ANDY WIRAWAN
03101402010
SKRIPSI
Oleh:
ANDY WIRAWAN
03101002010
ii
RINGKASAN
Andy Wirawan ; Dibimbing oleh Dr. Ir. Syamsul Komar dan Ir. H. M. Akib Abro, MT
RINGKASAN
Pada operasi pemboran pada suatu sumur bisa terjadi bermacam-macam masalah yang bisa
diakibatkan oleh faktor kondisi alami ataupun faktor kesalahan mekanis. Salah satu masalah yang
terjadi pada adalah Stuck Pipe. Stuck Pipe adalah keadaan dimana sebagian dari drillstring terjepit
didalam lubang bor, sehingga operasi pemboran terhambat bahkan menjadi berhenti yang dapat terjadi
akibat differential sticking dan mechanical sticking.
Pada sumur PDW-07 terjadi stuck pipe. Stuck terjadi dua kali saat operasi pemboran, yaitu pada
trayek 17½“ di kedalaman 1131.94 ft dengan menembus formasi batubara dan kronologis saat operasi
mencapai casing point 13 3/8 di kedalaman 2411.52 ft rangkaian diangkat untuk pemasangan casing,
namun saat cabut, rangkaian stuck di kedalaman 1131.94 ft, lalu pada trayek 12¼“ terjadi stuck
kembali saat operasi sudah menembus kedalaman 4488.40 ft dengan formasi yang didominasi shale
dan terdapat sisipan limestone, dilakukan ream-up, namun saat rangkaian naik ke kedalaman 4455.59
ft rangkaian tidak bisa diputar namun tekanan dan sirkulasi lumpur normal. analisis dilakukan melalui
aspek lumpur pemboran, lithologi, hidrolika pemboran, geometri lubang bor dan indikasi stuck pipe.
Setelah dilakukan analisis diketahui penyebab pada kedalaman 1131.94 ft disebabkan seetled
cutting dari batubara yang dicirikan terjadinya drag dan sirkulasi lumpur berhenti. Hal ini
ditanggulangi dengan menaikkan berat lumpur dari 9.82 ke 9.99 ppg hingga sirkulasi normal, terdapat
cutting dan rangkaian terbebas. Lalu pada kedalaman 4455.59 ft disebabkan oleh dogleg yang terjadi
pada saat usaha cabut rangkaian di lapisan shale yang mengalami hidrasi oleh air hingga terdispersi
dan dititik terdapatnya sisipan limestone yang menyebabkan berubahnya arah lubang bor ketika
pemboran dilakukan sehingga saat angkat rangkaian pada bagian subs atau stabilizer tersangkut pada
bagian sisipan tersebut. Penyebab dogleg ini ditanggulangi dengan perendaman fluida black magic
selama 15 jam dan lakukan jar-up hingga rangkaian bebas.
Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Pertambangan
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang merupakan salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Jurusan Teknik Pertambangan,
Universitas Sriwijaya dengan judul “Analisis Penyebab Stuck Pipe dan
Penanggulangannya pada Sumur PDW-07 Lapangan Pagardewa PT. Pertamina EP”
pada tanggal 20 Desember 2014 – 30 Januari 2015.
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan
bimbingan dari Pembimbing I dan Pembimbing II yaitu, Dr. Ir. H. Syamsul Komar
dan Ir. H. M. Akib Abro, MT. Selain itu, Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. M. Taufik Toha, DEA, Dekan Fakultas Teknik Universitas
Sriwijaya.
2. Hj. RR. Harminuke Eko, S.T., M.T., dan Bochori. S.T., M.T., selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Teknik Pertambangan
3. Ir. Djuki Sudarmono, DESS., selaku Dosen pembimbing akademik.
4. Dosen dan staff pengajar Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya.
5. Pimpinan PT. PDSI Project SBS serta segenap staf dan karyawan PT. PDSI
Project SBS.
6. Seluruh pihak yang sudah banyak membantu selama Tugas Akhir ini berlangsung
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat
membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Harapan besar penulis semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
iii
RINGKASAN
Andy Wirawan ; Dibimbing oleh Dr. Ir. Syamsul Komar dan Ir. H. M. Akib Abro,
MT
Analysis of stuck pipe causes and the prevention in PDW-07 well Pagardewa field
PT. Pertamina EP
RINGKASAN
Pada operasi pemboran pada suatu sumur bisa terjadi bermacam-macam masalah yang
bisa diakibatkan oleh faktor kondisi alami ataupun faktor kesalahan mekanis pada saat
operasi pemboran. Salah satu masalah yang terjadi pada operasi pemboran adalah Stuck
Pipe. Stuck Pipe adalah keadaan dimana sebagian dari drillstring terjepit didalam lubang
bor, sehingga operasi pemboran terhambat bahkan menjadi berhenti yang dapat terjadi akibat
differential sticking dan mechanical sticking.
Pada sumur PDW-07 lapangan Pagardewa terjadi problem lubang yaitu Stuck pipe.
Problem ini terjadi dua kali pada saat operasi pemboran dilakukan, yaitu pada saat angkat
rangkaian di trayek 17½“ di kedalaman 1.131,94 ft dengan menembus formasi yang dominan
batubara dan kronologis saat operasi mencapai casing point 13 3/8 di kedalaman 2.411,52 ft
rangkaian diangkat ke permukaan untuk pemasangan casing, namun saat cabut, rangkaian
stuck di kedalaman 1.131,94 ft, lalu pada trayek 12¼“ juga terjadi stuck kembali saat operasi
sudah menembus kedalaman 4.488,40 ft yang mana formasi yang ditembus didominasi shale
dan terdapat sisipan limestone, dilakukan ream-up, namun saat rangkaian naik ke kedalaman
4.455,59 ft rangkaian tidak bisa diputar dan digerakkan pada satu titik kedalaman. Hal ini
menyebabkan berhentinya operasi pemboran dan bertambahnya waktu yang dibutuhkan.
analisis dilakukan melalui aspek yang mempengaruhi stuck pipe, yaitu aspek lumpur
pemboran, lithologi, hidrolika pemboran, geometri lubang bor dan indikasi stuck pipe.
Setelah dilakukan analisis diketahui penyebab stuck pipe pada kedalaman 1.131,94 ft
saat cabut rangkaian disebabkan oleh pack-off yaitu seetled cutting dari batubara yang
dicirikan terjadinya drag dan sirkulasi lumpur berhenti. Seetled cutting dari batubara ini
ditanggulangi dengan menaikkan berat lumpur dari 9,82 ke 9,99 ppg hingga sirkulasi normal,
terdapat cutting dan rangkaian terbebas. Lalu pada kedalaman 4.455,59 ft juga mengalami
stuck saat cabut rangkaian disebabkan oleh dogleg yang terjadi pada saat usaha cabut
rangkaian di lapisan shale yang mengalami hidrasi oleh air hingga terdispersi dan dititik
terdapatnya sisipan limestone yang menyebabkan berubahnya arah lubang bor ketika
pemboran dilakukan sehingga saat angkat rangkaian pada bagian subs atau stabilizer
tersangkut pada bagian sisipan tersebut. Penyebab dogleg ini ditanggulangi dengan spotting
fluid agent yaitu perendaman fluida black magic selama 15 jam dan melakukan jar-up
hingga rangkaian bebas. jika penanggulangan berhasil maka operasi pemboran dapat
dilanjutkan.
iv
SUMMARY
Andy Wirawan ; Dibimbing oleh Dr. Ir. Syamsul Komar dan Ir. H. M. Akib Abro,
MT
SUMMARY
In drilling operations at a well may occur various problems that can be caused by factor
natural condition or mechanical error factor during drilling operations. One of the problem
that occur in the drilling operation is Stuck Pipe. Stuck Pipe is a condition where a portion of
the drillstring wedged in the borehole, so that drilling operation hampered even be stopped
cause of differential sticking or mechanical sticking.
In the PDW-07 wells Pagardewa field there is a hole problem that is stuck pipe. This
problem that occur twice during the drilling operation carried out, namely when lift
drillstring in trajectory 17½” at a depth of 1.131,94 ft with coal formation and with
chronogical time of the operation reached a 13 3/8” casing point, drillstring lifted to the
surface for mounting the casing, but when lift, drillstring stuck in depth 1.131,94 ft, then the
trajectory 12¼” at a depth of 4.455,59 ft with limestone insertion also occurs stuck again
when operation is to penetrate to depth 4.488,40 ft, do ream-up, but when drillstring rises to
a depth of 4.455,59 ft, drillsting cannot be rotated and moved at one point depth.. this led to
the cessation of drilling operations and increase the time required to complete the drilling
operations on wells PDW-07'. analysis is done by looking at the five aspects, namely drilling
mud, drilling hydraulics, borehole geometry, lithology, and indication of stuck pipe.
After analyzing the known causes of stuck pipe at a depth of 1.131,94 ft when disconnect
the drillstring caused by pack-off that is seetled cutting of coal characterized the drag and
mud circulation stopped. Seetled cutting of coal overcome by increasing mud weight from
9,82 to 9,99 ppg until got normal circulation, cutting and pipe free from stuck. Then at a
depth of 4.455,59 ft is also experiencing stuck when unplug the drillstring caused by dogleg
that occurred during the attempt to unplug in the shale layer that hydrated by water until
dispersed and at the point of insertion presence of limestone which led to changes in the
direction of the borehole when drilling is done so that when lifting drillstring in part of subs
or stabilizer snagged on the part of the limestone insertion, while the dogleg overcome by
spotting fluid agent that black magic for 15 hours and perform jar-up to until drillstring got
free. After successfully overcoming the drilling operation can be resumed.
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
RINGKASAN .................................................................................................. iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix
BAB
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah ...................................................... 2
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 2
vi
BAB Halaman
2.6.4. Problem Stuck Pipe Lainnya .......................................................... 47
2.7. Metode Penanggulangan Stuck Pipe ......................................................... 47
2.7.1. Free Point Indicator ..................................................................... 47
2.7.2. Metode U Tube ............................................................................... 49
2.7.3. Spotting Free Agent Pipe .............................................................. 49
2.7.4. Back-off .......................................................................................... 49
2.7.5. Fishing Operation .......................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Contoh suatu Rangkaian Drillstring ....................................................... 5
2.2. Klasifikasi Drillpipe Menurut Kode Warna API ..................................... 7
2.3. Differential Sticking ................................................................................ 11
2.4. Keyseat .................................................................................................... 13
2.5. Undergauge Hole .................................................................................... 14
2.6. Ledges dan Dogleg ................................................................................... 14
2.7. Salt Washout ........................................................................................... 15
2.8. Salt Plastic Deformation ......................................................................... 16
2.9. Seetled Cutting ......................................................................................... 18
2.10. Swelling Shale ........................................................................................ 19
2.11. Uncosolidated Formation ....................................................................... 20
2.12. Fractured and Faulted Formation ......................................................... 21
2.13. Cement Blocks ........................................................................................ 21
2.14. Green Cement ......................................................................................... 22
2.15. Junk ........................................................................................................ 23
2.16. Hubungan Tekanan Hidrostatik Lumpur vs Laju Pemboran .................. 28
2.17. Overshots ............................................................................................... 51
2.18. Spears ..................................................................................................... 52
3.1. Peta Lokasi Lapangan Pagardewa ........................................................... 54
3.2. Stratigrafi Umum Cekungan Sumatera Selatan ...................................... 55
3.3. Penampang Sumur PDW-07 ................................................................... 56
3.4. Bagan Alir Metodologi Penelitian .......................................................... 61
C.1. Mudlog pada kedalaman 1.082,73 ft – 1.738,93 ft ................................... C-1
C.2. Mudlog pada kedalaman 4.068,44 ft – 4.659,02 ft ................................... C-2
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Ukuran dan Berat DP yang umum digunakan.............................................. 6
2.2. Range Panjang Drillpipe .............................................................................. 6
2.3. Yield dan Tensile Stress pada berbagai Grade Pipa ..................................... 6
2.4. Indikasi Penyebab Stuck Pipe ...................................................................... 39
4.1. Mud Properties Trayek 17-½“ ..................................................................... 62
4.2. Hidrolika Trayek 17-½“ ............................................................................... 62
4.3. Properti lumpur di kedalaman 1.131,94 ft ................................................... 63
4.4. Ukuran Pipa dan Lubang Bor kedalaman 1.131,94 ft .................................. 64
4.5. Annulus velocity dan Critical Annulus Velocity kedalaman 1.131,94 ft ...... 67
4.6. Critical GPM kedalaman 1.131,94 ft ........................................................... 67
4.7. Critical RPM kedalaman 1.131,94 ft ........................................................... 68
4.8. Mud Properties Trayek 12-¼“ ..................................................................... 72
4.9. Hidrolika Trayek 12-¼“ ............................................................................... 72
4.10. Properti Lumpur di Kedalaman 4.455,59 ft ............................................... 73
4.11. Ukuran Pipa dan Lubang Bor kedalaman 4.455,59 ft ................................ 75
4.12. Annulus velocity dan Critical Annulus Velocity kedalaman 4.455,59 ft .... 76
4.13. Critical GPM kedalaman 4.455,59 ft ......................................................... 77
4.14. Critical RPM kedalaman 4.455,59 ft ......................................................... 77
A.1. Mud Properties kedalaman 1.131,94 ft dan 4.455,59 ft.............................. A-1
A.2. Diameter pipa dan Lubang bor kedalaman 1.131,94 ft dan 4.455,59 ft ...... A-1
B.1. Parameter pemboran kedalaman 1.131,94 ft sampai 1.312,4 ft .................. B-1
B.2. Parameter pemboran kedalaman 4.439,19 ft sampai 4.494,97 ft ................ B-2
D.1. Daily Operations Report 8 Januari 2015..................................................... D-1
D.2. Daily Operations Report 16 Januari 2015 .................................................. D-2
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A. Perhitungan Hidrolika ............................................................................... A-1
B. Parameter Pemboran ............................................................................... B-1
C. Mudlog ..................................................................................................... C-1
D. Daily Operations Report .......................................................................... D-1
x
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Universitas Sriwijaya
2
Universitas Sriwijaya
3
1. Manfaat praktis
a. Meminimalisir akan bahaya terjadinya problem Stuck Pipe pada saat operasi
pemboran.
