapan


konstruksi sumur diawali dengan pemasangan stove pipe 30” dengan kedalaman 80
ftMD. Selanjutnya dibuat lubang 26” dan kemudian dipasang surface casing 20”
sampai kedalaman 997 ftMD. Setelah itu dibuat lubang 17 ½” dan kemudian
dipasang intermediate casing 13 3/8” sampai kedalaman 3997 ftMD. Selanjutnya
dibuat lubang 12 ¼” dan dipasang production casing 9 5/8” sampai kedalaman 7555
ftMD. Dan setelah itu di bor dengan pahat 8 ½” dan dipasang liner 7” dari
kedalaman 7355 – 8210 ftMD.
Permasalahan yang menjadi fokus pada Skripsi ini adalah: apakah
penyemenan primer pada interval sekitar zona produktif mempunyai hasil yang
buruk, apakah pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN” sudah dilakukan secara
optimum dan se-efisien mungkin, dan apakah pekerjaan squeeze cementing Sumur
“DN” berhasil memperbaiki penyemenan primer dengan tidak merekahkan formasi.
Tujuan dari pemboran Sumur “DN” ini adalah untuk mengetahui apakah
lapisan tersebut terdapat kandungan hidrokarbon atau tidak, dan jika terdapat
kandungan hidrokarbon maka data yang diperoleh dari sumur eksplorasi tersebut
dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk dilakukannya pemboran sumur
pengembangan. Berdasarkan analisa hasil penyemenan untuk sekitar zona
produktif di trayek 7” yaitu pada interval kedalaman 7392 - 8210 ft terindikasi
bahwa telah terjadi channeling, sehingga perlu dilakukannya perbaikan ikatan
semen dengan pengerjaan squeeze cementing.
Evaluasi squeeze cementing dimaksudkan untuk mengetahui keberhasilan
pekerjaan squeeze cementing yang dilakukan dalam rangka melakukan perbaikan
ikatan semen untuk sekitar zona produktif Sumur “DN”. Dalam hal ini evaluasi
squeeze cementing yang dilakukan adalah evaluasi dari segi teknis dan perhitungan
pekerjaan squeeze cementing itu sendiri. Evaluasi tersebut terdiri dari waktu
pelaksanaan pekerjaan squeeze cementing dan evaluasi hasil pekerjaan squeeze

111
112

cementing, yang selanjutnya dari hasil yang diperoleh dapat ditentukan dan
diketahui apakah pekerjaan squeeze cementing yang dilakukan berhasil secara
operasional dan hasil untuk mencapai target untuk memperbaiki penyemenan
primer pada sekitar zona produktif.
Analisa kualitatif pada primary cementing adalah dengan menggunakan
CBL-VDL, untuk analisa dengan menggunakan CBL harga amplitude dari
kedalaman 7980-8150 ft yang dihasilkan berkisar dari 10-42 mV dengan rata-
ratanya adalah sebesar 26,68 mV, dimana berdasarkan ini dapat dikatakan bahwa
ikatan semen tersebut adalah buruk dan kemungkinan terjadinya channeling pada
kedalaman tersebut. Dan pada kurva VDL untuk pembacaan casing arrival yang di
sebelah kiri pada VDL terlihat jelas atau seperti bentuk rel, dan untuk formation
arrival yang disebelah kanan pada VDL terlihat lemah meskipun terdapat beberapa
kedalaman yang memiliki sinyal kuat, maka dari itu dapat diindikasikan terjadinya
channeling dan bad to formation pada daerah tersebut. Untuk analisa kuantitatif
yang didapatkan dengan menggunakan CBL dan CBL Interpretation Chart adalah
dengan mendapatkan nilai compressive strength dan bond index. Nilai compressive
strength yang didapat adalah berkisar antara 0-440 psi dengan rata-ratanya adalah
81,2 psi dan untuk nilai bond index yang berkisar antara 0,13-0,49 dengan rata-
ratanya adalah 0,26. Berdasarkan analisa kuantitatif tersebut untuk kedalaman
7980-8150 ft memiliki kualitas ikatan semen yang buruk. Oleh karena itu,
berdasarkan kedua analisa tersebut perlu dilakukannya perbaikan ikatan semen
dengan dilakukannya squeeze cementing.
Dari operasi squeeze cementing aktual di lapangan diketahui teknik
penempatan bubur semen yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode
Bradenhead, dimana bubur semen dimasukkan ke dalam lubang perforasi melalui
drill pipe. Metode pemompaannya menggunakan metode hesitation, dimana
pemompaan bubur semen dilakukan secara bertahap pada selang beberapa menit.
Sedangkan teknik tekanan squeeze yang digunakan adalah teknik low pressure
squeeze cementing (teknik tekanan rendah), dimana tekanan squeeze yang
diterapkan lebih kecil dari tekanan rekah formasi agar formasi tidak rekah.
113

