Anda di halaman 1dari 226

TEKNIK EKSPLOITASI GAS BUMI

Ir. Wibowo, MT

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


SLIDE-1
Vitae
Nama : Wibowo
Alamat Kantor : Prodi Teknik Perminyakan - FTM
UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. SWK 104 (Lingkar Utara), Condongcatur
Yogyakarta - 55283, Indonesia.
Phone /Fax. +62 274 487 815; 486.056
Mobile. +62 817 6886 818
E mail: wibowo.539tm@gmail.com
-

Petroleum Engineering - Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta

Magister Sain (MS) Petroleum EngineeringInstitut Teknologi Bandung

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


KONTRAK PERKULIAHAN
 Penunjukan PIC (Ketua) Kelas
 PIC mewakili member kelas memberikan no WA ke 0817-6886-818 utk
komunikasi dengan dosen pengampu
 Setiap Mahasiswa wajib mendaftarkan alamat e-mail ke PIC
 PIC mengirim e-mail kosong ke dosen ybs : wibowo.539tm@gmail.com
dengan menyertakan alamat email seluruh mahasiswa peserta kelas (pada
header CC), contoh :
from:
PIC-B <pareraxxx@gmail.com>
to:
wibowo.539tm@gmail.com
cc:
hidm27@gmail.com,
ardi17@gmail.com,
dst ..
(Boleh juga disertakan No. hp yang memiliki app. WA)
 Dengan e-mail spt tsb diatas, maka semua member akan menerima e-mail, bila
member tidak menerima, berarti ada yang salah atau belum daftar email ke PIC
 Dosen/Asisten akan memberikan tugas mingguan dan SEMUA TUGAS KULIAH
dikirim melalui e-mail dengan syntax pada Subject e-Mail & Nama File
tertentu, contoh :
Subject : TUGAS-xx TGB-B 11317xxxx Mandala Karuniawati.
* xx diganti dengan nomor tugas : 1, 2, 3, …dst
**Agus
TGB-A atau– TGB-B
Widiyarso Wibowo disesuaikan kelas masing-masing
Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
KONTRAK PERKULIAHAN
 Selama Kuliah, mahasiswa peserta dilarang mengoperasikan
hand phone kecuali ada berita emergency (telpon/wa dari orang
tua/saudara, RS, Kepolisian dsb)
 Status hand phone disarankan pada posisi silent.

 Mahasiswa peserta disarankan tidak terlambat masuk kelas,

bagi yang terlambat harus menempati kursi kuliah paling


depan atau duduk dilantai (bila sdh penuh)
 Selama Kuliah, mahasiswa peserta agar dapat menjaga

ketertiban dan kenyamanan kelas dengan tidak ngobrol atau


diam-diam chatting
NILAI :
Nilai akhir diambil berdasarkan prosentase dari
perolehan nilai :
 Absensi : 5%
 Tugas & Aktivitas di Kelas : 20 %

 Ujian Tengah Semester (UTS) : 35 %


Ujian
 Agus AkhirSemester
Widiyarso – Wibowo Jurusan(UAS) : 40 %UPN “Veteran” Yogyakarta
Teknik Perminyakan-FTM
RENCANA MATERI KULIAH
● System, & Konsep Eksploitasi
● Sifat Kimia & Fisika Gas Alam
● Perkiraan Cadangan
● Kinerja Reservoir Gas Alam
● Uji Deliverabilitas
● Ujian Tengah Semester (UTS)
● Aliran Fluida Melalui Media Pipa
● Well Deliverabilitas - Analisa Nodal
● Fasilitas Produksi Permukaan
● Field Deliverability & Performance
● Ujian Akhir Semester (UAS)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
BUKU ACUAN (REFFERENSI)
 Dale Beggs, “Gas Production Operations”, OGCI Publications,
Tulsa 1984
 Ikoku, C. U., “Natural Gas Production Engineering”, The
Pennsylvania State University, Krieger Publishing Company,
Malabar Florida, 1992
 Djebbar Tiab, “Gas Reservoir Engineering”, The University of
Oklahoma, Norman-Oklahoma-USA, 2000
 Ken Arnold & Maurice Steward, “Surface Production
Operations”, Volume 1&2, Third Edition, GPP Elsevier, 2008
 Moshood Sanni, “Petroleum Engineering Principles,
Calculations, and Workflows”, The American Geophysical Union
and John Wiley & Sons, Inc., 2019
 Sylvester Okotie, “Reservoir Engineering Fundamental &
Aplication”, Springer Nature, Switzerland AG, 2019
 Tarek Ahmed, “Reservoir-Engineering-Handbook” 4th edition,
Elsevier Inc., 2010

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Teknik Eksploitasi
Gas Bumi

Agus Widiyarso
Wibowo

Jurusan Teknik Perminyakan – FTM


UPN “Veteran” Yogyakarta

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modul 1
PENDAHULUAN
(System, Konsep Eksploitasi)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modul 2
SIFAT KIMIA & FISIK GAS ALAM

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


GAS
Terdiri dari sejumlah partikel yang disebut
MOLEKUL
Fluida homogen
Memp  dan  rendah
Volume tak-tentu
Mengisi seluruh wadah

GAS IDEAL GAS NYATA


 Volume molekul tidak  Dipengaruhi P, T dan
sebanding dg vol. ruang Komposisi Gas
 Tidak ada Gaya Tarik–Menarik
 Menyimpang thd
antar molekul
 Tumbukan antar molekul
Hukum Gas Ideal
bersifat elastis sempurna PV = Z n R T
(Kondisi P & T standart semua Contoh : Gas Alam
gas berkelakuan sbg Gas
Ideal)
PV =C’ T PV = n R T
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Hukum-hukum yang berlaku untuk
Gas :
S  Gas Ideal :
Hk Boyle : Volume gas berubah dan berbanding
terbalik dengan tekanan gas
C  V  C VP V
PV  C V        
T
P T  P T P2 P2 P

Hk Charles : Volume gas berubah dan berbanding lurus


dengan suhu mutlaknya
V /T  C  V  V
P   C 
 T  P T
Hk Gay Lussac : Tekanan gas berubah dan berbanding
lurus dengan suhu mutlaknya
 V   V 
P /T  C V V  f  P, T  V    P    T
 T T  dT  P
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Bila pers. Boyle dan pers. Charles disubstitusikan kedalam pers.
Gay Lussac, akan diperoleh :
ln V + ln P = ln T PV = C’ T
Hukum Avogadro :
# Gas ideal pada P dan T yang sama, memiliki jumlah
molekul yang sama
# Gas ideal dalam gram mol yang sama, akan memiliki volume yang sama
apbl diukur pada P dan T yang sama
PV = n RT
S  Gas Nyata :
Hukum Van der Waals :  a 
 P  2  V  nb   nRT
Hukum Keadaan Berhubungan
 : PV = Z n
V 
RT
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Sifat Gas Alam
Gas Alam merupakan sumberdaya alam yang terdiri dari
senyawa hidrokarbon (CnH2n+2) dan komponen non-
hidrokarbon lainnya seperti N2, CO2, dan H2S (Sebagai
Impuritis).
Gas bumi yang dihasilkan dipermukaan dapat
dikelompokkan dalam dua golongan , yaitu :

 Sebagai produk ikutan dari minyak dikenal sebagai


associated gas.
 Gas Sebagai produk utama dikenal sebagai non-
associated gas.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Diagram Fasa Sistem Hidrokarbon

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Retrograde Gas
 Critical point far down left
side of phase envelope
 Contain less heavy
hydrocarbons than oils
 Reservoir temperature
between critical temperature
and cricondentherm
 Gas at initial condition
 Liquid condenses but
does not flow during
production

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Retrograde Gas Identification
 Producing GOR  3300 scf/STB
 Up to about 150000 scf/STB
 GOR > 50000 scf/STB can be treated as wet gas

 GOR increases below dew point


 Stock Tank Liquid gravity between 40-60 oAPI.
 Increases below dew point

 Light colored – brown, orange, greenish or clear.


 Mole fraction of C7+ < 12.5%

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Wet Gas
 Reservoir temperature
greater than
cricondentherm
 Liquid never

condenses in reservoir
 Condensation in

wellbore
 Surface liquid called
“condensate”
 “Wet” refers to
hydrocarbon liquid, not
water

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Wet Gas Identification
 Liquids with same range of properties as
condensate gas reservoirs
 GOR remains constant
 > 50000 scf/STB

 Liquid API gravity remains constant

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Dry Gas
 Primarily methane with
some intermediates
 Reservoir, flowline and
separator conditions
are outside of two-
phase envelope
 No hydrocarbon liquids
 “dry”
 Water is produced
with gas

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


KOMPOSISI GAS ALAM

Persen molekul
Komposisi Simbol
Associated gas Wet Gas Dry Gas
Methane C1 27.52 59.52 97.17
Ethane C2 16.34 05.36 01.89
Propane C3 29.18 04.71 00.29
i-Butane i-C4 05.37 02.03 00.13
n-Butane n-C4 17.18 02.39 00.12
i-Pentane i-C5 02.18 01.80 00.07
n-Pentane n-C5 01.72 01.61 00.05
Hexane C6 00.47 02.60 00.04
Heptanes Plus C7+ 00.04 19..98 00.24

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


GAS ALAM

Gas alam merupakan gas nyata, shg berlaku


teori keadaan berhubungan :
PV = Z n RT
Z merupakan faktor penyimpangan gas yang
merupakan fungsi dari Pr & Tr (reduced) yang
merupakan ratio P & T terhadap nilai kritisnya,
dan merupakan fungsi dari komposisi gas alam.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Karena gas alam merupakan fluida multi-komponen,
Key (1936) merubah konsep reduced (Pr & Tr)
menjadi pseudo reduced (Ppr & Tpr) yang merupakan
fungsi fraksi-mol dari komposisi gas alam, sehingga
P T
Ppr  T pr 
Ppc T pc
Ppc   yi Pci T pc   yi Tci
i i

yi = fraksi mol komponen ke i


Pci & Tci = Tekanan dan Temperatur kritis
komponen ke i
Ppc & Tpc = Pseudo critical P & T
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
SIFAT FISIK GAS ALAM
FAKTOR PENYIMPANGAN GAS (Z-Factor) :
Z-faktor merupakan fungsi dari pseudo reduced P & T
(Ppr & Tpr) yang dipengaruhi oleh komposisi dan fraksi
molekul gas.
T pc   yi Tci Ppc   yi Pci
i i
P T
Ppr  T pr 
Ppc T pc
yi = fraksi mol komponen ke i
Pci & Tci = Tekanan dan Temperatur kritis komponen ke i
Ppc & Tpc = Pseudo critical P & T
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Harga Pc dan Tc tiap komponen adalah sbb :

Komposisi Simbol yi MW Tci,oR Pci, psi

Methane CH4 16.04 344 673


Ethane C2H6 30.07 549 712
Propane C3H8 44.09 666 617
i-Butane i-C4H10 58.12 758 542
n-Butane n-C4H10 58.12 766 551
i-Pentane i-C5H12 72.15 830 485
n-Pentane n-C5H12 72.15 847 483
Hexane C6H14 86.17 914 435
Heptane C7H16 100.20 972 397
Oktane C8H18 114.22 1024 362
Nitrogen N2 28.02 227 492
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
C-Diokside CO 44.01 548 1073
Dengan harga Ppr dan Tpr, harga Z-factor ditentukan secara
Grafis misalnya dari Standing & Katz (1942).
.

Untuk menentukan harga Z-factor secara langsung dapat


digunakan persamaan korelasi seperti dari Hall-Yarborough
(1973), Dranchuk-Pervis-Robinson (1974), Dranchuk-Abu
Kassem (1975) dsb,
Adanya impurities dalam gas harus dikoreksi, misal dengan
korelasi Carr-Kobayashi-Burrows (1954) atau Wichert-Aziz
(1972) untuk mendapatkan pseudo critical P & T terkoreksi :

Ppc Tpc'
T pc'  T pc   Ppc' 
T pc    B  B 2 

 
  120 A0.9  A1.6  15 B 0.5  B 4  
Dimana, A = fraksi mol CO2 + H2S
B = fraksi mol H2S
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Grafik Z-factor dari Standing & Katz
(”Gas Production Operation”, H. Dale Baggs – OGCI)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


DENSITAS GAS (g) :

Massa gas (m, lb) tiap satu satuan volume (V, cuft)
m PM wa m M wa   yi M wi
g   n
V ZRT M wa
Berat Jenis gas (SGg) merupakan ratio densitas gas
terhadap densitas gas standard (udara), sehingga
g
SGg 
 ud
yang pada kondisi standard densitas gas ≈ berat
molekulnya, sehingga
M w gas M w gas M wa
SGg   SGg 
M w ud 28.96 28.96
SGg yang keluar dari reservoir (Gf) :
Rgc G g  458 Gc
Gf 
R  Jurusan
Agus Widiyarso – Wibowo
g 132800 G /M
Teknik Perminyakan-FTM
c c
UPN “Veteran” Yogyakarta
KOMPRESIBILITAS GAS (Cg) :

Perubahan fraksi volume per unit perubahan tekanan


1 1 dV
C g , ( psi )   T
V dP
Untuk gas ideal : V 
nRT
P
1  nRT   P   nRT  1
Cg    2      2  
V  P   nRT   P CPnRdZPT1Z  P
g2
nRTZdP
Z
Untuk gas nyata : V  nRT
P

 P  nRT dZ P nRT1  1dZdZ  1 1PdZ 


C g   C g 2 P Z  2 P  ZCg   
 nRTZ  P  nRTZ dP  P P  ZdPdP  P nRTZ Z dP
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
KELARUTAN GAS (Rs) :
Kelarutan Gas dalam Air (Rsbw) : Rsbw  f  P, T , Salinites  , scf / stb
 XY 
Rsbw  Rspw 1  4 
 10 
Y = salinitas air, ppm
X = faktor koreksi sbg fungsi temperatur
Temp, oF X
3.471
X  100 0.074
T 150 0.837 0.050
200 0.044
Kelarutan Gas dalam Minyak (Rso) :
Banyaknya cuft gas yang berada dalam 1 stb crude oil pada
kondisi standart ketika keduanya masih berada pada kondisi
reservoir.

