Anda di halaman 1dari 161

DESAIN FORMULASI LUMPUR KCl POLYMER POLYAMINE PADA

KONDISI TRAYEK 17,5” DENGAN TEMPERATURE 200 °F


MENGGUNAKAN KONTAMINASI 35 PPB BENTONITE NON
TREATMENT

SKRIPSI

Disusun Oleh:
GILANG UTHABRIYAN NUGROHO
113140118/TM

JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2021

i
DESAIN FORMULASI LUMPUR KCl POLYMER POLYAMINE PADA
KONDISI TRAYEK 17,5” DENGAN TEMPERATURE 200 °F
MENGGUNAKAN KONTAMINASI 35 PPB BENTONITE NON
TREATMENT

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi syarat penulisan Skripsi


untuk meraih gelar Sarjana pada Jurusan Teknik Perminyakan
Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta

Disusun Oleh:
GILANG UTHABRIYAN NUGROHO
113140118/TM

Disetujui untuk
Jurusan Teknik Perminyakan
Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta,
Oleh Dosen Pembimbing:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Boni Swadesi, S.T., M.T. Dr. Suranto, S.T., M.T.

ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa judul dan


keseluruhan isi Skripsi yang berjudul “DESAIN FORMULASI LUMPUR KCl
POLYMER POLYAMINE PADA KONDISI TRAYEK 17,5” DENGAN
TEMPERATURE 200 °F MENGGUNAKAN KONTAMINASI 35 PPB
BENTONITE NON TREATMENT” ini adalah asli karya ilmiah saya, dan saya
menyatakan bahwa dalam rangka penyusunan, saya berkonsultasi dengan dosen
pembimbing hingga dalam penyelesaian Skripsi ini tidak pernah melakukan
penjiplakan (plagiasi) terhadap karya orang atau pihak lain, baik karya lisan
maupun tulisan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Saya menyatakan bahwa apabila di kemudian hari terbukti bahwa Skripsi
saya ini mengandung unsur penjiplakan (plagiasi) dari pihak lain, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya, diluar tanggung jawab Dosen
Pembimbing saya. Oleh karena itu, saya sanggup bertanggung jawab secara
hukum dan bersedia dibatalkan atau dicabut gelar kesarjanaan saya oleh Otoritas
atau Rektorat Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Yogyakarta, Agustus 2021
Yang menyatakan,

Gilang Uthabriyan Nugroho


NIM. 113140118
Nomor Telp/Hp : +6281229780452
Alamat Email : gilanguthabriyan@gmail.com
Nama/Alamat Orang Tua : Sudiyono/Perum Korem 072/PMK Blok E
No.17 RT 13/RW 21 Nogotirto, Gamping,
Sleman, Yogyakarta

iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Pertama saya mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani serta kecerdasan akal dan kalbu sampai
saya bisa mendapat gelar sarjana dengan rasa bangga.
Skripsi ini saya persembahkan kepada ayah mama saya tercinta, terimakasih
atas segala doa dan dukungannya selama ini, terimakasih juga saya sampaikan
kepada kedua saudara saya, dan semua pihak yang telah mendukung dan
mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian dosen
pembimbing skripsi I dan II, dosen-dosen serta staff jurusan Teknik Perminyakan
UPN Veteran Yogyakarta, HMTM UPNVY, pembimbing lapangan, kelompok
belajar, sahabat-sahabat saya, kakak serta adik tingkat saya, dan tidak lupa teman-
teman satu angkatan satu seperjuangan “PIONEER” yang sama-sama berjuang
untuk mengejar gelar sarjana teknik perminyakan.
Terimakasih atas waktu, tenaga, ketulusan hati, kebaikan dan doa-doa mereka
kepada saya untuk terus mencari pengalaman hidup dan jati diri dalam batin saya
demi kesuksesan nanti. Semoga kita bisa sukses dengan jalan kita masing-masing.
Amin yaRabb.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul
“DESAIN FORMULASI LUMPUR KCl POLYMER POLYAMINE PADA
KONDISI TRAYEK 17,5” DENGAN TEMPERATURE 200 °F
MENGGUNAKAN KONTAMINASI 35 PPB BENTONITE NON
TREATMENT”. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Mohammad Irhas Effendi, M.S., selaku Rektor UPN “Veteran”
Yogyakarta.
2. Dr. Ir. Sutarto, M.T., selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral UPN
“Veteran” Yogyakarta.
3. Dr. Boni Swadesi, S.T., M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik
Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta dan Dosen Pembimbing
Pertama Skripsi.
4. Hariyadi, S.T,. M.T., selaku Koordinator Program Studi S1 Teknik
Perminyakan UPN ”Veteran” Yogyakarta.
5. M.TH. Kristiati EA, S.T,. M.T., selaku Sekertaris Jurusan Teknik
Perminyakan UPN ”Veteran” Yogyakarta.
6. Dr. Suranto, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing II Skripsi.
7. Rekan-rekan mahasiswa Perminyakan PIONEER 2014.
Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan,
untuk itu penulis sangat berharap agar para pembaca dapat menyampaikan kritik
dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga Skripsi
ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi maupun bagi pembaca sekalian.
Yogyakarta, Agustus 2021

Gilang Uthabriyan Nugroho

v
RINGKASAN

Dalam perencanaan lumpur pemboran perlu memperhatikan kondisi


formasi, karakteristik batuan yang ditembus, dan mempertimbangkan segala aspek
keekonomian. Maka dari itu perlu mendesain lumpur yang sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditentukan agar tidak menyebabkan problem yang tidak di
inginkan. Salah satu problem yang sering dijumpai adalah penembusan batuan
shale, menyebabkan problem swelling dan sloughing dikarenakan mineral clay
yang sangat reaktif terhadap air.
Penelitian ini dilakukan untuk mendesain lumpur dalam upaya
menghindari problem shale pada Formasi Cisubuh di Jawa Barat bagian Utara
yang suatu saat dapat terjadi dalam operasi pemboran. Berdasarkan standar API
13A, Bentonite NT digunakan sebagai kontaminan native clay yang terdiri dari
mineral smectite dengan montmorilonite dan illite. Setelah mengetahui
penggunaan kontaminan Bentonite NT sebesar 35 ppb, dapat dikondisikan lumpur
yang didesain akan diaplikasikan pada trayek 17,5” dalam temperature 200 ºF
sesuai dengan target sifat fisik mud properties PT. Pertamina EP.
Dilakukannya pengujian pada tiap formulasi lumpur KCl Polymer
Polyamine ini bertujuan menemukan formulasi lumpur yang sesuai dengan
spesifikasi mud properties sebelum terkontaminasi dan setelah terkontaminasi
Bentonite NT sesuai ketentuan PT. Pertamina EP. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, hasil analisa sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine sebelum
terkontaminasi Bentonite NT ternyata belum sesuai, didapatkan nilai LSYP
sebesar 6 Lb/100 ft2 dari range 7-11 Lb/100 ft2 dan nilai Fluid Loss sebesar 5,8
cc/30 min dari range ≤ 5 cc/30 min yang tidak sesuai dengan spesifikasi. Hasil
mud properties sample 1 setelah terkontaminasi Bentonite NT didapatkan nilai
LSYP sebesar 7 Lb/100 ft2 dari range 8-12 Lb/100 ft2, nilai PV sebesar 28 cP
berada lebih besar dari yang ditentukan yaitu ALAP, ≤ 25 /, dan nilai Fluid Loss
sebesar 6,6 cc/30 min dengan range ≤ 6 cc/30 min. Karena hasil mud properties
sample lumpur 1 tidak sesuai spesifikasi perlu dilakukan redesain, yang
menghasilkan formulasi lumpur 2 dalam upaya memperbaiki nilai LSYP, PV, dan
Fluid Loss perlu menambahkan material PAC LV sebesar 0,3 gr/350 ml dari 0,2
gr/350 ml dan XCD Polymer sebesar 1,33 gr/350 ml dari 1 gr/350 ml. Selanjutnya
pengujian sebelum terkontaminasi Bentonite NT didapatkan nilai Fluid Loss
sebesar 5,3 cc/30 min yang tidak sesuai dari spesifikasi, yaitu ≤ 5 cc/30 min.
Kemudian untuk hasil redesain lumpur 2 setelah terkontaminasi Bentonite NT
didapatkan nilai Fluid Loss sebesar 6,1 cc/30 min yang belum sesuai spesifikasi,
yaitu ≤ 6 cc/30 min. Dikarenakan mud properties Fluid Loss lumpur 2 belum
sesuai spesifikasi, dilakukan redesain yang menghasilkan formulasi lumpur 3
dalam upaya memperbaiki nilai Fluid Loss dengan menambahkan material PAC-
LV sebesar 0,4 gr/350 ml dari 0,3 gr/350 ml. Setelah dilakukan pengujian pada
lumpur 3, nilai mud properties lumpur 3 telah sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditentukan.

vi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................. v
RINGKASAN .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3. Maksud dan Tujuan .................................................................. 2
1.4. Metodologi ............................................................................... 3
1.5. Flowchart ................................................................................. 5
BAB II. TEORI DASAR ....................................................................... 6
2.1. Lumpur Pemboran ............................................................................. 6
2.1.1. Fungsi Lumpur Pemboran ........................................................ 6
2.1.1.1. Mengontrol Tekanan Formasi ................................... 8
2.1.1.2. Mengangkat Cutting ke Permukaan dan Material
Pemberat pada Suspensi jika Sirkulasi Lumpur
Diberhentikan Sementara ............................................ 9
2.1.1.3. Memberi Dinding Pada Lubang Bor dengan Mud
Cake ............................................................................ 11
2.1.1.4. Melepaskan Cutting dari Lumpur di Permukaan ........ 12
2.1.1.5. Menahan Sebagain Berat Drillpipe dan Casing ......... 12
2.1.1.6. Mendapatkan Informasi dari Media Logging ............. 12

vii
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
2.2. Komponen Lumpur Pemboran ........................................................... 13
2.2.1. Fasa Cair .................................................................................. 13
2.2.1.1. Air ................................................................................ 13
2.2.1.2. Emulsi .......................................................................... 13
2.2.1.3. Minyak ......................................................................... 14
2.2.2. Fasa Solid ................................................................................. 14
2.2.2.1. Inert Solid ................................................................... 15
2.2.2.2. Reactive Solid (Koloidal) ............................................ 15
2.2.3. Fasa Kimia (Additive) ............................................................. 16
2.2.3.1. Material Pemberat ....................................................... 16
2.2.3.2. Pengental (Viscosifier) ................................................ 18
2.2.3.3. Pengencer .................................................................... 19
2.2.3.4. Filtrate Loss Control Agent (FLCA) ........................... 21
2.2.3.5. Lost Circulation Material (LCM) .............................. 22
2.2.3.6. Emulsifier ................................................................... 25
2.2.3.7. Additive Khusus .......................................................... 25
2.3. Sifat-Sifat Lumpur Pemboran ............................................................ 28
2.3.1. Sifat Fisik Lumpur Pemboran .................................................. 28
2.3.1.1. Densitas ....................................................................... 29
2.3.1.2. Rheology (Flow Properties) ......................................... 30
2.3.1.3. Filtration Loss ............................................................. 36
2.3.2. Sifat Kimia Lumpur Pemboran ................................................ 38
2.3.2.1. Padatan ........................................................................ 38
2.3.2.2. pH ................................................................................ 39
2.3.2.3. Kesadahan .................................................................... 39
2.3.2.4. Alkalinitas .................................................................... 39

viii
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
2.3.2.5. Salinitas ....................................................................... 40
2.3.2.6. Methylene Blue Test .................................................... 40
2.4. Jenis-Jenis Lumpur Pemboran ........................................................... 42
2.4.1. Water Based Mud .................................................................... 43
2.4.1.1. Fresh Water Mud ......................................................... 43
2.4.1.2. Salt Water Mud ............................................................ 46
2.4.1.3. KCl Polymer Polyamine Mud ...................................... 47
2.4.2. Emultion Based Mud ................................................................ 51
2.4.3. Oil Based Mud .......................................................................... 53
2.4.4. Gaseous Drilling Fluid ............................................................. 53
2.5. Batuan Shale dan Mineral Clay ......................................................... 54
2.5.1. Komposisi Kimia Batuan Shale ................................................ 55
2.5.2. Tekstur Batuan Shale ................................................................ 55
2.5.3. Jenis-Jenis Shale ....................................................................... 56
2.5.4. Mineral Clay ............................................................................. 58
2.5.4.1. Karakteristik Mineral Clay .......................................... 58
2.5.4.2. Struktur Mineral Clay .................................................. 58
2.5.4.3. Klasifikasi Mineral Clay .............................................. 59
2.5.4.4. Distribusi Mineral Clay dalam Batuan Shale .............. 61
2.5.4.5. Sifat Hidrasi Mineral Clay ........................................... 62
2.5.4.6. Tingkatan Penggatian Ion Mineral Clay ....................... 64
BAB III. PROSEDUR DAN HASIL PENELITIAN ........................... 65
3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan ........................................................ 65
3.1.1. Alat ........................................................................................... 66
3.1.2. Additive dan Bahan yang Digunakan ....................................... 71
3.2. Spesifikasi Sifat Fisik Mud Properties .............................................. 73

ix
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
3.3. Pengujian dan Perhitungan Lumpur KCl Polymer Polyamine .......... 74
3.3.1. Pengujian Lumpur .................................................................... 74
3.3.2. Perhitungan .............................................................................. 78
3.4. Hasil Penelitian .................................................................................. 80
3.4.1. Hasil Pengujian Sample Lumpur KCl Polymer Polyamine
Sebelum Terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT ....................... 81
3.4.2. Hasil Pengujian Sample Lumpur KCl Polymer Polyamine
.. Setelah Terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT .......................... 83
BAB IV. PEMBAHASAN ...................................................................... 86
BAB V. KESIMPULAN ....................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 91
DAFTAR SIMBOL .............................................................................. 92
LAMPIRAN .............................................................................. 93

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman
BAB I
Gambar 1.1. Flowchart Pengerjaan .......................................................... 5
BAB II
Gambar 2.1. Circulating System ............................................................. 7
Gambar 2.2. Grafik Shear Stress vs Shear Rate Fluida Newtonian dan
Bingham .............................................................................. 31
Gambar 2.3. Marsh Funnel ...................................................................... 34
Gambar 2.4. Rheometer 6 Speed .............................................................. 34
Gambar 2.5. Rangkaian Peralatan Pengukuran Filtration Loss ............... 36
Gambar 2.6. Ion Exchange-Limit Hydration ........................................... 49
Gambar 2.7. Pembuatan PHPA dari Monomer ........................................ 50
Gambar 2.8. Diagram Struktur Mineral Kaolinite ................................... 59
Gambar 2.9. Diagram Struktur Mineral Smectite atau Montmorillonite.. 60
Gambar 2.10. Diagram Struktur Mineral Illite........................................... 61
BAB III
Gambar 3.1. Gelas Ukur .......................................................................... 66
Gambar 3.2. Gelas Beaker ....................................................................... 66
Gambar 3.3. Timbangan Digital .............................................................. 67
Gambar 3.4. Mud Mixer dan Cup ............................................................ 67
Gambar 3.5. Hot Roll ............................................................................... 68
Gambar 3.6. Mud Balance ....................................................................... 68
Gambar 3.7. Rheometer 6 Speed (VG meter) ........................................... 69
Gambar 3.8. pH Meter ............................................................................. 69
Gambar 3.9. Erlemeyer dan Hot Plate ..................................................... 70
Gambar 3.11. Filter Press .......................................................................... 70

xi
DAFTAR TABEL

Halaman
BAB II
Table II-1. Material-Material Pemberat ................................................ 17
Table II-2. Fibrous Lost Circulation Materials .................................... 23
Table II-3. Flake Lost Circulation Materials ........................................ 24
Table II-4. Klasifikasi Shale Berdasarkan Problem .............................. 41
BAB III
Table III-1. Target Spesifikasi Mud Properties KCl Polymer Polyamine .. 73
Table III-2. Formulasi Material dan Volume Lumpur KCl Polymer
Polyamine................................................................................ 80
Table III-3. Hasil Penelitian KCl Polymer Polyamine Sebelum
Terkontaminasi .................................................................... 81
Table III-4. Hasil Penelitian KCl Polymer Polyamine Setelah
Terkontaminasi .................................................................... 83

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lumpur pemboran merupakan komponen yang sangat penting dalam
operasi pemboran. Perencanaan lumpur pemboran yang tepat dan sesuai sangat
diperlukan agar tercapainya keberhasilan operasi pemboran, sesuai dengan target
yang telah ditentukan dengan mempertimbangkan segala aspek terutama
keekonomian.
Fungsi lumpur pemboran sangat bergantung pada sifat fisik dan sifat kimia
lumpur yang dirancang. Pengontrolan sifat fisik lumpur seperti densitas, plastic
viscosity, gel strength, yield point, dan filtrate loss perlu diperhatikan supaya
fungsi lumpur pemboran sesuai dengan apa yang diharapkan. Sifat kimia lumpur
pada umumnya berkaitan erat dengan sifat fisik lumpur, salah satu tantangan
dalam dunia teknik perminyakan adalah bagaimana menentukan komposisi
lumpur pemboran yang murah, ramah lingkungan, dan dapat berfungsi dengan
baik sesuai dengan karakteristik formasi yang ditembus.
Dalam melakukan pemboran suatu sumur, problem pemboran sangat
mungkin untuk terjadi. Salah satunya dapat disebabkan oleh faktor dari formasi
adalah jenis litologi. Jenis litologi yang sering menyebabkan problem pemboran
adalah lapisan batuan shale. Potensi problem swelling shale ini diduga dari
Formasi Cisubuh yang terjadi pada sumur existing pada trayek 17.5” saat
pemboran (Wardani, R. 2017; Hanifiah, A. 2019). Lapisan batuan shale
cenderung bersifat swelling jika terjadi kontak dengan lumpur pemboran. Maka
dari itu perlu dilakukan perencanaan mud properties dalam penggunaan lumpur
bor (drilling fluid) yang tepat guna untuk mencapai suatu keberhasilan dalam
operasi pemboran. Maka dari itu dirancang jenis lumpur KCl Polymer Polyamine
untuk memperbaiki performa lumpur ketika menembus formasi batuan shale yang
mengandung clay reaktif. Dimana dipilihnya Bentonite Non Treatment sebagai

1
2

kontaminan dikarenakan pada API 13A-10.1.1 komposisi mineral yang


mendominasi adalah mineral smectite yang mengandung montmorilonite dan
illite. Lalu diketahui juga nilai specific gravity sebesar 1,30 ± 0,01 yang
diharaphan pada mud properties, sehingga dapat diketahui penggunaan Bentonite
Non Treatment sebesar 35 ppb ini akan digunakan pada trayek 17,5” dan suhu
200ºF.
Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine ini mempunyai kemampuan
mencegah laju pengembangan clay. KCl memiliki sifat inhibitif dapat
menstabilkan mineral clay, ion-ion K+ akan menggantikan kedudukan ion Na+
yang menjadikan ion K+ akan terikat jauh lebih kuat dibandingkan ion Na+, Cl-
pada KCl menyeimbangkan kegaraman formasi, Polymer difungsikan untuk
membungkus cutting pada saat pembersihan lubang dan stabilisasi shale, dan
Polyamine mengandung ion NH4+ yang bertujuan untuk menggantikan kedudukan
ion Na+ pada shale, berguna sebagai shale inhibitor yang larut dalam air.
Lumpur KCl Polymer Polyamine diharapkan dapat mengoptimalkan
sistem kerja lumpur dalam mencegah terjadinya problem shale saat penembusan
formasi yang mengandung batuan shale dan mineral clay, sehingga tidak terjadi
hole problem yang dapat menghambat drilling operation dan diharapkan dapat
mempersingkat drilling time untuk menghemat biaya drilling dalam penyewaan
rig yang mahal dan ramah lingkungan. (Witthayapanyanon et al., 2013)
Penulis akan redesain sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine dari PT.
Elnusa Tbk. lalu diuji hingga nilai properties lumpur yang diredesain masuk
dalam range mud properties yang telah ditentukan, dengan teperature 200 oF
yang dikondisikan pada keadaan trayek 17,5” menggunakan kontaminan 35 ppb
Bentonite Non Treatment sebagai kontaminan native clay yang terdiri dari
mineral smectite yang dikeringkan dan digerus, tetapi tidak ditreatment secara
kimia berdasarkan standar API 13-A 10.1.1. Bentonite Non Treatment
mengandung mineral pendukung (sisipan) seperti kuarsa, mika, feldspar, dan
kalsit. Kemudian diakhiri dengan pemilihan satu jenis sample lumpur yang telah
diuji, sehingga mendapatkan nilai mud properties yang sesuai dengan spesifikasi
3

sifat fisik mud properties yang telah ditentukan oleh PT. Pertamina EP untuk
sumur penembusan Formasi Cisubuh di Jawa Barat bagian Utara.
1.2. Rumusan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu dengan menguji lumpur dan
menganalisa :
 Bagaimana kinerja dari lumpur KCl Polymer Polyamine dalam
pengaplikasian lapangan pada cekungan Jawa Barat bagian Utara dalam
penembusan batuan shale?
 Bagaimana pengaruh kontaminasi 35 ppb Bentonite NT pada lumpur KCl
Polymer Polyamine dalam upaya mendapatkan nilai mud properties
lumpur yang sesuai dengan sifat fisik mud properties yang telah ditentukan
PT. Pertamina EP Jawa Barat?
 Bagaimana efek negatif pada pengaplikasian lapangan jika nilai properties
lumpur tidak sesuai dengan spresifikasi sifat fisik yang telah ditentukan?
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini yaitu meredesain formulasi sample 1 lumpur
KCl Polymer Polyamine milik PT Elnusa Tbk. untuk menemukan formulasi yang
tepat sehingga mendapatkan sifat fisik dan sifat kimia (mud properties) sesuai
dengan spesifikasi mud properties yang telah ditentukan PT. Pertamina EP pada
sumur Formasi Cisubuh dengan temperature 200 oF menggunakan kontaminan 35
ppb Bentonite NT.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menemukan desain formulasi lumpur
KCl Polymer Polyamine yang tepat untuk mencegah adanya pengaruh negatif dari
kontaminan 35 ppb Bentonite NT sebagai native clay yang mengandung smectite
yaitu montmorilonite dan illite.
1.4. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah uji
laboratorium dengan langkah-langkah sebagai berikut:
 Studi literatur
 Persiapan pengujian yang akan dilakukan :
4

a. Siapkan sample 1 lumpur KCL Polymer Polyamine sebelum


terkontaminan dan juga lakukan pada lumpur yang sudah
terkontaminan 35 ppb Bentonite NT
b. Masukan sample 1 lumpur yang sudah didesain kedalam aging shell
selama 16 jam dengan temperature 200 oF kemudian press sampai
100 psi yang diasosiasikan dengan over balance pressured agar
lumpur tidak kering karena terbungkus oleh pressure dan
mengkondisikan dalam keadaan trayek 17,5” untuk Formasi
Cisubuh yang mengandung smectite sebagai mineral monmorilonite
dan illite
c. Setelah 16 jam, matikan temperature kemudian buka rolling oven
dengan kondisi rolling tetap menyala diamkan selama 30 menit
d. Diangkat dan dinginkan di waterbath selama 30 menit
e. Lakukan mixing ulang lumpur di mixer selama 5-10 menit
f. Kemudian lakukan pengujian MW, LSYP, PV, YP, gel strength,
filtrat loss, pH, Cl-, K+, polyamine, dan MBT pada sample lumpur 1
g. Melkakukan analisa perhitungan dan pengamatan pada pengujian
mud properties lumpur sebelum dan setelah terkontaminasi
 Jika hasil nilai mud properties belum sesuai dengan spesifikasi, maka
perlu melakukan redesain pada formulasi sample 1 lumpur KCl
Polymer Polyamine lalu diuji kembali hingga formulasi lumpur
meghasilkan mud properties sebelum dan setelah terkontaminasi 35 ppb
Bentonite NT sesuai dengan spesifikasi sifat fisik.
5

1.5. Flowchart

Gambar 1.1
Flowchart Pengerjaan
BAB II
TEORI DASAR

Perencanaan lumpur pemboran yang tidak sesuai dengan kondisi formasi


yang ditembus akan menyebabkan penggunaan lumpur menjadi tidak optimal
ataupun menyebabkan problem yang tidak diharapkan, bahkan dapat
mengakibatkan kegagalan dalam suatu operasi pemboran yang dapat menelan
biaya sangat besar, dan kemungkinan resiko bahaya yang mengancam
keselamatan dan keamanan operasi pemboran.
2.1. Lumpur Pemboran
Lumpur pemboran merupakan cairan yang berbentuk lumpur, dibuat dari
campuran zat cair, zat padat, dan zat kimia. Zat cair ini sebagai bahan dasar agar
lumpur yang terjadi dapat dipompakan. Zat padat ada dua macam, yaitu untuk
memberikan kenaikan berat jenis dan untuk membuat lumpur mempunyai
kekentalan tertentu. Sedangkan zat kimia dapat berupa zat padat maupun zat cair
yang bertugas untuk mengontrol sifat-sifat lumpur agar sesuai dengan yang
diinginkan. Sifat-sifat lumpur harus disesuaikan dengan kondisi lapisan yang
ditembus.
2.1.1. Fungsi Lumpur Pemboran
Pada mulanya, fungsi utama dari lumpur pemboran adalah untuk
mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu. Dengan berkembangnya jaman,
banyak fungsi-fungsi tambahan yang menjadikan lumpur pemboran yang semula
hanya merupakan fluida yang sederhana menjadi campuran yang kompleks antara
fluida, padatan, dan bahan kimia.
Dengan adanya perkembangan dalam penggunaan lumpur hingga saat ini,
fungsi dari lumpur pemboran sesuai dengan sistem sirkulasi pada (Gambar 2.1):