b. Menambahkan bahan pertimbangan untuk pemboran sumur-sumur yang akan
dilakukan selanjutnya.
2. Manfaat akademis
a. Mengenal cara untuk mengetahui penyebab terjadinya stuck pipe, cara
pencegahan serta cara penanggulangannya.
b. Mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan problem stuck pipe dan
cara penanggulangannya.
Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4 Universitas Sriwijaya
5
2.2.1. Drillpipe
Drillpipe merupakan salah satu dari komponen rangkaian drillstring,
dimana bentuk dari pipa ini yang dilengkapi oleh alat hubung berulir pada kedua
ujungnya (Neal Adams, 1985). Dari masing-masing ujung harus kuat/tebal
(disebut “Upset”) karena stress terbesar terjadi pada ujung ini. Upset ini
memberikan ketebalan tambahan untuk ulir khusus yang disebut tool joint untuk
menyambung tiap joint dari drillpipe.
Tujuan dari pemasangan drillpipe pada rangkaian drillstring adalah :
Sebagai alat transmisi torsi dari kelly ke bit
Memberikan suatu saluran bagi fluida pemboran ke bit
Drillpipe digunakan untuk menggantung rangkaian BHA (bottom hole
assembly) bit pada suatu kedalaman pemboran tertentu.
Karakteristik dari suatu drill pipe dapat dicirikan / diketahui dari beberapa
sifat yaitu : tipe, ukuran, grade dan class.
Universitas Sriwijaya
6
1. Tipe
Ada dua tipe dari drill pipe berdasarkan beratnya, yaitu : drillpipe standart
dan HWDP (heavy weight drillpipe). (Tabel 2.1.) memperlihatkan ukuran dan
berat Drill Pipe yang umum digunakan.
Tabel 2.1. Ukuran dan Berat DP yang umum digunakan (Neal Adams, 1985)
2. Ukuran
Suatu drillpipe digunakan dalam suatu interval ukuran dan dalam ukuran
yang paling umum, digunakan bermacam-macam ketebalan dinding yang
memungkinkan bisa dipilih untuk mencocokkan suatu tipe tertentu dengan
program pemboran. Pada (Tabel 2.2.) range panjang drillpipe dibagi dalam 3
kategori.
Tabel 2.2. Range Panjang Drillpipe (Neal Adams, 1985)
3. Grade
Grade dari suatu drillpipe menggambarkan suatu minimum yield strength
pipa. Harga ini penting sebab grade digunakan dalam perhitungan burst, collapse
dan tension (Neal Adams, 1985). Pada (Tabel 2.3.) memperlihatkan tentang harga
dari minimum yield strength pipa pada tiap grade nya. Dimana dari batasan yield
strength ini pipa bisa di ketahui sampai mana pipa mampu atau layak untuk di
gunakan.
Tabel 2.3. Yield dan Tensile Stress pada berbagai Grade Pipa (Neal Adams, 1985)
Min. Yield Stress Min. Tensile Stress Min. Yield/Tensile
API Grade
(psi) (psi) Stress
D 55.000 95.000 0,58
E 75.000 100.000 0,75
95 (X) 95.000 105.000 0,90
105 (G) 105.000 115.000 0,91
135 (S) 135.000 145.000 0,93
Universitas Sriwijaya
7
4. Class
Dalam hal ini kualitas pada saat pemakaian, drillpipe tidak sama dengan
pipa lainnya, misalnya tubing dan casing, sebab drillpipe digunakan pada kondisi
yang sudah usang. Akibatnya ada sebuah class drillpipe yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan pemakaiannya (Neal Adams, 1985). Sistem kode warna
API (american petroleum institute). Pada (Gambar 3.2.) menunjukan dari
klasifikasi drillpipe menurut kode warna API.
Gambar 2.2. Klasifikasi Drillpipe Menurut Kode Warna API (Neal Adams. 1985)
Universitas Sriwijaya
8
drillstring karena letak titik netral terdapat pada heavy weight drill pipe (Neal
Adams, 1985).
2. Drilling Jar
Suatu alat yang terdapat pada rangkaian BHA (bottom hole assembly) yang
berfungsi untuk memberikan suatu aksi sentakan ke arah atas pada saat pipa
terjepit (Rabia H., 1985). Dengan prinsip kerja seperti halnya palu ketika
mendapat tekanan, drilling jar akan menghentak ketika mendapat tekanan pada
saat pipa terjepit dan berusaha melepaskan pipa dari jepitan dengan dinding
lubang bor.
3. Drill Collar
Drillcollar dipasang di bagian bawah drillpipe untuk memberikan berat
yang cukup pada bit yang biasa digunakan dalam suatu operasi pemboran.
Drillcollar tidak mempunyai tool joint yang dipasangkan pada badan pipa,
dinding drillcollar yang tebal memungkinkan untuk ulir yang dipasang langsung
pada dindingnya.
4. Stabilizer
Stabilizer merupakan alat yang digunakan untuk menjaga arah pemboran
sesuai dengan yang direncanakan. Teknik stabilizer yang paling populer adalah
pendulum yang menggunakan berat drillcollar untuk bergerak pada stabilizer
yang menjadi poros untuk mengatur agar bit menghasilkan penurunan sudut
kemiringan lubang bor, dan fulcrum principle yang bertujuan menaikkan sudut
kemiringan lubang bor, serta teknik packed hole menggunakan sejumlah
tambahan stabilizer dengan spasi yang berdekatan untuk mencegah efek pendulum
maupun fulcrum sehingga di dapatkan sudut yang stabil atau yang sering di sebut
dengan prinsip stabilisasi (Neal Adams, 1985).
5. Reamer
Reamer adalah bagian dari BHA (bottom hole assembly) yang bertujuan
untuk mempertahankan ukuran dari lubang bor pada saat pemboran berlangsung
(Rabia H., 1985). Alat ini terdiri dari blade stabilizer ditambah suatu seri rollers
yang dibuat dari baja keras (atau menggunakan sisipan tungsten carbide).
Disamping bereaksi seperti stabilizer, juga membantu mempertahankan ukuran
lubang dan menanggulangi stuck pipe yang disebabkan oleh dog leg atau key seat.
Universitas Sriwijaya
9
Universitas Sriwijaya
10
pola aliran lumpur yang di transmisikan ke atas permukaan dan akan di rekam
pada computer.
11. Down Hole Mud Motor
DHM adalah suatu alat yang berguna untuk memutar bit tanpa dengan
memutar rangkaian pipa di atasnya yaitu Drillpipe. Prinsip kerja alat ini adalah
dengan menggunakan kecepatan aliran dari fluida pemboran yang di semprotkan
dari dalam drillstring kemudian mengenai dari rotor, dan rotor berfungsi sebagai
penggerak dari DHM, dari putaran yang di hasilkan maka akan dapat meneruskan
putaran ke bit (Rabia H., 1985).
Universitas Sriwijaya
11
Universitas Sriwijaya
12
Area permukaan dari pipa yang tersangkut pada mud cake adalah faktor
signifikan yang lain. Semakin luas area permukaan, maka semakin besar gaya
yang dibutuhkan untuk membebaskan pipa. Ketebalan dari mud cake dan diameter
pipa akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap area permukaan. Hal tersebut
menjadi alasan untuk menurunkan kemungkinan luas area permukaan yang mana
drill collar pada saat pemboran akan lebih berpotensi untuk mengalami
Differential Sticking.
Differential Sticking force dapat dihitung dengan perhitungan (Rabia H. 1985) :
DSF = (Ph – Pf) x A x friction factor ……………………………………..(2-2)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur
Pf = Tekanan Formasi
A = luas area kontak
Pada umumnya area kontak dihitung dari ketebalan formasi yang permeable
20% dari parameter pipa bor atau drillcollar. Cara lain untuk menghitung area
kontak dapat dihitung dengan persamaan (Rabia H. 1985):
𝐻𝑠 𝐻𝑠 𝐻𝑠−𝑡𝑚𝑐
A = 2h √( 2 − 𝑡𝑚𝑐)2 − ( 2 − 𝑡𝑚𝑐(𝐻𝑠−𝑂𝐷𝑝))2 …………………(2-3)
Keterangan :
h = ketebalan zona permeable
Tmc = ketebalan mud cake
Hs = ukuran Lubang
ODp = OD dari pipa bor atau drillcollar
Permukaan diperkirakan dari ketebalan mud cake yang bisa berbeda-beda
berdasarkan letak kedalaman lubang.
2.3.2 Wellbore Geometry
1. Keyseat
Keyseat disebabkan karena perputaran rangkain pemboran menembus
dengan formasi yang lembut dan mudah ditembus (Rabia H. 1995). Laju
perputaran ini dapat menyebabkan tooljoint untuk mengikis alur dalam formasi
yang kurang lebih sama dengan diameter alat pipa bor yang digunakan. Saat akan
ditarik keluar lubang bor, BHA tersebut mungkin akan tetap menempel pada
dinding lubang yang lembut dan mengikisnya sehingga BHA akan terjepit pada
Universitas Sriwijaya
13
formasi tersebut. Keyseat biasanya terjadi pada formasi yang lembut atau pada
sumur dengan ledges dan doglegs. Ledges dan doglegs ini memungkinkan
rangkaian pemboran untuk menekuk dan memperluas titik kontak antara tooljoint
dengan dinding lubang bor. Keyseat juga mungkin terjadi pada casing shoe
didalam sumur yang terlalu menyimpang.
Stuck pipe yang disebabkan bisa di indikasi dengan melihat :
a) sirkulasi tetap lancar saat Stuck Pipe.
b) lubang menjadi sempit saat dilakukan Trip Out.
c) posisi lubang yang sempit bisa dikorelasikan dengan posisi OD dari bagian
BHA.
d) penyempitan lubang akan terjadi pada kedalaman yang sama di dilakukan trip.