Dari operasi squeeze cementing yang sudah dijalankan, dapat diketahui data
jumlah volume bubur semen dan volume fluida komplesi yang digunakan. Dari data
kebutuhan volume bubur semen dan volume fluida komplesi tersebut, dapat
digunakan penulis untuk melakukan perhitungan beberapa parameter yang akan
digunakan dalam evaluasi keberhasilan operasi squeeze cementing pada Sumur
“DN”. Parameter tersebut adalah ketinggian puncak semen atau top of cement
(TOC), tekanan hidrostatis yang terbentuk, tekanan maksimum pompa yang
diizinkan agar tidak menyebabkan perekahan formasi, tekanan maksimum squeeze
yang diterapkan, perbandingan waktu pelaksanaan squeeze terhadap design
thickening time semen, dan analisa hasil penyemenan.
Salah satu hal penting dalam operasi squeeze cementing adalah perencanaan
dari bubur semen yang digunakan harus memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan
kondisi sumur atau formasi. Dari operasi squeeze cementing Sumur “DN” diketahui
menggunakan semen kelas G dengan pertimbangan bahwa semen kelas G adalah
semen dasar, dimana pada semen tersebut masih dapat diberikan penambahan aditif
untuk membuat sifat bubur semen sesuai yang diinginkan, sebagai berikut:
Retarder (CR – 9LI) dengan kadar 0,06 gal/sak, digunakan digunakan untuk
memperlambat waktu pengerasan bubur semen sehingga bubur semen memiliki
waktu yang cukup mencapai target kedalaman yang diinginkan
Defoamer (AF – 102L) dengan kadar 0,05 gal/sak digunakan untuk
menghindari terperangkapnya gelembung udara selama pencampuran bubur semen.
Terperangkapnya gelembung udara dalam bubur semen dapat mengakibatkan
terbentuknya gelembung udara saat melakukan cement mixing, densitas bubur
semen yang lebih rendah dari yang ditentukan sebelumnya oleh alat pengukur
densitas, terbentuknya semen yang berlubang saat mengeras (channel) sehingga
ikatan semen menjadi tidak baik dan compressive strength nya menurun. Defoamer
jenis ini tidak mempengaruhi nilai rheology, fluid loss, thickening time, dan
compressive strength dari semen.
Dispersant (CD - 11LA) dengan kadar 0,08 gal/sak, aditif ini juga
merupakan friction reducer yang digunakan untuk menurunkan apparent viscosity
dan meningkatkan nilai rheology dari bubur semen tanpa mempengaruhi
114

densitasnya, sehingga semen dapat mudah diaduk, mudah dipompakan, kadar air
bebasnya rendah dan tidak terjadi pengendapan walau semen mempunyai densitas
yang tinggi.
Fluid Loss Control (FL – 17W) dengan kadar 1,4 gal/sak, digunakan untuk
mengurangi water loss dari bubur semen menuju ke formasi, untuk melindungi
formasi dari kerusakan. Juga untuk menghindari dehidrasi lebih dini dan mengalami
flash set yang dapat mengganggu proses pemompaan dan aliran dari semen. Aditif
ini juga dapat berperan sebagai mild dispersant dan retarder, efek lain yang
ditimbulkan oleh aditif ini adalah dapat mengkontrol gas migration, meningkatkan
bonding semen dengan casing dan meningkatkan hasil dari pekerjaan squeeze
cementing.
Dari pencampuran aditif-aditif diatas ke dalam bubur semen, didapat nilai
densitas semen sebesar 15,8 ppg. Pada program squeeze cementing di sumur ini
menggunakan satu tipe semen, yaitu tail. Sedangkan nilai plastic viscosity dari tail
yaitu 96 cp, yield point 19 lbf/100ft2, yield semen 1,630 cuft/sak, fluid loss @220oF
64 cc/30 menit/1000 psi, thickening time @70 Bc 3 jam 29 menit, compressive
strength @220oF 1742 psi after 24 hours.
Jumlah kebutuhan volume bubur semen pada kondisi terdapat perbedaan
dengan perhitungan yang dilakukan penulis untuk menentukan jumlah volume
bubur semen yang dibutuhkan pada pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN”.
Pada perhitungan volume bubur semen di casing penulis memperhitungkan panjang
kolom liner 7” yang akan diisi oleh bubur semen dari ujung rangkaian penyemenan
squeeze sampai dengan bottom of cement yang diinginkan setinggi 276,4 ft, dimana
dari hasil perhitungan jumlah volume bubur yang dibutuhkan untuk mengisi kolom
casing setinggi 276,4 ft adalah sebesar 10,59 bbl.
Pada perhitungan volume bubur semen yang masuk ke dalam perforasi dari
kondisi lapangan diketahui total lubang perforasi yang digunakan sebagai jalur
masuk semen adalah sebanyak 375 lubang. Dari perhitungan semen slurry yang
masuk ke dalam perforasi didapatkan volume sebesar 0,05 bbl. Cement slurry/hole
untuk formasi yang tergolong loss adalah 0,000757 cuft/hole. Dari hasil
perhitungan jumlah volume bubur yang dibutuhkan untuk menutup seluruh lubang
115