6
7

Gambar 2.1.
Circulating System
(Rudi Rubiandini “Teknik Pemboran I”,2009)
Pada pensirkulaisan lumpur pemboran ini aliran dari fluida pemboran
melewati:
1. Dari steel tanks menuju mud pump
2. Dari mud pump lalu high-pressure surface connection dan ke drillstring
3. Dari drillstring ke bit
4. Dari nozzle bit ke annulus lubang dengan drillstring sampai ke permukaan
5. Masuk ke contaminant-removal equipment dan kembali ke suction tank
Peralatan utama dari circulating system adalah:
● Mud pumps berfungsi untuk memompa fluida pemboran dengan tekanan
tinggi. Ada dua macam mud pump yaitu duplex dan triplex. Perbedaan
utamanya adalah dalam jumlah torak dan cara kerjanya
● Mud pits yaitu suatu kolam tempat lumpur sebelum disirkulasikan. Sistem
pit dan susunan dari peralatan yang menangani lumpur di atas pit
dirancang atas pertimbangan drilling engineer. Biasanya rig mempunyai
8

dua atau tiga pit dengan ukuran lebar 8-12 ft, panjang 20-40 ft, dan tinggi
6-12 ft. Volumenya berkisar antara 200-600 bbl. Pada operasi-operasi di
offshore dapat ditambahkan 1-3 pit untuk penyimpanan kelebihan lumpur
dan untuk lumpur yang mempunyai densitas tinggi. Salah satu bentuk
susunan dari pit tanpa variasi dari macam-macam peralatan pengontrol
solid.
● Mud mixing equipment yaitu suatu peralatan yang berfungsi untuk
mencampurkan bahan-bahan atau material pada lumpur dengan
menggunakan mixing hopper. Mixing hopper yaitu peralatan berbentuk
corong yang dipakai untuk menambahkan bahan-bahan padat ke dalam
fluida pemboran pada saat treatment di dalam mud pit.
● Contaminant removal suatu perlatan yang berfungsi untuk membersihkan
fluida pemboran yang keluar dari lubang sumur setelah disirkulasikan,
terdiri dari:
1. Mud gas Separator berfungsi untuk memisahkan gas-gas dari fluida
pemboran.
2. Shale shaker berfungsi untuk memisahkan cutting berukuran besar
dari fluida pemboran.
3. Degasser berfungsi untuk memisahkan gas-gas dari fluida pemboran
secara terus menerus.
4. Desander berfungsi untuk memisahkan pasir dari fluida pemboran.
5. Desilter yaitu berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel yang
ukurannya lebih kecil dari pasir.
2.1.1.1. Mengontrol Tekanan Formasi
Pada formasi yang permeable, fluida yang berada disekitarnya akan
mendapat tekanan sebagai fungsi kedalaman sumur. Sehingga diperlukan lumpur
pemboran dengan densitas yang memadai untuk mengatasi tekanan formasi dan
juga untuk menahan influks fluida agar tidak menghambur ke dalam lubang
sumur. Disini lumpur harus mampu memberikan suatu tekanan hidrostatik yang
cukup untuk mengimbangi tekanan formasi. Kondisi pemboran overbalanced
dilakukan apabila tekanan yang terjadi disebabkan oleh takanan kolom lumpur
9

melebihi tekanan formasinya. Sedangkan pemboran underbalanced biasanya


dilakukan untuk mendiskripsikan tekanan yang terjadi disebabkan oleh tekanan
kolom lumpur terlalu kecil untuk menahan tekanan formasinya.
Tekanan formasi umumnya adalah sekitar 0.465 psi/ft kedalaman. Pada
tekanan yang normal, air dan padatan pemboran telah cukup untuk Manahan
tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil dari normal (subnormal),
beberapa sumur dibor menggunakan lumpur dengan densitas sekitar 9.5 ppg,
densitas lumpur diperkecil agar lumpur tidak hilang masuk ke formasi. Sebaliknya
untuk tekanan lebih besar dari normal (abnormal), sumur biasanya dibor
menggunakan lumpur dengan densitas sekitar 18 ppg dengan menambahkan
barite untuk memperberat lumpur. Suatu situasi memerlukan lumpur berdensitas
besar untuk kedalaman dangkal dengan tekanan formasi yang tinggi dan
mengandung gas, dan kemungkinan terjadi kebocoran casing sehingga
menyebabkan tekanan diatas normal. Lumpur dengan densitas yang memadai
diharapkan mampu menahan tekanan formasi selama proses pemboran untu
mencegah terjadinya blowout. Untuk itu perlu diperhitungakn keperluan tekanan
kolom lumpur agar bisa mengimbangi tekanan formasi, yaitu dengan memakai
persamaan:
Ph  0.052 m D ................................................................................ (2-1)
Keterangan:
Ph = tekanan hidrostatik lumpur, psi.
ρm = densitas lumpur, ppg.
D = kedalaman, ft.
Perlu diketahui, bahwa tekanan pada formasi yang diakibatkan oleh fluida
pada saat mengalir (rumus diatas untuk keadaan static) adalah tekanan yang
dihitung dengan rumus diatas ditambah dengan pressure loss (kehilangan
tekanan) pada annulus diatas formasi yang bersangkutan.
2.1.1.2. Mengangkat Cutting Kepermukaan dan Material Pemberat Suspensi
jika Sirkulasi Lumpur Diberhentikan Sementara
Lumpur yang mengalir keluar dari nozzle bit yang ditekan oleh tenaga jet
akan memebersihkan permukaan lubang dan membawa cutting ke atas ke
10

permukaan. Meskipun gaya gravitasi cenderung menarik cutting kembali ke


bawah (slip velocity), jika kecepatan dari volume lumpur dan annular velocity
yang mendorong ke arah atas mencukupi atau lebih besar terhadap slip velocity
maka cutting akan dapat diangkat ke permukaan oleh lumpur. Slip velocity harus
lebih kecil dari rata-rata annular velocity yang merupakan fungsi dari ukuran
borehole dan kondisi pump output dari drillpipe dan drillcollar. Annular velocity
merupakan perbandingan pump output (bbl/min) dibagi annular volume (bbl).
Efisiensi pengangkat cutting yang merupakan fungsi kapasitas lumpur
dalam mengangkat ke permukaan tergantung beberapa faktor, antara lain:
1. Densitas lumpur pemboran
Penambahan densitas lumpur akan menaikkan gaya buoyance acting,
dimana setiap partikel-partikel lumpur mempunyai arah yang berlawanan
dengan gaya gravitasi. Sehingga kapasitas angkat lumpur akan terbantu
mendorong dan membawa cutting ke permukaan oleh gaya buoyance.
2. Viskositas dan gel strength
Sejumlah lumpur yang mempunyai viskositas dan gel strength rendah
akan memberikan kenaikkan persen partikel pada annular velocity dan waktu
sirkulasi yang sama, karena pada percobaan yang dilakukan oleh Bruce dan
William lumpur dengan viskositas dan gel strength rendah, yang hanya
mempunyai kapasitas pengangkatan kecil (partikel-partikelnya tidak terikat
dengan kuat dan berukuran medium), hanya mampu membawa cutting yang
relatif kecil jika dibandingkan dengan viskositas dan gel strength yang besar.
3. Distribusi velocity diannulus
Kapasitas mengangkat cutting yang besar dapat dicapai dengan aliran
turbulent daripada aliran laminar untuk lumpur yang memiliki viskositas
rendah. Hal ini disebabkan karena efek turbulensi lumpur yang cenderung
meminimalisasi cutting yang terselip di ruang dekat pipa atau dinding lubang
sumur dengan aliran bergelombangnya dan ditransportasikan ke permukaan.
4. Efek torsi terhadap kapasitas lumpur pengangkat
Rotasi drillpipe selama pemboran berpengaruh terhadap kapasitas
pengangkatan lumpur yang memiliki lairan laminar maupun turbulen. Rotasi
11

drillpipe berkaitan dengan tanaga putar aliran viskous, yang mana dapat
menjadi panghalang terhadap pengangkatan cutting. Efek torsi (tenaga putar)
akan menyebabkan partikel yang tipis untuk cenderung berputar berbalik
turun ke bawah akibat variasi velocity lumpur
5. Dimensi partikel
Desain bit menentukan ukuran dan bentuk cutting yang dihasilkan.
Besarnya fisik cutting akan sangat berpengaruh terhadap kapasitas
pangangkatan oleh lumpur. Partikel yang memiliki katebalan diameter yang
besar cenderung sulir diangkat dari wellbore, karena partikel tersebut akan
balik turun ke dasar sumur dengan berat yang relatif besar.
2.1.1.3. Memberi Dinding Pada Lubang Bor dengan Mud Cake
Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis
dipermukaan formasi yang permeable (lolos air). Pembentukan mud cake ini akan
menyebabkan tertahannya aliran fluida masuk ke formasi selanjutnya, adanya
aliran yang masuk yaitu cairan dan padatan yang akan menyebabkan padatan
tersebut tersaring atau tertinggal yang disebut sebagai mud cake. Cairan yang
masuk kedalam formasi disebut filtrat.
Jika formasi terdapat belahan (cracked dan fissured) dan bergua-gua
(cavernous) dengan tekanan overburden yang terjadi, maka menyebabkan volume
lumpur dan padatan akan terinvasi dari lubang sumur ke area sekitar formasi, ini
disebut sebagai lost circulation, dimana permeabilitas formasi terlalu besar untuk
suspensi lumpur yang masuk. Sedangkan jika permeabilitas formasi terlalu kecil
untuk suspensi padatan lumpur, hanya sebagian fluida saja yang lolos hilang
masuk disekitar dinding formasi, disebut dengan filtration loss. Sehingga dengan
mengontrol sifat-sifat lumpur, dampak negatif yang disebabkan adanya hilangnya
fluida dapat diatasi dengan membuat mud cake pada dinding lubang bor. Mud
cake dikehendaki yang tipis karena dengan demikian lubang bor tidak terlalu
dipersempit dan cairan yang tak banyak yang hilang. Sifat wall building ini dapat
diperbaiki dengan penambahan:
a. Sifat koloid drilling mud dengan bentonite
12

b. Memberi zat kimia untuk memperbaiki distribusi zat padat dalam lumpur,
misalnya, starch, CMC, dan cypan yang mana mengurangi filter loss dan
memperkuat mud cake.
2.1.1.4. Melepaskan Cutting dari Lumpur di Permukaan
Kemampuan lumpur untuk menahan cutting selama sirkulasi dihentikan
tergantung dari gel strength. Dengan cairan menjadi gel, tekanan terhadap gerakan
cutting ke bawah dapat dipertinggi. Cutting perlu ditahan agar tidak turun
kebawah, karena bila ia mengendap dibawah bisa menyebabkan akumulasi cutting
dan pipa akan terjepit. Selain itu akan memperberat rotasi permulaan dan juga
mempercepat kerja pompa ntuk memulai sirkulasi kembali. Tetapi gel yang terlalu
besar akan berakibat buruk juga, karena akan menahan pensirkulasian cutting
dipermukaan (selain pasir). Penggunaan alat-alat seperti desander atau shale saker
dapat membantu pengambilan cutting atau pasir dari lumpur permukaan. Patut
ditambahkan, bahwa pasir harus dibuang dari aliran lumpur, karena sifatnya yang
sangat abrasif pada pompa, fitting, dan bit. Untuk ini biasanya kadar pasir
maksimal yang boleh adalah 2%.
2.1.1.5. Menahan Sebagian Berat Drillpipe dan Casing
Drillstring dan casing di borehole akan mengalami gaya buoyance yang
mendorong keatas harus sebanding dengan berat yang dipindahkan oleh lumpur.
Perhitungan tersebut mendasari pertimbangan untuk mereduksi beban peralatan
dan struktur yang harus ditopang. Gaya buoyance meningkat dengan
bertambahnya densitas lumpur dan mereduksi tegangan akibat beban drillstring
dan casing pada kedalaman sumur.
2.1.1.6. Mendapatkan Informasi dari Media Logging
Kebanyakan praktek di lapangan yang modern mempercayakan elektrik
logging untuk menentukan porositas, permeabilitas, dan kandungan fluida dari
formasi yang dibor. Untuk mendapatkan log dan interpretation yang baik, akan
sangat tergantung pada sifat dan komposisi lumpur pemboran. Penggunaan
spesifik densitas lumpur seringkali diperlukan untuk pengetahuan terhadap
pengaruhnya pada log. Jika lumpur pemboran sekiranya kurang acceptable
sebagai dasar penentuan logging yang baik, maka coring dapat digunakan untuk
13

evaluasi formasi. Namun biaya coring akan menjadi sangat mahal dibandingkan
total biaya pada penggunaan mud logging untuk pemboran suatu sumur.
2.2. Komponen Lumpur Pemboran
Lumpur pemboran memiliki beberapa komponen-komponen yang terbagi
menjadi tiga fasa dasar, yaitu air, padat, dan kimia. Proporsi dari masing-masing
fasa tersebut memberikan berbagai variasi sifat-sifat lumpur. Dengan
mencampurkan ketiga komponen tersebut sesuai dengan proporsinya, maka akan
didapatkan lumpur pemboran yang sesuai dengan keadaan formasi yang akan
ditembus.
2.2.1. Fasa Cair
Fasa cair diidentifikasikan dengan air, yang merupakan fasa kontinyu dari
fresh water maupun salt water, tergantung pada tersedianya air yang akan
digunakan di lapangan. Fungsi utama dari fasa kontinyu cair adalah memberikan
inisial viskositas yang selanjutnya dapat dimodifikasi untuk mendapatkan sifat
rheology lumpur yang diinginkan. Pada kondisi standard yaitu pada 14,7 psi dan
60 °F, viskositas air sama dengan 1,1 cp. Fasa cair lumpur pemboran meliputi:
2.2.1.1.Air
Lebih dari 75% lumpur pemboran menggunakan air, disini air dapat dibagi
menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin, sedangkan air asin sendiri dapat dibagi
menjadi dua, air asin jenuh dan air asin tak jenuh. Untuk pemilihan air hal ini
tentu disesuaikan dengan lokasi setempat, manakah yang mudah didapat dan juga
disesuaikan dengan formasi yang akan ditembus.
2.2.1.2.Emulsi
Invert emulsions adalah pencampuran minyak dengan air dan mempunyai
komposisi minyak 50-70% (sebagai fasa kontinyu) dan air 30-50% (sebagai fasa
diskontinyu) emulsi terdiri dari dua macam, yaitu water in oil emulsion dan oil in
water emulsion.
● Oil in Water Emulsion.
Disini air merupakan fasa yang kontinyu dan minyak sebagai fasa
yang terelmusi. Air bisa mencapai 70% volume sedangkan minyak sekitar
30% volume.
14

● Water in Oil Emulsion.


Disini yang merupakan fasa kontinyu adalah minyak sedangkan
fasa yang terelmusi air. Minyak bisa mencapai sekitar 50-70% volume
sedangkan air 30-50% volume.
2.2.1.3.Minyak
Fasa cair ini berupa minyak, maka minyak yang digunakan merupakan
minyak yang diolah (refined oil). Minyak disini harus mempunyai sifat:
 Aniline Number yang tinggi.
Aniline number merupakan suatu angka yang menunjukkan
kemampuan untuk melarutkan karet. Makin tinggi aniline number suatu
minyak maka kemampuan melarutkan karet makin kecil. Dalam operasi
pemboran banyak peralatan yang dilewati lumpur berupa karet, seperti
pada pompa lumpur, packer, plug untuk penyemenan dan lain-lain.
 Flash Point yang tinggi.
Flash Point adalah suatu angka yang menunjukkan dimana minyak
akan menyala. Makin rendah flash point suatu minyak, maka penyalaan
akan cepat terjadi, atau minyak makin cepat terbakar.
 Pour Point yang rendah
Pour Point adalah suatu angka yang menunjukkan pada
temperature berapa minyak akan membeku. Jadi kita tidak menginginkan
lumpur yang cepat membeku.
 Molekul minyak yang stabil, dengan kata lain tidak mudah terpecah-pecah.
 Mempunyai bau serta fluorencensi yang berbeda dengan minyak mentah
(crude oil). Kalau tidak demikian maka akan sulit nanti untuk menyelidiki
apakah minyak berasal dari formasi yang dicari atau berasal dari bahan
dasar dari lumpur.
2.2.2. Fasa Solid
Fasa solid merupakan fasa padatan yang ditambahkan dalam lumpur yang
berfungsi untuk memberikan kenaikan berat jenis dan untuk membuat lumpur
mempunyai kekentalan tertentu. Secara garis besar, berdasarkan daya
kerekatifannya terhadap komponen-komponen dalam lumpur dan kondisi
15

formasinya, fasa solid lumpur pemboran dikelompokkan menjadi dua, yaitu inert
solid dan reactive solid.
2.2.2.1. Inert Solid
Inert solid merupakan komponen padatan dari lumpur yang tidak bereaksi
dengan fasa cair lumpur pemboran. Didalam lumpur pemboran inert solid berguna
untuk menambah berat atau berat jenis lumpur, yang tujuannya untuk menahan
tekanan dari formasi. Inert solid dapat pula berasal dari formasi-formasi yang di
bor dan terbawa oleh lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay non-swelling, dan
padatan seperti ini bukan disengaja untuk menaikkan densitas lumpur dan perlu
dibuang secepat mungkin (biasanya menyebabkan abrasi dan kerusakan pompa).
Sebagai contoh yang umum digunakan sebagai inert solid dalam lumpur bor
adalah:
 Barite (BaSO4)
Keuntungan menggunakan barite adalah murah harganya, barite
jenis 4,2 bersih, tidak reaktif mengadung impurities silica sedikit,
berwarna putih dan mempunyai kekerasan 2,5-3,5 Skala Mohs.
 Oksida Besi (Fe2O3)
Mempunyai sifat yang kurang sempurna bila dibanding dengan
barite, karena barasif dan berwarna merah, selain itu biaya transportasi dan
pengolahan selama proses pembuatannya mahal.
 Calcium Carbonat (CaCO3)
Digunakan terutama pada oil base mud dan mengakibatkan settling
ratenya rendah, mempunyai berat jenis 2,7 dan dapat diperoleh dari kulit
kerang atau shell yang dihaluskan kemudian dicuci dan dikeringkan.
 Galena (PbS)
Pada formasi yang mempunyai tekanan abnormal umumnya
menggunakan galena, karena mempunyai berat jenis yang lebih besar yaitu
6,8 sehingga diharapkan dapat mengimbangi tekanan normal formasi.
2.2.2.2. Reactive Solid (Koloidal)
Reactive solid atau fasa padatan bereaksi dengan sekelilingnya
membentuk koloid yang merupakan suspensi yang reaktif terdispersi dalam fasa
16

kontinyu (sifat koloid lumpur yang merupakan lembaran clay yang berukuran 10-
20 Amstrong dan terdispersi dalam fasa kontinyu air). Dalam hal ini clay akan
menghisap fasa cair air dan memperbaiki lumpur dengan meningkatkan densitas,
viskositas, gel strength serta mengurangi fluid loss.
Mud engineer biasanya membagi clay yang digunakan untuk lumpur
menjadi tiga, yaitu montmorillonite, kaolinite, dan illite. Montmorillinite yang
paling sering digunakan karena kemampuannya yang mudah swelling
menghasilkan clay yang homogenous bercampur dengan fresh water. Dalam
literatur pemboran manual, montmorillonite direferensikan dengan bentonite,
karena bentonite identik dengan clay montmorillonite. Atau dengan kata lain,
dalam lumpur pemboran, yang bertindak sebagai reactive solid adalah bentonite.
Bila bentonite bercampur dengan air, maka akan terbentuk lumpur yang
berbentuk koloid. Air yang bercampur dengan bentonite ini adalah air tawar. Bila
yang menjadi bahan dasar adalah air laut, maka yang menjadi reaktif solidnya
adalah attapulgite, dimana attapulgite dapat bereaksi dengan air asin maupun air
tawar.
2.2.3. Fasa Kimia (Additive)
Lumpur secara konvensional terdiri dari dua komponen fasa seperti yang
telah disebutkan diatas, namun hingga sekarang telah dibuatkan formulasi secara
kimawi dengan tujuan-tujuan tertentu, yang terdiri dari organic dan inorganic.
Fasa kimia ini lazim dikenal dengan zat-zat additive untuk lumpur pemboran.
Didalam lumpur pemboran selain terdiri atas komponen pokok lumpur, maka ada
material tambahan yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat-sifat lumpur
agar sesuai dengan keadaan formasi yang dihadapi selama operasi pemboran.
2.2.3.1. Material Pemberat
Material pemberat adalah bahan–bahan yang memiliki specific gravity
tinggi yang ditambahkan kedalam lumpur untuk menaikkan densitas fluida guna
mengontrol tekanan formasi. Bahan-bahan yang umum digunakan sebagai
weighting agent ditunjukkan pada Tabel II-1. sebagai berikut:
17

Tabel II-1.
Material – Material Pemberat.
(Bourgoyne, “Applied Drilling Engineering” 1986)

