Anda di halaman 1dari 108

SKRIPSI

ANALISIS PENYEBAB STUCK PIPE


DAN PENANGGULANGANNYA PADA SUMUR
PDW-07 LAPANGAN PAGARDEWA PT. PERTAMINA EP

Dibuat Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik


Pada Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya

ANDY WIRAWAN
03101402010

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
HALAMAN PENGESAHAN

ANALISIS PENYEBAB STUCK PIPE


DAN PENGANGGULANGANNYA PADA SUMUR
PDW-07 LAPANGAN PAGARDEWA PT. PERTAMINA EP

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat


memperoleh gelar Sarjana Teknik

Oleh:

ANDY WIRAWAN
03101002010

Palembang, Juli 2015


Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. H. Syamsul Komar Ir. H. M. Akib Abro, MT.


NIP. 195212101983031003 NIP. 194508231973021001

ii
RINGKASAN

ANALISIS PENYEBAB STUCK PIPE DAN PENANGGULANGANNYA PADA


SUMUR PDW-07 LAPANGAN PAGARDEWA PT. PERTAMINA EP
Karya Tulis Ilmiah berupa Skripsi, 7 Juli 2015

Andy Wirawan ; Dibimbing oleh Dr. Ir. Syamsul Komar dan Ir. H. M. Akib Abro, MT

x + 84 halaman, 24 gambar, 20 tabel, 4 lampiran

RINGKASAN

Pada operasi pemboran pada suatu sumur bisa terjadi bermacam-macam masalah yang bisa
diakibatkan oleh faktor kondisi alami ataupun faktor kesalahan mekanis. Salah satu masalah yang
terjadi pada adalah Stuck Pipe. Stuck Pipe adalah keadaan dimana sebagian dari drillstring terjepit
didalam lubang bor, sehingga operasi pemboran terhambat bahkan menjadi berhenti yang dapat terjadi
akibat differential sticking dan mechanical sticking.
Pada sumur PDW-07 terjadi stuck pipe. Stuck terjadi dua kali saat operasi pemboran, yaitu pada
trayek 17½“ di kedalaman 1131.94 ft dengan menembus formasi batubara dan kronologis saat operasi
mencapai casing point 13 3/8 di kedalaman 2411.52 ft rangkaian diangkat untuk pemasangan casing,
namun saat cabut, rangkaian stuck di kedalaman 1131.94 ft, lalu pada trayek 12¼“ terjadi stuck
kembali saat operasi sudah menembus kedalaman 4488.40 ft dengan formasi yang didominasi shale
dan terdapat sisipan limestone, dilakukan ream-up, namun saat rangkaian naik ke kedalaman 4455.59
ft rangkaian tidak bisa diputar namun tekanan dan sirkulasi lumpur normal. analisis dilakukan melalui
aspek lumpur pemboran, lithologi, hidrolika pemboran, geometri lubang bor dan indikasi stuck pipe.
Setelah dilakukan analisis diketahui penyebab pada kedalaman 1131.94 ft disebabkan seetled
cutting dari batubara yang dicirikan terjadinya drag dan sirkulasi lumpur berhenti. Hal ini
ditanggulangi dengan menaikkan berat lumpur dari 9.82 ke 9.99 ppg hingga sirkulasi normal, terdapat
cutting dan rangkaian terbebas. Lalu pada kedalaman 4455.59 ft disebabkan oleh dogleg yang terjadi
pada saat usaha cabut rangkaian di lapisan shale yang mengalami hidrasi oleh air hingga terdispersi
dan dititik terdapatnya sisipan limestone yang menyebabkan berubahnya arah lubang bor ketika
pemboran dilakukan sehingga saat angkat rangkaian pada bagian subs atau stabilizer tersangkut pada
bagian sisipan tersebut. Penyebab dogleg ini ditanggulangi dengan perendaman fluida black magic
selama 15 jam dan lakukan jar-up hingga rangkaian bebas.

Kata kunci : Stuck pipe, Seetled Cutting, Dogleg, Jar-up


Kepustakaan : 12 (1974-2015)

Palembang, Juli 2015


Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. H. Syamsu Komar Ir. H. M. Akib Abro, MT.


NIP. 195212101983031003 NIP. 194508231973021001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Pertambangan

Hj. Rr. HarminukeEko H, ST, MT


NIP. 196902091997032001
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang merupakan salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Jurusan Teknik Pertambangan,
Universitas Sriwijaya dengan judul “Analisis Penyebab Stuck Pipe dan
Penanggulangannya pada Sumur PDW-07 Lapangan Pagardewa PT. Pertamina EP”
pada tanggal 20 Desember 2014 – 30 Januari 2015.
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan
bimbingan dari Pembimbing I dan Pembimbing II yaitu, Dr. Ir. H. Syamsul Komar
dan Ir. H. M. Akib Abro, MT. Selain itu, Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. M. Taufik Toha, DEA, Dekan Fakultas Teknik Universitas
Sriwijaya.
2. Hj. RR. Harminuke Eko, S.T., M.T., dan Bochori. S.T., M.T., selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Teknik Pertambangan
3. Ir. Djuki Sudarmono, DESS., selaku Dosen pembimbing akademik.
4. Dosen dan staff pengajar Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya.
5. Pimpinan PT. PDSI Project SBS serta segenap staf dan karyawan PT. PDSI
Project SBS.
6. Seluruh pihak yang sudah banyak membantu selama Tugas Akhir ini berlangsung
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat
membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Harapan besar penulis semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Palembang, Juli 2015. Penulis.

iii
RINGKASAN

ANALISIS PENYEBAB STUCK PIPE DAN PENANGGULANGANNYA


PADA SUMUR PDW-07 LAPANGAN PAGARDEWA PT. PERTAMINA EP
Karya Tulis Ilmiah berupa Skripsi, 7 Juli 2015

Andy Wirawan ; Dibimbing oleh Dr. Ir. Syamsul Komar dan Ir. H. M. Akib Abro,
MT

Analysis of stuck pipe causes and the prevention in PDW-07 well Pagardewa field
PT. Pertamina EP

x + 84 halaman, 24 gambar, 20 tabel, 4 lampiran

RINGKASAN

Pada operasi pemboran pada suatu sumur bisa terjadi bermacam-macam masalah yang
bisa diakibatkan oleh faktor kondisi alami ataupun faktor kesalahan mekanis pada saat
operasi pemboran. Salah satu masalah yang terjadi pada operasi pemboran adalah Stuck
Pipe. Stuck Pipe adalah keadaan dimana sebagian dari drillstring terjepit didalam lubang
bor, sehingga operasi pemboran terhambat bahkan menjadi berhenti yang dapat terjadi akibat
differential sticking dan mechanical sticking.
Pada sumur PDW-07 lapangan Pagardewa terjadi problem lubang yaitu Stuck pipe.
Problem ini terjadi dua kali pada saat operasi pemboran dilakukan, yaitu pada saat angkat
rangkaian di trayek 17½“ di kedalaman 1.131,94 ft dengan menembus formasi yang dominan
batubara dan kronologis saat operasi mencapai casing point 13 3/8 di kedalaman 2.411,52 ft
rangkaian diangkat ke permukaan untuk pemasangan casing, namun saat cabut, rangkaian
stuck di kedalaman 1.131,94 ft, lalu pada trayek 12¼“ juga terjadi stuck kembali saat operasi
sudah menembus kedalaman 4.488,40 ft yang mana formasi yang ditembus didominasi shale
dan terdapat sisipan limestone, dilakukan ream-up, namun saat rangkaian naik ke kedalaman
4.455,59 ft rangkaian tidak bisa diputar dan digerakkan pada satu titik kedalaman. Hal ini
menyebabkan berhentinya operasi pemboran dan bertambahnya waktu yang dibutuhkan.
analisis dilakukan melalui aspek yang mempengaruhi stuck pipe, yaitu aspek lumpur
pemboran, lithologi, hidrolika pemboran, geometri lubang bor dan indikasi stuck pipe.
Setelah dilakukan analisis diketahui penyebab stuck pipe pada kedalaman 1.131,94 ft
saat cabut rangkaian disebabkan oleh pack-off yaitu seetled cutting dari batubara yang
dicirikan terjadinya drag dan sirkulasi lumpur berhenti. Seetled cutting dari batubara ini
ditanggulangi dengan menaikkan berat lumpur dari 9,82 ke 9,99 ppg hingga sirkulasi normal,
terdapat cutting dan rangkaian terbebas. Lalu pada kedalaman 4.455,59 ft juga mengalami
stuck saat cabut rangkaian disebabkan oleh dogleg yang terjadi pada saat usaha cabut
rangkaian di lapisan shale yang mengalami hidrasi oleh air hingga terdispersi dan dititik
terdapatnya sisipan limestone yang menyebabkan berubahnya arah lubang bor ketika
pemboran dilakukan sehingga saat angkat rangkaian pada bagian subs atau stabilizer
tersangkut pada bagian sisipan tersebut. Penyebab dogleg ini ditanggulangi dengan spotting
fluid agent yaitu perendaman fluida black magic selama 15 jam dan melakukan jar-up
hingga rangkaian bebas. jika penanggulangan berhasil maka operasi pemboran dapat
dilanjutkan.

Kata kunci : Stuck pipe, Seetled Cutting, Dogleg, Jar-up


Kepustakaan : 12 (1974-2015)

iv
SUMMARY

ANALYSIS OF STUCK PIPE CAUSES AND THE PREVENTION IN PDW-07


WELL PAGARDEWA FIELD PT. PERTAMINA EP
Scientific Paper in the form of Skripsi, 7 Juli 2015

Andy Wirawan ; Dibimbing oleh Dr. Ir. Syamsul Komar dan Ir. H. M. Akib Abro,
MT

Analisis Penyebab Stuck Pipe dan Penanggulangannya pada Sumur PDW-07


Lapangan Pagardewa PT. Pertamina EP

x + 84 pages , 24 tables, 24 pictures, 4 attachments

SUMMARY

In drilling operations at a well may occur various problems that can be caused by factor
natural condition or mechanical error factor during drilling operations. One of the problem
that occur in the drilling operation is Stuck Pipe. Stuck Pipe is a condition where a portion of
the drillstring wedged in the borehole, so that drilling operation hampered even be stopped
cause of differential sticking or mechanical sticking.
In the PDW-07 wells Pagardewa field there is a hole problem that is stuck pipe. This
problem that occur twice during the drilling operation carried out, namely when lift
drillstring in trajectory 17½” at a depth of 1.131,94 ft with coal formation and with
chronogical time of the operation reached a 13 3/8” casing point, drillstring lifted to the
surface for mounting the casing, but when lift, drillstring stuck in depth 1.131,94 ft, then the
trajectory 12¼” at a depth of 4.455,59 ft with limestone insertion also occurs stuck again
when operation is to penetrate to depth 4.488,40 ft, do ream-up, but when drillstring rises to
a depth of 4.455,59 ft, drillsting cannot be rotated and moved at one point depth.. this led to
the cessation of drilling operations and increase the time required to complete the drilling
operations on wells PDW-07'. analysis is done by looking at the five aspects, namely drilling
mud, drilling hydraulics, borehole geometry, lithology, and indication of stuck pipe.
After analyzing the known causes of stuck pipe at a depth of 1.131,94 ft when disconnect
the drillstring caused by pack-off that is seetled cutting of coal characterized the drag and
mud circulation stopped. Seetled cutting of coal overcome by increasing mud weight from
9,82 to 9,99 ppg until got normal circulation, cutting and pipe free from stuck. Then at a
depth of 4.455,59 ft is also experiencing stuck when unplug the drillstring caused by dogleg
that occurred during the attempt to unplug in the shale layer that hydrated by water until
dispersed and at the point of insertion presence of limestone which led to changes in the
direction of the borehole when drilling is done so that when lifting drillstring in part of subs
or stabilizer snagged on the part of the limestone insertion, while the dogleg overcome by
spotting fluid agent that black magic for 15 hours and perform jar-up to until drillstring got
free. After successfully overcoming the drilling operation can be resumed.

Keywords : Stuck Pipe, Seetled Cutting, Dogleg, Jar-up


Citations : 12 (1974-2015)

v
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
RINGKASAN .................................................................................................. iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix
BAB
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah ...................................................... 2
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Pengertian Stuck Pipe................................................................................ 4
2.2. Komponen Drillstring ............................................................................... 4
2.2.1. Drill pipe ....................................................................................... 5
2.2.2. Bottom Hole Assembly .................................................................. 7
2.3. Jenis-jenis dan Penyebab Stuck Pipe ........................................................ 10
2.3.1. Differential Sticking ...................................................................... 10
2.3.2. Wellbore Geometry ....................................................................... 12
2.3.3. Hole Pack-off ................................................................................ 17
2.3.4. Problem Stuck Pipe lainnya .......................................................... 22
2.4. Aspek dalam Menentukan Penyebab Terjadinya Stuck Pipe .................... 24
2.4.1. Lumpur Pemboran ......................................................................... 24
2.4.2. Hidrolika Pemboran ...................................................................... 35
2.4.3. Geometri Lubang Bor ................................................................... 37
2.4.4. Lithologi Formasi ..................................................................... 38
2.4.5. Indikasi Stuck Pipe ........................................................................ 39
2.5. Pencegahan Terjadinya Stuck Pipe ........................................................... 40
2.5.1. Differential Sticking ..................................................................... 40
2.5.2. Wellbore Geometry ....................................................................... 40
2.5.3. Hole Pack-off ................................................................................ 41
2.5.4. Problem Stuck Pipe Lainnya ......................................................... 43
2.6. Penanggulangan Stuck Pipe ...................................................................... 43
2.6.1. Differential Sticking ..................................................................... 43
2.6.2. Wellbore Geometry ........................................................................ 44
2.6.3. Hole Pack-off ................................................................................ 46

vi
BAB Halaman
2.6.4. Problem Stuck Pipe Lainnya .......................................................... 47
2.7. Metode Penanggulangan Stuck Pipe ......................................................... 47
2.7.1. Free Point Indicator ..................................................................... 47
2.7.2. Metode U Tube ............................................................................... 49
2.7.3. Spotting Free Agent Pipe .............................................................. 49
2.7.4. Back-off .......................................................................................... 49
2.7.5. Fishing Operation .......................................................................... 50

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Waktu Penelitian ....................................................................................... 54
3.2. Lokasi Penelitian ....................................................................................... 54
3.3. Penampang Sumur PDW-07 ..................................................................... 56
3.4. Studi Literatur ........................................................................................... 56
3.5. Identifikasi Data ....................................................................................... 57
3.6. Pengolahan Data ....................................................................................... 57
3.7. Analisis Penyebab Terjadinya Problem Stuck Pipe pada Sumur PDW-07 58
3.8. Flow Chart Analisis Penyebab Terjadinya Problem Stuck Pipe dan
Penanggulangannya Pada Sumur PDW-07 .............................................. 61

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Operasi Pemboran Trayek 17½“ ............................................................... 62
4.1.1. Drilling Program............ ................................................................ 62
4.1.2. Kronologis Terjadinya Stuck Pipe............ ...................................... 62
4.1.3. Analisis Penyebab Terjadinya Stuck Pipe........................................ 63
4.1.4. Pencegahan Stuck Pipe.................................................................... 71
4.1.5. Penanggulangan Stuck Pipe yang Dilakukan.................................. 71
4.2. Operasi Pemboran Trayek 12¼“...................................................... ......... 71
4.2.1. Drilling Program............ ................................................................ 71
4.2.2. Kronologis Terjadinya Stuck Pipe................................................. . 72
4.2.3. Analisis Penyebab Terjadinya Stuck Pipe........................................ 72
4.2.4. Pencegahan Stuck Pipe.................................................................... 81
4.2.5. Penanggulangan Stuck Pipe yang Dilakukan.................................. 81

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 82
5.2. Saran ........................................................................................................ 83

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1. Contoh suatu Rangkaian Drillstring ....................................................... 5
2.2. Klasifikasi Drillpipe Menurut Kode Warna API ..................................... 7
2.3. Differential Sticking ................................................................................ 11
2.4. Keyseat .................................................................................................... 13
2.5. Undergauge Hole .................................................................................... 14
2.6. Ledges dan Dogleg ................................................................................... 14
2.7. Salt Washout ........................................................................................... 15
2.8. Salt Plastic Deformation ......................................................................... 16
2.9. Seetled Cutting ......................................................................................... 18
2.10. Swelling Shale ........................................................................................ 19
2.11. Uncosolidated Formation ....................................................................... 20
2.12. Fractured and Faulted Formation ......................................................... 21
2.13. Cement Blocks ........................................................................................ 21
2.14. Green Cement ......................................................................................... 22
2.15. Junk ........................................................................................................ 23
2.16. Hubungan Tekanan Hidrostatik Lumpur vs Laju Pemboran .................. 28
2.17. Overshots ............................................................................................... 51
2.18. Spears ..................................................................................................... 52
3.1. Peta Lokasi Lapangan Pagardewa ........................................................... 54
3.2. Stratigrafi Umum Cekungan Sumatera Selatan ...................................... 55
3.3. Penampang Sumur PDW-07 ................................................................... 56
3.4. Bagan Alir Metodologi Penelitian .......................................................... 61
C.1. Mudlog pada kedalaman 1.082,73 ft – 1.738,93 ft ................................... C-1
C.2. Mudlog pada kedalaman 4.068,44 ft – 4.659,02 ft ................................... C-2

viii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.1. Ukuran dan Berat DP yang umum digunakan.............................................. 6
2.2. Range Panjang Drillpipe .............................................................................. 6
2.3. Yield dan Tensile Stress pada berbagai Grade Pipa ..................................... 6
2.4. Indikasi Penyebab Stuck Pipe ...................................................................... 39
4.1. Mud Properties Trayek 17-½“ ..................................................................... 62
4.2. Hidrolika Trayek 17-½“ ............................................................................... 62
4.3. Properti lumpur di kedalaman 1.131,94 ft ................................................... 63
4.4. Ukuran Pipa dan Lubang Bor kedalaman 1.131,94 ft .................................. 64
4.5. Annulus velocity dan Critical Annulus Velocity kedalaman 1.131,94 ft ...... 67
4.6. Critical GPM kedalaman 1.131,94 ft ........................................................... 67
4.7. Critical RPM kedalaman 1.131,94 ft ........................................................... 68
4.8. Mud Properties Trayek 12-¼“ ..................................................................... 72
4.9. Hidrolika Trayek 12-¼“ ............................................................................... 72
4.10. Properti Lumpur di Kedalaman 4.455,59 ft ............................................... 73
4.11. Ukuran Pipa dan Lubang Bor kedalaman 4.455,59 ft ................................ 75
4.12. Annulus velocity dan Critical Annulus Velocity kedalaman 4.455,59 ft .... 76
4.13. Critical GPM kedalaman 4.455,59 ft ......................................................... 77
4.14. Critical RPM kedalaman 4.455,59 ft ......................................................... 77
A.1. Mud Properties kedalaman 1.131,94 ft dan 4.455,59 ft.............................. A-1
A.2. Diameter pipa dan Lubang bor kedalaman 1.131,94 ft dan 4.455,59 ft ...... A-1
B.1. Parameter pemboran kedalaman 1.131,94 ft sampai 1.312,4 ft .................. B-1
B.2. Parameter pemboran kedalaman 4.439,19 ft sampai 4.494,97 ft ................ B-2
D.1. Daily Operations Report 8 Januari 2015..................................................... D-1
D.2. Daily Operations Report 16 Januari 2015 .................................................. D-2

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
A. Perhitungan Hidrolika ............................................................................... A-1
B. Parameter Pemboran ............................................................................... B-1
C. Mudlog ..................................................................................................... C-1
D. Daily Operations Report .......................................................................... D-1

x
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada suatu operasi pemboran, kegiatan tersebut tidak selalu berjalan dengan
lancar seperti yang diharapkan. Adakalanya terjadi masalah-masalah yang dapat
mengganggu kegiatan pemboran dan sangat merugikan. Masalah yang terjadi
dapat disebabkan karena terjadinya hole problem dari potensi drilling hazard yang
ada. Agar operasi pemboran dapat berlangsung dengan lancar, maka perlu usaha
untuk meminimalisir potensi drilling hazard tersebut. Pada umumnya terdapat
macam-macam hole problem, yaitu antara lain problem stuck pipe, lost
circulation, dan kick.
Pada sumur PDW-07, hole problem yang terjadi adalah problem stuck pipe.
Menurut Rabia Hussain (1985) Stuck Pipe / pipa terjepit ini adalah keadaan
dimana sebagian pipa bor atau drill collar terjepit didalam lubang bor, sehingga
operasi pemboran menjadi terhambat bahkan menjadi berhenti atau lebih dikenal
Non Productive Time (NPT). Stuck Pipe dapat terjadi oleh dua faktor, yaitu yang
pertama karena Differential Sticking yang disebabkan oleh perbedaan antara
tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi pada formasi yang porous dan
permeable. Dan yang kedua karena Mechanical Sticking yang bisa disebabkan
oleh wellbore geometry dan hole pack-off.
Akibat dari problem stuck pipe tersebut dapat menimbulkan kerugian-
kerugian seperti berhentinya operasi pemboran yang sedang dilakukan,
kehilangan waktu pemboran yang dapat menyebabkan penambahan pada biaya
pemboran, Kerusakan pada formasi (formation damage) apabila terjadi pada
daerah yang produktif, dan kerusakan pada rangkaian pemboran yang digunakan
saat terjadinya stuck pipe (Preston L. Moore, 1986). Untuk itu perlu dilakukan
analisis terhadap apa yang menyebabkan terjadinya Stuck Pipe agar dapat
ditentukan pencegahan dan penanggulangan yang effektif sehingga problem stuck
pipe tidak terjadi hingga dapat menyebabkan kerugian selama operasi pemboran.