perforasi dan mengisi annulus antara bit dan casing / liner adalah sebesar 4,07 bbl.
Jadi total bubur semen yang dibutuhkan pada operasi squeeze cementing Sumur
“DN” berdasarkan perhitungan penulis adalah sebesar 15 bbl. Terdapat perbedaan
yang tidak terlalu jauh dengan kondisi lapangan dimana total volume bubur semen
yang dibutuhkan adalah 14 bbl. Dari data perbandingan antara hasil perhitungan
teoritis dengan kondisi actual di lapangan didapatkan perbedaan volume semen
sebesar 1 bbl. Volume ini tidak akan berdampak jauh pada tinggi kolom semen yang
terbentuk setelah pekerjaan squeeze cementing selesai.
Pada kondisi lapangan volume bubur semen yang dibutuhkan dalam operasi
squeeze cementing Sumur “DN” adalah 14 bbl dengan jumlah sak semen sebanyak
49 sak. Setelah dilakukan squeeze, sebanyak 2,4 bbl bubur semen masuk ke dalam
lubang perforasi. Jumlah volume bubur semen yang masuk ke dalam perforasi dapat
diketahui dari penambahan volume water displacement yang dipompakan ke dalam
sumur selama dilakukan pendesakan (squeezing).
Pada kondisi aktual lapangan, ternyata volume slurry yang masuk ke dalam
formasi adalah 2,4 bbl. Maka sisa bubur semen setelah dilakukan squeeze adalah
sebesar 11,6 bbl. Sisa bubur semen ini berada di dalam casing 9 5/8” dengan inside
diameter 8,681” dan kapasitas sebesar 0,0732 bbl/ft, dimana dalam perhitungan
evaluasi yang penulis lakukan (Perhitungan Sub-Bab 4.3.3.), sebanyak 11,6 bbl
bubur semen dapat membentuk puncak semen atau top of cement (TOC) setelah
pendesakan (squeeze) pada kedalaman 7838,97 ft. Namun pada kondisi aktual di
lapangan, setelah dilakukan pendesakan dan waiting on cement, ternyata kedalaman
top of cement yang terbentuk adalah 7949 ft, naik sebanyak 110,03 ft dari perkiraan
top of cement dari hasil perhitungan (7838,97 ft).
Parameter selanjutnya yang menjadi pedoman keberhasilan operasi squeeze
cementing adalah tekanan squeeze yang digunakan. Tekanan squeeze maksimum
yang diizinkan pada pekerjaan penyemenan sangat penting untuk diketahui, untuk
menentukan kapan operasi pemberian tekanan squeeze harus selesai, untuk
menghindari terjadinya rusak formasi akibat tekanan yang terlalu besar. Pada
perhitungan Sub-Bab 4.3.4., penulis telah melakukan perhitungan tekanan yang
diperlukan pada pekerjaan squeeze cementing Sumur “DN”, sebagai berikut:
116