Rs  f  P, T , komposisi  , cuft / stb


Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Kelarutan Air dalam Gas :
Jumlah uap air yang terkandung dalam gas alam akan
berhubungan dengan terjadinya Gas Hydrates
Ws  Wsp 1  2.87 x10 8 Y 1.266 

dimana, WS = kandungan air formasi (brine), lb/MMScf


WSP = kandungan air murni (H2O), lb/MMScf
Y = salinitas air, ppm
Gas Hydrates : kristal yang terbentuk akibat adanya
reaksi antara gas alam dgn air pada tekanan tertentu
pada suhu diatas Titik Beku Air atau temperatur gas
dibawah temperatur hidratnya
Gas Hydrates dapat menyebabkan penyumbatan di tubing,
flow-line, peralatan permukaan, bahkan di reservoir.
Kandungan H2S dan CO2 akan menaikkan temperatur
hidrat atau meningkatkan kemungkinan terjadinya hidrat
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Korelasi Kandungan Air dalam gas
(”Engineering Data Book”, Natural Gas Processors Association)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


FAKTOR VOLUME FORMASI GAS (Bg) :
Perbandingan volume gas pada kondisi reservoir terhadap kondisi
permukaan (standart : P = 14.7 psi dan T = 60 oF).
ZT ZT
Bg  0.02827 , cuft / scf Bg  0.005035 , bbl / scf
P P

VISKOSITAS GAS (g) :


Ratio shear force per unit area terhadap gradien kecepatan lokal
g
 g 1atm  f  M wa , T 
g

 f P, T 
1atm

Viskositas gas sulit ditentukan melalui percobaan, shg untuk


engineering ditentukan secara empiris dgn korelasi :
Carr-Kobayashi-Burrows (1954), Lee- Gonzalez-Eakin (1966)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Grafik Korelasi Viskositas 1 atm dari Carr dkk.
(”Gas Production Operation”, H. Dale Baggs – OGCI)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Grafik korelasi Rasio Viskositas dari Carr dkk.
(”Gas Production Operation”, H. Dale Baggs – OGCI)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


ENTHALPI GAS (H) :
Kandungan panas gas yang merupakan fungsi kapasitas panas
gas tsb., sehingga perubahan enthalpi akbt P & T :
  V  
H  C p T  V  T    P
  T  p 

 H   RT 2  Z 
    
 P T P  T  P
Dimana, Cp = spesifik panas, Btu/lbmol oR
P = tekanan absolut, psia
T = Temperatur absolute, oR
V = volume sistem, cuft
R = konstanta gas ~ 1.986 Btu/lbmol oR
Z = Z-factor (faktor penyimpangan gas)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Enthalpi Komponen murni :

H  Ho  Ho  H  
H o
 
 H  RTc H  H / RTc o
  0
w  H o

 H / RTc 
1

H = enthalpi termaksud, Btu/lbm oR


Ho = enthalpi pada keadaan gas ideal, Btu/lbm oR
w = acentric factor komponen
= pengaruh tekanan thd enthalpi ‘simple fluid’
 H o

 H / RTc  0
= koreksi penyimpangan enthalpi ‘simple fluid’
 H o

 H / RTc 
1 akibat pengaruh tekanan

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Enthalpi Campuran :

H m  H mo  H o  H  m

H o
H  m  o
  0
 RTcm H  H / RTc  wm H  H / RTc  o
 1

Enthalpi campuran gas pada keadaan ideal dihitung dengan fraksi


mol rata-rata dari komponen murninya :
H mo   xi H io
i
Acentric factor campuran gas juga dihitung terhadap fraksi mol
rata-rata komponen murninya
wm   xi wi
i
kondisi pseudoreduced digunakan untuk mendapatkan harga
dan
 H  H  / RTc 
o 0
 H  H  / RTc 
o 1

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pengaruh tekanan thd enthalpi ‘simple fluid’
(”Engineering Data Book”, Natural Gas Processors Association)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


koreksi penyimpangan enthalpi ‘simple fluid’
akibat pengaruh tekanan
(”Engineering Data Book”, Natural Gas Processors Association)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modul 3
PERKIRAAN CADANGAN

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


IGIP – Cadangan - Recovery
Ada beberapa metode untuk menentukan besaran IGIP/OGIP
(Initial/Original Gas In Place) dan Cadangan Reservoir Gas, yaitu
metoda :
 Volumetrik
 Material Balance
 Kesetimbangan Materi
Yang dipengaruhi oleh mekanise pendesakan (drive mechanism)
reservoir ybs :
 Water Drive Reservoir
 Deplation Drive Reservoir

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Water Drive Reservoir
Energi pendesakan fluida hidrokarbon berasal dari air yang berada dalam batuan reservoir
dan terperangkap bersama-sama.
Derajat penggantian produksi reservoir oleh air akan menentukan effisiensi pendorong
airnya. Dalam sistem water drive yang sempurna, setiap fluida yang diproduksikan dapat
digantikan secara cepat oleh air.
Ciri-ciri water drive reservoir adalah :
1. Formasi gas langsung berhubungan dengan aquifer yang besar.
2. Air merembes kedalam reservoir setelah tekanan reservoir turun akibat
diproduksikan, tetapi tidak menggantikan semua volume gas pada pori batuan.
3. Tekanan reservoir turun dengan lambat.
Gambar 1 menunjukkan ada tiga macam tipe water drive, yaitu : weak (lemah), moderate
(sedang), dan strong (kuat). Berbeda dengan reservoir minyak, recovery factor reservoir gas
untuk water drive lebih kecil dari pada depletion drive. Semakin kuat tenaga water drive
suatu reservoir, maka semakin besar jumlah gas sisa pada pori batuan, akibatnya recovery
factornya akan semakin kecil. Untuk water drive yang sangat lemah dapat menghasilkan
ultimate recovery yang lebih besar dari depletion drive reservoir.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 1
Natural Gas Recovery
(Ikoku, Chi.U. : “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Volumetris
Secara umum cadangan gas di tempat dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
43560 Vb  (1  Swc)
Gi 
Bgi
sedangkan cadangan yang dapat diambil (recoverable reserve) dihitung
berdasarkan kondisi abandonment, sehingga
Cadangan atau Kumulatif Produksi = Gas Awal‑Gas Sisa

 1 1 
G p  43560 Vb  (1  Sw)   
keterangan :  Bgi Bga  Bg  0.02827
ZT
, cuft / scf
P
G = Cadangan gas mula-mula ditempat, scf,
Vb = Bulk volume reservoir, acre-ft, ZT
Ф = Porositas batuan reservoir, Bg  0.005035 , bbl / scf
P
Swc = Saturasi air conate,
Bgi = Faktor volume formasi gas awal, cuft/scf,
Bga = Faktor volume formasi gas abandon, cuft/scf,
43560 = Konversi dari acre-ft ke cuft.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Reservoar Gas Senoro mempunyai karakteristik sbb :
Luas, acre (relatif datar) : 2250
Ketebalan bersih zone produktif, ft (reservoir tertutup) : 65
Porositas, fraksi : 0,2
Saturasi air, fraksi : 0,2
Suhu reservoir, oF : 186,0
Tekanan reservoir mula-mula, psia : 2651
Specific gravity gas di reservoir : 0,70

Tekanan, psia Faktor Z Kumulatif Gas production Gp, TCF


2651 0,83 0
1000 0,90 0.088
500 0,95 0.115

Hitung :
Harga IGIP (Initial Gas in Place)
Harga Gp. @ P = 1250 psia dan RF (Recovery Factor) nya.
Harga Gp . @ P = 250 psia dan RF nya.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Diperlukan peta isopach yang digunakan untuk menentukan volume total
batuannya.

Metode Trapezoidal:
Metode ini digunakan bila perbandingan luas garis kontur yang
berurutan ke bawah lebih besar dari 0,5 atau An : An 1
maka
 0.5
h An
Vb  ( An  An 1 )
2
Metode Pyramidal:
Metode ini digunakan bila perbandingan luas garis kontur yang
berurutan ke bawah lebih kecil atau sama dengan 0,5 atau maka

 
:
An  An 1 h
 0.5 Vb  An  An 1  An xAn 1
An 3
keterangan :
Vb = Volume bulk batuan, acree-ft,
An = Luas yang dibatasi oleh isopach di bawahnya, acre
An+1 = Luas yang dibatasi oleh isopach di atasnya, acre,
h = Interval antar garis isopach, ft.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Perhitungan Recovery Factor (RF) :

 Untuk Depletion Drive

(G  Ga) Bgi  Bga


RF  x100%  x100%
G Bgi
 Untuk Water Drive

(1  Swi ) Bgi  SgrBga


RF  x100%
(1  Swi ) Bgi
 Untuk Strong Water Drive

(1  Swi  Sgr )
RF  x100%
(1  Swi )

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Contoh 1.
Perkirakan Isi Awal Gas di tempat untuk reservoir dengan luas 2550 acre,
ketebalan 50 ft, porositas 20 % , saturasi air 20 %, temperatur reservoir
186 OF, tekanan awal reservoir 2651 psia dan faktor deviasi gas 0.880
pada temperatur 186 OF dan tekanan reservoir 2651 psia.
Solusi
Dari data diatas, maka Isi Awal Gas di tempat adalah

43560 Vb  (1  Swc) TZ bbl


Gi  Bg  0.00504
Bgi P scf

2651  520
G i   43560 2550 50 0.21  0.2  
 0.880 14.7   646 
   

Gi 

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Material Balance
untuk Depletion Drive Reservoir

Asumsi yang digunakam pada reservoir jenis ini adalah :


 Reservoir homogen dan isotropik,
 Tidak ada perembesan air ke dalam reservoir (tertutup) dan
atau produksi air sangat kecil (dapat diabaikan),
 Keadaan mula-mula reservoir adalah under saturated,
 Energi berasal dari pengembangan gas itu sendiri.
Persamaan umum material balance untuk reservoir gas :

G ( Bg  Bgi )  We  WpBw
Gp 
Bg

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


G ( Bg  Bgi )  We  WpBw
Gp 
Bg

Metode Material Balance


untuk Depletion Drive Reservoir
Untuk depletion drive, persamaannya berubah menjadi :
G ( Bg  Bgi )
Gp 
Bg
Dari persamaan material balance didapatkan persamaan sbb :

GpBg  G ( Bg  Bgi )  0
*)
y  ax  b
Sehingga hubungan antara GpBg vs (Bg-Bgi) akan membentuk garis lurus
dengan harga slope = G (Gambar 2).

*) = MBE Straight-Line Method

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 2
MBE Straight-Line Plot, Volumetrik Gas Reservoir
(Ikoku, Chi.U.; “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Jika data kumulatif produksi (Gp) dan tekanan reservoir tersedia, Initial Gas In
Place (G) dan cadangan gas dapat ditentukan tanpa harus mengetahui terlebih
dahulu harga A, h, Φ, dan Sw.
Ini dibentuk dengan membuat kesetimbangan massa atau mol dari gas, yaitu :
Mol produksi = mol awal ditempat – mol tersisa.
Dengan mengaplikasikan hukum gas, pV = ZnRT, maka didapat :

Psc G p PiVi PVi


 
Tsc Z sc Tf Zi Tf Z
untuk V  GB sehingga di dapat :
i gi P Pi T f Psc G p
 
keterangan :
Z Z i Tsc B gi G
Tf = Temperatur formasi,
Pi = Tekanan awal reservoir,
Tsc = Temperatur pada keadaan estándar,
Psc = Tekanan pada keadaan standar.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Dengan membuat plot antara P/Z terhadap Gp didapat suatu garis lurus
(Gambar 3) dengan slope = (Tf Psc/Tsc Bgi G).
Dari grafik P/Z vs Gp dapat diketahui Gp dan Pi

Persamaan di atas dapat diubah bentuk untuk menentukan recovery


factor, yaitu :
*)
P Pi  Gp 
 1  
Z Zi  G 
*) = Metoda Perssure Decline (P/Z vs Gp)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


P P T f Psc G p
 i 
Z Z i Tsc B gi G

Gambar 3
MBE Straight-Line Plot, Volumetrik Gas Reservoir
(Ikoku, Chi.U.; “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Contoh 2
Tentukan Isi Awal Gas di tempat pada suatu reservoir gas tertutup, reservoir tersebut telah
berproduksi 500 MMSCF. Tekanan reservoir turun menjadi 2900 psia dari tekanan awal 3000 psia.
Temperatur reservoir adalah 175 OF dan spesifik gravity gas 0.60
Solusi
Menggunakan SG gas 0.60 dari chart korelasi Z didapat :
pada tekanan 3000 psia, Z = 0.88 dan pada tekanan 2900 harga Z = 0.87.
Langkah berikutnya adalah menentukan harga Bg
Bg = 0.00504 Z T , bbl/SCF
P
Untuk P = 3000 psia,
0.00504x0.88x(175  460)
Bg  bbl/Scf = 0.000940 bbl/SCF
3000
Untuk P 2900 psia
0.00504x0.87x(175  460)
Bg  = 0.000960 bbl/Scf.
bbl/Scf
2900
Sehingga Isi Awal Gas Di tempat adalah : G
Gp Bg

 500.000.000 x 0.000960
 Bg - Bgi  0.000960  0.000940

= 24.000.000.000 Scf =24 MMMScf.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Contoh 3.
Tentukan Isi Awal Gas di tempat dari data berikut ini :

Tekanan Res. Z P/Z Prod. Kumulatif


(Psia) MMMCF

2080 0.759 2740 0

1885 0.767 2458 6.873

1620 0.787 2058 14.002

1205 0.828 1455 23.687

888 0.866 1205 31.009

645 0.900 717 36.207

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Material Balance
untuk Water Drive Reservoir
Untuk reservoir Water Drive, adanya water influx dan produksi air, maka
persamaannya berubah menjadi :

GpBg  WpBw
C
 QD P
*)  G ; y  ax  b
Bg  Bgi Bg  Bgi
keterangan :
We = C ΣQD∆P.
C = Konstanta water influx
Sehingga grafik hubungan antara (GpBg+WpBw/Bg-Bgi) vs (ΣQD∆P/Bg-
Bgi) menghasilkan garis lurus dengan slope = C, sehingga dapat
diketahui besarnya harga IGIP dan We dengan cara ekstrapolasi garis
hingga memotong sumbu y (Gambar 4).
*) = MBE Straight-Line Method

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 4
MBE Straight-Line Plot, Gas Reservoir Water Influx
(Ikoku, Chi.U. ; “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Untuk water drive reservoir, metode pressure decline tidak bisa digunakan
kerena menggunakan asumsi tidak ada perembesan air di reservoir,
sehingga grafik yang terbentuk akan menyimpang dari garis lurus, dimana
penyimpangan yang terjadi tergantung dari kekuatan pendorong airnya.

Gambar 5
Plot P/Z terhadap Gp dengan Efek Water Influx
(Gas Production Operation, Dale Beggs)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Metoda Material Balance
Cara lain yang dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya
Isi Awal Gas di tempat adalah metoda Material Balance.
Metode ini berdasarkan pada prinsip kesetimbangan materi.

Material Balance Dengan Water Influx

Gi  Bg  Bgi   We  W p Bw
Gp 
Bg
Material Balance Tanpa Water Influx

Z bTbVi  Pi P
Gp  5.615   
PbT  Zi Z G B  W B  B   G  G 

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metoda P/Z versus Gp
Jika data kumulatif produksi dan tekanan reservoir cukup
tersedia , Inittial Gas in Place (G) dan cadangan gas dapat
ditentukan tanpa harus mengetahui terlebih dahulu harga A, h,
, dan Sw. Ini dibentuk dengan membuat keseimbangan massa
atau molekul dari gas ;
Persamaan Material Balance dlm Bentuk P/Z menjadi :

P Pi T f Psc G p
 
Z Zi Tsc Bgi G
Dengan membuat plot antara P/Z terhadap Gp didapat suatu
garis lurus (gambar 2-3) dengan kemiringan (Tf Psc/ Tsc Bgi G)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Plot Metoda P/Z versus Gp

2400

Abandonment P/Z
Water drive
1600
P/Z

800
Abandonment P/Z
Closed Reservoir

0 100 200 300 400

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Cumulative Gas Produced
Metode Material Balance
untuk Water Drive Reservoir
Untuk reservoir Water Drive, yaitu adanya water influx dan produksi
air, maka persamaannya berubah menjadi :

GpBg  WpBw
C
 QD P
* G ; y  ax  b
Bg  Bgi Bg  Bgi
keterangan :
We = C ΣQD ∆P.
C = Konstanta water influx
Sebuah grafik GpBg +WpBw/Bg-Bgi vs ΣQD∆P/Bg-Bgi menghasilkan
garis lurus dengan slope menyatakan besarnya C, dan dapat diketahui
besarnya IGIP dengan ekstrapolasi garis sehingga memotong sumbu y (lihat
Gambar 2).
* = MBE Straight-Line Method
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Gambar 2
MBE Straight-Line Plot, Gas Reservoir Water Influx
(Ikoku, Chi.U.DR;“Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Untuk water drive reservoir, metode pressure decline tidak bisa
digunakan kerena asumsinya tidak ada perembesan air di reservoir,
sehingga grafik yang terbentuk akan menyimpang dari garis lurus.
Penyimpangannya tergantung dari kekuatan pendorong airnya.

Gambar 3
Plot P/Z terhadap Gp dengan Efek Water Influx
(Gas Production Operation, Dale Beggs)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Modul 4
Kinerja Reservoir Gas Alam
Gas Deliverability

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


KINERJA RESERVOIR GAS ALAM
 Aliran Gas dalam Media Pori
Persamaan untuk menentukan laju aliran gas
melalui media pori :

qsc 

703x10 6 kh Pr  Pwf
2 2

 re  

TZ  ln  0.472   S  Dqsc 
 rw  
Persamaan untuk menentukan tekanan atau
kehilangan tekanan pada suatu laju aliran gas
sebesar qsc.