1 Universitas Sriwijaya
2

Penelitian tugas akhir ini dilakukan pada sumur PDW-07 lapangan


Pagardewa, dimana lapangan Pagardewa ini merupakan lapangan yang berada
dibawah wilayah kerja PT. Pertamina EP.

1.2 Perumusan Dan Pembatasan Masalah


Perumusan masalah didalam penelitian tentang analisis stuck pipe dan
penanggulangannya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara mengetahui penyebab terjadinya stuck pipe.
2. Apa yang menyebabkan terjadinya stuck pipe.
3. Bagaimana cara pencegahan terjadinya stuck pipe.
4. Bagaimana cara penanggulangan yang harus dilakukan untuk problem stuck
pipe.
Sedangkan untuk ruang lingkup pembatasan masalah dalam penulisan tugas
akhir ini hanya terbatas pada analisis penyebab terjadinya stuck pipe dan
penanggulangannya pada sumur PDW-07 lapangan Pagardewa PT. Pertamina EP.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya stuck
pipe dan bagaimana penanggulangan yang lebih tepat untuk menangani problem
stuck pipe tersebut.

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis untuk analisis
problem stuck pipe dan penanggulangannya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui indikasi penyebab terjadinya stuck pipe.
2. Mengetahui aspek-aspek yang mempengaruhi terjadinya stuck pipe.
3. Menentukan penyebab terjadinya stuck pipe pada sumur PDW-07.
4. Mengetahui langkah pencegahan terjadinya stuck pipe.
5. Menentukan penanggulangan yang tepat untuk mengatasi problem stuck pipe
pada sumur PDW-07.
Sedangkan manfaat yang diperoleh dari penelitian tugas akhir tentang
analisis problem stuck pipe dan penanggulangannya pada sumur PDW-07 dapat
dibagi menjadi 2, yaitu :

Universitas Sriwijaya
3

1. Manfaat praktis
a. Meminimalisir akan bahaya terjadinya problem Stuck Pipe pada saat operasi
pemboran.
b. Menambahkan bahan pertimbangan untuk pemboran sumur-sumur yang akan
dilakukan selanjutnya.
2. Manfaat akademis
a. Mengenal cara untuk mengetahui penyebab terjadinya stuck pipe, cara
pencegahan serta cara penanggulangannya.
b. Mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan problem stuck pipe dan
cara penanggulangannya.

Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Stuck Pipe


Dalam suatu pemboran baik vertical, directional, maupun horizontal tidak
selalu berjalan sesuai dengan rencana, ada kalanya di temui beberapa masalah-
masalah yang menghambat proses pemboran, baik pada saat melakukan pemboran
ataupun setelah proses pemboran, sehingga bisa merugikan baik secara biaya,
waktu maupun tenaga. Salah satu masalah dalam operasi pemboran adalah pipa
terjepit (stuck pipe), maksudnya adalah pipa tidak dapat digerakkan di dalam
lubang (tidak bisa diputar dan diangkat) dan adakalanya bisa diputar tapi tidak
bisa diangkat (Rabia H, 1985).
Ada beberapa hal yang mampu menyebabkan stuck pipe bisa terjadi pada
saat operasi pemboran dilakukan, seperti perbedaan tekanan hidrostatik lumpur
pemboran lebih besar dari tekanan formasi yang memiliki permeabilitas baik,
menempelnya bit ke dinding lubang bor, rontokan batuan dari formasi, cutting
yang tidak terangkat ke permukaan ataupun geometri lubang bor. Kerugian dari
terjadinya stuck pipe ini adalah bertambahnya waktu dan biaya pemboran dari
yang telah direncanakan dari sebelumnya, lalu rusaknya rangkaian pemboran yang
digunakan dan kerusakan pada formasi.
Sebelum membahas tentang pipa terjepit, terlebih dahulu penting untuk
mengetahui beberapa komponen dari pipa (drillstring).
2.2. Komponen Drillstring
Di dalam suatu rangkaian drillstring terdapat berbagai macam variasi
rangkaian. Biasanya suatu rangkaian drillstring terdiri dari drillpipe dan BHA
(bottom hole assembly). Pada (Gambar 2.1.) menunjukkan salah satu contoh dari
rangkaian drillstring mulai dari drill pipe sampai bit. Peralatan dari rangkaian ini
disambungkan satu sama lainnya oleh thread (ulir) dengan arah putaran
mengencang kekanan searah dengan jarum jam (Neal Adams, 1985).

4 Universitas Sriwijaya
5

Gambar 2.1. Contoh Suatu Rangkaian Drillstring (Neal Adams. 1985)

2.2.1. Drillpipe
Drillpipe merupakan salah satu dari komponen rangkaian drillstring,
dimana bentuk dari pipa ini yang dilengkapi oleh alat hubung berulir pada kedua
ujungnya (Neal Adams, 1985). Dari masing-masing ujung harus kuat/tebal
(disebut “Upset”) karena stress terbesar terjadi pada ujung ini. Upset ini
memberikan ketebalan tambahan untuk ulir khusus yang disebut tool joint untuk
menyambung tiap joint dari drillpipe.
Tujuan dari pemasangan drillpipe pada rangkaian drillstring adalah :
 Sebagai alat transmisi torsi dari kelly ke bit
 Memberikan suatu saluran bagi fluida pemboran ke bit
 Drillpipe digunakan untuk menggantung rangkaian BHA (bottom hole
assembly) bit pada suatu kedalaman pemboran tertentu.
Karakteristik dari suatu drill pipe dapat dicirikan / diketahui dari beberapa
sifat yaitu : tipe, ukuran, grade dan class.

Universitas Sriwijaya
6

1. Tipe
Ada dua tipe dari drill pipe berdasarkan beratnya, yaitu : drillpipe standart
dan HWDP (heavy weight drillpipe). (Tabel 2.1.) memperlihatkan ukuran dan
berat Drill Pipe yang umum digunakan.
Tabel 2.1. Ukuran dan Berat DP yang umum digunakan (Neal Adams, 1985)

OD (in) ID (in) Weight (lb/ft)


3-1/2 2-1/16 26
4 2-9/16 28
4-1/2 2-3/4 42
5 3 50

2. Ukuran
Suatu drillpipe digunakan dalam suatu interval ukuran dan dalam ukuran
yang paling umum, digunakan bermacam-macam ketebalan dinding yang
memungkinkan bisa dipilih untuk mencocokkan suatu tipe tertentu dengan
program pemboran. Pada (Tabel 2.2.) range panjang drillpipe dibagi dalam 3
kategori.
Tabel 2.2. Range Panjang Drillpipe (Neal Adams, 1985)

RANGE PANJANG (ft)


1 18 – 22
2 27 – 30
3 38 – 40

3. Grade
Grade dari suatu drillpipe menggambarkan suatu minimum yield strength
pipa. Harga ini penting sebab grade digunakan dalam perhitungan burst, collapse
dan tension (Neal Adams, 1985). Pada (Tabel 2.3.) memperlihatkan tentang harga
dari minimum yield strength pipa pada tiap grade nya. Dimana dari batasan yield
strength ini pipa bisa di ketahui sampai mana pipa mampu atau layak untuk di
gunakan.
Tabel 2.3. Yield dan Tensile Stress pada berbagai Grade Pipa (Neal Adams, 1985)
Min. Yield Stress Min. Tensile Stress Min. Yield/Tensile
API Grade
(psi) (psi) Stress
D 55.000 95.000 0,58
E 75.000 100.000 0,75
95 (X) 95.000 105.000 0,90
105 (G) 105.000 115.000 0,91
135 (S) 135.000 145.000 0,93

Universitas Sriwijaya
7

4. Class
Dalam hal ini kualitas pada saat pemakaian, drillpipe tidak sama dengan
pipa lainnya, misalnya tubing dan casing, sebab drillpipe digunakan pada kondisi
yang sudah usang. Akibatnya ada sebuah class drillpipe yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan pemakaiannya (Neal Adams, 1985). Sistem kode warna
API (american petroleum institute). Pada (Gambar 3.2.) menunjukan dari
klasifikasi drillpipe menurut kode warna API.

Gambar 2.2. Klasifikasi Drillpipe Menurut Kode Warna API (Neal Adams. 1985)

2.2.2. Bottom Hole Assembly


Menurut Rudi Rubiandini (1993) BHA (bottom hole assembly) adalah
beberapa peralatan di bawah permukaan yang di kombinasikan sedemikian rupa
yang di pasang pada suatu rangkaian drillstring sehingga di dapatkan hasil
performasi yang baik dalam membentuk suatu kemiringan atau arah dari lintasan
suatu lubang bor.
Ada beberapa peralatan yang termasuk dalam BHA (bottom hole assembly),
di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Heavy Weight Drill Pipe ( HWDP )
Pada dasarnya heavy weight drillpipe sama dengan drill pipe, hanya yang
membedakan dari drill pipe dengan heavy weight drill pipe adalah berat dari pipa
tersebut, dimana biasanya berat dari heavy weight drill pipe tiga kali dari berat
drill pipe. fungsi dari heavy weight drill pipe ini biasanya adalah sebagai tempat /
letak pada saat titik netral, karena heavy weight drill pipe lebih tebal di
bandingkan dengan drill pipe, sehingga pada saat pemboran di laksanakan tidak
terjadi problem yang tidak di inginkan seperti pipa putus / putusnya rangkaian

Universitas Sriwijaya
8

drillstring karena letak titik netral terdapat pada heavy weight drill pipe (Neal
Adams, 1985).
2. Drilling Jar
Suatu alat yang terdapat pada rangkaian BHA (bottom hole assembly) yang
berfungsi untuk memberikan suatu aksi sentakan ke arah atas pada saat pipa
terjepit (Rabia H., 1985). Dengan prinsip kerja seperti halnya palu ketika
mendapat tekanan, drilling jar akan menghentak ketika mendapat tekanan pada
saat pipa terjepit dan berusaha melepaskan pipa dari jepitan dengan dinding
lubang bor.
3. Drill Collar
Drillcollar dipasang di bagian bawah drillpipe untuk memberikan berat
yang cukup pada bit yang biasa digunakan dalam suatu operasi pemboran.
Drillcollar tidak mempunyai tool joint yang dipasangkan pada badan pipa,
dinding drillcollar yang tebal memungkinkan untuk ulir yang dipasang langsung
pada dindingnya.
4. Stabilizer
Stabilizer merupakan alat yang digunakan untuk menjaga arah pemboran
sesuai dengan yang direncanakan. Teknik stabilizer yang paling populer adalah
pendulum yang menggunakan berat drillcollar untuk bergerak pada stabilizer
yang menjadi poros untuk mengatur agar bit menghasilkan penurunan sudut
kemiringan lubang bor, dan fulcrum principle yang bertujuan menaikkan sudut
kemiringan lubang bor, serta teknik packed hole menggunakan sejumlah
tambahan stabilizer dengan spasi yang berdekatan untuk mencegah efek pendulum
maupun fulcrum sehingga di dapatkan sudut yang stabil atau yang sering di sebut
dengan prinsip stabilisasi (Neal Adams, 1985).
5. Reamer
Reamer adalah bagian dari BHA (bottom hole assembly) yang bertujuan
untuk mempertahankan ukuran dari lubang bor pada saat pemboran berlangsung
(Rabia H., 1985). Alat ini terdiri dari blade stabilizer ditambah suatu seri rollers
yang dibuat dari baja keras (atau menggunakan sisipan tungsten carbide).
Disamping bereaksi seperti stabilizer, juga membantu mempertahankan ukuran
lubang dan menanggulangi stuck pipe yang disebabkan oleh dog leg atau key seat.

Universitas Sriwijaya
9

6. Monel DC / Non Magnetic Drill Collar ( NMDC )


Pada dasarnya Non Magnetic Drill Collar atau yang sering di sebut dengan
monel DC hampir sama dengan dril collar pada umumnya, yang membedakan
adalah dari non magnetic DC ini bahan utama pembuatnya adalah logam, dengan
maksud untuk mengurangi daya magnetic yang di sebabkan oleh batuan pada saat
logging while drilling di lakukan (Rabia H., 1985). NMDC ini juga berbeda
warnanya dengan DC pada umumnya, dimana NMDC berwarna perak seperti
logam.
7. Shock Sub
Alat yang ditempatkan di bagian bawah drillcollar untuk mengabsorb
vibrasi dan bebas shock yang dapat terjadi karena aksi cutting ketika pemboran
menembus formasi keras sehingga kerusakan drillstring dapat dikurangi (Rabia
H., 1985).
8. Subs
Berupa joint yang pendek yang memberikan suatu cross over untuk
sambungan yang berbeda pada drillstring.
9. Meassurement While Drilling ( MWD )
MWD adalah bagian alat dari suatu rangkaian BHA (bottom hole assembly),
dimana fungsi dari alat ini adalah untuk memantau ataupun mengontrol arah
azimuth bersamaan dengan proses drilling, dimana prinsip kerja dari alat ini
adalah dengan menyalurkan pulse dari aliran lumpur pada saat sirkulasi yang
kemudian di transmisikan ke komputer di atas permukaan (Rabia H., 1985).
Dengan menggunakan MWD maka kemiringan arah azimuth pada saat pemboran
bisa di minimalisir.
10. Logging While Drilling ( LWD )
LWD adalah alat dari rangkaian BHA (bottom hole assembly) yang
berfungsi sebagai alat logging, apabila pada saat open hole tidak memungkinkan
untuk di lakukannya logging pada umumnya. Sehingga di pasangnya alat LWD
pada BHA untuk dapat melakukan logging bersamaan dengan proses drilling
(Rabia H., 1985). Dengan prinsip kerja dari sinar gamma yang di pancarkan
kearah batuan di sekitarnya yang kemudian dipantulkan dan diteruskan melalui

Universitas Sriwijaya
10

pola aliran lumpur yang di transmisikan ke atas permukaan dan akan di rekam
pada computer.
11. Down Hole Mud Motor
DHM adalah suatu alat yang berguna untuk memutar bit tanpa dengan
memutar rangkaian pipa di atasnya yaitu Drillpipe. Prinsip kerja alat ini adalah
dengan menggunakan kecepatan aliran dari fluida pemboran yang di semprotkan
dari dalam drillstring kemudian mengenai dari rotor, dan rotor berfungsi sebagai
penggerak dari DHM, dari putaran yang di hasilkan maka akan dapat meneruskan
putaran ke bit (Rabia H., 1985).

2.3. Jenis-jenis dan Penyebab terjadinya Stuck Pipe


Menurut Rabia Hussain (1985) Jenis-jenis dari penyebab terjadinya Stuck
pipe ada tiga, yaitu differential sticking, geometry wellbore, dan hole pack-off.
2.3.1. Differential Sticking
Differential sticking adalah menempelnya rangkaian pipa pada salah satu
dinding lubang bor pada formasi permeable (Rabia H. 1985). Hal tersebut
disebabkan karena adanya perbedaan antara tekanan hidrostatik lumpur dengan
tekanan formasi yang permeable. Di dalam setiap operasi pemboran, tekanan
hidrostatik lumpur harus di desain dan disesuaikan dengan tekanan formasi
dengan batasan yang biasanya adalah 200 psi. pada formasi yang permeable,
perbedaan tekanan ini akan menyebabkan filtrasi lumpur ke dalam formasi.
Filtrate yang masuk ke dalam formasi lalu akan keluar dan menjadi mud cake
yang menempel pada dinding lubang bor. Perbedaan tekanan yang terjadi akan
menyebabkan overbalance. Ketika rangkaian pipa masuk ke dalam lubang bor
dan bersentuhan dengan mud cake, maka sebagian pipa akan menempel pada mud
cake dan merubah tekanan menjadi lebih kecil daripada bagian pipa yang masih
bersentuhan dengan lumpur bor.
Sebagai hasilnya, rangkaian pemboran akan menyebabkan Stuck jika terjadi
perbedaan tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi yang besar dan
apabila bagian pipa yang menempel terlalu banyak akan mempengaruhi bagian
besar dari rangkaian pemboran. Untuk penyebab terjadi Differential Sticking dapat
dilihat pada (Gambar 2.3) berikut :

Universitas Sriwijaya
11

Gambar 2.3 Differential Sticking (Rabia Hussain,1985)


Indikasi terjadinya Differential Sticking ditandai dengan :
 Rangkaian pipa tidak dapat digerakkan
 Terjadi pada saat string diam
 Sirkulasi lumpur normal
 Terjadi pada saat rangkaian menembus lapisan yang porous dan permable
Differential Sticking berdasarkan pada perbedaan tekanan hidrostatik lumpur
dengan tekanan formasi dan kontak area antara bagian pipa bor dengan zona yang
porous.
Differential force = (Ph – Pf) x A …………………………………(2-1)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik
Pf = tekanan formasi
Gaya yang dibutuhkan untuk membebaskan dari differential Sticking pipe
berdasarkan beberapa faktor, seperti :
a) perbandingan antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi.
Hal ini menambah kekuatan setiap sisi yang sudah ada karena penyimpangan
lubang.
b) koefisien friksi antara pipa dengan mud cake. Koefisien friksi meningkat
seiring dengan waktu, yang hasilnya akan meningkatkan gaya yang dibutuhkan
untuk membebaskan pipa. Saat terjadi differential sticking, prosedur untuk
membebaskan pipa harus dilakukan segera.