Nama Nama Kimia Specific gravity Densitas Lumpur


(Rata-rata) Maksimum
Barite Barium Sulfate 4.25 20-22

Galena Lead Sulfate 6.6 28-32

Calcium Calcium 2.7 12

Carbonate Carbonate - -

Bar-Gain Ilmenite 4.5 21-23

Densimix Hematite
(Itabarite Ore) 5.1 24-26

a. Barite (BaSO4)
Barite mempunyai specific gravity antara 4,2 sampai 4,6 dengan
indeks kekerasan 3. Biasanya digunakan untuk operasi pemboran yang
melewati zona gas yang bertekanan tinggi yang dangkal.
b. Galena (PbS)
Galena mempunyai specific gravity ± 6,8–6,9 dengan indeks
kekerasan 2,5. Fungsi utamanya adalah untuk usaha mematikan sumur
dalam kondisi darurat apabila tekanan formasi sangat besar (mampu
menghasilkan densitas lumpur sampai 32 ppg). Dengan catatan galena
bersifat beracun (highly toxic), mahal dan memiliki problem terhadap
suspensi.
c. Calcium Carbonat (CaCO3)
Calcium Carbonat mempunyai specific gravity ± 2,7 dengan
indeks kekerasan 3 (tiga). Digunakan untuk mendapatkan densitas 10,8
ppg. Material ini digunakan untuk lumpur jenis oil base mud. Calcium
carbonate biasanya dipergunakan untuk operasi pemboran yang dalam.
18

d. Ilmenite (FeTiO2)
Ilmenite memiliki specific gravity kira–kira 4,7. Terkadang
digunakan sebagai pengganti barite untuk meningkatkan densitas.
e. Hematite (Fe2O3)
Hematite memiliki specific gravity ± 5,1 (variatif 4,9–5,3), dengan
kekerasan 7 (tujuh). Digunakan untuk menaikkan densitas lumpur apabila
tidak dimungkinkan menggunakan barite.
f. Larutan Garam (Brine Solution)
Larutan garam (brine solution) diperoleh dengan menggunakan
berbagai macam garam untuk menformulasikan solid free workover fluid.
2.2.3.2. Pengental (Viscosifier)
Viscosifier digunakan untuk menaikkan plastic viscosity pada lumpur,
bahan yang digunakan sebagai viscosifier adalah:
a. Bentonite
Sodium monmorillonite dan calcium monmorillonite, merupakan
material yang berfungsi untuk menaikkan plastic viscosity dan mengurangi
fluid loss pada lumpur jenis fresh water mud, dimana tiap penambahan
material ini kedalam air sebanyak 20 lb/bbl akan memberikan plastic
viscosity sebesar ± 36 detik Marsh Funnel.
b. Sepiolite
Sepiolite adalah silikat magnesium hydrated yang lekat
menyerupai attapulgite. Sepiolite sebagai aditif biasa digunakan pada
pemboran geothermal.
c. Attapulgite
Attapulgite merupakan clay yang berfungsi untuk menaikkan
plastic viscosity pada lumpur jenis salt water. Namun tidak dapat
digunakan sebagai filtrate loss control, untuk itu perlu ditambahkan
bahan–bahan seperti starch dan PAC.
d. Asbestos Fiber
Asbestos Fiber secara kimiawi merupakan calcium magnesium
silicate, bahan viscosifier yang sangat efektif untuk jenis air tawar (fresh
19

water) atau air asin (salt water) digunakan untuk mencapai kandungan
solid yang sangat rendah (low solid content).
e. Xanthan Gum (XCD Polymer)
Xanthan gum bahan ini paling efektif sebagai viscosifying polymer
karena karakter reologinya. Digunakan untuk temperatur formasi 140oC–
150oC dengan range pH yang besar sebagai fluid loss memiliki
keterbatasan sehingga biasanya digunakan bersamaan dengan bentonite,
strach atau CMC.
f. Sodium Carboxymethyl Cellulose (CMC)
Sodium Carboxymethyl Cellulose material ini digunakan sebagi
fluid loss control (primer) dan viscosifier (sekunder), bahannya berasal
dari cellulose yang di treatment dengan menggunakan caustic soda dan
monochloro acetate. CMC tahan terhadap bakteri dan efektif untuk
temperatur ± 120oC, namun pH lumpur harus dijaga lebih dari 6, guna
mencegah degradasi dari bahan itu sendiri
2.2.3.3. Pengencer
Thinner digunakan untuk menurunkan atau mengurangi plastic viscosity
pada lumpur atau sebagai pengencer. Cara kerja thinner adalah memutus ikatan
lapisan-lapisan clay melalui tepi (edge) dan muka (face), yang kemudian
menyambungkan dirinya dengan clay sehingga dapat menahan gaya tarik antar
lembaran clay. Bahan yang digunakan sebagai thinner adalah:
a. Lignosulfonate
Lignosulfonate memiliki stabilitas yang baik pada temperature
400oF. Dapat digunakan sebagai dispersant atau fluid loss control.
Calcium lignosulfonate adalah lumpur yang efektif untuk lumpur lime.
Chrome lignosulfonate merupakan jenis lumpur yang banyak digunakan
sebagai bahan pengencer, namun akan terdekomposisi pada temperatur
300oF (149 oC). Penggunaan lignosulfonate pada temperatur dan tekanan
tinggi dapat menyebabkan degradasi dan menghasilkan gas H2S (dalam
jumlah kecil).
20

b. Phospate
Phospate digunakan sebagai thinner pada berbagai pH lumpur,
dimana temperatur tidak lebih dari 150oF.
c. Sodium Acid Phyrophosphat (SAPP)
Sodium Acid Phyrophosphat (SAPP) mempunyai pH kurang lebih
4,8 dengan SG 1,85. Berfungsi untuk memperbaiki keadaan lumpur yang
terkontaminasi dengan semen, serta digunakan untuk menurunkan plastic
viscosity lumpur SAPP hanya dapat digunakan pada temperatur 150oF.
d. Sodium Hexametaphospate (SHMP)
Sodium Hexametaphospate (SHMP) memiliki SG 2,2 dengan pH
6.8, bahan ini kurang efektif untuk penggunaan dalam rentang waktu lama
seperti halnya SAPP. Bahan ini efektif untuk mengikat Ca pada cairan.
e. Sodium Tetraphospate (STP)
Sodium Tetraphospate (STP) mempunyai SG 2,5 dengan pH 7,5.
Penggunaan berlebihan tidak akan menyebabkan lumpur menjadi rusak,
namun tidak stabil untuk penggunaan dalam waktu lama dan hanya efektif
pada suhu < 150oF.
f. Tetra Sodium Phospate (TSPP)
Tetra Sodium Phospate (TSPP) mempunyai SG 2,5 dengan pH 10,
dibuat dengan pemanasan Disodium Phospate. Bahan ini aman bagi
kesehatan dan tidak bersifat korosif. Penggunaan yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan lumpur, dan batas temperatur tidak lebih 150oF.
g. Quebracho (Tannate)
Quebracho (Tannate) merupakan bahan pengencer yang efektif
hingga temperature 240oF jika kadar kontaminan garam dan calcium tidak
melebihi masing-masing 10.000 ppm dan 240 ppm. Bahan ini berasal dari
pohon Quebracho yang memilik fungsi ganda sebagai dispersant dan fluid
loss control.
h. Lignite
Lignite dapat digunakan pada water based mud sampai temperatur
400-450 oF, merupakan thinner dan fluid control yang efektif. Bahan ini
21

tidak cocok untuk fluida dengan kandungan garam yang tinggi karena
lignite tidak dapat larut dalam garam.
i. Air (Water)
Air (Water) telah umum dan biasa digunakan sebagai pengencer
yang efektif pada penggunaan lumpur (terutama) jenis water based mud,
dimana air dasar masuk kedalam pori-pori formasi yang kemudian dapat
berkurang.
2.2.3.4. Filtrate Loss Control Agent (FLCA)
Filtrate Loss Control Agent digunakan untuk menjaga integritas lubang,
melindungi lumpur dari shale yang sensitif terhadap air, dan meminimalkan hole
wash out untuk mencapai casing cement job yang lebih baik. Pada umumnya
bahan ini digunakan bersamaan dengan bentonite, sementara sebagian lain
digunakan secara terpisah dengan kandungan clay yang ada pada lumpur. Bahan-
bahan yang digunakan sebagai filtration loss control agent adalah:
a. Bentonite
Bentonite merupakan bahan multi guna yang membantu
mengontrol filtrate loss, suspensi barite dan plastic viscosity untuk
kemampuan pembersihan lubang bor, pada range 6% berat cocok untuk
mengurangi fluid loss. Batasan penggunaan bahan ini sebagai fluid loss
antara lain:
● Tidak cocok digunakan pada konsentrasi ion sodium, kalsium atau
pottasium yang tinggi tanpa prehidrasi.
● Rentan terhadap kontaminasi pada formasi garam atau anhydrite
(CaSO4).
● Clay rentan terhadap panas dalam bentuk flokulasi clay yang
meningkatkan fluid loss.
b. Starch (Pregelantized)
Starch (Pregelantized) dapat berfungsi dengan baik dengan
hadirnya ion kalsium dan sodium. Cocok digunakan untuk lumpur salt
water atau lime. Batasan penggunaan pada kisaran temperatur 250oF.
22

c. Sodium Carboxymethyl Cellulose (CMC)


Sodium Carboxymethyl Cellulose (CMC) merupakan produk untuk
penanganan filtrate loss dan viscosifier. Sangat aktif meskipun ada
kontaminasi oleh ion konsentrasi tinggi. Cocok digunakan pada lumpur
inhibited mud. CMC dapat stabil hingga penggunaan pada temperatur
300oF.
d. Lignins, Tannins, dan Lignosulfonate
Lignins, Tannins dan Lignosulfonate produk-produk ini memiliki
stabilitas yang baik pada kisaran temperatur 350oF–400oF, namun
formulasi khusus lignite dapat menghasilkan stabilitas hingga mencapai
temperatur 450oF. Kekurangan lignins adalah rentan terhadap kontaminasi
ion kalsium yang dapat mnyebabkan flokulasi.
e. PAC-LV
PAC-LV digunakan sebagai fluid loss control agent dengan dengan
peningkatan viskositas yang rendah. PAC-LV akan bekerja dengan baik
disemua aplikasi air garam, terutama saltwater base fluid. Ini dapat
digunakan pada semua density baik dalam sistem terdispersi atau non-
terdispersi. Juga berfungsi untuk enkapsulasi padatan untuk mengontrol
dispersi reactive shale.
2.2.3.5. Lost Circulation Material (LCM)
Lost Circulation Material (LCM) digunakan untuk mengurangi efek
masuknya lumpur kedalam formasi dan mendapatkan kembali sirkulasi yang
hilang. Lost Circulation Material dapat didefinisikan sebagai material yang
menyumbat (sebagai seal/penyekat) pada lapisan permeabel ataupun fractured
formation, guna mencegah hilangnya lumpur pemboran. Sebagian besar bahan
yang digunakan untuk penanganan lost circulation adalah sebagai berikut:
a. Fibrous Lost Circulation Materials
Material ini memiliki geometri yang memanjang dan sifat yang
fleksibel, sehingga dapat diberi tekanan besar kedalam lubang bor,
material dapat bekerja menyumbat zona permeable dengan membentuk
sumbatan dari serat-seratnya yang kusut dan ketika ditekan pada pori-pori.
23

Fibrous material tidak direkomendasikan untuk lumpur jenis oil based


mud. Fibrous Lost-Circulation Materials antara lain adalah:
Tabel II-2.
Fibrous Lost Circulation Materials
(Bourgoyne, “Applied Drilling Engineering” 1986)
No Material Deskripsi
1. Shredded sugar cane Serat alami dari batang tebu yang
dihancurkan pada ukuran tertentu, sesuai
kebutuhan dan kemampuan alat.
2. Cotton fibers Serat alami dari pohon katun, berupa serat
panjang yang fleksibel.
3. Hog hair Serat alami yang berasal dari bulu hewan
4. Shredded automobile tires Cacahan ban karet kendaraan
5. Wood fibers Serat selulosa dari cacahan kayu lunak
6. Paper pulp Bubur kertas
7. Frac seal Serat selulosa organik berukuran mikro,
produksi dari Drill chem
8. Quick Seal Merupakan serat selulosa dengan berbagai
ukuran dan bentuk, merupakan merk
dagang dari Harkel
b. Flake Lost-Circulation Materials
Flake lost-circulation materials merupakan material yang memiliki
geometri tipis dan melembar, dengan geometri seperti ini material ini akan
memiliki luasan yang besar sehingga gaya gesek yang terbentuk akan
menyebabkan material ini menyumbat di pori-pori. Contoh material ini
dijelaskan pada (Tabel II-3) adalah:
24

Tabel II-3.
Flake Lost-Circulation Materials
(Bourgoyne, “Applied Drilling Engineering” 1986)
No Nama Material Deskripsi
1. Shredded Cellophane Merupakam cacahan plastik yang larut
dalam minyak
2. Mica flakes Mineral mica yang telah dihancurkan pada
ukuran tertentu, sesuai dengan kebutuhan.
3. Wood chips Cacahan kayu yang membentuk lembaran
kecil
Material ini digunakan pada muka lapisan formasi yang dapat diberikan
tekanan besar. Cellophane tidak direkomendasikan untuk lumpur jenis OBM.
c. Granular Lost-Circulation Materials
Granular lost-circulation materials merupakan material yang
memiliki geometri membutir, ukuran dan sortasi dari material ini
menyesuaikan dengan pori batuan yang akan disumbat. Material ini harus
memiliki sifat insoluble, agar material ini tidak larut dalam fasa cair
maupun di fluida formasi. Contoh matrial ini adalah ground nut shells, dan
ground carbonates (CaCO3).
d. Blended Lost-Circulation Materials
Blended Lost-Circulation Materials bahan-bahan ini mengandung
campuran dari fibrous, flake dan granular materials. Blended lost
circulation materials mengandung cellophane flakes yang tidak
diperuntukkan pada lumpur jenis oil based mud. Contoh material ini
adalah Diasel yang merupakan merk dagang dari Chevron Philips,
material ini merupakan kombinasi dari tanah diatom, calcium hydroxide,
selulosa, dan kristal kuarsa. Kelebihan dari material ini adalah dapat
diaplikasikan pada OBM ataupun WBM, dengan cara kerja akan
membentuk sumbatan ketika fasa cair dari lumpur terdesak keluar dari
emulsi.
25

e. Slurries
Slurries bahan ini seperti semen, diatomaceous earth dan
campuran diesel bentonite yang digunakan untuk mengurangi lost
circulation dengan cara memberi tekanan terhadap material pada zona
lost. Slurries mencegah high filtrate loss yang terbentuk pada endapan dari
mud cake yang tebal dan menyumbat dinding lapisan. Lost Circulation
Materials (LCM) dapat dicampurkan ke dalam slurries untuk
meningkatkan efektivitas bahan yang digunakan.
Secara umum, bahan yang digunakan sebagai Lost Circulation
Materials (LCM) adalah fibrous material, nut shell fine, nut shell medium,
coarse, ground mica fine, ground mica coarse, dan cellophane.
2.2.3.6. Emulsifier
Emulsifier memungkinkan terjadinya dispersi mekanik dari dua macam
fluida yang tidak saling mencampur, membentuk fase internal dan eksternal, serta
secara kimiawi membentuk emulsi yang stabil. Emulsi adalah suatu sistem
campuran dua fase yang terdiri dari butiran minyak dalam air atau air dalam
minyak. Pada dasarnya emulsifier adalah aditif yang memiliki sifat:
a. Heavy molecular weight soap.
b. Menaikkan tegangan permukaan.
c. Menghasilkan emulsi yang stabil.
d. Emulsifier bekerja cepat, tetapi tidak membentuk emulsi yang ketat.
e. Stabilitas listrik 350–400 volt.
Emulsifier seperti Drilling Mud Emulsifier (DME) digunakan untuk
menstabilkan emulsi oil-in-water. Soaps, polyamines, dan ethylene derivatives
juga digunakan sebagai emulsifiers. Campuran modified tall oil juga digunakan
sebagai primary emulsifier untuk emulsi water-in-oil, dan juga untuk
menstabilkan emulsi, serta dapat meningkatkan suspensi dan dapat mengurangi
filtrate loss.
2.2.3.7. Additive Khusus
Additive Khusus adalah aditif yang digunakan pada kondisi tertentu (harus
digunakan) ataupun dapat menjadi pilihan. Aditif yang dimaksud antara lain:
26

a. Surface Active Agents (Surfactant)


Surfactant digunakan digunakan untuk mengubah tegangan antar
muka (interfacial tension), ataupun properties antara batas fase pada
drilling fluid di permukaan (seperti water / solid, water / oil, water / air).
Surfactant juga digunakan pada lumpur pemboran sebagai:
● Drilling Mud Surfactant (DMS), merupakan water based surfactant
yang digunakan untuk menstabilkan Calcium-based fluid pada kondisi
temperatur tinggi.
● Wetting Agents, digunakan pada emulsi oil-in-water untuk
mengurangi tegangan antar muka dari air, yang memudahkan
terjadinya emulsi dan menyebarkan keseluruh material.
● Defoamers, digunakan untuk mengurangi foaming action yang terjadi
pada saturated salt muds dan pada gelembung udara ataupun gas.
Material ini mengurangi tegangan permukaan dari membran yang
mengelilingi gelembung, memudahkan gas untuk memecah
gelembung sehingga dapat keluar.
b. pH Adjuster
pH Adjuster digunakan sebagai additive untuk mengontrol pH
lumpur pemboran sesuai dengan kebutuhan. Contoh bahan yang
digunakan adalah Caustic soda, Potassium Hydroxide, dan Calcium
Hydroxide.
c. Corrosion Control Additive
Corrosion Control Additive digunakan untuk mengendalikan
bahan–bahan atau kandungan kimia yang berasal baik dari formasi
ataupun penggunaan lumpur, yang dapat menyebabkan korosi pada
peralatan. Bahan-bahan yang digunakan antara lain: Noxygen, Noxygen L,
IMCO X-CORR & IMCO PERMAFILM, IMCO SULF-X II, dan IMCO
XO2, Coat 777 & A-202.
d. Lubricant & Detergen Additive
Lubricating materials digunakan untuk mengurangi efek torsi dan
drag antara drill pipe dengan formasi. Bahan ini merupakan fungsi dari
27

mud cake yang berfungsi sebagai film terhadap permukaan bahan metal.
Bahan ini secara langsung mengurangi torsi selama rotasi pipa bor dan
drag saat menarik atau menurunkan (trip) pipa bor. Diesel oil, asphaltic
compounds, extremepressure lubricants, dan synthetic oils biasanya
digunakan untuk memberikan lubricity kepada drilling fluids. Sedangkan
detergent aditif berfungsi untuk membersihkan endapan–endapan shale
pada bit atau balling up maupun membantu melepaskan pasir, baik untuk
lumpur yang menggunakan bahan dasar air tawar (fresh water) maupun air
asin (salt water). Contohnya adalah DD Compound dengan pemakaian
normal antara 2-3 gallon tiap 100 bbl.
e. Flocculant
Flocculant adalah bahan kimia yang berfungsi untuk mempercepat
pengendapan serbuk bor, membersihkan endapan (solid) dan menstabilkan
hydratable formation. Flocculating materials menyebabkan padatan
(solid) menjadi koagulen sehingga lebih mudah untuk dipindahkan dari
sistem water based mud. Bahan tersebut juga mengubah plastic viscosity
dari lumpur pemboran. Salt, hydrated lime, gypsum, dan synthetic polymer
sering digunakan sebagai peningkat flokulasi dan pemindah padatan.
f. Shale Stabilize Materials
Shale Stabiliziling Materials digunakan untuk mencegah hidrasi
clay yang sensitif air (ataupun sebaliknya), sloughing atau heaving atau
fractured shale, dan dispersi subsequent dari padatan terhadap drilling
fluid. Hidrasi dari shale, sama halnya dengan invasi fluida yang
menyebabkan tight hole, sloughing atau heaving shale dan hole
enlargement. Hidrasi dan dispersi dari padatan dapat merusak plastic
viscosity dan kandungan padatan yang tak terkendali.
g. Polyamine
Polyamine sebagai shale inhibitor yang larut dalam air,
memisahkan gugus amino dengan jarak antara lapisan clay, dapat tertanam
kedalam lapisan kristal dengan penghambatan yang sangat baik dari hidrasi
clay dan efek swelling, kondusif untuk menjaga stabilitas lubang sumur,
28

sebagai inhibitor lumpur pemboran. Pada lumpur KCl Polymer


Polyamine, penggunaan polyamine berfungsi sebagai sumber ion NH4+
yang bertujuan utuntuk menggantikan kedudukan ion Na+ pada shale
dengan ion NH4+.
h. Potassium Chlorida (KCl)
Potassium chloride (KCl) juga mempunyai kemampuan mencegah
laju pengembangan clay. Sifat inhibitif KCl tergantung pada
konsentrasinya, yang perlu disesuaikan dengan karakteristik shale-nya.
Aditif KCl dalam air akan terurai menjadi ion K+ dan Cl-.
Dalam menstabilkan mineral shale, ion-ion K+ akan menggantikan
kedudukan ion Na+. Menjadikan ion K+ akan terikat jauh lebih kuat
dibandingkan ion Na+. Ion-ion K+ memiliki jari-jari atom yang dapat
menutup mikrofaktur shale sehingga mencegah masuknya air kedalam
mikrofaktur sehingga mengurangi hidrasi shale dan Cl- menyeimbangkan
kegaraman formasi.
i. Biocide
Biocide berperan sebagai bactericide yang diformulasikan dengan
spectrum yang lebar yang dengan efektif mengatasi bakteri-bakteri yang
berkembang di lumpur pengeboran.
j. Resinex II
Resinex II digunakan untuk mengurangi dan mempertahankan
kehilangan cairan yang rendah di semua sistem berbasis air di semua
padatan, dan akan meningkatkan kinerja cairan pengeboran berbasis air.
Resinex II berguna untuk membantu mengontrol stabilitas shale dan
washout lubang.
2.3. Sifat-Sifat Lumpur Pemboran
2.3.1. Sifat Fisik Lumpur Pemboran
Komposisi dari lumpur pemboran menentukan sifat-sifat fisik dan
performance dari lumpur itu sendiri. Tiga sifat fisik dasar yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan suatu operasi pemboran adalah densitas, rheology
29

dan filtration loss. Sifat-sifat tersebut memerlukan perhatian dalam pemonitoran


dan pengontrolan untuk menjaga fungsi-fungsi tertentu dalam operasi pemboran.
2.3.1.1. Densitas
Densitas lumpur pemboran atau berat lumpur didefinisikan sebagai
perbandingan berat per unit volume lumpur. Sifat ini berpengaruh terhadap
pengontrolan tekanan subsurface dari formasi, sehingga dalam operasi pemboran
densitas lumpur harus selalu dikontrol terhadap kondisi formasinya agar diperoleh
performance atau kelakuan lumpur yang sesuai dengan fungsi yang diharapkan
terhadap formasi yang dibor.
Pengaturan densitas lumpur merupakan faktor penunjang keberhasilan
pemboran. Densitas lumpur yang relatif terlalu berat bagi suatu formasi
memungkinkan terjadinya lost circulation, sebaliknya densitas lumpur yang relatif
terlalu kecil menyebabkan terjadinya blow out. Pengontrolan densitas lumpur
dapat dilakukan dengan jalan penambahan zat-zat aditif yang umum dipakai untuk
memperbesar harga densitas antara lain yaitu: barite (SG = 4.3), limestone (SG =
3.0), galena (SG = 7.0), dan bijih besi (SG = 7.0), sedangkan untuk memperkecil
atau mengurangi densitas lumpur pada umumnya dipakai aditif seperti air dan
minyak. Cara lain untuk memperkecil densitas adalah dengan jalan pengurangan
kadar padatan lumpur di pemukaan. Penambahan densitas lumpur dilakukan pada
satu siklus sirkulasi viskositasnya harus kecil karena dengan penambahan berat
lumpur ini akan terjadi kenaikan viskositas. Densitas lumpur dipengaruhi oleh
temperatur, densitas turun jika temperaturnya naik. Satuan densitas dapat
dinyatakan dalam gradien tekanan dengan satuan-satuan yang umum adalah:
 Pounds per gallon, ppg lb/gallon
 Pounds per cubic feet lb/cuft
 Psi per 100 feet depth psi/100ft
 Specific gravity (SG)
Besarnya densitas dapat menentukan tekanan hidrostatik kolom lumpur
pemboran seperti ditunjukkan pada persamaan berikut:

.......................................................................................... (2-2)
30

...................................................................................... (2-3)
Keterangan:
Pm = tekanan hidrostatik kolom lumpur, psi.
ρm = densitas lumpur, ppg.
D = Depth, ft.
Dan

................................................................................................... (2-4)
Karena densitas air tawar adalah konstan, yaitu 8,33 ppg maka persamaan
diatas dapat berubah menjadi:

............................................................................................ (2-5)
Keterangan:
ρm = densitas lumpur, ppg
ρw = densitas air tawar, ppg
SGm = Specific Gravity lumpur
Pengontrolan densitas lumpur pemboran tergantung pada maksud tujuan
jenis lumpur tersebuat akan digunakan dalam operasi pemboran.
2.3.1.2. Rheology (Flow – Properties)
Viskositas yaitu tahanan lumpur pemboran untuk mengalir saat
dipompakan atau perbandingan antara shear stress (tekanan penggeser) dan shear
rate (laju penggeseran).
Cairan yang termasuk Newtonian seperti air, perbandingan shear rate
dengan shear stress ini sebanding dan konstan, sedangkan lumpur pemboran
adalah termasuk cairan Non-newtonian dimana perbandingan shear stress dengan
shear rate tidak konstan, disebut viskositas semu (appearent viscosity) serta
memberikan hubungan variasi yang luas yang dijelaskan pada (Gambar 2.2.).
31

:
Gambar 2.2.
Grafik Shear Stres vs Shear Rate Fluida Newtonian dan Bingham
(Rudi Rubiandini “Teknik Pemboran I”,2009)
a. Plastik Viskositas (PV)
Ukuran besarnya tahanan internal dari cairan untuk mengalir.
Viskositas merupakan besaran yang menyatakan keenggahan fluida untuk
mengalir (Rubiandini, 2012). Pengukuran viskositas yang sederhana
dilakukan dengan menggunakan alat marsh funnel. Alat ini mengukur
wajtu (detik) yang dibutuhkan lumpur sebanyak 0,9463 Liter (1 quart)
untuk mengalir keluar daricorong marsh funnel. Untuk menentukan plastic
viscosity (PV) dan yield point (YP) dalam field unit digunakan persamaan:
PV = C600 – C300 ................................................................................ (2-6)
b. Yield Point (YP)
Yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya
tarik menarik antar partikel. Gaya tarik menarik ini disebabkan oleh muatan-
muatan pada permukaan partikel yang didispersi dalam fasa fluida. Gel
strength dan yield point keduanya merupakan ukuran dari gaya tarik
32

menarik antar partikel. Gaya tarik menarik dalam suatu sistem lumpur.
Bedanya, gel strength merupakan ukuran gaya tarik menarik yang statik
sedangkan yield point merupakan ukuran gaya tarik menarik yang dinamis.
Harga minimum dari shear stress yang harus dilampaui sebelum cairan
bergerak dan Yield Point merupakan sifat dinamis, sangat penting
perannya dalam mengangkat serbuk bor ke permukaan. Pengukuran yield
point (YP) dapat menggunakan viscometer fann VG, dengan rumus:
YP = C300 – PV ...................................................................... (2-7)
c. Gel Strength (GS)
Merupakan fungsi dari suatu gaya antar partikel dan pembentukan
padatan karena gaya tarik menarik antara plat–plat clay berada dalam
kondisi statis. Gel Strength yang terlalu besar akan memperberat pompa
untuk memulai sirkulasi dan bila terlalu rendah akan menyebabkan serbuk
bor turun dan terendapkan pada saat sirkulasi berhenti.