tekanan rekah formasi pada ujung bottom of cement di kedalaman 8210 ft adalah
sebesar 4533,2 psi, tekanan pada awal pemompaan (sebelum pendesakan) didapat
tekanan hidrostatis (Ph) sebesar 3866,76 psi dan tekanan maksimum pompa
(MASP) sebesar 566,44 psi, sedangkan tekanan pada akhir pemompaan didapat
tekanan hidrostatis sebesar 3814,48 psi dan tekanan maksimum pompa sebesar
618,72 psi.
Berdasar hasil perhitungan tekanan yang telah dilakukan, kondisi semen
yang ter-squeeze sebanyak 2,4 bbl dicapai dengan tekanan pompa permukaan
maksimum sebesar 618,72 psi. Dan tekanan squeeze maksimum yang
diperbolehkan adalah 4250,34 psi, tekanan squeeze ini di bawah harga tekanan
rekah formasi yang sebesar 4533,2 psi sehingga tekanan squeeze yang diberikan
dalam operasi aman dan tidak mengakibatkan rekahnya formasi.
Sedangkan pada kondisi aktual operasi squeeze cementing sumur “DN”
tekanan pompa yang diberikan untuk mendorong 2,4 bbl semen ke dalam lubang
perforasi adalah sebesar 100 psi dan tekanan squeeze maksimum tersebut masih
lebih rendah dibandingkan tekanan rekah formasi, sehingga tekanan squeeze yang
diberikan dalam operasi aman dan tidak mengakibatkan rekahnya formasi.
Dari estimasi waktu pelaksanaan pekerjaan squeeze cementing mulai dari
pemompaan cement slurry dan fluida komplesi, sampai dengan pendesakan
dibutuhkan waktu 2 jam 11 menit. Ini berarti bahwa dari sifat cement slurry yang
telah didesign dengan thickening time @70 Bc rata-rata dari semen tail selama 3
jam 29 menit. Tersisa waktu kurang lebih 1 jam 18 menit bagi cement slurry untuk
mencapai waktu thickening time yang telah didesign. Dengan selang waktu 1 jam
18 menit tersebut dapat digunakan sebagai safety factor apabila ada pekerjaan
tambahan yang diluar dugaan sehingga masih ada cukup waktu sebelum akhirnya
semen mengeras dan sulit untuk dipompakan Seharusnya desain dari thickening
time mempertimbangkan segala kondisi terburuk yang akan terjadi pada saat
operasi squeeze cementing terutama kedalaman sumur nya yang tergolong cukup
dalam, sehingga thickening time yang didesain memberikan jarak waktu yang aman
saat pengaplikasiannya langsung pada lapangan.
117

Pembahasan hasil pekerjaan squeeze cementing yang telah dilakukan seperti


yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu menggunakan analisa kurva CBL-USIT
secara kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi secara kualitatif dilakukan dengan
membaca kurva CBL-USIT dengan indikasi yang terjadi sesudah dilakukannya
squeeze cementing, evaluasi kualitatif berdasar analisa kurva CBL-USIT ini
dipusatkan pada daerah sekitar zona produktif yang berfungsi sebagai isolasi air
ataupun gas terhadap interval zona produktif. Dapat kita perhatikan pada
pembacaan kurva CBL-USIT setelah dilakukan squeeze cementing pada
kedalaman 7980 – 8150 ft terdapat bonding semen dengan nilai amplitudo pada
CBL dengan nilai amplitude berkisar 1-24 mV dengan rata-rata 7,05 mV.
Selanjutnya analisa menggunakan USIT, dilihat pada kedalaman 7980 hingga 8010
ft terdapat kandungan gas dan fluida dibalik semen. Juga semen dinilai masih
mengalami micro-debonding ditandai dengan garis warna hija serta sebaran micro-
annulus yang cukup banyak di kedalaman tersebut. Radius casing pada kedalaman
tersebut jgua terlihat sedikit jelas, yang menandakan bahwa casing pada kedalaman
tersebut sudah pada keadaan centre. Namun pada kedalaman 7980 hingga 8000 ft
ketebalan semen dianggap kurang karena warna merah dan biru yang samar samar
pada kolom casing thickness. Untuk kedalaman 8015 hingga 8030 ft casing dinilai
kurang centre, nilai CBL yang besar, serta kondisi di belakang casing terdapat
kandungan gas dan fluida. Ditandai oleh nilai micro-debonding yang cukup besar
pada kedalaman tersebut. Terkorelasi oleh log CBL dan perhitungan CS-BI yang
didapatkan hasil bad bonding. Pada kedalaman 8052 ft terdapat garis merah pada
proses Flags atau UFLG, yang menandakan pada kedalaman tersebut alat USIT
kehilangan gemanya sehingga terjadi kekosongan pada hasil interpretasi. Namun
pada hasilnya, kedalaman tersebut dianggap memiliki hasil penyemenan yang baik.
Nilai CBL kecil dan interpretasi USIT lainnya menandakan bahwa pada kedalaman
tersebut terdapat gas namun nilai micro-debonding tidak terlalu besar. Pada
Kedalaman 8072 hingga 8130 ft terlihat cukup banyak kandungan gas di belakang
casing semen. Pada kedalaman tersebut juga terlihat galaxy pattern yang
menandakan bahwa terdapat sisi sempit annulus. Meskipun begitu, keadaan semen
dinilai cukup baik dan letak casing sudah centre. Ketebalan semen pun juga
118