Universitas Sriwijaya
12

Area permukaan dari pipa yang tersangkut pada mud cake adalah faktor
signifikan yang lain. Semakin luas area permukaan, maka semakin besar gaya
yang dibutuhkan untuk membebaskan pipa. Ketebalan dari mud cake dan diameter
pipa akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap area permukaan. Hal tersebut
menjadi alasan untuk menurunkan kemungkinan luas area permukaan yang mana
drill collar pada saat pemboran akan lebih berpotensi untuk mengalami
Differential Sticking.
Differential Sticking force dapat dihitung dengan perhitungan (Rabia H. 1985) :
DSF = (Ph – Pf) x A x friction factor ……………………………………..(2-2)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur
Pf = Tekanan Formasi
A = luas area kontak
Pada umumnya area kontak dihitung dari ketebalan formasi yang permeable
20% dari parameter pipa bor atau drillcollar. Cara lain untuk menghitung area
kontak dapat dihitung dengan persamaan (Rabia H. 1985):
𝐻𝑠 𝐻𝑠 𝐻𝑠−𝑡𝑚𝑐
A = 2h √( 2 − 𝑡𝑚𝑐)2 − ( 2 − 𝑡𝑚𝑐(𝐻𝑠−𝑂𝐷𝑝))2 …………………(2-3)

Keterangan :
h = ketebalan zona permeable
Tmc = ketebalan mud cake
Hs = ukuran Lubang
ODp = OD dari pipa bor atau drillcollar
Permukaan diperkirakan dari ketebalan mud cake yang bisa berbeda-beda
berdasarkan letak kedalaman lubang.
2.3.2 Wellbore Geometry
1. Keyseat
Keyseat disebabkan karena perputaran rangkain pemboran menembus
dengan formasi yang lembut dan mudah ditembus (Rabia H. 1995). Laju
perputaran ini dapat menyebabkan tooljoint untuk mengikis alur dalam formasi
yang kurang lebih sama dengan diameter alat pipa bor yang digunakan. Saat akan
ditarik keluar lubang bor, BHA tersebut mungkin akan tetap menempel pada
dinding lubang yang lembut dan mengikisnya sehingga BHA akan terjepit pada

Universitas Sriwijaya
13

formasi tersebut. Keyseat biasanya terjadi pada formasi yang lembut atau pada
sumur dengan ledges dan doglegs. Ledges dan doglegs ini memungkinkan
rangkaian pemboran untuk menekuk dan memperluas titik kontak antara tooljoint
dengan dinding lubang bor. Keyseat juga mungkin terjadi pada casing shoe
didalam sumur yang terlalu menyimpang.
Stuck pipe yang disebabkan bisa di indikasi dengan melihat :
a) sirkulasi tetap lancar saat Stuck Pipe.
b) lubang menjadi sempit saat dilakukan Trip Out.
c) posisi lubang yang sempit bisa dikorelasikan dengan posisi OD dari bagian
BHA.
d) penyempitan lubang akan terjadi pada kedalaman yang sama di dilakukan trip.

Gambar 2.4 Keyseat (Rabia Hussain,1985)


Pada (Gambar 2.4) dapat dilihat bentuk dari problem keyseat. Stuck Pipe
yang disebabkan oleh Keyseat harus bekerja dan tersentak ke bawah sampai
gerakan bebas dan perputaran terjadi. Pada saat drillstring terbebas kearah bawah
lubang bor, drillstring harus secara perlahan ditarik saat melewati indikasi titik
keyseat dengan menggunakan minimum tension dan putaran yang lambat.
2. Undergauge hole
Operasi pemboran yang dilakukan saat menghadapi formasi abrasive seperti
batupasir dapat menyebabkan bit dan stabilizer aus. Hilangnya gauge (diameter)
menyebabkan lubang tertembusnya lubang undergauged. Pengembangan lubang
undergauge harus dihindari karena dapat mempengaruhi hasil dalam operasi
reaming pada putaran bit selanjutnya (Schlumberger 1997). Selain itu, problem
Stuck pipe bisa terjadi akibat dari menjalankan bit yang penuh gauge dan

Universitas Sriwijaya
14

stabilizers ke bagian undergauge section. Kondisi undergauge hole dapat dilihat


pada (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Undergauge hole (Schlumberger, 1997)


3. Ledges dan Dogleg
Ledges terjadi saat lubang bor menembus ke berbagai jenis formasi dan
ledges akan berkembang pada interface antara lapisan dengan kekerasan yang
berbeda, dari lapisan dengan kekerasan yang tinggi menuju ke lapisan dengan
kekerasan yang rendah, ataupun sebaliknya. Sementara penyebab dari dogleg
karena karakteristik batuan yang menyebabkan bit akan menyimpang dan dapat
mengakibatkan perubahan arah. Juga saat pemboran dengan directional BHA,
perubahan secara mendadak pada sudut yang dapat menyebabkan kink dalam
directional drilling. Penyimpangan yang tajam tersebut dinamakan dogleg
(Schlumberger, 1997). Hal ini biasanya terjadi pada:
 saat menggunakan BHA yang tidak cocok dan setelah mengganti BHA
 prognose hard soft interbedded formation
 prognosed fractured / faulted formations
 setelah perubahan arah

Gambar 2.6 Ledges dan Dogleg (Schlumberger, 1997)

Universitas Sriwijaya
15

4. Mobile Formation
Mobile atau Plastic Formation biasanya mengacu pada halites dan
claystones. Formasi tersebut mengandung sifat plastic yang mampu merubah
bentuk dan mengalir dibawah tekanan (Rabia H. 1985). Masalah utama yang
dihadapi dalam mobile formation adalah saat melewati bagian halite (garam).
Garam biasanya mengandung unsur sulfat atau karbonat dan bisa menjadi
pembatas yang sempurna untuk reservoir.
Permasalahan utama pada bagian salt adalah :
a) Salt Washout
saat Water-based Muds (WBM) digunakan untuk pemboran daerah garam,
air pada WBM akan melarutkan garam yang akan menyebabkan washout yang
besar pada lubang bor. Faktor yang mempengaruhi salt washout :
 Garam memiliki kelarutan yang tinggi oleh air.
 Bischofite sepuluh kali lebih larut didalam air panas dibandingkan halite
 Washout yang besar biasanya ditemukan saat melewati fase garam yang
kompleks.
 Washout biasanya disebabkan karena pekerjaan semen yang buruk dan
akhirnya casing menjadi runtuh.
 Sodium chloride satur fluida pemboran akan melarutkan potassium,
magnesium dan calcium salt. Saat Mg, K dan Ca ions didalam lumpur naik,
rate untuk solusi akan menurun dan tidak bisa lagi menghilangkan washout
dari garam.
 Pencampuran salt mud system digunakan sebagai fluida drilling, tetapi
memiliki kegagalan yang besar untuk menjadi standar.

Gambar 2.7 Salt Washout (Rabia hussain,1985)

Universitas Sriwijaya
16

b) Salt Movement
Salt movement adalah proses yang sangat kompleks dan di control dari
beberapa faktor yang berhubungan dengan kedalaman, temperature, tekanan
formasi, dan water content. Berikut poin yang diketahui mengenai salt movement
 garam mempunyai super-vicous fluid.
 rate pergerakan dari fase garam berdasarkan kedalaman, temperature,
komposisi, water content dan impurities.
 halites relative bergerak lambat.
 rate pergerakan bisa meningkat menjadi 1” per jam( pipa menjadi terjepit saat
pemboran).
 salt complex (carnalite dan bischofite) mengandung lebih banyak water
content yang memberikan banyak pergerakan dibanding halites murni.
 aliran dari garam bisa masuk atau keluar dari sumur tergantung pada tekanan
hidrostatik lumpur. Berat lumpur seharusnya mampu didesain untuk menahan
balik salt movement ke dalam lubang bor.
 Anhydrites dan carbonates dibawah lapisan fase garam adalah immobile.
Permasalahan utama yang disebabkan salt movement adalah runtuhnya
casing dan stuck pipe saat pemboran. Drillstring akan stuck pada daerah salt saat
pemboran yang akan mudah dibebaskan dengan spot air disekitar zona stuck
untuk melarutkan garam dan membebaskan pipa. Washout yang besar dan
buruknya penyemenan akan mempengaruhi hasil saat air digunakan untuk
membebaskan pipa pada daerah garam. Pergerakan dari gerakan garam dapat
dilihat pada (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Salt plastic deformation (Rabia Hussain, 1985)

Universitas Sriwijaya
17

2.3.3 Hole Pack-Off


Menurut Rabia Hussain (1985) Pack-off adalah terjepitnya rangkaian yang
disebabkan oleh karena batuan formasi, caving atau cutting yang mengendap di
sekitar drillpipe atau menutup annulus dan bit.
1. Settled Cutting
Settled Cutting berdasarkan pembersihan lubang adalah salah satu penyebab
utama dari Stuck pipe. Pembersihan lubang yang bagus terjadi di sekitar OD Pipe
yang besar seperti Drillcollar, sementara cutting bed dapat membentuk lebih
tinggi pada lubang dimana OD pipa lebih kecil. Masalah dari Settled Cutting lebih
berpotensi tinggi pada sumur horizontal dan sumur directional. Didalam sumur,
ketika pipa tersebut dipindahkan ke atas, cutting bisa terpadatkan di sekitar BHA.
Hal ini akan menyebabkan pack-off dari drillstring dan akhirnya menyebabkan
Stuck Pipe (Rabia H., 1985). Dengan meningkatnya penyimpangan sumur bor,
parameter fluida pemboran, praktek pemboran dan hidrolika harus di optimalkan
agar dapat efektif membersihkan lubang bor.
Pada sumur vertikal, pembersihan lubang yang baik didapat dari pemilihan
dan pemeliharaan parameter lumpur yang sesuai dan memastikan bahwa tingkat
sirkulasi yang telah dipilih dalam kecepatan annular (sekitar 100-120 ft/min) yang
lebih besar dari kecepatan slip cutting. Sumur dengan inklinasi tinggi cenderung
sulit untuk dibersihkan karena kecenderungan kecepatan slip cutting jatuh ke
bawah lubang bor. Pada sumur dengan penyimpangan yang tinggi, cutting hanya
mempunyai jarak kecil untuk jatuh sebelum cutting menetap di sisi terendah dari
lubang bor dan membentuk cutting bed. Cutting bed berkembang di lubang bor
dengan inklinasi 30 derajat atau lebih, tergantung pada laju aliran dan sifat
suspense fluida pengeboran. Pelepasan sempurna untuk cutting bed dengan
sirkulasi mungkin mustahil.
Setelah cutting bed terbentuk di dalam lubang, selalu akan ada resiko bahwa
saat pipa ditarik ke atas lubang bor, cutting akan terbawa dari sisi terendah lubang
untuk membentuk tumpukan cutting. Jika tumpukan ini terakumulasi di sekitar
BHA, hal tersebut memungkinkan menempelnya BHA ke lubang dan
menyebabkan stuck pipe. Selain menyebabkan stuck pipe, settled Cutting juga

Universitas Sriwijaya
18

dapat menyebabkan pecahnya formasi karena peningkatan ECD, ROP menjadi


lambat dan overpull berlebihan pada saat trip dan peningkatan torsi.
Untuk pembersihan lubang ini dikontrol oleh beberapa parameter, yaitu
Rheologi lumpur (Yield Point dan Gel strength), Flow Rate, Sudut Lubang yang
ditembus, Berat Lumpur yang digunakan, ROP, Diameter lubang, rotasi drillpipe,
Munculnya washout. Kondisi settled cutting dapat dilihat pada (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Seetled Cutting (Rabia Hussain, 1985)


2. Shale Instability
Shale mewakili 70% dari batu yang dihadapi saat pemboran sumur minyak
dan gas. Menurut Rabia Hussain (1985) Shale Instability juga jenis yang paling
umum dari ketidakstabilan lubang bor. Shale diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
a) Brittle Shales
Ketidakstabilan pada brittle Shales disebabkan terutama oleh tekanan
tangensial sekitar lubang bor yang ditembus akibat sumur yang sedang dibor.
Tekanan untuk menembus tergantung pada besarnya tekanan in-situ, tekanan
lubang bor, kekuatan batuan serta sudut dan arah lubang bor. Arah formasi juga
dapat menjadi faktor penyumbang kegagalan brittle shale. Perkembang lumpur
yang aman dapat dibentuk yang dapat digunakan untuk menentukan berat lumpur
yang aman untuk mencegah baik kegagalan dari tensile atau kegagalan
compressive. Brittle Shales cenderung gagal dan memecah menjadi potongan-
potongan dan peluruhan ke dalam lubang.
Indikasi terjadinya Brittle Shale meliputi Jumlah besar sudut, splintery
caving saat sirkulasi sumur. Drag saat trip dan Jumlah yang besar dari isian
lubang.

Universitas Sriwijaya
19

b) Swelling Shales
Swelling Shales disebabkan oleh proses hidrasi atau potensial osmotic yang
berpotensi berkembang antar fluida pori dari shale dan salinitas fluida pemboran.
Swelling shales dapat dilihat pada (Gambar 2.10).

Gambar 2.10 Swelling shale (Rabia Hussain, 1985)


Permasalahan pada Swelling shale dikendalikan oleh beberapa faktor yang
kompleks, meliputi Clay content, Jenis mineral clay, Kadar air pori dan
komposisi, Porositas, Tekanan in-situ, dan Suhu. Untuk membantu pemahaman
dari Swelling Shale, poin-poin berikut harus diperhatikan :
- permeabilitas dari Shale yang sangat rendah, biasanya di kisaran 10-9 sampai
10-6 Darcy. (1 md = 10-13 m2). dengan demikian, Mudcake tidak akan bisa
terbentuk pada permukaan Shale. Namun air masih bisa berpindah ke shale.
- Water Infusion ke dalam shale akan memungkinkan efek kimia untuk memulai
bekerja didalam shale dan pada permukaan yang terbuka dari lubang bor.
- tekanan pori didalam shale akan meningkat, kontribusi untuk destabilisasi.
- permeabilitas yang rendah dari shale berarti bahwa efek swelling dapat
mengambil cukup waktu dan ketidakstabilan shale akan menjadi efek yang
tertunda.
3. Unconsolidated Formations
Untuk Uncosolidated formations biasanya ditemui didekat permukaan dan
meliputi formasi yang mengandung loose sands, gravel dan silts. Unconsolidated
formations memiliki kekuatan cohesive yang rendah dan oleh karena itu akan
runtuh dengan mudahnya dan mengalir ke dalam lubang bor dan terjadi pack-off
atau runtuhan pada drillstring. Indikasi dari permukaan didalam situasi stuck pipe

Universitas Sriwijaya
20

didekat lubang atas yaitu meningkatnya torsi, drag dan tekanan pompa saat
pemboran. Tanda lainya meliputi peningkatan ROP dan pengisian yang besar di
bagian bawah. Kondisi unconsolidated formation dapat dilihat pada (Gambar
2.11)

Gambar 2.11 Uncosolidated Formation (Rabia hussain, 1985)


4. Fractured dan faulted formations
Hal ini adalah masalah umum pada limestone dan formasi kapur. Fractured
dan faulted formations ini mungkin jatuh ke dalam lubang bor setelah formasi di
tembus sebagai tekanan yang awalnya ditahan bersama saat pemboran lubang.
Selain itu, getaran dari drillstring menyebabkan pipa untuk tertekan ke bagian
bawah lubang, menghancurkan dan membuat fractured atau faulted formations
yang terbuka. Oleh karena itu penting untuk mengurangi tertekannya drillstring
untuk mencegah terlepasnya fragmen batuan saat menembus batuan fractured dan
faulted. Sangat penting untuk menjaga kebersihan lubang untuk mengurangi
kemungkinan lubang mengalami pack-off. Jika drillstring terjebak dalam
limestone dan tidak bisa dibebaskan dengan jarring, sebuah inhibited hydrochloric
acid pill mungkin dapat di spot ke sekitar zona stuck. pill tersebut akan bereaksi
dengan limestone, melarutkan batuan disekitar pipa. Jika sukses maka pipa akan
cepat terbebas. Mekanisme dapat terjadinya masalah ini bisa karena zona tektonik
yang aktif, lapisan limestone yang fractured, dan formasi yang sedang ditembus
saat operasi pemboran. Kondisi problem Fractured and Faulted Formation dapat
dilihat pada (Gambar 2.12).

Universitas Sriwijaya
21

Gambar 2.12 Fractured and Faulted Formation (Shlumberger, 1997)


5. Cement blocks
Stuck pipe bisa terjadi dikarenakan cement block yang jatuh dari rat hole di
bawah casing shoe atau dari cement plugs. Drillstring juga dapat terjebak di
dalam green cement yang belum di atur dengan benar. Hal ini biasanya terjadi
setelah pengaturan cement plug didalam casing atau openhole. Hal ini biasanya
terjadi dengan mekanisme saat hard cement menjadi tidak stabil di sekitar casing
shoe, openhole squeeze dan kick-off plugs. Kondisi cement blocks dapat dilihat
pada (Gambar 2.13)

Gambar 2.13 Cement Blocks ( Schlumberger, 1997)


6. Green Cement
Jika drillstring digerakkan terlalu cepat ke bagian atas cement yang masih
baru makan cement dapat dengan cepat merata disekitar pipa dan menyebabkan
stuck pipe yang permanen. Pada beberapa situasi dimana bagian atas semen yang
masih lembut saat di gunakan, tetapi secara harfiah dalam hitungan detik
penandaan semen, semen dengan cepat merata dan mengeras di sekitar BHA yang
menyebabkan mechanical sticking. Penjelasan yang mungkin untuk kejadian yang
cepat ini bahwa pelepasan energi saat sirkulasi dan berputar cukup untuk

Universitas Sriwijaya
22

menyebabkan cepatnya terjadi hal tersebut. Direkomendasikan bahwa


rekomendasi dimulai dari dua atau tiga stand di atas puncak semen yang
diharapkan dan WOB harus dijaga agar tetap minimum. Kondisi green cement
dapat dilihat pada (Gambar 2.14).

Gambar 2.14 Green Cement (Schlumberger, 1997)


2.3.4 Problem Stuck Pipe lainnya
Untuk bagian problem stuck pipe ini secara singkat dipertimbangkan sebagai
masalah lubang yang mungkin tidak menyebabkan stuck pipe, tetapi akan
mengakibatkan bertambahnya waktu pemboran.
1. Bit Balling
Saat air datang dan kontak dengan soft shale yang mengandung
montmorillonite, clay mineral, swelling dan menyebar ke dalam water system.
hidrasi dan swelling dari shale dapat dicegah dengan menggunakan system
inhibited mud yang mengandung zat aditif seperti salts (KCL) dan polymers. Bit
balling terjadi ketika pemboran shale reactive yang menunjukan sifat plastic.
Masalah ini terjadi sangat buruk bila menggunakan inhibited water base muds
saat pemboran partikel shale yang berdampak pada drillbit, stabilizers dan
drilllcollars.
Bit balling dapat dikenali oleh :
 Berkurangnya ROP sebab permukaan bit dengan cutting sepenuhnya ditutupi
oleh mud cake.
 Meningkatnya tekanan pompa karena berkurangnya diameter annulus.
 Terblokirnya Shaker screen dengan soft clay.
 Overpull saat trips.