............................................................................ (2-8)
Adapun fungsi gel strength dalam lumpur adalah untuk menahan
cutting dan material solid dalam suspensi serta melepaskannya di
permukaanya, sehingga gel strength merupakan faktor penting dalam
mekanisme pengangkatan cutting.
Gel strength didefinisikan sebagai gaya dalam gram yang
diperlukan untuk memecah standard gel menjadi lumpur. Sistem satauan
yang umum yang digunakan untuk gel strength adalah:
 Gram dyne/cm2, gr dyne/cm2.
 Gram pound/sgft, gr lb/ft2.
Ketidaknormalan yang relatif besar dari harga gel strength akan
mengganggu jalannya operasi pemboran, karena menyebabkan masalah-
masalah seperti:
 Terganggu pompa untuk memulai sirkulasi karena membutuhkan tenaga
pompa yang besar.
 Kecenderungan dari lumpur untuk lost circulation.
33

 Pelepasan cutting, material solid dan pasir ke permukaan akan tidak efektif
lagi sehingga dapat mempertinggi abrasifitas lumpur terhadap peralatan di
permukaan, seperti pompa lumpur.
 Filtration loss merupakan kehilangan fasa cair lumpur yang masuk ke
formasi permeable yang diukur dengan peralatan standard filter press
yang merupakan hasil pada kondisi statik (sirkulasi dihentikan).
Tujuan dari pengenalan viskositas lumpur ini adalah untuk:
1. Mengontrol tekanan sirkulasi yang hilang di annulus.
2. Memberikan kapasitas daya angkat yang memadai.
3. Membantu mengontrol swab-pressure dan surge pressure.
Peralatan yang dipergunakan untuk mengukur viskositas adalah
sebagai berikut:
1. Marsh Funnel
Viskositas yang diukur dengan menggunkan Marsh Funnel adalah
viskositas relatif. Dibandingkan dengan viskositas lumpur dengan viskositas air
tawar. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk mengukur viskositas dengan
cara Marsh Funnel adalah sebagai berikut (Gambar 2.3):
 Corong
 Cangkir
 Stopwacth
Lumpur dimasukkan kedalam corong sebanyak 1500 cc, dan tutup ujung
corong dengan jari. Masukkan kedalam cangkir sambil menghidupkan stopwacth.
Setelah volume lumpur didalam cangkir mencapai 946 cc dicatat sebagai
viscositas dari lumpur. Satuan yang digunakan adalah detik.
Peralatan yang digunkan tersebut perlu dikalibrasi denga menggunakan air
tawar. Bila dengan cara yang sama dengan mengukur viskositas lumpur
didapatkan viskositasnya 26 detik = 0,5 detik, dinyatakan bahwa alat baik. Kalau
lebih maka kemungkinan saringan yang ada pada corong tersumbat. Dalam
operasi pemboran viskositas lumpur yang baik berkisar antara 36-45 detik Marsh
Funnel.
34

Gambar 2.3.
Marsh Funnel
(Rudi Rubiandini “Teknik Pemboran I”,2009)
2. Rheometer 6 Speed
Rheometer 6 Speed merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
viskositas plastic dari lumpur bor. Prinsipnya adalah beberapa torsi yang
dihasilkan bila lumpur diaduk dengan kecepatan tertentu.

Gambar 2.4.
Rheometer 6 Speed (VG Meter)
(Rudi Rubiandini “Teknik Pemboran I”,2009)
● Penentuan Harga Shear Stress dan Shear Rate:
Harga shear stress dan shear rate yang masing-masing dinyatakan dalam
bentuk penyimpangan skala penunjuk (dial reading) dan rpm motor pada
Rheometer 6 Speed, harus diubah menjadi shear stress dan shear rate satuan
dyne/cm2 dan detik-1 agar diperoleh harga satuan viskositas dalam satuan cp.
Persamaannya sebagai berikut:
τ = 5,007 x C ................................................................................................ (2-9)
35

γ = 1,704 x RPM .......................................................................................... (2-10)


Keterangan:
τ = shear stress, dyne/cm2
γ = shear rate, detik-1
C = dial reading, derajat
RPM = revolution per minute dari rotor
● Penentuan Harga Viskositas Nyata (Apparent Viscosity)
Viskositas nyata (Va) untuk setiap harga shear rate dihitung berdasarkan
hubungan:

Va = .................................................................................................. (2-11)

Va = ............................................................................................. (2-12)
● Penentuan Plastic Viscosity dan Yield Point
Untuk menentukan plastic viscosity (PV) dan yield point (YP) dalam suatu
lapangan, digunakan persamaan bingham plastic sebagai berikut:

PV = ........................................................................................ (2-13)
Dengan menggunakan Persamaan (2-11 dan 2-12) dimasukkan kedalam
Persamaan (2-13), didapatkan:
PV = C600 – C300 ........................................................................................ (2-14)
YP = C300 – PV............................................................................................ (2-15)

Keterangan:
PV = plastic viscosity,cp
YP = yield point Bingham, lb/100 ft2
C600 = dial reading pada 600 rpm, derajat
C300 = dial reading pada 300 rpm, derajat
Pertimbangan-pertimbangan yang tidak langsung adalah sebagai berikut:
1. Laju pemboran adalah besar dengan kadar padatan yang rendah atau lumpur
yang encer.
36

2. Lumpur dapat dikentalkan untuk memperkecil erosi pada formasi shale


yang tidak kompak, karena pembentukan aliran turbulen dengan lumpur
encer dapat mengakibatkan erosi lubang sehingga terjadi pembesaran
lubang.
Viskositas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan:
● Penetration rate turun
● Pressure loss tinggi terlalu banyak gesekan.
● Pressure surges yang berhubungan dengan lost circulation dan swabbing
yang berhubungan dengan blow out.
● Sukar melepaskan gas dan cutting dari lumpur dipermukaan
Viskositas yang terlalu rendah menyebabkan:
● Pengangkatan cutting tidak baik
● Material-material pemberat lumpur diendapkan
Untuk mengencerkan lumpur dapat dilakukan dengan pengenceran dengan
air atu dengan penambahan thinner (zat-zat kimia), sedangkan penambahan
viskositas dapat dilakukan dengan penambahan zat-zat padat atau bentonite pada
water base mud dan air atau asphalt pada oil base mud.
2.3.1.3. Filtration Loss
Filtration loss adalah kehilangan dari sebagian fasa cair (filtrat) dari
lumpur, masuk kedalam formasi permeable. Ketika terjadi kontak antara lumpur
pemboran dengan batuan porous, batuan tersebut akan bertindak sebagai saringan
yang memungkinkan fluida dan partikel kecil melewatinya (Gambar 2.5).

Gambar 2.5.
Rangkaian Peralatan Pengukuran Filtration Loss
(Rudi Rubiandini “Teknik Pemboran I”,2009)
37

Pengukuran dapat dilakukan dengan standard filter press dimana lumpur


ditempatkan pada tabung yang pada bagian bawahnya telah dipasang filter paper
(kertas saring). Pada bagian atas tabung terdapat pressure inlet yang berguna
untuk memberikan tekanan udara atau gas. API filtration rate (static) adalah cc
filtrate per 30 menit pada tekanan 100 psig. Kemudian, dapat ditentukan pula
tebal mud cake yang dihasilkan.
Cairan yang masuk keformasi pada dinding lubang bor akan
menyebabkan akibat negatif, akibat-akibat itu antara lain:
a. Dinding lubang akan lepas atau runtuh.
Bila formasi yang dimasuki oleh zat yang masuk tersebut adalah
air, maka ikatan antara partikel formasi akan melemah, sehinga dinding
lubang cenderung untuk runtuh.
b. Menyalahi interpretasi dari logging.
Electric logging atau resistivity log mengukur resistivity dari fluida
yang dikandung oleh formasi tersebut. Kalau filtration loss banyak, maka
yang diukur alat logging adalah resistivity dari filtrat.
c. Water blocking
Filtrat yang berupa air akan menghambat aliran minyak dari
formasi kedalam lubang sumur jika filtrat dari lumpur banyak.
d. Differential sticking
Seiring dengan banyaknya filtration loss maka mud cake dari
lumpur akan tebal. Diwaktu sirkulasi berhenti ditambah lagi dengan berat
jenis lumpur yang besar, maka drill collar yang terbenam didalam mud
cake serta lumpur akan menekan dengan Ph yang besar ke dinding lubang.
e. Channeling pada semen.
Di waktu penyemenan, mud cake yang tebal kalau tidak dikikis
akan menyebabkan ikatan antara semen dengan dinding lubang tidak baik.
Filter loss yang besar dalam lumpur dapat dicegah dengan penambahan:
1. Koloid (Bentonite)
2. Starch, CMC – Driscose
3. Minyak (buruk terhadap dynamic loss)
38

4. Q – Broxin (baik untuk dinamik maupun statistik loss)


5. PAC-LV
6. CaCO3
7. Soltex
2.3.2. Sifat Kimia Lumpur Pemboran
Sifat kimia lumpur pemboran merupakan tingkat reaktifitas lumpur
terhadap kondisi formasi yang ditembus, terutama berkaitan dengan kandungan
kimiawi partikel-partikelnya. Seperti sifat fisik lumpur, sifat kimia juga sangat
menentukan fungsi lumpur, karena performance lumpur dapat berubah dengan
adanya pengaruh dari efek kimia partikelnya.
2.3.2.1 Padatan
Terdapatnya padatan atau solid dalam lumpur pemboran dalam jumlah
yang besar dapat mengakibatkan korosi dan abrasi pada peralatan pemboran
seperti pompa lumpur, drillstring, casing, dan sebagainya. Sebagai contoh
padatan yang sering dijumpai pada saat pemboran adalah pasir dan KCl. Kadar
pasir dan KCl tidak boleh terlalu tinggi karena dapat menimbulkan berbagai
permasalahan, diantaranya:
 Padatan memiliki sifat yang abrasive atau mengikis, oleh karena peralatan
yang disirkulasi akan terkikis ketika dilalui padatan solid lumpur.
 Padatan dapat menyebabkan berat jenis lumpur akan naik dan hal ini
menyebabkan kerja dari pompa lumpur akan semakin berat.
2.3.2.2 pH
pH dipakai untuk menentukan tingkat kebasaan dan keasaman dari lumpur
bor. pH dari lumpur yang dipakai berkisar antara 8,5 sampai 12. Lumpur
pemboran yang digunakan adalah dalam suasana basa. Kalau lumpur bor dalam
suasana asam maka cutting yang keluar dari lubang bor akan halus atau hancur,
sehingga tidak dapat ditentukan batuan apakah yang ditembus oleh mata bor.
Dengan kata lain sulit untuk mendapatkan informasi dari cutting. Selain dari pada
itu peralatan-peralatan yang dilalui oleh lumpur saat sedang sirkulasi atau tidak
mudah berkarat. Jika lumpur bor terlalu basa juga tidak baik, karena karena akan
39

menaikkan viskositas dan gel strength dari lumpur. Alat yang digunakan untuk
mengukur pH lumpur adalah sebagai berikut:
1. pH indikator, sering juga dikatakan kertas lakmus atau pH paper.
2. pH meter, dengan mencelupkan alat pH meter maka akan diketahui berapa pH
dari lumpur tersebut.
2.3.2.3 Kesadahan
Kesadahan lumpur pemboran dilakukan dengan menyelidiki ion Ca+
dalam lumpur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadahan total lumpur yaitu
terkontaminasinya lumpur dengan Ca+ dan Mg2+ sebagai berikut:
 Pemboran memasuki formasi gipsum.
 Persenyawaan dengan partikel yang mengandung Ca+.
 Influks air formasi memiliki kandungan Ca+ yang tinggi.
Apabila kesadahan lumpur tinggi maka akan mengakibatkan yield point
rendah yang dapat mengakibatkan terjadinya water loss yang tinggi dan gel
strength rate yang terlalu besar, sehingga untuk mengatasinya memerlukan
banyak bentonite untuk membentuk gel lumpur yang memadai.
2.3.2.4 Alkalinitas
Alkalinitas atau keasamanan lumpur dapat ditunjukkan dengan harga pH
tersebut. Berdasarkan pengalaman diketahui ada korelasi antara sumber alkalinitas
di dalam lumpur terhadap sifat-sifat lumpur yang bersangkutan.
 Jika sumbernya hanya bersal dari OH-, menunjukkan lumpur stabil dan
kondisinya baik.
 Jika sumbernya berasal dari OH- dan CO-23, menunjukkan lumpur stabil
dan kondisinya baik.
 Jika sumbernya hanya berasal dari CO-23, menandakan lumpur tidak stabil
tetapi masih bisa dikontrol.
 Jika sumbernya berasal dari CO-23 dan HCO-3, berarti lumpur tidak stabil
dan sulit untuk dikontrol.
 Jika sumbernya hanya berasal dari HCO-3, kondisi dari lumpur sangat
jelek dan sulit untuk dikontrol.
40

2.3.2.5 Salinitas
Penentuan salinitas (kadar Cl-) dalam lumpur diperlukan terutama jika
pemboran melalui daerah yang mana garam dapat terkontaminasi dengan fluida
pemboran yaitu daerah yang terdapat kubah-kubah garam. Jika terjadi kandungan
chlor melebihi 6000 ppm sebaiknya program penggunaan lumpur diubah sesuai
dengan keasaan. Kandungan Cl- yang terlalu besar juga mempengaruhi dalam
operasi logging karena harus diadakan koreksi untuk menginterpretasi
loggingnya. Kandungan Cl- di dalam lumpur dibedakan menjadi dua, yaitu:
 Salt mud jika kandungan Cl- antara 10000–31500 ppm.
 Saturated salt mud jika kandungan Cl- 315000 ppm.
Pengaruh ion chlor terhadap sifat-sifat lumpur bor adalah mengakibatkan
filtrate loss besar, mud cake tebal, akibat yang lain suspensi padatan sukar dicapai
karena fluktuasi oleh clay. Cara penanggulangan kerusakan lumpur yang
diakibatkan oleh ion chlor antara lain adalah:
 Jika mud cake terlalu tebal dan filtration loss terlalu besar dapat diperbaiki
dengan menambah organic koloid.
 Jika pH dibawa dibawah 8, maka perlu preserfatif untuk menahan
fermentasi starch.
 Jika padatan sukar dicapai karena fluktuasi oleh clay suspensi dapat
diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite.
2.3.2.6 Methylene Blue Test
Methylene Blue Test digunakan untuk mengukur total kapasitas pertukaran
kation dari suatu sistem clay, dimana pertukaran kation tersebut tergantung dari
jenis dan kristal salinitasi mineral, pH larutan, jenis kation yang dipertukarkan
dan konsentrasi kandungan mineral yang terdapat dalam clay). Kemampuan
pertukaran kation berdasarkan urutan dari kekuatan ikatan ion :
Li+ < Na+ < K+ < NH4+ < Rb+ <Cs+ < Mg2+ < Ca2+ < Ba2+ < Cu2+ < Al3+ <Fe3+

Klasifikasi shale dari hasil analisa Methylene Blue Test, baik nonreactive
shale (inert) maupun reactive clay telah diklasifikasi. Harga MBT dinyatakan
dalam meq/100 gr clay dan dari (Tabel II-4.) diketahui tingkat klasifikasi sifat
41

dari shale berdasarkan pengujian menggunakan metode uji laboratorium MBT


untuk menentukan potensi problem yang akan terjadi pada sampel yang dianalisa.
Tabel II-4.
Klasifikasi Shale Berdasarkan Problem
(Lummus”Drilling Fluids Optimization” 1986)
Shale Shale Type Typical Hole Problems Clay Types
Class
A Soft ● Tight hole due to swelling Smectite + Illite
(Shallow) ● Hole enlargement due towashout
● (dispersion)
● Ledges if interbedded with sandstone
● Bit balling, mud rings, blocked
flow lines
B Firm ● Tight hole due to swelling Illite + Mixed Layer
(Deeper) ● Possible wash out (poorly
inhibited mud)
● Particularly prone to bitballing
C Hard ● Caving, Sloughing, Cuttings Illite + Possibly
(Deep) beds leading to packingoff Smectite
● Tight hole in stressed formations
D Brittle (Very ● Caving Illite Koalinite
Deep) ● Hole collapse Chlorite

● Time delayed failure

Adapun hal yang menyebabkan mineral clay memiliki kapasitas tukar


kation adalah:
 Adanya ikatan yang putus disekelilingi sisi unit silika alumina, akan
menimbulkan muatan yang tidak seimbang sehingga agar seimbang
kembali (harus bervalensi rendah) diperlukan penyerap kation.
 Adanya subtitusi aluminium bervalensi tiga didalam kristal untuk silika
equivalent, serta ion-ion bervalensi rendah terutama magnesium didalam
struktur tetrahedral.
42

 Penggantian hidrogen yang muncul dari gugusan hidroksil yang muncul


oleh kation-kation yang ditukar. Masih perlu disangsikan kemungkinannya
karena tidak mungkin terjadi pertukaran hidrogen secara normal.
2.4. Jenis-Jenis Lumpur Pemboran
Berdasarkan literatur-literatur yang tela dikaji, lumpur pemboran dibagi
berdasarkan fasa fluidanya, yaitu:
I. Water Based Muds (WBM)
● Fresh Water Muds (Lumpur Air Tawar)
a. Spud
b. Natural atau Native (alamiah).
c. Bentonite – treated
d. Phosphate – treated
e. Organic coloid – treated
f. "Red" atau alkaline - tannate treated
g. Calcium muds
- Lime – treated
- Gypsum – treated
- Calcium - (selain 1 & 2) - treated.
● Salt Water Muds (Air Asin)
a. Unsaturated salt water
b. Saturated salt water
c. Sodium silicate
● KCl Polymer dan KCl Polymer Polyamine Mud
II. Emultion Based Muds
III. Oil Based Muds
IV. Gaseous Drilling Fluids
a. Udara atau Natural Gas
b. Aerated Muds
43

2.4.1. Water Based Mud


2.4.1.1.Fresh Water Mud
Bila bahan dasar lumpur adalah air maka lumpur disebut dengan water
base mud. Air yang digunakan dapat berupa air tawar mauouan air asin. Lumpur
yang mempunyai bahan dasarnya air disebut dengan fresh water mud dan jika
bahan dasarnya adalah air asin lumpur tersebut disebut salt water mud.
Fresh water muds adalah lumpur yang fasa cairannya adalah air tawar
dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1 % berat
garam). Fresh water mud dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain:
a. Spud Mud
Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi
conductor casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka
lubang dipermukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan biasanya
sedikit dan dapat dibuat dari air dan bentonite (yield 100 bbl/ton) atau clay
air tawar yang lain (yield 35-50 bbl/ton). Tambahan clay atau bentonite
perlu dilakukan untuk menaikkan viscositas dan gel streght bila membor
pada zone-zone loss. Kadang-kadang perlu lost circulation material.
Density yang diperlukan harus kecil.
b. Natural Mud
Natural mud dibentuk dalam bentuk pecahan-pecahan cutting
dalam fase air. Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang
dibor. Umumnya tipe lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat
seperti pemboran pada surface casing (permukaan). Dengan bertambahnya
kedalaman pemboran sifat-sifat lumpur yang lebih baik diperlukan dan
natural mud ini di treated dengan zat-zat kimia dan additive-additive
koloidal. Beratnya sekitar 9.1–10.2 ppg dan viskositasnya 35-40 detik.
c. Bentonite–Treated Mud
Lumpur jenis ini mencakup hampir semua jenis lumpur air tawar.
Bentonite adalah material yang paling umum digunakan untuk membuat
koloid inorganis untuk mengurangi filter loss dan mengurangi ketebalan
44

mud cake. Bentonite juga menaikkan viskositas dan gel strength yang
dapat dikontrol dengan thinner.
d. Phospate –Treated Mud
Mengandung polyphospate untuk mengontrol viscositas dan gel
strength. Penambahan zat ini akan berakibat terdispersinya fraksi-fraksi
clay coloid padat sehingga densitas lumpur cukup besar tetapi viskositas
dan gel strengthnya rendah. Ia mengurangi filter loss dan mud cake dapat
tipis. Tannim biasa ditambahkan bersama-sama polyphospate untuk
pengontrolan lumpur.
Polyphospate tidak stabil pada temperatur tinggi (sumur-sumur
dalam) dan akan kehilangan efeknya sebagai thinner (polyphonspate akan
rusak pada kedalaman 10.000 ft dan temperatur 160-180 ⁰F, karena
berubah ke orthophospate yang malah menyebabkan terjadinya flokulasi).
Phospate mud juga sulit dikontrol pada densitas lumpur tinggi (yang
sering berhubungan dengan pemboran dalam). Dengan penambahan zat-
zat kimia dan air, densitas lumpur dapat dijadikan 9-11 ppg. Polyphospate
mud juga menggumpal jika terkena kontaminasi NaCl, calcium sulfate,
dan kontaminasi semen dalam jumlah cukup banyak.
e. Organic Colloid Treated Mud
Terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau carboxy methyl
cellulose pada lumpur. Karena organic colloid tidak terlalu sensitif
terhadap flokulasi seperti clay, maka kontrol filtratnya pada lumpur yang
terkontaminasi dapat dilakukan dengan organic colloid ini baik untuk
mengurangi filtration loss pada fresh water mud. Kebanyakan lumpur
penurunan filter loss lebih banyak dilakukan dengan organic colloid dari
pada inorganic.
f. Red Mud
Red mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan dari
treatment dengan cautic dan guobracho (merah tua). Istilah ini tetap
digunakan walaupun nama-nama colloid yang dipakai mungkin
45

menyebabkan warna abu-abu kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan


untuk lignin-lignin tertentu dan hunic thinner selain untuk tannim di atas.
Suatu jenis lumpur lain ini adalah alkaline tannate treatment
dengan penambahan polyphospate untuk lumpur-lumpur dengan pH di
bawah 10. Perbandingan alkaline, organic, dan polyphospate dapat diatur
dengan kebutuhan setempat. Alkaline-Tannate treated mud mempunyai
range pH 8-11. Alkaline tannate dengan pH kurang dari 10 terhadap
flokulasi karena kontaminasi garam. Dengan menaikkan pH maka sukar
untuk flokulasi. Untuk pH lebih dari 11.5, pregelatinized starch dapat
digunakan tanpa bahaya fermentasi. Di bawah pH ini, preservative harus
digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi) pada fresh water mud.
Jika diperlukan densitas lumpur yang tinggi lebih murah bila digunakan
treatment yang menghasilkan calcium treated mud pH 12 atau lebih
g. Calcium Mud
Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa
ditambah dengan slaked lime (kapur mati), semen plaster (CaSO4)
dipasaran atau CaCl2, tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydite,
dan gypsum.
h. Lime Treatted Mud
Komposisi lumpur ini terdiri dari cautic soda, organic dispersant,
lime dan fluid loss additive. Lumpur ini menghasilkan viscositas dan gel
strength yang rendah, baik digunakan untuk pemboran dalam serta untuk
memperoleh densitas yang besar. Tetapi lumpur ini mempunyai
kecenderungan untuk memadat pada temperatur tinggi, sehingga tidak
boleh tertinggal dalam annulus casing dan tubing pada saat dilakukan
penyelesaian sumur (well completion). Maka diperlukan zat kimia tertentu
untuk mengurangi efek dari padatan lumpur tersebut.
i. Gypsum Treated Mud
Digunakan untuk membor formasi gypsum dan anhydrite, terutama
bila formasinya inter bedded (selang-seling antara garam dan shale).
Treatmentnya adalah dengan mencampur base mud (lumpur dasar) dengan
46

plaster (CaSO4) sebelum formasi anhydite dan gypsum di bor. viskositas


dan gel strength yang berhubungan dengan formasi ini dapat dibatasi,
yaitu dengan mengontrol rate penambahan plaster. Setelah clay di lumpur
bereaksi dengan ion Ca, tak akan terjadi pengentalan lebih lanjut pada
pemboran gypsum dan garam.
j. Calcium Salt
Selain hydrate salt dan gypsum telah digunakan tetapi tidak
meluas, juga zat-zat kimia yang memberi suplai kation multivalent untuk
base exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba (OH)2 telah
digunakan.
2.4.1.2. Salt Water Mud
Lumpur ini digunakan untuk membor garam massive (salt dome) atau salt
stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran garam yang
terbor. Filtrate lossnya besar dan mud cakenya tebal bila tidak ditambah organic
colloid. pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu dipresentatif untuk mencegah
fermentasi starch. Jika slat mudnya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi
terhalang oleh basa. Suspensi ini dapat diperbaiki dengan penggunaan antapulgate
sebagai pengganti bentonite.
● Unsaturated Salt Water Mud
Air laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur
yang jenuh kegaramannya (unsaturated salt water mud). Kegaraman
(salinity) lumpur ini ditandai dengan:
1. Filtrate loss besar kecuali diterated dengan organic colloid
2. Medium sampai tinggi pada gel strength kecuali ditreated dengan
thinner
3. Suspensi yang tinggi kecuali ditreated dengan attapulgite atau organic
colloid
Lumpur ini biasa mengalami foaming, yaitu berbusa (gas menggelembung)
yang bisa diredusir dengan:
1. Menambah soluble surface active agent
2. Menambah zat kimia untuk menurunkan gel strength
47