2 2 1422T Z qsc  re  
Pr  Pwf  ln  0.472   S  Dqsc 
kh  rw  
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Deliverabilitas

qsc  C Pr  Pwf
2 2
 n

Pembuatan grafik dengan system koordinat log-log perdasarkan


pers. 3-3 diatas, akan menghasilkan hubungan yang linier

log qsc  log C  n log P 2


Harga n diperoleh dari sudut kemiringan grafik dengan sumbu
tegak (ΔP2), atau qsc 2  qsc1
n
22  P12
Harga C dapat ditentukan berdasarkan titik perpotongan grafik
dengan sumbu tegak pada qsc=1, atau menggunakan persamaan

C danqsc AOFP  C ( Pr2  14,7 2 ) n


( Pr2  Pwf2 ) n
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Plot Log P2 versus Log qsc
100

2 2
(Pr -14,7 )
(Pr^2 -Pwf^2) x 10^4

10

1/n

0,1
1 10 AOFP 100
qsc (MMSCFD AOFP

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Inflow Performance
qsc  C Pr  Pwf  2 2
 n

 Persamaan Deliverabilitas menggambarkan hubungan antara


laju produksi gas (qsc) terhadap tekanan alir dasar sumur
(Pwf)
 Hubungan tersebut dinamakan Inflow Relationship

Harga Konstanta Deliverabilitas merupakan parameter


reservoir yang meliputi
703 x10 6 k
C 
 re  
TZ  ln 
 0.472 r    S sc 
 w  
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Faktor faktor Yang mempengaruhi
Inflow Performance
 Permeabilitas
 Ketebalan lapisan
 Temperatur reservoir
 Jari jari pengurasan
 Jari jari sumur
 Skin faktor
Viskositas gas (g) dan faktor Kompresibilitas gas (Z) -
merupakan funsi tekanan, sehingga Konstanta
deliverabilitas menjadi
1
C k
 z 
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Peramalan Inflow performace
Berdasarkan faktor perubahan Tekanan terhdap viskositas
gas dan faktor superkompresibilitas gas, maka dapat
dilakukan modifikasi Faktor Deliverabilitas menjadi

C p
( m z) f
=
C f
( m z) p
Atau :
(m z)p
Cf = Cp
(m z)f
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Peramalan Inflow Performance
Well C apacity Forecasting
HGL-I
3000

2500

2000

1500

1000

500

0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Q ( M S C FD)

Reservoir P ressure 2625 psia Reservoir P ressure 2000 psia Reservoir P ressure 1500 psia

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modul 5
UJI DELIVERABILITY

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Uji Deliverabilitas
Deliverabilitas adalah kemampuan dari suatu sumur gas untuk
berproduksi, yang dinyatakan dalam bentuk grafik (Pr2-Pwf2) vs Qsc.
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi deliverability sumur gas
juga sama dengan faktor yang mempengaruhi inflow performance
relationship (IPR), yaitu terdiri dari factor teknis :
 Tekanan statik
Tekanan reservoir akan menurun jika diproduksikan untuk jangka waktu
tertentu, sehingga dengan demikian kemampuan produksi suatu sumur
juga akan berubah.
 Water coning
Yaitu ikut terproduksinya air yang semakin lama semakin tinggi. Hal ini
karena rate yang terlalu besar atau kesalahan perforasi yang terlalu dekat
dengan batas gas-air (GWC) dan biasanya dijumpai pada reservoir di
bawah pengaruh air yang kuat. Dengan demikian gas yang terproduksi
semakin lama akan semakin kecil, sedangkan produksi air akan semakin
tinggi sehingga deliverability sumur gas tersebut akan terpengaruh dan
mengakibatkan sumur mati.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Uji Deliverabilitas
 Skin effek
Kerusakan formasi dimana permeabilitasnya semakin mengecil dan
mengakibatkan aliran dari formasi ke lubang bor akan terhambat.
Pengurangan harga permeabilitas tersebut biasanya terjadi di sekitar
lubang bor yang diakibatkan oleh adanya kontaminasi filtrat lumpur pada
formasi di daerah zona invasi. Perubahan aliran yang disebabkan oleh
pengurangan permeabilitas tersebut akan mengurangi dari kemampuan
sumur untuk berproduksi.
 Jenis aliran
Pada tes sumur gas dan analisanya, biasanya dianggap alirannya adalah
laminar, yaitu untuk harga n = 1. Untuk aliran yang turbulen, dimana harga
n tidak sama dengan satu, persamaan yang digunakan akan berbeda,
sehingga deliverabilitynya juga akan berubah.
 Jenis reservoir
Untuk tekanan reservoir yang berada di bawah depletion drive, tekanannya
akan cepat turun sejalan dengan waktu produksi dan hal ini dapat diamati
setelah selang waktu produksi tertentu. Untuk reservoir water drive,
perubahan tekanan reservoir dipengaruhi oleh air yang aktif, sehingga
perubahan dari tekanan reservoir tidak akan turun dengan cepat.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Faktor nonteknis, yaitu :
 Rate produksi dan tekanan produksi

Besarnya laju aliran berhubungan dengan tekanan aliran yang


terdapat di dalam lubang bor yang berupa drawdown terhadap
tekanan reservoir (Pr). Dengan berubahnya tekanan alir dasar
sumur (Pwf), maka laju aliran yang dihasilkan juga akan
berubah, semakin kecil tekanan alir dasar sumur, maka laju
aliran akan semakin besar. Dengan demikian, apabila besarnya
tekanan aliran dapat diatur laju aliran juga akan bisa ditentukan,
sehingga deliverability sumur gas juga akan berpengaruh
terhadap perubahan dari ke dua parameter tersebut.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pada masa awal pengujian penentuan dari deliverabilitas ini, sudah dikenal persamaan empiris
yang selaras dengan hasil pengamatan. Persamaan ini menyatakan hubungan antara Q sc
terhadap P2 pada kondisi aliran yang stabil.
Qsc = C (PR2 - Pwf2)n
Harga n ini mencerminkan derajat pengaruh faktor inersia turbulensi terhadap aliran. Harga n
diperoleh dari sudut kemiringan grafik dengan sumbu tegak (P2). Untuk aliran yang laminer
akan memberikan harga n sama dengan 1, dan bila faktor inersia- turbulensi berperan dalam
aliran maka n < 1 (dibatasi sampai harga paling kecil sama dengan 0,5).
Harga C dapat dilihat/dicari berdasarkan titik perpotongan grafik dan satuannya dapat dinyatakan
dalam : q sc  stabil  kh MMSCF / day
C 
P  P 
r
2 2 n
wf
 r 
1422.T . g .z g ln e  0.75  s 

( psi 2 ) n
 rw 
Harga C ini tergantung dari sifat fisik batuan dan fluida yaitu, k dan .. Permeabilitas adalah
saturasi liquid di dalam reservoir, sebagai penurunan tekanan dari depletion. Gas yang
tertinggal akan mengembang untuk menjaga Sg konstan. Kecuali condensat retrograt atau
hadirnya water influx. Untuk gas kering, perubahan k terhadap waktu tidak terlalu
berpengaruh. Jika berada pada permeabilitas tinggi, maka harga C juga akan tinggi begitu juga
sebaliknya, tergantung dari klasifikasi permeabilitasnya. Harga  dan z tergantung dari
perubahan harga tekanan reservoir. Satuan ukuran lainnya digunakan dalam analisa
“deliverabilitas” adalah “absolut open flow” (AOF).

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Back Pressure Test
Convensional back pressure atau disebut juga “flow after flow test”, metode ini
pertama kali ditemukan oleh Pierce dan Rawlins (1929) untuk mengetahui
kemampuan sumur berproduksi dengan memberikan tekanan balik (back pressure)
yang berbeda-beda. Pelaksanaan dari tes yang konvensional ini dimulai dengan
jalan menutup sumur, untuk menentukan harga PR. Selanjutnya sumur diproduksi
dengan laju sebesar Qsc sehingga aliran mencapai stabil, sebelum diganti dengan
laju produksi lainnya. Setiap perubahan laju produksi tidak didahului dengan
penutupan sumur.
Gambar skematis dari proses “back pressure test” diperlihatkan pada Gambar
1. Analisis deliverability didasarkan pada kondisi aliran yang stabil. Untuk
keperluan ini diambil tekanan alir di dasar sumur, P wf, pada akhir dari periode suatu
laju produksi.
Lama waktu pencapaian kondisi stabil dipengaruhi oleh permeabilitas batuan.
Waktu untuk mencapai kestabilan ini dapat diperkirakan berdasarkan waktu mulai
berlakunya aliran semi mantap, maka harga waktu mencapai kondisi stabil, t s,
adalah : C re
2
C re
2
1
t s  948  1000 C 
k k PR PR
dengan
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Gambar 1
Diagram Laju Produksi dan Tekanan dari Back Pressure Test
(Ikoku, Chi.U.DR; “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Isochronal Test
Back Pressure Test hanya dapat memberikan hasil yang baik bila dilangsungkan pada
reservoir dengan permeabilitas tinggi. Sedang untuk reservoir dengan permeabilitas rendah,
akan diperlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai kondisi yang stabil, sehingga
apabila uji dilakukan pada sumur yang belum mempunyai fasilitas produksi, jumlah gas yang
dibakar cukup besar.
Bertolak dari kelemahan back-pressure test, maka Cullender mengembangkan
isochronal test guna memperoleh harga deliverability pada sumur dengan permeabilitas
rendah yang memerlukan waktu yang lama untuk mencapai kondisi stabil. Cullender juga
mengusulkan suatu cara tes berdasarkan anggapan, bahwa jari-jari daerah penyerapan yang
efektif (efektive drainage radius), rd, adalah fungsi dari tD dan tidak dipengaruhi oleh laju
produksi. Ia mengusulkan laju yang berbeda tetapi dengan selang waktu yang sama, akan
memberikan grafik log P2 vs log Qsc yang linier dengan harga eksponen n yang sama, seperti
pada kondisi aliran yang stabil.
Tes ini terdiri dari serangkaian proses penutupan sumur sampai mencapai stabil, P R,
yang diteruskan dengan pembukaan sumur, sehingga menghasilkan laju produksi tertentu
selama jangka waktu t, tanpa menanti kondisi stabil. Setiap perubahan laju produksi didahului
oleh penutupan sumur sampai tekanan mencapai stabil, P R. Ada beberapa hal penting yang
berkaitan dengan urutan uji isochronal, yaitu :
1. Waktu alir, kecuali pengaliran yang terakhir, berlangsung dalam selang waktu yang
sama.
2. Perode penutupan berlangsung sampai P =PR, bukannya selang waktu yang sama
panjang.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
3. Pada periode pengaliran terakhir, sumur dialirkan sampai mencapai keadaan stabil,
Gambar 2
Diagram Laju Produksi dan Tekanan dari Isochronal Test
(Ikoku, Chi.U.DR; “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modified Isochronal Test
Metode ini merupakan pengembangan dari metode isochronal,
perbedaannya terletak pada penutupan sumur tidak perlu mencapai kondisi
stabil. Pada reservoir yang ketat, penggunaan tes isochronal belum tentu
menguntungkan bila diinginkan penutupan sumur sampai mencapai
keadaan stabil. Katz dkk (1959) telah mengusulkan suatu metode untuk
memperoleh hasil yang mendekati hasil tes isochronal. Perbedaan metode
ini dengan metode lain terletak pada persyaratan bahwa penutupan sumur
tidak perlu mencapai stabil. Selain dari itu, selang waktu penutupan dan
pembukaan sumur dibuat sama besar.
Pengolahan data untuk analisa deliverabilitas sama seperti pada
metode isochronal, kecuali untuk harga PR diganti dengan Pws, yaitu harga
tekanan yang dibaca pada akhir dari setiap massa penutupan sumur.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 3
Diagram Laju Produksi dan Tekanan dari Modified Isochronal Test
(Ikoku, Chi.U.DR; “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Analisis Data Hasil Uji Deliverability

Analisa data hasil uji deliverability gas digunakan untuk menentukan


indikator produktivitas sumur gas, yaitu Absolute Open Flow Potential
(AOFP). Untuk keperluan tersebut, ada tiga metode analisa yang
digunakan, yaitu :

1. Metode Rawlins-Schellhardt,
2. Metode Jones-Blount-Glaze, dan
3. Metode Laminer-Inertia Turbulence-Pseudo Pressure (LIT)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Analisis Rawlins-Schellhardt
(Metode Konvensional)
Pierce dan Rawlins (1929) merupakan orang pertama yang mengemukakan suatu
metode uji sumur gas untuk mengetahui kemungkinan sumur gas berproduksi dengan
memberikan tekanan balik (back pressure), sehingga dikenal pula sebagai uji back pressure.
Tahun 1935, Rawlins-Schellhardt mengembangkan suatu persamaan empiris yang
menggambarkan hubungan antara laju alir dan tekanan pada sumur gas. Hubungan tersebut
dinyatakan dengan persamaan dalam bentuk pendekatan tekanan kuadrat (square pressure),
seperti berikut ini :

keterangan :

Qsc  C P r  Pwf
2

2 n

Qsc = Laju alir gas, Mscf/d.


C = Koefisien performance yang menggambarkan posisi kurva deliverability yang stabil,
Mscfd/psia2.
n = Bilangan eksponen, merupakan inverse slope dari garis kurva deliverability yang
stabil dan mencerminkan derajat pengaruh faktor inersia-turbulensi terhadap aliran,
umumnya berharga antara 0.5 – 1, dengan n = 1/slope.
Pr = Tekanan rata-rata reservoir, psia.
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psia.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Persamaan di atas dapat dirubah, yaitu :

 1

log P r  Pwf    log q sc  log C 
2 2

n
Harga eksponen n adalah n = 1/slope, yaitu :

logqsc1  logqsc2
n
 2
log P r  Pwf
2
  logP
1 r
2
 Pwf
2
 2

Harga koefisien kinerja C dapat ditentukan dari persamaan berikut :

q sc
C
Pr
2
 Pwf 
2 n

Metode analisis Rawlins-Schellhardt kurang baik karena tidak


memperhatikan faktor deviasi gas, sehingga tidak cocok dengan real gas.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Analisis Jones-Blount-Glaze
Metode plot data uji yang diperkenalkan oleh Jones dkk dapat digunakan pada sumur
gas untuk mendapatkan kinerja sumur pada masa sekarang. Metode ini digunakan untuk
menentukan koefisien laminar A dan koefisien turbulensi B. Persamaan aliran radial semi-
mantap dapat ditulis dalam bentuk :
12 2
1422 μ g ZTq sc  0.472 re  3.161 x 10 βZTγ g q sc  1 1
2
Pr  Pwf
2
  ln  S     
kh  rw  h2  rw re 
keterangan :
Pr = Tekanan rata-rata reservoir, psia.
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psia.
 2.33x10 k 1.201 
T = Temperatur dasar sumur, 0R.
10

μg = Viskositas gas, cp.


γg = Specific gravity gas, fraksi.
Z = Faktor deviasi gas, fraksi.
k = Permeabilitas efektif, mD.
h = Ketebalan formasi produktif, ft.
β = Koefisien kecepatan aliran, ft-1 =
q = Laju alir gas.
re = Jari-jari pengurasan, ft.
rw = Jari-jari sumur, ft.
S = Faktor skin, dimensionless.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Persamaan di atas bila di bagi dengan Qsc dapat ditulis sebagai berikut :
2 2
Pr  Pwf ΔP 2
  A  Bqsc atau ΔP 2  Aq sc  Bqsc
2

q sc q sc
dengan koefisien aliran laminar A adalah :
1422 μ g ZT  0.472 re 
A  ln  S 
kh  rw 
karena 1/re amat kecil, maka dapat diabaikan, dan koefisisen aliran turbulen B adalah :
3.161 x 10 12 βZTγ g
B
h 2 rw
Harga laju produksi gas (Qsc) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

Qsc 
 
 A  A 2  4 B P r  Pwf
2

2 12

Sedangkan besarnya harga 2 BAOFP adalah sama dengan Q sc pada harga Pwf sebesar 0 psi.

Metode Analisis Jones-Blount-Glaze dapat diterapkan untuk real gas, tetapi pada
metode ini dibutuhkan dua data atau lebih uji aliran yang stabil, karena untuk mendapatkan
harga stabil dari koefisien laminar A diperlukan sekurang-kurangnya dua uji aliran yang
stabil.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Bila diplot antara ΔP 2 q sc vs Qsc pada kertas grafik kartesian akan
memberikan suatu garis lurus dengan slope B yang menunjukkan derajat
aliran turbulen di dalam sumur dan intercept A yang didapat sebagai
perpotongan garis berdasarkan dengan qsc = 0.

Gambar 1
Penentuan A dan B Berdasarkan Plot vs qsc
(Ikoku, Chi.U.DR; “Natural Gas Production Engineeing”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Analisis LIT
Persamaan – persamaan pada LIT ini mempunyai anggapan-anggapan :
1. Di dalam reservoir berlaku keadaan isotermal,
2. Pengaruh gravitasi diabaikan,
3. Fluida yang mengalir hanya satu fasa,
4. Pori-pori homogen dan isotropik, serta porositas konstan tersebar merata,
5. Permeabilitas konstan dan tidak dipengaruhi tekanan,
6. Viskositas fluida dan faktor permeabilitas konstan,
7. Kompresibilitas dan gradien tekanan kecil, dan
8. Model aliran adalah radial slinder.