Universitas Sriwijaya
23

2. Tight Hole
Sebuah lubang dikatakan tight (ketat) ketika gaya menarik ke atas lebih
besar dari berat apung drillstring. Kekuatan extra di atas berat apung disebut drag
force. Meningkatnya drag saat pemboran atau saat ditarik keluar lubang bor
merupakan indikasi yang jelas bahwa lubang bor menjadi Tight. Tight Hole
biasanya diamati di bagian yang mengandung reactive clay atau salt. Swelling dari
clay menyebabkan mengecilnya diameter lubang bor karena membesarnya ukuran
dari clay yang akhirnya menyebabkan meningkatnya drag saat ditarik keluar
lubang bor. Gejala lain dari tight hole adalah Peningkatan torsi dan tekanan
pompa.
3. Junk
Beberapa insiden yang tercatat dari permasalahan Stuck pipe yang telah
terjadi sebagai akibat dari jatuhnya junk ke dalam lubang. Ini termasuk junk jatuh
dari permukaan atau dari bagian atas lubang. Junk yang biasanya jatuh dari
permukaan atau rigfloor meliputi pipe wrenches, spanners, broken metal, hard
hats dan lain-lain. Junk juga bisa jatuh dari dalam dalam lubang bor yang meliputi
adanya kerusakan pada drillstring, hingga terputusnya atau dipotongnya bagian
BHA yang mengalami stuck pipe tersebut. Kondisi junk dapat dilihat pada
(Gambar 2.15)

Gambar 2.15 Junk (Schlumberger,1997)

Universitas Sriwijaya
24

2.4. Aspek dalam Menentukan Penyebab Terjadinya Stuck Pipe


2.4.1 Lumpur Pemboran
Lumpur pemboran sangat penting pada saat operasi pemboran. Untuk itu
perlu di desain dengan teliti untuk membantu proses pemboran agar berjalan
dengan lancar. Dari aspek lumpur pemboran ini dilihat pada berat lumpur, tipe
lumpur yang digunakan, Yield Point, plastic viscosity, gel strength, sand content,
filtrate, dan pH. dari properti lumpur yang digunakan pada saat terjadinya stuck
apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan pada drilling program
ataupun properti lumpur tersebutlah yang memang menyebabkan terjadinya stuck
pipe karena kesalahan desain properti lumpur untuk digunakan saat operasi
pemboran. Lumpur pemboran merupakan fluida sirkulasi dalam operasi
pemboran. Lumpur pemboran merupakan faktor yang sangat penting dalam
mendukung keberhasilan suatu operasi pemboran. Kecepatan pemboran, efisiensi,
keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung pada lumpur.
1. Fungsi Lumpur Pemboran
Dalam perkembangannya lumpur pemboran memiliki 9 fungsi pokok dalam
suatu operasi pemboran (Rudi R., 1995), yaitu:
a) Mengangkat Cutting ke Permukaan
Serbuk bor yang dihasilkan dari pengikisan formasi oleh pahat sebaiknya
diangkat ke permukaan secepatnya, yang mempunyai pertimbangan effisiensi dan
rate penetrasi. Keefektifan dari pengangkatan cutting ini tergantung dari faktor-
faktor antara lain : kecepatan fluida di annulus, Densitas dan Viscositas.
 Kecepatan fluida di annulus
Kecepatan fluida di annulus yaitu kecepatan lumpur yang bergerak pada
setiap bagian sistem sirkulasi. Kecepatan di annulus merupakan faktor yang
penting dalam hal transportasi serbuk bor ke permukaan. Kecepatan di annulus
diusahakan agar tidak melebihi kecepatan kritisnya, karena hal ini akan
menyebabkan aliran fluida menjadi aliran turbulent.
 Densitas
Densitas fluida pemboran merupakan angka yang menunjukkan
perbandingan antara fasa cair dan fasa padatan. Densitas fluida memberikan efek
daya apung terhadap pertikel-partikel dari formasi batuan. Kenaikan densitas akan

Universitas Sriwijaya
25

memberikan kenaikan kapasitas pengangkatannya terhadap serbuk bor. Untuk


pengontrolannya dapat digunakan beberapa senyawa kimia (zat additive),
diantaranya barite untuk menaikkan densitas.
 Viskositas
Viskositas lumpur pemboran sering didefinisikan sebagai derajat kekentalan,
dan dalam pengukuran sederhananya biasanya dinyatakan dalam tenggang waktu
yang diperlukan oleh lumpur seberat 0,9463 liter untuk mengalir didalam marsh
funnel. Viskositas lumpur sangat mempengaruhi tenaga pengangkatan cutting dari
lumpur pemboran. Viskositas tergantung dari konsentrasi, kualitas dan derajat
dehidrasi dari padatan yang terlarut.
b) Mendinginkan Serta Melumasi Pahat dan Rangkaian Pipa
Dalam proses pemboran, panas dapat timbul karena gesekan antara pahat
dan rangkaian pipa yang kontak dengan formasi. Konduksi formasi umumnya
kecil, sehingga sukar untuk menghilangkan panas yang timbul ini. Tetapi
umumnya dengan adanya aliran lumpur maupun panas jenis (spesific heat) lumpur
telah cukup untuk mendinginkan dan melumasi sistem sehingga peralatan tidak
menjadi rusak dan memperpanjang umur pahat.
c) Membentuk Mudcake yang tipis dan licin
Lumpur akan membuat lapisan zat padat tipis (mud cake) di permukaan
formasi yang permeable. Pembentukan mud cake ini akan menyebabkan
tertahannya aliran yang masuk ke formasi (adanya aliran yang masuk, yaitu cairan
plus padatan yang menyebabkan padatan tertinggal dan tersaring). Cairan yang
masuk kedalam formasi disebut mudcake. Mud cake yang dikehendaki yaitu tipis
dengan demikian lubang bor tidak mengecil tertutupi mud cake dan cairan tidak
banyak yang hilang.
d) Mengontrol Tekanan Formasi
Tekanan fluida formasi umumnya adalah sekitar 0,465 psi/ft kedalaman.
Pada tekanan yang normal, air dan padatan di pemboran telah cukup untuk
menahan tekanan formasi ini. Untuk tekanan lebih kecil dari normal (subnormal),
densitas lumpur harus diperkecil agar lumpur tidak masuk ke formasi. Sebaliknya
untuk tekanan yang lebih besar dari normal (lebih dari 0,465 psi/ft, abnormal

Universitas Sriwijaya
26

pressure), maka barite kadang-kadang perlu ditambahkan untuk memperberat


lumpur.
e) Cutting Suspension
Suspensi cutting merupakan kemampuan lumpur untuk menahan cutting
selama sirkulasi lumpur dihentikan, terutama dari gel strength. Cutting perlu
ditahan agar tidak turun kebawah, karena jika mengendap kebawah akan
mengakibatkan akumulasi cutting dan pipa akan terjepit selain juga akan
memperberat rotasi permulaan dan kerja pompa untuk memulai sirkulasi kembali.
Gel yang terlalu besar dapat memperburuk kondisi lumpur bor yaitu tertahannya
pengangkatan cutting ke permukaan (selain pasir). Penggunaan alat-alat seperti
desander atau shaleshaker dapat membantu pengambilan cutting/pasir dari
lumpur di permukaan. Pasir harus dibuang dari aliran lumpur, karena sifatnya
yang sangat abrasive (mengikis) pipa pompa, fitting dan bit. Untuk ini biasanya
kadar pasir maksimal yang diperbolehkan adalah 2 %.
f) Menahan Sebagian Berat Drillstring dan Casing
Pada saat memasukkan atau mencabut rangkaian pipa bor, demikian pula
saat memasukkan casing kedalam lubang bor yang berisi lumpur, sebagian berat
rangkaian pipa bor atau casing akan ditahan oleh gaya keatas dari lumpur yang
sebanding dengan lumpur yang dipindahkan. Bertambah dalamnya formasi yang
dibor, maka rangkaian pipa bor serta casing yang diperlukan juga bertambah
banyak sehingga beban rangkaian pipa bor serta casing semakin berat.
g) Mencegah Runtuhnya Dinding Lubang Bor
Lumpur pemboran dapat menahan dinding lubang bor agar tidak mudah
runtuh, sebab jika lubang bor itu kosong maka ada kemungkinan dinding lubang
bor tersebut akan runtuh. Adanya kolom lumpur pada lubang bor akan
memberikan tekanan hidrostatik yang mampu menahan gugurnya dinding lubang
bor, terutama untuk formasi yang tidak kompak.
h) Media Logging
Pelaksanaan logging selalu menggunakan lumpur sebagai media penghantar
arus listrik dilubang bor. Selain itu juga peralatan logging selalu diturunkan saat
lubang bor terisi oleh lumpur. Penerapan penggunaan jenis lumpur ditentukan dari

Universitas Sriwijaya
27

kebutuhan dilapangan. Dari jenis-jenis logging yang ada (log listrik, log radioaktif
dan log suara), maka lumpur sangat berperan pada penggunaan log listrik.
i) Mendapatkan Informasi Sumur
Pada operasi pemboran, lumpur biasanya dapat dianalisis untuk mengetahui
ada tidaknya kandungan Hidrokarbon berdasarkan mud log. Selain itu juga
dilakukan analisis cutting untuk mengetahui jenis formasi apa yang sedang dibor.
2. Sifat Fisik Lumpur Pemboran
Semua fungsi lumpur pemboran dapat berlangsung dengan baik apabila
sifat-sifat lumpur tersebut selalu dijaga dan selalu diamati secara kontinyu dalam
setiap operasi pemboran. Untuk mempermudah pengertian, maka terdapat empat
sifat fisik lumpur pemboran yaitu densitas (berat jenis), viskositas dan gel strength
serta filtration loss. Selain itu terdapat pula sifat lumpur pemboran yang lain,
seperti pH lumpur, Cl content dan sand content.
a) Berat Jenis
Lumpur pemboran sebagai benda cair mempunyai berat jenis. Berat jenis
suatu benda adalah berat benda dibagi volumenya pada temperatur dan tekanan
tertentu. Satuan yang dipakai adalah kg/l, gr/cc dan lb/gal. Berat jenis lumpur
pemboran diukur dengan alat timbangan lumpur (mud balance) yaitu semacam
alat penimbang yang disatu ujungnya berskala dan ujungnya yang lainnya terdapat
mangkuk tempat akan ditentukan densitasnya. Kalibrasi alat tersebut dapat
dilakukan dengan air biasanya harus menunjukan angka 8,33 lb/gal (ppg), 62,4
lb/cuft, 1 SG dan 433 psi/1000 ft (Rabia H.,1985). Hasil pengukuran yang lengkap
dicatat dalam satuan-satuan tersebut diatas.
Berat jenis lumpur harus dikontrol agar dapat memberikan tekanan
hidrostatik yang cukup untuk mencegah masuknya cairan formasi kedalam lubang
bor, tetapi tekanan tersebut jangan terlalu besar karena dapat menyebabkan
formasi pecah dan lumpur hilang ke formasi. Oleh karena itu berat jenis lumpur
pemboran perlu direncanakan sebaik-baiknya dan disesuaikan dengan formasi
yang akan ditembus. Pada kondisi normal, semakin besar tekanan hidrostatik
lumpur pemboran maka semakin rendah laju penembusan. Hubungan antara
kecepatan pemboran dengan tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang dapat
dilihat dengan pada (Gambar 2.16).

Universitas Sriwijaya
28

18
16
14

Drilling rate - feet/hour


12
10
8
6
4
2
0
0 1 2 3 4 5
Hydrostatic pressure - 190 psi

Gambar 2.16. Hubungan Tekanan Hidrostatik vs Laju Pemboran(Moore P.L, 1986)

b) Viskositas.
Viskositas suatu cairan adalah ukuran tahanan dalam suatu cairan terhadap
aliran suatu gerakan (Rudi R., 1993). Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai
perbandingan antara shear stress (tekanan penggeser) dan shear rate (laju
penggeseran). Untuk cairan yang termasuk newtonian seperti air, perbandingan
shear rate dengan shear stress ini sebanding dan konstan, sedangkan lumpur
pemboran adalah termasuk cairan non-newtonian dimana perbandingan shear
stress dengan shear rate tidak konstan, disebut viskositas semu (apparent
viscosity) serta memberikan hubungan variasi yang luas.
Pada fluida non-Newtonian fluida mempunyai viskositas tidak konstan,
dimana viskositasnya tergantung pada besarnya shear rate yang terjadi. Pada
setiap shear rate tertentu fluida mempunyai viskositas yang disebut apparent
viscosity pada shear rate tersebut. Contoh dari fluida ini adalah lumpur dan
semen.
Umumnya fluida pemboran dapat dianggap bingham plastic, dalam hal ini
sebelum ada aliran harus ada minimum shear stress yang disebut yield point (y).
setelah yield point terlampaui maka setiap penambahan shear rate sebanding
dengan plastic viscosity (p) dari pada model ini.
Penentuan plastic viscosity menggunakan Persamaan Bingham Plastic
dengan menghitung perbandingan antara shear stress dengan shear rate. Plastic
viscosity merupakan kontribusi untuk total viskositas fluida dari fluida dibawah

Universitas Sriwijaya
29

kondisi dinamik (Rabia H., 1985). Yield point adalah bagian dari resistensi untuk
mengalir oleh gaya tarik-menarik antar partikel (Rabia H., 1985).
Viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan penetration rate turun,
pressure loss tinggi terlalu banyak gesekan, pressure surges yang berhubungan
dengan lost circulation dan swabbing yang berhubungan dengan blow out dan
sukar melepaskan gas dan cutting dari lumpur dipermukaan. Sedangkan viscositas
yang terlalu rendah menyebabkan pengangkatan cutting tidak baik dan material-
material pemberat lumpur menjadi mengendap.
c) Gel Strength
Pada waktu lumpur disirkulasikan yang berperan adalah viskositas.
Sedangkan waktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strength.
Lumpur menjadi gel apabila tidak terjadi sirkulasi, hal ini disebabkan oleh gaya
tarik-menarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Gaya tarik menarik antar
partikel inilah yang disebut gel strength (Rudi R., 1995).
Pada waktu sirkulasi dihentikan lumpur harus mempunyai gel strength yang
dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar jangan mengendap.
Akan tetapi kalau gel strength terlalu tinggi akan menyebabkan terlalu berat kerja
pompa lumpur pemboran untuk memulai sirkulasi kembali.
Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh
memompakan lumpur dengan daya yang besar, pemompaan yang besar dapat
menyebabkan formasi pecah. Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggantian bit.
Agar formasi tidak pecah didasar lubang bor, maka sirkulasi dilakukan dengan
secara bertahap, dan sebelum melakukan sirkulasi, rotary table diputar terlebih
dahulu untuk memecah gel.
Gel Strength yang terlampau kecil akan menyebabkan terendapnya serbuk
bor pada saat sirkulasi lumpur berhenti, sedangkan gel strength yang terlampau
tinggi akan mempersulit usaha pompa untuk memulai sirkulasi lagi. Gel strength
berbeda dengan pengertian yield point (minimum Shear stress yang harus
dilampaui sebelum ada geseran) walaupun yield point yang tinggi berhubungan
dengan gel strength yang tinggi. Walaupun gel strength pada saat nol menit
setelah agitasi harus sama dengan yield point, pada kenyataannya tidaklah
demikian, dan hal ini disebabkan oleh :

Universitas Sriwijaya
30

 Pada Shear rate yang rendah, lumpur tidak benar-benar bersifat plastic.
 Kesalahan pengukuran dimana tidak mungkin memulai pengukuran pada
waktu nol sebenarnya.
Sifat Yield point adalah sifat dinamis (keadaan sirkulasi) sedangkan sifat gel
strength adalah sifat statis (keadaan diam). Seperti apa yang telah dapat diduga
sebelumnya, viskositas yang tinggi berhubungan dengan gel strength yang tinggi
pula (pada umumnya), hal ini dikarenakan sifat viskositas maupun gel strength
dengan sifat tarik menarik plate-plate pada clay.
d) Filtration loss
Lumpur pemboran itu terdiri dari komponen padat dan komponen cair.
Karena pada umumnya dinding lubang bor mempunyai pori-pori, komponen cair
dari lumpur akan masuk kedalam dinding lubang bor. Zat cair yang masuk ini
disebut dengan filtrat. Padatan dari lumpur akan menempel pada permukaan
dinding lubang. Bila padatan dari lumpur yang menempel ini sudah cukup
menutupi pori-pori dinding lubang, maka cairan yang masuk kedalam formasi
juga berhenti.
Cairan yang masuk ke formasi pada dinding lubang bor akan menyebabkan
akibat negatif, antara lain :
 Dinding lubang akan mudah runtuh.
Bila filtrat yang masuk ke dalam formasi adalah air, maka ikatan antara
partikel formasi akan melemah, sehingga dinding lubang mudah runtuh.
 Interpretasi dari logging tidak akurat
Electric logging atau resistivity log mengukur resistivity dari formasi cairan
atau fluida yang dikandung oleh formasi tersebut. Kalau filtration loss banyak,
maka yang diukur oleh alat logging adalah resistivity dari filtrat.
 Water blocking
Filtrat yang berupa air akan menghambat aliran minyak dari formasi
kedalam lubang sumur jika filtrat dari lumpur banyak.
 Differential sticking
Seiring dengan banyaknya filtration loss maka mud cake dari lumpur akan
tebal. Diwaktu sirkulasi berhenti ditambah lagi dengan berat jenis lumpur yang

Universitas Sriwijaya
31

besar, maka drill collar yang terbenam didalam mud cake serta lumpur akan
menekan dengan tekanan hidrostatik yang besar ke dinding lubang.
 Channeling pada semen.
Di waktu penyemenan, mud cake yang tebal kalau tidak dibersihkan akan
menyebabkan ikatan antara semen dengan dinding lubang menjadi kurang baik.
e) Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau juga sering disebut pH lumpur pemboran dipakai
untuk menentukan tingkat kebasaan dan keasaman dari lumpur bor. pH dari
lumpur yang dipakai berkisar antara 8,5 sampai 12. jadi lumpur pemboran yang
digunakan adalah dalam suasana basa. Kalau lumpur bor dalam suasana asam
maka cutting yang keluar dari lubang bor akan halus atau hancur, sehingga tidak
dapat ditentukan batuan apakah yang ditembus oleh mata bor. Dengan kata lain
sulit untuk mendapatkan informasi dari cutting. Selain dari pada itu peralatan-
peralatan tidak mudah berkarat.
Alat yang digunakan untuk mengukur pH lumpur adalah sebagai berikut :
 pH indikator
Sering juga dikatakan kertas lakmus atau pH paper.
 pH meter
Mencelupkan alat pH meter akan diketahui berapa pH dari lumpur tersebut.
f) Cl Content
Kandungan Cl ditentukan untuk mengetahui kadar garam dari lumpur.
Kadar garam dari lumpur akan mempengaruhi interpretasi log listrik. Kadar
garam yang besar akan menyebabkan daya hantarnya besar pula. Pembacaan
resistivity dari cairan formasi akan terpengaruh. Naiknya kadar garam dari lumpur
disebabkan cutting garam yang masuk kedalam lumpur disaat menembus formasi
yang mengandung garam. Dengan kata lain lumpur terkontaminasi oleh garam.
g) Sand Content
Yang dimaksud dengan sand content adalah kadar pasir didalam lumpur bor.
Pasir tidak boleh terlalu banyak didalam lumpur bor, karena dapat merusak
peralatan yang dilaluinya pada saat sirkulasi, dan akan menaikkan berat jenis dari
lumpur bor itu sendiri (Rudi R., 1995). Kadar pasir maksimal yang diperbolehkan
adalah 2% volume.