Lumpur yang terkena kontaminasi garam juga ditreated seperti sea water:
● Saturated Salt Water Mud
Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam lain
dapat pula berada disitu dalam jumlah yang berlainan. Saturated salt water
mud dapat digunakan untuk membor formasi-formasi garam dirongga-
rongga yang terjadi karena pelarutan garam dapat menyebabkan hilangnya
lumpur, dicegah dengan penjenuhan garam terlebih dahulu pada
lumpurnya. Lumpur ini juga dibuat dengan menambahkan air garam yang
jenuh untuk pengenceran dan pengaturan volume.
● Sodium Silicate Mud
Fasa cair Na-Silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan
Na silicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini digunakan untuk
pemboran heaving shale, tetapi telah terdesak penggunaannya oleh lime
treated mud, gypsum lignosilfonate, shale control, dan surfactant muds
(lumpur yang diberi DAS dan DME) yang lebih baik, murah, dan mudah
dikontrol sifat-sifatnya.
2.4.1.3. KCl Polymer Polyamine Mud
Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine adalah lumpur yang
diformulasikan dengan konsep total inhibitor, tidak seperti sistem lumpur water
base mud conventional, additive kimia ini didesain secara eksplisit pada formulasi
untuk mencapai karakteristik pengoberan yang ditentukan. Fitur utama dalam
sistem lumpur KCl Polymer Polyamine termasuk high shale stability, inhibitor
clay dan cutting, meningkatkan laju rate of penetration (ROP), memimalkan bit
balling dan akresi (accretion), dapat mengurangi torsi dan drag, dan ramah
lingkungan.
Perkembangan kegiatan industri pengeboran, peraturan tentang drilling
waste disposal atau dikenal sebagai pembuangan limbah pengeboran telah
diimplementasikan ke seluruh dunia, terutama limbah lumpur. Industri
mengantisipasi bahwa nol pembuagan limbah drilling kontaminasi minyak akan
segera menjadi standar global.
48

Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine ini diharapkan menjadi solusi


efektif dalam menjawab tantangan global yang mana sistem lumpur dapat
mengatasi swelling pada formasi reactive clay maupun shale (shale inhibitor)
sama efisiennya dengan penggunaan lumpur invert emulsion drilling fluids
(oil/synthetic based mud). Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine ini dapat
menjadi terobosan terbarukan masalah pada drilling waste management,
mengurangi biaya dan kontaminasi minyak sehingga mengurangi dampak
lingkungan. (Witthayapanyanon et al., 2013)
 KCl (Potassium Chloride)
Potassium chloride (KCl) juga mempunyai kemampuan mencegah
laju pengembangan clay. Sifat inhibitif KCl tergantung pada
konsentrasinya, yang disesuaikan dengan karakteristik shale-nya. Aditif
KCl dalam air akan terurai menjadi ion K+ dan Cl-.
Dalam menstabilkan mineral shale, ion-ion K+ akan menggantikan
kedudukan ion Na+. Menjadikan ion K+ akan terikat jauh lebih kuat
dibandingkan ion Na+. Ion-ion K+ memiliki jari-jari atom yang dapat
menutup mikrofaktur shale sehingga mencegah masuknya air kedalam
mikrofaktur sehingga mengurangi hidrasi shale dan Cl- menyeimbangkan
kegaraman formasi.
● Polyamine
Polyamine sebagai shale inhibitor yang larut dalam air,
memisahkan gugus amino dengan jarak antar lapisan clay, dapat tertanam
ke dalam lapisan kristal dengan penghambatan yang sangat baik dari
hidrasi clay dan efek swelling, kondusif untuk menjaga stabilitas lubang
sumur, sebagai inhibition lumpur pengeboran. Karakteristik dari
polyamine sebagai berikut :
- Penghambatan shale pada lumpur, ekspansi, kinerja dispersi secara
signifikan.
- Dengan jumlah kecil, dapat didaur ulang, efek kerja dengan waktu yang
lama.
- Kompatibilitas yang baik dengan sistem fluida pengeboran.
49

- Ramah lingkungan.
Sistem lumpur KCl polymer polyamine berfungsi membantu nilai
K+ sebagai shale inhibitor seperti contoh (Gambar 2.6.). Peran polyamine
pada lumpur KCl polymer polyamine dapat membantu kinerja ion K+ yang
mempunyai sistem melindungi permukaan batuan shale dengan lapisan
yang terikat secara ionik sehingga menghambat clay dan mengurangi
hidrasi pada dinding formasi shale, agar lapisan shale tidak mengembang.

Gambar 2.6.
Ion Exchange-Limit Hydration
(Madani Alam Lestari, “Sharing Knowledge” 2019)

● Partially-Hydrolyzed polyacrilamide (PHPA)


Komponen PHPA terbentuk dari pembentukan acrylonitrile
terpolimerisasi membentuk polyacrylonitrile yang mana kemudai
paartially hydrolyzed membentuk acrylamide dan group acrylic acid
sepanjang rantai polymer pada (Gambar 2.7.) polymer ini dikenal sebagai
PHPA, dan clay extender, floculant, dan encapsulation colloid.
PHPA didesain untuk menyediakan cutting encapsulation
(membungkus cutting) dan stabilisasi shale. PHPA juga berperan sebagai
viscosivier, friction reducer, floculant, dan memberikan fluid loss control
agent. PHPA encapsulator adalah high melcular weight PHPA copolymer
dapat digunakan pada sistem lumpur range dari low solid sampai lumpur
berat, baik dari air tawar maupun air asin.
50

Gambar 2.7.
Pembuatan PHPA dari Monomer
(Chevron Texaco & BP, “Drilling Fluids Chevron Texaco & BP” 2002)
PHPA memberikan encapsulasi pada cutting dan memperbaiki
wellbore stability. Konsentrasi biasanya 0,25-2 lb/bbl efektif pada salt
mud seperti KCl dan NaCL, walaupun sedikit membutuhkan persyaratan
pada konsentrasi yang tinggi. Adittive PHPA dapat digunakan pada clean
water dan lumpur bebas solid. PHPA menaikkan solid removal dengan
flokulasi padatan yang tidak diinginkan. Namun PHPA terdapat batasan
yaitu selama treatment awal aditif PHPA dalam sistem lumpur non
dispersed, bisa terjadi frokulasi parah dikarenakan viskositas yang tinggi
sampai semua solid terlapsi (coated). pH sensitif pada range 8,5-10,5,
sedangkan pada level pH diatas range hidrolsis bisa terkonversi acrylmide
kedalam acrylate dan melepaskan ammonia (NH3), suhu stabil sekitar
350oF, sensitif terhadap calcium dan akan terjadi pengendapan ketika
konsentrasi calcium mencapai 300 mg/L.
● Glycol
Glycol memberikan properti penghambat shale melalui adsopsi
kimia. Glycol larut dalam air ditambahkan ke lumpur untuk meningkatkan
kualitas inhibitive, glycol yang ditambahkan sebagai cairan dan biasanya
dijaga sebagai persentase dari fasa cair (2-5% dari total volume lumpur).
Tiap-tiap kontraktor utama drilling fluid memasarkan pilihan glycol,
secara sederhana ditambahkan sebagai tambahan untuk sistem lumpur
inhibitor polymer base seperti KCl.
51

Fungsi glycol dengan melapisi shale dan dengan mengganggu


mekanisme filtrate. Pengaruh inhibitive yang digunakan merubah
kelarutan, yang mana tiap diberikan glycol, terjadi kedalam range
temperatur khusus dan salinity dan seharusnya terjadi dibawah lubah bor.
Ketika glycol ditambahkan kedalam sampel air pada suhu ruangan
glycol akan larut dan tidak terlihat, ketika suhu dinaikkan glycol akan
keluar dari larutan. Jika suhu dinaikkan secara kontinu, pemisahan total
glycol dan air akan terjadi. Titik dimana glycol akan menguntungkan pada
lumpur adalah ketika glycol (partially soluble) sebagian tidak larut dan
dikenal sebagai titik kabut (cloud point). Fenomena cloud point akan
efektiktif ketika dilakukan rekayasa dan terjadi didalam lubang.
Cloud point seharusnya terjadi pada suhu sirkulas dasar lubang
atau BHCT (bottom hole circulating temperature) sebagian dari glycol
yang tidak larut kemudian ada untuk diadsobsi oleh shale, dengan
demikian membentuk segel pelindung pada shale dan membatasi hidrasi
shale terhadap air.
2.4.2. Emultion Based Muds
Lumpur jenis ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai
fasa continue. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dasar dapat
digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisis yang dipengaruhi
emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake, dan
pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss berkurang, filter cake menjadi
tipis, dan torque putaran drillstring benyak berkurang. Keuntungannya adalah bit
yang lebih tahan lama, penetration rate baik, pengurangan korosi pada drill
string, perbaikan pada sifat-sifat lumpur, viskositas dan tekanan pompa dapat
dikurangi, water loss turun, mud cake turun (mud cake tipis), dan mengurangi
bailling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string. Viskositas dan
gel lebih mudah dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak sebagai thinner.
Umumnya oil in water emultion mud dapat bereaksi dengan penambahan
zat dan adanya kontaminasi sama seperti lumpur aslinya. Semua minyak (crude)
52

dapat digunakan, tetapi lebih baik bila digunakan minyak refinery (refinery oil)
yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Uncracked (tidak perpecah-pecah molekulnya) supaya stabil.
2. Flash point tinggi untuk mencegah bahaya api.
3. Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakan karet-karet
dipompa atau bias dibilang sebagai circulation system.
4. Pour point rendah agar bisa digunakan untuk bermacam-macam temperatur.
Keuntungan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorecensinya lain
dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi), maka ini berguna untuk
pengamatan cutting oleh geologi dalam menentukan adanya minyak di pemboran
tersebut. Adanya karet yang rusak dapat dicegah menggunakan karet sintesis.
● Fresh Water in Water Emulsion Mud.
Fresh water oil in water emultion mud adalah lumpur yang
mengandung NaCl sampai sekitar 60.000 ppm. Lumpur emultion ini dibuat
dengan menambahkan emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud
diikuti dengan sejumlah minyak yang biasanya 5-25% volume. Jenis
emulsifier bukan sabun lebih disukai karena ia dapat digunakan dalam
lumpur yang mengandung larutan Ca+ tanpa memperkecil emulsifiernya
dalam hal efesiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan agitasi
dan penjagaannya secara periodic ditambahkan minyak dan emulsifier.
Maintenancenya terdiri dari penambahan minyak dan emulsifier
secara periodik. Jika sebelum emulsifikasi lumpurnya mengandung
persentase clay yang tinggi, pengenceran dengan sejumlah air perlu
dilakukan untuk mencegah kenaikan viscositas. Karena keuntungan dalam
pemboran dan mudahnya pengontrolan maka lumpur ini disukai orang.
● Salt Water Oil in Water Emulsion Mud
Salt water oil in water absorption mud mengandung paling sedikit
60.000 ppm NaCl dalam fasa cairnya. Emulsifikasi dilakukan dengan
emulsifier agent-organik. Lumpur ini biasanya mempunyai pH dibawah 9,
dan cocok untuk digunakan pada daerah dimana perlu dibor garam massive
atau lapisan-lapisan garam. Emulsi ini mempunyai keuntungan-keuntungan
53

seperti juga pada fresh water emultion pertama-tama densitasnya kecil,


kedua filtration loss sedikit dan mud cake tipis dan lubrikasi lebih baik.
Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming yang bisa dipecahkan
dengan penambahan surface active agent tertentu. Maintenance lumpur ini
sama dengan salt mud biasa kecuali perlunya menambah emulsifier,
minyak, dan surface active defoamer (anti foam).
2.4.3. Oil Based Muds
Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinunya. Komposisinya
diatur agar kadar airnya rendah (3-5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif
terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek
negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikan gel
strength, mengurangi efek kontaminan air dan mengandung filtare loss, perlu
ditambahkan zat-zat kimia.
Fungsi oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah
minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik
terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (juga untuk completion mud).
Fungsi terbesar adalah pada completion dan work over sumur. Kegunaan lain
adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah pemasangan
casing dan liner.
Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki besi untuk
menghindarkan kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak kotor dan
bahaya api berkurang. Oil base emultion dan lumpur oil base mempunyai minta
sebagai fasa kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion
mud mempunyai faedah yang sama seperti oil base mud, yaitu filtratnya minyak
dan karena menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaannya dengan oil base
mud bahwa air ditambahkan sebagai tambahan (bukan kontaminasi).
2.4.4. Gaseous Drilling Fluid
Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering dengan
gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak boleh bocor.
Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya formasi air
dapat menyebabkan bit bailing (bit dilapisi cutting/padatan-padatan) dan pipe
54

sticking yang merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan
digunakannya cara ini, tapi sebaliknya formasi dengan tekanan kecil cocok
dengan cara ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan yang ketat
pada bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zona-zona dengan
tekanan rendah.
Telah dibuktikan dengan data-data dari lapangan dan laboratorium, bahwa
udara dan gas merupakan drilling fluid yang lebih baik dari pada cairan seperti
lumpur, daam hal penetration rate, maupun dalam menanggulangi lost circulation
dan untuk well completion. Penetration rate dapat naik, terutama disebabkan oleh
tidak adanya kolom lumpur yang besar pada formasi yang mana menyebabkan
formasi menjadi liat dan sulit dibor, selain itu penggunaan udara menyebabkan
formasi mudah menjadi pecah serta cutting mudah dibersihkan, hanya cara ini
tidak dapat digunakan pada pemboran wild cat atau eksplorasi. Suatu cara
pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated mud drilling dimana
sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan pada sirkulasi lumpur untuk
memperendah tekanan hidrostatik (untuk lost circulation zone), mempercepat
pemboran dan mengurangi biaya pemboran.
2.5. Batuan Shale dan Mineral Clay
Pemboran menembus lapisan shale mempunyai permasalahan sendiri.
Menjaga agar shale stabil, tidak runtuh atau gugur dan longsor merupakan suatu
masalah, tidak ada suatu cara yang pasti yang dapat diterapkan untuk semua
keadaan. Pemboran yang menembus formasi shale akan menemui permasalahan,
terutama pemboran yang menembus formasi yang tidak kompak. Problem
tersebut adalah runtuhnya formasi shale ke dalam lubang bor. Formasi yang
runtuh dapat menyebabkan lubang bor membesar, pipa bor terjepit, penyemenan
yang kurang sempurna, bertambahnya kebutuhan lumpur dan kesulitan logging.
Shale atau serpih biasanya merupakan hasil endapan lingkungan laut,
terutama terdiri dari lumpur, silt, dan clay. Bila makin dalam letaknya, karena
tekanan overburden dan temperatur yang tinggi, endapan tersebut mengalami
konsolidasi menjadi serpih (shale). Ditinjau dari material yang dikandungnya,
shale yang mengandung pasir disebut arenaceous shale, yang berisi kalsium
55

karbonat disebut calcareous shale, mengandung besi disebut ferrogenous shale,


sedangkan yang mengandung material organik disebut carbonaceous shale. Shale
merupakan jenis batuan yang mineral penyusunnya sebagian besar berupa mineral
lempung atau clay.
2.5.1. Komposisi Kimia Batuan Shale
Komposisi dasar shale adalah mineral clay. Tipe clay yang sering terdapat
dalam formasi hidrokarbon yaitu montmorillonite, illite, dan kaolinite. Komposisi
kimia dari tipe-tipe itu meliputi, montmorillonite terdiri dari 3 lapisan struktur,
dimana dua lapisannya adalah Si4O10, kandungan O2 dalam ikatan tersebut tidak
dapat dipisahkan secara langsung. Tingkat swellingnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan clay yang lain. Illite mempunyai pola dasar seperti
montmorillonite kecuali ion K+ yang menempati posisi antara pola lapisan. Illite
dikategorikan sebagai clay non swelling walaupun sedikit mengabsorbsi air.
Kaolinite terdiri dari dua lapisan struktur, terbentuk dari Si2 (PO)4 dan terbentuk
dari aluminium hidroksil. Kaolinite relatif tidak mengembang bila kena air.
Pada umumnya unsur penyusun shale ini terdiri dari lebih kurang 58%
silicon dioxide (SiO2), 15% alumunium oxie (Al2O3), 3% calcium oxide (CaO),
3% potassium oxide (K2O), 1% sodium oxide (Na2O), dan 5% air (H2O). Sisanya
adalah metal oxide dan anion, terlihat komposisi kimia shale.
2.5.2. Tekstur Batuan Shale
● Perlapisan (Laminatos)
Perlapisan dari shale memiliki ketebalan berkisar antara 0.05-1.00
mm, dengan kebanyakan dari perlapisan pada kisaran 0.1-0.4 mm.
Perlapisan ini terbentuk akibat:
 Pertukaran partikel dengan butir bagus dan kasar seperti silt dan clay
 Penukaran lapisan terang dan lapisan gelap yang dibedakan oleh
kandungan organiknya.
 Pertukaran kandungan antara calcium carbonat dan silt. Pertukaran ini
menyangkut berbagai material sepertinya adalah dalam kaitan dengan
tingkat kecepatan pengendapan differensial beberapa unsur yang
berbeda saat mengendap pada cekungan pengendapan.
56

● Porositas
Porositas tanah liat yang baru saja mengalami proses pengendapan
mempunyai nilai yang sangat besar. Mungkin bisa mencapai 50 % atau
bahkan lebih. Porositas serpihan secara harfiah kecil. Walaupun rata rata
tanah liat mempunyai porositas sebesar 27 %, porositas rata rata serpihan
hanya 13%.
2.5.3. Jenis-Jenis Shale
Shale biasanya merupakan hasil endapan marine basin (lautan basin),
terutama dari lumpur, silts, dan clays. Dikarenakan bentuknya yang lunak,
biasanya disebut clay, bila makin dalam, maka karena tekanan dan temperatur
yang tinggi endapan ini akan mengalami perubahan bentuk (consolidation), dan
disebut sebagai shale, karena perubahan bentuk proses metamorfosis disebut
slate, phylite atau mica schist. Shale banyak mengandung pasir disebut
arenaceous shale, sedang yang banyak mengandung organik material disebut
carbonaceous shale. Adapun jenis-jenis shale sebagai berikut:
a. Pressured Shale
Lapisan shale yang mengandung lensa pasir, mempunyai tekanan
gas yang tinggi. Lapisan ini bila dibor dengan lumpur yang tekanan
hidrostatisnya lebih kecil dari tekanan formasi, maka akan terjadi
longsoran (sloughing) dan runtuhan (caving).
Pressured shale pada proses pengendapnnya akan terendapkan
juga sandstone diantara endapan shale (Montmorillonite atau Smectite),
sehingga terjadi penekanan lapisan shale oleh batuan yang terendapkan
diatasnya (overburden pressure). Akibatnya timbul tekanan potensial
untuk mengimbangi lapisan batuan. Pada saat shale ditembus dalam
pemboran, lapisan shale yang terdapat disana bertekanan relatif tinggi
bahkan menyamai tekanan overburden yang akan mengakibatkan dinding
lubang bor rutuh.
Penanggulangan terhadap problem ini adalah dengan menaikkan
berat jenis lumpur, sehingga tekanan hidrostatisnya meningkat, dengan
meningkatnya tekanan hidrostatis maka kemungkinan terjadi longsoran
57

(sloughing) dan runtuhan (caving) akan dapat dihindari. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah menjaga agar lubang bor tetap terisi penuh pada
waktu cabut dan masuk pahat serta mengurangi kemungkinan swabbing
dengan menurunkan viskositas dan gel strength
b. Bentonic Shale
Shale jenis ini mengandung colloidal clay yang kemampuan
hidrasinya menyerupai bentonite. Hidrasi ini akan menyebabkan bentonic
shale memuai ke dalam lubang bor, sehingga menimbulkan bagian yang
sempit. Hal ini ditandai dengan kenaikan torsi dan drag serta bit bailing.
Didalam interlayer bentonic shale terdapat montmorillonit atau
smectite yang tidak hanya terhidrasi, tetapi juga dapat mengembang, yaitu
pemisahan antara lembaran smectie individu bervariasi dengan jumlah air
yang ada dalam tanah.
Tanah yang memiliki smectite konsentrasi tinggi dapat mengalami
perubahan volume sebanyak 30% karena pembasahan dan pengeringan
atau tanah ini memiliki potensi penyusutan atau pengembangan yang
tinggi dan setelah pengeringan akan membentuk retakan yang dalam.
Untuk mengurangi hidrasi dari bentonic shale ini, dapat dilakukan
dengan menurunkan water loss. Hal lain yang berpengaruh dalam
menghadapi shale ini adalah:
 pH diusahakan konstan, biasanya berkisar 8,5-9,5.
 Berat lumpur cukup untuk menahan dinding lubang bor.
 Air filtrasi diusahakan rendah.
c. Fractured Brittle Shale (Sloughing Shale)
Fractured brittle shale atau yang biasa disebut sloughing shale ini
merupakan jenis shale sangat rapuh, serta mempunyai rekahan (fracture)
yang miring, dan mineral penyusunnya adalah Illite dan clorite. Lapisan
ini mudah runtuh ke dalam lubang bor. Apabila salinitas lumpur pemboran
lebih besar daripada salinitas formasi, maka formasi akan mudah gugur ke
dalam lubang pemboran.
58

Penanggulangan problem pada jenis shale ini yakni dengan cara


menurunkan water loss dan bila mungkin menaikkan berat jenis lumpur
pemborannya sehingga tekanan hidrostatisnya juga akan naik.
2.5.4. Mineral Clay
2.5.4.1. Karakteristik Mineral Clay
Clay merupakan mineral yang bersifat plastik yang umumnya adalah
hydrous silicate dari alumina, yang terbentuk akibat dekomposisi dari feldspar
dan mineral aluminum silika yang lain. Mineral ini termasuk dalam phyllosilikat
(sillicate layers) yang terdiri dari beberapa struktur lapisan yang terdiri dari
beberapa struktur lapisan. Dikenal dua tipe dasar yaitu T-O dan T-O-T, dimana T
adalah struktur tetrahedral dan O adalah struktur oktahedral. Tetrahedral dan
oktahedral adalah lembaran-lembaran yang terdiri atas koordinasi dari atom-atom
penyusun struktur perlapisan silikat (layer sillicate structures).
Mineral clay dalam ukuran yang sangat kecil, dalam media air akan
membentuk koloid mentastabil yang sangat tergantung kepada muatan listrik
partikel, sehingga diperluken elektrolit untuk menstabilkannya. Mineral clay
umumnya insoluble didalam air namun terdispersi saat terjadi hidrasi. Clay
merupakan bentuk gabungan dari banyak unit layer yang menyatu secara paralel.
Mineral clay terbentuk secara baku berdasarkan struktur ikatan atom-atom yang
terkait. Berdasarkan perihal ini, mineral clay terbagi menjadi two layer mineral
dan three layer mineral.
2.5.4.2. Stuktur Mineral Clay
Mineral clay atau lempung susunan bangun molekulnya dapat
dibayangkan sebagai lapisan-lapisan pipih yang terdiri dari molekul-molekul
allumina dan silikat yang saling bertumpuk seperti tumpukan-tumpukan kertas
dan terikat satu dengan lainnya oleh kation, berupa ion positif dari Na dan Ca.
Secara umumnya mineral clay tersusun dari dua unit struktur (bangun) utama
yang membentuk blok pada kisi-kisi atomnya, yaitu:
a. Tetrahedral
Bangun lima segi empat beraturan dimana atom Silika (Si) sebagai pusat
dan sudut-sudutnya di tempati oleh atom O dan OH, menunjukkan hubungan
59

antara molekul-molekul dalam satu lapisan. Tiga dari empat atom oksigen
penyusun molekul tersebut terbagi oleh molekul lain yang berdekatan, serta
jelas terlihat bahwa atom oksigen pada puncak bangun bersifat lebih besar
dan atom inilah menjadi sarana pembentuk ikatan dengan bangun lainnya.
b. Oktahedral
Bangunan berisi delapan beraturan dengan atom almunium sebagai pusat
dan sudut-sudutnya ditempati oleh atom oksigen (O) atau hidroksil (OH).
2.5.4.3. Klasifikasi Mineral Clay
Berdasarkan komposisi mineral penyusun dan ikatannya, maka mineral
clay dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Kaolinite
Kaolinite disebut juga two-layer clay, yaitu struktur sheet-nya
terdiri dari satu tetrahedral sheet dan satu octahedral sheet. Ikatan
(hydrogen bounding) antar kristal/sheet sangat lemah dan penyerapan
molekul-molekul H2O sangat kecil sekali, hal ini mencegah ekspansi
partikel karena air tidak dapat menembus lapisan. Oleh karena itu kaolinite
tidak swelling pada kondisi dalam formasi, seperti contoh (Gambar 2.8.).
Pengelompokkan partikel-partikel kaolinite biasanya berbuku-buku.
Bentuk partikelnya lebih teratur (persegi). Ruang yang terbentuk antara
dua lattice dalam satu kristal disebut sebagai basal plane. Antara dua
lattice dalam satu kristal terikat oleh sisi hydroxil (OH) dari alumina
octahedral (gibsite) dan sisi oxygen dari silica tetrahedral. Ikatan hidrogen
mempunyai karakteristik cukup kuat, akibatnya mengembang (swelling).