Metode LIT menggunakan persamaan aliran laminar-inertial-turbulent (LIT) dalam


bentuk pendekatan pseudo-pressure dengan asumsi besarnya harga μ Z akan tergantung
pada tekanan. Metode analisis ini untuk kisaran harga tekanan 2000<P<4000 psia,
namun demikian penggunaan metode LIT (Ψ) dapat digunakan untuk semua harga
tekanan.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Bentuk kuadrat dari persamaan aliran laminar-inertia-turbulence (LIT) adalah
sebagai berikut :
1. Pendekatan Tekanan (P)
2
ΔP  Pr  Pwf  A1q sc  B1q sc
2. Pendekatan Tekanan Kuadrat (P2)
2 2 2
ΔP  Pr  Pwf  A 2 q sc  B 2 q sc
3. Pendekatan Pseudo-Pressure (Ψ)

Δ ψ  ψ r  ψ wf  A 3 q sc  B3 q sc
2

Bagian pertama ruas kanan (A.qsc) menunjukkan hubungan penurunan tekanan


dalam bentuk tekanan, tekanan kuadrat, atau pseudo-pressure yang disebabkan oleh
pengaruh aliran laminar dan kondisi lubang sumur. Sedangkan bagian keduanya (B.q sc2)
merupakan hubungan penurunan tekanan yang disebabkan oleh aliran inertial-
turbulence.
Anggapan-anggapan dalam analisa LIT, bahwa A dipengaruhi oleh waktu, tetapi
tidak dipengaruhi oleh laju aliran dan tingkatan tekanan tertentu, sedangkan harga B
bukan merupakan fungsi dari waktu aliran, sehingga tidak dikoreksi terhadap keadaan
reservoir heterogen dan gradient tekanan besar.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Dari persamaan di atas, plot antara (∆Ψ-Bqsc2) vs qsc pada kertas grafik log-
log akan memberikan garis lurus. Kurva ini merupakan garis deliverability yang
stabil, dimana harga A dan B dapat dicari dari persamaan berikut ini :

  Δψ q 
sc  sc   q sc  Δψ
q
2
N  Δψ   q sc   Δψ q sc 
A  dan B 
N  q sc   q sc  q sc N  q sc   q sc  q sc
2 2

Harga laju produksi gas (Qsc) dapat dihitung dengan menggunakan


persamaan berikut ini :

q sc 
 2

 A 3  A 3  4 B 3 ψ r  ψ wf  0.5

AOF 

 a a  4b R
2
 0.5

2 B3 2b
dan harga AOF apabila Pwf = 0, dan harga AOFP apabila Pwf = 14.7 psia.

AOFP 

 a a  4b  R  14.7  0.5

2b
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Untuk mengetahui kemampuan Formasi Gas berproduksi dilakukan Uji sumur
dengan menggunakan cara Modified Isocronal Test dengan data data sebagai
berikut;
Data Reservoar :
h, ft : 12 Pr, psia : 922,6 Z-Faktor : 0,972
re, ft : 0,23 Visc gas, cp : 0,0116 Cg, psi-1 : 0,00109
Poro : 0,23 Tr, oR : 582
Data Test : P well shut in (Pws)
0 922,6 921,9 919,9 917,6
Pwf
t q : MMcf/D,
q=0,4746 q=0,8797 q=1,2716 1,6589
1 900,1 863,0 798,9 676,3 t : jam
2 897,1 853,9 769,9 662,2
4 892,2 833,0 754,9 642,0
6 890,1 827,9 732,8 635,2
8 888,1 825,1 727,3 629,3

Perioda perpanjangan aliran: Pwf : 620,3 psia, t : 18,5 jam, q : 1.6052 MMcf/D

Hitung :
a. Menggunakan Metode uji produksi apa data diatas, sebutkan analisis anda
b. . Buatlah deliverability curve lapisan gas tersebut
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Modul 6
ALIRAN FLUIDA DALAM MEDIA PIPA

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Aliran Fluida di Dalam Pipa Vertikal
Berdasarkan persamaan umum kesetimbangan energi dikembangkan
beberapa metode perhitungan kehilangan tekanan dalam tubing sumur
gas. Untuk mempermudah penyelesaian digunakan anggapan-anggapan
berikut :
1. Aliran bersifat steady state.
2. Tidak ada kerja yang dilakukan dari luar terhadap sistem.
3. Perubahan energi kinetik diabaikan.
Dengan anggapan-anggapan di atas, maka persamaan umum
kesetimbangan energi dapat dinyatakan sebagai berikut :

2
gdH fvataudL 144dP gdH fv 2 dL
VdP   0   0
gc 2gc D  gc 2gc D
keterangan :

P = Tekanan, psia, ρ = Berat jenis fluida, lbm/cuft,


gc = 32,17 lbm ft/lbf sec2, f = Faktor gesekan,
H = Panjang vertikal, ft, L = Panjang tubing, ft,
v = Kecepatan fluida, ft/sec, D = Diameter dalam tubing, ft.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Penyelesaian langsung secara analitis terhadap persamaan
di atas sulit dilakukan, karena dalam persamaan tersebut
terdapat lebih dari satu variabel bebas yang saling
mempengaruhi. Beberapa metode pendekatan yang dapat
digunakan untuk penyelesaian persamaan tersebut adalah :
1) Metode Temperatur dan Faktor Deviasi Rata-rata,

2) Metode Sukkar-Cornel, dan

3) Metode Cullender-Smith.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Temperatur & Faktor Deviasi Rata-rata
Metode ini mengembangkan suatu perhitungan tekanan alir
berdasarkan konsep kehilangan tekanan dalam tubing menggunakan
persamaan kesetimbangan energi aliran gas, dengan anggapan-anggapan
bahwa :
1. Aliran bersifat steady state,
2. Tidak ada kerja dari luar yang dilakukan terhadap sistem,
3. Temperatur sepanjang sumur konstan sebesar temperatur rata-ratanya,
4. Faktor deviasi konstan pada temperatur dan tekanan rata-ratanya,
4. Perubahan energi kinetik diabaikan,
5. Faktor gesekan konstan, dan
6. Satu fasa gas.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Persamaan untuk memperkirakan tekanan alir dasar sumur dengan
anggapan bahwa temperatur rata-rata di tubing serta harga Z yang
dievaluasi pada kondisi tekanan dan temperatur rata-rata, maka akan
diperoleh :

25 g q 2 T Z f  MD   EXP  S   1
p wf  p tf EXP  S  
2 2

Sd 5
keterangan :
P = Tekanan, psia,
S = 0,0375(TVD)/ TZ,
MD = Measured depth (kedalaman terukur), ft,
TVD = True vertical depth (kedalaman sebenarnya), ft,
Tavg = Temperatur, oR,
q = Laju alir gas, MMscfd,
d = Diameter tubing, inch,
f = Faktor friksi dari persamaan Jain atau Colebrook.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Harga Z dievaluasi pada =(ptf + pwf)/2. Dengan membagi sumur
menjadi beberapa bagian mendapatkan hasil yang lebih akurat.
Konvergensi sering kali lebih cepat didapat jika iterasi dilakukan
berdasarkan harga faktor devisiai gas, Z, dibandingkan dengan
berdasarkan tekanan.
Prosedur untuk metode ini adalah :
1. Memperkirakan Z* (harga awal dapat digunakan angka = 0,9)
2. Menentukan tekanan yang tak diketahui menggunakan
persamaan di atas dengan Z = Z*
3. Menentukan tekanan rata-rata, Pavg=(ptf + pwf)/2
4. Menentukan Z pada Pavg dan Tavg
5. Membandingkan Z dan Z*. Jika (Z – Z*)/Z < e, dimana e adalah
bilangan toleransi, maka perhitungan yang dilakukan adalah benar.
Jika tidak maka gunakan Z* = Z dan ulangi langkah 2 dan
seterusnya.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Cullender dan Smith
Persamaan yang dikembangkan oleh Cullender dan Smith tetap
menggunakan anggapan-anggapan pada persamaan kesetimbangan energi
aliran gas dalam tubing, tetapi berbeda pada anggapan bahwa temperatur dan
faktor devoasi gas yang digunakan dalam persamaan memperhitungkan
perubahan temperatur terhadap kedalaman dan perubahan faktor deviasi gas
terhadap tekanan dan temperatur.
Persamaan sederhana dari Cullender dan Smith dapat ditulis dalam
bentuk yang pendek dengan misalnya membagi sumur menjadi dua bagian
H/2, yaitu :
Bagian atas : 18.75 g  MD    pmf  ptf   I mf  I tf 

Bagian bawah : 18.75 g  MD    pwf  pmf   I wf  I mf 


p 2
dengan : TZ 0 . 667 fq
I 2
F 5
sc

 p TVD d
0.001   F2
 TZ  MD
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
0.01875 g H 0.01875 g H
pms  pts  pws  pms 
I ms  I ts I ms  I ws
pws  pts 1  2.5 x105 H 
Prosedur perhitungan :
1. Tentukan temperatur untuk setiap kedalaman tertentu (h),
2. Tentukan Its = TZ/p,
3. Memperkirakan harga p*ms dengan persamaan di atas dimana
untuk H/2,
4. Tentukan Ims = Z/p*ms,
5. Tentukan pms dengan persamaan di atas,
6. Membandingkan pms dan pms*. Jika (pms – pms*)/pms < e,
dimana e adalah bilangan kecil sebagai toleransi, maka perhitungan
yang dilakukan adalah benar. Jika tidak maka gunakan pms* = pms
dan ulangi langkah 2 dan seterusnya,
7. Penentuan untuk segmen kedua juga sama, untuk pws dihitung
dengan persamaan di atas.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Aliran Fluida di Dalam Pipa Horizontal
Persamaan umum yang digunakan untuk pipa horisontal dengan
diameter yang tetap adalah sebagai berikut :
2
25 γ q T Zf L
P 1 2  P2 2  g

d5 o
Pada kondisi standar 14.7 psia dan 60 F, persamaan di atas
dapat dikembangkan menjadi :
0.5

CT p1  p 2
2 2

q b  d
2.5

pb   g f T Z L 
dimana harga C tergantung dari kombinasi satuan yang digunakan,
seperti yang terdapat di Tabel 1 bawah ini :
Tabel 1
Harga C untuk Kombinasi Satuan
(Beggs, Dale. H; “Gas Production Operations”)

P T d L q C
psia o
R in mi scfd 77.54
psia o
R in ft scfd 5634
psia o
R in ft MMscfd 5.634x10-3
kpa o
K m m m3/d 1.149x106
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Metode Perhitungan Kehilangan Tekanan
Aliran Gas dalam Pipa Horisontal
Korelasi untuk memperkirakan gradien tekanan aliran gas dalam
pipa horisontal telah dikembangkan oleh :

1. Weymouth,
2. Panhandle A dan B,
3. Clinendist,
4. Ferguson,
5. Ford, Bacon, dan Davis, dan
6. Beggs and Brill (aliran dua fasa).

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Persamaan Weymouth untuk Aliran Gas
pada Pipa Horisontal
Anggapan yang diambil untuk penurunan persamaannya adalah sebagai
berikut:
1. Perubahan energi kinetik diabaikan, atau = 0,
2. Aliran pada kondisi mantap (steady-state) dan isothermal,
3. Aliran pada posisi horisontal,
4. Tidak ada panas yang hilang atau masuk kedalam sistem, dan
5. Tidak ada kerja yang dilakukan oleh dan terhadap gas selama aliran.

Weymouth mengusulkan persamaan faktor gesekan yang merupakan fungsi


dari diameter (dalam inch), sebagai berikut :

0,032
f 
D1 / 3

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Persamaan Weymouth untuk laju alir gas dalam pipa horinzontal apabila L
dalam mile dan D dalam inch adalah sebagai berikut :

0,5
Tb  P1  P2 ( D )
2 2 5.333

q g  18.062  
Pb   g TLZ 

Harga faktor deviasi gas, Z, dihitung pada tekanan dan temperatur rata-rata.
Dalam hal ini tekanan rata-rata dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut :
2 p  p  3 3
pm    1 2

3 p  p  2
1
2
2
Metode Weymouth umumnya digunakan untuk merencanakan pipa
dengan inside diameter lebih kecil dari 12 inch. Desain pipa dengan metode
ini umumnya memberikan harga yang konservatif aman.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Persamaan Weymouth untuk Aliran Gas
pada Pipa Non-Horisontal
Persamaan yang dihasilkan sebagai berikut :
0,5 0.5
T 1  ( P12  e s P2 2 ) 
q g  3.23 b     D
2.5

Keterangan :
Pb  f    gTLe Z  0.0375 g h
e = Bilangan dasar natural log (= 2.718) s 
TZ
h = elevasi outlet dikurang dengan elevasi inlet, h out let – hin let, (harga h akan positif apabila
outlet lebih tinggi daripada inlet).
Le = panjang effective yang dihitung dengan persamaan di bawah ini :
 Untuk pipa yang mempunyai satu harga kemiringan, maka panjang ekivalen dihitung
dengan persamaan berikut :
Le 

es  1
L

s
 Apabila pipa salur gas antara dua inlet dan outlet mengikuti profile permukaan tanah
yang berbukit, maka panjang ekivalen ditentukan berdasarkan segmen-segmen pipa, yang
masing-masing mempunyai perbedaan ketinggian tertentu, dengan menggunakan
persamaan berikut : s
Le 

e 1 1 
L1  e s1 e
s2

1
L2  e
s1  s2 ( e
s3
 1)
L3  .......... ..
s1 s2 s3

nilai s1,Agus
s2, s3Widiyarso – Wibowo
,…., dihitung Jurusan
dengan Teknik Perminyakan-FTM
menggunakan UPN “Veteran” Yogyakarta
persamaan di atas.
Gambar 1
Diagram Aliran Non Horisontal
(Anas. P.S. Ir. M.T,; “Kaitan Antara Penyebaran Titik Serap,
Konstruksi Sumur dan Surface Facilities Di Lapangan Gas”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Panhadle A
Panhandle menggunakan persamaan dasar yang sama seperti Weymouth,
hanya saja faktor gesekan dinyatakan sebagai fungsi dari bilangan Reynold,
yaitu : 0.085
f  0.147
N Re
Berdasarkan persamaan faktor gesekan tersebut, persamaan aliran gas dalam
pipa adalah sebagai berikut :
1, 07881 0.4604
2 0.5394
 Tb  P P 
2
1
qg  435.87    1
 2   D2, 6182
 
 Pb   TLZ   g
Apabila dikalikan dengan harga E, maka pada persamaan Panhandle A,
umumnya harga E diambil 0,92.
Persamaan ini dimaksudkan untuk merefleksikan aliran gas melalui smooth
pipe, bila ditambah dengan faktor efisiensi E (< 0,9) persamaan ini sesuai untuk
perkiraan persamaan aliran turbulen sebagian. Persamaan ini menjadi sedikit
kurang akurat dengan naiknya laju alir.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Metode Panhadle B
Panhandle juga mengembangkan persamaan aliran gas, khusus untuk
pipa transmisi jarak jauh, dengan menganggap faktor gesekan menuruti
hubungan sebagai berikut :

0.015
f  0.0392
N Re
Berdasarkan persamaan faktor gesekan tersebut, persamaan aliran gas
dalam pipa adalah sebagai berikut :

1, 02 0.51
 Tb   P P 
2 2
q g  737   10,961 2  .D 2,53
 Pb    g TLZ 

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Clinendist
Metode ini mengetengahkan suatu persamaan aliran yang
memperhitungkan efek kompresibilitas (Z). Dalam hal ini, faktor
kompresibilitas mempunyai harga yang berbeda untuk Pseudo Reduced
Pressure (Pr) yang berlainan. Persamaan Clinendist dapat dituliskan
sebagai berikut :
1/ 2
 D5  P Pr Pr , 2 
Z bTb Pc   r dP  Pr  
Q  397
Pb
  
g TL f 0 Z
r  Z
dPr 


  0 

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Ferguson
Dalam metode ini adanya faktor ketinggian diperhitungkan dalam
persamaan aliran gas dalam pipa. Persamaannya dapat ditulis sebagai
berikut :