Universitas Sriwijaya
32

3. Jenis-jenis Lumpur Pemboran


ZABA dan DOHERTY (1970) mengklasifikasikan lumpur bor terutama
berdasarkan fasa fluidanya yaitu water base, oil base atau gas. 5 jenis lumpur
pemboran yang dapat digunakan yaitu Fresh Water Mud, Salt Water Mud, Oil in
Water Emultion Mud, Oil Base and Oil Base Emultion Mud dan Gaseous Drilling
fluid.
a. Fresh Water Mud
Fresh water mud adalah lumpur pemboran yang fasa cairnya adalah air
tawar dengan kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1% berat garam).
Jenis lumpur ini mempunyai beberapa macam jenis yang digunakan pada kondisi
tertentu, antara lain : Spuld Mud,Natural Mud, Bentonite Treated Mud, Phospate
Treated Mud, Organic Colloid Treated Mud, Red Mud, Calsium Mud.
b. Salt Water Mud
Salt Water Mud adalah lumpur pemboran yang mengandung air garam
dengan konsentrasi di atas 10.000 ppm. Biasanya lumpur ini ditambah organik
koloid yang berfungsi untuk memperkecil filtrat loss dan mempertipis mud cake
dan lumpur jenis ini biasanya digunakan untuk mengebor garam massive,
saltdome atau salt stringer (lapisan formasi garam).
c. Oil in Water Emultion Mud (Emulsion Mud)
Pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai
fasa kontinyu, jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air, maka airnya dapat
memakai fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi
emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan
pelumasan. Keuntungannya adalah bit akan tahan lama, penetration rate naik,
pengurangan korosi pada drillstring, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas
dan tekanan pompa dapat dikurangi, water loss turun, mud cake tipis).
d. Oil Base and Oil Base Emultion Mud
Oil-Base Mud mempunyai fasa kontinyu minyak, kadar air tidak boleh lebih
besar dari 5 %, karena bila lebih besar sifat lumpur menjadi tidak stabil. Untuk itu
diperlukan tangki yang tertutup agar terhindar dari hujan / embun dan bahaya api.

Universitas Sriwijaya
33

Untuk mengontrol viskositas, menaikan gel strength, dan mengurangi efek


kontaminasi air serta mengurangi filtrate loss perlu ditambahkan zat-zat kimia.
Lumpur jenis ini mahal harganya, biasanya digunakan kalau keadaan memaksa
atau pada completion dan work over sumur. Misalnya melepas drillpipe terjepit,
mempermudah pemasangan casing dan liner. Keuntungannya, mud cake tipis dan
liat, pelumasan baik.
Oil-Base-Emultion Mud mempunyai minyak sebagai fasa kontinyu dan air
sebagai fasa tersebar. Umumnya mempunyai faedah yang sama dengan oil-base
mud yaitu filtratenya minyak, karena itu tidak menghidratkan shale / clay yang
sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil-base mud adalah bahwa air ditambahkan
sebagai tambahan yang berguna (bukan kontaminer). Air yang teremulsi dapat
antara 15 - 50 % volume, tergantung densitas dan temperatur yang dihadapi.
Karena air merupakan bagian dari lumpur maka mengurangi bahaya api, toleran
terhadap air dan pengontrolan flow propertis (sifat-sifat aliran) dapat seperti water
base mud.
e. Gaseous Drilling Fluid
Lumpur pemboran jenis ini jarang sekali digunakan, hanya digunakan pada
daerah-daerah yang sangat sensitif terhadap tekanan hidrostatik, yaitu daerah yang
membutuhkan berat jenis lumpur yang sangat rendah. Fluida jenis ini hanya terdiri
dari gas atau udara maupun aerated gas. Biasanya digunakan untuk pemboran
yang formasinya keras dan kering dan juga pada pemboran dimana kemungkinan
terjadinya blow out kecil sekali atau dimana lost circulation merupakan bahaya
utama.

Aspek lumpur pemboran yang digunakan ini meliputi perbedaan tekanan


(differential pressure) yang terjadi yang bisa menyebabkan terjadinya jepitan
differensial (differential pipe sticking), laju alir lumpur pemboran yang diperlukan
untuk pembersihan lubang dan waktu sirkulasi yang diperlukan.
Ada beberapa langkah yang perlu di lakukan untuk mengetahui adanya
differential pipe sticking, langkah awalnya adalah memprediksi tekanan formasi
dengan menggunakan d-exponent (Neal Adams., 1985) sebagai berikut :

Universitas Sriwijaya
34

Log ( R / 60 N )
d ………………………………………(2-4)
Log (12W / 1.000db)
Keterangan :
d = harga d-exponent,
R = ROP, ft/hr
N = Rotary Speed, rpm
W = WOB, klb
Db = Bit Diameter, in
Setelah mendapatkan harga d-exponent, langkah selanjutnya menghitung
d-exponent terkoreksi dengan persamaan sebagai berikut :
9
dc  d …………………………………………………………(2-5)
MW
Keterangan :
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
MW = mud weight, ppg
Dan untuk menghitung besar equivalen mud weight adalah sebagai berikut:
9d
EMW   0,3 …………………………………………………(2-6)
dc
Keterangan :
EMW = Equivalen mud weight, lb/gal
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
Setelah itu untuk menghitung besarnya tekanan formasi digunakan
persamaan sebagai berikut :
Pf = 0,052  EMW  D …………………………………………(2-7)
Keterangan :
Pf = Tekanan Formasi, psi
D = TVD, ft
EMW = Equivalen mud weight, lb/gal
Untuk menghitung besarnya tekanan hidrostatik lumpur pemboran
digunakan persamaan sebagai berikut :

Universitas Sriwijaya
35

Ph = 0,052  MW  D …………………………………………(2-8)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur pemboran, psi
MW = berat jenis lumpur pemboran, lb/gal
D = tinggi kolom lumpur, ft
Untuk mengetahui perbedaan tekanan dihitung dengan persamaan:
DP = Ph – Pf ………………………………………………………..(2-9)
Keterangan :
DP = Perbedaan tekanan, psi
Ph = Tekanan hidrostatik, psi
Pf = Tekanan formasi, psi
Agar operasi pemboran dapat berjalan dengan lancar maka diusahakan
adanya perbedaan tekanan sebesar 100 – 200 psi. Perbedaan tekanan ini sering
disebut sebagai overbalance pressure. Menurut Darley H.C.H. (1983) untuk batas
perbedaan tekanan adalah sebesar 200 psi.
2.4.2 Hidrolika Pemboran
Melakukan evaluasi pada hidrolika pemboran yang diterapkan dan melihat
rangkaian pemboran yang digunakan pada saat terjadinya stuck. Hidrolika
pemboran adalah segala hal yang mempengaruhi aktifitas fluida di dalam formasi
saat dilakukannya operasi pemboran. Hidrolika yang digunakan apakah tepat atau
tidak sehingga apakah dari kesalahan desain hidrolika inilah penyebab dari
terjadinya stuck pipe. Berikut hidrolika dan parameter pemboran yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan penyebab stuck pipe yang terjadi, meliputi :
1. Annulus Velocity
Annulus velocity adalah kecepatan aliran lumpur di annulus saat di
pompakan dengan rate pompa tertentu (Rudi R., 1993). Kecepatan aliran lumpur
ini digunakan untuk mengangkat cutting dari lubang bor menuju permukaan.
24,5 xGPM ……………………………………………………..(2-10)
AV 
OH2  OD 2

Keterangan :
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
GPM = debit pompa (GPM)

Universitas Sriwijaya
36

2. Critical Annulus Velocity


Critical annulus velocity adalah kecepatan batas aliran lumpur dimana jika
kecepatan lumpur di annulus lebih cepat daripada kecepatan batasnya, maka aliran
lumpur akan berubah dari aliran yang laminar menjadi aliran yang turbulent.
Dimana pada umunya aliran turbulent ini dihindari pada annulus (Rabia H., 1985).
Untuk itu kecepatan lumpur di annulus harus tetap lebih kecil daripada kecepatan
batasnya agar aliran lumpur tetap laminar.

97 x PV  97 PV 2  6,2 x ρ x (Dh - OD) 2 x YP


Vc  …………… (2-11)
ρ x (Dh - OD)
Keterangan :
PV = Plastic viscosity
YP = Yield Point
ρ = MudWeight (ppg)
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
3. Critical GPM
Critical GPM adalah GPM batas dimana jika laju pemompaan melewati
batas GPM akan mengubah aliran lumpur berubah menjadi aliran turbulent.
CV x (OH 2  OD 2 )
GPMc = …………………………………….(2-12)
24,51
Keterangan :
CV = Critical Annulus Velocity (ft/min)
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
4. Critical RPM
Critical RPM adalah batas harga RPM yang mana jika RPM yang
diterapkan melebihi nilai batas dari critical RPM maka akan menimbulkan efek
getaran (vibrasi) pada pipa pemboran (Rabia H., 1985).
33.055 2 2
CritRPM = 2
x OD  ID …………………………………….(2-
L

13)
Keterangan :

Universitas Sriwijaya
37

L = panjang satu joint pipa (ft)


ID = diameter dalam pipa (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
5. WOB maximum Drilling
Weight on bit maximum yang diperbolehkan saat operasi pemboran
dilaksanakan adalah setara dengan berat drillcollar dan heavy weight drillpipe
yang terkoreksi dengan Bouyancy faktor, dimana bouyancy faktor ini adalah efek
gaya penahan gravitasi yang ditimbulkan oleh tingkat kerapatan molekul-molekul
fluida (Rabia H., 1985).
65,4 - MW
BF = ………………………………………………….(2-14)
65,4

MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF ……………………...(2-15)


Keterangan :
BF = Bouyancy Factor
MW = Mud Weight
2.4.3. Geometri Lubang Bor
Aspek ini antara lain meliputi profil sumur, kecenderungan adanya
perubahan sudut yang tiba-tiba (dog leg) yang mungkin dapat menimbulkan key
seat. Seperti diketahui bahwa pada sumur berarah dengan sudut kemiringan yang
relatif tinggi memungkinkan formasi batuan yang ditembus tidak dapat menahan
beban formasi batuan di atasnya (overburden). Akibat dari hal tersebut adalah
dinding lubang bor yang biasanya dapat ditahan oleh tekanan hidrostatis normal
menjadi tidak bisa lagi ditahan kemudian runtuh ke dalam lubang bor dan menjadi
penyumbat. Sedangkan pada sumur vertical dipengaruhi pada formasi dan lapisan
batuan yang ditembus.
Perubahan sudut kemiringan lubang yang mendadak (dog leg) juga perlu
diteliti untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya key seat. Persamaan untuk
menghitung perubahan sudut keseluruhan (DL) (Neal Adams, 1985), adalah :
cos DL  cos( I 2  I1 )  sin I1 x sin I 2 x(1  cos( A2  A1 )) ……………(2-16)
Keterangan :
DL = Dogleg angle, derajat
I = perubahan sudut inklinasi, derajat

Universitas Sriwijaya
38

A = perubahan sudut arah, derajat


Sedangkan dogleg severity dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (Neal Adams, 1985):
DL 100
 ……………………………………………….(2-17)
S
Keterangan :
 = dogleg severity, derajat / 100 ft
 S = jarak antar titik survey, ft
Dogleg yang dihasilkan (true dogleg) tidak boleh melebihi dogleg severity
agar mengurangi kemungkinan terjadinya key seat.
2.4.4 Lithologi
Dalam menentukan penyebab stuck, perlu diketahui lapisan apa yang sedang
atau telah ditembus oleh drillstring saat terjadinya stuck. Hal ini dapat diperoleh
dari cutting yang didapatkan. Dengan diketahuinya lithologi formasi ini dapat
membantu menentukan penyebab untuk terjadinya stuck pipe dengan melihat
lithologi dan kondisi formasi yang dihadapi saat operasi pemboran.
Untuk mengetahui lithologi formasi dapat diketahui berdasarkan mudlog
yang di interpretasikan. Dalam industri perminyakan, log geologi umumnya
disebut mud logs, mud loging digunakan untuk membawa cutting dari batuan
yang hancur akibat terkena mata bor (bits), ke permukaan melalui rotary drilling.
Wellsite Geologist atau mudloger, mendiskripsikan cutting, memonitor jejak gas
alam didalam lumpur (mud), didalam operasi rig baik dalam fase pengeboran
ataupun tidak. geologist menganalisis cutting yang merambat ke atas dalam
lubang bor yang bercampur dengan lumpur (mud) atau drilling fluid yang
terpompa kedalam lubang bor melalui drilling string/ pipa dan kembali ke
permukaan melalui flowline. Cutting kemudian terpisah dari drilling fluid yang
bergerak melewati shale shakers dan tersempel pada interval kedalaman
pengeboran, di analisis dan didiskripsikan oleh logging geologist pada saat tugas.
Tipikal mud log memperlihatkan formasi gas (unit gas atau ppm), rata rata
penetrasi (ROP); sempel lithologi didiskripsikan, geologi interpretatif berbasis
ROP, formasi gas/oil cut-stain-flourescense, dan kurva gas termasuk kurva total

Universitas Sriwijaya
39

gas berat methane, dan informasi tambahan dari wellbore (deviasi survey), casing
shoe depth dan formation top.
2.4.5 Indikasi Stuck Pipe
Pada saat operasi pemboran, di dalam hal untuk menentukan penyebab
terjadinya problem stuck pipe, perlu dilihat terlebih dahulu indikasi atau hambatan
yang terjadi melalui kondisi operasi saat sebelum dan saat terjadi stuck pipe. Dari
indikasi yang terlihat ini dapat membantu dalam menentukan apakah penyebab
yang menyebabkan rangkaian mengalami stuck pipe berdasarkan beberapa
indikator dari masing-masing jenis-jenis stuck pipe yang telah tertera pada (Tabel
2.4) yang mana tiap-tiap indikasi atau hambatan yang terlihat berbeda-beda.
Untuk aspek indikasi stuck pipe ini dilihat melalui beberapa indikator dari
masing-masing penyebab terjadinya stuck pipe, yaitu :
Tabel 2.4 Indikasi Penyebab Stuck Pipe (Schlumberger, 1997)
Jenis Stuck Pipe Indikasi
Differential Overpull pada koneksi, rangkaian tidak bisa bergerak,
Sticking perbedaan tekanan yang jauh, formasi yang permeable
terbuka pada openhole, sirkulasi penuh tidak terbatas
Keyseat Terjadi saat cabut rangkaian, overpull tiba-tiba saat BHA
mencapai kedalaman dogleg, sirkulasi tidak terbatas,
rangkaian bisa bergerak dibawah kedalaman keyseat
Undergauge hole Sirkulasi sedikit terbatas, bit stuck didekat dasar lubang bor,
bit atau stabilizers yang ditarik mengalami undergague
Ledges and dogleg Sirkulasi lancar, terjadi pada kedalaman yang memungkinkan,
Mobile Formation Terjadi overpull, sirkulasi terbatas saat BHA berada pada
mobile formation, terjepit saat BHA berada pada mobile
formation
Seetled Cutting Overpull meningkat saat cabut rangkaian, tidak terdapat
cutting pada shaker, tidak bisa sirkulasi
Shale Instability Caving pada shaker, meningkatnya torsi dan drag, sirkulasi
terbatas atau tidak bisa, lubang bor terisi
Unconsolidated Meningkatnya tekanan pompa, overpull pada koneksi, shaker
formation menjadi tertutup
Fractured and Terisinya lubang pada koneksi, memungkinkan loss atau gain,
Faulted formation terjadi stuck secara tiba-tiba,
Cement blocks Sirkulasi terbatas, fragmen cement, rotasi dan gerakan
kebawah memungkinkan, torsi menentu
Green cement Meningkatnya tekanan pompa dan tidak bisa dilakukannya
sirkulasi, hilangnya berat rangkaian, green cement pada return
Bit balling Shaker tertutup dan pembentukan clay ball, meningkatnya
LGS, mudcake thickness, PV dan YP, sirkulasi yang sangat
terbatas
Tight Hole Torsi meningkat, tekanan pompa meningkat, sulitnya cabut

Universitas Sriwijaya
40

rangkaian dengan overpull yang tinggi


Junk Sirkulasi terbatas, pecahan metal di shake, torsi mendadak
menentu, pekerjaan perbaikan yang baru saja selesai
2.5. Pencegahan terjadinya Stuck Pipe
Sebelum pencegahan daripada Stuck pipe, hal-hal yang harus diperhatikan
adalah seperti pemahaman perbedaan mekanis pada pemboran, merencanakan
terlebih dahulu cara untuk menghindari problem, harus bersiap untuk segera
menanggulangi saat terjadi, gunakan prosedur penanggulangan jika dibutuhkan.
2.5.1. Differential Sticking
Mengoptimalkan desain dari sumur. Bila memungkinkan desain pengaturan
kedalaman casing untuk meminimalkan overbalance saat melewati zona yang
berpotensi menyebabkan menempelnya drillstring ke dinding lubang. Membatasi
berat lumpur ke miminum yang diperlukan untuk stabilitas lubang dan juga
pengontrolan sumur, gunakan OBM jika memungkinkan. Tahan hilangnya fluida
ke minimum dan menjaga konsentrasi LGS dan Gels tetap rendah. Jaga string
agar tetap bergerak, perencanaan untuk meminimalkan down time untuk operasi
yang memerlukan string untuk tetap static (survey, perbaikan kecil, dll).
Pertimbangkan memutar string saat drilling dan tripping connection sementara
BHA berhadapan dengan zona yang beresiko tinggi untuk menempelnya
drillstring (Schlumberger, 1997).
2.5.2. Wellbore Geometry
1. Keyseat
Meminimalkan bertambahnya dogleg. Lakukan reaming dan/atau wiper
trips jika dogleg memang timbul. Mempertimbangkan menjalankan string
reamers atau keyseat wiper jika memang keyseat yang cenderung menjadi
masalah (Schlumberger, 1997).
2. Undergauge hole
Penggunaan gauge-protected bit dan stabilizers yang sesuai. Pertimbangkan
menggunakan roller reamers. Selalu mengukur semua komponen BHA baik
ketika dimasukkan kedalam dan penarikan ke luar lubang. Ream bagian yang
diindikasikan mengalami undergauge. Perlambat kecepatan saat trip in sebelum
BHA memasuki zona undergauge (Schlumberger, 1997).
3. Ledges and doglegs

Universitas Sriwijaya
41

Ledging akan berkurang dengan menjalankan packed hole assembly.