Universitas Sriwijaya
14
Universitas Sriwijaya
15
4. Mobile Formation
Mobile atau Plastic Formation biasanya mengacu pada halites dan
claystones. Formasi tersebut mengandung sifat plastic yang mampu merubah
bentuk dan mengalir dibawah tekanan (Rabia H. 1985). Masalah utama yang
dihadapi dalam mobile formation adalah saat melewati bagian halite (garam).
Garam biasanya mengandung unsur sulfat atau karbonat dan bisa menjadi
pembatas yang sempurna untuk reservoir.
Permasalahan utama pada bagian salt adalah :
a) Salt Washout
saat Water-based Muds (WBM) digunakan untuk pemboran daerah garam,
air pada WBM akan melarutkan garam yang akan menyebabkan washout yang
besar pada lubang bor. Faktor yang mempengaruhi salt washout :
Garam memiliki kelarutan yang tinggi oleh air.
Bischofite sepuluh kali lebih larut didalam air panas dibandingkan halite
Washout yang besar biasanya ditemukan saat melewati fase garam yang
kompleks.
Washout biasanya disebabkan karena pekerjaan semen yang buruk dan
akhirnya casing menjadi runtuh.
Sodium chloride satur fluida pemboran akan melarutkan potassium,
magnesium dan calcium salt. Saat Mg, K dan Ca ions didalam lumpur naik,
rate untuk solusi akan menurun dan tidak bisa lagi menghilangkan washout
dari garam.
Pencampuran salt mud system digunakan sebagai fluida drilling, tetapi
memiliki kegagalan yang besar untuk menjadi standar.
Universitas Sriwijaya
16
b) Salt Movement
Salt movement adalah proses yang sangat kompleks dan di control dari
beberapa faktor yang berhubungan dengan kedalaman, temperature, tekanan
formasi, dan water content. Berikut poin yang diketahui mengenai salt movement
garam mempunyai super-vicous fluid.
rate pergerakan dari fase garam berdasarkan kedalaman, temperature,
komposisi, water content dan impurities.
halites relative bergerak lambat.
rate pergerakan bisa meningkat menjadi 1” per jam( pipa menjadi terjepit saat
pemboran).
salt complex (carnalite dan bischofite) mengandung lebih banyak water
content yang memberikan banyak pergerakan dibanding halites murni.
aliran dari garam bisa masuk atau keluar dari sumur tergantung pada tekanan
hidrostatik lumpur. Berat lumpur seharusnya mampu didesain untuk menahan
balik salt movement ke dalam lubang bor.
Anhydrites dan carbonates dibawah lapisan fase garam adalah immobile.
Permasalahan utama yang disebabkan salt movement adalah runtuhnya
casing dan stuck pipe saat pemboran. Drillstring akan stuck pada daerah salt saat
pemboran yang akan mudah dibebaskan dengan spot air disekitar zona stuck
untuk melarutkan garam dan membebaskan pipa. Washout yang besar dan
buruknya penyemenan akan mempengaruhi hasil saat air digunakan untuk
membebaskan pipa pada daerah garam. Pergerakan dari gerakan garam dapat
dilihat pada (Gambar 2.8).
Universitas Sriwijaya
17
Universitas Sriwijaya
18
Universitas Sriwijaya
19
b) Swelling Shales
Swelling Shales disebabkan oleh proses hidrasi atau potensial osmotic yang
berpotensi berkembang antar fluida pori dari shale dan salinitas fluida pemboran.
Swelling shales dapat dilihat pada (Gambar 2.10).
Universitas Sriwijaya
20
didekat lubang atas yaitu meningkatnya torsi, drag dan tekanan pompa saat
pemboran. Tanda lainya meliputi peningkatan ROP dan pengisian yang besar di
bagian bawah. Kondisi unconsolidated formation dapat dilihat pada (Gambar
2.11)
Universitas Sriwijaya
21
Universitas Sriwijaya
22
Universitas Sriwijaya
23
2. Tight Hole
Sebuah lubang dikatakan tight (ketat) ketika gaya menarik ke atas lebih
besar dari berat apung drillstring. Kekuatan extra di atas berat apung disebut drag
force. Meningkatnya drag saat pemboran atau saat ditarik keluar lubang bor
merupakan indikasi yang jelas bahwa lubang bor menjadi Tight. Tight Hole
biasanya diamati di bagian yang mengandung reactive clay atau salt. Swelling dari
clay menyebabkan mengecilnya diameter lubang bor karena membesarnya ukuran
dari clay yang akhirnya menyebabkan meningkatnya drag saat ditarik keluar
lubang bor. Gejala lain dari tight hole adalah Peningkatan torsi dan tekanan
pompa.
3. Junk
Beberapa insiden yang tercatat dari permasalahan Stuck pipe yang telah
terjadi sebagai akibat dari jatuhnya junk ke dalam lubang. Ini termasuk junk jatuh
dari permukaan atau dari bagian atas lubang. Junk yang biasanya jatuh dari
permukaan atau rigfloor meliputi pipe wrenches, spanners, broken metal, hard
hats dan lain-lain. Junk juga bisa jatuh dari dalam dalam lubang bor yang meliputi
adanya kerusakan pada drillstring, hingga terputusnya atau dipotongnya bagian
BHA yang mengalami stuck pipe tersebut. Kondisi junk dapat dilihat pada
(Gambar 2.15)
Universitas Sriwijaya
24
Universitas Sriwijaya
25
Universitas Sriwijaya
26
Universitas Sriwijaya
27
kebutuhan dilapangan. Dari jenis-jenis logging yang ada (log listrik, log radioaktif
dan log suara), maka lumpur sangat berperan pada penggunaan log listrik.
i) Mendapatkan Informasi Sumur
Pada operasi pemboran, lumpur biasanya dapat dianalisis untuk mengetahui
ada tidaknya kandungan Hidrokarbon berdasarkan mud log. Selain itu juga
dilakukan analisis cutting untuk mengetahui jenis formasi apa yang sedang dibor.
2. Sifat Fisik Lumpur Pemboran
Semua fungsi lumpur pemboran dapat berlangsung dengan baik apabila
sifat-sifat lumpur tersebut selalu dijaga dan selalu diamati secara kontinyu dalam
setiap operasi pemboran. Untuk mempermudah pengertian, maka terdapat empat
sifat fisik lumpur pemboran yaitu densitas (berat jenis), viskositas dan gel strength
serta filtration loss. Selain itu terdapat pula sifat lumpur pemboran yang lain,
seperti pH lumpur, Cl content dan sand content.
a) Berat Jenis
Lumpur pemboran sebagai benda cair mempunyai berat jenis. Berat jenis
suatu benda adalah berat benda dibagi volumenya pada temperatur dan tekanan
tertentu. Satuan yang dipakai adalah kg/l, gr/cc dan lb/gal. Berat jenis lumpur
pemboran diukur dengan alat timbangan lumpur (mud balance) yaitu semacam
alat penimbang yang disatu ujungnya berskala dan ujungnya yang lainnya terdapat
mangkuk tempat akan ditentukan densitasnya. Kalibrasi alat tersebut dapat
dilakukan dengan air biasanya harus menunjukan angka 8,33 lb/gal (ppg), 62,4
lb/cuft, 1 SG dan 433 psi/1000 ft (Rabia H.,1985). Hasil pengukuran yang lengkap
dicatat dalam satuan-satuan tersebut diatas.
Berat jenis lumpur harus dikontrol agar dapat memberikan tekanan
hidrostatik yang cukup untuk mencegah masuknya cairan formasi kedalam lubang
bor, tetapi tekanan tersebut jangan terlalu besar karena dapat menyebabkan
formasi pecah dan lumpur hilang ke formasi. Oleh karena itu berat jenis lumpur
pemboran perlu direncanakan sebaik-baiknya dan disesuaikan dengan formasi
yang akan ditembus. Pada kondisi normal, semakin besar tekanan hidrostatik
lumpur pemboran maka semakin rendah laju penembusan. Hubungan antara
kecepatan pemboran dengan tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang dapat
dilihat dengan pada (Gambar 2.16).
Universitas Sriwijaya
28
18
16
14
b) Viskositas.
Viskositas suatu cairan adalah ukuran tahanan dalam suatu cairan terhadap
aliran suatu gerakan (Rudi R., 1993). Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai
perbandingan antara shear stress (tekanan penggeser) dan shear rate (laju
penggeseran). Untuk cairan yang termasuk newtonian seperti air, perbandingan
shear rate dengan shear stress ini sebanding dan konstan, sedangkan lumpur
pemboran adalah termasuk cairan non-newtonian dimana perbandingan shear
stress dengan shear rate tidak konstan, disebut viskositas semu (apparent
viscosity) serta memberikan hubungan variasi yang luas.
Pada fluida non-Newtonian fluida mempunyai viskositas tidak konstan,
dimana viskositasnya tergantung pada besarnya shear rate yang terjadi. Pada
setiap shear rate tertentu fluida mempunyai viskositas yang disebut apparent
viscosity pada shear rate tersebut. Contoh dari fluida ini adalah lumpur dan
semen.
Umumnya fluida pemboran dapat dianggap bingham plastic, dalam hal ini
sebelum ada aliran harus ada minimum shear stress yang disebut yield point (y).
setelah yield point terlampaui maka setiap penambahan shear rate sebanding
dengan plastic viscosity (p) dari pada model ini.
Penentuan plastic viscosity menggunakan Persamaan Bingham Plastic
dengan menghitung perbandingan antara shear stress dengan shear rate. Plastic
viscosity merupakan kontribusi untuk total viskositas fluida dari fluida dibawah
Universitas Sriwijaya
29
kondisi dinamik (Rabia H., 1985). Yield point adalah bagian dari resistensi untuk
mengalir oleh gaya tarik-menarik antar partikel (Rabia H., 1985).
Viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan penetration rate turun,
pressure loss tinggi terlalu banyak gesekan, pressure surges yang berhubungan
dengan lost circulation dan swabbing yang berhubungan dengan blow out dan
sukar melepaskan gas dan cutting dari lumpur dipermukaan. Sedangkan viscositas
yang terlalu rendah menyebabkan pengangkatan cutting tidak baik dan material-
material pemberat lumpur menjadi mengendap.
c) Gel Strength
Pada waktu lumpur disirkulasikan yang berperan adalah viskositas.
Sedangkan waktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strength.
Lumpur menjadi gel apabila tidak terjadi sirkulasi, hal ini disebabkan oleh gaya
tarik-menarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Gaya tarik menarik antar
partikel inilah yang disebut gel strength (Rudi R., 1995).
Pada waktu sirkulasi dihentikan lumpur harus mempunyai gel strength yang
dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar jangan mengendap.
Akan tetapi kalau gel strength terlalu tinggi akan menyebabkan terlalu berat kerja
pompa lumpur pemboran untuk memulai sirkulasi kembali.
Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh
memompakan lumpur dengan daya yang besar, pemompaan yang besar dapat
menyebabkan formasi pecah. Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggantian bit.
Agar formasi tidak pecah didasar lubang bor, maka sirkulasi dilakukan dengan
secara bertahap, dan sebelum melakukan sirkulasi, rotary table diputar terlebih
dahulu untuk memecah gel.
Gel Strength yang terlampau kecil akan menyebabkan terendapnya serbuk
bor pada saat sirkulasi lumpur berhenti, sedangkan gel strength yang terlampau
tinggi akan mempersulit usaha pompa untuk memulai sirkulasi lagi. Gel strength
berbeda dengan pengertian yield point (minimum Shear stress yang harus
dilampaui sebelum ada geseran) walaupun yield point yang tinggi berhubungan
dengan gel strength yang tinggi. Walaupun gel strength pada saat nol menit
setelah agitasi harus sama dengan yield point, pada kenyataannya tidaklah
demikian, dan hal ini disebabkan oleh :
Universitas Sriwijaya
30
Pada Shear rate yang rendah, lumpur tidak benar-benar bersifat plastic.