 
0,5
Tb  2
 P1  e P2 D
5 2 5 

Q  3,22  
 g Ta Z a Le f
Pb  

dengan :
s = (0,0375.G.X) / (TaZa)
X = Beda ketinggian, ft.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Metode Ford, Bacon, dan Davis
Metode ini hanya dipakai untuk kondisi khusus saja, dimana persamaan
aliran gas berlaku untuk diameter pipa 6-24 inchi, serta untuk pipa yang
berdiameter 30 inchi. Adapun persamaan aliran gas di dalam pipa horisontal
dari metode Ford, Bacon, dan Davis dapat ditulis sebagai berikut :
0 , 541
 P1  P2 
2 2

Q  840 E M N D 2 , 625
 
 L 
keterangan :
Q = Aliran gas pada kondisi standar Tb dan Pb, cuft/h.
E = Efisiensi aliran (= 0,94).
M = (14,35 Tb)/(520 Pb).
N = Faktor penyesuaian untuk sifat-sifat gas alam.
P1 = Tekanan awal (input), psia.
P2 = Tekanan akhir (output), psia.
D = Diameter dalam pipa, inchi.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Faktor penyesuaian untuk sifat-sifat gas alam (N) dapat dicari
dengan persamaan berikut :
0 , 46 0 , 08 0 , 54
 0,6   7,0   520 
NB 0 , 54
     
 B      T 
keterangan :
B = 1/Z.
G = Spesifik grafity gas (untuk udara = 1).
μ = Viscositas, cp.
T = Temperature aliran, 0R.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modul 7
Optimasi Produksi Sumur Gas
(Nodal Analysis)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pendahuluan
 Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan tekanan
 Media berpori

 Gravel pack atau perforasi

 Choke dasar sumur

 SSSV

 Choke di permukaan

 Well flowline

 Separator

 Aliran dari kompressor ke pipa dan ke konsumen

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Objectives
 Understand the components of Inflow
performance
 Understand the components of vertical
lift performance
 Understand combining inflow and
vertical lift performance

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


SURFACE PRESSURE PRODUCED FLUID

INJECTION GAS

WELL OUTFLOW
RELATIONSHIP
(VLP) or (TPC)

BOTTOM HOLE PRESSURE AS A FUNCTION OF FLOWRATE

PRODUCTION POTENTIAL AS A FUNCTION OF PRODUCTION RATE

SANDFACE WELL
RESERVOIR PRESSURE
PRESSURE BHFP INFLOW (IPR)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pressure Losses in Well System
P4 = (Pwh - Psep)
Gas
Sales line
Pwh Psep Liquid
Stock tank

P1 = Pr - Pwfs = Loss in reservoir


P3 = Pwf - Pwh P2 = Pwfs - Pwf = Loss across completion
P3 = Pwf - Pwh = Loss in tubing
P4 = Pwh - Psep = Loss in flowline
PT = Pr - Psep = Total pressure loss

Pwf Pwfs Pr Pe

P1 = (Pr - Pwfs)


P2 –=Wibowo
Agus Widiyarso (Pwfs - Jurusan
Pwf) Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Adapted from Mach et al, SPE 8025, 1979.
Nodal system

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Nodal system
 Pwh konstan
 Pengaruh ukuran tubing dan flowline
 Ukuran pipa mempunyai pengaruh yang cukup besar

thd kapasitas aliran dari sumur


 Menyebabkan sumur berproduksi rendah sedangkan

reservoir mempunyai kapasitas yang cukup untuk


berproduksi
 Pwh konstan
 Jika jarak kepala sumur dan separator cukup dekan

 Dianalisa di nomer 6

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Tekanan kepala sumur
konstan
 Persamaan :
Inflow
pr  pres  pwf

 Outflow
ptf  ptb  pwf
 Prosedur
 Berdasarkan anggapan pwf, tentukan qsc

menggunakan persamaan inflow performance


 Plot antara pwf dan qsc

 Berdasarkan anggapan qsc dan pwh, hitung pwf

untuk setiap qsc anggapan

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Tekanan kepala sumur
konstan
 Prosedur
 Plot antara pwf dan qsc pada grafik yang sama

dari hasil langkah sebelumnya. Perpotongan


antara kedua kurva memberikan kapasitas aliran
dan pwf untuk ukuran tubing yang digunakan

 Kasus ini ada dua komponen:


 Reservoir

 Tubing + tekanan kepala sumur

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Nodal Analysis
P4 = (Pwh - Psep)
Gas
Sales line
Psep Liquid
Pwh
Stock tank

P1 = Pr - Pwfs = Loss in reservoir


P3 = Pwf - Pwh P2 = Pwfs - Pwf = Loss across completion
P3 = Pwf - Pwh = Loss in tubing
P4 = Pwh - Psep = Loss in flowline
PT = Pr - Psep = Total pressure loss

Pwf Pwfs Pr Pe

P1 = (Pr - Pwfs)


P2 = (Pwfs - Pwf)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Adapted from Mach et al, SPE 8025, 1979.
Inflow Performance Curve
3500
Inflow (Reservoir) Curve
Flowing bottomhole pressure, psi

3000

2500

2000

1500

1000

500

0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Production rate, STB/D
Tubing Curve
3500

Tubing Curve
3000
Flowing bottomhole pressure, psi

2500

2000

1500

1000

500

0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Production rate, STB/D
System Graph
3500
Inflow (Reservoir) Curve
Tubing Curve
3000
Flowing bottomhole pressure, psi

2500
1957.1 psi

2000

1500

1000

500
2111 STB/D

0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Production rate, STB/D
INFLOW AND OUTFLOW
PERFORMANCE
Pressure, psig
0
1000
2000
3000
5200
4000
5000
5000

FBHP, psig
4800
6000
Depth, feet

7000 4600

8000 4400
9000 4200
10000 0 1000 2000 3000
11000 Rate, bbls/d

12000
13000
14000
0 Agus
1000 Widiyarso
2000 – 3000
Wibowo 4000
Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
5000
Effect of Skin on IPR
Pressure at Node

Inflo
w
(IPR) Outflow

SKI
N
1 5 0 -1 -3
0
qo a 1/ ln re +S
rw
Flowrate Note : Log effect

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Effect of Pressure Depletion on
support
Pressure at Node IPR
Reservoir with no pressure

Decreasing reservoir pressure

Inflow
Outflow

Flowrate

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Effect of Tubing Size on
Outflow
Inflow
(IPR)
Pressure at Node

Outflow

2
3/8”
2 3
7/8” 4
1/2”
1/2”

Flowrate (stb/d)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pwh berubah
 Jika jarak separator jauh, ukuran flowline ke
separator akan mempengaruhi kapasitas aliran
produksi
 Jika pengaruh flowline diperhitungkan, maka sistem
dibagi dua subsistem di kepala sumur
 Inflow:
pr  pres  ptb  ptf
 Outflow:
psep  ptf  ptf
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Prosedur
 Berdasarkan harga qsc tentukan harga pwf
dengan IPR
 Dengan persamaan penurunan tekanan di
tubing, tentukan ptf untuk setiap qsc dan pwf
yang ditentukan langkah sebelumnya
 Plot ptf dan qsc
 Menggunakan tekanan separator yang konstan,
dan persamaan aliran di pipa, tentukan ptf untuk
beberapa asumsi qsc
 Plot ptf dan qsc pada grafik yang sama dengan
grafik pada langkan di wellbore. Perpotongan
kedua kurva adalah memberikan harga qsc dan
ptf pada kedua sistem

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Contoh

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pengaruh tekanan separator
 Pengaruh p separator ditentukan dengan
cara membagi sistem di separator
 Separator
 Kombinasi reservoir+tubing+pipa
 P separator dihitung:

psep  pr  pres  ptb  p fl

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Prosedur
 Menentukan pwf untuk berbagai qsc
mengunakan IPR
 Menentukan ptf untuk setiap pwf dan qsc
 Menentukan psep untuk setiap ptf dan qsc
 Memplot psep thd qsc dan tentukan qsc
untuk setiap harga psep

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Contoh

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pengaruh Ukuran Tubing dan Flowline
(Tekanan Kepala Sumur Konstan)
Test deliverabilitas dilakukan untuk mendapatkan data inflow
performance. Perhitungan untuk menentukan kapasitas alir dari
sumur yang mempunyai diameter tubing 1.995 inch atau 2.441 inch
dengan Ptf konstan pada tekanan 1,000 psia.
Data Inflow performance :
n = 0.83
Pr = 1952 psia
C = 0.0295 Mscfd/psia2
H = 10,000 ft
Penyelesaian :
Persamaan umum dari kurva Inflow Performance adalah :
qsc = C (Pr2 – Pwf2)n = 0.0295 (19522 – Pwf2)0.83

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Mengasumsikan beberapa harga Pwf untuk menentukan
qsc
Inflow
Pwf, psia qsc, Mscfd
1952 0
1800 1768
1400 4695
1000 6642
600 7875
200 8477
0 8551

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Memplot Pwf terhadap qsc

Pwf vs Qsc

2,500

2,000
Pwf, psi

1,500

1,000

500

0
0 2 4 6 8 10
Qsc, MMscf/d

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Asumsikan beberapa harga laju alir dan tentukan Pwf dengan
menggunakan persamaan penurunan tekanan antara tubing dan
tekanan kepala sumur untuk setiap laju alir.

25 g q 2 T Z f  MD   EXP S   1
pwf  ptf EXP S  
2 2

Sd 5
Hal ini dilakukan untuk setiap ukuran tubing. Hasil yang didapat
adalah sebagai berikut :
Outflow
Pwf, psia
qsc,
MMscfd d = 1.995 inch d = 2.441 inch
1 1300 1290
2 1370 1300
3 1500 1370
4 1620 1400
5 1800 1580
Agus Widiyarso 6
– Wibowo Jurusan1970
Teknik Perminyakan-FTM1620
UPN “Veteran” Yogyakarta
Plot Pwf terhadap qsc, untuk kedua ukuran tubing pada
grafik sebelumnya.

Pwf vs Qsc

2,500

2,000
Pwf, psi

1,500

1,000

500

0
0 2 4 6 8 10
Qsc, Mscf/d

IPR d=1,995 d=2,441

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Perpotongan antara inflow curve dengan outflow curve
(tubing performance curve), memberikan harga kapasitas
aliran dan Pwf untuk setiap ukuran tubing yang
digunakan.

Tubing ID Pwf, psia qsc, Mmscfd

1.995 1,560 3,500


2.441 1,440 4,350

Jadi, dengan memperbesar ukuran tubing, kapasitas alir


sumur dapat dinaikkan 850 Mscfd atau sekitar 24%.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pengaruh Ukuran Tubing dan Flowline
(Tekanan Kepala Sumur Tidak Konstan)
Menentukan kapasitas alir untuk 1.995 dan 2.441 inch ID flowline :

n = 0.83 PR = 1952 psia


C = 0.0295 Mscfd/psia2 H = 10,000 ft
Dtubing = 1.995 inch Z = 0.95
Tsep = 60oF Psep = 1000 psia
TR = 220oF Ttf = 100oF
L = 6,000 ft (flowline)γg = 0.67
μg = 0.012 cp ε = 0.0018 in

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Penyelesaian :
1. Asumsi harga qsc (1,2,3 dan 4 MMscfd), tentukan Pwf menggunakan
persamaan inflow performance, yaitu :
qsc = C (Pr2 – Pwf2)n = 0.0295 (19522 – pwf2)0.83

2. Metode Tekanan dan Temperatur Rata-rata digunakan untuk


menentukan Ptf, untuk setiap qsc dan Pwf, yaitu :

2 Pwf2  ( 25 g q 2 T Z f  H   EXP  S   1 ) / Sd 5


p tf 
EXP ( S )
3. Buat tabulasi hasil perhitungan ini bersama dengan hasil step1
inflow
qsc,Mscfd pwf Ptf (tubing)
1000 1877 1500
2000 1774 1362
3000 1653 1158
4000 1512 840
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
4. Plot antara Ptf terhadap qsc, pada reservoir–tubing subsistem seperti
pada grafik berikut :

Ptf vs Qsc

1,600
1,400
1,200
1,000
Ptf, psi

800
600
400
200
0
0 1 2 3 4 5
Qsc, MMscfd

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


5. Dengan laju alir yang sama pada step 1, tentukan Ptf dari subsistem
separator-pipa dimana tekanan separator adalah 1,000 psia untuk
kedua diameter pipa 1.995 dan 2.441 inch.
Persamaan yang digunakan:

Ptf  P  2
sep  ( 25 g q TZfL) / d
2
sc 
5 0.5

Outflow
qsc, Mscfd Ptf (1.995) Ptf (2.441)
1000 1016 1006
2000 1062 1022
3000 1134 1049
4000 1227 1085

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


6. Harga Ptf dan qsc untuk sub sistem separator-pipa diplot pada grafik
yang sama dengan grafik hasil dari step 4, perpotongan antara
kedua kurva tersebut memberikan harga kapasitas alir dari setiap
pipa yaitu 3,080 dan 3,360 Mscfd untuk pipa dengan diameter 1.995
dan 2.441 inch.
Ptf vs Qsc

1,600
1,400
1,200
1,000
Ptf, psi

800
600
400
200
0
0 1 2 3 4 5
Qsc, MMscfd

Inflow dfl = 1.995 dfl = 2.441

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


2. Metode Tekanan dan Temperatur Rata-rata digunakan
untuk menentukan Ptf, untuk setiap qsc dan Pwf , yaitu :

2 Pwf2  ( 25 g q 2 T Z f  H   EXP  S   1 ) / Sd 5


p tf 
EXP( S )
Buat tabulasi hasil perhitungan ini bersama dengan hasil
step1.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


3. Menentukan Psep pada setiap harga Ptf dan qsc dengan
menggunakan persamaan :
25 g q 2T Z fL
p12  p 2 2 
d5
atau
a2 a3 a4
  P1  P2   1 
2 2
 Tb
q g  a1 E     .  D
a5

 Pb   TLZ    g 

Hasilnya : qsc, Mscfd pwf ptf psep

1000 1877 1500 1490


2000 1774 1362 1320
3000 1653 1158 1042
4000 1512 840 504

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


4. Plot antara Psep terhadap qsc dan tentukan harga
kapasitas alir pada berbagai harga dari Psep.
Qsc vs Psep

1600
1400
1200
Psep, psia

1000
800
600
400
200
0
0 1 2 3 4 5
Qsc, MMscfd

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Kesimpulan :
Psep Flow capacity, MMscfd

1,200 2,56
1,000 3.08
800 3.54
500 4.0

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pengaruh Tekanan Separator
Tentukan kapasitas alir sumur (sistem sumur seperti pada soal
sebelumnya) untuk flowline 1.995 inch pada tekanan separator
1,200; 1,000; 800; dan 500 psia.

Penyelesaian :
1. Asumsi harga qsc (1,2,3 dan 4 MMscfd), tentukan Pwf menggunakan
satu persamaan inflow performance, yaitu :
qsc = C (Pr2 – Pwf2)n = 0.0295 (19522 – Pwf2)0.83
kemudian buat tabulasi hasil perhitungan ini.