Gambar 2.8.
Diagram Struktur Mineral Kaolinite
(Lummus, J. “Drilling Fluids Optimization“ 1986)
60

2. Smectite atau Montmorilonite


Montmorillonite mempunyai struktur sheet 3 lapis (aluminica
octahedral ditengah dan 2 silica tetrahedral di sisi luar) dan atom-atom
oksigen yang berdekatan saling mengikat. Bilamana sebagian atau
seluruh unsur Al3+ digantikan oleh Fe2+ atau Mg2+, dan Si4+ oleh Al3+
maka permukaan partikel-partikel montmorillonite akan bermuatan
negatif. Muatan negatif ini biasanya diimbangi dengan mengikat (ikatan
kimiawi) ion-ion Ca2+ dan atau Mg2+, H+, K+, Na+. Ikatan (fisik) antar
layer (kristal) yang lemah mengakibatkan kemudahan bagi molekul-
molekul air untuk masuk terabsorbsi kedalam celah-celah antar
layer/kristal. Hal ini sebetulnya diakibatkan oleh kecenderungan kation-
kation (Ca2-, Na+ dsb.) untuk terhidrasi (yaitu mengikat molekul-molekul
H2O), dapat dilihat pada contoh (Gambar 2.9).

Gambar 2.9.
Diagram Struktur Mineral Smectite atau Montmorillonite
(Lummus, J. “Drilling Fluids Optimization “ 1986)
3. Illite
Illite disebut juga sebagai three-layer clay seperti halnya dengan
montmorillonite karena struktur sheetnya sama (yaitu dua silica
tetrahedral sheet dan satu octahedral sheet) namun mempunyai
perbedaan, bahwa permukaan unit kristal mengikat kation kalium (K+) dan
sifatnya relatif tetap. Walaupun K+ dapat menarik molekul-molekul H2O
tetapi karena ikatan antara unit-unit kristalnya kuat maka penyerapan
molekul-molekul H2O sangat terbatas dan tidak menyebabkan
pengembangan partikel-partikel illite secara signifikan. Pada clay jenis ini
61

memiliki sifat lebih dispersif apabila terjadi kontak dengan air seiring
bertambahnya kedalaman, dapat dilihat pada contoh (Gambar 2.10).
Partikel-partikel illite berbentuk panjang (rambut) dan
montmorillonite berbentuk pipih kecuali stacked (pelapisan). Ukuran
bervariasi, mulai dari yang lebih kecil 1 micron sampai beberapa micron.

Gambar 2.10.
Diagram Struktur Mineral Illite
((Lummus, J. “Drilling Fluids Optimization” 1986)
4. Attapulgite
Attapulgite mempunyai struktur sheet yang tidak teratur. Terbentuk
dari rantai panjang silika yang dihubungkan oleh A13+ atau Mg2+.
Kristalnya berbentuk jarum, partikel attapulgite mempunyai struktur dan
bentuk yang sangat berbeda dengan mineral jenis mika. Jenis clay ini
dapat mengasilkan viskositas dan yield point yang tinggi baik pada air
tawar maupun air asin.
2.5.4.4. Distribusi Mineral Clay dalam Batuan Shale
Distribusi mineral clay dalam batuan terutama terdapat pada batuan pasir
yang akan membentuk suatu pola tertentu, yaitu:
 Laminated
Partikel clay akan membentuk lapisan-lapisan yang kontinyu
diantara lapisan batu pasir secara berselang sering. Lapisan clay yang tidak
terlalu tebal. tidak akan banyak mempengaruhi besarnya porositas dan
permeabilitas.
62

 Dispersed
Partikel clay menyebar secara tidak beraturan didalam seluruh
batuan dan distribusi seperti inilah yang sangat mempengaruhi besarnya
porositas dan permeabilitas batuan.
 Struktural
Penyebaran mineral clay yang teratur dan hampir mendekati
bentuk penyebaran pada laminasi atau continous. Pada bentuk penyebaran
continous dan structural, lapisan mineral clay akan menerima tekanan
overburden sama besar dengan lapisan mineral clay pada lapisan lain pada
formasi tersebut. Sedangkan untuk distribusi yang menyebar, tekanan pada
tubuh batuannya lebih dominan mengalami tekanan hidrostatik yang
disebabkan banyaknya air yang bereaksi dengan mineral clay membentuk
suatu koloid, sehingga struktur distribusi ini disebut juga sebagai distribusi
colloidal clay sand.
2.5.4.5. Sifat Hidrasi Mineral Clay
Proses hidrasi air (air tiltrat lumpur bor dan air formasi) oleh clay yang
mengaakibatkan clay tersebut mengembang (swelling), tergantung dari jenis air
yang terhidrasi (asin atau tawar) serta struktur mineral clay yang bersangkutan.
Berdasarkan strukturnya, mineral clay dibedakan yaitu clay yang dapat
mengembang (clay swelling) dan clay yang tidak dapat mengembang (clay non
swelling). Sedangkan proses hidrasinya berlangsung dengan dua metoda, yaitu
hidrasi osmosis dan hidrasi permukaan yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Hidrasi Permukaan
Diketahui molekul air adalah polar, maka baik kation maupun
permukaan plat clay saling menarik molekul-molekul air. Molekul-
molekul air yang positif akan mengelilingi ion-ion yang bermuatan
negatif pada permukaan plat clay, sedangkan molekul-molekul air yang
bermuatan negatif mengelilingi ion-ion yang bermuatan positif. Kation
yang telah terhidrasi ini tetap tertarik pada permukaan plat clay karena
keduanya mempunyai muatan yang berbeda, oleh sebab itu seolah- olah
terdapat dua lapisan air yang melapisi permukaan clay. Kombinasi dari
63

kedua buah lapisan air yang dekat dengan plat-plat clay ini disebut dmilse
double layer dan mekanismenya disebut mekanisme hidrasi permukaan
(surface hydration). Pada hidrasi permukaan ini terjadi penyerapan air
oleh clay meskipun penyerapan kecil tetapi tidak mengembang, namun
memiliki energi hidrasi yang cukup tinggi, yaitu sebesar:
He = Po – Pp ........................................................................................... (2-16)
Keterangan:
He = tekanan hidrasi, psi
Pov = tekanan overburden (umumnya 1 psi/R)
Pp = tekanan pori-pori batuan, psi.
2. Hidrasi Osmosis
Hidrasi osmosis terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi ion
yang ada pada permukaan plat clay dengan konsentrasi ion dalam lumpur.
Karena itu hidrasi clay tergantung pada konsentrasi elektrolit dalam cairan
pemboran. Hidrasi osmosis ini dapat menyerap air dalam jumlah besar,
yang akan mengakibatkan lemahnya ikatan-ikatan ion yang ada pada
kisi-kisi mineral yang bersangkutan, sehingga volume dapat
membengkak atau swelling. Berdasarkan konsep kelembaban relatif
dalam termodinamika, persamaan untuk menentukan tekanan osmosis
dari dua larutan sebagai berikut :
Pos = R T (k1C1n1 – k2C2n2) ................................................................ (2-17)
Keterangan:
Pos = tekanan osmosis, atm
C = konsentrasi garam dalam larutan, molal
R = konstanta gas
T = temperatur absolut, OK
k = koefisien dari larutan
n = jumlah ion dalam larutan per mol
Proses hidrasi tersebut disebabkan adanya perbedaan konsentrasi
ion- ion yang ada pada permukaan plat-plat clay dan fluida di sekitarnya.
Konsentrasi ion-ion pada permukaan plat clay lebih besar dari pada
64

konsentrasi fluida sekitamya, akibatnya molekul-molekul air tersebut


tertarik kedalam plat-plat clay, Hidrasi osmotic ini dapat menyerap air
dalam jumlah besar, yang mengakibatkan lemahnya ion-ion yang ada di
dalam clay, khususnya pada sodium monmorillonite yang mana menjadi
lunak dan volumenya membesar sampai beberapa kali.
Kondisi air yang terikat/diserap oleh mineral clay terbagi dalam
tiga kategori, yaitu :
 Air yang berada dalam pori-pori, dipermukaan, dan disekeliling partikel-
partikel mineral clay
 Air yang berupa sisipan-sisipan diantara bidang perlapisan unit silikat
dapat mengakibatkan mengembangya mineral clay tersebut
 Air terdapat dalam tabung-tabung terbuka diantara perpanjangan unit-
unit strukturnya
2.5.4.6. Tingkatan Penggantian Ion Mineral Clay
Dapat diketahui tingkatan penggantian ion yaitu dengan:
 Ion size yaitu, cation dengan non-hydrated raduis besar atau hydrated radius
kecil mempunyai kekuatan menggantikan lebih besar. Bersarkan aturan
nomor satu dan dua umumnya urutan penggantion ion adalah Li+ < Na+ < K+ <
NH4+ < Rb+ < Cs+ < Mg2+ < Ca2+ < Ba2+ < Cu2+ < Al3+ < Fe3+.
 Valence (primarily), yaitu valensi cation tinggi bisa mengantikan valensi
cation rendah.
 Relative amount, yaitu konsentrasi besar dari Na+ bisa menggantikan Al3+.
BAB III
PROSEDUR DAN HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini akan membahas mengenai peralatan, bahan, meredesain


formulasi lumpur KCl Polymer Polyamine, perhitungan, analisa, dan langkah-
langkah dalam pengujian sifat lumpur.
Spesifikasi sifat fisik lumpur KCl Polymer Polyamine yang telah ditentukan
oleh PT. Pertamina yang dikondisikan pada keadaan trayek 17,5” sumur existing
pada Formasi Cisubuh dengan teperature 200 oF menggunakan kontaminan 35
ppb Bentonite Non Treatment sebagai kontaminan native clay berdasarkan
standar API 13-A 10.1.1. Bentonite NT mengandung mineral smectite dengan
montmorilonite dan illite pendukung (sisipan) seperti kuarsa, mika, feldspar, dan
kalsit (Wardani, R. 2017; Hanifiah, A. 2019; API 13A-10.1.1). Diharapkan
lumpur tersebut diduga dapat menembus Formasi Cisubuh yang dimana dalam
formasi tersebut litologi penyusunnya batuan shale berselingan dengan batupasir
dan serpih gampingan. Pada penelitian ini penulis akan meredesain sample 1
lumpur KCl Polymer Polyamine dari PT. Elnusa Tbk yang belum sesuai dengan
spesifikasi sifat fisik mud properties, lalu sample 1 lumpur diredesain dan diuji
hingga nilai properties lumpur sesuai dalam range mud properties yang telah
ditentukan. Dakhiri dengan pemilihan satu formulasi lumpur yang memiliki nilai
properties sesuai dengan sifat fisik, sehingga lumpur tersebut dapat diaplikasikan
pada beberapa sumur dari PT. Pertamina di Jawa Barat bagian Utara trayek
17,5”. Kinerja lumpur KCl Polymer Polyamine yang sesuai, diharapkan dapat
memberikan terobosan baru dalam upaya pencegahan problem swelling shale
pemboran penembusan batuan shale sisipan batu pasir dan serpih gampingan.
3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan
Dalam pengujian sample lumpur KCl Polymer Polyamine dilaboratorium
ini menggunakan beberapa alat dan bahan yang bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh dari lumpur tersebut terhadap sifat fisik dan sifat kimia
lumpur KCl Polymer Polyamine.

65
66

3.1.1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ialah:
1. Gelas Ukur
Gelas ukur berfungsi mengukur berapa banyak air yang akan digunakan
pada lumpur dasar dan mud filter, dengan penggunaan ukuran gelas ukur yang
berbeda. Gambar dapat dilihat pada (Gambar 3.1.)

Gambar 3.1.
Gelas Ukur
(Laboratorium Analisa Lumpur Peboran)
2. Gelas Beaker
Gelas beaker digunakan untuk mengukur volume lumpur yang telah
dibuat. Pada penelitian ini formulasi KCl Polymer Polyamine yang dibuat
adalah 350 ml, pada gelas ini akan diukur apabila ada kenikan volume lumpur
maka mengindikasikan adanya foaming. Gambar dapat dilihat (Gambar 3.2)

Gambar 3.2.
Gelas Beaker
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
67

3. Timbangan Digital
Timbangan digital digunakan untuk menimbang berapa banyak additive
yang akan digunakan untuk membuat formulasi KCl Polymer Polyamine
dengan ketelitian 0,0001. Gambar dapat dilihat pada (Gambar 3.3)

Gambar 3.3.
Timbangan Digital
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
4. Mud Mixer dan Cup
Mud Mixer digunakan untuk mengaduk lumpur sehingga seluruh
komposisi dapat tercampur sempurna, dan cup sebagai wadah lumpur.
Gambar dapat dilihat pada (Gambar 3.4)

Gambar 3.4.
Mud Mixer dan Cup
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
68

5. Hot Roll atau Rolling Oven


Rolling Oven berfungsi untuk menaikkan temperature juga memberi
tekanan terhadap lumpur, hal ini dilakukan untuk menyamakan kondisi
temperature dilaboratorium dengan kondisi temperature trayek 17,5” dapat
dilihat pada (Gambar 3.5)

Gambar 3.5.
Rolling Oven
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
6. Mud Balance
Mud Balance digunakan untuk mengetahui densitas lumpur atau
dikenal dengan mud density, dengan satuan SG (spesific gravity) gr/cc
atau satuan pound per gallon (lb/gal). Gambar dapat dilihat pada
(Gambar3.6)

Gambar 3.6.
Mud Balance
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
69

7. Rheometer 6 Speed (VG Meter)


Rheometer 6 Speed digunakan untuk mengukur sifat fisik lumpur
atau dikenal dengan rheology seperti plastic viscosity (PV) dengan satuan
centipoise (cp), yield point (YP) dengan satuan pound per 100 feet kuadrat
(lb/100ft2), gel strength 10” (sec) dengan satuan pound per 100 feet
kuadra (lb/100ft2), dan gel strength 10’ (min) dengan satuan pound per
100 feet kuadrat (lb/100ft2). Gambar dapat dilihat pada (Gambar 3.7).

Gambar 3.7.
Rheometer 6 Speed
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
8. pH Meter
pH meter digunakan untuk mengetahui nilai pH pada lumpur yang
digunakan, apakah bersifat asam atau basa. Gambar dapat dilihat pada
(Gambar 3.8)

Gambar 3.8.
pH Meter
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
70

9. Erlemeyer dan Hot Plate


Erlemeyer berfungsi untuk menadah dan Hot Plate ini digunakan
untuk memanaskan lumpur, air, hidrogen peroksida, dan asam sulfat.
Pengujian MBT bertujuan untuk mengetahui kandungan clay pada lumpur.
Gambar dapat dilihat pada (Gambar 3.9)

Gambar 3.9.
Erlenmeyer, Mud With Chemicals, and Hot Plate
(Chevron Drilling Fluids Manual)
10. Filter Press
Filter Press digunakan untuk mengetahui volume filtrate yang
dihasilkan dari lumpur yang digunakan setelah diberi tekanan sebesar 100
psi. Filtrate yang didapatkan, lalu diukur dengan gelas ukur silinder 10 ml
atau 25 ml yang mengindikasikan banyaknya filtrate yang masuk kedalam
formasi. Gambar dapat dilihat pada (Gambar 3.10).

Gambar 3.10.
Filter Press
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran)
71

3.1.2. Additive dan Bahan yang Digunakan


Dalam pembuatan lumpur KCl Polymer Polyamine yang berbahan dasar
air ini, menggunakan material-material lumpur berdasarkan standar API sesuai
kebutuhan, dijelaskan juga fungsi-fungsi dari setiap material yang akan digunakan
dalam mendesain lumpur KCl Polymer Polyamine. Sehingga berikut beberapa
additive dan bahan dasar yang digunakan, akan dijelaskan fungsinya terhadap
lumpur:
1. Fresh Water
Fresh water atau air (tawar) digunakan sebagai bahan dasar dalam
pembuatan sample lumpur KCl Polyer Polyamine ini.
2. Caustic Soda
Caustic soda berfungsi untuk mengatur pH lumpur dan
memaksimalkan kinerja dari polyamine dan polymer sebagai shale
inhibitor pada lumpur KCl Polymer Polyamine yang digunakan.
3. Biocide
Biocide berperan sebagai bactericide yang diformulasikan dengan
spectrum yang lebar yang dengan efektif mengatasi bakteri-bakteri yang
berkembang di lumpur pengeboran.
4. Bentonite
Sodium monmorillonite dan calcium monmorillonite, merupakan
material yang berfungsi untuk menaikkan plastic viscosity dan mengurangi
fluid loss pada lumpur jenis fresh water mud, dimana tiap penambahan
material ini kedalam air sebanyak 20 lb/bbl akan memberikan plastic
viscosity sebesar ± 36 detik Marsh Funnel.
5. PAC-LV
PAC-LV digunakan sebagai fluid loss control agent dengan dengan
peningkatan viskositas yang rendah. PAC-LV akan bekerja dengan baik
disemua aplikasi air garam, terutama saltwater base fluid. Ini dapat
digunakan pada semua density baik dalam sistem terdispersi atau non-
terdispersi. Juga berfungsi untuk engkapsul padatan untuk mengontrol
dispersi reactive shale.
72

6. Polyamine
Polyamine sebagai shale inhibitor yang larut dalam air, memisahkan
gugus amino dengan jarak antara lapisan clay, dapat tertanam kedalam
lapisan kristal dengan penghambatan yang sangat baik dari hidrasi clay
dan efek swelling, kondusif untuk menjaga stabilitas lubang sumur,
sebagai inhibitor lumpur pemboran. Pada lumpur KCl Polymer
Polyamine, penggunaan polyamine berfungsi sebagai sumber ion NH4+
yang bertujuan utuntuk menggantikan kedudukan ion Na+ pada shale
dengan ion NH4+.
7. Resinex II
Resinex II merupakan asphaltic material digunakan untuk mengurangi
dan mempertahankan kehilangan cairan yang rendah di semua sistem
berbasis air di semua padatan, dan akan meningkatkan kinerja cairan
pengeboran berbasis air (shale stabilizer untuk tempera tinggi). Resinex II
berguna untuk membantu mengontrol stabilitas shale dan washout lubang.
8. Potassium Chloride (KCl)
Potassium chloride (KCl) juga mempunyai kemampuan mencegah
laju pengembangan clay. Sifat inhibitif KCl tergantung pada
konsentrasinya, yang perlu disesuaikan dengan karakteristik shale-nya.
Additive KCl dalam air akan terurai menjadi ion K+ dan Cl-. Dalam
menstabilkan mineral shale, ion-ion K+ akan menggantikan kedudukan ion
Na+. Menjadikan ion K+ akan terikat jauh lebih kuat dibandingkan ion Na+.
Ion-ion K+ memiliki jari-jari atom yang dapat menutup mikrofaktur shale
sehingga mencegah masuknya air kedalam mikrofaktur sehingga
mengurangi hidrasi shale dan Cl- menyeimbangkan kegaraman formasi.
9. CaCO3 M
CaCO3 M merupakan salah satu material yang berfungsi untuk
penanganan lost circulation, memiliki geometri membutir, ukuran, dan
sortasi dari material ini menyesuaikan dengan pori batuan yang akan
disumbat. Material ini harus memiliki sifat insoluble, agar material ini
tidak larut dalam fasa cair maupun di fluida formasi.
73

10. Barite
Barite berfungsi sebagai weighting agent, biasanya digunakan untuk
operasi pemboran yang melewati zona gas bertekanan tinggi dan dangkal.
11. Xantam Gum Polymer (XCD Polymer)
XCD Polymer sebagai viscosifying polymer (yield point adjuster)
memberikan viskositas kepada lumpur untuk pengangkatan serpihan bor
kepermukaan dan sifat fisik dari thixotropy atau shear thinning.
3.2. Spesifikasi Sifat Fisik Mud Properties
Studi laboratorium ini dilakukan dengan meredesain sample 1 lumpur KCl
Polymer Polyamine dari PT. Elnusa Tbk dengan teperature 200 oF yang di uji
dengan kontaminan 35 ppb Bentonite NT sebagai native clay belum sesuai sifat
fisik mud properties. Sehingga, perlu meredesain sample 1 lumpur KCl Polymer
Polyamine supaya sesuai sifat fisik mud properties yang diharapkan oleh PT.
Pertamina EP yang ada di Jawa Barat, dapat dilihat pada (Tabel III-1) :
Table III-1.
Target Sifat Fisik KCl Polymer Polyamine
(PT. Pertamina EP)
Mud Properties After Hot Rolling 16 Hours Temperature 200 oF
Sebelum Setelah Satuan
Terkontaminasi Terkontaminasi
Mud Weight 1,45 1,49 SG
Low Shear Yield Point 7 - 11 8–12 Lb/100 ft²
Plastic Viscosity ALAP, ≤ 25 / ALAP, ≤ 25 / cP
Yield Point 27 – 35 30 – 38 Lb/100 ft²
Gel Strength 10 sec 8 – 12 9 – 13 Lb/100 ft²
Gel Strength 10 min 8 – 13 9 – 14 Lb/100 ft²
API Fluid Loss ≤5 ≤6 Cc/30 min
pH 9,5 - 11 9,5 - 11
K+ 33.000 – 37.000 33.000 – 37.000 Mg/lt
Cl- 31.000 – 34.000 31.000 - 34000 Mg/lt
Polyamine 1,5 – 2 1,5 – 2 % vol
MBT ≤5 ≤ 7,5 Lbs/bbl
74

3.3. Pengujian dan Perhitungan Lumpur KCl Polymer Polyamine


Hasil pengujian dengan komposisi lumpur menggunakan additive diatas,
didapatkan nilai-nilai rheology lumpur yang meliputi percobaan ini diantaranya
yaitu rolling oven, berat jenis lumpur, viskositas, pengukuran plastic viscosity,
yield point, gel strength, filter press, dan methylene blue test.
3.3.1. Pengujian Lumpur
Pengujian yang dilakukan dalam desain formulasi lumpur KCl Polymer
Polyamine memerlukan panduan atau prosedur pengujian yang benar, agar
mendapatkan hasil yang sesuai dengan sifat fisik lumpur yang diinginkan.
1. Rolling Oven atau Hot Roll
a. Menyiapkan formulasi lumpur yang telah di-mixing
b. Masukan lumpur ke dalam aging cell dengan batas maksimal 1,5 inch
dari atas permukaan aging cell
c. Pastikan O-Ring pada cell, valve stem dalam kondisi utuh dan elastis
d. Tutup aging cell dan kencangkan
e. Masukan pressure dari gas nitrogen sebesar 100 psi
f. Masukan aging cell yang telah diberikan pressure ke dalam oven yang
telah di preheated sebesar 200ºF (sesuai keadaan kondisi trayek 17,5”)
g. Pastikan aging cell berputar, lalu tutup pintu oven. Kemudian catat
waktu lumpur masuk oven
h. Setelah 16 jam, buka pintu oven dan biarkan aging cell berputar
selama 30 menit sebelum dikeluarkan
i. Keluarkan aging cell lalu rendam di dalam air selama 30 menit
j. Keluarkan lumpur dari aging cell dan masukan ke stainless steel cup
k. Mengaduk lumpur selama 5-10 min dengan kecepatan high pada mixer
l. Sampel siap untuk diujikan sesuai dengan properties yang dibutuhkan
2. Prosedur Pengukuran Densitas dengan Mud Balance
a. Membersihkan peralatan mud balance
b. Mengisi cup dengan air hingga penuh, lalu ditutup, dan dibersihkan
bagian luarnya. Keringkan dengan lap atau kertas tissue
c. Meletakan kembali mud balance pada dudukan semula
75

d. Menempatkan rider pada skala 8,33 ppg


e. Mengecek pada level glass, bila tidak seimbang, atur calibration screw
sampai seimbang
f. Masukan lumpur ke dalam cup dan kemudian tutup rapat, bersihkan
tumpahan lumpur yang melekat di bagian luar cup
g. Meletakan balance arm pada dudukannya semula, lalu mengatur rider
hingga seimbang, kemudian membaca densitas yang ditunjukkan skala
3. Pengukuran Rheology dengan Rheometer 6 Speed (VG Meter)
 Mengukur Plastic Viscosity (PV) dan Yield Point (YP)
a. Mengisi cup kira-kira 2/3 penuh dengan lumpur. Kemudian letakan
cup di viscometer stand. Naikan cup dan stand sampai lengan rotary
terendam pada sribe lie on sleeve. Kunci pada tempatnya dengan cara
memutar mekanisme pengunci
b. Menempatkan thermometer di cup yang berisikan lumpur. Panas atau
dinginnya sampel untuk keperlua tes temperature pada 120ºF
c. Menarik vg meter tuas pengganti yang ada disebelah samping kanan
belakang (bawah), untuk posisi high dengan cara menarik ke depan
d. Memposisikan red knob di atas vg meter sampai dengan kecepatan
600 rpm. Ketika red knob di posisi bawah dan tuas pengganti posisi
kedepan (tinggi) ini adalah kecepatan 600 rpm
e. Dengan sleeve berotasi pada kecepatan 600 rpm, tunggu sampai
pembacaannya terlihat di atas vg meter untuk stabil (minimal 10
detik). Catat pembacaan 600 rpm
f. Memposisikan red knob di posisi bawah, balik tuas pengganti vg
meter ke posisi rendah dengan mendorong tuas pengganti ke arah
belakang (rendah). Tunggu pembacaan untuk stabil (minimal 10
detik). Selanjutnya catat pembacaan 300 rpm
g. Menentukan nilai PV dan YP dapat di kalkulasikan dari pembacaan
600 rpm dan 300 rpm sebagai berikut (Persamaan 2-6 dan 2-7) :
PV, cP = (pembacaan 600 rpm) – (pembacaan 300 rpm) ............. (3-1)
YP, lb/100 ft2 = (pembacaan 300 rpm) – (PV) .............................. (3-2)
76