dianggap sudah baik, terlihat dari warna biru dan merah pada kolom casing
thickness (AIBK). Hasil yang baik juga ditunjukkan pada kedalaman 8135 hingga
8150 ft karena letak casing yang sudah centre dan nilai micro-debonding kecil, serta
tidak ada indikasi adanya fluida maupun gas pada kedalaman tersebut.
Berdasarkan analisa kualitatif dengan pembacaan pada CBL-USIT dapat
disimpulkan bahwa pada sekitar zona produktif tersebut terdapat kualitas ikatan
semen yang menjadi lebih baik dari sebelumnya, namun dengan adanya korelasi
antara CBL-USIT ini, hasil yang didapat menjadi lebih banyak. Antara lain
kandungan gas, interpretasi semen yang terbentuk melalui warna, letak casing,
ketebalan semen yang terbentuk, serta gambaran mengenai keadaan atau kondisi
dibalik semen. Serta membantu untuk mengetahui micro-debonding yang terbentuk
pada kegiatan penyemenan.
Berdasarkan analisa kuantitatif, dapat dikatakan bahwa telah terjadi
peningkatan terhadap nilai compressive strength dan juga bond index untuk setiap
kedalaman, yaitu untuk nilai compressive strength berkisar 70 - 4400 psi dengan
rata-rata 1462,14 psi dan untuk nilai bond index berkisar 0,27 - 1 dengan rata-rata
0,63. Walaupun demikian terdapat beberapa kedalaman yang masih memiliki nilai
bad bonding dengan nilai 19,8% dari total kedalaman yang dianalisa.
Maka berdasarkan analisa secara kualitatif dan kuantitatif diatas, setelah
dilakukannya squeeze cementing ikatan semen menjadi lebih bagus, namun
demikian terdapat beberapa kedalaman di atas interval perforasi yang dinilai bad
bonding.
BAB VI
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil evaluasi dan perhitungan serta pembahasan tentang squeeze


cementing sumur “DN” yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan akhir
sebagai berikut:
1. Hasil evaluasi penyemenan primer pada sekitar zona produktif yang terdapat
pada interval kedalaman 7980 hingga 8150 ft untuk analisa dengan
menggunakan CBL harga amplitude yang dihasilkan berkisar dari 10-42 mV.
2. Hasil evaluasi penyemanan primer dengan pembacaan kurva VDL
mengindikasikan adanya channeling pada kedalaman 7980 – 8150 ft
sedangkan berdasarkan perhitungan compressive strength didapatkan nilai
compressive strength yang berkisar antara 0-440 psi dengan rata rata 81,2 psi.
Cut off compressive strength yang baik adalah  500 psi yang menandakan
“good bond” dan untuk nilai bond index yang berkisar antara 0,13-0,49 dengan
rata rata 0,26. Cut off bond index yang baik adalah  0,5 yang menandakan
“good bond”.
3. Volume bubur semen berdasarkan perhitungan adalah 14,66 bbl, namun pada
kondisi aktual volume bubur semen yang digunakan adalah 14 bbl.
4. Hasil analisa squeeze cementing secara kuantitatif dengan pembacaan CBL
pada kedalaman 7980 hingga 8150 ft mengindikasikan telah didapat nilai
amplitudeter yang cukup baik ditandai dengan nilai amplitude berkisar 1-24
mV.
5. berdasarkan analisa kuantitatif after squeeze telah didapat nilai compressive
strength dan juga bond index untuk setiap kedalaman, yaitu untuk nilai
compressive strength berkisar 70 - 4400 psi dengan rata-rata 1642,14 psi dan
untuk nilai bond index berkisar 0,27 - 1 dengan rata-rata 0,63.
6. Hasil analisa squeeze cementing secara kualitatif after squeeze pada pembacaan
USIT memperlihatkan bahwa dengan nilai CBL yang cukup baik, tetap