2. Metode Tekanan dan Temperatur Rata-rata digunakan untuk


menentukan Ptf, untuk setiap qsc dan Pwf , yaitu :
2 Pwf2  (25 g q 2 T Z f  H   EXP  S   1 ) / Sd 5
p tf 
EXP ( S )
Buat tabulasi hasil perhitungan ini bersama dengan hasil step1.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


3. Menentukan Psep pada setiap harga Ptf dan qsc dengan
menggunakan persamaan :
25 g q 2
T Z fL
2
p1  p 2 
2

d5
atau
a2 a3 a4
 Tb   P1  P2   1
2 2

q g  a1 E     .  D a5

 Pb   TLZ    g 
Hasilnya :

qsc, Mscfd pwf ptf psep


1000 1877 1500 1490
2000 1774 1362 1320
3000 1653 1158 1042
4000 1512 840 504

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


4. Plot antara Psep terhadap qsc dan tentukan harga kapasitas alir pada
berbagai harga dari Psep.

Qsc vs Psep

1600
1400
1200
Psep, psia

1000

800
600
400
200
0
0 1 2 3 4 5
Qsc, MMscfd

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Kesimpulan :

Psep Flow capacity, MMscfd

1,200 2,56

1,000 3.08

800 3.54

500 4.0

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modul 8
Field Handling of
Natural Gas
Gathering System,
Compressor, Gas Processing

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gathering System

Aliran dalam pipa, dapat dibagi menjadi 2


kategori, yaitu:
 Saluran / Rangkaian pipa seri

 Saluran / Rangkaian pipa paralel

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


RANGKAIAN PIPA SERI
P1 P2
DA= 4 in

L mi

DB= 6 in DA= 4 in

L L A
B

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


RANGKAIAN PIPA SERI

Weymouth Formula

 
0. 5
Tb P1  P2 D 3 
 2 2 16

Qh  18.062  
Pb   g TLZ 

0.5 16
D 3 16
 KD 3
Qh  K   L 2
 L  Qh

Equivalent Length
16 16
LA  D A 
' 3  DA  3
LA  LB  
'
  
'
LB  DB   DB 
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
RANGKAIAN PIPA SERI
 Equivalent Length 16

'  DA  3
LAeq  LA  LA LAeq  LA  LB  
 DB 

• % Change in Flow Rate


  1  0.5 0.5 
 
    1 
 LAeq 
 L 
Qh   0.5 
 1 
   
L
 
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
RANGKAIAN PIPA PARALEL (LOOPED)
DA= 4 in QA

P1 P2 QT

DB= 6 in QB

Flow Capacity
0.5
Qh  K  D 3 
  K  D 3 

16 8

   
Ratio Flow Capacity

QA  QB  QB    DA  3 
 8
Qt
  1    1  



QA QA  QA    DB  

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Looped Pipe Line
Dalam banyak kasus, hanya bagian pipa yang sudah ada akan diparalelkan atau
“Looped” dengan maksud untuk meningkatkan kapasitas aliran.

Dimana untuk menghitung kapasitas aliran yang baru, dapat digunakan


persamaan:
qold 8
qnew 
  1 
0.5
 d2  3
1  Y   1 W   
 (1  W )
2
  d  1 
Keterangan:
qnew = Kapasitas aliran baru setelah looping.
qold = Kapasitas aliran sebelum looping.
Y = Fraksi dari pipa yang lama/asli yang diparalelkan dimulai dari
outlet.
d1 = Diameter pipa lama.
d2 = Diameter pipa baru.
f1 = Faktor gesekan pipa yang lama.
f2 = Faktor gesekan pipa yang baru.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
GAS COMPRESSION

Tipe-tipe Kompresor berdasarkan cara kerjanya:


 Positive Displacement Compressors

 Dynamic Compressors

 Ejector Compressors

Disain Kompresor :
 Kapasitas Kompresor (Compressor Capacity)

 Kebutuhan Tenaga (Power Requirements)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


TIPE-TIPE KOMPRESOR

Positive Displacement Compressor adalah unit kompresor yang mengurung


volume gas yang masuk berurutan ke dalam suatu ruangan tertutup dan
menekannya hingga ke tekanan yang lebih tinggi.

Dynamic Compressor adalah elemen kompresor yang memutar dengan cepat


gas melalui elemen tersebut, mengubah percepatan tersebut ke arah tekanan
secara parsial dan mendorongnya.

Ejector Compressor, terdiri dari motif uap air bertekanan tinggi atau nozzle gas
dengan pancaran tinggi menuju ruang pengisapan untuk dibaur dan
ditingkatkan. Walaupun begitu hanya digunakan untuk menaikkan tekanan
dibawah tekanan atmosfir menuju ke tekanan atmosfir.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Kapasitas Kompresor (Compressor Capacity)
Jumlah gas yang dapat dipompa kompresor, tergantung
penggantian volume nyata dari intake cylinder dan volumetric
eficiency.
Kapasitas kompresor dapat dihitung melalui persamaan:

d 2 LSEv
q
4

Dimana volumetric eficiency diperoleh melalui persamaan:

 Z1 r 1 / k 
Ev  1  A  C   1
 Z2 

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Keterangan:
q = Kapasitas aliran, scfd.
d = Diameter piston, in.
L = Panjang stroke/langkah, in
S = Kecepatan kompresor, rpm.
Ev = Volumetric efficiency
A = Faktor kemungkinan bocor , gesekan, dll., biasanya antara 0.03
dan 0.06
C = Clearance, bervariasi dari 0.04 sampai 0.16.
Z1 = Faktor kompresibilitas gas pada kondisi pengisapan
(Suction)
Z2 = Faktor kompresibilitas gas pada kondisi keluaran (discharge)
r = Perbandingan kompresi, P2/P1.
P1 = Tekanan pengisapan (Suction Pressure), Psi.
P2 = Tekanan keluaran (Discharge Pressure), Psi.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


KEBUTUHAN TENAGA (POWER REQUIREMENT)

Kebutuhan tenaga dari berbagai jenis kompresor adalah kebutuhan utama untuk
pemilihan dan disain dari komponen-komponen kompresor.

Kebutuhan tenaga kompresor dapat diperoleh melalui persamaan:

3.027 PscT1k Z1 ( k 1) / k


w (r  1)
Tsc (k  1)
Keterangan:
W = Kebutuhan tenaga, HP/MMscfd.
Psc = Tekanan pada kondisi standar, Psia.
Tsc = Temperatur pada kondisi standar, oR.
T1 = Temperatur masuk (suction), oR.
K = Perbandingan antara spesific head gas pada tekanan konstan (Cp) dan
volume konstan (Cv).
r = Pressure Ratio (Discharge Pressure/Suction Pressure).
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
DIAGRAM MOLLIER

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pemilihan Kompresor
Sistem digunakan untuk menyuplai gas ke konsumen
yang jaraknya 10,000 ft dari kompresor dengan tekanan
yang diinginkan oleh konsumen (sales line) adalah 1,000
psia. Diameter pipa konsumen adalah 3.068 inch.
Kompresor diletakkan dekat separator. Tentukan
perbandingan kompresi dan horse power untuk laju alir
3.5 dan 4 MMSCFD.

Penyelesaian :
1. Tekanan di separator atau kompresor untuk berbagai
harga laju alir sudah dihitung dan diplot pada soal
sebelumnya.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


2. Dimulai dari tekanan yang dibutuhkan konsumen,
tentukan tekanan yang keluar dari kompresor, Pdis,
untuk berbagai harga laju alir, menggunakan
persamaan berikut :
25 g q 2T Z fL
p12  p 2 2 
d5
Hasilnya :
qsc, Mscfd pdis, psia

1,000 1,002
2,000 1,010
3,000 1,021
4,000 1,037
5,000 1,057
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
3. Plot antara Pdis terhadap qsc pada grafik yang sama yang
digunakan pada soal sebelumnya. Perpotongan antara
kedua kurva tersebut memberikan kapasitas aliran atau
deliverability untuk sistem yang tidak menggunakan
kompresor.
Qsc vs Pdis

1,600

1,400

1,200
P d is, psia

1,000

800

600

400

200

0 1 2 3 4 5 6
Qsc, MMscfd

Psep Pdis
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Plot pada grafik diatas memberikan perpotongan pada
Qsc = 3.04 MMscfd jika tidak menggunakan
kompresor.
Untuk mendapatkan laju alir yang sesuai maka
dibutuhkan kompresor. Harga-harga dibawah ini dibaca
dari grafik diatas, yaitu :
Qsc vs Pdis

qsc, r=
1,600

Psep pdis Z1
1,400

pdis/psep
1,200

MMscfd
P d is, p sia

1,000

800

600

3.5 810 1030 1.27 0.86


400

200

0 1 2 3 4 5 6
Qsc, MMscfd

Psep Pdis
4.0 500 1040 2.08 0.92

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Untuk menentukan horsepower yang diperlukan, dengan
k = 1.3, psc = 14.7 psia, Tsc = 520oR, T1 = 540oR.

Untuk qsc = 3.5 MMscfd Untuk qsc = 4.0 MMscfd


3.027 Psc T1 k Z1 ( k 10 / k w  200.27[(2.08) 0.92( 0.3) / 1.3  1]  200.27(0.168)
w (r  1)
Tsc ( k  1)
w  33.6 Hp / MMscfd
3.027(14.7)(540)(1.3)
w [(1.27) 0.86( 0.3) / 1.3  1]
(520)(0.3)
w  200.27(0.049)  9.8Hp / MMscfd

Hp = (9.8)(3.5) = 3.4 hp Hp = (33.6)(4.0) = 134 hp

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Fasilitas Produksi Permukaan
pada Lapangan Gas
Peralatan produksi permukaan atau surface facilities
pada lapangan gas bisa dikelompokkan menjadi tiga
bagian, yaitu :
1. Fasilitas transportasi gas, yaitu kumpulan peralatan yang
mempunyai fungsi untuk mentransfer gas dari wellhead ke
fasilitas gas processing, kemudian berlanjut ke fasilitas
penampungan,
2. Fasilitas gas processing, yaitu sejumlah peralatan yang
mempunyai fungsi untuk memisahkan gas dari cairan
bebas, uap air, padatan, dan impuritis, seperti : H2S dan
CO2, dan.
3. Fasilitas penampungan gas, yaitu kumpulan peralatan
yang mempunyai fungsi sebagai tempat untuk menyimpan
gas dalam waktu tertentu.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Fasilitas Transportasi Gas
A. Flowline
Merupakan komponen gathering untuk mengalirkan fluida produksi dari
wellhead ke peralatan pemisah dan tanki. Gate valve atau ball valve dipasang
di dekat kepala sumur untuk keperluan isolasi atau penutupan sewaktu.
Diusahakan rute pemasangan pipa memilih tempat yang mudah untuk
melakukan pengawasan dan perbaikan, sehingga flowline dari kepala sumur
sampai ke station mengikuti rute jalan umum atau jalan inspeksi perusahaan.
Untuk keselamatan, jarak dengan jalan umum lebih dari 15 m. Pipa harus
diletakkan diatas suatu support, karena apabila hanya diletakkan diatas tanah
akan menyebabkan korosi dan rusak. Atau jika melewati jalan, maka harus
ditimbun dan dilindungi casing pendukung.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi desain dan dimensi pipa,
diantaranya adalah laju alir fluida dan sifat-sifat fisik dari fluida. Ketebalan
pipa tergantung dari tekanan kerja dari sistem dan kekuatan pipa yang
digunakan serta mempertimbangkan efek korosi dan erosi yang terjadi pada
pipa. Dengan menggunakan persamaan di bawah ini, dapat diperkirakan
ukuran pipa yang diperlukan untuk pengiriman suatu gas pada kondisi tertentu
dengan batasan (P10% PI ), yaitu :
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
1260.SG.T. f.Q g
d 5

P.  ΔP/100ft 
keterangan :
d = Diameter dalam (ID) pipa, in.
SG = Specific gravity gas.
T = Temperatur, oR.
f = Moody friction factor
Qg = Laju alir gas, MMscfd.
P = Tekanan, psia.
P/100ft= Pressure drop per 100 ft.

Diameter flowline harus didesain untuk kecepatan maksimum dan


minimum untuk mencegah beberapa permasalahan, seperti erosi dan
noise.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


B. Manifold
Manifold adalah kumpulan dari kerangan atau valve yang mempunyai
banyak fungsi, diantaranya adalah : Untuk mengatur aliran fluida produksi
dari tiap sumur, mengisolasi suatu bagian dari sistem jaringan flowline
guna melakukan perawatan atau perbaikan, mengarahkan/membelokkan
aliran fluida produksi dari setiap sumur ke test line atau main header,
mencegah terjadinya tekanan balik dari separator ke sumur. Pada suatu
lapangan, produksi dari tiap sumur perlu dikelompokkan terlebih dahulu ke
suatu tempat pemusatan (well centre).

Sistem manifold harus mudah dioperasikan dan dikontrol. Sehingga


memudahkan dalam treatment, reparasi separator, penyambungan pipa-
pipa, yang tidak mengganggu produksi harian sumur-sumur.

Didalam merencanakan manifold harus memperhitungkan ukuran


flowline, karena ukuran manifold harus sesuai dengan ukuran flowline dari
wellhead. Konstruksi inlet manifold tergantung dari tekanan wellhead yang
akan bekerja dan besarnya flowline, serta pipa yang masuk ke separator.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
C. Header
Merupakan pipa berukuran lebih besar dari flowline yang
berfungsi untuk menyatukan fluida produksi dari sumur produksi
(setelah melalui manifold) dan mengalirkannya ke fasilitas pemisah.
Beberapa fungsi header adalah : Umtuk menampung fluida produksi
dari beberapa gate valve pada unit manifold dan mengalirkannya ke
separator, membantu terjadinya proses pemisahan dalam separator
dengan jalan menimbulkan kondisi aliran tertentu yang baik bagi
proses pemisahan, yaitu meniadakan kondisi turbulensi.
Sesuai funsinya, maka header dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Production Header, sebagai tempat untuk mengalirkan dan
menampung fluida produksi sumur sampai ke separator, dan
2. Test Header, digunakan untuk mengetes masing-masing sumur pada
manifold secara periodik. Header ini untuk mengalirkan fluida
produksi yang akan dites ke separator test untuk dihitung jumlah
produksinya, setelah itu fluida produksi dicampur kembali dengan
fluida produksi sumur yang lain di production header.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Perhitungan Diameter Header
Perencanaan diameter header berpengaruh terhadap pressure loss yang
terjadi diantara manifold dengan separator, dimana pressure loss pada header
harus diusahakan serendah mungkin supaya back pressure di wellhead sekecil
mungkin, sehingga energi di dalam sumur dapat semaksimal mungkin dihemat.
Perencanaan awal diameter header didekati dengan persamaan :
Q  0,785 . d 2 . v
v  148,7 k . z .T , untuk gas yang bersifat korosif/erosif, persamaan ini dibagi dengan 2.
M
k = Spesific heat ratio,
z = Faktor kompressibilitas gas,
T = Temperatur absolut, oR,
M = Berat molekul gas.
Untuk mengetahui apakah diameter header yang dipilih cukup aman terhadap
pengoperasiannya, dapat dicek dengan persamaan :
P.D
t
keterangan : 2S
t = Tebal pipa yang diijinkan, inci D = Diameter luar header, inci
P = Tekanan kerja pada header, psi. S = Tegangan pipa, tgtdari beban pipa.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


D. Valve
Valve berfungsi untuk membuka dan menutup aliran fluida di dalam pipa serta
berfungsi untuk mengatur jumlah atau besarnya aliran dengan jalan memutar
handweal.
Berdasarkan cara penyambungan valve dengan pipa atau peralatan lainnya,
maka jenis valve dibedakan menjadi tiga yaitu : screwed (ulir), flanged, dan butt-
wellding (las).

Berdasarkan fungsi dan bentuk, valve dibedakan menjadi :


a. Gate valve : Digunakan untuk pada pipeline, dan peralatan kepala sumur,
b. Plug valve : Digunakan untuk aliran dengan cepat (BOP dan penyemenan).
c. Globe valve : Valve yang banyak digunakan untuk mengatur aliran cairan/gas.
d. Needle valve : Valve yang digunakan untuk mengontrol tekanan tinggi melalui
pipa kecil.
e. Ball valve
Biasanya, dalam christmas tree juga dijumpai adanya :
1. Master valve : Digunakan untuk menutup sumur hanya dalam keadaan terpaksa.
2. Wing valve : Untuk menutup dan membuka sumur.
3. Swab valve : Hanya digunakan pada waktu operasi wireline.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Perencanaan Valve
Laju aliran fluida tidak hanya tergantung dari luas atau lebar permukaan dari valve
yang bersangkutan, tetapi juga pressure drop melalui valve tersebut. Untuk menentukan
ukuran dan kapasitas valve, dapat menggunakan hubungan laju aliran dan pressure drop
(incompressible fluid) dengan persamaan orrifice sebagai berikut :
Q = Cv A ( P/ρ)0.5

Q = Laju aliran atau valve capacity, gpm.