Kesalahan pengukuran dimana tidak mungkin memulai pengukuran pada
waktu nol sebenarnya.
Sifat Yield point adalah sifat dinamis (keadaan sirkulasi) sedangkan sifat gel
strength adalah sifat statis (keadaan diam). Seperti apa yang telah dapat diduga
sebelumnya, viskositas yang tinggi berhubungan dengan gel strength yang tinggi
pula (pada umumnya), hal ini dikarenakan sifat viskositas maupun gel strength
dengan sifat tarik menarik plate-plate pada clay.
d) Filtration loss
Lumpur pemboran itu terdiri dari komponen padat dan komponen cair.
Karena pada umumnya dinding lubang bor mempunyai pori-pori, komponen cair
dari lumpur akan masuk kedalam dinding lubang bor. Zat cair yang masuk ini
disebut dengan filtrat. Padatan dari lumpur akan menempel pada permukaan
dinding lubang. Bila padatan dari lumpur yang menempel ini sudah cukup
menutupi pori-pori dinding lubang, maka cairan yang masuk kedalam formasi
juga berhenti.
Cairan yang masuk ke formasi pada dinding lubang bor akan menyebabkan
akibat negatif, antara lain :
Dinding lubang akan mudah runtuh.
Bila filtrat yang masuk ke dalam formasi adalah air, maka ikatan antara
partikel formasi akan melemah, sehingga dinding lubang mudah runtuh.
Interpretasi dari logging tidak akurat
Electric logging atau resistivity log mengukur resistivity dari formasi cairan
atau fluida yang dikandung oleh formasi tersebut. Kalau filtration loss banyak,
maka yang diukur oleh alat logging adalah resistivity dari filtrat.
Water blocking
Filtrat yang berupa air akan menghambat aliran minyak dari formasi
kedalam lubang sumur jika filtrat dari lumpur banyak.
Differential sticking
Seiring dengan banyaknya filtration loss maka mud cake dari lumpur akan
tebal. Diwaktu sirkulasi berhenti ditambah lagi dengan berat jenis lumpur yang
Universitas Sriwijaya
31
besar, maka drill collar yang terbenam didalam mud cake serta lumpur akan
menekan dengan tekanan hidrostatik yang besar ke dinding lubang.
Channeling pada semen.
Di waktu penyemenan, mud cake yang tebal kalau tidak dibersihkan akan
menyebabkan ikatan antara semen dengan dinding lubang menjadi kurang baik.
e) Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau juga sering disebut pH lumpur pemboran dipakai
untuk menentukan tingkat kebasaan dan keasaman dari lumpur bor. pH dari
lumpur yang dipakai berkisar antara 8,5 sampai 12. jadi lumpur pemboran yang
digunakan adalah dalam suasana basa. Kalau lumpur bor dalam suasana asam
maka cutting yang keluar dari lubang bor akan halus atau hancur, sehingga tidak
dapat ditentukan batuan apakah yang ditembus oleh mata bor. Dengan kata lain
sulit untuk mendapatkan informasi dari cutting. Selain dari pada itu peralatan-
peralatan tidak mudah berkarat.
Alat yang digunakan untuk mengukur pH lumpur adalah sebagai berikut :
pH indikator
Sering juga dikatakan kertas lakmus atau pH paper.
pH meter
Mencelupkan alat pH meter akan diketahui berapa pH dari lumpur tersebut.
f) Cl Content
Kandungan Cl ditentukan untuk mengetahui kadar garam dari lumpur.
Kadar garam dari lumpur akan mempengaruhi interpretasi log listrik. Kadar
garam yang besar akan menyebabkan daya hantarnya besar pula. Pembacaan
resistivity dari cairan formasi akan terpengaruh. Naiknya kadar garam dari lumpur
disebabkan cutting garam yang masuk kedalam lumpur disaat menembus formasi
yang mengandung garam. Dengan kata lain lumpur terkontaminasi oleh garam.
g) Sand Content
Yang dimaksud dengan sand content adalah kadar pasir didalam lumpur bor.
Pasir tidak boleh terlalu banyak didalam lumpur bor, karena dapat merusak
peralatan yang dilaluinya pada saat sirkulasi, dan akan menaikkan berat jenis dari
lumpur bor itu sendiri (Rudi R., 1995). Kadar pasir maksimal yang diperbolehkan
adalah 2% volume.
Universitas Sriwijaya
32
Universitas Sriwijaya
33
Universitas Sriwijaya
34
Log ( R / 60 N )
d ………………………………………(2-4)
Log (12W / 1.000db)
Keterangan :
d = harga d-exponent,
R = ROP, ft/hr
N = Rotary Speed, rpm
W = WOB, klb
Db = Bit Diameter, in
Setelah mendapatkan harga d-exponent, langkah selanjutnya menghitung
d-exponent terkoreksi dengan persamaan sebagai berikut :
9
dc d …………………………………………………………(2-5)
MW
Keterangan :
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
MW = mud weight, ppg
Dan untuk menghitung besar equivalen mud weight adalah sebagai berikut:
9d
EMW 0,3 …………………………………………………(2-6)
dc
Keterangan :
EMW = Equivalen mud weight, lb/gal
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
Setelah itu untuk menghitung besarnya tekanan formasi digunakan
persamaan sebagai berikut :
Pf = 0,052 EMW D …………………………………………(2-7)
Keterangan :
Pf = Tekanan Formasi, psi
D = TVD, ft
EMW = Equivalen mud weight, lb/gal
Untuk menghitung besarnya tekanan hidrostatik lumpur pemboran
digunakan persamaan sebagai berikut :
Universitas Sriwijaya
35
Ph = 0,052 MW D …………………………………………(2-8)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur pemboran, psi
MW = berat jenis lumpur pemboran, lb/gal
D = tinggi kolom lumpur, ft
Untuk mengetahui perbedaan tekanan dihitung dengan persamaan:
DP = Ph – Pf ………………………………………………………..(2-9)
Keterangan :
DP = Perbedaan tekanan, psi
Ph = Tekanan hidrostatik, psi
Pf = Tekanan formasi, psi
Agar operasi pemboran dapat berjalan dengan lancar maka diusahakan
adanya perbedaan tekanan sebesar 100 – 200 psi. Perbedaan tekanan ini sering
disebut sebagai overbalance pressure. Menurut Darley H.C.H. (1983) untuk batas
perbedaan tekanan adalah sebesar 200 psi.
2.4.2 Hidrolika Pemboran
Melakukan evaluasi pada hidrolika pemboran yang diterapkan dan melihat
rangkaian pemboran yang digunakan pada saat terjadinya stuck. Hidrolika
pemboran adalah segala hal yang mempengaruhi aktifitas fluida di dalam formasi
saat dilakukannya operasi pemboran. Hidrolika yang digunakan apakah tepat atau
tidak sehingga apakah dari kesalahan desain hidrolika inilah penyebab dari
terjadinya stuck pipe. Berikut hidrolika dan parameter pemboran yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan penyebab stuck pipe yang terjadi, meliputi :
1. Annulus Velocity
Annulus velocity adalah kecepatan aliran lumpur di annulus saat di
pompakan dengan rate pompa tertentu (Rudi R., 1993). Kecepatan aliran lumpur
ini digunakan untuk mengangkat cutting dari lubang bor menuju permukaan.
24,5 xGPM ……………………………………………………..(2-10)
AV
OH2 OD 2
Keterangan :
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
GPM = debit pompa (GPM)
Universitas Sriwijaya
36
13)
Keterangan :
Universitas Sriwijaya
37
Universitas Sriwijaya
38
Universitas Sriwijaya
39
gas berat methane, dan informasi tambahan dari wellbore (deviasi survey), casing
shoe depth dan formation top.
2.4.5 Indikasi Stuck Pipe
Pada saat operasi pemboran, di dalam hal untuk menentukan penyebab
terjadinya problem stuck pipe, perlu dilihat terlebih dahulu indikasi atau hambatan
yang terjadi melalui kondisi operasi saat sebelum dan saat terjadi stuck pipe. Dari
indikasi yang terlihat ini dapat membantu dalam menentukan apakah penyebab
yang menyebabkan rangkaian mengalami stuck pipe berdasarkan beberapa
indikator dari masing-masing jenis-jenis stuck pipe yang telah tertera pada (Tabel
2.4) yang mana tiap-tiap indikasi atau hambatan yang terlihat berbeda-beda.
Untuk aspek indikasi stuck pipe ini dilihat melalui beberapa indikator dari
masing-masing penyebab terjadinya stuck pipe, yaitu :
Tabel 2.4 Indikasi Penyebab Stuck Pipe (Schlumberger, 1997)
Jenis Stuck Pipe Indikasi
Differential Overpull pada koneksi, rangkaian tidak bisa bergerak,
Sticking perbedaan tekanan yang jauh, formasi yang permeable
terbuka pada openhole, sirkulasi penuh tidak terbatas
Keyseat Terjadi saat cabut rangkaian, overpull tiba-tiba saat BHA
mencapai kedalaman dogleg, sirkulasi tidak terbatas,
rangkaian bisa bergerak dibawah kedalaman keyseat
Undergauge hole Sirkulasi sedikit terbatas, bit stuck didekat dasar lubang bor,
bit atau stabilizers yang ditarik mengalami undergague
Ledges and dogleg Sirkulasi lancar, terjadi pada kedalaman yang memungkinkan,
Mobile Formation Terjadi overpull, sirkulasi terbatas saat BHA berada pada
mobile formation, terjepit saat BHA berada pada mobile
formation
Seetled Cutting Overpull meningkat saat cabut rangkaian, tidak terdapat
cutting pada shaker, tidak bisa sirkulasi
Shale Instability Caving pada shaker, meningkatnya torsi dan drag, sirkulasi
terbatas atau tidak bisa, lubang bor terisi
Unconsolidated Meningkatnya tekanan pompa, overpull pada koneksi, shaker
formation menjadi tertutup
Fractured and Terisinya lubang pada koneksi, memungkinkan loss atau gain,
Faulted formation terjadi stuck secara tiba-tiba,
Cement blocks Sirkulasi terbatas, fragmen cement, rotasi dan gerakan
kebawah memungkinkan, torsi menentu
Green cement Meningkatnya tekanan pompa dan tidak bisa dilakukannya
sirkulasi, hilangnya berat rangkaian, green cement pada return
Bit balling Shaker tertutup dan pembentukan clay ball, meningkatnya
LGS, mudcake thickness, PV dan YP, sirkulasi yang sangat
terbatas
Tight Hole Torsi meningkat, tekanan pompa meningkat, sulitnya cabut
Universitas Sriwijaya
40
Universitas Sriwijaya
41
Universitas Sriwijaya
42
Universitas Sriwijaya
43
Universitas Sriwijaya
44
Keterangan :
L = Panjang Free Pipe, meter
Wdp = Pounder Drill Pipe (plain end), lbs/ft
e = Interval Tarikan, inch
p = Over Pull, lbs
d) Spot dan rendam larutan Free Pipe Agent sesuai spesifikasi material sambil
beri torsi maksimum 90% Torsional Yield Strenght sampai dengan waktu yang
ditentukan.
e) Usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jar down dan coba putar maksimum
90% Torsional Yield Strenght tanpa sirkulasi
f) Jika tidak berhasil, lanjut usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jar down dan
coba putar maksimum 90% Torsional Yield Strenght dengan sirkulasi.
g) Jika tidak berhasil, spot dan rendam larutan Free Pipe Agent sesuai spesifikasi
material sambil beri torsi maksimum 90% Torsional Yield Strenght sampai
dengan waktu yang ditentukan.
h) Usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jardown/ up dan coba putar
maksimum 90% Torsional Yield Strenght tanpa sirkulasi.
i) Jika tidak berhasil, lanjut usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jar down /
up dan coba putar maksimum 90% Torsional Yield Strenght dengan sirkulasi.
j) Jika jepitan belum bebas, tentukan titik jepit dengan menggunakan Free Point
Indicator Tool (FPIT) dan lakukan Backoff dilanjutkan Fishing atau SideTrack.
k) Setelah rangkaian dapat dibebaskan, usahakan rangkaian tetap berputar.