Meminimalkan perubahan arah pada lubang bor. Meminimalkan perubahan
konfigurasi BHA ketika di formasi yang mungkin dapat menghasilkan ledges.
Pertimbangkan untuk melakukan reaming (Schlumberger, 1997).
4. Mobile Formation
Menjaga berat lumpur yang cukup. Pilih system lumpur yang tepat yang
mana tidak akan memperburuk pembentukan mobile formation. Rencanakan
reaming atau wiper yang sering terutama bagian lubang yang berpotensi.
Pertimbangkan pemakaian bi-centre PDC bits. Kecepatan yang lambat saat trip
sebelum BHA memasuki daerah yang berpotensi. Meminimalisir waktu bukaan
dari openhole pada formasi tersebut. Jika mobile salt, pertimbangkan
menggunakan under-saturated mud system untuk memungkinkan washout dapat
dikendalikan (Schlumberger, 1997).
2.5.3. Hole Pack-off
1. Settled Cutting
Memaksimalkan annulus velocity, (pertimbangkan penggunaan pompa
lumpur ketiga dan penggunaan drillpipe yang lebih besar). Pastikan waktu
sirkulasi memadai, (perhatikan grafik dari pembersihan lubang bor dan memonitor
cutting yang diangkat pada shaker). Memaksimalkan mechanical agitation dari
cutting beds, (rotation dan reciprocation). Serta mengoptimalkan sifat lumpur,
(peningkatan YP pada sumur vertical) (Schlumberger, 1997).
2. Shale Instability
Pastikan berat lumpur yang telah direncanakan sudah memadai. Perencanan
untuk meminimalkan waktu lubang terpaparkan. Penggunaan ketat kadar gas
untuk mendeteksi trend dari tekanan pori. Penggunaan informasi lainnya untuk
memprediksi trend dari tekanan pori setelah shale yang ditembus tidak
menurunkan berat lumpur. Hal ini juga memungkinkan berat lumpur perlu
dinaikkan dengan peningkatan inklinasi.
3. Uncosolidated Formation
Formasi ini membutuhkan Mud cake yang memadai untuk membantu
menstabilkan formasi. Seepage loss dapat diminimalkan dengan lost circulation
material yang halus. Jika memungkinkan, hindari waktu edar sirkulasi dengan

Universitas Sriwijaya
42

BHA yang berhadapan dengan unconsolidated formations untuk menghindari


kerusakan mekanik. Mulai dan berhentikan pompa perlahan untuk menghindari
pressure surges timbul saat bertemu dengan unconsolidated formations.
Pengendalian pipa pada zona yang berpotensi menyebabkan stuck untuk
memberikan waktu agar mud cake terbentuk, meminimalkan pengisian annulus
dan hasil Equivalent circulating density. Gunakan sweeps untuk mejaga lubang
bor tetap bersih. Bersiap untuk shaker, desilter dan desander yang mengalami
overload (Schlumberger, 1997).
4. Fracture dan Faulted Formation
Meminimalisir getaran dari drillstring. Pilih RPM alternative atau ganti
pengaturan BHA jika saat diamati mengalami getaran yang sangat tinggi.
Perlambat kecepatan saat trip sebelum mengganti BHA memasuki area yang
dicurigai area fractured dan faulted. Utamanya, fracture formation ini
membutuhkan waktu untuk stabil. Bersiap untuk menghabiskan waktu saat
drilling dan reaming untuk membuat progress yang signifikan. Sirkulasi untuk
membersihkan lubang. Batasi kecepatan saat trip ketika BHA berhadapan dengan
zona yang fractured dan fault. Mulai atau hentikan drillstring perlahan untuk
menghindari pressure surges di dalam lubang bor. Antisipasi reaming selama trip,
ream zona fractured sangatlah berbahaya (Schlumberger, 1997).
5. Cement Blocks
Batasi casing rat hole. Kurangi pekerjaan squeeze cement di sekitar shoe.
Biarkan semen kering terlebih dahulu seblum lanjut operasi pemboran. Ream
casing rat hole atau cement plug sebelum meneruskan pemboran. Kurangi
kecepatan saat trip melewati shoe atau cement plug (Rabia H., 1985).
6. Green Cement
Mengetahui perkiraan top of cement sebelum melakukan trip. Lebihkan
waktu yang dibutuhkan untuk menunggu semen keras sebelum berpotensi untuk
kickoff atau drill out. Ream casing shoe dan open hole seterusnya sebelum
melakukan drilling. Lakukan pembersihan semen yang lunak dengan pelan-pelan
dan berhati-hati (Rabia H., 1985).

Universitas Sriwijaya
43

2.5.4. Problem Stuck Pipe Lainnya


1. Bit Balling
Bit balling dicegah dengan menggunakan inhibited mud systems yang akan
mencegah terlarutnya clay. Jika bit balling didapat saat drilling, detergent
biasanya ditambahkan untuk melarutkan balled clay. Gunakan persentase kecil
dari glikol untuk membantu menurunkan bit balling.
2. Tight Hole
Menjaga berat lumpur yang cukup dan pilih mud system yang cocok untuk
formasi yang telah ditembus. Gunakan lubricant jika memang dibutuhkan.
3. Junk
Housekeeping yang baik di rig floor dan lakukan inspeksi rutin untuk
menghandle perlengkapan. Tetap jaga lubang tertutup setiap saat. Perhatikan
perlengkapan bagian bawah sebelum memasuki lubang dan harus melewati rotary
table. Pasang drillstring wiper rubber secepatnya jika memungkinkan
(Schlumberger, 1997).

2.6. Penanggulangan Stuck Pipe


Cara penanggulangan terhadap Stuck pipe ini berdasarkan dari jenis
penyebab daripada terjadinya Stuck Pipe tersebut, tetapi ada alternative lain jika
penanggulangan khusus dari penyebab stuck pipe tidak berhasil. Berikut adalah
cara-cara penanggulangan terhadap masing-masing penyebab stuck pipe:
2.6.1 Differential Sticking
a) Setelah diketahui terjadi Differential Pipe Sticking, segera pasang Kelly atau
Top Drive, lakukan sirkulasi.
b) Coba usaha putar rangkaian maksimum 90% Torsional Yield Strengh dari
bagian rangkaian yang terlemah sambil Work on Pipe tanpa mengaktifkan jar
sambil sirkulasi kondisikan Drilling Mud, turunkan Filtrat Loss dan berat jenis
Drilling Mud jika memungkinkan dan segera siapkan larutan Free Pipe Agent.
c) Jika usaha diatas tidak berhasil, tentukan titik jepit dengan menggunakan
persamaan berikut:
735.294 x Wdp x e
L = ………………………………………(2-18)
p

Universitas Sriwijaya
44

Keterangan :
L = Panjang Free Pipe, meter
Wdp = Pounder Drill Pipe (plain end), lbs/ft
e = Interval Tarikan, inch
p = Over Pull, lbs
d) Spot dan rendam larutan Free Pipe Agent sesuai spesifikasi material sambil
beri torsi maksimum 90% Torsional Yield Strenght sampai dengan waktu yang
ditentukan.
e) Usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jar down dan coba putar maksimum
90% Torsional Yield Strenght tanpa sirkulasi
f) Jika tidak berhasil, lanjut usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jar down dan
coba putar maksimum 90% Torsional Yield Strenght dengan sirkulasi.
g) Jika tidak berhasil, spot dan rendam larutan Free Pipe Agent sesuai spesifikasi
material sambil beri torsi maksimum 90% Torsional Yield Strenght sampai
dengan waktu yang ditentukan.
h) Usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jardown/ up dan coba putar
maksimum 90% Torsional Yield Strenght tanpa sirkulasi.
i) Jika tidak berhasil, lanjut usaha bebaskan jepitan dengan lakukan Jar down /
up dan coba putar maksimum 90% Torsional Yield Strenght dengan sirkulasi.
j) Jika jepitan belum bebas, tentukan titik jepit dengan menggunakan Free Point
Indicator Tool (FPIT) dan lakukan Backoff dilanjutkan Fishing atau SideTrack.
k) Setelah rangkaian dapat dibebaskan, usahakan rangkaian tetap berputar.
Lakukan reaming dan back reaming sepanjang daerah permeabel.
2.6.2. Wellbore Geometry
1. KeySeat
a) Hentikan gerakan pipa ke atas dan turunkan rangkaian jika terjadi Overpull
5.000 – 10.000 lbs
b) Bila rangkaian tidak terjepit dan dapat diturunkan, lakukan:
 Jika menggunakan Top Drive, lakukan Back Reaming.

Universitas Sriwijaya
45

 Jika menggunakan Kelly, sirkulasi dan angkat rangkaian secara perlahan ke


daerah Key Seat. Beri overpull 2000-5000 lbs, putar rangkaian dan lakukan
berulang-ulang secara bertahap sampai melewati Keyseat.
 Jika Kelly Bushing sdh keluar dari meja, pasang slip, beri overpull 2000-5000
lbs, putar rangkaian dan lakukan berulang-ulang secara bertahap sampai
melewati Keyseat.
 Untuk formasi yang lunak, masih mungkin menghilangkan Keyseat dengan
menggunakan bagian atas (top) BHA.
c) Bila rangkaian terjepit dan tidak dapat diturunkan, lakukan :
 Pasang Kelly atau Top Drive.
 Lakukan Jar down.
 Berikan torsi sambil turunkan rangkaian.
d) Jika jepitan belum terlepas, tentukan titik jepit dengan menggunakan Free
Point Indicator Tool (FPIT) dan lakukan Back-off dilanjutkan fishing atau side
track.
2. Undergauge Hole
a) Lakukan jar-up dengan maksimum trip load tetapi jangan diberi torsi.
b) Lakukan reaming pada bagian yang di indikasikan mengalami undergauge
hole.
c) melakukan pergantian bit yang diindikasikan telah aus atau terdapat bagian
yang lepas.
3. Mobile formation
a) segera menaikan berat lumpur yang akan di sirkulasikan ke dalam lubang bor.
b) memompakan air ke dalam lubang bor.
c) Gunakan torsi dan lakukan jar down dengan maksimum trip load.
d) Jika telah berhasil, desain casing yang sebaik mungkin untuk mengatasi
formasi tersebut, seperti menggunakan casing yang lebih tebal.
4. ledges and dogleg
a) Segera lakukan reaming pada bagian yang mengalami problem ledges dan
dogleg.
b) gunakan packed hole assemblies saat melakukan reaming.
c) Jika terjadi saat gerakan ke atas lakukan jardown dan torsi dengan maksimum

Universitas Sriwijaya
46

trip load.
d) Jika terjadi saat gerakan kebawah lakukan jar-up dengan maximum trip load
dan jangan diberi torsi.
2.6.3. Hole Pack-off
1. Settled Cutting
a) perbaiki mud rheology (naikkan YP dan Gel strength).
b) sirkulasi bersih annulus dengan meningkatkan flowrate dan ukuran dari
flowline untuk mencegah tersangkutnya cutting yang akan naik.
c) Gunakan detergent yang mungkin dapat membantu melarutkan cutting agar
lebih mudah untuk diangkat ke permukaan. Jika berhasil, jaga selalu mud
system saat operasi.
2. Shale Instability
a) Naikkan berat lumpur.
b) Jangan naikkan lumpur jika memang shale mengalami natural fracture, hal ini
akan membuat lubang bor menjadi tidak stabil, fluida akan masuk ke dalam
shale.
c) Perbaiki mud rheology (naikkan YP dan Gel strength) untuk menjaga lubang
tetap bersih.
d) Menjaga sirkulasi lumpur setiap saat untuk mencegah terjadinya rontokan.
e) Saat melakukan trip, minimalisir adanya pressure surge.
3. Uncosolidated Formation
a) Berikan tekanan yang rendah pada string di bawah 500 psi.
b) Berikan torsi maksimal 90 % torsional yield strength ke bagian rangkaian
terlemah.
c) Jika ada indikasi aliran balik, naikkan secara bertahap stroke pemompaan
4. Fractured dan Faulted Formation
a) Lakukan jar up atau jar down untuk memecahkan puing-puing formasi.
b) Gunakan setiap usaha untuk selalu menjaga sirkulasi lumpur.
c) sirkulasi lumpur dengan viskositas yang tinggi untuk membersihkan rontokan.
d) Spotkan acid jika hal ini terjadi pada zona limestone.
5. Cement Blocks

Universitas Sriwijaya
47

a) Coba patahkan cement block yang jatuh dengan melakukan jarring dan beri
torsi.
b) Jar kearah berlawanan dengan gerakan saat terjadinya stuck pipe.
c) Sirkulasikan lubang bor dengan menaikkan berat lumpur dan YP.
6. Green Cements
a) Hilangkan segera tekanan yang ada.
b) Jar dengan maksimum trip load kearah berlawan dengan gerakan pipa pada
saat pertama terjadinya stuck.
2.6.4. Problem Stuck Pipe lainnya
1. Bit Balling
a) Turunkan berat dari bit.
b) Tambah drilling detergent ke water-based mud untuk melarutkan balled clay.
Jika ini bekerja, maintain detergent didalam lumpur. jika gagal,
pertimbangkan penggunaan air untuk melarutkan clay. Tambahkan glycol
yang diketahui mampu untuk menyembuhkan balling.
c) Jika terjadi dengan oil-based mud (hal ini jarang terjadi) naikkan salinitas
lumpur untuk menarik lebih kelembaban dari shale dan meningkatkan
kekerasannya.
2. Tight Hole
a) Lakukan backream saat melewati bagian yang tight .
b) Naikkan berat lumpur untuk menekan dinding lubang bor.
c) Tambahkan lubricant ke dalam lumpur untuk sirkulasi lubang bor.
3. Junk
a) Putar rotary table jika ada pergerakan.
b) Jar ke arah berlawanan dengan gerakan saat terjadinya stuck.
c) Jangan melakukan torsi saat operasi jarring.
d) Jika tidak berhasil lakukan fishing operation untuk mengambilnya dari dalam
lubang.

2.7. Metode Penanggulangan Stuck Pipe


2.7.1 Free Point Indicator
Jika drillstring tidak dapat dilepaskan dengan ditarik atau memasukkan Free
agent pipe, maka cara selanjutnya adalah menemukan letak dimana drillstring

Universitas Sriwijaya
48

tersebut mengalami stuck. Ini adalah awal untuk melakukan sidetracking ataupun
fishing operation.
Free point dari drillstring dapat ditemukan dengan metode sebagai berikut :

1. Stretch test
Stretch test adalah metode yang sederhana, cepat dan akurat untuk
menentukan perkiraan kedalaman dimana terjepitnya drillstring. Metode ini tidak
akurat pada sumur yang menyimpang dimana hole friction menghambat atau
membatasi pipe stretch. Hal ini juga harus diingat bahwa pengukuran stretch tidak
mempehitungkan drillcollar atau respon HWDP untuk menarik. Oleh karena itu
metode ini jangan digunakan untuk menentukan titik dimana string menjadi
backed-off. Tingkat akurasi dari dari metode ini sekitar ±200 ft.
Prosedur pelaksanaan stretch test :
 Tarik string hingga nilai hook sama dengan berat string di udara. Tandai string
pada rotary table, titik A.
 Penambahan tarikan 40 klbs di atas beban hook sebenarnya dan tandai string
pada rotary table, point B (Pastikan bahwa kekuatan yield minimum beban
hook sebenarnya dari bagian terlemah drillstring tidak terlampaui).
 Turunkan string dengan hookload sebenarnya dan tandai string pada rotary
table, point C.
 Tarik kembali 40 klbs diatas hookload sebenarnya dan tandai string pada rotary
table, point D.
 Hubungan antara stretch (e) dan panjang dari free pipe dinyatakan sebagai
735,294 𝑥 𝑒 𝑥 𝑊𝑑𝑝
L= ..............................................................(2-19)
𝐹

Dimana :
L = Panjang free pipe
E = Interval tarikan
Wdp = Berat Drillpipe
F = overpull
2. Free Point Indicator Tool
Free point indicator tool ( FPI) dirancang untuk menentukan dimana
drillstring bebas dengan mengukur poin pada drillstring dimana tension dan/atau

Universitas Sriwijaya
49

torsi adalah nol. Alat ini memiliki serangkaian pengukur axial strain yang
mengukur tension dan torsi dalam string. Tarikan permukaan dan torsi diterapkan
sebagai alat yang diposisikan di berbagai koneksi untuk menentukan titik-titik
dimana string menjadi bebas. Jika tidak ada penerapan torsi dan tension
permukaan dapat direkam pada titik downhole, string di asumsikan stuck pada
titik tersebut. Tentu saja akan ada berbagai tingkat dari stuck pipe dimulai dari
totally stuck (0% free) hingga totally free (100% free), tergantung pada
pengukuran alat di dalam lubang. Pengukuran torsi dan overpull tentu saja rumit
didalam sumur yang menyimpang dan pada sumur dengan doglegs karena
gesekan antara pipa dengan dinding lubang bor. Oleh karena itu, titik netral dalam
sumur yang menyimpang kurang tepat dibandingkan dengan sumur vertikal.
Upaya backoff biasanya dilakukan dimana pembacaan torsi dan tension
adalah 80 – 90% dari free pipe. Untuk tujuan praktek, titik backoff dapat dipilih
untuk menjadi sambungan berikutnya atas free connection (from FPI) yang rusak
pada perjalanan terakhir.
2.7.2. Metode U Tube
Metode ini digunakan untuk mengurangi tekanan hidrostatik lumpur ke
tingkat yang sama atau sedikit lebih tinggi dari tekanan formasi pada zona dimana
terjadinya differential sticking. Tujuannya adalah untuk membebaskan pipa secara
aman tanpa kehilangan kontorl dari sumur dengan sengaja yang akan
menyebabkan kondisi tidak stabil. Free pipe agent harusnya bisa di spotkan ke
zona yang permeable dengan metode U tube.
2.7.3. Spotting Free Pipe Agent
Tingkat keparahan stuck pipe dapat dikurangi dengan menspot Free Pipe
Agent. Free Pipe Agent pada dasarnya campuran surfactants dan emulsifier yang
dicampur dengan base oil atau diesel oil dan air untuk membentuk emulsi yang
stabil. Fungsinya untuk menembus mudcake, sehingga membuatnya lebih mudah
untuk dilepaskan pada saat yang sama, mengurangi tegangan permukaan antara
pipa dengan mudcake. Karena ketergantungan waktu keparahan dari differential
sticking, free pipe agent harus segera di spot setelah differential sticking
diindikasi. Biasanya pill akan dipersiapkan sementara awalnya dicoba
membebaskan pipa dengan cara mechanical, seperti menarik dan memutar

Universitas Sriwijaya
50

drillstring.
2.7.4. Back-off
Istilah back-off mengacu pada pemisahan pipa dari Stuck pipe pada alur
koneksi atau tepat di atas free point. Hal ini dicapai dengan menempatkan bahan
peledak (string shot) di seluruh sambungan. String shot terdiri dari rakitan bahan
peledak dan peralatan yang diperlukan untuk mencapai titik ledakan di downhole.
Bagian utamanya meliputi : safety sub, shooting head, shot bar assembly, electric
blasting cap dan detonating cord. Free threaded connection diletakkan melalui
casing collar locator (CCL) ; alat yang membedakan antara badan dari casing dan
bagian ketebalan tooljoints. Setelah free point ditentukan, alat FPI ditarik keluar
dari lubang. Operasi back-off dilakukan dengan menjalankan peledak pada
wireline hingga ±3000 ft di atas sambungan yang akan dibebaskan. Lefthand
torque kemudian diterapkan dan beberapa overpull dipertahankan hingga peledak
dijalankan ke titik back-off.
Ada tiga faktor dalam menjamin suksesnya pelaksanaan backoff :
 bahan peledak harus cukup untuk memecahkan koneksi antara bagian yang
terjepit dengan bagian atasnya.
 cukupnya torsi ke arah kiri di sambungan yang harus diberikan.
 sambungan di back-off pada titik netral,dengan overpull yang lebih kecil.
2.7.5. Fishing Operations
Setelah pipa telah dilakukan back-off atau terputus seperti penjelasan
sebelumnya, sisa dari bagian drillstring disebut ”fish”. Fishing pada sumur
didefinisikan sebagai proses untuk mengambil sisa pipa yang terjepit setelah
dilakukan back-off atau twist-off. Sebelum melakukan fishing job, harus
diperhitungkan keekonomian untuk menentukan pekerjaan memancing tetap
dilanjutkan atau dilakukan side track menggunakan formula penentuan Economic
Fishing Time sebagai berikut :
Sidetrack Cost x Probabilit y of Success (%)
Economic Fishing Time (days) = (2-20)
Daily Cost While Drilling

Biaya Side Track antara lain :


 Fish Value
 Biaya Back Off

Universitas Sriwijaya
51

 RigCost
 Support Cost (MLU, MUD)
 Stand by Cost Fishing Tool
 Dan biaya lainnya,
Biaya Side Track sudah termasuk :
 Biaya bor ulang sampai dengan kedalaman yang sama.
 Cement Plug + Rig time dari mulai masuk Rangkaian open ended sampai
persiapan Side Track.
 Untuk daerah remote dengan lama mobilisasi lebih dari 1 x 24 jam, maka dapat
distandby kan Fishing Tool diluar kontrak rig di lokasi.
Fishing melibatkan penggunaan satu set peralatan untuk mengangkat fish
dari permukaan, mengikat dan mengambilnya.
1. Peralatan Fishing
Standar dari operasi fishing harus terdiri dari elemen-elemen berikut Fishing
tool-Bumper Sub-Jar-DC-Accelerator-HWDP-Circulating Sub-DP. Perlengkapan
yang dipilih tergantung pada ketersediaan alat dan situasi tertentu yang dihadapi.
2. Fishing Tools
a) Overshots
sebuah overshot digunakan untuk menarik, mencabutnya dan mengambil
fish dari dalam lubang bor (Rabia H., 1985). Sebuah overshot dasar terdiri dari
tiga bagian, yaitu top sub, bowl dan guide, yang dapat dilihat pada (Gambar 2.17)

Gambar 2.17 Overshots ( Rabia Hussain, 1985)

Universitas Sriwijaya
52

Overshot dapat menggunakan spiral grapple jika OD fish mendakati


maksimum tangkapan dari overshot atau basket grapple jika diameter fish sekitar
½” dibawah ukuran tangkapan minimum. Bowl dari overshot dirancang dengan
spiral didalam diameter dimana bagian gripping (spiral atau basket grapple)
dipasang. Spiral grapple termasuk helical spring, sedangkan basket grapple
adalah mempunyai segmentasi, silinder yang diperluas. Grapple diletakkan
didalam bowl oleh grapple control dan guide shoe. Permukaan dalam grapple
mempunyai permukaan sedikit lebih kecil dari fish dirancang untuk menangkap.
Untuk menangkap fish, oevershot diputar ke kanan dan diturunkan ke bagian
atas fish. Grapple akan melebar dan saat fish terikat, fish masuk ke grapple.
Rotasi akan berhenti dan tertarik ke atas yang membuat grapple mengikat tapers
didalam bowl dan masuk lebih dalam lalu fish tertahan. Fish dilepaskan oleh
hentakan kuat ke bawah, rotasi ke kanan dan perlahan mengangkat overshot.
b) Spears
Spears (Gambar 2.18) digunakan untuk menangkap dan mengikat fish
segera. Sebuah fishing spear biasanya terdiri dari mandrel, grapple atau slip
segments, release ring, dan nut (Rabia H., 1985). Spear yang mengandung slip
segment memiliki bagian mesin ke beberapa stage dari identical cone section,
permukaan ini dicocokkan oleh tapered surface pada slip segments. Desain ini
membolehkan slip segments untuk meluas saat digerakkan ke bawah, relatif pada
badan dari tool.