h. Untuk pencatatan harga yang ditunjukkan oleh skala setelah mencapai


keseimbangan dilanjutkan juga untuk kecepatan di 200, 100, 6, dan 3
rpm dengan cara yang sama seperti diatas
 Mengukur Gel Strength (10 sec/10 min)
a. Memposisikan red knob di posisi bawah 600 rpm, posisikan tuas
pengganti ke posisi depan (tinggi) dan aduk lumpur selama 10 detik
b. Matikan vg meter, kemudian diamkan selama 10 detik
c. Setelah didiamkan selama 10 detik gerakkan red knob pada kecepatan
3 rpm. Baca simpangan maksimum pada skala penunjuk. Defleksi
pembacaan maksimum ini adalah 10 detik gel strength dalam lb/100ft2
d. Mengaduk kembali lumpur dengan vg meter lalu memposisikan
kembali red knob di posisi 600 rpm selama 10 detik
e. Ulangi kembali langkah kerja diatas untuk gel strength 10 menit.
(Untuk gel strength 10 menit, lama pendiaman lumpur 10 menit juga)
4. Pembacaan pH
a. Kalibrasi dengan air pH 7
b. Masukkan probe ke dalam gelas ukur yang berisi air
c. Baca pH air
d. Lakukan pada sample lumpur masukkan probe kedalam mud cup lalu
baca pH pada electronic voltage
5. Pengukuran Harga Methylene Blue Test
a. Jika lumpur yang akan diuji mengandung udara, aduk perlahan selama
2-3 menit agar terlepas udara yang terperangkap
b. Gunakan syringe 2,5 atau 3,0 cm3 untuk mengukur 2,0 cm3 lumpur
kedalam tabung elenmeyer, tambahkan 10 cm3 air dan 2 cm3 lumpur
c. Selanjutnya, tambahkan 15 cm3 hidrogen peroksida 3% ke dalam labu.
Kemudian, tambahkan 0,5 cm3 asam sulfat 5N
d. Rebus perlahan suspensi selama 10 menit di atas hot plate
e. Setelah mendidih, keluarkan labu dari hot plate dan bawa suspensi
total volume dalam labu elenmeyer sampai 50 cm3 dengan air suling.
Biarkan dingin sebelum melanjutkan ke langkah berikutnya
77

f. Dengan pipet 1 cm3, tambahkan metilen biru ke dalam labu 0,5 cm3
kenaikan. Jika perkiraan jumlah metilen biru diketahui dari pengujian
sebelumnya, peningkatan yang lebih besar dapat ditambahkan di awal
ini (titrasi). Setelah setiap penambahan larutan metilen biru, putar isi
labu selama 30 detik. Sementara padatan masih tersuspensi,
menghapus setetes cairan di ujung pipet. Tempatkan ke kertas saring
wattman #1. Amati cairan yang keluar dari sekitar padatan di atas
kertas. Padatan akan berwarna biru. Cairan akan menjadi biru (dan
membentuk halo) ketika titik akhir awal titrasi metilen biru tercapai.
(Titik akhir awal ini berarti bahwa padatan aktif hampir jenuh dengan
pewarna biru, tapi mungkin tidak semua)
g. Untuk menemukan titik akhir akhir, setelah mendeteksi titik akhir
awal, putar labu selama 2 menit dan teteskan lagi pada area yang
bersih dari kertas saring. Jika cincin biru tidak terlihat, lanjutkan
seperti sebelumnya menambahkan 0,5 cm3 penambahan larutan
metilen biru sampai cincin biru terlihat setelah 2 menit memutar labu.
h. Hasil tes metilen biru dilaporkan sebagai kapasitas metilen biru
(MBT), dimana (jumlah titrasi metilen biru dalam satuan cm3/ sample
lumpur yang digunakan dalam satuan cm3)
6. Filter Press
a. Buka katup udara utama dengan memutar pegangan (di bangku lab)
berlawanan arah jarum jam. Sesuaikan regulator pada 100 psi.
b. Pastikan komponen sel, terutama layar, bersih dan kering. Periksa
gasket dan buang semua yang aus atau rusak
c. Merakit sel filtrasi. Bawah sel kunci ke posisi dengan memutar badan
sel sampai mematok kunci ke dalam J-slot
d. Tuang sample lumpur ke dalam 1/2" bagian atas sel. Tempatkan sel ke
rak tekan filter.
e. Posisikan sel tutup ke atas badan sel. Untuk menutup, putar tuas tekan
filter searah jarum jam hingga kencang
78

f. Tempatkan silinder ukur yang bersih dan kering di bawah tabung


pembuangan rakitan sel filtrasi
g. Tutup katup pembuangan. Pertahankan dalam posisi tertutup saat
pengujian berjalan
h. Atur timer interval selama 30 menit. Buka katup yang terletak pada
manifold tekan filter dengan memutar kenop hitam berlawanan arah
jarum jam. Tarik lengan timer turunkan dan mulai pencatatan waktu
i. Pada akhir 30 menit, lepaskan gelas ukur. Ukur dan catat volume
filtrat yang terkumpul. Volume diukur dalam cm3 per 30 menit. Tutup
katup dengan memutar kenop hitam searah jarum jam. Buka katup
pemeras dan lepaskan tekanan saluran yang terperangkap
3.3.2. Perhitungan
Perhitungan yang dilakukan dalam desain formulasi lumpur KCl Polymer
Polyamine memerlukan prosedur dan rumus untuk mendapatkan nilai yang benar
dan sesuai dengan spesifikasi sifat fisik lumpur yang diinginkan.
1. Ion K+
a. Ukur 7 cm3 filtrat kedalam tabung centrifuge
b. Sentrifugasi dengan kecepatan konstan 1800 rpm selama satu menit.
Langsung baca dan catat volume endapan
c. Untuk mendapatkan nilai K+, dari endapan tersebut masukkan ke
dalam persamaan:

K+ 1500 ........................................................ (3-3)

2. Chloride (Cl-)
a. Ambil 2 ml filtrat lumpur tersebut, masukkan kelabu titrasi 250 ml
b. Tambahkan 25 ml aquadest, sedikit serbuk MgO dan 3 tetes larutan
K2CrO4
c. Titrasi dengan AgNO3 standar sampai terbentuk warna endapan merah
d. Untuk mendapatkan nilai Cl- masukkan jumlah volume pemakaian
AgNO3 dan volume padatan
Reaksi yang terjadi:
79

Cl- + Ag- AgCl (s) (putih)


CrO4- + Ag- AgCrO4 (s) (merah)
Perhitungan ppm Cl- =

Cl-1 = x BA Cl- ........................... (3-4)

3. Nilai Polyamine
 Alat
- Beaker Glass 100 ml
- Gelas Ukur 25 ml
- Magnetic Stirer dan Magnetic Bar
- Buret 25 ml
- Pipet 10 ml
- Bulb
- Digital pH Meter
- Hot Plate
 Bahan
- Buffer pH 4, pH 7, dan pH 10
- HCl 0,1 N
- NaOH 0,1 N
- Air Destilasi
 Pengujian
1. Siapkan 5 ml sample filtrat
2. Drop sample filtrat sebanyak 2 ml, masukan ke dalam beaker glass
3. Tambahkan 15 ml aquadest dan masukkan magnetic bar
4. Letakkan pH meter ke dalam beaker glass
5. Titrasi menggunakan HCl 0,1 N, hingga mencapal pH 3
6. Didihkan sample selama 5 menit, tutup beaker glass dengan
menggunakan watch glass
7. Dinginkan hingga mencapai suhu ruang
8. Letakkan kembali pH meter ke dalam beaker glass, catat initial pH
9. Titrasi dengan perlahan menggunakan NaOH 0,1 N hingga pH 7
80

10. Lanjutkan titrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N, dari pH 7 hingga


mencapai pH 11 ± 0,1 catat sebagai nilai V
 Perhitungan
Kandungan excess polyamine dalam mud tercatat sebagai berikut:
Excess Polyamine (% Volume) = ......................................... (3-5)

Dimana :
V = Titrasi ml NaOH 0,1 N (titrasi dari pH 7 sampai pH 11)
3.4. Hasil Penelitian
Penelitian ini diawali dengan desain formulasi sample 1 lumpur KCl
Polymer Polyamine (Table III-2) dalam upaya mencari formulasi material yang
tepat hingga mendapatkan nilai properties lumpur sebelum terkontaminasi dan
setelah terkontaminasi yang sesuai sifat fisik mud properties (Table III-1).
Kemudian meredesain sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine hingga
menemukan nilai sifat fisik lumpur sesuai dengan range yang telah ditentukan.
Table III-2.
Formulasi Material dan Volume Lumpur KCl Polymer Polyamine
Formulation Satuan SG Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
gr/350 ml gr/350 ml gr/350 ml
Fresh Water lb/bbl 1 276,01 276,95 276,84
Caustic Soda lb/bbl 2,13 0,3 0,3 0,3
Biocide lb/bbl 1,15 0,22 0,22 0,22
Bentonite lb/bbl 2,6 2 1,92 1,92
PAC-LV lb/bbl 1,6 0,2 0,3 0,4
Polyamine lb/bbl 1,02 7 7,01 7,01
Resinex II lb/bbl 1,35 6 5,93 5,93
Potassium Chloride lb/bbl 1,92 11,5 11,46 11,46
CaCO3 M lb/bbl 2,8 3,57 3,57 3,57
Barite lb/bbl 4,2 42 41,11 41,11
XCD polymer lb/bbl 1,5 1 1,33 1,33
Jumlah 350 ml 350 ml 350 ml
Dari penelitian yang dikerjakan, lakukan pengulangan pada desain
formulasi sample 1 lumpur selanjutnya hingga lumpur yang diuji mendapatkan
81

nilai properties lumpur sebelum terkontaminasi dan setelah terkontaminasi


Bentonite NT sesuai dengan spesifikasi sifat fisik (Table III-1). Pembuktian dari
hasil percobaannya akan dijelaskan pada subab selanjutnya.
3.4.1. Hasil Pengujian Sample Lumpur KCl Polymer Polyamine Sebelum
Terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT
Setelah dilakukan pengujian, pada subab ini akan membahas nilai mud
properties dari tiap desain formulasi material persample lumpur 1, 2, dan 3 KCl
Polymer Polyamine sebelum terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT.
Table III-3.
Hasil Pengujian Sample Lumpur KCl Polymer Polyamine Sebelum
Terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT
Spesifikasi
Mud Properties Satuan Sebelum Terkontaminasi Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Mud Weight SG 1,45 + 0,01 1,45 1,45 1,45
Rheology @ (120 °F) 600 RPM 80 62 62
300 RPM 55 45 45
200 RPM 41 36 36
100 RPM 31 26 26
6 RPM 10 11 11
3 RPM 8 9 9,5
LSYP Lb/100 ft² 7 - 11 6 7 8
Plastic Viscosity cP ALAP, ≤ 25 / 25 17 17
Yield point Lb/100 ft² 27 - 35 30 28 28
10 sec Gel Strength Lb/100 ft² 8 - 12 8 9 9
10 min Gel Strength Lb/100 ft² 8 -13 10 12,5 12,8
API Fluid loss cc/30 min ≤5 5,8 5,3 4,8
pH 9,5 - 11 10 10 10
K+ mg/lt 33000 - 37000 33800 33800 33800
Chloride mg/lt 31000 - 34000 32800 32800 32800
Polyamine % vol 1,5 - 2 1,7 1,7 1,7
MBT lbs/bbl ≤5 3,75 2,5 2,5

Dari hasil pengujian performulasi lumpur KCl Polymer Polyamine


sebelum terkontaminasi Bentonite NT ini pada (Table III-3), diketahui nilai
properties sample lumpur 1 dan redesain lumpur 2 tidak sesuai dengan sifat fisik
mud properties yang sudah ditentukan, dan desain formulasi lumpur 3
menghasilkan nilai mud properties sesuai sifat fisik (Table III-2). Selanjutnya
akan dijelaskan kekurangan serta kelebihan dari tiap sample lumpur yang diuji.
82

- Hasil Pengujian Sample 1 Lumpur KCl Polymer Polyamine Sebelum


Terkontaminasi Bentonite NT
Dilakukan pengujian sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine sebelum
terkontaminasi menghasilkan nilai mud properties yang kurang stabil, ditunjukkan
pada parameter nilai properties rheology Low Shear Yield Point (LSYP) dari
sample lumpur 1 adalah 6 Lb/100 ft2 berada dibawah sifat fisik yaitu 7-11 Lb/100
ft2, maka dari itu dalam pengaplikasian dilapangan nilai LSYP yang tidak sesuai
dapat mepengaruhi hole cleaning pada low side of drill pipe (bagian bawah dari
drill pipe) dari directional drilling yang mengakibatkan potensi cutting bed
(menumpuknya cutting) dan tidak baik dalam pola aliran (turbulen kecil).
Selanjutnya dari hasil pengujian didapatkan nilai fluid loss yang tidak sesuai
dengan sifat fisik mud properties. Pada sample lumpur 1 sebelum terkontaminasi
35 ppb Bentonite NT menghasilkan nilai API Fluid Loss 5,8 cc/30min lebih tinggi
dari sifat fisik yaitu ≤ 5 cc/30 min, sehingga dalam pengaplikasian dilapangan
dapat mempengaruhi stabilitas lubang bor dan fasa cair pada lumpur berkurang.
- Hasil Pengujian Redesain Lumpur 2 KCl Polymer Polyamine Sebelum
Terkontaminasi Bentonite NT
Selanjutnya formulasi lumpur 2 KCl Polymer Polyamine adalah redesain
dari sample 1 yang nilai LSYP dan nilai fluid loss masih belum sesuai sifat fisik.
Maka perlu dilakukan redesain formulasi lumpur 2 KCl Polymer Polyamine untuk
pengujian sebelum terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT, dilakukan penambahan
volume material XCD Polymer dari 1 gr/350 ml menjadi 1,33 gr/350 ml dalam
upaya memperbaiki nilai reology yaitu LSYP dan penambahan material PAC-LV
dari 0,2 gr/350 ml ke 0,3 gr/350 ml yang diharapkan dapat memperbaiki nilai fluid
loss yang masih belum sesuai spesifikasi sifat fisik. Hasil analisa pengujian
lumpur 2 sebelum terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT diketahui nilai LSYP telah
sesuai spesifikasi sifat fisik, namun nilai API Fluid Loss sebesar 5,3 cc/30 min
dengan spesifikasi sifat fisik ≤ 5 cc/30 min.
83

- Hasil Pengujian Redesain Lumpur 3 KCl Polymer Polyamine Sebelum


Terkontaminasi Bentonite NT
Lumpur 3 KCl Polymer Polyamine ini adalah hasil redesain dari formulasi
lumpur 2 yang berupaya memperbaiki nilai properties fluid loss yang masih lebih
tinggi dari ketentuan spesifikasi sifat fisik. Maka dari itu dilakukan penambahan
material PAC-LV dari 0,3 gr/350 ml menjadi 0,4 gr/350 ml yang terbukti dapat
memperbaiki nilai fluid loss sebesar 4,8 cc/30min ini masuk dalam spesifikasi
sifat fisik dengan nilai ≤ 5 cc/30 min. Dari hasil analisa pengujian formulasi
lumpur 3 formulasi lumpur KCl Polymer Polyamine sebelum terkontaminasi,
menunjukkan nilai properties lumpur yang sesuai dengan range spesifikasi sifat
fisik yang telah ditentukan dengan formulasi volume lumpur pada (Table III-2).
3.4.2. Hasil Pengujian Sample Lumpur KCl Polymer Polyamine Setelah
Terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT
Setelah dilakukan pengujian, pada subab ini akan membahas nilai mud
properties dari desain formulasi material persample lumpur 1, 2, dan 3 KCl
Polymer Polyamine setelah terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT.
Table III-4.
Hasil Pengujian Sample Lumpur KCl Polymer Polyamine Setelah
Terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT
Spesifikasi yang Diharapkan
Mud Properties Satuan Sesudah Terkontaminasi Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Mud Weight SG 1,49 1,49 1,49
Rheology @ (120 °F) 600 RPM 89 73 73
300 RPM 61 52 52
200 RPM 46 38 38
100 RPM 34 28 28
6 RPM 11 11 11
3 RPM 9 10 10
LSYP Lb/100 ft² 8 - 12 7 9 9
Plastic Viscosity cP ALAP, ≤ 25 / 28 21 21
Yield point Lb/100 ft² 30 - 38 33 31 31
10 sec Gel Strength Lb/100 ft² 9 -13 9 10 10,2
10 min Gel Strength Lb/100 ft² 9 - 14 12 13 13,5
API Fluid loss cc/30 min ≤6 6,6 6,1 5,6
pH 9,5 - 11 10,5 10 10
K+ mg/lt 33000 - 37000 33800 33800 33800
Chloride mg/lt 31000 - 34000 32800 32800 32800
Polyamine % vol Record 1,55 1,5 1,5
MBT lbs/bbl ≤ 7,5 6,25 5 5
84

Dari hasil pengujian performulasi lumpur KCl Polymer Polyamine setelah


terkontaminasi Bentonite NT ini pada (Table III-4), diketahui nilai properties
sample lumpur 1 dan redesain lumpur 2 tidak sesuai dengan spesifikasi sifat fisik
mud properties yang sudah ditentukan, dan hasil redesain formulasi lumpur 3
menghasilkan nilai mud properties sesuai spesifikasi sifat fisik (Table III-2).
Selanjutnya akan dijelaskan kekurangan serta kelebihan tiap lumpur yang diuji.
- Hasil Pengujian Sample 1 Lumpur KCl Polymer Polyamine Setelah
Terkontaminasi Bentonite NT
Dilakukan pengujian sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine setelah
terkontaminasi menghasilkan nilai mud properties yang kurang stabil, itu
ditunjukkan pada parameter nilai properties rheology Low Shear Yield Point
(LSYP) dari sample lumpur 1 adalah 7 Lb/100 ft2 berada dibawah spesifikasi sifat
fisik yaitu 8-12 Lb/100 ft2, maka dari itu dalam pengaplikasian dilapangan nilai
LSYP yang tidak sesuai dapat mepengaruhi hole cleaning pada low side of drill
pipe (bagian bawah dari drill pipe) dari directional drilling yang mengakibatkan
potensi cutting bed (menumpuknya cutting) dan tidak baik dalam pola aliran
(turbulen kecil). Berikutnya dari hasil pengujian didapatkan nilai Plastic Viscosity
sebesar 28 cP yang lebih besar yaitu As Low As Possible (ALAP,≤25/ cp) dalam
pengaplikasian dilapangan nilai PV harus tetap dikontrol agar tetap rendah, jika
terlalu tinggi dapat menyebabkan penetration rate menurun dan pressure lost.
Selanjutnya dari hasil pengujian didapatkan nilai fluid loss yang tidak sesuai
dengan sifat fisik mud properties. Pada sample lumpur 1 setelah terkontaminasi
35 ppb Bentonite NT menghasilkan nilai API Fluid Loss 6,6 cc/30min lebih tinggi
dari spesifikasi sifat fisik yaitu ≤ 6 cc/30 min, sehingga dalam pengaplikasian
dilapangan mempengaruhi stabilitas lubang bor dan fasa cair lumpur berkurang.
- Hasil Pengujian Redesain Lumpur 2 KCl Polymer Polyamine Setelah
Terkontaminasi Bentonite NT
Selanjutnya formulasi lumpur 2 KCl Polymer Polyamine adalah redesain
dari sample 1 yang nilai LSYP, PV, dan nilai fluid loss masih belum sesuai
spesifikasi sifat fisik. Maka perlu dilakukan redesain formulasi lumpur 2 KCl
Polymer Polyamine untuk pengujian setelah terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT,
85

dilakukan penambahan volume material XCD Polymer dari 1 gr/350 ml menjadi


1,33 gr/350 ml dalam upaya memperbaiki nilai reology yaitu LSYP dan Plastic
Viscosity serta penambahan material PAC-LV dari 0,2 gr/350 ml ke 0,3 gr/350 ml
yang diharapkan dapat memperbaiki nilai fluid loss yang masih belum sesuai
spesifikasi sifat fisik. Hasil analisa pengujian lumpur 2 setelah terkontaminasi 35
ppb Bentonite NT diketahui nilai LSYP dan Plastic Viscosity telah sesuai
spesifikasi sifat fisik, namun nilai API Fluid Loss sebesar 6,1 cc/30 min dengan
spesifikasi sifat fisik ≤ 6 cc/30 min yang dalam pengaplikasian dilapangan dapat
mempengaruhi stabilitas lubang bor dan fasa cair pada lumpur berkurang.
- Hasil Pengujian Redesain Lumpur 3 KCl Polymer Polyamine Setelah
Terkontaminasi Bentonite NT
Lumpur 3 KCl Polymer Polyamine ini adalah hasil redesain dari formulasi
lumpur 2 yang berupaya memperbaiki nilai properties fluid loss yang masih lebih
tinggi dari ketentuan spesifikasi sifat fisik. Maka dari itu dilakukan penambahan
material PAC-LV dari 0,3 gr/350 ml menjadi 0,4 gr/350 ml yang terbukti dapat
memperbaiki nilai fluid loss sebesar 5,6 cc/30min ini masuk dalam spesifikasi
sifat fisik dengan nilai ≤ 6 cc/30 min. Dari hasil analisa pengujian formulasi
lumpur 3 KCl Polymer Polyamine setelah terkontaminasi, menunjukkan nilai
properties lumpur telah sesuai dengan range spesifikasi sifat fisik yang telah
ditentukan dengan formulasi volume lumpur pada (Table III-2).
BAB IV
PEMBAHASAN

Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine adalah lumpur yang


diformulasikan dengan konsep total inhibitor, tidak seperti sistem lumpur water
base mud conventional, additive kimia ini didesain secara eksplisit pada formulasi
untuk mencapai karakteristik pengoberan yang ditentukan. Fitur utama dalam
sistem lumpur KCl Polymer Polyamine termasuk high shale stability, inhibitor
clay dan cutting, meningkatkan laju rate of penetration (ROP), memimalkan bit
balling dan akresi (accretion), dapat mengurangi torsi dan drag, dan ramah
lingkungan. Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine ini dapat menjadi terobosan
baru pada drilling waste management, mengurangi biaya, dan kontaminasi
minyak sehingga mengurangi dampak lingkungan. (Witthayapanyanon et al., 2013)
Lumpur KCl Polymer Polyamine ini diharapkan menjadi solusi efektif
dalam menjawab tantangan global yang dapat mengatasi swelling pada formasi
reactive clay maupun shale (shale inhibitor) sama efisiennya dengan penggunaan
lumpur invert emulsion drilling fluids (oil/synthetic based mud). NH4+ pada
Polyamine berfungsi membantu peran K+ pada KCl sebagai shale inhibitor, yaitu
melindungi permukaan batuan shale dengan lapisan yang terikat secara ionik
sehingga menghambat clay dan mengurangi hidrasi pada dinding formasi shale,
agar lapisan shale tidak mengembang. Polymer pada sistem lumpur ini mudah
larut dalam lumpur yang mengandung elektrolit, berfungsi untuk membungkus
serbuk bor pada saat pembersihan lubang.
Langkah-langkah pengujian ini diawali dengan menguji mud properties
sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine dari PT. Elnusa Tbk sebelum
terkontaminasi dan setelah terkontaminasi, lalu menganalisa nilai properties
lumpur yang masih belum sesuai dengan spesifikasi sifat fisik, sehingga perlu
diredesain supaya nilai mud properties lumpur KCl Polymer Polyamine masuk
dalam range mud properties yang telah ditentukan Pengujian ini dilakukan