Lakukan reaming dan back reaming sepanjang daerah permeabel.
2.6.2. Wellbore Geometry
1. KeySeat
a) Hentikan gerakan pipa ke atas dan turunkan rangkaian jika terjadi Overpull
5.000 – 10.000 lbs
b) Bila rangkaian tidak terjepit dan dapat diturunkan, lakukan:
Jika menggunakan Top Drive, lakukan Back Reaming.
Universitas Sriwijaya
45
Universitas Sriwijaya
46
trip load.
d) Jika terjadi saat gerakan kebawah lakukan jar-up dengan maximum trip load
dan jangan diberi torsi.
2.6.3. Hole Pack-off
1. Settled Cutting
a) perbaiki mud rheology (naikkan YP dan Gel strength).
b) sirkulasi bersih annulus dengan meningkatkan flowrate dan ukuran dari
flowline untuk mencegah tersangkutnya cutting yang akan naik.
c) Gunakan detergent yang mungkin dapat membantu melarutkan cutting agar
lebih mudah untuk diangkat ke permukaan. Jika berhasil, jaga selalu mud
system saat operasi.
2. Shale Instability
a) Naikkan berat lumpur.
b) Jangan naikkan lumpur jika memang shale mengalami natural fracture, hal ini
akan membuat lubang bor menjadi tidak stabil, fluida akan masuk ke dalam
shale.
c) Perbaiki mud rheology (naikkan YP dan Gel strength) untuk menjaga lubang
tetap bersih.
d) Menjaga sirkulasi lumpur setiap saat untuk mencegah terjadinya rontokan.
e) Saat melakukan trip, minimalisir adanya pressure surge.
3. Uncosolidated Formation
a) Berikan tekanan yang rendah pada string di bawah 500 psi.
b) Berikan torsi maksimal 90 % torsional yield strength ke bagian rangkaian
terlemah.
c) Jika ada indikasi aliran balik, naikkan secara bertahap stroke pemompaan
4. Fractured dan Faulted Formation
a) Lakukan jar up atau jar down untuk memecahkan puing-puing formasi.
b) Gunakan setiap usaha untuk selalu menjaga sirkulasi lumpur.
c) sirkulasi lumpur dengan viskositas yang tinggi untuk membersihkan rontokan.
d) Spotkan acid jika hal ini terjadi pada zona limestone.
5. Cement Blocks
Universitas Sriwijaya
47
a) Coba patahkan cement block yang jatuh dengan melakukan jarring dan beri
torsi.
b) Jar kearah berlawanan dengan gerakan saat terjadinya stuck pipe.
c) Sirkulasikan lubang bor dengan menaikkan berat lumpur dan YP.
6. Green Cements
a) Hilangkan segera tekanan yang ada.
b) Jar dengan maksimum trip load kearah berlawan dengan gerakan pipa pada
saat pertama terjadinya stuck.
2.6.4. Problem Stuck Pipe lainnya
1. Bit Balling
a) Turunkan berat dari bit.
b) Tambah drilling detergent ke water-based mud untuk melarutkan balled clay.
Jika ini bekerja, maintain detergent didalam lumpur. jika gagal,
pertimbangkan penggunaan air untuk melarutkan clay. Tambahkan glycol
yang diketahui mampu untuk menyembuhkan balling.
c) Jika terjadi dengan oil-based mud (hal ini jarang terjadi) naikkan salinitas
lumpur untuk menarik lebih kelembaban dari shale dan meningkatkan
kekerasannya.
2. Tight Hole
a) Lakukan backream saat melewati bagian yang tight .
b) Naikkan berat lumpur untuk menekan dinding lubang bor.
c) Tambahkan lubricant ke dalam lumpur untuk sirkulasi lubang bor.
3. Junk
a) Putar rotary table jika ada pergerakan.
b) Jar ke arah berlawanan dengan gerakan saat terjadinya stuck.
c) Jangan melakukan torsi saat operasi jarring.
d) Jika tidak berhasil lakukan fishing operation untuk mengambilnya dari dalam
lubang.
Universitas Sriwijaya
48
tersebut mengalami stuck. Ini adalah awal untuk melakukan sidetracking ataupun
fishing operation.
Free point dari drillstring dapat ditemukan dengan metode sebagai berikut :
1. Stretch test
Stretch test adalah metode yang sederhana, cepat dan akurat untuk
menentukan perkiraan kedalaman dimana terjepitnya drillstring. Metode ini tidak
akurat pada sumur yang menyimpang dimana hole friction menghambat atau
membatasi pipe stretch. Hal ini juga harus diingat bahwa pengukuran stretch tidak
mempehitungkan drillcollar atau respon HWDP untuk menarik. Oleh karena itu
metode ini jangan digunakan untuk menentukan titik dimana string menjadi
backed-off. Tingkat akurasi dari dari metode ini sekitar ±200 ft.
Prosedur pelaksanaan stretch test :
Tarik string hingga nilai hook sama dengan berat string di udara. Tandai string
pada rotary table, titik A.
Penambahan tarikan 40 klbs di atas beban hook sebenarnya dan tandai string
pada rotary table, point B (Pastikan bahwa kekuatan yield minimum beban
hook sebenarnya dari bagian terlemah drillstring tidak terlampaui).
Turunkan string dengan hookload sebenarnya dan tandai string pada rotary
table, point C.
Tarik kembali 40 klbs diatas hookload sebenarnya dan tandai string pada rotary
table, point D.
Hubungan antara stretch (e) dan panjang dari free pipe dinyatakan sebagai
735,294 𝑥 𝑒 𝑥 𝑊𝑑𝑝
L= ..............................................................(2-19)
𝐹
Dimana :
L = Panjang free pipe
E = Interval tarikan
Wdp = Berat Drillpipe
F = overpull
2. Free Point Indicator Tool
Free point indicator tool ( FPI) dirancang untuk menentukan dimana
drillstring bebas dengan mengukur poin pada drillstring dimana tension dan/atau
Universitas Sriwijaya
49
torsi adalah nol. Alat ini memiliki serangkaian pengukur axial strain yang
mengukur tension dan torsi dalam string. Tarikan permukaan dan torsi diterapkan
sebagai alat yang diposisikan di berbagai koneksi untuk menentukan titik-titik
dimana string menjadi bebas. Jika tidak ada penerapan torsi dan tension
permukaan dapat direkam pada titik downhole, string di asumsikan stuck pada
titik tersebut. Tentu saja akan ada berbagai tingkat dari stuck pipe dimulai dari
totally stuck (0% free) hingga totally free (100% free), tergantung pada
pengukuran alat di dalam lubang. Pengukuran torsi dan overpull tentu saja rumit
didalam sumur yang menyimpang dan pada sumur dengan doglegs karena
gesekan antara pipa dengan dinding lubang bor. Oleh karena itu, titik netral dalam
sumur yang menyimpang kurang tepat dibandingkan dengan sumur vertikal.
Upaya backoff biasanya dilakukan dimana pembacaan torsi dan tension
adalah 80 – 90% dari free pipe. Untuk tujuan praktek, titik backoff dapat dipilih
untuk menjadi sambungan berikutnya atas free connection (from FPI) yang rusak
pada perjalanan terakhir.
2.7.2. Metode U Tube
Metode ini digunakan untuk mengurangi tekanan hidrostatik lumpur ke
tingkat yang sama atau sedikit lebih tinggi dari tekanan formasi pada zona dimana
terjadinya differential sticking. Tujuannya adalah untuk membebaskan pipa secara
aman tanpa kehilangan kontorl dari sumur dengan sengaja yang akan
menyebabkan kondisi tidak stabil. Free pipe agent harusnya bisa di spotkan ke
zona yang permeable dengan metode U tube.
2.7.3. Spotting Free Pipe Agent
Tingkat keparahan stuck pipe dapat dikurangi dengan menspot Free Pipe
Agent. Free Pipe Agent pada dasarnya campuran surfactants dan emulsifier yang
dicampur dengan base oil atau diesel oil dan air untuk membentuk emulsi yang
stabil. Fungsinya untuk menembus mudcake, sehingga membuatnya lebih mudah
untuk dilepaskan pada saat yang sama, mengurangi tegangan permukaan antara
pipa dengan mudcake. Karena ketergantungan waktu keparahan dari differential
sticking, free pipe agent harus segera di spot setelah differential sticking
diindikasi. Biasanya pill akan dipersiapkan sementara awalnya dicoba
membebaskan pipa dengan cara mechanical, seperti menarik dan memutar
Universitas Sriwijaya
50
drillstring.
2.7.4. Back-off
Istilah back-off mengacu pada pemisahan pipa dari Stuck pipe pada alur
koneksi atau tepat di atas free point. Hal ini dicapai dengan menempatkan bahan
peledak (string shot) di seluruh sambungan. String shot terdiri dari rakitan bahan
peledak dan peralatan yang diperlukan untuk mencapai titik ledakan di downhole.
Bagian utamanya meliputi : safety sub, shooting head, shot bar assembly, electric
blasting cap dan detonating cord. Free threaded connection diletakkan melalui
casing collar locator (CCL) ; alat yang membedakan antara badan dari casing dan
bagian ketebalan tooljoints. Setelah free point ditentukan, alat FPI ditarik keluar
dari lubang. Operasi back-off dilakukan dengan menjalankan peledak pada
wireline hingga ±3000 ft di atas sambungan yang akan dibebaskan. Lefthand
torque kemudian diterapkan dan beberapa overpull dipertahankan hingga peledak
dijalankan ke titik back-off.
Ada tiga faktor dalam menjamin suksesnya pelaksanaan backoff :
bahan peledak harus cukup untuk memecahkan koneksi antara bagian yang
terjepit dengan bagian atasnya.
cukupnya torsi ke arah kiri di sambungan yang harus diberikan.
sambungan di back-off pada titik netral,dengan overpull yang lebih kecil.
2.7.5. Fishing Operations
Setelah pipa telah dilakukan back-off atau terputus seperti penjelasan
sebelumnya, sisa dari bagian drillstring disebut ”fish”. Fishing pada sumur
didefinisikan sebagai proses untuk mengambil sisa pipa yang terjepit setelah
dilakukan back-off atau twist-off. Sebelum melakukan fishing job, harus
diperhitungkan keekonomian untuk menentukan pekerjaan memancing tetap
dilanjutkan atau dilakukan side track menggunakan formula penentuan Economic
Fishing Time sebagai berikut :
Sidetrack Cost x Probabilit y of Success (%)
Economic Fishing Time (days) = (2-20)
Daily Cost While Drilling
Universitas Sriwijaya
51
RigCost
Support Cost (MLU, MUD)
Stand by Cost Fishing Tool
Dan biaya lainnya,
Biaya Side Track sudah termasuk :
Biaya bor ulang sampai dengan kedalaman yang sama.
Cement Plug + Rig time dari mulai masuk Rangkaian open ended sampai
persiapan Side Track.
Untuk daerah remote dengan lama mobilisasi lebih dari 1 x 24 jam, maka dapat
distandby kan Fishing Tool diluar kontrak rig di lokasi.
Fishing melibatkan penggunaan satu set peralatan untuk mengangkat fish
dari permukaan, mengikat dan mengambilnya.
1. Peralatan Fishing
Standar dari operasi fishing harus terdiri dari elemen-elemen berikut Fishing
tool-Bumper Sub-Jar-DC-Accelerator-HWDP-Circulating Sub-DP. Perlengkapan
yang dipilih tergantung pada ketersediaan alat dan situasi tertentu yang dihadapi.