Cv = Koefisien aliran, gpm.
A = Luas pembukaan valve, ft2.
P = Pressure drop sebelum dan sesudah melewati valve , psi.
ρ = Densitas fluida yang mengalir, ppg.
Koefisien aliran Cv, didefinisikan sebagai laju aliran air dalam gallon per menit melalui
valve yang terbuka penuh dengan aliran 1 psi. Untuk aliran gas, C v dapat ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut :
Cv 

V  .T g
0, 5
a 
1360 ( .P2 ) 0.5
V = Laju aliran gas pada 14,7 psi dan 60 oF, cuft/jam.
P = Pressure drop pada kondisi aliran maksimum, psi.
P2 = Outlet pressure pada kondisi aliran maksimum, psi.
γg = Spesific grafity gas (udara = 1).
Ta =Agus
Temperatur
Widiyarsoabsolut
– Wibowoaliran, o
R. Teknik Perminyakan-FTM
Jurusan UPN “Veteran” Yogyakarta
Stasiun Kompresor
Stasiun kompresor merupakan salah satu bagian dari unit transportasi pada
lapangan gas, yang berfungsi untuk menambah tekanan alir dari gas yang
melewati flowline. Kompresor diperlukan untuk menaikkan tekanan alir
dalam pipa, terutama dalam pipa distribusi/transmisi yang berjarak panjang,
dimana kehilangan tekanan sangat besar. Disamping itu, kompressor juga
diperlukan pada gathering station yang kadang tidak mampu memenuhi laju
produksi yang diinginkan ke dalam pipa transmisi, dan juga pada storage
field.
Kompresor merupakan vacuum pump, yang setiap tipenya berdasarkan
kapsitas dan besarnya kerja yang dapat dilakukan. Berdasarkan cara kerja
dan peraalatannya, ada 3 tipe dasar kompresor, yaitu :
1. Positive Displacement Type Compressor, terdiri dari reciprocating
compressor dan rotary lobe compressor (sliding-vane, liquid piston, straight-
lobe, dan helical-lobe).
2. Dynamic Type Compressor, terdiri dari centrifugal compressor, axial
compressor, dan mixed flow compressor.
3. Ejector Compressor.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Positive Displacement Type
Compressor
A. Reciprocating Compressor
Merupakan kompresor dengan mekanisme
menekanan dan memindahkan elemen oleh piston yang
bergerak di dalam silinder, seperti ditunjukkan oleh
Gambar 1.
Reciprocating compressor mempunyai 2 tipe yang
didasarkan pada kecepatan gerak pistonnya, yaitu high
speed reciprocating (900 – 1.200 rpm) dan low speed
reciprocating (200 – 600 rpm).

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 1
Gerakan Piston Reciprocating Compressor
(Ken, Arnold, P.E.;“Surface Production Operation”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


B. Rotary Compressor
Merupakan kompresor yang prinsip kerjanya menekan dan
memindahkan elemen yang disebabkan oleh perputaran elemen itu
sendiri.
Untuk jenis sliding vane compressor mempunyai baling-baling aksial
yang menempel pada rotoryang berada di dalam selubung silinder.
Prinsip kerjanya adalah melempar gas yang berada pada tiap trap dengan
gaya sentrifugalnya.
Jenis liquid piston compressor menggunakan air atau jenis cairan
lainnya sebagai piston untuk menekan dan memindahkan gas.
Straight lobe compressor merupakan kompresor putar yang terdiri
dari selubung yang terdapat dua rotor simetri. Prinsip kerjanya adalah
memutar dua rotor yang saling berlawanan arah, sehingga gas yang
berada di sela-sela rotor akan terdorong keluar melalui discharge.
Sedangkan helical lobe compressor merupakan kompresor yang
menggunakan rotor berbentuk ulir. Prinsipnya gas yang berada di sela-
sela ulir akan terdorong ke depan mengikuti ulir dari rotor tersebut.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Gambar 2
Gerakan Rotor Sliding Vane Compressor
(Beggs, Dale H;“Gas Production Operations”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 3
Straight Lobe Compressor
(Beggs, Dale H;“Gas Production Operations”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 4
Helical Lobe Compressor
(Ken, Arnold, P.E.;“Surface Production Operation”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Dynamic Compressor
Kompresi pada kompresor ini didasarkan pada transfer energi dari perputaran baling-
baling ke gas. Pertukaran ini terjadi karena perubahan momentum dan tekanan pada gas.
Momentum ini dirubah menjadi tekanan yang menekan gas ke baling-baling lainnya.

A. Centrifugal Compressor
Merupakan jenis kompresor yang meggunakan impeller berbentuk baling-baling yang
dipasang sejajar dengan rotornya.Energi transfernya tergantung dari kecepatan perputaran
impelernya. Gas yang masuk diantara impeller terlempar ke depan dan masuk ke impeller
lainnya, sehingga setiap impeler akan mengalami beberapa pelemparan atau tenaga dorong.
Kecepatan gas yang keluar dari kompresor tergantung pada kecepatan putar impeler dan
banyaknya sudu pada impeler.
B. Axial Compressor
Axial compressor merupakan kompresor yang meggunakan sudu yang sejajar sepanjang
rotornya. Kecepatan gas diperoleh dari gerakan sudu rotor yang menyelubungi rotornya. Tiap
stage terdiri dari dua baris sudu, satu baris berputar dan baris lainnya tetap. Sudu rotor
memberikan kecepatan dan tekanan kepada gas saat rotor dijalankan, kecepatan tersebut
diubah ke dalam tekanan di dalam sudu yang diam.
C. Mixed Flow
Merupakan kompresor yang bentuk impelernya merupakan kombinasi dari beberapa
karakteristik dari centrifugal compressor dan axial compressor.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Gambar 5
Centrifugal Compressor
(Beggs, Dale H;“Gas Production Operations”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 6
Axial Compressor
(Ken, Arnold, P.E.;“Surface Production Operation”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Ejector Compressor
Ejector compressor menggunakan saluran panjang yang
berdiameter kecil. Gas yang masuk ke nosel ditekan melewati saluran
yang berdiameter kecil, sehingga kecepatan gas tersebut naik.
Tingginya kecepatan keluaran gas tersebut di dalam diffuser dirubah
menjadi tekanan yang sangat tinggi.

Gambar 7
Diagram Ejector Compressor
(Beggs, Dale H;“Gas Production Operations”)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Fasilitas Gas Procesing
A. Separator
Agar dapat memenuhi fungsinya dengan baik, separator umumnya terdiri
dari komponen-komponen sebagai berikut :
1. Inlet Separation Element
Peralatan di depan lubang inlet yang dapat berupa deflector plate atau centrifugal
device dimana pemisahan untuk pertama kali terjadi. Deflector plate dapat
berbentuk suatu plate atau piringan. Fluida yang masuk ke separator menumbuk
deflector, sehingga cairan jatuh ke dasar vessel dan gas mengalir di sekeliling
deflector. Pada centrifugal device, fluida yang masuk dialirkan memutari dinding
silinder kecil, sehingga terjadi gaya centrifugal yang besarnya dapat mencapai
500 kali gaya gravitasi. Untuk separator spherical atau vertikal, dinding silinder
dapat merupakan dinding vesselnya sendiri. Gaya centrifugal menyebabkan cairan
bersama-sama jatuh ke dalam settling section di dasar vessel.
2. Settling Section
Berfungsi untuk menghilangkan turbulensi aliran fluida dan mengendapkan
padatan yang ikut dalam cairan di dasar vessel berdasarkan gaya gravitasi.
Settling section berupa ruang yang cukup luas untuk mengendapkan cairan, sering
diperlengkapi dengan peralatan pembantu seperti quieting plate atau buffles yang
disebut dengan scrubbing. Separator dengan centrifugal device dan settling
section yang cukup luas umumnya menghasilkan cairan di stock tank yang lebih
stabil daripada separator dengan scrubbing.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Fasilitas Gas Procesing
A. Separator (Lanjutan)

3. Mist Extractor/Eliminator
Dipasang di lubang outlet yang berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel
cairan yang tidak dapat dipisahkan oleh gravitasi. Partikel-partikel cairan yang
kecil hampir tidak mempunyai perbedaaan gravitasi dengan gas, partikel-partikel
ini akan terkumpul di mist extractor sampai ia cukup besar untuk jatuh ke settling
section. Mist extractor umumnya dibuat dari susunan kawat stainless steel
membentuk jaringan.
4. Peralatan Control dan Safety
Umumnya terdiri atas : level control, pressure control, liquid dump valve, gas
back pressure, valve, safety relief valve, pressure gauge, gauge glass, instrument
gas regulator, dan pipa-pipa atau tubing.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Jenis Separator
A. Berdasarkan Bentuknya
1. Vertikal
2. Horizontal
- Single tube
- Double tube
3. Spherical
C. Berdasarkan Jumlah Fasanya
B. Berdasarkan Fungsinya 1. Dua fasa
1. Knock out 2. Tiga fasa
- FWKO
- TLKO D. Berdasarkan Tekanan Kerjanya
2. Gas Scrubber 1. High pressure
3. Flash Chamber 2. Medium pressure
4. Expansion Vessel 3. Low Pressure

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Low Temperatur Separator (LTS)
Proses LTS sangat efektif untuk condensate recovery pada sumur-sumur bertekanan
tinggi untuk wet non-associated gas well stream. LTS dipasang di dekat wellhead dan juga
di gas plant sebagai :
- Pemisah hidrokarbon dan air dari wet gas well stream.
- Mengerjakan dehidrasi aliran produksi gas.
- Memperoleh kondensat lebih banyak dibandingkan separator konvensional.
Hasil dari LTS adalah dry gas (mengurangi kadar uap air pada aliran dry
gas), kondensat yang lebih banyak, dan air bebas Dry gas dapat langsung
dialirkan ke sistem gas sale atau diproses lebih lanjut, sedangkan kondensat
yang banyak perlu distabilkan agar mengurangi evaporation loss di storage tank.
Macam-macam LTS :
1. Instalasi LTS tanpa inhibitor hidrat,
2. Instalasi LTS dengan menggunakan inhibitor hidrat, dan
3. Instalasi LTS dengan bantuan external refrigerator.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


B. Sweetening
Beberapa proses yang digunakan untuk memisahkan gas asam adalah
Alkanolamine Sweetening, Glycol/Amine Process, Sulfinol Process, dan Iron-
sponge Sweetening.

I. Alkanolamine Sweetening
Amine terdiri dari komposisi nitrogen-hydrokarbon (N-HC) yang secara kimia
akan bereaksi dengan gas-gas asam (acid gases) untuk membentuk ikatan garam
komplek. Amine dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu : primary, secondary, dan
tertiary, tergantung dari komposisi atom N dan senyawa HC dalam satu ikatan
tersebut.
1. Primary Amine
Primary amine mempunyai 2 atom H dan satu senyawa HC yang terikat pada
atom N. Amine jenis ini merupakan tipe yang paling reaktif, karena mempunyai 2
atom hydrogen yang labil (mudah membentuk ikatan). Monoethanol Amine (MEA)
dan Diglycol Amine (DGA) termasuk dalam tipe primary amine ini.
2. Secondary Amine
Jenis ini hanya mempunyai 1 atom H yang labil dan 2 senyawa HC yang terikat
pada atom N. Jenis ini kurang reaktif dibandingkan primary amine, karena hanya
mempunyai 1 atom H yang labil. Diethanol Amine (DEA) dan Diisopropanol Amine
(DIPA) termasuk dalam tipe secondary amine ini.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


3. Tertiary Amine
Jenis ini mempunyai 3 senyawa HC yang terikat pada atom N. Tipe ini paling
tidak reaktif, karena tidak memiliki satupun atom H yang labil. Methyldiethanol
Amine (MDEA) dan Triethanol Amine (TEA) termasuk tipe tertiary amine ini.

Proses alkanolamine memisahkan H2S sekaligus CO2, umumnya MEA lebih


disukai dibanding
DEA atau TEA, ini disebabkan karena MEA lebih reaktif, lebih stabil, dan dengan
cepat dapat dibersihkan dari kontaminan dengan cara destilasi semi kontinyu.

Reaksi yang terjadi antara H2S dan MEA adalah :

Absorbsi : MEA + H2S → MEA Hydrosulfide + heat


MEA + H2 + CO2 → MEA Carbonate + heat

Regenerasi : MEA Hydrosulfide + heat → MEA + H2S


MEA Carbonate + heat → MEA + H2O + CO2
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Alkanolamine sweetening digunakan secara luas untuk gas dengan
kandungan H2S relatif tinggi. Proses yang dilakukan dengan menggunakan
amine ini dapat kita lihat pada diagram Amine Treating System (Gambar
1). Gas hidrokarbon yang mengandung asam (acid gas) dialirkan melalui
bagian bawah dari tabung contactor menuju bagian atas tabung contactor.
Larutan amine dialirkan pada bagian atas tabung contactor menuju bagian
bawah tabung. Pertemuan kedua fluida tersebut akan menimbulkan reaksi
kimia yang akan menghilangkan gas yang bersifat asam. Gas yang bersih
hasil dari reaksi tersebut (sweet gas) akan keluar meninggalkan contactor
melalui bagian atas. Sedangkan amine yang banyak mengandung gas asam
(rich amine) akan dialirkan melalui bagian bawah dari contactor. Proses
selanjutnya adalah pemurnian amine, setelah terjadi reaksi dengan gas
asam. Amine yang banyak mengandung gas asam (rich amine) akan didaur
ulang di dalam stripper, dengan menggunakan tekanan yang rendah dan
ditambahkan pemanasan dari reiboler. Gas asam akan terbebaskan melalui
reflux condenser. Amine panas yang sudah murni akan keluar melalui
bagian bawah tabung dan dialirkan menuju Heat Exhanger untuk
menurunkan temperatur rich amine (banyak mengandung gas asam) yang
berasal dari contactor.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
II. Glycol / Amine Process
Digunakan untuk gas alam yang tidak memerlukan penurunan dew point.
Process glycol/amine menggunakan larutan yang mempunyai komposisi 10 - 30
% berat MEA, 45 - 85 % berat glycol, dan 5 - 25 % berat air. Kelemahan proses
ini adalah menaikkan kehilangan pengisapan MEA karena temperatur regenerasi
yang tinggi, untuk memperoleh MEA kembali harus digunakan vacum destilasi
dan adanya problem korosi (Gambar 1).

III. Sulfinol Process


Proses ini menggunakan sulfanol sebagai solven untuk melarutkan gas
asam. Sulfanol merupakan campuran dari sulfolane, diisopropanolamine (DIPA),
dan air. Sulfolane memisahkan gas asam berdasarkan physical absorbtion,
sedangkan DIPA berdasarkan reaksi kimia. Kelebihan dari proses sulfanol adalah
laju sirkulasi solven rendah, peralatan lebih kecil, heat capacity dari solven
rendah, biaya operasional rendah, problem korosi kecil, kondensasi membentuk
foam efektifitasnya tinggi terutama carbonylsulfide (COS), carbondisulfide
(CS2) dan mercaptans, kehilangan solven karena penguapan rendah,
kecenderungan pengotoran heat exchanger rendah, dan tidak berekspansi pada
saat solven didinginkan. Kelemahannya adalah mengabsorbsi hidrokarbon berat
dan aromatic, serta harganya mahal.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


IV. Iron-sponge Sweetening

Iron sponge merupakan spon yang dibuat dari deposit oxide (Fe 2O3) dan serpih
kayu melalui berbagai proses sehingga bersifat sensitif terhadap H 2S. Reaksi yang
terjadi adalah :
2Fe2O3 + 6 H2S → 2Fe2S + H2O
Temperatur operasi selama reaksi dipertahankan kurang dari 120 0F dan
semprotan tambahan air harus diberikan. Regenerasi sponge dilakukan dengan
menambahkan udara (O2). Reaksi yang berlangsung adalah :
2Fe2S3 + 3 O2 → 2Fe2O3 + 6 S
Karena sulfur tetap berada di sponge, maka jumlah langkah regenerasi
terbatas sehingga relatif mempunyai umur pendek. Iron sponge sweetening
digunakan untuk gas dengan kandungan H2S relatif rendah.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 1
Diagram Proses Pemurnian dengan Pelarut Alkanolamine
(Byrnes, E.B., Tenison, P.R.;“Gas and Liquid Sweetening”)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
C. Dehidrasi Gas
Dehidrasi gas (gas dehydration) adalah proses memisahkan uap air
yang terkandung di dalam gas. Ada empat metode yang biasa digunakan,
yaitu : pendinginan (cooling), kompresi yang diikuti oleh pendinginan,
absorpsi, dan adsorpsi. Umumnya dua metode yang pertama kurang
memuaskan dalam menurunkan dew point sehingga yang sering
digunakan adalah metode absorpsi atau adsorpsi.
Uap air dapat dipisahkan dengan menggelembungkan gas melalui
cairan tertentu yang mampu mengikat uap air, proses ini disebut
absorpsi. Jika digunakan padatan (granular solid) untuk mengikat uap
air, maka proses ini disebut adsorpsi. Vessel dimana absorpsi maupun
adsorpsi dilakukan disebut dengan contactor atau sorber. Cairan atau
padatan yang digunakan untuk mengikat uap air tersebut dikenal sebagai
desiccant.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