86
87

dengan ketentuan teperature 200 oF yang dikondisikan pada keadaan trayek


17,5” menggunakan kontaminan 35 ppb Bentonite NT sebagai kontaminan native
clay yang terdiri dari mineral smectite dengan montmorilonite dan illite yang
dikeringkan dan digerus, tetapi tidak ditreatment secara kimia berdasarkan
standar API 13-A 10.1.1. Bentonite NT mengandung mineral pendukung
(sisipan) seperti kuarsa, mika, feldspar, dan kalsit. Kemudian diakhiri dengan
pemilihan satu jenis sample lumpur yang telah diuji, sehingga mendapatkan nilai
mud properties yang sesuai dengan spesifikasi sifat fisik mud properties yang
telah ditentukan oleh PT. Pertamina EP untuk penembusan Formasi Cisubuh di
Jawa Barat bagian Utara.
Berdasarkan langkah-langkah pengujian yang telah dilakukan pada sample
1 lumpur KCl Polymer Polyamine oleh PT. Elnusa Tbk mendapatkan hasil dan
analisa penelitian yang masih belum sesuai dengan spesifikasi sifat fisik dari PT.
Pertamina EP. Pada (Table III-3 dan Table III-4) yang awalnya dilakukan
pengujian sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine sebelum terkontaminasi
menghasilkan nilai mud properties yang kurang stabil, ditunjukkan pada
parameter nilai properties rheology Low Shear Yield Point (LSYP) dari sample
lumpur 1 adalah 6 Lb/100 ft2 berada dibawah ketentuan yaitu 7-11 Lb/100 ft2,
maka dari itu dalam pengaplikasian dilapangan nilai LSYP yang tidak sesuai
dapat mepengaruhi hole cleaning pada low side of drill pipe (bagian bawah dari
drill pipe) dari directional drilling yang mengakibatkan potensi cutting bed
(menumpuknya cutting) dan tidak baik dalam pola aliran (turbulen kecil).
Selanjutnya dari hasil pengujian didapatkan nilai Fluid Loss yang tidak sesuai
dengan spesifikasi sifat fisik mud properties. Pada sample lumpur 1 sebelum
terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT menghasilkan nilai Fluid Loss 5,8 cc/30min
lebih tinggi dari spesifikasi sifat fisik yaitu ≤ 5 cc/30 min, sehingga dalam
pengaplikasian dilapangan dapat mempengaruhi stabilitas lubang bor dan fasa cair
pada lumpur berkurang.
Selanjutnya pengujian sample 1 lumpur KCl Polymer Polyamine setelah
terkontaminasi menghasilkan nilai mud properties yang kurang stabil, itu
ditunjukkan pada parameter nilai properties rheology Low Shear Yield Point
88

(LSYP) dari sample lumpur 1 adalah 7 Lb/100 ft2 berada dibawah spesifikasi sifat
fisik yaitu 8-12 Lb/100 ft2, maka dari itu dalam pengaplikasian dilapangan nilai
LSYP yang tidak sesuai dapat mepengaruhi hole cleaning pada low side of drill
pipe (bagian bawah dari drill pipe) dari directional drilling yang mengakibatkan
potensi cutting bed (menumpuknya cutting) dan tidak baik dalam pola aliran
(turbulen kecil). Berikutnya dari hasil pengujian didapatkan nilai Plastic Viscosity
sebesar 28 cP yang lebih besar dari spesifikasi yaitu As Low As Possible
(ALAP,≤25/ cp) dalam pengaplikasian dilapangan nilai PV harus tetap dikontrol
agar tetap rendah, jika terlalu tinggi dapat menyebabkan penetration rate menurun
dan pressure lost. Selanjutnya dari hasil pengujian didapatkan nilai Fluid Loss
yang tidak sesuai dengan spesifikasi mud properties. Pada sample lumpur 1
setelah terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT menghasilkan nilai Fluid Loss 6,6
cc/30min lebih tinggi dari spesifikasi yaitu ≤ 6 cc/30 min, sehingga dalam
pengaplikasian dilapangan dapat mempengaruhi stabilitas lubang bor dan fasa cair
pada lumpur berkurang.
Pada formulasi lumpur 2 KCl Polymer Polyamine adalah redesain dari
sample 1 yang nilai LSYP, PV, dan nilai Fluid Loss masih belum sesuai
spesifikasi. Maka perlu dilakukan redesain formulasi lumpur 2 KCl Polymer
Polyamine untuk pengujian sebelum terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT,
dilakukan penambahan volume material XCD Polymer dari 1 gr/350 ml menjadi
1,33 gr/350 ml dalam upaya memperbaiki nilai reology yaitu LSYP dan
penambahan material PAC-LV dari 0,2 gr/350 ml ke 0,3 gr/350 ml yang
diharapkan dapat memperbaiki nilai Fluid Loss yang masih belum sesuai
spesifikasi. Hasil analisa pengujian lumpur 2 sebelum terkontaminasi 35 ppb
Bentonite NT diketahui nilai LSYP telah sesuai spesifikasi, namun nilai Fluid
Loss sebesar 5,3 cc/30 min dengan spesifikasi ≤ 5 cc/30 min.
Selanjutnya formulasi lumpur 2 KCl Polymer Polyamine adalah redesain
dari sample 1 yang nilai LSYP, PV, dan nilai Fluid Loss masih belum sesuai
spesifikasi. Maka perlu dilakukan redesain formulasi lumpur 2 KCl Polymer
Polyamine untuk pengujian setelah terkontaminasi 35 ppb Bentonite NT,
dilakukan penambahan volume material XCD Polymer dari 1 gr/350 ml menjadi
89

1,33 gr/350 ml dalam upaya memperbaiki nilai reology yaitu LSYP dan Plastic
Viscosity serta penambahan material PAC-LV dari 0,2 gr/350 ml ke 0,3 gr/350 ml
yang diharapkan dapat memperbaiki nilai Fluid Loss yang masih belum sesuai
spesifikasi sifat fisik. Hasil analisa pengujian lumpur 2 setelah terkontaminasi 35
ppb Bentonite NT diketahui nilai LSYP dan Plastic Viscosity telah sesuai
spesifikasi, namun nilai Fluid Loss sebesar 6,1 cc/30 min dengan spesifikasi ≤ 6
cc/30 min yang dalam pengaplikasian dilapangan dapat mempengaruhi stabilitas
lubang bor dan fasa cair pada lumpur berkurang.
Pada formulasi lumpur 3 KCl Polymer Polyamine ini adalah hasil redesain
dari formulasi lumpur 2 yang berupaya memperbaiki nilai properties Fluid Loss
yang masih lebih tinggi dari ketentuan spesifikasi. Maka dari itu dilakukan
penambahan material PAC-LV dari 0,3 gr/350 ml menjadi 0,4 gr/350 ml yang
terbukti dapat memperbaiki nilai Fluid Loss sebesar 4,8 cc/30min ini masuk
dalam spesifikasi dengan nilai ≤ 5 cc/30 min. Dari hasil analisa pengujian
formulasi lumpur 3 formulasi lumpur KCl Polymer Polyamine sebelum
terkontaminasi, menunjukkan nilai properties lumpur yang sesuai dengan range
spesifikasi sifat fisik yang telah ditentukan dengan formulasi volume lumpur pada
(Table III-2).
Selanjutnya lumpur 3 KCl Polymer Polyamine ini adalah hasil redesain
dari formulasi lumpur 2 yang berupaya memperbaiki nilai properties Fluid Loss
yang masih lebih tinggi dari ketentuan spesifikasi sifat fisik. Maka dari itu
dilakukan penambahan material PAC-LV dari 0,3 gr/350 ml menjadi 0,4 gr/350
ml yang terbukti dapat memperbaiki nilai Fluid Loss sebesar 5,6 cc/30min ini
masuk dalam spesifikasi dengan nilai ≤ 6 cc/30 min. Dari hasil analisa pengujian
formulasi lumpur 3 KCl Polymer Polyamine setelah terkontaminasi, menunjukkan
nilai properties lumpur telah sesuai dengan range spesifikasi sifat fisik yang telah
ditentukan dengan formulasi volume lumpur pada (Table III-2).
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian formulasi KCl Polymer Polyamine yang telah


dilakukan pada bab IV, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine ini digunakan pada trayek 17,5”
untuk Formasi Cisubuh yang terletak pada cekungan Jawa Barat bagian
Utara. Penggunaan Bentonite NT berdasarkan API 13A diasumsikan sebagai
batuan shale yang mendominasi di Formasi Cisubuh tersebut.
2. Sistem lumpur KCl Polymer Polyamine memiliki kemampuan mencegah laju
pengembangan clay dengan prinsip double inhibitor. KCl bersifat inhibitif
yang mengandung ion K+ yang akan mengikat kedudukan ion Na+ pada shale
dan Polyamine sebagai shale inhibitor yang larut dalam air mengandung ion
NH4+ yang bertujuan untuk mengikat kuat kedudukan ion Na+ pada shale.
3. Hasil pengujian formulasi lumpur sample 1 sebelum terkontaminasi yaitu
LSYP 6 Lb/100 ft2 dan Fluid Loss 5,8 cc/30 min. Hasil pengujian lumpur
sample 1 setelah terkontaminasi didapatkan nilai LSYP 7 Lb/100 ft2, Plastic
Viscosity 28 cP, dan Fluid Loss 6,6 cc/30 min. Hasil analisa formulasi lumpur
sample 1 menunjukkan nilai mud properties yang belum sesuai spesifikasi.
4. Hasil pengujian redesain lumpur 2 sebelum terkontaminasi didapatkan nilai
Fluid Loss 5,3 cc/30 min dan hasil pengujian setelah terkontaminasi
didapatkan nilai Fluid Loss sebesar 6,1 cc/30 min. Hasil analisa redesain
lumpur 2 menunjukkan nilai mud properties yang belum sesuai spesifikasi.
5. Hasil pengujian redesain lumpur 3 sebelum terkontaminasi didapatkan nilai
Fluid Loss 4,8 cc/30 min yang telah sesuai dengan spesifikasi dan hasil
pengujian setelah terkontaminasi didapatkan nilai Fluid Loss 5,6 cc/30 min
yang sesuai dengan spesifikasi. Hasil analisa redesain lumpur 3 menunjukkan
nilai mud properties yang telah sesuai dengan spesifikasi sifat fisik PT.
Pertamina EP di Jawa Barat.

90
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, N.J., (1985). “Drilling Engineering A Complete Well Planning


Approach”. Penn Well Publishing, Tulsa, Oklahoma.
2. Amyx, J.W., Bass, D.M., Jr., and Whiting, R.L., (1960). “Petroleum
Reservoir Engineering Physical Properties”, McGraw-Hill Book Company,
New York.
3. Bourgoyne, A.T.,et al., (1986). “Applied Drilling Engineering”, Society of
Drilling Engineerings, Richardson, Texas.
4. ____, Chevron, (1993). “Drilling Fluids Manual”
5. Chillingarian, G.V., (1981). Vorraburt, P., “Drilling and Drilling Fluids”,
Elsevier Scientific Publishing Company, New York.
6. Gatlin, C., (1980). “Petroleum Engineering Drilling and Well Completion”,
Prentice Hall Inc., Englewood Clift, New Jersey.
7. Hanafiah, A. (2019). “Geology Geophisics Reservoir Drilling”.
8. Lummus L. James, (1986). “Drilling Fluids Optimization”, University of
Tulsa.
9. ____, Madani Alam Lestari, (2019). “Sharing Knowledge HPWBM”, Jakarta.
10. Preston L Moore, (1974). “Drilling Practices Manual“,The Petroleum
Publishing Co., Tulsa.
11. Rabia H. (2002). “Well Engineering and Constructions". Entrac Consulting.
12. Rubiandini, R., (2009-2012). ”Teknik Pemboran I, II, dan III”, Jurusan
Teknik Perminyakan, Insitut Teknologi Bandung.
13. ____, The Chevron Texaco and BP, (2002). “Drilling Fluid Manual”
14. Wardani, R. (2017). “Evaluasi Pengaruh Temperature Terhadap Sifat Fisik
Lumpur KCl-Polymer Untuk Sumur "X" Lapangan "Y" Pada Lubang 17,5in".
15. Witthayapanyanon A., (2013). “HPWBM Drilling Fluids An Enviromentally
Friendly Fluid System Achieving Superior Shale Stabilization” SPE, Baker
Huges, Amsterdam.

91
DAFTAR SIMBOL

API = American Petroleum Institute.


Bbl = Barrel.
Cp = Centipoise.
F = Faktor gesekan.
Ft = Feet.
g = Percepatan gravitasi, ft/dt2.
Gr = Gram.
GS’ = Gel Strength 10 sec, lb/100ft2.
GS” = Gel Strength 10 min, lb/100ft2.
Lb = Pound.
LSYP = Low Shear Yield Point, lb/100ft2.
MBT = Methylene Blue Test, lbs/bbl.
Ml = Mililiter.
MW = Berat Lumpur, lb.
Nre = Reynold Number.
Ppg = Pound per gallon.
Psi = Pound per square inch.
PV = Plastic Viscosity, cp.
YP = Yield Point, lb/100ft2.
 600 = Dial Reading 600 rpm, derajat.
 300 = Dial Reading 300 rpm, derajat.
 200 = Dial Reading 200 rpm, derajat.
 100 = Dial Reading 100 rpm, derajat.
6 = Dial Reading 6 rpm, derajat.
3 = Dial Reading 3 rpm, derajat.
17,5” = Trayek 17,5 inch.

92
Lampiran A Statigrafi Umum Cekungan Jawa Barat Bagian Utara

93
Lampiran B Perhitungan
1. Perhitungan Nilai Low Shear Yield Point (LSYP)
 Digunakan persamaan berikut :
LSYP = (2 x Pembacaan C3) – (Pembacaan C6) ....................................... (1)
Keterangan :
LSYP = low shear yield point, lb/100 ft2
C3 = dial reading pada 3 rpm, derajat
C6 = dial reading pada 6 rpm, derajat
 Kemudian diketahui nilai pembacaan dari Rheometer 6 speed atau VG meter
sebelum dan setelah terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
Mud Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Properties Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
3 rpm 8 9 9 10 9 10
6 rpm 10 11 11 11 11 11
 Perhitungan Low Shear Yield Point (LSYP) untuk sample lumpur 1 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
LSYP = (2 x 8) – 10
=6
 Perhitungan Low Shear Yield Point (LSYP) untuk sample lumpur 1 sesudah
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
LSYP = (2 x 9) – 11
=7
 Perhitungan Low Shear Yield Point (LSYP) untuk sample lumpur 2 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
LSYP = (2 x 9) – 11
=7
 Perhitungan Low Shear Yield Point (LSYP) untuk sample lumpur 2 setelah
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
LSYP = (2 x 10) – 11
=9

94
 Perhitungan Low Shear Yield Point (LSYP) untuk sample lumpur 3 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
LSYP = (2 x 9,5) – 11
=8
 Perhitungan Low Shear Yield Point (LSYP) untuk sample lumpur 3 setelah
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
LSYP = (2 x 10) – 11
=9
2. Perhitungan Nilai Plastic Viscosity (PV)
 Digunakan persamaan berikut :
PV = C600 – C300 ....................................................................................... (2)
Keterangan :
PV = plastic viscosity, cp (sentipoise)
C600 = dial reading pada 600 rpm, derajat
C300 = dial reading pada 300 rpm, derajat
 Kemudian diketahui nilai pembacaan dari Rheometer 6 speed atau VG meter
sebelum dan setelah terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
Mud Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Properties Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
600 rpm 80 89 62 73 62 73
300 rpm 55 61 45 52 45 52
 Perhitungan Plastic Viscosity (PV) untuk sample lumpur 1 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
PV = 80 – 55
= 25 cP
 Perhitungan Plastic Viscosity (PV) untuk sample lumpur 1 sesudah
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
PV = 89 – 61
= 28 cP

95
 Perhitungan Plastic Viscosity (PV) untuk sample lumpur 2 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
PV = 62 – 45
= 17 cP
 Perhitungan Plastic Viscosity (PV) untuk sample lumpur 2 setelah
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
PV = 73 – 52
= 21 cP
 Perhitungan Plastic Viscosity (PV) untuk sample lumpur 3 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
PV = 62 – 45
= 17 cP
 Perhitungan Plastic Viscosity (PV) untuk Lumpur 3 setelah terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
PV = 73 – 52
= 21 cP
3. Perhitungan Nilai Yield Point (YP)
 Digunakan persamaan berikut :
YP = C300 – PV ........................................................................................... (3)
Keterangan :
YP = yield point Bingham, lb/100 ft2
C300 = dial reading pada 300 rpm, derajat
PV = plastic viscosity, cp
 Kemudian diketahui nilai pembacaan dari Rheometer 6 speed atau VG meter
sebelum dan setelah terkontaminasi Bentonite Non Treatment, dalam
perhitungan nilai Yield Point (YP) :
Mud Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Properties Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
300 rpm 55 61 45 52 45 52
PV 25 28 17 21 17 21

96
 Perhitungan Yield Point (YP) untuk sample lumpur 1 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment:
YP = 55 – 25
= 30 lb/100 ft2
 Perhitungan Yield Point (YP) untuk sample lumpur 1 sesudah
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
YP = 61 – 28
= 33 lb/100 ft2
 Perhitungan Yield Point (YP) untuk sample lumpur 2 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
YP = 45 – 17
= 28 lb/100 ft2
 Perhitungan Yield Point (YP) untuk sample lumpur 2 setelah terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
YP = 52 – 21
= 31 lb/100 ft2
 Perhitungan Yield Point (YP) untuk sample lumpur 3 sebelum
terkontaminasi Bentonite Non Treatment :
YP = 45 – 17
= 28 lb/100 ft2
 Perhitungan Yield Point (YP) untuk sample lumpur 3 setelah terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
YP = 52 – 21
= 31 lb/100 ft2
4. Perhitungan Nilai K+
 Digunakan persamaan berikut :
endapan + 0,02625
K+ = x 1500 ............................................................ (4)
0,06325
Keterangan :
Endapan = hasil endapan pada sentrifugasi lumpur, ml

97
 Kemudian diketahui jumlah endapan dari hasil sentrifugasi dengan kecepatan
konstan 1800 rpm /min sebelum dan setelah terkontaminasi Bentonite NT :
Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Volume
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Endapan 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4

 Perhitungan K+ untuk sample lumpur 1 sebelum terkontaminasi Bentonite


Non Treatment :
1,4 + 0,02625
K+ = x 1500
0,06325
= 33.800 mg/lt
 Perhitungan K+ untuk sample lumpur 1 sesudah terkontaminasi Bentonite
Non Treatment :
1,4 + 0,02625
K+ = x 1500
0,06325
= 33.800 mg/lt
 Perhitungan K+ untuk sample lumpur 2 sebelum terkontaminasi Bentonite
Non Treatment :
1,4 + 0,02625
K+ = x 1500
0,06325
= 33.800 mg/lt
 Perhitungan K+ untuk sample lumpur 2 setelah terkontaminasi Bentonite
Non Treatment :
1,4 + 0,02625
K+ = x 1500
0,06325
= 33.800 mg/lt
 Perhitungan K+ untuk sample lumpur 3 sebelum terkontaminasi Bentonite
Non Treatment :
1,4 + 0,02625
K+ = x 1500
0,06325
= 33.800 mg/lt

98
 Perhitungan K+ untuk Lumpur 3 setelah terkontaminasi Bentonite Non
Treatment :
1,4 + 0,02625
K+ = x 1500
0,06325
= 33.800 mg/lt
5. Perhitungan Nilai Cl-
 Digunakan persamaan berikut :
ml AgNO3 x N AgNO3 x 1000
Cl- = x BA Cl- ....................................... (5)
ml filtrat
Keterangan :
ml AgNO3 = hasil titrasi AgNO3 sampai endapan jingga, ml
N AgNO3 = ketetapan normalitas AgNO3, 0,0282N
ml filtrat = filtrat lumpur, ml
BA Cl- = ketetapan nilai BA, 35,5
 Kemudian diketahui jumlah endapan dari hasil sentrifugasi dengan kecepatan
konstan 1800 rpm/min sebelum dan setelah terkontaminasi Bentonite NT:
Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Volume
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Titrasi
65,5 65,5 65,5 65,5 65,5 65,5
AgNO3

 Perhitungan Cl- untuk Lumpur 1 sebelum terkontaminasi Bentonite Non


Treatment :
65,5 x 0,0282 x 1000
Cl- = x 35,5
2
= 32.800 mg/lt
 Perhitungan Cl- untuk Lumpur 1 sesudah terkontaminasi Bentonite Non
Treatment :
65,5 x 0,0282 x 1000
Cl- = x 35,5
2
= 32.800 mg/lt

99
 Perhitungan Cl- untuk Lumpur 2 sebelum terkontaminasi Bentonite Non
Treatment :
65,5 x 0,0282 x 1000
Cl- = x 35,5
2
= 32.800 mg/lt
 Perhitungan Cl- untuk Lumpur 2 sesudah terkontaminasi Bentonite Non
Treatment :
65,5 x 0,0282 x 1000
Cl- = x 35,5
2
= 32.800 mg/lt
 Perhitungan Cl- untuk Lumpur 3 sebelum terkontaminasi Bentonite Non
Treatment :
65,5 x 0,0282 x 1000
Cl- = x 35,5
2
= 32.800 mg/lt
 Perhitungan Cl- untuk Lumpur 3 sesudah terkontaminasi Bentonite Non
Treatment :
65,5 x 0,0282 x 1000
Cl- = x 35,5
2
= 32.800 mg/lt
6. Perhitungan Nilai Polyamine
 Digunakan persamaan berikut :
v – 0,36
Polyamine = ............................................................................... (6)
2
Keterangan :
v = jumlah titrasi NaOH 0,1 N dari pH 7 – pH 11, % volume
 Kemudian diketahui jumlah endapan dari hasil sentrifugasi dengan kecepatan
konstan 1800 rpm sebelum dan setelah terkontaminasi Bentonite Non
Treatment :

100
Lumpur 1 Lumpur 2 Lumpur 3
Volume
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Titrasi
3,76 3,46 3,76 3,36 3,76 3,36
NaOH

 Perhitungan Polyamine untuk sample lumpur 1 sebelum terkontaminasi


Bentonite Non Treatment :
3,76 – 0,36
Polyamine =
2
= 1,7 %vol
 Perhitungan Polyamine untuk sample lumpur 1 sesudah terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
3,46 – 0,36
Polyamine =
2
= 1,55 %vol
 Perhitungan Polyamine untuk sample lumpur 2 sebelum terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
3,76 – 0,36
Polyamine =
2
= 1,7 %vol
 Perhitungan Polyamine untuk sample lumpur 2 sesudah terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
3,36 – 0,36
Polyamine =
2
= 1,5 %vol
 Perhitungan Polyamine untuk sample lumpur 3 sebelum terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
3,76 – 0,36
Polyamine =
2
= 1,7 %vol

101
 Perhitungan Polyamine untuk sample lumpur 3 sesudah terkontaminasi
Bentonite Non Treatment :
3,36 – 0,36
Polyamine =
2
= 1,5 %vol

102
Lampiran C Grafik Hasil Analisa
1. Grafik Mud Density

Mud Weight
1,5

1,49
Mud Weight, SG

1,48

1,47
lumpur 1
1,46
lumpur 2
1,45
lumpur 3
1,44

1,43
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

2. Grafik Low Shear Yield Point

Low Shear Yield Point


10
9
8
LSYP, lb/100 ft²

7
6
5 Lumpur 1
4 Lumpur 2
3
Lumpur 3
2
1
0
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

103
3. Grafik Plastic Viscosity

Plastic Viscosity
30

25
Plastic Viscosity, cP

20

15 Lumpur 1
Lumpur 2
10
Lumpur 3
5

0
Sebelum Sesudah
Sebelu dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

4. Grafik Yield Point

Yield Point
34
33
Yield Point, lb/100 ft²

32
31
30
lumpur 1
29
lumpur 2
28
27 lumpur 3

26
25
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

104
5. Grafik Gel Strength 10 sec

Gel Strength 10 sec


12
Gel Strength 10 sec, lb/100 ft²

10

6 Lumpur 1
Lumpur 2
4
Lumpur 3
2

0
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

6. Grafik Gel Strength 10 min

Gel Strength 10 min


16
Gel Strength 10 min, lb/100 ft²

14
12
10
8 Lumpur 1
6 Lumpur 2
4 Lumpur 3
2
0
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

105
7. Grafik Fluid Loss

8. Grafik pH Lumpur

pH Lumpur
10,6
10,5
10,4
10,3
10,2
pH

Lumpur 1
10,1
Lumpur 2
10
9,9 Lumpur 3

9,8
9,7
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

106
9. Grafik Nilai K+

K+
40000
35000
30000
25000
K+, mg/lt

20000 Lumpur 1
15000 Lumpur 2
10000 Lumpur 3
5000
0
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

10. Grafik Nilai Cl-

Cl-
35000

30000

25000
Cl-, mg/lt

20000
Lumpur 1
15000
Lumpur 2
10000
Lumpur 3
5000

0
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

107
11. Grafik Nilai Polyamine

Polyamine
1,75

1,7
Polyamine, % vol

1,65

1,6
Lumpur 1
1,55
Lumpur 2
1,5
Lumpur 3
1,45

1,4
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

12. Nilai MBT

MBT Lumpur
7

6
MBT Lumpur, lbs/bbl

4
Lumpur 1
3
Lumpur 2
2
Lumpur 3
1

0
Sebelum Sesudah
Sebelum dan Sesudah Terkontaminasi Bentonite NT 35 ppb

108
Lampiran D.1 Product Data Sheet Caustic Soda

109
Lampiran D.2 Product Data Sheet Biocide

110
111
112
113
114
115
Lampiran D.3 Product Data Sheet Bentonite (UNIGEL)

116
117
118
119
120
121
Lampiran D.4 Product Data Sheet PAC-LV

122
123
124
125
126
Lampiran D.5 Product Data Sheet Polyamine

127
128
Lampiran D.6 Product Data Sheet Resinex II

129
Lampiran D.7 Product Data Sheet KCl (Potassium Chloride)

130
131
132
133
134
135
136
137
Lampiran D.8 Product Data Sheet CaCO3 M

138
139
140
141
142
143
Lampiran D.9 Product Data Sheet Barite

144
145
146
147
148
Lampiran D.10 Product Data Sheet XCD Polymer

149

Anda mungkin juga menyukai