2. Fishing Tools
a) Overshots
sebuah overshot digunakan untuk menarik, mencabutnya dan mengambil
fish dari dalam lubang bor (Rabia H., 1985). Sebuah overshot dasar terdiri dari
tiga bagian, yaitu top sub, bowl dan guide, yang dapat dilihat pada (Gambar 2.17)
Universitas Sriwijaya
52
Universitas Sriwijaya
53
retracted dengan menggunakan J slots atau mekanisme yang sesuai. saat spear
memasuki fish, spear akan berputar kekanan untuk melepaskan slip atau grapple
dan meletakkannya ke posisi mengikat. Tarikan langsung oleh grapple akan
mengarah ke ikatan yang positif dengan fish. Pelepasan spear adalah didapatkan
dengan hentakan ke bagian bawah fish dan memutar string dua atau tiga kali ke
kanan.
3. Bumper Subs
Bumper subs digunakan untuk memberikan pukulan ke atas atau bawah dari
drillstring yang terjepit (Rabia H, 1985). Komponen utama dari bumper subs
adalah hexagon shaped mandrel yang mana slidesnya mirip dengan shaped
mandrel body untuk membesarkan kapabilitas torsi. Kebanyakan tools
mempunyai standar 20” stroke tetapi desain stroke yang panjang juga tersedia.
Bumper subs didesain untuk bump down, jar up atau membantu melepaskan
ikatan pipa setelah diambil. Jika digunakan, bumper subs harus dipasang segera
mungkin di atas fishing tool untuk efek yang maksimal. Bumper subs sangat
efektif pada kedalaman dangkal dan sumur yang dibor secara vertikal dari rig.
Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Deras
BINATEK REKA + 0.0000 Sukaraja
-75.000 KAB.MUBA Benakat
Abab
Penglero Keruh Depati
EXSPAN INDAMA PUTERA Utara Jaya
Musi Uno Loyak
HEDI HEDI
DOS
Dewa
Sopa Kaya Ibul
Betun
+ 0.0000 Jirak Benakat Se.Ibul HEDI
Tinur EXSPAN
Jene TL.Gula
Rayu SURYA RAYA TELADAN Tl.Akar Raja Tepus
Candi
Jinjing Pandan
Benakat Selo Petanang Lembak
KAB.MURA Barat Betung B.L Benuang Kemang
G.Kemala
Betung PRABUMULIH
Betung Brt
Pbm Barat Tundan
EXSPAN Beli Tl.Jimar
Rambutan mbin
g Limau timur TT.Barat
Limau barat Limau
TT.Timur
Karangan Tj.Bulan
AMERADA HEISS JOB SEA UNION ENERGY Ogan
Karangan
Bunian
Lagan Tupai
TEBING TINGGI
Harimau
Tj.Miring Barat Tj.Miring
Singa Tangai Timur
PILONA PTR Sengkuang AMERADA
REDCO PRIMA ENERGI
HESS D
RADIANT MUARA ENIM
Tj. Lontar Kijang F
KAB.MUARA ENIM Beringin
Ramok
E KAB.OKI
Senabing A.Banjarsari K. Minyak
Siamang C
B
Bt. Keras ENERGY EQUITY A
PERTAMINA
S. Taham S. Jeriji
H Guruh
Gajah Besar
Kijahan
Karang Dewa
LAHAT L. Langu TSM-1 Air Serdang
PRODUCING
Bangko Merbau Pagar Dewa JOB P-TALISMAN
Kuang
NON PRODUCING KAB.LAHAT Tl Babat
Lokasi
Prabumenang
Lapangan
PSC, JOB, TAC’S FIELDS
Pagardewa
ENERGY EQUITY KAB.OKU
Mandala
0 25 KM Biru
54 Universitas Sriwijaya
55
batuan dasar berupa batuan beku granit, metamorf dan metasedimen. Tinggian
Kuang ini dibatasi oleh elemen tektonik sebagai berikut : disebelah barat terdapat
Dalaman Lematang dan Muara Enim, sebelah Timurlaut terdapat Dalaman Ogan
disebelah Tenggara terdapat Tinggian Lampung.
Stratigrafi regional Lapangan Pagardewa merupakan bagian dari cekungan
Sumatera Selatan yang dapat dilihat pada (Gambar 3.2). Urut-urutan stratigafi
cekungan Sumatera Selatan ialah sebagai berikut:
Universitas Sriwijaya
56
Universitas Sriwijaya
57
Universitas Sriwijaya
58
3.7 Analisis Penyebab Terjadinya Problem Stuck Pipe pada Sumur PDW-07
Secara garis besar, dalam pengolahan data untuk penelitian Analisis
Problem Stuck Pipe dan Penanggulangannya Pada Sumur PDW-07 Lapangan
Pagardewa PT Pertamina EP ini, pendekatan yang digunakan sebagai alternatif
pemecahan masalahnya yaitu mengevaluasi aspek-aspek yang mempengaruhi
terjadinya stuck pipe, antara lain :
1. Aspek lumpur pemboran
2. Aspek hidrolika pemboran
3. Aspek geometri lubang bor
4. Aspek lithologi
5. Aspek indikasi stuck pipe
Setelah mengevaluasi aspek-aspek tersebut, kesimpulannya dapat ditarik
untuk membantu mengetahui penyebab terjadinya stuck pipe untuk selanjutnya
menentukan pencegahan kedepannya dan penanggulangan yang cocok terhadap
penyebab stuck pipe yang terjadi. Adapun pokok-pokok langkah kerja dalam
penelitian ini, antara lain :
3.7.1 Aspek Lumpur Pemboran
Untuk aspek lumpur pemboran harus diketahui properti lumpur pada saat
terjadinya stuck pipe. apakah properti lumpur sudah sesuai dengan drilling
program yang telah direncanakan dari pihak utama ataupun dengan properti
lumpur tersebut mengalami perubahan dan tidak cocok untuk digunakan pada
operasi pemboran yang sedang berlangsung. Dari aspek lumpur pemboran ini juga
dapat diketahui perbedaan tekanan yang terjadi antara tekanan hidrostatik lumpur
dengan tekanan formasi yang akan berpengaruh terhadap terjadinya stuck pipe.
langkah untuk menentukan perbedaan tekanan adalah dengan pertama kali
mengetahui tekanan formasi yang dapat diprediksi menggunakan d-exponent
(Neal Adams, 1985) sebagai berikut :
Log ( R / 60 N )
d (2-4)
Log (12W / 1.000 db)
Universitas Sriwijaya
59
9
dc d (2-5)
MW
Sedangkan untuk menghitung besarnya equivalen mud weight adalah
sebagai berikut :
9d
EMW 0,3 (2-6)
dc
Setelah itu untuk menghitung besarnya tekanan formasi digunakan
persamaan sebagai berikut :
Pf = 0,052 EMW D (2-7)
Untuk menghitung besarnya tekanan hidrostatik lumpur pemboran
digunakan persamaan sebagai berikut :
Ph = 0,052 MW D (2-8)
Sedangkan perbedaan tekanan dihitung dengan persamaan :
DiffPress = Ph – Pf (2-9)
3.7.2 Aspek Hidrolika Pemboran
Pada aspek hidrolika pemboran perlu dilakukan evaluasi terhadap hidrolika
pemboran yang diterapkan dan rangkaian pemboran apakah tepat atau tidak digunakan
saat operasi pemboran berlangsung. Pada aspek ini beberapa parameter yang
dipertimbangkan meliputi :
1. Menghitung Annulus Velocity dengan persamaan berikut (Rudi R. 1993):
24,5 xGPM (2-10)
AV
OH2 OD 2
Universitas Sriwijaya
60
Universitas Sriwijaya
61
3.8 Flow Chart Analisis Penyebab Terjadinya Problem Stuck Pipe dan
Penanggulangannya Pada Sumur PDW-07
Pengumpulan Data
Berhasil Sidetrack
Universitas Sriwijaya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
62 Universitas Sriwijaya
63
3.264,59 ft, 1.384,58 ft, dan 1.158,19 ft. Pada saat kedalaman 1.131,94 ft
rangkaian mengalami overpull yang lebih dari batas 20k lbs dan aliran lumpur
pada flowline mengecil hingga sirkulasi berhenti dan akhirnya rangkaian tidak
bisa diangkat. Hal ini yang mengindikasikan rangkaian terjepit.
4.1.3. Analisis Penyebab Terjadinya Stuck Pipe
Untuk menganalisis penyebab terjadinya stuck pipe, berikut aspek-aspek
yang diperlukan untuk mengetahui apakah penyebabnya :
1. Mengevaluasi parameter lumpur
Melakukan evaluasi terhadap properti lumpur yang digunakan seperti tipe
lumpur, densitas, viskositas (vis), plastic viscosity (PV), yield point (YP) yang
dapat dilihat pada (Tabel 4.3). Di kedalaman 1.131,94 ft digunakan lumpur
dengan berat 9,83 ppg dan water-based mud (KCL polymer). Namun properti
lumpur yang dihasilkan pada plastic viscosity tidak sesuai drilling program yang
berarti solid content pada kedalaman 1.131,94 ft mengalami peningkatan
dikarenakan cutting yang berlebihan terikut saat sirkulasi lumpur berjalan.
Tabel 4.3 Properti lumpur kedalaman 1.131.94 ft (PT. Pertamina EP, 2015)
Universitas Sriwijaya
64
Log ( R / 60 N )
d (2-4)
Log (12W / 1.000db)
Keterangan :
d = harga d-exponent,
R = ROP, ft/hr
N = Rotary Speed, rpm
W = WOB, klb
Db = Bit Diameter, in
Log (67,92 / 60 x83)
d
Log (12 x 4,1 / 1.000 x17,5)
d = 0,707
Setelah mendapatkan harga d-exponent, langkah selanjutnya menghitung
d-exponent terkoreksi dengan persamaan sebagai berikut :
9
dc d (2-5)
MW
Keterangan :
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
MW = mud weight, ppg
9
dc 0,707
9,823
dc = 0,647
Sedangkan untuk menghitung besarnya equivalent mud weight adalah
sebagai berikut :
9d
EMW 0,3 (2-6)
dc
Keterangan :
EMW = Equivalent mud weight, lb/gal
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
9x0,707
EMW 0,3
0,647
Universitas Sriwijaya
65
Universitas Sriwijaya
66
2. Mengevaluasi Hidrolika
Melakukan evaluasi terhadap hidrolika yang dijalankan pada kedalaman
1.131,94 ft. untuk rangkaian pemboran yang digunakan Bit PDC 17.5” + 5
DrillCollar 8” + 3 DrillCollar 5“ + 19 Heavy weight drillpipe 5“ + 8 DrillPipe 5“
dan untuk parameter pemboran dapat dilihat pada (Tabel B.1). dari aspek ini
dapat memperhitungkan perbandingan dari annulus velocity dan critical annulus
velocity, lalu flowrate, batas RPM, dan WOB maksimum yang digunakan dengan
menggunakan data yang tertera pada (Tabel 4.5, Tabel 4.6, Tabel 4.7) dan ukuran
rangkaian pipa pemboran yang digunakan dapat dilihat pada (Tabel 4.4)
Tabel 4.4 Ukuran Pipa dan Lubang kedalaman 1.131,94 ft
OD ID OD dc ID dc OD ID OD ID Id ID
TVD
dc 8 dc 8 6 1/4 6 1/4 hwdp 5 hwdp 5 dp 5 dp 5 casing hole
(ft) in in in in in in in in in in
1131,94 8 3 6.25 3 5 3 5 4,276 19,124 17,5
Keterangan :
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
GPM = debit pompa (GPM)
Dan untuk perhitungan critical annulus velocity dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan
Universitas Sriwijaya
67
Universitas Sriwijaya
68
33.055
CritRPM = 2
x OD 2 ID 2 (2-13)
L
Keterangan :
L = panjang satu joint pipa (ft)
ID = diameter dalam pipa (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat diketahui
bahwa RPM yang digunakan sebesar 83 RPM tidak melebihi critical RPM
sebagaimana tertera pada (Tabel 4.7). hal ini berarti dengan menggunakan RPM
tersebut maka tidak menimbulkan efek getaran yang berlebihan pada drilllstring.
Tabel 4.7 Critical RPM kedalaman 1.131,94 ft
Universitas Sriwijaya
69
Universitas Sriwijaya
70
Dari aspek yang telah dibahas, dapat dianalisis jika penyebab Stuck Pipe
pada kedalaman 1.131,94 ft ini potensi penyebab stuck pipe bisa disebabkan
karena Settled cutting dari batubara dan Bit Balling oleh claystone serta
differential sticking oleh sandstone. Namun untuk penyebab dari Bit balling tidak
dapat dijadikan penyebabnya karena pada cutting yang diperoleh normal, cutting
memiliki ukuran yang sama dan kecil, tidak lengket dan tidak bundar sedangkan
differential sticking tidak terjadi karena perbedaaan tekanan tidak melebihi batas
yaitu sebesar 16,66 psi dan tidak terjadi loss. Pada saat pemboran tidak tampak
gejala dinding lubang akan runtuh karena disebabkan Equivalent Circulating
Density mampu menahan dinding formasi lubang bor. Hal ini terindikasikan
Seetled cutting karena pada saat rangkaian di angkat terjadi drag dan pada
kedalaman 2.411,53 ft sampai 1.148,35 ft terjadi overpull 10-20k lbs dan sirkulasi
lumpur mengecil. Pada saat rangkaian di kedalaman 1.131,94 ft terjadi stuck,
rangkaian tidak bisa digerakkan dan tidak bisa sirkulasi. Pada properti lumpur dari
Universitas Sriwijaya
71
plastic viscosity juga mengalami kenaikan akibat cutting batubara yang berlebih
sehingga solid content meningkat. Batubara yang cenderung tidak rata dan rentan
akan stabilitasnya ini rontok karena densitas lumpur yang tidak dapat menahan
tekanan overburden dan vibrasi yang ditimbulkan oleh drillstring sehingga
membuat rontokan batubara terendapkan pada rangkaian hingga stuck.
4.1.4. Pencegahan stuck pipe
Setelah dilakukannya analisis terhadap penyebab stuck pipe, lalu tindakan
pencegahan yang seharusnya dilakukan terhadap penyebab stuck pipe pada
kedalaman 1.131,94 ft ini seharusnya dilakukan dengan cara seperti berikut :
1. Memaksimalkan annulus velocity.
2. Pastikan waktu sirkulasi memadai.
3. Memaksimalkan mechanical agitation dari cutting beds.
4. Mengoptimalkan sifat lumpur.
5. Pastikan drag yang terjadi tidak mendekati batas maksimal.
4.1.5. Penanggulangan Stuck pipe yang Dilakukan
Melakukan sirkulasi bersih pada lubang bor sambil menaikkan densitas
lumpur dari 9,83 ke 9,99 ppg dan dengan menggunakan parameter pemboran 690-
760 gpm, SPP 930-1100 psi, RPM 30-40 rpm, dan torsi 700-5200 ft-lb. Usaha
untuk membebaskan rangkaian kembali hingga rangkaian bebas dari jepitan
berhasil dan aliran menjadi normal kembali, lalu lanjut cabut rangkaian pahat
PDC 17½“ dan BHA rotary dari kedalaman 1131,94 ft yang mengalami stuck
hingga ke permukaan. Pada saat melalukan pencabutan rangkaian tersebut
dilakukan sambil laksanakan back ream, dan rangkaian berhasil naik sampai ke
permukaan.
Universitas Sriwijaya
72
Universitas Sriwijaya
73
dengan berat 10,08 ppg dan water-based mud (KCL polymer), namun pada bagian
yield point lumpur mengalami kenaikan lebih dari dari drilling program yang
berarti bahwa adanya cutting yang ikut tercampur sebagai lumpur, untuk itu perlu
untuk memperbaiki chemical treatment pada lumpur khusunya pada additive Kcl.
Tabel 4.10 Properti lumpur pada kedalaman 4.455,59 ft (PT.Pertamina EP, 2015)
Universitas Sriwijaya
74
Universitas Sriwijaya
75
Ph = 0,052 MW D (2-8)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur pemboran, psi
MW = berat jenis lumpur pemboran, lb/gal
D = tinggi kolom lumpur, ft
Ph = 0,052 10,08 4.455,598 = 2.335,446 psi
Sedangkan perbedaan tekanan (differential pressure) dihitung dengan
persamaan :
DP = Ph – Pf (2-9)
Keterangan :
DP = Perbedaan tekanan, psi
Ph = Tekanan hidrostatik, psi
Pf = Tekanan formasi, psi
DP = 2.335,446 – 2.432,756 = 97,31 psi
Agar operasi pemboran dapat berjalan dengan lancar maka diusahakan
adanya perbedaan tekanan sebesar 100 – 200 psi. Perbedaan tekanan ini sering
disebut sebagai overbalance pressure. Setelah dilakukan perhitungan di atas di
dapatkan tekanan formasi sebesar 2.432,756 psi dan tekanan hidrostatik sebesar
2.335,446 psi. Perbedaan tekanan yang terjadi tidak mencapai batas 200 psi yaitu
97,31 psi yang berarti untuk differential sticking bukan menjadi penyebanya.
2. Mengevaluasi Hidrolika
Melakukan evaluasi terhadap hidrolika yang dijalankan pada kedalaman
4.455,59 ft. untuk rangkaian pemboran yang digunakan adalah Bit PDC 12¼“ + 3
Drillcollar 8” + 3 Drillcollar 6¼“ + 20 Heavy weight Drill Pipe 5 “ + 116 Drill
Pipe 5” dan untuk parameter pemboran dapat dilihat pada (Tabel B.1). dari aspek
ini dapat memperhitungkan perbandingan dari annulus velocity dan critical
annulus velocity, lalu flowrate, RPM, dan WOB yang digunakan dan ukuran
rangkaian pipa pemboran yang digunakan dapat dilihat pada (Tabel 4.11)
Tabel 4.11 Ukuran Pipa dan Lubang kedalaman 4455,59ft(PT.Pertamina EP 2015)
OD ID OD dc ID dc OD ID OD ID Id ID
TVD
dc 8 dc 8 6 1/4 6 1/4 hwdp 5 hwdp 5 dp 5 dp 5 casing hole
(ft) in in in in in In in in in in
4.455,5 8 2,75 6,25 2 5 3 5 4,276 12,615 12,25
Universitas Sriwijaya
76
Keterangan :
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
GPM = debit pompa (GPM)
Dan untuk perhitungan critical annulus velocity dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan
Universitas Sriwijaya
77
Keterangan :
CV = Critical Annulus Velocity (ft/min)
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat
diketahui bahwa GPM yg digunakan yaitu 700 GPM tidak melebihi critical GPM
yang telah dihitung sebagaimana tertera pada (Tabel 4.13). sehingga dengan
menggunakan 870 GPM maka aliran pada annulus tidak akan berubah menjadi
aliran turbulent.
Tabel 4.13 Critical GPM kedalaman 4455,59 ft
Universitas Sriwijaya
78
Universitas Sriwijaya
79
Universitas Sriwijaya
80
Dari aspek yang telah dibahas, dapat dianalisis jika penyebab Stuck Pipe
pada kedalaman 4.455,59 ft ini bisa disebabkan karena Ledges dan Dogleg dan
differential sticking. Pada saat terjadi Stuck pipe, sirkulasi masih lancar, tetapi
rangkaian tidak bisa diputar ataupun di angkat setelah satu meter. Untuk
differential sticking tidak dapat dinyatakan sebagai penyebabnya karena lapisan
shale tidak memiliki porositas dan permeabilitas yang baik, dan pada saat usaha
melepaskan rangkaian dengan menggunakan solar yang berguna untuk
menurunkan densitas dari lumpur dan melumasi lubang bor pada titik terjadinya
stuck tidak memberikan hasil dan untuk shale instability di antisipasi dengan
menggunakan lumpur KCL polymer yang akan menahan sifat reaktif dari shale,
Namun setelah dillihat pada mudlog (Gambar C.2) terlihat bahwa dengan
kedalaman tersebut yang didominasi oleh shale tidak dapat diatasi oleh jumlah
penggunaan Kcl Polymer dengan kalium sejumlah 26.000 mg/l yang
menyebabkan terdispersinya lapisan Shale karena ion dari kalium tidak dapat
menutupi sifat reaktif shale dengan mineral clay sehingga air yang teradsorbsi
oleh shale membuat lapisan shale pada kedalaman 4.455,59 ft terdispersi menjadi
bagian dari lumpur pemboran yang menyebabkan berubahnya properti lumpur
dengan naiknya yield point lumpur gaya yang dibutuhkan drillstring untuk
bergerak pada lumpur bertambah. Pada kedalaman tersebut yang lapisan dengan
dominan shale juga terdapat sisipan dari limestone, ROP pada saat kedalaman
4.429,35 ft sampai 4.494,97 ft terjadi peningkatan tetapi untuk WOB yang
diterapkan tetap sama seperti sebelumnya. Saat drillstring sedang menembus
lapisan shale yang mana terdapat sisipan limestone, dibagian ini karena dengan
menggunakan tiga buah DC dan menyebabkan DC menjadi pendulum untuk
meluruskan kembali arah lubang bor, lalu arah lubang bor menjadi terbelok
karena pada sisipan limestone tersebut rangkaian arah dari bit terpengaruh oleh
gaya pendulum dari DC, sehingga lubang bor mengalami penyimpangan arah
karena perubahan lapisan batuan dari shale lembut dan terjadinya sloughing shale
tersebut ke limestone yang lebih keras. begitu saat melakukan cabut rangkaian,
bagian sambungan atau stabilizers pada titik kedalaman dimana adanya sisipan
limestone ini terjepit, hal ini yang menyebabkan terjadinya Stuck Pipe pada
kedalaman 4.455,59 ft. dapat disimpulkan bahwa penyebab stuck pipe pada
Universitas Sriwijaya
81
kedalaman 4.455,59 ft ini disebabkan oleh dogleg yang terjadi akibat adanya
sisipan limestone dan sloughing shale yang mengakibatkan bertambahnya yield
point lumpur.
4.2.4. Pencegahan Stuck Pipe
Setelah dilakukannya analisis terhadap penyebab stuck pipe, lalu tindakan
pencegahan yang seharusnya dilakukan terhadap penyebab stuck pipe pada
kedalaman 4.455,59 ft ini seharusnya dilakukan dengan cara seperti berikut :
1. Ledging akan berkurang dengan menjalankan packed hole assembly.
2. Meminimalkan perubahan arah pada lubang bor.
3. Meminimalkan perubahan konfigurasi BHA ketika di formasi yang mungkin
dapat menghasilkan ledges.
4. Pertimbangkan untuk melakukan reaming.
5. Perhatikan selalu parameter pemboran yang digunakan jika terdapat anomali.
6. Perhatikan lithologi formasi yang ditembus, apabila lapisan shale yang
ditembus memiliki kedalaman yang panjang maka pertimbangkan menaikkan
kalium guna menahan sifat reaktif dari shale.
4.2.5. Penanggulangan Stuck Pipe yang dilakukan
Usaha yang pertama dilakukan dengan menambahkan lubricant ke lumpur
dan memompakan lovis dan hivis, lalu sirkulasi lumpur 700-750 GPM sambil
dilakukannya jar down, tetapi jar tidak dapat bergerak atau bekerja. Dan WOP
140-130k lbs (berat string normal + block 140k lbs) sambil menahan torsi di 11-
12k ftlbs. Rangkaian belum berhasil dibebaskan dari stuck. melanjutkan usaha
untuk mengatasi stuck pipe dengan melakukan sirkulasi 750 gpm sambil WOP 30-
140k lbs dan menahan torsi di 11-12k ftlbs. Saat usaha untuk melepaskan jepitan
ini, sambil melakukan mixing 70 bbl black magic dengan berat 9,996 ppg. lalu
lanjut Spot 60 bbls solar didasar dan rendam selama 1 jam. Usaha lakukan jar
down kembali, tetapi jar masih belum bisa bekerja dan WOP 30-140k lbs sambil
menahan torsi di 12k lbfts masih belum berhasil. Lanjutkan usaha untuk
mengatasi stuck dengan sirkulasi 750 gpm sambil WOP 80-140k lbs dan tahan
torsi 15-20k ft.lbs. lalu spot 60 bbl black magic dengan di annulus dan
menyisakan 10 bbls Black magic didalam string. Penggunaan black magic ini
bertujuan untuk meluruhkan lapisan yang menyebabkan terjadinya stuck pipe.
Universitas Sriwijaya
82
Rendam black magic selama 12 jam, lalu coba usaha beri torsi putar kanan 11k
ftlbs tetapi rangkaian masih tidak dapat bergerak. Lanjutkan perendaman black
magic dengan tahan torsi 11k ftlbs dan tiap 1 jam pompakan 1 bbls black magic
dari string. Lepaskan torsi dan lanjutkan usaha jepitan dengan melakukan jar up
satu kali, jar up bekerja dan rangkaian akhirnya berhasil lepas dari jepitan. Buang
sisa black magic di annulus dan segera lakukan ream untuk perbaikan lubang dari
4.396,54 – 4.488,40 ft, lanjut sirkulasi bersih lubang dan kondisikan lumpur
dengan berat 9,99 ppg. amati kegiatan ini apakah lancar atau masih ada potensi
terjadinya stuck pipe.
Universitas Sriwijaya
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diuraikan dalam analisis penyebab
stuck pipe dan penanggulangannya pada sumur PDW-07 lapangan Pagardewa,
maka penulis dapat mengambil kesimpulan antara lain:
1. Indikasi terjadinya stuck pipe pada kedalaman 1.131.94 ft adalah rangkaian
mengalami overpull, aliran lumpur pada flowline mengecil hingga sirkulasi
lumpur berhenti. Untuk kedalaman 4.455.59 ft indikasinya adalah rangkaian
tidak bisa diputar dan digerakkan pada satu titik kedalaman yaitu 4.455.59 ft
namun tekanan pompa sebesar 1.500 psi dan sirkulasi lumpur normal.
2. Aspek-aspek yang dianalisis dalam menentukan penyebab stuck pipe adalah
aspek lumpur pemboran diketahui pada 1.131.94 ft terjadi perubahan plastic
viscosity sebesar 17 cps dan pada 4.455.59 ft terjadi perubhana yield point
sebesar 19 lbs/100ft namun perbedaan tekanan tidak melebihi batas 200 psi.
Pada aspek hidrolika pemboran diketahui bahwa annulus velocity, flowrate,
RPM dan WOB yang diterapkan tidak melebihi batas maksimal. Pada aspek
geometri lubang bor diketahui bahwa pada 1.131.94 ft dan 4.455.59 ft
memiliki dogleg yang melebihi dogleg severity. Pada aspek lithologi diketahui
1.131.94 ft menembus lapisan yang dominan batubara, dan pada 4.455.59 ft
terdapat sisipan limestone dan dengan dominan shale. aspek indikasi stuck
pipe pada 1.131.9 ft terjadi drag dan sirkulasi lumpur mengecil dan pada
4.455.59 ft rangkaian tidak bisa diputar namun sirkulasi lumpur normal.
3. Pada Analisis yang dilakukan melalui aspek dalam menentukan penyebab
stuck pipe, dapat diketahui bahwa penyebab stuck pipe pada kedalaman
1.131.94 ft disebabkan oleh settled cutting dari rontokan batubara yang
berlebihan dan pada kedalaman 4.455.59 ft disebabkan oleh dogleg yang
terjadi akibat tersangkutnya subs atau stabilizer pada sisipan limestone.
4. Pencegahan stuck pipe dilakukan untuk menghindari problem stuck pipe saat
melanjutkan operasi pemboran. Untuk problem seetled cutting dicegah dengan
83 Universitas Sriwijaya
84
5.2. Saran
1. Kualitas dari properti lumpur seperti densitas lumpur, viskositas lumpur, solid
content dan additive seharusnya tetap dijaga dengan baik untuk meminimalisir
potensi akan terjadinya stuck pipe pada saat operasi pemboran.
2. Sebaiknya tambahkan densitas lumpur dan pertahankan pH lumpur pada saat
trayek 17½“ untuk mengatasi batubara yang rentan akan stabilitasnya.
3. Desain hidrolika seperti annulus velocity, flowrate, rpm, dan weight on bit
perlu untuk disesuaikan dengan operasi pemboran yang akan dilakukan dan
meminimalisir string dalam kondisi diam.
4. Konfigurasi rangkaian pemboran seharusnya sesuai dengan formasi yang akan
ditembus yang dapat dilihat melalui korelasi antar sumur sebelumnya.
5. Sebelum melakukan operasi pemboran, dianjurkan untuk perhatikan drilling
hazard yang telah diketahui melalui korelasi sumur sebelumnya dan lakukan
pencegahan yang sesuai dengan hazard yang akan dihadapi.
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN HIDROLIKA
Tabel A.2 diameter pipa dan lubang bor kedalaman 1.131,94 ft dan 4.455,59 ft
OD ID OD dc ID dc OD ID OD ID OD Id ID
TVD
dc 8 dc 8 6 1/4 6¼ hwdp 5 hwdp 5 dp 5 dp 5 casing casing hole
(ft) in in in In in in in in in in in
1.131,94 8 3 6,25 3 5 3 5 4,276 20 19,124 17,5
4.455,59 8 2,75 6,25 2 5 3 5 4,276 13,375 12,615 12,25
A-1
A-2
347,421 x (17,5 2 8 2 )
GPMc = = 3.433,81 GPM
24,51
A-4
347,421 x (17,5 2 8 2 )
GPMc = = 1.335,71 GPM
24,51
2. Antara Drillcollar 6¼“ dengan lubang bor
345,587 x (17,5 2 6,25 2 )
GPMc = = 1.667,6 GPM
24,51
3. Antara HWDP 5” dengan Lubang bor
344,596 x (17,5 2 5 2 )
GPMc = = 1.853,39 GPM
24,51
4. Antara DP 5” dengan lubang bor
343,573 x (19,124 2 5 2 )
GPMc = = 1.853,39 GPM
24,51
5. Antara DP 5” dengan casing
343,573 x (19,124 2 5 2 )
GPMc = = 1.981,66 GPM
24,51
A-5
65,4 - MW
BF =
65,4
65,4 - 9,83
BF = = 0,85
65,4
MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF
MaxWOB = (22.528,56 + 8.127,05 + 28.822,82) x 0,85
MaxWOB = 50.539 lbs = 50,539 k lbs
WOB Maximum Drilling pada kedalaman 4.455,59 ft
65,4 - MW
BF =
65,4
65,4 - 9.58
BF = = 0,85
65,4
MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF
MaxWOB = (13.833,903 + 8.127,05 + 31.496,60) x 0,85
MaxWOB = 45.627 lbs = 45,627 k lbs
LAMPIRAN B
PARAMETER PEMBORAN
B-1
B-2
Tabel B.2 Parameter pemboran pada kedalaman 4439.19 sampai 4494.97 ft (PT.
Pertamina EP, 2015)
TVD ROP WOB HKLD TSPM SPP TORQ RPM MW ECD MFI
(Mtr) (min/m) (Klbs) (Klbs) (psi) (ftlbs) (ppg) (ppg) (gpm)
4439.19 6.1 2 134 200 1556 5652 90 10.07 10.32 701
4442.47 4.8 4 134 201 1567 5518 90 10.07 10.32 703
4445.75 4.1 6 133 200 1560 5753 90 10.07 10.32 702
4449.03 4.3 5 134 200 1562 5212 91 10.07 10.32 701
4452.31 10.5 5 133 200 1549 5296 90 10.07 10.32 703
4455.59 10.6 6 133 200 1542 5987 89 10.07 10.32 702
4458.87 6.5 6 133 200 1556 5523 91 10.07 10.32 702
4462.16 9.4 4 134 200 1536 5302 91 10.07 10.32 702
4465.44 10.1 4 134 200 1541 5455 90 10.07 10.32 701
4468.72 7 3 136 200 1539 4762 91 10.07 10.32 701
4472.00 8.6 4 134 200 1538 6050 88 10.07 10.32 701
4475.28 5 6 133 200 1530 6178 90 10.07 10.32 702
4478.56 7 6 132 203 1543 5176 90 10.07 10.32 710
4481.84 7.3 6 134 200 1536 4847 91 10.07 10.32 701
4485.12 4.4 3 134 200 1536 5974 90 10.07 10.32 701
4488.40 4.1 5 132 200 1536 5621 90 10.07 10.32 700
4491.68 4 4.8 132.9 218 1612 5009 89 10.07 10.32 763
4494.97 6.4 3.9 134.4 218 1635 5108 91 10.07 10.32 764
LAMPIRAN C
MUDLOG
Lanjut bor trayek 17-1/2" sampai CP 13-3/8" di 735 m (WOB/GPM/SPP/RPM/TQ/ROP : 1-7 klbs/870 gpm/1760 psi/80-90 RPM/3200-5500 ft.lbs/6.6 mpm. Litho di 735 m : 75%
24 Hours Summary
SHST, 25% SST. BG/MG di 723 m : 30-50/359 unit). Sirkulasi bersih, sweep Hi-Vis. Cabut PDC 17-1/2" + BHA Rotary sampai permukaan, DG : 1/1/PN/N/I/X/NO/TD.
Lanjut masuk PDC 17-1/2"(RR) + BHA trip sampai 735 m. Sirkulasi bersih. Drop totco survey. Cabut PDC 17-1/2"(RR) + BHA trip sampai permukaan. Masuk casing 13-3/8", K-55,
24 Hours Forecast
54.50 PPF, BTC, R-3.
Time Breakdown
Time hh:mm Measured Depth Length Task
Operation
Start End Elapsed Start End ft Category P NPT Code
Drilling
Lanjut bor formasi lubang 17-1/2" dari 671 m sampai 735 m (Casing point).
00:00 11:00 2201.551 2411.535 209.984 Y P 2. Drill Actual WOB/GPM/SPP/RPM/TQ/ROP : 1-7 klbs/870 gpm/1760 psi/85 rpm/3200-5500 ft.lbs/6.6
mpm. Last Litho @ 735 m: 75% SHST, 25% SST. BG/MG @723 m: 30-50/359 unit
D-1
D-2
Tabel B.2 Daily Operations Report 16 Januari 2015 (PT. Pertamina EP, 2015).
Usaha atasi jepitan dengan sirkulasi GPM 700 - 750 sambil lakukan jar down ( jar tidak
mau bekerja ) dan WOP 140 - 30 klbs ( berat string normal + blok 140 klbs ) sambil tahan
18:00 24:00 6:00 4488.408 4488.408 0 Drilling N NP 23. Other torsi 11-12k ft.lbs, belum berhasil. ( Note : Sistem lumpur sudah ditambah lubricants dan
pompakan tandem lovis + hivis, belum berhasil ).
0
Status Pagi , 17 Januari 2015
Sedang usaha atasi jepitan dengan sirkulasi 750 GPM sambil WOP 30-140klbs dan tahan
00:00 04:00 04:00 4488.408 4488.408 0 Drilling N NP 23. Other
torsi di 11-12k ft.lbs, (belum berhasil). Mixing 40 bbls BM SG 1.20 progress 40 %.
Arabi Hamed. Hosseinali M., Morteza Rahimarbabi. And Reza Khalili (2013).
Operational Decision Making to Prevent Stuck-Pipe Incidents in One Of
The Iranian Gas Field; A Case Study. Petroleum and Coal Journal. 55(3).
226-233.
Bowes, Colin and Procter, Ray., (1997), Driller Stuck Pipe Handbook,
Schlumberger, Scotland.
Hussain Rabia., (1985), Well Engineering and Construction, Graham & Trotman
Inc., London, UK.
Rudi, R., (1993) “Teknik Pemboran I-II”, Jurusan Teknik Perminyakan, Institut
Teknologi Bandung.