119
120

memungkinkan adanya micro-debonding pada beberapa kedalaman. Dengan


hasil interpretasi yang cukup lengkap, USIT juga memperlihatkan bahwa pada
kedalaman 7980-8150 ft terdapat beberapa kedalaman yang keadaan dibalik
casingnya memiliki kandungan gas dan fluida, sehingga perlu dilakukan
analisa lebih lanjut mengenai hasil squeeze cementing ini.
7. Berdasarkan analisa secara kualitatif dan kuantitatif setelah dilakukannya
squeeze cementing ikatan semen menjadi lebih bagus dari penyemenan primary
yang dibuktikan dengan peningkatan kualitas CS sebesar 94,4% dan
peningkatan kualitas BI sebesar 61,9%.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, N. J. “Drilling Engineering”, A Complete Well Planning Approach, Penn


Well Publishing Co.Tulsa Oklahoma, 1985.( Chapter 3 Page 114)
Allen, T.O., Robert A.P.” Production Operating Well Completion, Workover and
Stimulation”, Oil and Gas Consultant International Inc, Vol. 2, Tulsa, 1982.
Asquith, George.,.” Basic Well Log Analysis for Geologists”, The American
Association of Petroleum Geologists, Tulsa, Oklahoma, 1982.
E.C. Aprilianto, SPE, PT Medco E&P Indonesia, “Remedial Cementing in
Limestone Formation Using Bradenhead Squeeze: A Case History of KS – X22”,
Society of Petroleum Engineer 133286, 2010.
Nelson. E.B., “Well Cementing”, Schlumberger Educational Services, 500 Gulf
Free Way, Houston, Texas, 1990. (Chapter 2 Page 15, Chapter 3 Page 33,
Chapter 10 Page 1 – 49, Chapter 13 Page 1 – 17, Chapter 16 Page 10 – 11)
Kyi Ko Ko., et al, “Issues with Cement Bond and Cement Evaluation Logs- Case
Studies from Offshore Malaysia”, International Petroleum Technology
Conference, 7-9 December, Qatar, 2015.
Rudi Rubiandini, ”Teknik Operasi Pemboran I ”, Institut Teknologi Bandung,
2012. (Chapter 10 Page 28-35)
Smith, D.K., ”Cementing”, Henry Doherty Memorial Of AIME, Society Of
Petroleum Engineers Of AIME, New York. 1976. (Chapter 9 Page 130 – 134,
Chapter 12 Page 168 – 169)
Suman, George O., ”World Oil’s Cementing Handbook Including Casing Handling
Procedures”, Gulf Publishing Company, Houston, Texas, 1977.
Pringgoprawiro, H., Biostratigrafi dan palaeogeografi cekungan Jawa Timur Utara
pendekatan baru, Disertasi Doctor Teknik Geologi, ITB, 1983.
Y.P. Haswarpin, “Analisa Squeeze Cementing Berdasarkan Data Log CBL Pada
Sumur Ha-11”, Seminar Nasional Cendekiawan, 2015.
Yazid F.E., et.al., “Evaluasi Penyemenan Casing Liner 7” Pada Sumur X-1 Dan Y-
1 Blok LMG”, Seminar Nasional Cendekiawan, 2015.
__________,” Cement-Bond-Log Interpretation Reliability”, Journal of Petroleum
Technology, Februari, 2007
__________,” Cementing Engineering Manual”, Schlumberger Dowell, January,
1995.
__________,” Schlumberger Cased Hole Log Interpretation Principles/
Applications”, Schlumberger Educational Services, March, 2009.
LAMPIRAN
LAMPIRAN A
PROPOSAL SQUEEZE CEMENTING SUMUR “DN”

Lampiran A.1.
Skema Perencanaan Squeeze Cementing
Lampiran A.2.
Data Squeeze Cementing
Lampiran A.2. (Lanjutan)
Data Squeeze Cementing
Lampiran A.3.
Prosedur Squeeze Cementing
LAMPIRAN B
CBL-VDL PRIMARY CEMENTING

Lampiran B.1.
Grafik CBL-VDL Primary Cementing Kedalaman 7980 – 8150 ft
LAMPIRAN C
CBL-USIT SQUEEZE CEMENTING

Lampiran C.1.
Grafik CBL-USIT Squeeze Cementing Kedalaman 7980 – 8150 ft

Anda mungkin juga menyukai