1. Solid Desiccant Dehydration

Proses ini pada prinsipnya memanfaatkan kemampuan butir-butir


padatan (granular solid) yang mempunyai pori-pori sangat kecil untuk
mengikat gas atau cairan pada luas penampang permukaannya. Padatan
atau solid desiccant ini mempunyai luas permukaan yang sangat besar
untuk tiap unit berat. Solid desiccant yang umum digunakan adalah
activated carbon, bauxite, activated alumina, silica gel, dan synthetic
zeolities yang dikenal dengan molekuler sives.
Kelebihan dari metode adsorpsi ini terutama adalah water dew point
yang lebih rendah dapat dicapai melalui range kondisi operasi yang luas,
diperoleh gas kering dengan kandungan uap air kurang dari 1 lb/MMcf,
serta unit dapat dioperasikan dengan cepat, mudah, dan tahan terhadap
perubahan beban mendadak.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 2 memperlihatkan tipe solid desiccant dehydration plant dengan
menggunakan dua buah adsorpber (dehydrator tower), tiap adsorpber
dapat berisi beberapa ton desiccant. Gas yang masuk ke inlet plant
sebelumnya dialirkan melalui separator filter agar bersih dari padatan dan
kontaminan lainnya. Selama langkah adsorpsi, gas dialirkan turun melalui
lapisan desiccant. Arah aliran ke bawah ini dimaksudkan untuk
mengurangi gangguan terhadap lapisan desiccant yang dikarenakan
kecepatan gas yang tinggi. Sementara adsorpber ini melakukan langkah
adsorpsi, adsorpber yang lain melakukan langkah regenerasi. Regenerasi
dilakukan dengan memanaskan desiccant dalam adsorpber dengan
mengalirkan gas dari inlet plant untuk menguapkan air dan hidrokarbon
dalam desiccant. Pemanasan dapat dilakukan dengan direct-fired heater,
minyak panas, uap panas, ataupun indirect heater.
Gas pemanas dialirkan ke atas di dalam adsorpber, kemudian
didinginkan agar uap air dari desiccant terkondensasi. Air hasil
kondensasi dialirkan keluar sistem dan gas dialirkan kembali ke
adsorpber yang lain. Langkah adsorpsi, regenerasi, dan pendinginan
biasanya diatur secara otomatis menggunakan power-operated valve dan
timing device.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 2
Solid Desiccant Dehydration Unit
(Petroleum Extension Service, “Field Handling of Natural
Gas”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


2. Liquid Desiccant Dehydration
Proses absorpsi ini pada prinsipnya adalah memisahkan uap air dari
gas dengan mengalirkan gas melalui cairan higroscopis di dalam suatu
absorpber (contactor). Cairan higroscopis (liquid desiccant) yang umum
digunakan adalah glycol. Terdapat empat jenis glycol yang sering
digunakan, yaitu : Ethylene Glycol (EG), Diethylene Glycol (DEG),
Triethylene Glycol (TEG), dan Tetraethylene Glycol (TREG). Glycol
yang digunakan dapat pula merupakan campuran diantara empat jenis
glycol tersebut. TEG umumnya mempunyai keunggulan dalam hal
kemampuan operasi, penurunan dew point, dan biaya.
Glycol dehydration lebih ekonomis dibanding solid desiccant
dehydration, dimana solid desiccant plant yang didesain untuk 10
MMscfd gas memerlukan biaya 53% lebih besar daripada TEG plant, dan
yang didesain untuk 50 MMscfd memerlukan biaya 33% lebih besar.
TEG dapat digunakan untuk dehidrasi sweet maupun sour gas;
mempunyai range kondisi operasi yang luas, yaitu : penurunan dew point
40-140 oF, tekanan gas 25-2500 psig, dan temperatur gas 40-160 oF.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Adapun peralatan-peralatan yang terdapat pada suatu
unit instalasi Glycol Dehydrator secara garis besar adalah
sebagai berikut :
o Inlet Scrubber.
o Contactor.
o Glycol Cooler.
o Filter.
o Pompa.
o Flash Separator.
o Heat Exchanger.
o Stripping Still (stripper).
o Reboiler.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


a. Inlet Scrubber
Alat ini berfungsi untuk menghilangkan atau memisahkan cairan
yang terbawa oleh gas yang akan diproses di dehydrator. Alat ini hanya
memisahkan cairan dengan gas, sehingga gas yang keluar dari sini akan
tetap mengandung air, tetapi dalam bentuk uap air. Unit glycol
dehydrator yang umum digunakan adalah inlet scrubber yang vertikal.
b. Contactor
Pada saat ini terjadi kontak antara wet gas (dari inlet scrubber)
dengan dry glycol, dimana glycol akan mengikat uap air yang
terkandung dalam gas. Fungsi utama dari contactor adalah memberikan
kondisi kontak yang optimum. Pada contactor terjadi aliran gas dan
glycol, dimana gas mengalir ke atas, sedangkan glycol mengalir ke
bawah. Hasil proses yang terjadi di contactor (kontak antara gas dan
glycol) adalah : wet gas menjadi dry gas dan dry glycol menjadi wet
glycol. Ada dua jenis contactor yang dikenal, yaitu :
a). Trayed contactor
Pada contactor jenis ini, kontak antara gas dan glycol terjadi pada
lempeng tipis yang berlubang-lubang (tempat masuk gas).
b). Packed contactor
Dapat berupa besi sadles atau plastic sadles. Tipe ini jarang
digunakan.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


c. Glycol Cooler
Alat ini merupakan alat penukar panas, dimana perpindahan dan pertukaran
panas terjadi antara dry gas dari contactor dengan dry glycol yang akan menuju
contactor, dimana dry gas relatif lebih dingin daripada dry glycol.
d. Filter
Alat ini berfungsi untuk menyaring padatan-padatan yang terbawa oleh wet
glycol dari contactor, akibat kontak dengan wet gas di contactor. Hasil dari
proses penyaringan di filter ini adalah wet glycol dan padatan menjadi wet
glycol.
e. Pompa
Pompa berfungsi untuk mendorong dry glycol menuju glycol cooler. Pada unit
glycol dehydrator yang umum digunakan adalah glycol powered pump, yaitu
pompa yang memanfaatkan energi wet glycol (dari filter) sebagai penggeraknya.
Hal ini dirasa lebih ekonomis.
f. Flash Separator
Alat ini berfungsi untuk memisahkan minyak yang terbawa oleh wet glycol.
Untuk keperluan ini dapat digunakan separator vertikal dua fasa dengan tekanan
kerja 125 psi.
g. Heat Exchanger
Alat ini berfungsi sebagai penukar panas antara wet glycol dengan dry glycol
dari reboiler. Wet glycol relatif lebih dingin dari dry glycol. Di heat exchanger
ini, wet glycol mengalami pre-heating sebelum masuk ke stripping still. Hasil
penukaran panas ini adalah wet glycol dingin menjadi wet glycol panas, dry
glycol panas menjadi dry glycol dingin.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


h. Stripping Still (stripper)
Pada alat ini terjadi kontak antara wet glycol dengan
panas dari reboiler. Aliran wet glycol dari atas ke bawah
sedangkan aliran uap panas dari bawah ke atas.
i. Reboiler
Pada alat ini terjadi pemisahan uap air dengan glycol,
dimana pemisahan ini dilakukan dengan memanaskan wet
glycol dari stripping still. Hasil proses pemanasan wet
glycol adalah wet glycol menjadi dry glycol dan uap air.
Uap air ini akan mengalir ke atas (stripping still) dan
kemudian masuk kondenser yang terletak di atas stripping
still. Dari kondenser ini uap air akan dibuang ke atmosfer.
Sedangkan dry glycol akan melalui alat heat exchanger-
pompa-glycol cooler-contactor.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gas masuk ke inlet unit melalui gas scrubber dimana sebagian cairan
dipisahkan. Dalam hal ini scrubber dua-fasa atau tiga-fasa yang diperlengkapi
dengan mist eliminator atau separator filter dapat digunakan. Gas kemudian
masuk ke dasar glycol-gas contactor, mengalir ke atas di dalam tower melalui
tray contactor berlawanan dengan arah aliran glycol. Gas kontak dengan glycol
pada masing-masing tray dan glycol menyerap uap air dari dalam gas. Butir-
butir glycol yang ikut aliran gas ke atas dipisahkan di dalam mist eliminator, gas
keluar outlet contactor dialirkan turun melalui vertical glycol cooler untuk
membantu mendinginkan glycol, lalu gas meninggalkan unit melalui bagian
bawah glycol cooler.
Glycol yang sudah didinginkan dialirkan ke bagian atas contactor dan
diinjeksikan ke tray teratas, mengalir turun melalui tiap tray sambil
berkontakkan dengan gas dan mengikat uap air, keluar dari bagian bawah
contactor masuk ke hight pressure glycol filter untuk dibersihkan dari padatan-
padatan yang mungkin ikut terbawa gas inlet dan masuk ke glycol pump. Dari
glycol pump, glycol dialirkan ke inlet flash separator. Gas yang ikut terbawa
glycol dipisahkan untuk disupplaikan ke reboiler. Flash separator diperlengkapi
dengan level kontrol dan motor valve untuk mengalirkan glycol masuk ke coil
heat exchange still. Glycol dipanaskan dan dialirkan ke stripping still. Di dalam
stripping still, uap air dan glycol dipisahkan. Uap air dialirkan ke outlet bagian
atas dan glycol yang sudah bersih dikembalikan ke tray contactor melalui glycol
pump.
Keuntungan dari glycol dehydrator ini terutama adalah investasi awal
murah, kehilangan tekanan gas dalam contactor (absorpber) kecil, dan dapat
dioperasikan secara kontinyu.
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Gambar 3
Instalasi Glycol Dehydrator
(Rubiandini, Rudi,Dr.Ir.;
“Downhole and Surface Production Equipment”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 4
Triethylene Glycol (TEG) Dehydration Unit
(Petroleum Extension Service, “Field Handling of Natural Gas”)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Fasilitas Penampungan Gas
Fasilitas penampungan/penyimpanan diperlukan karena kebutuhan akan gas
tidaklah konstan, sehingga gas alam kadang-kadang perlu disimpan pada suatu
unit penampungan gas. Untuk komoditi export dan kebutuhan-kebutuhan dimana
lokasinya jauh dari lapangan tersebut, maka gas ditransportasikan dalam bentuk
cair, sehingga memerlukan fasilitas LNG Plant serta unit penampungan LPG dan
LNG. Atas dasar tersebut, fasilitas penampungan pada lapangan gas, dapat
dikelompokkan menjadi fasilitas penampungan gas alam dan fasilitas
penampungan LNG.

I. Fasilitas Penampungan Gas Alam


Fasilitas penampungan gas alam yang terletak di permukaan umumnya
dibedakan atas :
- Penampungan gas alam pada suatu pipa alir,
- Penyimpanan gas alam pada kondisi tekanan tinggi di dalam tangki baja (gas
holder), dan
- Penampungan gas alam dengan melarutkannya dalam propane.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Pada penampungan gas di dalam tangki penampungan, secara
garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
1. Penampungan pada horizontal dan vertical cylindrical, atau
spherical gas holder dengan volume konstan dan variable tekanan.
2. Gas holders kering atau basah dengan volume yang bervariasi
dan kondisi tekanan konstan, dan
3. Tubular gas holder dengan kondisi tekanan tinggi.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 1
Constant Volume Gas Holders (a. Vertical; b. Spherical; c. Horizontal)
(I, Muravyov, Andriasov.;“Development and Exploitation of Oil and Gas Fields”)
Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Gambar 2
Variable Volume Gas Holders
(I, Muravyov, Andriasov.;“Development and Exploitation of Oil and Gas Fields”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


II. Fasilitas Penampungan LNG
Untuk suatu proyek LNG Plant, biaya yang paling besar adalah pada
fasilitas tangki penampung. Beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan
dalam membuat rancang bangun dan konsrtuksi dari fasilitas tangki LNG
berupa faktor keamanan (safety), modal yang ditanam, biaya perawatan,
dan pemindahan panas (heat transfer) dari LNG tersebut. Model-model
fasilitas penampungan LNG yang terletak di permukaan adalah sebagai
berikut :
1. Prestressed Concrete Tank
Adalah tangki yang umumnya digunakan untuk menyimpan liquid
dan telah berhasil digunakan untuk menyimpan LNG.
Prestressed concrete tank digunakan untuk menyimpan LNG dalam
jumlah yang sangat besar, terletak di atas atau di bawah tanah (type soil),
dan diisolasi sesuai dengan boil of rate. Prestressed concrete lebih
digunakan secara luas dalam industri LNG.

2. Double Wall Metal Tank


Tangki ini biasanya dasarnya datar (flat bottomed), silinder
(cylindrical), dan atasnya tertutup (doom rofed), dimana dindingnya
ganda (carbon steel) dan nikel steel, atau aluminium. Isolasi di antara dua
dinding tersebut biasanya diisi dengan perlit.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 3
Prestressed Concrete Tank
(I, Muravyov, Andriasov.;“Development and Exploitation of Oil and Gas Fields”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Gambar 4
Double Wall Metal Tank
(I, Muravyov, Andriasov.;“Development and Exploitation of Oil and Gas Fields”)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Penampungan di Bawah Permukaan Tanah
Penampungan di bawah permukaan tanah umumnya dilakukan apabila
kondisi topografi lapangan gas tersebut tidak memungkinkan untuk dibuat tempat
penampungan di atas permukaan tanah. Dalam pembuatannya, penampungan gas
jenis ini memerlukan biaya yang mahal dibandingkan dengan jenis penampungan
di atas permukaan. Biasanya penampung tipe ini untuk menyimpan fluida dengan
waktu penyimpanan yang lama. Fasilitas di bawah permukaan dapat dibedakan
berdasarkan tempat penampungannya menjadi 2, yaitu : mined carvens dan frozen
holes.

I. Mined Carvens
Mined carvens (lubang penambangan) yang berbentuk vertical biasanya
terdapat dalam limestone, granit, chalk, shale, dan dolomite. Tipe ini telah berhasil
dipakai untuk menyimpan LNG beberapa tahun ini. Dari kajian secara teoritis,
laboratorium, dan rancang bangun, menunjukkan bahwa mined carvens ini layak
digunakan sebagai tempat penyimpanan LNG. Biaya penggalian sangat
diutamakan untuk carvens storage tentang pemilihan sifat fisik batuannya.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Dalam tipe ini, shaft vertical sesuai dengan kedalaman. Lubang
dengan permukaan dihubungkan dengan pipa. Bagian dalam dari pipa
dipakai untuk mengalirkan LNG , sedangkan anulusnya dipakai untuk
melengkapi peralatan keluar dan masuknya gas dari lubang untuk
mempertahankan kesetimbangan tekanan lubang. Shaft vertical dipakai
untuk membuat lubang yang diisi oleh air, selanjutnya lubang
dipertahankan pada tekanan ekivalen sampai hidrostatik water head
sekaligus menyeimbangkan tekanan separasi lubang dari shaft vertical.
Mined carvens merupakan metode yang penting untuk dikembangkan,
tetapi saat ini masih dianggap kurang komersil, karena beberapa
kerugiannya, missal :
 Biaya operasi sangt tinggi jika disbanding metode lain.
 Panas yang diperoleh dari tangki LNG besar.
 Karena pengaruh kondisi geologi pada beberapa tempat, tidak
memungkinkan untuk membangun storage LNG jenis ini.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


II. Frozen Holes
Frozen holes merupakan suatu metode penampungan
dengan cara membuat lubang di dalam tanah yang
mengandung saturasi air, dengan mula-mula
mensirkulasikan refrigerant di sekitar tanah.
Penggunaan frozen earth cavities dapat dipertimbangkan
secara modifikasi dengan konsep mined carvens. Mulanya
ring atau sejumlah ring yang terkonsentrik pada pipa vertikal
ditempatkan di dalam tanah. Kemudian refrigerant dialirkan
hingga sampai pipa, setelah tanah dimampatkan, penutup
(roof) melengkapi instalasi, lalu selanjutnya pelubangan di
lanjutkan. Kestabilan dinding selama penggalian harus
dijaga dan juga mencegah penyusupan air ke dalam lubang.

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta


Modul 9
Optimasi & Pengembangan
Lapangan Gas

(w/ Simulasi Produksi)

Agus Widiyarso – Wibowo Jurusan Teknik Perminyakan-FTM UPN “Veteran” Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai