Oleh:
Fauzia Fadhila Anwar
101316014
Oleh:
Fauzia Fadhila Anwar
101316014
MENGESAHKAN
Pembimbing I
116035
MENGETAHUI,
Ketua Program Studi
116111
Universitas Pertamina - i
ABSTRAK
Kehilangan sirkulasi adalah masalah umum dalam pengeboran panas bumi. Mempertahankan pembersihan
lubang bor dan pengangkatan serbuk bor yang tepat sulit dalam kondisi sirkulasi kehilangan, terutama dalam
kehilangan sirkulasi total. Kondisi ini dapat menyebabkan pipa terjepit selama pengeboran.
Salah satu metode yang biasa digunakan dalam industri panas bumi untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan menerapkan underbalanced drilling. Kecepatan alir fluida underbalanced drilling penting untuk
memastikan kemampuan pengangkutan cutting dan pembersihan lubang yang tepat. Tujuan dari tugas akhir
ini adalah untuk menentukan fluida pengeboran secara kualitatif dan untuk mendesain jendela operasi
pengeboran underbalanced menggunakan persamaan Guo-Ghalambor. Untuk pengeboran aerasi, metode
Guo-Ghalambor mempertimbangkan fasa cair injeksi, gas yang diinjeksikan, masuknya fluida formasi, dan
serbuk bor. Hasil perhitungan ini adalah jendela operasi pengeboran (Liquid - Gas Rate Window) untuk situasi
tertentu. Kedepannya, penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk menguji metode ini pada kasus lapangan
sesungguhnya.
Kata kunci : Panas bumi, Underbalanced Drilling, Pengeboran aerasi, Pembersihan Lubang, Kehilangan
Sirkulasi
Loss circulation is a common problem in geothermal drilling. Maintaining a proper hole cleaning and cutting
carrying capacity is difficult in a loss circulation condition, especially in total loss. This condition might lead to
stuck pipe during drilling.
One method commonly used in geothermal industry to mitigate this problem is by implementing underbalanced
drilling. Injection rate of underbalanced drilling fluid is important to ensure the cutting carrying capability and
proper hole cleaning. The purpose of this bachelor thesis is to determine underbalanced drilling fluid qualitatively
and to calculate the operating window of underbalanced drilling using Guo-Ghalambor equation. For aerated
drilling, Guo-Ghalambor method considers injected liquid, injected gas, formation fluid influx, and cuttings. The
result of this calculation is a drilling operating window (Liquid – Gas Rate Window) for a certain situation. The
path forward of this study is to test the drilling operation window in a real-world case.
Keywords: Geothermal, Underbalanced Drilling, Aerated drilling, Hole Cleaning, Loss Circulation
Universitas Pertamina - iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya dan Karunia-Nya lah Penulis dapat
menyelesaikan laporan tugas akhir dengan judul “Desain Underbalanced Drilling Operating Window pada
Lapangan Panas Bumi Sumur F Trayek 12.25” dengan Metode Guo-Ghalambor”. Penyusunan laporan ini
merupakan syarat kelulusan dari Program Studi Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Eksplorasi dan
Produksi, Universitas Pertamina. Maka dari itu diharapkan tujuan dari penulisan laporan ini tercapai. Tentu
tanpa dukungan pihak-pihak bersangkutan laporan ini tidak akan tersusun dengan baik.
1. Orang tua saya atas doa dan ridhonya yang selalu mendampingi perjalanan menuntut ilmu.
2. Keluarga besar dan teman-teman, terutama Ayu Oktavira dan Khansa Rasyidah telah memberi keceriaan
dan dukungan dalam menuntut ilmu.
3. Bapak Dr. Astra Agus Pramana DN., S.Si., M.Sc selaku Kepala Program Studi Teknik Perminyakan
Universitas Pertamina.
4. Bapak Raka Sudira Wardana, M.T. selaku dosen pembimbing I dalam mengolah data serta penulisan
laporan tugas akhir.
5. Bapak Bapak Dorman Purba, Bapak Daniel W. Adityatama, Bapak Dicky Alamsyah, dan Ibu Riviani
Kusumawardani selaku pembimbing dari perusahaan.
6. Seluruh karyawan PT Rigsis Energi Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu diluar cakupan Tugas
Akhir.
7. PT Rigsis Energi Indonesia yang telah menyediakan data-data yang dibutuhkan dalam perancangan.
Disadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini, sehingga mohon maaf jika ada salah
dalam penyampaian atau penyajian data pada laporan ini. Ada baiknya pemberian saran serta kritik jika
menemukan kekurangan pada laporan ini. Terima Kasih telah menyempatkan membaca laporan ini.
Universitas Pertamina - v
DAFTAR ISI
ABSTRACT ........................................................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................... 1
Universitas Pertamina - vi
BAB III METODE PERANCANGAN ................................................................................................................ 16
Gambar 2.1 Drilling Window pengeboran konvensional, Managed Pressure Drilling, dan underbalanced drilling.
(Maloy, et al., 2009) ....................................................................................................................... 4
Gambar 2.2 Diagram Alir Penentuan Fluida Pengeboran UBD (Aljami & Schubert, 2003) ............................... 5
Gambar 2.3 Tipikal Liquid – Gas Rate Window (Guo & Ghalambor, Gas Requirements for Underbalanced
Drilling : Deviated Holes, 2002) .................................................................................................... 7
Gambar 2.4 Aerated Drilling Separator (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID:
INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008) .................................................. 9
Gambar 2.5 Kompresor (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN AND
ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008) .................................................................................. 9
Gambar 2.6 Booster (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN AND
ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008) .................................................................................. 9
Gambar 2.7 Mist Pump (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN AND
ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008) ................................................................................ 10
Gambar 2.8 Blooie Line (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN AND
ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008) ................................................................................ 10
Gambar 2.9 Rotating Head (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN
AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008) ....................................................................... 11
Gambar 2.10 String Float Valve (DrillingFormulas.Com, 2013) ....................................................................... 11
Gambar 2.11 Tata Letak Alat dan Alir Fluida pada Pengebroran Aearsi. (Putra, DRILLING PRACTICE WITH
AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008) 12
Gambar 2.12 Standpipe Injection (Air Drilling Associates Inc., n.d.) ................................................................ 13
Gambar 2.13 Concentric String Injection (Air Drilling Associates Inc., n.d.) .................................................... 14
Gambar 2.14 Parasite String Injection (Air Drilling Associates Inc., n.d.) ........................................................ 15
Gambar 3.1 Diagram Alir Perancangan ........................................................................................................... 16
Gambar 3.2 Diagram Alir Perhitungan dan Plot Batas Kanan ......................................................................... 18
Gambar 3.3 Diagram Alir Perhitungan dan Plot Batas Kiri .............................................................................. 20
Gambar 3.4 Diagram Alir Perhitungan dan Plot Batas Bawah......................................................................... 22
Gambar 4.1 Skema Sumur F ........................................................................................................................... 23
Gambar 4.2 Grafik Circulation-Break Bottom Hole Pressure vs Injection Rate ............................................... 26
Gambar 4.3 Grafik Flowing Bottom Hole Pressure vs Air Injection Rate ......................................................... 27
Gambar 4.4 Grafik Liquid – Gas Rate Window dari Lumpur 8.4 ppg pada Trayek 12.25” ............................... 29
Gambar 4.5 LGRW dengan Contoh Kondisi Operasi ..................................................................................... 30
Gambar 4.6 Profil Tekanan pada Kedalaman Tertentu Ketika Sumur Statik ................................................... 31
Gambar 4.7 Profil Tekanan pada Kedalaman Tertentu Ketika Sumur Flowing................................................ 32
Gambar Lampiran 1 Konfigurasi BHA dan Penamaan Trayek Sesuai BHA……………………………………….43
Universitas Pertamina - ix
DAFTAR SIMBOL
Universitas Pertamina - x
Simbol Keterangan (satuan)
𝑆 Panjang lintasan sisi miring sumur (ft)
𝑆𝑔 Specific gravity fasa gas (ketika udara = 1)
𝑆𝑙 Specific gravity dari fluida formasi (ketika air = 1)
𝑆𝑠 Specific gravity dari batuan (ketika air = 1)
𝑇 Temperatur (Rankine)
𝑣𝑚 Kecepatan campuran fasa (fps)
𝑣𝑡𝑟 Transport velocity (fps)
𝑣𝑠𝑙 Settling velocity (fps)
𝑊𝑚 Mud Weight (ppg)
Universitas Pertamina - xi
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh karena itu umumnya dilakukan pengeboran dengan metode underbalanced drilling. Metode
pengeboran underbalanced drilling memiliki keunggulan dalam mengatasi tekanan subnormal. Tentu saja
pemilihan jenis metode ini perlu diperhatikan sesuai dengan kondisi lingkungan pengeboran yang ditinjau
dan skema desain sumur (Dwinanto & Rachmat, Aerated Underbalance Drilling Screening Assessment at
"X" Geothermal Field in Indonesia, 2014).
Pengeboran aerasi merupakan salah satu bentuk aplikasi dari underbalanced drilling. Mancampur fasa gas
terkompresi dengan fasa cair fluida pengeboran adalah konsep pengeboran aerasi. Laju alir dari fasa gas
dan fasa cair menjadi penentu keberhasilan pengangkatan serbuk bor dalam operasi ini. Tanpa
perancangan yang tepat, hal ini mengakibatkan masalah dalam lubang sumur.
Sumur F adalah sumur produksi panas bumi yang terletak pada daerah Jawa Tengah. Batuan yang
membentuk formasi pada sumur ini berjenis batuan beku. Sumur ini memiliki dua jenis zona loss pada
kedalaman yang berbeda. Penggunaan underbalanced drilling hanya diperuntukkan pada zona dengan total
loss circulation.
Pada underbalanced drilling, parameter pengeboran yang digunakan harus bisa mengangkat serbuk bor
tanpa melewati collapse pressure sumur walaupun tekanan hidrostatik sumur lebih rendah dari tekanan
formasi. Untuk bisa mencapai kondisi tersebut, laju alir yang digunakan berada pada operating window.
Pendekatan untuk perancangan operating window dapat dilakukan menggunakan metode Guo-Ghalambor.
Pada metode ini, perancangan menyertakan adanya pengaruh dari kehilangan tekanan akibat gaya gesek
yang terjadi, masa jenis serbuk bor, masa jenis fasa gas, dan suhu formasi yang beragam (Guo, Sun,
Ghalambor, & Xiu, 2004).
Universitas Pertamina - 1
I.3 Batasan Masalah
Cakupan perancangan ini dilakukan dengan meninjau sumur pada lapangan panas bumi, yaitu Sumur F.
Fokus pada perancangan underbalanced drilling operating window adalah trayek lubang 12.25” pada sumur
lintasan berarah. Perangkat lunak yang digunakan dalam perancangan hanya menggunakan Microsoft
Excel.
Diharapkan hasil perancangan dapat dijadikan acuan untuk mengoperasikan laju alir fluida yang dibutuhkan
dalam pengeboran aerasi Sumur F.
Universitas Pertamina - 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sumur panas bumi memiliki tekanan formasi yang cenderung rendah. Batuan yang menyusun sistem panas
bumi adalah batuan beku. Batuan ini tidak memiliki porositas primer berupa pori-pori sepeti halnya batuan
sedimen. Fluida formasi pada batuan ini tertampung pada porositas sekuder berupa rekahan atau sesar. Hal
ini menyebabkan zona kehilangan sirkulasi menjadi tantangan pengeboran yang pasti dihadapi. Pada zona
kehilangan sirkulasi parsial, penggunaan lumpur dengan aditif tertentu dapat digunakan. Namun, pada zona
hilang sirkulasi total, fluida pengeboran dengan densitas rendah saja tidak cukup sebagai media untuk
menhindari hilang sirkulasi.
Fluida pengeboran atau fluida sirkulasi merupakan komponen wajib dalam operasi pengeboran. Salah satu
fungsi fluida ini merupakan media yan mengangkat serbuk bor keluar dari sumur menuju permukaan
(Bourgoyne, Millheim, Chenevert, & Young, 1986). Fluida ini tentu disesuaikan dengan lingkungan sumur yang
akan dibor. Umumnya pengeboran dilakukan secara overbalanced (tekanan hidrostatik fluida pengeboran lebih
besar dari tekanan formasi). Namun pada kondisi tertentu overbalanced drilling dinilai kurang efisien. Kondisi
tekanan formasi dengan kategori subnormal (gradient tekanan <0.43 psi/ft) sering kali menggunakan metode
underbalanced drilling.
Air or gas operations, merupakan metode pengeboran yang menggunakan hanya udara atau gas
terkompresi sebagai fluida sirkulasi.
Aerated drilling operations, merupakan metode pengeboran yang menggunakan udara atau gas
terkompresi dicampur dengan incompressible fluid sebagai fluida sirkulasi.
Stable foam drilling operations, merupakan metode pengeboran yang menggunakan udara atau
gas dengan incompressible fluid untuk menghasilann continuous foam sebagai fluida sirkulasi.
Universitas Pertamina - 3
Gambar 2.1 Drilling Window pengeboran konvensional, Managed Pressure
Drilling, dan underbalanced drilling. (Maloy, et al., 2009)
Ukuran lubang sumur yang akan dilakukan UBD menjadi tahap pertama pertimbangan. Pada
screening ini, small hole adalah lubang dengan ukuran lebih kecil dari 17 inci. Hal ini didasari dengan
kecenderungan terpisahnya fasa yang berbeda pada suatu campuran fasa (gravity segregation)
pada penampang yang luas. Ketika penampang tergolong besar, maka fluida UBD yang dibutuhkan
perlu memiliki karakter yang tidak mudah mengalami gravity segregation. Selanjutnya prediksi ada
atau tidaknya water influx dipertimbangkan. Adanya drilling hazard dengan fasa gas juga menjadi
pertimbangan pada proses screening terakhir.
Universitas Pertamina - 4
Pemilihan Fluida Pengeboran pada
Underbalanced Drilling
Mulai
Well and
Formation
Information
Small Hole?
Tidak Ya
Tidak
Ya Tidak
Ya
Tidak Tidak
Tidak
Tidak
Ya Ya Extended Stiff Foam or Ya
Reach? Aerated Mud
Stiff Foam or
Nitrifiied Mud
Ya
Nitrogen or
Nitrified Mud
Gambar 2.2 Diagram Alir Penentuan Fluida Pengeboran UBD [dimodifikasi dari : (Aljami
& Schubert, 2003)]
Universitas Pertamina - 5
diharapkan tetap berada di dalam LGRW yang sudah dirancang sesuai kondisi sumur yang ditinjau
(Gambar 2.3). LGRW ini bukan merupakan ekspresi operating window untuk seluruh jenis fluida
UBD, melainkan hanya untuk pengeboran aerasi. Pada pengeboran aerasi batas-batas yang
membentuk LGRW antara lain:
1 0.0765 2
𝐸𝑚 = 50 = 2.9697 ≈ 3
2 32.2
Universitas Pertamina - 6
4. Wellbore Washout Limit (Batas Atas)
Sejatinya batas atas pada LGRW tidak memiliki metode atau acuan perancangan yang pasti.
Kondisi dimana laju alir gas dan lumpur menyebabkan wellbore washout terjadi dapat digunakan
acuan batas atas. Namun pada sumur panas bumi, wellbore washout tidak umum ditemukan,
maka kapasitas alat pengeboran dapat dijadikan sebagai batas atas (Nugroho, Hermawan, &
Lazuardi, 2017). Sebagai contoh, kemampuan mud motor bekerja pada kecepatan alir tertentu.
Gambar 2.3 Tipikal Liquid – Gas Rate Window (Guo & Ghalambor, Gas Requirements for Underbalanced Drilling :
Deviated Holes, 2002)
Dari batas-batas yang sudah dijabarkan, tentu masing-masing batas memiliki ketentuan tersendiri
saat perhitungan. Parameter perhitungan akan berpengaruh pada nilai batas-batas tersebut. Jika
dirangkum parameter yang memengaruhi masing-masing batas, akan terlihat seperti tabel 2.1.
Universitas Pertamina - 7
Laju alir lumpur ✔ ✔ ✔
Choke pressure ✔ ✔ ✔
Kehilangan tekanan ✔
Diameter serbuk bor ✔
Densitas serbuk bor ✔
Mud motor ✔
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Pengeboran Aerasi terhadap Pengeboran Overbalance
Kelebihan Kekurangan
1. Meningkatkan penetration rate. 1. Membutuhkan alat tambahan untuk operasi
pengeboran.
2. Mengatasi masalah kehilangan sirkulasi. 2. Meningkatkan resiko terjadi kick.
3. Menjaga kondisi formasi dari kerusakan 3. Korosi mudah terjadi akibat penggunaan
akibat operasi pengeboran. fasa gas pada operasi ini.
Sumber : (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN AND
ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008)
1. Aerated Drilling Separator (gambar 2.4): berfungsi sebagai pemisah fasa gas (udara), cair
(lumpur) dan padatan yang kembali. Fasa gas (steam) akan dilepaskan ke udara bebas,
sedangkan fasa cair dan padatan dialirkan kembali menuju shale shaker.
Universitas Pertamina - 8
Gambar 2.4 Aerated Drilling Separator (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING
FLUID: INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008)
2. Kompresor (gambar 2.5): sebagai unit penyedia gas yang digunakan. Berkurangnya kadar udara
pada ketinggian tertentu memengaruhi kapasitas kompresor. Umumnya, kapasitas kompresor
akan berkurang 3% dalam setiap ketiggian 300 mdpl. Kemudian gas yang dihasilkan dari
kompresor dialirkan menuju booster.
Gambar 2.5 Kompresor (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID:
INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008)
3. Booster (gambar 2.6): Memberikan tambahan tekanan pada gas yang dihasilkan oleh kompresor.
Hal ini dilakukan karena udara yang dihasilkan kompresor akan melalui alur pipa yang tidak datar.
Ketika melalui pipa yang memiliki elevasi, tekanan pada gas cenderung berkurang. Sehingga
tekanan gas hasil kompresor tidak cukup.
Gambar 2.6 Booster (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID:
INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008)
Universitas Pertamina - 9
4. Mist Pump (gambar 2.7): Unit yang penginjeksi larutan kimia (contohnya anti corrosion agent).
Larutan kimia yang diinjeksikan akan berupa embun. Embun ini akan menyatu dengan udara
keluaran booster dan masuk ke standpipe.
Gambar 2.7 Mist Pump (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID:
INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008)
5. Blooie Line (gambar 2.8): merupakan pipa yang mengalirkan fluida tercampur yang kembali
melalui annulus ke separator. Pada operasi pengeboran aerasi, fluida pengeboran yan kembali
merupakan fluida campuran fasa cair dan fasa gas. Akibat kondisi fluida tersebut ukuran
penampang pipa yang dibutuhkan dari BOP stack ke separator harus lebih besar 1.1 kali dari
ukuran penampang lubang annulus (Lyons, Guo, Graham, & Hawley, 2009).
Gambar 2.8 Blooie Line (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID:
INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008)
6. Rotating Head (gambar 2.9): pada closed-loop drilling (CLD) unit ini berfungsi menyekat fluida
pada annulus ketika kondisi drillstring masih terpasang. Posisi unit ini dipasang di atas Blowout
Preventer (BOP).
Universitas Pertamina - 10
Gambar 2.9 Rotating Head (Putra, DRILLING PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID:
INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL FIELD, 2008)
7. String float valve (gambar 2.10): berperan untuk mencegah adanya aliran yang kembali melalui
drillstring. Alat ini terpasang pada pipa pengeboran. String Float Valve memiliki dua jenis yang
berbeda, yaitu flapper dan plunger.
Universitas Pertamina - 11
Gambar 2.11 Tata Letak Alat dan Alir Fluida pada Pengebroran Aearsi. (Putra, DRILLING
PRACTICE WITH AERATED DRILLING FLUID: INDONESIAN AND ICELANDIC GEOTHERMAL
FIELD, 2008)
Universitas Pertamina - 12
Gambar 2.12 Standpipe Injection (Air Drilling Associates Inc., n.d.)
2. Concentric pipe string, merupakan jalur tambahan yang terdapat di pada drillpipe. Cara
pengeboran aerasi dengan cara ini hanya mencapai kedalaman tertentu sesuai desain, tidak
seperti drillstring (standpipe) injection. Tekanan udara lebih mudah dikontrol karena tidak melalui
lintasan yang panjang. Penggunaan EMWD pada cara injeksi ini juga dibutuhkan.
Universitas Pertamina - 13
Gambar 2.13 Concentric String Injection (Air Drilling Associates Inc., n.d.)
3. Parasite string, yaitu pipa tambahan yang menempel pada casing trayek sebelumnya dan
berfungsi menginjeksikan udara kedalam annulus diantara casing dan drillpipe. Penentuan
kedalaman titik injeksi parasite string berdasarkan antisipasi penurunan tekanan maksimum untuk
mencegah terjadinya hilang sirkulasi. Kelebihan cara injeksi ini adalah penggunaan MWD yang
tidak terganggu. Sehingga tidak memerlukan EMWD pada cara injeksi ini.
Universitas Pertamina - 14
Gambar 2.14 Parasite String Injection (Air Drilling Associates Inc., n.d.)
Fluida pengeboran memiliki beberapa kemungkinan jenis aliran saat operasi pegeboran dilakukan. Asumsi
dalam perhitungan menggunakan metode Guo-Ghalambor adalah aliran turbulen. Kemudian aliran
campuran dua fasa ini dimodelkan sebagai aliran homogen (bubbly flow). Aliran homogen merupakan
aliran yang terbentu ketika rasio dari liquid dan gas kurang dari satu (Bourgoyne, Millheim, Chenevert, &
Young, 1986). Dalam perhitungan parameter pengengkatan cuttings diasumsikan hanya fasa cair yang
mengangkat cutting.
Universitas Pertamina - 15
BAB III
METODE PERANCANGAN
Tahap awal yang dilakukan pada perancangan ini adalah dengan memilih tipe fluida sesuai dengan
ketentuannya. Pengaruh dari fluida formasi dan lubang sumur yang akan dibuat menjadi pertimbangan saat
pemilihan. Pemilihan fluida underbalanced drilling dapat mengacu pada gambar 2.2. Untuk kondisi sumur F,
dipilihlah metode pengeboran aerasi. Dalam pelaksanaannya, pengeboran aerasi membutuhkan operating
window berupa liquid – gas rate window.
Perancangan Liquid – Gas Rate Window (LGRW) pengeboran aerasi menggunakan metode Guo-Ghalambor
ini diawali dengan pengumpulan data sumur tinjauan. Langkah kalkulasi setelah memiliki data lapangan secara
keseluruhan terangkum dalam diabram alir gambar 3.1.
Diagram Alir
Perancangan LGRW
Kalkulasi dan Plot Kalkulasi dan Plot
Pengumpulan Data
Batas Kanan Batas Kiri
Mulai (Desain sumur, formasi,
(Collapse Pressure Limit) (Balance Pressure Limit)
drilling paramter, dll)
[gambar 3.2] [Gambar 3.3]
Data yang digunakan pada perancangan ini berkaitan dengan desain sumur, informasi dari formasi sumur
tinjauan, parameter pengeboran beserta beberapa spesifikasi alat yang digunakan. Pada dasarnya
perancangan ini dilakukan dengan memperhatikan parameter-paramter penting pada operasi pengeboran.
Batas-batas yang membentuk operating window dikalkulasi sesuai dengan ketentuan dan persamaan masing-
masing. Langkah pengerjaan dari beberapa poin pada diagram alir utama akan dijelaskan pada diagram alir
terpisah. Sedangkan batas atas pada perancangan ini akan menggunakan nilai kemampuan maksimum mud
motor dalam bergerak sesuai dengan sepsifikasi yang ada.
Universitas Pertamina - 16
persamaan (3.9) dan dilanjutkan persamaan (3.10) hingga (3.11) jika lintasan berarah. Rumus ini dapat
dioperasikan dalam excel dengan memindahkan seluruh komponen pada satu ruas. Rumus dengan
seluruh komponen berada pada satu ruas dimasukkan dalam suatu sel. Buat kolom baru sebagai kolom
Phy. Nilai pada kolom Phy diisi dengan angka sembarang. Lalu lakukan goal seek to value 0 pada kolom
hitungan Phy berisi rumus. Perhitungan ini dilakukan pada masing-masing bagian lintasan (jika lintasan
sumur berarah). Lalu variasikan laju alir gas (Qgo) dan lumpur (Qm) untuk mendapatkan banyak titik.
Dalam penyajian data, profil tekanan disarankan sudah dalam satuan pounds per square inch (psi).
Kemudian grafik di plot dengan Qm sebagai sumbu Y dan Qgo sebagai sumbu X. Sebagai batas, nilai
collapse pressure pada seluruh nilai Qgo juga di plot dalam grafik yang sama. Titik-titik perpotongan pada
grafik dicatat nilai Qm dan Qgo nya. Lalu plot nilai-nilai perpotongan pada grafik baru (grafik GLRW)
sebagai batas kanan. Langkah perancangan batas kanan terangkum pada gambar 3.2.
𝜋
𝐴= 4
(𝑑𝑜 2 − 𝑑𝑖 2 ) (3.1)
𝑒̅𝑝𝑖𝑝𝑒+𝑒̅ℎ𝑜𝑙𝑒
𝑒̅ = (3.2)
2
2
1
𝑓= [ ̅
2𝑒
] (3.3)
1.74−2 log( )
𝑑𝐻
2.2283×10−3 𝑄𝑚 +1.5597×10−3 𝑄𝑓
𝑏" = (3.5)
6.7846×10−2 𝑇𝑄𝑔𝑜
9.77𝑇𝑄𝑔𝑜
𝑐" = (3.6)
𝐴
0.33𝑄𝑚 +0.22𝑄𝑓
𝑑" = (3.7)
𝐴
𝑓
𝑒" = (3.8)
2𝑔𝐷𝐻
Vertical Section
𝑃
𝑏"(𝑃ℎ𝑦 − 𝑃𝑠 ) + ln ( 𝑃ℎ𝑦 ) = 𝑎"𝐻 (3.9)
𝑠
Slant Section
𝑃
𝑏"(𝑃ℎ𝑦 − 𝑃𝑠 ) + ln ( 𝑃ℎ𝑦 ) = 𝑎"𝑆 cos(𝐼𝑚 ) (3.11)
𝑠
Universitas Pertamina - 17
Perhitungan dan Plot
Batas Kanan
Mulai
Hitung
A, ē, f, a , b , c , d , e Plot grafik (gambar 4.1) :
Dengan persamaan
(3.1) sampai (3.8) Phy vs Qgo
Collapse Pressure vs Qgo
Ya
Batas Kanan
Hitung Phy untuk angle build up (Collapse
Tidak dan slant section (persamaan Pressure Limit)
(3.1) sampai (3.8) kemudian
(3.10) dan (3.11))
Hitung Phy dengan Qgo
beragam
Selesai
Universitas Pertamina - 18
dengan persamaan (3.13) hingga (3.15). Jika lintasan sumur merupakan lintasan berarah, kalkulasi
dilanjutkan hingga persamaan (3.21). Kalkulasi dengan persamaan (3.13) hingga (3.21) dapat dilakukan
seperti perhitungan Phy, yaitu dengan goal seek to value 0. Ketika nilai Pfr1, Pfr2, dan Pfr3, kalkulasi nilai
Pfr menggunakan persamaan (3.12). Nilai flowing bottom hole pressure didapat dengan menjumlahkan
Phy dengan Pfr. Selanjutnya nilai Qm dan Qgo pada hitungan divariasikan. Nilai variasi disarankan sama
dengan variasi yang digunakan saat menghitung Phy. Lalu plot hasil perhitungan dengan sumbu X sebagai
Qgo dan sumbu Y sebagai Qm, dan nilai reservoir pressure pada seluruh Qgo sebagai batas pada grafik
ini. Nilai Qm dan Qgo pada perpotongan di plot kembali pada grafik LGRW sebagai batas kiri. Langkah
pembentukan batas kiri tersaji pada gambar 3.3.
𝑏"
(𝑃𝑓𝑟2 2 − 𝑃𝑠 2 ) + (𝑃𝑓𝑟2 − 𝑃𝑠 ) = 2𝑎"c"d"e"H (3.14)
2
𝑏" 1
(𝑃𝑓𝑟3 3 − 𝑃𝑠 3 ) + 2 (𝑃𝑓𝑟2 2 − 𝑃𝑠 2 ) = 𝑎"𝑐"2 e"H (3.15)
3
𝑏"
(𝑃𝑓𝑟2 2 − 𝑃𝑠 2 ) + (𝑃𝑓𝑟2 − 𝑃𝑠 ) = 2𝑎"c"d"e" R𝐼𝑚 (3.17)
2
𝑏" 1
(𝑃𝑓𝑟3 3 − 𝑃𝑠 3 ) + 2 (𝑃𝑓𝑟2 2 − 𝑃𝑠 2 ) = 𝑎"𝑐"2 e" R𝐼𝑚 (3.18)
3
Slant Section
𝑃𝑓𝑟1
𝑏"(𝑃𝑓𝑟1 − 𝑃𝑠 ) + ln (
𝑃𝑠
) = 𝑎"𝑑"2 𝑒"𝑆 (3.19)
𝑏"
2
(𝑃𝑓𝑟2 2 − 𝑃𝑠 2 ) + (𝑃𝑓𝑟2 − 𝑃𝑠 ) = 2𝑎"c"d"e" S (3.20)
𝑏" 1
3
(𝑃𝑓𝑟3 3 − 𝑃𝑠 3 ) + 2 (𝑃𝑓𝑟2 2 − 𝑃𝑠 2 ) = 𝑎"𝑐"2 e" S (3.21)
Universitas Pertamina - 19
Perhitungan dan Plot
Batas Kiri
Mulai
Ya
Selesai
Phy + Pfr
(Flowing Bottom Hole Pressure)
Universitas Pertamina - 20
terletak di antara batas kanan dan batas kiri. Nilai laju alir udara dan laju alir lumpur pada titik tinjauan akan
dihitung nilai Phy nya, karena nilai Phy akan digunakan dalam perhitungan energi kinetik (Em). Kalkulasi
untuk menghitung Em menggunakan persamaan (3.20) hingga (3.32). Tekanan permukaan pada kalkulasi
Em menggunakan Phy dari perhitungan terakhir, atau dalam perancangan ini nilai Phy pada slant section.
Titik yang menghasilkan nilai Em = 3ft-lb/ft3 akan menjadi batas bawah. Jika pada kalkulasi belum ada
kombinasi Qm dan Qgo yang menghasilkan Em = 3ft-lb/ft3, variasi Qm dan Qgo pada seluruh perhitungan
diubah. Kalkulasi Em dimulai dengan menghitung luas penampang annulus dan kekasaran rata-rata di
annulus.
𝜋
𝐴= (𝑑𝑜 2 − 𝑑𝑖 2 ) (3.20)
4
𝑒ℎ𝑜𝑙𝑒 + 𝑒𝑝𝑖𝑝𝑒
𝑒̅ = (3.21)
2
Laju alir masing-masing fasa fluida pengeboran saat berada di bawah sumur akan berubah. Hal tersebut
akan memengaruhi fraksi fluida pengeboran. Ketika fraksi fluida sudah diketahui, selanjutnya densitas
fluida pengeboran dapat dikalkulasi.
0.1337𝑄𝑚 5.615𝑄𝑓
𝑄𝑙 = + (3.22)
60 3600
𝑄𝑙
𝑓𝑙 = (3.24)
𝑄𝑙 +𝑄𝑔
𝑆𝑔 𝑃ℎ𝑦
𝜌𝑔 = (3.25)
53.3 𝑇
𝜌𝑓 = 𝑓𝑙 𝜌𝑙 + (1 − 𝑓𝑙 )𝜌𝑔 (3.26)
Selanjutnya, parameter kecepatan alir fluida campuran perlu ditinjau dengan rumus-rumus berikut
𝜋𝑑𝑏 2 𝑅𝑝
𝑣𝑡𝑟 = ( ) (3.29)
4𝐶𝑝 𝐴 3600
𝐷𝑠 (𝜌𝑠 −𝜌𝑓 )
𝑣𝑠𝑙 = 5.35 √ (3.30)
𝜌𝑓
Ketika seluruh parameter sudah didapat, Em dapat ditinjau dengan rumus-rumus di bawah
𝑎" 𝑃ℎ𝑦
𝛾𝑚 = (3.31)
𝑏" 𝑃ℎ𝑦+1
1 𝛾𝑚
𝐸𝑚 = 𝑣𝑚 2 (3.32)
2 𝑔
Universitas Pertamina - 21
Perhitungan dan Plot
Batas Bawah
Mulai
Selesai
Kalkulasi Ql, Qg, fl, ρg,
ρf, vm, vtr, vsl, ɣm, Em
(persamaan (3.22) sampai (3.32))
Nilai Em ˃
3 ft-lb/ft3?
Tidak
Universitas Pertamina - 22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses pengeboran aerasi dimulai pada kedalaman 1575 m (5167 ft) atau ketika pengeboran trayek
12.25”. Desain sumur ini membentuk lintasan berarah dengan maksimum inklinasi 30o dengan kick off
point di kedalaman 600 m (1968.5 ftMD). Berat lumpur pengeboran yang digunakan bernilai 8.4 ppg
dengan water base.
Parameter yang digunakan dalam perhitungan terangkum pada tabel 4.1. Terdapat data formasi yang
dibutuhkan, parameter pengeboran yang digunakan, dan lainnya.
Universitas Pertamina - 23
Tabel 4.1 Tabel Data untuk Perhitungan
Sumur F menggunakan mud motor 8” pada trayek 12.25”. Alat ini memiliki standar operasi 300 gpm
hingga 900 gpm untuk dialiri fluida (tabel lampiran 1 dan gambar lampiran 1). Konfigurasi Bottom Hole
Assembly (BHA) yang digunakan dapat dilihat pada tabel lampiran 2. Dari konfigurasi tersebut, ukuran
annulus yang terbentuk akibat masing-masing bagian BHA dapat dikelompokkan seperti pada tabel 4.2.
Universitas Pertamina - 24
IV.2 Pemilihan Fluida Underbalanced Drilling
Dengan acuan gambar 2.2, kondisi Sumur F pada trayek 12.25” yang memiliki kondisi water influx dan
tidak memiliki gas terlarut fluida underbalanced drilling yang tepat adalah fluida aerasi ataupun stable
foam. Jika dibandingkan dari segi kualitatif, sumur F lebih baik menggunakan fluida aerasi dibandingkan
stable foam. Hal ini dikarenakan fluida aerasi lebih stabil dibandingkan foam.
Pada lingkungan asam, kestabilan foam sangat terganggu. Karena bahan dasarnya yang berupa basa
dapat membentuk foam, maka ketika tercampur oleh senyawa asam struktur dari foam akan rusak. Hal
ini menjadi pertimbangan utama pada pemilihan fluida aerasi.
Seilain itu, dari segi biaya yang perlu dikeluarkan pada saat operasi antara kedua fluida tersebut, stable
foam memerlukan senyawa kimia untuk membentuk busa. Hal tersebut tentu membuat biaya yang perlu
dikeluarkan lebih besar walaupun alat yang digunakan oleh kedua jenis fluida pengeboran ini sama.
Dari gambar 3.2 kalkulasi batas kanan LGRW dapat dilakukan. Grafik profil Bottom Hole Pressure (BHP)
ketika kondisi statik pada laju alir injeksi gas dan laju alir lumpur tertentu dan profil collapse pressure
(gambar 4.1) menghasilkan batas kanan pada LGRW. Perpotongan dari variasi Qm dan Qgo dengan
collapse pressure membentuk kurva tersebut. Collapse pressure menandakan bahwa operasi
pengeboran tidak boleh menghasilkan BHP yang lebih rendah dari nilai kestabilan formasi. Karena hal
tersebut dapat menyebabkan keruntuhkan sumur dan memperbesar kemungkinan terjadinya pipa terjepit.
Pada Gambar 4.2, operasi yang dianjurkan berada di atas garis collapse pressure. Atau nilai maksimum
Qgo pada operasi berada pada nilai 920 scfm hingga 2610 scfm ada Qm tertentu. Nilai BHP statik terbesar
terjadi ketika nilai Qgo paling besar pada setiap variasi Qm nya. Kalkulasi dilakukan dengan variasi Qm
300, 400, 500, 600 gpm dan seterusnya hingga 900 gpm. Hal ini dikarenakan standar operasi mud motor
8” berada pada rentang 300-900 gpm.
Universitas Pertamina - 25
Gambar 4.2 Grafik Circulation-Break Bottom Hole Pressure vs Injection Rate
Nilai Qm dan Qgo pada titik-titik perpotongan yang terbentuk pada gambar 4.2 terangkum pada tabel 4.3.
Kemudian nilai-nilai ini akan diplot pada grafik yang berbeda.
Universitas Pertamina - 26
Dengan laju alir lumpur yang sama, jika dibandingkan ukuran luas penampang annulus terhadap Pfr
perbandingan nilainya akan berbanding terbalik. Ketika lubang annulus kecil, maka Pfr yang terjadi akan
semakin besar. Namun selain luas annulus, panjang lintasan juga perlu diperhatikan. Karena hal tersebut
juga memengaruhi nilai Pfr. Kehilangan tekanan akibat friksi ini, mengakibatkan BHP yang lebih besar
dibanding BHP kondisi statis.
Grafik profil BHP kondisi mengalir saat Qm dan Qgo tertentu dan profil tekanan formasi menghasilkan
batas kiri pada LGRW. Pada gambar 4.4 ketika nilai BHP melebihi garis balance pressure, kondisi
underbalanced drilling tidak tercapai sehingga kehilangan sirkulasi tidak teratasi. Atau dapat diartikan,
nilai minimum operasi Qgo berada di nilai 550 scfm hingga 1450 scfm disesuaikan dengan Qm nya. Sama
halnya dengan BHP ketika statik, saat kondisi adanya aliran pun nilai BHP tertinggi terjadi pada Qgo
paling tinggi pada masing-masing variasi Qm.
Gambar 4.3 Grafik Flowing Bottom Hole Pressure vs Air Injection Rate
Nilai Qm dan Qg pada titik-titik perpotongan yang terbentuk pada gambar 4.3 terangkum pada tabel 4.4.
Universitas Pertamina - 27
Flowing BHP
Qgo (scfm) Qm (gpm)
550 300
695 400
820 500
990 600
1140 700
1300 800
1450 900
Dari hasil kalkulasi, belum ditemukan energi kinetik senilai 3 ft-lb/ft3. Namun terlihat ada kombinasi Qgo
dan Qm yang menghasilkan nilai di bawah ketentuan energi kinetik. Untuk mendapatkan batas bawah,
trial and error dilakukan dengan mencoba beberapa kombinasi Qgo dan Qm yang nilainya berada di
antara kombinasi Qgo 720 scfm dan Qm 300 gpm dengan 950 scfm dan 400 gpm. Hasil trial and error
menghasilkan kombinasi nilai Qgo 590 scfm dan 325 gpm.
Universitas Pertamina - 28
IV.7 Liquid – Gas Rate Window
Batas-batas LGRW ketika disatukan dalam 1 grafik akan membentuk bidang 2D seperti pada gambar 4.4.
Operasi pengeboran diharapkan terus berada di dalam bidang tersebut. Jika operasi pengeboran tidak
berada di dalam bidang yang terbentuk, masalah pengeboran dapat terjadi.
Gambar 4.4 Grafik Liquid – Gas Rate Window dari Lumpur 8.4 ppg pada Trayek 12.25”
Sebagai contoh pada gambar 4.5, titik 1 dengan kombinasi Qm bernilai 400 gpm dan Qgo bernilai 1020
scfm. Kondisi ini mencapai kondisi underbalance karena kombinasi Qgo dan Qm lebih rendah dari
balanced pressure limit, Nilai BHP lebih rendah dibandingkan tekanan formasi, yaitu 3630 psi. Kondisi ini
juga tidak menyebabkan collapse karena BHP yang terjadi lebih besar dari collapse pressure (3305 psi).
Nilai energi kinetik yang dihasilkan pun lebih dari minimum ketentuan, yaitu 4.6 ft-lb/ft3. Operasi ini mampu
dijalankan dengan mud motor 8” dikarenakan laju alir lumpur sebesar 400 gpm. Kondisi ini dianggap
memenuhi syarat operasi yang dapat dilakukan.
Universitas Pertamina - 29
Gambar 4.5 LGRW dengan Contoh Kondisi Operasi
Contoh kondisi yang dapat menybabkan masalah pengeboran tergambar pada grafik di atas. Titik 2
hingga 5 menggambarkan kondisi di luar LGRW. Titik 2 dengan kombinasi Qm 300 gpm dan Qgo 720
scfm walaupun kondisi underbalance tercapai dan keruntuhan lubang sumur tidak terjadi, tetapi
pengangkatan serbuk bor buruk. Energi kinetik pada kondisi ini hanya sebesar 2.6 ft-lb/ft3. Sedangkan
pada titik 3, dengan kombinasi Qm 450 gpm dan Qgo 1500 scfm, kondisi yang terjadi adalah keruntuhan
lubang bor. Meskipun kondisi underbalance terjadi dan pengangkatan serbuk bor baik, operasi ini tidak
dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan BHP yang dihasilkan terlalu rendah, yaitu 3146 psi. Untuk titik 4,
kondisi yang terjadi adalah kerusakan alat pengeboran yang digunakan yaitu mud motor 8”. Meskipun
tekanan bawah sumur berada di antara tekanan formasi dan collapse pressure limit, pengangkatan serbuk
bor pun tergolong baik, namun batas operasi mud motor 8” terlampaui dengan operasi Qm 950 gpm dan
Qgo 2000 scfm. Sedangkan pada titik 5, kombinasi Qm 600 gpm dan Qgo 600 scfm mengakibatkan
kehilangan sirkulasi tidak tercapai. Hal ini disebabkan nilai BHP yang dihasilkan sebesar 4308 psi.
Dalam operasi lapangan, kombinasi laju alir yang digunakan dimulai dari nilai terendah. Kemudian akan
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan. Hal ini bertujuan untuk meringankan kerja alat dan
menghindari terjadi pola aliran slug flow. Jika laju alir pompa dan laju alir udara dari kompresor dan
booster dimulai dengan nilai yang besar, dikhawatirkan alat akan mudah mengalami kerusakan. Dan juga
perlu diperhatikan spesifikasi mud motor yang menunjukkan rasio fasa gas dan fasa cair yang
diinjeksikan. Pada mud motor 8” rasio lumpur terhadap gas yang diperbolehkan adalah 1:3. Jika rasio
yang digunakan tidak sesuai, pola aliran yang terbentuk tidak akan sesuai harapan (bubbly flow).
Universitas Pertamina - 30
Sedangkan preferensi kombinasi yang digunakan akan menyesuaikan kondisi sumur. Idealnya, pemilihan
kombinasi dengan nilai laju alir lumpur yang tinggi akan dipilih. Hal tersebut dilakukan dengan ekspektasi
ROP saat pengeboran juga akan tinggi.
Gambar 4.6 Profil Tekanan pada Kedalaman Tertentu Ketika Sumur Statik
Sedangkan ketika kondisi adanya aliran, tekanan bawah sumur tentu akan meningkat. Profil tekanan BHP
seperti berhimpit dengan tekanan formasi. Namun nilai BHP masih lebih rendah dibandingkan tekanan
formasi. Pada kondisi dipermukaan terjadi profil BHP yang menunjukkan overbalance. Hal tersebut
diakibatkan adanya tekanan akibat friksi pada kondisi dinamis. Sedangkan tekanan formasi dianggap 0.
Hal ini diwajarkan dan tidak menimbulkan masalah pengeboran.
Universitas Pertamina - 31
Gambar 4.7 Profil Tekanan pada Kedalaman Tertentu Ketika Sumur Flowing
Universitas Pertamina - 32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian terdahulu, Sumur F memiliki pilihan aerated fluid dan stable foam untuk operasi.
Setelah dilakukan analisa kualitatif, fluida aerasi digunkan untuk operasi pada Sumur F. Sehingga
dilakukan desain operating window untuk pengeboran aerasi.
2. Dengan metode Guo-Ghalambor perbandingan laju alir udara dan lumpur untuk pengeboran aerasi
dapat dikalkulasikan. Paramter kehilangan tekanan akibat friksi, adanya influx pada sumur, aliran yang
terjadi pada banyak fasa dijadikan pertimbangan dalam metode ini. Hasil kalkulasi membentuk batas
kanan, kiri, atas, dan bawah hingga tersusun Liquid – Gas Rate Window untuk Sumur F trayek 12.25”
(gambar 4.3) dengan rentang laju alir lumpur 325 gpm hingga 900 gpm dan laju alir udara 580 scfm
hingga 2610 scfm. Penggunaan lajur alir udara dan lumpur di luar dari LGRW dapat menyebabkan
pengangkatan serbuk bor buruk, keruntuhan sumur, hingga loss circulation semakin buruk.
V.2 Saran
Dalam perancangan Sumur F, perangkat lunak yang digunakan hanya sebatas Microsoft Excel.
Keterbatasan akses pada perangkat lunak tersedia menyebabkan proses validasi tidak maksimal. Jika
memiliki akses pada perangkat lunak perhitungan LGRW yang telah digunakan untuk suatu lapangan, hasil
kalkulasi dapat dibandingkan.
Untuk penelitian selanjutnya, pemilihan fluida underbalanced drilling perlu dilakukan juga secara kuantitatif.
Hal ini untuk memperkuat pernyataan hasil pemilihan secara kualitatif.
Untuk kepentingan akurasi perancangan, nilai collapse pressure perlu diketahui dengan pasti. Studi
geomekanik untuk menentukan nilai collapse pressure perlu dilakukan. Asumsi nilai pada perancangan
dikhawatirkan tidak merepresentasikan profil formasi sesungguhnya.
Universitas Pertamina - 33
DAFTAR PUSTAKA
Air Drilling Associates Inc. (n.d.). ADA Drilling Services. Retrieved from airdrilling.com: https://airdrilling.com/
al., K. P. (2009). Managed-Pressure Drilling : What It Is and What It Is Not. SPE. Texas: SPE.
Aljami, S. E., & Schubert, J. J. (2003). Optimum Selection of Underbalanced Techniques. SPE/IADC Middle
East Drilling Technology. Abu Dhabi: SPE/IADC.
Ashadi, & Dumrongthai, P. (2015). Successful Implementation of Aerated Drilling in Improving Geothermal
Drilling Performance. World Geothermal Congress 2015. Melbourne: WGC.
Bourgoyne, J. A., Millheim, K. K., Chenevert, M. E., & Young, J. F. (1986). Applied Drilling Engineering.
Richardson, TX: Society of Petroleum Engineers.
Dayan, G. M. (2014). Drilling Fluid Design for Geothermal Wells. United Nations University Geothermal
Training Program. Reykjavik: UNU-GTP.
DrillingFormulas.Com. (2013, May 28). Learn About Drill Pipe Float Valve. Retrieved from
DrillingFormulas.Com: http://www.drillingformulas.com/learn-about-drill-pipe-float-valve/
Dwinanto, A., & Rachmat, S. (2014). Aerated Underbalance Drilling Screening Assesment. 39th Workshop on
geothermal Reservoir Engineering. California.
Dwinanto, A., & Rachmat, S. (2014). Aerated Underbalance Drilling Screening Assessment at "X" Geothermal
Field in Indonesia. 39th Workshop on Geothermal Reservoir Engineering. California: Standford
University.
Guo, B., & Ghalambor, A. (2002). Gas Requirements for Underbalanced Drilling : Deviated Holes. Tulsa,
Oklahoma: PennWell Corporation.
Guo, B., & Liu, G. (2011). Applied Drilling Circulation Systems : Hydraulics, Calculations, and Models. New
York, etc: Gulf Professional Publishing.
Guo, B., Hareland, G., & Rajtar, J. (1996). Computer Simulation Predicts Unfavorable Mud Rate and Optimum
Air Injection Rate for Aerated Mud Drilling. SPE Eastern Regional Conference & Exhibition.
Pittsburgh: SPE Drilling & Completion.
Guo, B., Sun, K., Ghalambor, A., & Xiu, C. (2004). A Closed-Form Hydraulics Equation for Aerated-Mud
Drilling in Inclined Wells. SPE Latin American and Caribbean Petroleum Engineer Conference.
Trinidad: SPE Drilling & Completion.
IADC Underbalanced Drilling Committee (Fluids Subcommittee). (2001). Fluid Selection for Underbalanced
Drilling Operations. UB Technology Conference.
Kuadjovi, E., Djuidje, M., Kongawa, I., Timana, J., & Mitoukou, V. (2018). Aerated Drilling Fluids Used for
Geothermal Wells. In Proceedings of the International Field Exploration and Development
Conference 2018 (pp. 1920-1933). Springer.
Lyons, W. C., Guo, B., & Seidel, F. A. (2001). Air and Gas Drilling Manual Second Edition. New York, etc:
McGraw-Hill.
Lyons, W. C., Guo, B., Graham, R. L., & Hawley, G. D. (2009). Air and Gas Drilling Manual Third Edition. New
York, etc: Gulf Professional Publishing.
Universitas Pertamina - 34
Maloy, K. P., Stone, C. R., Medley, G. H., Hannegan, D., Coker, O., Reitsma, D., . . . Sonneman, P. (2009).
managed-Pressure Drilling: What It Is and What It Is Not. IADC/SPE. Texas: SPE.
N, A. T., Salazar, A. T., & Toralde, J. S. (2010 ). Corrosion Control in Geothermal Aerated Fluids Drilling
Projects in Asia Pacific. World Geothermal Congress 2010. Bali.
Nas, S., & Toralde, J. S. (2010). Geothermal Aerated Fluids Drilling Operation in Asia Pacific. World
Geothermal Congress 2010. Bali.
New Zealand Standard. (n.d.). Code of practice for deep geothermal wells. Wellington: Standards New
Zealand.
Noviasta, B., Napitupulu, G., Scagliarini, S., & al., e. (2017). DRILLING OPTIMIZATION IN HARD AND
ABRASIVE GEOTHERMAL VOLCANIC ROCK USING INNOVATIVE CONICAL DIAMOND
ELEMENT BIT. 39th New Zealand Geothermal Workshop. Auckland: NZGW.
Nugroho, W. A., Hermawan, S., & Lazuardi, B. H. (2017). Drilling Problems Mitigation in Geothermal
Environment, Case Studies of Stuck Pipe and Lost Circulation. SPE/IATMI Asia Pacific Oil & Gas
Conference. Jakarta: SPE.
Nugroho, W., Sumantri, M., & Wibisono, D. (2017). Design and Application of Aerated and Foam Drilling Fluid,
Case Study in Drilling Operation in Indonesia. Society of Petroleum Engineer. Jakarta: SPE.
Ozbayoglu, E. M. (2010). Optimization of Liquid and Gas Flow Rates for Aerated Drilling Fluids Considering
Hole Cleaning for Vertical and Low Inclination Wells. 10th Canadian International Petroleum
Technology. Calgary: SPE.
Putra, I. B. (2008). Drilling Practice with Aerated Drilling Fluid : Indonesian and Icelandic Geothermal Field.
United Nations University Geothermal Training Program. Reykjavik: UNU GTP.
Rehm, B., Haghshenas, A., Paknejad, A., Al-Yami, A., Hughes, J., & Schubert, J. (2012). Underbalanced
Drilling: Limits and Extremes. Houston, TX: Gulf Publishing Company.
Subiatmono, P., Yulianto, I., & Kennedy. (2001). Penerapan Teknologi Pemboran Underbalanced pada
Sumur Lapangan Jatibarang Pertamina DO Hulu Cirebon. Simposium Nasional IATMI 2001.
Yogyakarta: IATMI.
Watt, H. (2017). Drilling Engineering. CreateSpace Independent Publishing.
Universitas Pertamina - 35
Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir
FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN
PRODUKSI
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN
Paraf Pembimbing:
No. 2 Hari/Tanggal : Jumat/14 Februari 2020
Hal yang menjadi perhatian:
Paraf Pembimbing:
Universitas Pertamina - 36
Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir
FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN
PRODUKSI
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN
Paraf Pembimbing:
No. 4 Hari/Tanggal : Senin/9 Maret 2020
Hal yang menjadi perhatian:
Paraf Pembimbing:
Universitas Pertamina - 37
Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir
FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN
PRODUKSI
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN
Paraf Pembimbing:
No. 6 Hari/Tanggal : Selasa/2 Juni 2020
Hal yang menjadi perhatian:
Paraf Pembimbing:
Universitas Pertamina - 38
Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir
FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN
PRODUKSI
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN
Paraf Pembimbing:
No. 8 Hari/Tanggal: Kamis/16 Juli 2020
Hal yang menjadi perhatian:
Paraf Pembimbing:
Universitas Pertamina - 39
Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir
FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN
PRODUKSI
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN
Paraf Pembimbing:
No. 10 Hari/Tanggal: Senin/20 Juli 2020
Hal yang menjadi perhatian:
Perbaikan kalkulasi
Paraf Pembimbing:
Universitas Pertamina - 40
Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir
FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN
PRODUKSI
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN
Paraf Pembimbing:
No. 12 Hari/Tanggal:
Hal yang menjadi perhatian:
Paraf Pembimbing:
Universitas Pertamina - 41
LAMPIRAN
Universitas Pertamina - 42
22 x 5" HWDP (d = 5”) – BHA 1
Universitas Pertamina - 43