Gambar 2.18 Spears (Rabia Hussain, 1985)


Kedua tipe desain grapple dan slip dijalankan didalam lubang pada posisi

Universitas Sriwijaya
53

retracted dengan menggunakan J slots atau mekanisme yang sesuai. saat spear
memasuki fish, spear akan berputar kekanan untuk melepaskan slip atau grapple
dan meletakkannya ke posisi mengikat. Tarikan langsung oleh grapple akan
mengarah ke ikatan yang positif dengan fish. Pelepasan spear adalah didapatkan
dengan hentakan ke bagian bawah fish dan memutar string dua atau tiga kali ke
kanan.
3. Bumper Subs
Bumper subs digunakan untuk memberikan pukulan ke atas atau bawah dari
drillstring yang terjepit (Rabia H, 1985). Komponen utama dari bumper subs
adalah hexagon shaped mandrel yang mana slidesnya mirip dengan shaped
mandrel body untuk membesarkan kapabilitas torsi. Kebanyakan tools
mempunyai standar 20” stroke tetapi desain stroke yang panjang juga tersedia.
Bumper subs didesain untuk bump down, jar up atau membantu melepaskan
ikatan pipa setelah diambil. Jika digunakan, bumper subs harus dipasang segera
mungkin di atas fishing tool untuk efek yang maksimal. Bumper subs sangat
efektif pada kedalaman dangkal dan sumur yang dibor secara vertikal dari rig.

Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Desember 2014 hingga 30 Januari
2015 di PT. Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI) Project SBS pada sumur
PDW-07 Lapangan Pagardewa PT. Pertamina EP.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi wilayah operasi pemboran sumur PDW-07 PT. Pertamina EP
terletak di desa Pagardewa, Kecamatan Rambang Lubai. Wilayah operasi ini
dikenal dengan Lapangan Pagardewa yang berada 45 km sebelah selatan Kota
Prabumulih. Lokasi Sumur PDW-07 Lapangan Pagardewa dapat dilihat pada
(Gambar 3.1).

Deras
BINATEK REKA + 0.0000 Sukaraja
-75.000 KAB.MUBA Benakat
Abab
Penglero Keruh Depati
EXSPAN INDAMA PUTERA Utara Jaya
Musi Uno Loyak
HEDI HEDI
DOS
Dewa
Sopa Kaya Ibul
Betun
+ 0.0000 Jirak Benakat Se.Ibul HEDI
Tinur EXSPAN
Jene TL.Gula
Rayu SURYA RAYA TELADAN Tl.Akar Raja Tepus
Candi
Jinjing Pandan
Benakat Selo Petanang Lembak
KAB.MURA Barat Betung B.L Benuang Kemang
G.Kemala

Betung PRABUMULIH
Betung Brt
Pbm Barat Tundan
EXSPAN Beli Tl.Jimar
Rambutan mbin
g Limau timur TT.Barat
Limau barat Limau
TT.Timur
Karangan Tj.Bulan
AMERADA HEISS JOB SEA UNION ENERGY Ogan
Karangan
Bunian
Lagan Tupai
TEBING TINGGI
Harimau
Tj.Miring Barat Tj.Miring
Singa Tangai Timur
PILONA PTR Sengkuang AMERADA
REDCO PRIMA ENERGI
HESS D
RADIANT MUARA ENIM
Tj. Lontar Kijang F
KAB.MUARA ENIM Beringin
Ramok
E KAB.OKI
Senabing A.Banjarsari K. Minyak
Siamang C
B
Bt. Keras ENERGY EQUITY A
PERTAMINA
S. Taham S. Jeriji
H Guruh
Gajah Besar
Kijahan
Karang Dewa
LAHAT L. Langu TSM-1 Air Serdang
PRODUCING
Bangko Merbau Pagar Dewa JOB P-TALISMAN
Kuang
NON PRODUCING KAB.LAHAT Tl Babat
Lokasi
Prabumenang
Lapangan
PSC, JOB, TAC’S FIELDS
Pagardewa
ENERGY EQUITY KAB.OKU
Mandala
0 25 KM Biru

PETA SITUASI STRUKTUR MIGAS SUMATERA SELATAN


Gambar 3.1. Peta Lokasi Lapangan Pagardewa (PT. Pertamina EP, 2015)
Secara tektonik Tinggian Kuang terdapat di dalam Cekungan Sumatera
Selatan, Sub Cekungan Palembang Selatan. Cekungan ini mempunyai konfigurasi

54 Universitas Sriwijaya
55

batuan dasar berupa batuan beku granit, metamorf dan metasedimen. Tinggian
Kuang ini dibatasi oleh elemen tektonik sebagai berikut : disebelah barat terdapat
Dalaman Lematang dan Muara Enim, sebelah Timurlaut terdapat Dalaman Ogan
disebelah Tenggara terdapat Tinggian Lampung.
Stratigrafi regional Lapangan Pagardewa merupakan bagian dari cekungan
Sumatera Selatan yang dapat dilihat pada (Gambar 3.2). Urut-urutan stratigafi
cekungan Sumatera Selatan ialah sebagai berikut:

Gambar 3.2. Stratigrafi Umum Cekungan Sumatera Selatan ( PT.Pertamina EP,


2015)

Universitas Sriwijaya
56

3.3 Penampang Sumur PDW-07


Berikut ini adalah penampang dari sumur PDW-07 yang dapat dilihat pada
(Gambar 3.3.) berikut

20" Casing at 395,95 ft

13-3/8" Casing at 2.410,97 ft

9-5/8 " Casing at 4.853,91 ft

Liner 7" Casing at 5.311,93 ft

Gambar 3.3. Penampang Sumur PDW-07 (PT.PERTAMINA EP, 2015)

3.4 Studi Literatur


Studi ini dilakukan guna untuk mengetahui teori-teori dasar yang
menunjang penelitian dan sesuai dengan kondisi lapangan agar mendapatkan hasil
penelitian yang memiliki validitas tinggi, maka dibutuhkan studi literatur yang
mempunyai kaitan erat dengan materi isi penelitian.

Universitas Sriwijaya
57

Beberapa literatur yang digunakan pada penelitian ini antara lain :


1. Drilling Engineering A Complete Well Planning Approach (Neal, J. Adam :
1985).
2. Driller Stuck Pipe Handbook (Colin Bowes dan Ray Procter : 1997).
3. Composition and Properties of Drilling and Completion Fluids : Fifth Edition
(Darley H. C. H. dan George, R. Gray : 1983).
4. Well Engineering and Construction (Rabia Hussain : 1985).
5. Drilling Practice Manual (Preston L. Moore : 1986)
6. Teknik Pemboran I-II (Rudi Rubiandini : 1993)

3.5 Identifikasi Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan secara langsung
melalui hasil survei di lapangan yang dilakukan oleh para engineer perusahaan.
Data lapangan ini adalah berupa data sekunder yang tersedia pada arsip
perusahaan.
Jenis data-data sekunder untuk proses evaluasi yang diperlukan dalam
penulisan penelitian ini antara lain adalah data lithologi formasi, data lumpur
pemboran, data daily report sumur PDW-07, data drilling program, data
parameter pemboran, data survey lubang bor, data rangkaian pemboran, dan data
hidrolika pemboran.

3.6 Pengolahan Data


Setelah mendapatkan data-data yang diperlukan, maka dilanjutkan dengan
pengolahan data. Pengolahan data dalam penelitian ini adalah untuk mencapai
tujuan dari rumusan masalah penulisan dengan menggunakan studi literatur yang
berhubungan dengan penelitian kemudian diolah dengan mengevaluasi aspek-
aspek yang mempengaruhi terjadinya problem stuck pipe.
Dalam penelitian ini, penulis menganalisis sumur PDW-07 sebagai sumur
eksploitasi yang mengalami problem stuck pipe dan menentukan apakah penyebab
dari terjadinya problem stuck pipe tersebut, bagaimana cara pencegahan untuk
kedepannya serta bagaimana cara penanggulangan stuck pipe yang terjadi dengan
tepat.

Universitas Sriwijaya
58

3.7 Analisis Penyebab Terjadinya Problem Stuck Pipe pada Sumur PDW-07
Secara garis besar, dalam pengolahan data untuk penelitian Analisis
Problem Stuck Pipe dan Penanggulangannya Pada Sumur PDW-07 Lapangan
Pagardewa PT Pertamina EP ini, pendekatan yang digunakan sebagai alternatif
pemecahan masalahnya yaitu mengevaluasi aspek-aspek yang mempengaruhi
terjadinya stuck pipe, antara lain :
1. Aspek lumpur pemboran
2. Aspek hidrolika pemboran
3. Aspek geometri lubang bor
4. Aspek lithologi
5. Aspek indikasi stuck pipe
Setelah mengevaluasi aspek-aspek tersebut, kesimpulannya dapat ditarik
untuk membantu mengetahui penyebab terjadinya stuck pipe untuk selanjutnya
menentukan pencegahan kedepannya dan penanggulangan yang cocok terhadap
penyebab stuck pipe yang terjadi. Adapun pokok-pokok langkah kerja dalam
penelitian ini, antara lain :
3.7.1 Aspek Lumpur Pemboran
Untuk aspek lumpur pemboran harus diketahui properti lumpur pada saat
terjadinya stuck pipe. apakah properti lumpur sudah sesuai dengan drilling
program yang telah direncanakan dari pihak utama ataupun dengan properti
lumpur tersebut mengalami perubahan dan tidak cocok untuk digunakan pada
operasi pemboran yang sedang berlangsung. Dari aspek lumpur pemboran ini juga
dapat diketahui perbedaan tekanan yang terjadi antara tekanan hidrostatik lumpur
dengan tekanan formasi yang akan berpengaruh terhadap terjadinya stuck pipe.
langkah untuk menentukan perbedaan tekanan adalah dengan pertama kali
mengetahui tekanan formasi yang dapat diprediksi menggunakan d-exponent
(Neal Adams, 1985) sebagai berikut :
Log ( R / 60 N )
d  (2-4)
Log (12W / 1.000 db)

Setelah mendapatkan harga d-exponent, langkah selanjutnya menghitung


d-exponent terkoreksi dengan persamaan sebagai berikut :

Universitas Sriwijaya
59

9
dc  d (2-5)
MW
Sedangkan untuk menghitung besarnya equivalen mud weight adalah
sebagai berikut :
9d
EMW   0,3 (2-6)
dc
Setelah itu untuk menghitung besarnya tekanan formasi digunakan
persamaan sebagai berikut :
Pf = 0,052  EMW  D (2-7)
Untuk menghitung besarnya tekanan hidrostatik lumpur pemboran
digunakan persamaan sebagai berikut :
Ph = 0,052  MW  D (2-8)
Sedangkan perbedaan tekanan dihitung dengan persamaan :
DiffPress = Ph – Pf (2-9)
3.7.2 Aspek Hidrolika Pemboran
Pada aspek hidrolika pemboran perlu dilakukan evaluasi terhadap hidrolika
pemboran yang diterapkan dan rangkaian pemboran apakah tepat atau tidak digunakan
saat operasi pemboran berlangsung. Pada aspek ini beberapa parameter yang
dipertimbangkan meliputi :
1. Menghitung Annulus Velocity dengan persamaan berikut (Rudi R. 1993):
24,5 xGPM (2-10)
AV 
OH2  OD 2

2. Menghitung Critical Annulus Velocity dengan persamaan berikut (Rabia H.


1985):

97 x PV  97 PV 2  6,2 x ρ x (Dh - OD) 2 x YP


Vc  (2-11)
ρ x (Dh - OD)
3. Menghitung Critical GPM dengan persamaan berikut (Rabia H. 1985):
CV x (OH 2  OD 2 )
GPMc = (2-12)
24,51
4. Menghitung Critical RPM dengan persamaan berikut (Rabia H. 1985):
33.055 2 2
CritRPM = x OD  ID (2-13)
2
L

Universitas Sriwijaya
60

5. WOB maximum Drilling dengan persamaan berikut (Rabia H. 1985):


65., - MW
BF = (2-14)
65,4

MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF (2-15)


3.7.3 Aspek Geometri Lubang Bor
Pada aspek geometri lubang bor meliputi adanya perubahan sudut (dogleg)
yang mungkin dapat menimbulkan keyseat. Untuk mengetahui perubahan sudut
yang terjadi dapat diketahui dengan persamaan berikut (Neal Adams. 1985):
cos DL  cos( I 2  I1 )  sin I1 x sin I 2 x(1  cos( A2  A1 )) (2-16)
Sedangkan dogleg severity dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (Neal Adams. 1985):
 100
 (2-17)
S
3.7.5 Aspek Lithologi
Pada aspek lithologi ini digunakan untuk mengetahui lapisan batuan yang
sedang ditembus oleh drillstring hingga menyebabkan terjadinya stuck pipe.
setelah mengetahui lapisan yang dapat diketahui melalui mudlog yang telah di
analisis oleh mudlogger maka selanjutnya menentukan apakah lapisan tersebut
mempunyai pengaruh hingga dapat menyebabkan problem stuck pipe dengan
mensinkronkan data-data dari aspek-aspek sebelumnya yang telah dievaluasi.
3.7.4 Aspek Indikasi Stuck Pipe
Aspek yang terakhir adalah dengan mengetahui kondisi drillstring sesaat
dan sebelum terjadinya stuck pipe. indikasi-indikasi dapat dilihat pada kronologis
terjadinya stuck pipe untuk menentukan ciri-ciri atau indikasi yang sama dengan
indikasi masing-masing penyebab stuck pipe berdasarkan studi literatur. Indikasi
masing-masing penyebab stuck pipe pun berbeda-beda. Indikasi stuck pipe dapat
dilihat pada (Tabel 2.4.)

Universitas Sriwijaya
61

3.8 Flow Chart Analisis Penyebab Terjadinya Problem Stuck Pipe dan
Penanggulangannya Pada Sumur PDW-07

ANALISIS PENYEBAB STUCK PIPE DAN PENANGGULANGANNYA


PADA SUMUR PDW-07 LAPANGAN PAGARDEWA PT. PERTAMINA EP

Pengumpulan Data

Data Lumpur : Parameter Pemboran: Data Cutting :


- Densitas - Diameter lubang bor - Lithologi batuan
- Viscosity - Diameter pipa, casing - Jenis formasi
- Yp - Flow rate, ROP, WOB

- Evaluasi aspek lumpur pemboran


- Perhitungan aspek hidrolika pemboran
- Evaluasi geometri lubang bor
- Evaluasi lithologi formasi
- Analisis indikasi stuck pipe

ANALISA PENYEBAB STUCK PIPE

Differential Wellbore Geometry Hole Pack-Off Problem Lainnya


Sticking - Keyseat - Seetled Cutting - Bit Balling
- Undergauged - Shale Instability - Tight Hole
Hole - Uncosolidated - Junk
- Ledges and Formation
Dogleg - Fractured and
- Mobile Formation Faulted Formation
- Cement block
- Green Cement

Pencegahan Terjadinya Stuck Pipe

Penanggulangan Stuck Pipe Gagal

Berhasil Sidetrack

Lanjut Operasi Pemboran

Gambar 3.4 Bagan Alir Metodologi Penelitian

Universitas Sriwijaya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Operasi Pemboran Trayek 17-½”


4.1.1. Drilling Program
Dalam akhir trayek : 730 m (2.395,17 ft)
Bit : PDC 17-½“
BHA : 17-½“ + BS + 2 jt DC 8” (dilengkapi totco ring) + 17½“
STR STB + 3 jts DC 8” + X/O + 3 DC 6½“ X/O + 16 jts
HWDP 5” + D Jar 6½“ + 3jts HWDP 5 “
Parameter : WOB 5K-15K, 100 – 120 RPM
BOP : Diverter Assy 21¼“ – 2.000 psi + diverter line 9-5/8”
Formasi : KAF & MEF (Upper)
Drilling hazard : Gumbo, Shallow Gas
Casing : 13 3/8” K-55, 54,5 ppf, BTC, R-3 : 0-2.395,15 ft
(Collapse 1130 psi, Burst 2.730 psi)
Berikut ini adalah mud properties (Tabel 4.1.) dan hidrolika (Tabel 4.2.)
yang telah ditetapkan dari pihak PT. Pertamina EP sebagai drilling program yang
menjadi program kerja dan ketentuan yang akan dilakukan saat operasi pemboran
pada trayek 17½”.
Tabel 4.1 Mud Properties Trayek 17-½“ (PT. Pertamina EP, 2015)
Lumpur : KCL Polymer MW : 9.163 – 9.83 ppg
FV PV YP GS FL Sand Cont Solid Cont K+ Screen
pH
(Sec/qt) (Cps) (Lb/100sqft) 10"/10' (cc/30') (% Vol) (% Vol) (Mg/l) Mesh
40 - 45 6 - 15 5 - 28 (4-8)/(10-12) < 6 9 - 9.5 ± 0,5 5 - 12 25K 80/100

Tabel 4.2 Hidrolika Trayek 17-½“ (PT. Pertamina EP, 2015)


FlowRate Pump TFA, Annular Vel Jet Vel, Bit HIS, Jet Impact,
(GPM) Press, psi Sq Inch DC/DP, ft/min ft/sec hp/in2 LBF
750-1.000 2728 0,668 80/30 365 2.11 1379

4.1.2. Kronologis Terjadinya Stuck Pipe


Saat pemboran mencapai casing point 13 3/8” di 2.411,53 ft, lalu rangkaian
PDC 17-½“ dan BHA dicabut untuk pemasangan casing. dari kedalaman 2.411,53
ft sampai 1131,94 ft, rangkaian mengalami overpull 20 klbs di kedalaman

62 Universitas Sriwijaya
63

3.264,59 ft, 1.384,58 ft, dan 1.158,19 ft. Pada saat kedalaman 1.131,94 ft
rangkaian mengalami overpull yang lebih dari batas 20k lbs dan aliran lumpur
pada flowline mengecil hingga sirkulasi berhenti dan akhirnya rangkaian tidak
bisa diangkat. Hal ini yang mengindikasikan rangkaian terjepit.
4.1.3. Analisis Penyebab Terjadinya Stuck Pipe
Untuk menganalisis penyebab terjadinya stuck pipe, berikut aspek-aspek
yang diperlukan untuk mengetahui apakah penyebabnya :
1. Mengevaluasi parameter lumpur
Melakukan evaluasi terhadap properti lumpur yang digunakan seperti tipe
lumpur, densitas, viskositas (vis), plastic viscosity (PV), yield point (YP) yang
dapat dilihat pada (Tabel 4.3). Di kedalaman 1.131,94 ft digunakan lumpur
dengan berat 9,83 ppg dan water-based mud (KCL polymer). Namun properti
lumpur yang dihasilkan pada plastic viscosity tidak sesuai drilling program yang
berarti solid content pada kedalaman 1.131,94 ft mengalami peningkatan
dikarenakan cutting yang berlebihan terikut saat sirkulasi lumpur berjalan.
Tabel 4.3 Properti lumpur kedalaman 1.131.94 ft (PT. Pertamina EP, 2015)

DEPTH MUD MW VIS PV YP GEL STRENGTH SAND


PH Cl- K+
TYPE CONTENT
(ft) (ppg) (sec/qt) (cps) (lbs/100ft) (sec lbs/100ft)
Kcl
1.131,94 9,83 44 17 22 5/8 0,20 9,0 30k 27k
Polymer

Aspek lumpur pemboran yang digunakan ini juga meliputi perbedaan


tekanan (differential pressure) yang terjadi, yang bisa menyebabkan terjadinya
differential pipe sticking. Untuk itu perlu untuk mengetahui seberapa besar
tekanan formasi dan tekanan hidrostatik lumpur untuk melihat perbedaan tekanan
dengan batas maksimal tekanan yaitu 200 psi.
Langkah pertama adalah mengetahui tekanan formasi menggunakan d-
exponent dengan menggunakan data sebagai berikut :
R = 2,9 min/m = 67,92 ft/hr
N = 83 rpm
W = 4,1 klbs
Db = 17 ½”
MW = 9,823 ppg
D = 345 m = 1.131,94 ft

Universitas Sriwijaya
64

Log ( R / 60 N )
d (2-4)
Log (12W / 1.000db)
Keterangan :
d = harga d-exponent,
R = ROP, ft/hr
N = Rotary Speed, rpm
W = WOB, klb
Db = Bit Diameter, in
Log (67,92 / 60 x83)
d
Log (12 x 4,1 / 1.000 x17,5)
d = 0,707
Setelah mendapatkan harga d-exponent, langkah selanjutnya menghitung
d-exponent terkoreksi dengan persamaan sebagai berikut :
9
dc  d (2-5)
MW
Keterangan :
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
MW = mud weight, ppg
9
dc  0,707
9,823
dc = 0,647
Sedangkan untuk menghitung besarnya equivalent mud weight adalah
sebagai berikut :
9d
EMW   0,3 (2-6)
dc
Keterangan :
EMW = Equivalent mud weight, lb/gal
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
9x0,707
EMW   0,3
0,647

Universitas Sriwijaya
65

EMW = 9,54 ppg


dari EMW dapat diketahui besarnya tekanan formasi dengan menggunakan
persamaan :
Pf = 0,052  EMW  D (2-7)
Keterangan :
Pf = Tekanan Formasi, psi
D = TVD, ft
EMW = Equivalen mud weight, lb/gal
Pf = 0,052  9,54  1.131,94 = 561,53 psi
Untuk menghitung besarnya tekanan hidrostatik lumpur pemboran
digunakan persamaan sebagai berikut :
Ph = 0,052  MW  D (2-8)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur pemboran, psi
MW = berat jenis lumpur pemboran, lb/gal
D = tinggi kolom lumpur, ft
Ph = 0,052  9,823  1.131,94 = 578,190 psi
Sedangkan perbedaan tekanan (differential pressure) dihitung dengan
persamaan :
DP = Ph – Pf (2-9)
Keterangan :
DP = Perbedaan tekanan, psi
Ph = Tekanan hidrostatik, psi
Pf = Tekanan formasi, psi
DP = 578,190 – 561,53 = 16,66 psi
Agar operasi pemboran dapat berjalan dengan lancar maka diusahakan
adanya perbedaan tekanan sebesar 100 – 200 psi. Perbedaan tekanan ini sering
disebut sebagai overbalance pressure. Setelah dilakukan perhitungan di atas di
dapatkan tekanan formasi sebesar 561,53 psi dan tekanan hidrostatik sebesar
578,190 psi. Perbedaan tekanan yang terjadi tidak mencapai batas 200 psi yaitu
16,66 psi yang berarti untuk differential sticking bukan menjadi penyebabnya.

Universitas Sriwijaya
66

2. Mengevaluasi Hidrolika
Melakukan evaluasi terhadap hidrolika yang dijalankan pada kedalaman
1.131,94 ft. untuk rangkaian pemboran yang digunakan Bit PDC 17.5” + 5
DrillCollar 8” + 3 DrillCollar 5“ + 19 Heavy weight drillpipe 5“ + 8 DrillPipe 5“
dan untuk parameter pemboran dapat dilihat pada (Tabel B.1). dari aspek ini
dapat memperhitungkan perbandingan dari annulus velocity dan critical annulus
velocity, lalu flowrate, batas RPM, dan WOB maksimum yang digunakan dengan
menggunakan data yang tertera pada (Tabel 4.5, Tabel 4.6, Tabel 4.7) dan ukuran
rangkaian pipa pemboran yang digunakan dapat dilihat pada (Tabel 4.4)
Tabel 4.4 Ukuran Pipa dan Lubang kedalaman 1.131,94 ft
OD ID OD dc ID dc OD ID OD ID Id ID
TVD
dc 8 dc 8 6 1/4 6 1/4 hwdp 5 hwdp 5 dp 5 dp 5 casing hole
(ft) in in in in in in in in in in
1131,94 8 3 6.25 3 5 3 5 4,276 19,124 17,5

a) Annulus Velocity dan Critical Annulus Velocity


Untuk perhitungan annulus velocity dapat dihitung dengan persamaan berikut
24,5 xGPM (2-10)
AV 
OH2  OD 2

Keterangan :
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
GPM = debit pompa (GPM)
Dan untuk perhitungan critical annulus velocity dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan

97 x PV  97 PV 2  6,2 x ρ x (Dh - OD) 2 x YP


Vc  (2-11)
ρ x (Dh - OD)
Keterangan :
PV = Plastic viscosity
YP = Yield Point
ρ = MudWeight (ppg)
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)

Universitas Sriwijaya
67

Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan pada (Lampiran A)


dapat diketahui bahwa annulus velocity tidak lebih besar daripada critical annulus
velocity sebagaimana tertera pada (Tabel 4.5). hal tersebut berarti aliran pada
annulus adalah aliran laminar.
Tabel 4.5 Annulus velocity dan Critical Annulus Velocity kedalaman 1.131,94 ft

Drillstring Av (ft/min) Vc (ft/min)


Drill pipe casing 61,119 343,573
Heavy weight drill pipe casing 61,119 343,573
Heavy weight drill pipe lubang bor 74,044 344,596
Drill collar 6 1/4" lubang bor 77,941 345,587
Drill collar 8" lubang bor 85,964 347,421

b) Critical Flowrate (GPM)


Critical GPM Dapat diketahui dengan menggunakan persamaan berikut
CV x (OH 2  OD 2 )
GPMc = (2-12)
24,51
Keterangan :
CV = Critical Annulus Velocity (ft/min)
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat
diketahui bahwa GPM yg digunakan yaitu 850 GPM tidak melebihi critical GPM
yang telah dihitung sebagaimana tertera pada (Tabel 4.6). sehingga dengan
menggunakan 850 GPM maka aliran tidak akan berubah menjadi aliran turbulent.
Tabel 4.6 Critical GPM kedalaman 1.131,94 ft
Drillstring Critical GPM GPM digunakan
Drill pipe casing 4776,212 850
Heavy weight drill pipe casing 4776,212 850
Heavy weight drill pipe lubang bor 3954,213 850
Drillcollar 6 1/4" lubang bor 3767,308 850
Drillcollar 8" lubang bor 3433,812 850

c) Critical Rotation per minute (RPM)


Untuk mengetahui Critical RPM dapat dicari dengan menggunakan
persamaan berikut

Universitas Sriwijaya
68

33.055
CritRPM = 2
x OD 2  ID 2 (2-13)
L
Keterangan :
L = panjang satu joint pipa (ft)
ID = diameter dalam pipa (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat diketahui
bahwa RPM yang digunakan sebesar 83 RPM tidak melebihi critical RPM
sebagaimana tertera pada (Tabel 4.7). hal ini berarti dengan menggunakan RPM
tersebut maka tidak menimbulkan efek getaran yang berlebihan pada drilllstring.
Tabel 4.7 Critical RPM kedalaman 1.131,94 ft

Drillstring Critical RPM RPM digunakan


Drill Collar 8" 300,612 83
Drill Collar 6 1/4" 242,634 83
Heavy Weight Drill Pipe 203,584 83
Drill Pipe 222,903 83

d) WOB maximum Drilling


Weight on bit maximum yang diperbolehkan saat operasi pemboran
dilaksanakan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan
65.4−𝑀𝑊
BF = (2-14)
65.4

MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF (2-15)


Keterangan :
MW : Mud weight
BF : Bouyancy factor
Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat
diketahui bahwa WOB maximum pada saat kedalaman 1.131,94 ft adalah sebesar
50,539k lbs, sedangkan WOB pada saat operasi pemboran adalah sebesar 1- 7k
lbs. Hal tersebut berarti WOB yang diterapkan tidak melebihi batas WOB
maximum.
3. Aspek Geometri Lubang Bor
Pada aspek geometri lubang bor dilihat bentuk atau arah dari lubang bor
tersebut. Perubahan sudut kemiringan lubang yang mendadak (dog leg) perlu

Universitas Sriwijaya
69

diteliti untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya key seat. Persamaan untuk


menghitung perubahan sudut keseluruhan (), adalah :
cos DL  cos( I 2  I1 )  sin I1 x sin I 2 x(1  cos( A2  A1 )) (2-16)
Keterangan :
DL = Dogleg angle, derajat
I = perubahan sudut inklinasi, derajat
A = perubahan sudut arah, derajat
Maka dapat dihitung dog leg severity pada interval kedalaman 416,03 ft
sampai dengan 1.636,20 ft dengan data sebagai berikut :
 (126,8 m TVD – 498,69 mTVD/416,03 ft – 1.636,20 ft).
α = 0,6 ; αn = 0,5 ; λ = 51,6 ; λ = 271,3 ; ∆S = 1220,17 ft
dengan menggunakan persamaan 2-16 maka besarnya perubahan sudut secara
keseluruhan (  ) =
cos DL  cos(0,5  0,6)  sin 0,6 x sin 0,5 x(1  cos( 271,3  51,6))
Didapat DL = 1,035º
Sedangkan dog leg severity dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
DL 100
 (2-17)
S
Keterangan :
 = dog leg severity, derajat / 100 ft
 S = jarak antar titik survey, ft
Selanjutnya dengan menggunakan persamaan 2-17 didapat besarnya harga
dog leg severity (  ) sebesar :
1.035 100
  0,848 
1.220,17
Dog leg yang dihasilkan (true dog leg) tidak boleh melebihi dog leg
severity agar mengurangi kemungkinan terjadinya key seat. Pada perhitungan
diatas didapatkan nilai dogleg sebesar 1,035° sedangkan nilai dogleg severity
sebesar 0,848° yang berarti dogleg lebih besar daripda dogleg severity yang
berpotensi menyebabkan keyseat.

Universitas Sriwijaya
70

4. Mengetahui indikasi terjadinya stuck


Pada saat dilakukan trip, sebelumnya rangkaian mengalami kenaikan drag
dan torsi dan sirkulasi dari lumpur mengecil. Hingga rangkaian tidak bisa
digerakkan pada kedalaman 1131,94 ft dan tidak terdapatnya return. Dari hal ini
mengindikasikan untuk terjadinya stuck pipe yang bisa disebabkan oleh Pack-off.
5. Menganalisis lithologi
Dari pembacaan Mudlog (Lampiran C), lithologi pada kedalaman 1148,35 –
1640,5 ft menembus formasi muara enim (MEF) dengan lapisan batuan dominan
batubara, kemudian ada sandstone, dan claystone. Batubara yang bersifat ringan,
rapuh, densitas yang kecil dan memiliki kandungan karbon, claystone bersifat
reaktif dan halus yang akan mudah terlarut dan mengembang oleh hidrasi air,
sedangkan sandstone memiliki kekerasan yang lebih tinggi, porous dan permeable
dengan mineral dominan kwarsa. Dari lapisan ini yang berpotensi menyebabkan
stuck pipe adalah karena rontokan dari batubara untuk terjadi settled cutting, sifat
reaktif dari claystone yang dapat menyebabkan balled clay dan sandstone yang
memiliki porositas dan permeable sehingga memungkinkan terjadinya loss dan
dapat menyebabkan differential sticking.

Dari aspek yang telah dibahas, dapat dianalisis jika penyebab Stuck Pipe
pada kedalaman 1.131,94 ft ini potensi penyebab stuck pipe bisa disebabkan
karena Settled cutting dari batubara dan Bit Balling oleh claystone serta
differential sticking oleh sandstone. Namun untuk penyebab dari Bit balling tidak
dapat dijadikan penyebabnya karena pada cutting yang diperoleh normal, cutting
memiliki ukuran yang sama dan kecil, tidak lengket dan tidak bundar sedangkan
differential sticking tidak terjadi karena perbedaaan tekanan tidak melebihi batas
yaitu sebesar 16,66 psi dan tidak terjadi loss. Pada saat pemboran tidak tampak
gejala dinding lubang akan runtuh karena disebabkan Equivalent Circulating
Density mampu menahan dinding formasi lubang bor. Hal ini terindikasikan
Seetled cutting karena pada saat rangkaian di angkat terjadi drag dan pada
kedalaman 2.411,53 ft sampai 1.148,35 ft terjadi overpull 10-20k lbs dan sirkulasi
lumpur mengecil. Pada saat rangkaian di kedalaman 1.131,94 ft terjadi stuck,
rangkaian tidak bisa digerakkan dan tidak bisa sirkulasi. Pada properti lumpur dari

Universitas Sriwijaya
71

plastic viscosity juga mengalami kenaikan akibat cutting batubara yang berlebih
sehingga solid content meningkat. Batubara yang cenderung tidak rata dan rentan
akan stabilitasnya ini rontok karena densitas lumpur yang tidak dapat menahan
tekanan overburden dan vibrasi yang ditimbulkan oleh drillstring sehingga
membuat rontokan batubara terendapkan pada rangkaian hingga stuck.
4.1.4. Pencegahan stuck pipe
Setelah dilakukannya analisis terhadap penyebab stuck pipe, lalu tindakan
pencegahan yang seharusnya dilakukan terhadap penyebab stuck pipe pada
kedalaman 1.131,94 ft ini seharusnya dilakukan dengan cara seperti berikut :
1. Memaksimalkan annulus velocity.
2. Pastikan waktu sirkulasi memadai.
3. Memaksimalkan mechanical agitation dari cutting beds.
4. Mengoptimalkan sifat lumpur.
5. Pastikan drag yang terjadi tidak mendekati batas maksimal.
4.1.5. Penanggulangan Stuck pipe yang Dilakukan
Melakukan sirkulasi bersih pada lubang bor sambil menaikkan densitas
lumpur dari 9,83 ke 9,99 ppg dan dengan menggunakan parameter pemboran 690-
760 gpm, SPP 930-1100 psi, RPM 30-40 rpm, dan torsi 700-5200 ft-lb. Usaha
untuk membebaskan rangkaian kembali hingga rangkaian bebas dari jepitan
berhasil dan aliran menjadi normal kembali, lalu lanjut cabut rangkaian pahat
PDC 17½“ dan BHA rotary dari kedalaman 1131,94 ft yang mengalami stuck
hingga ke permukaan. Pada saat melalukan pencabutan rangkaian tersebut
dilakukan sambil laksanakan back ream, dan rangkaian berhasil naik sampai ke
permukaan.

4.2. Operasi Pemboran Trayek 12-¼“


4.2.1. Drilling Program
Kedalaman akhir trayek : 1.494 meter (4.901,804 ft)
Bit : PDC Bit 12 ¼” , PDC Bit 12 ¼” Soft-Medium
BHA : 12¼“ + BS + 2 DC 8” + 12¼” STR STB + X/O +
3 DC 6½“ + X/O + 15 jts HWDP 5” + D Jar 6½“
+ 3 jts HWDP 5“
Parameter : WOB 5 – 15.000 lbs, 120 150 RPM

Universitas Sriwijaya
72

BOP : 1 x 13 5/8” 5M Annular, 1 x Double 13 5/8” 5M (1


PR & 1 BR)
Formasi : MEF (Lower), ABF, GUF.
Drilling Hazard : Coal Problem, gas kick, Gumbo.
Casing : 9 5/8”, K-55, 40 ppf, BTC-R3 : 0 – 4.934,62 ft
(Collapse 2514 psi, Burst 3950 psi)
Berikut ini adalah mud properties (Tabel 4.1.) dan hidrolika (Tabel 4.2.)
yang telah ditetapkan dari pihak PT. Pertamina EP sebagai drilling program yang
menjadi program kerja dan ketentuan yang akan dilakukan saat operasi pemboran
pada trayek 12¼ ”.
Tabel 4.8 Mud Properties Trayek 12-¼“ (PT. Pertamina EP, 2015)
Lumpur : KCL Polymer SG : 9,163 – 10,245 (ppg)
YP Sand Solid
FV PV GS FL K+ Screen
(Lbs/100 pH Cont Cont
(Sec/qt) (Cps) (10"/10') (cc/30') (Mg/l) Mesh
sq.ft) (%Vol) (%Vol)
40 - 45 10 - 27 6 - 17 (4-8)/(10-12) <5 9-9,5 ± 0,25 14 - 22 26K 100/120

Tabel 4.9 Hidrolika Trayek 12-¼“(PT. Pertamina EP. 2015)


Flowrate Pump Press, TFA, Annular Vel Jet Vel, Bit HIS, Jet Impact,
(GPM) (psi) (Sq Inch) DC/DP, (ft/min) (ft/sec) (hp/in2) (LBF)
400-750 2941 0,738 163/107 237 1,8 886

4.2.2. Kronologis Terjadinya Stuck Pipe


Operasi pemboran lanjut pada trayek 12-¼“ dari 2.411,53 ft sampai 4.488,40
ft. pada saat dilakukan ream up di kedalaman 4.455,59 ft, rangkaian stall atau
tidak bisa diputar pada satu titik kedalaman 4.455,59 ft (selalu berulang) tetapi
dengan aliran pompa yang normal sebesar 700 gpm dan tekanan 1500 psi dan
pada saat dicabut ataupun diturunkan didapatkan Overpull ataupun Dudukkan.
Hal Ini mengindikasikan drillstring mengalami Stuck.
4.2.3. Analisis Penyebab Terjadinya Stuck Pipe
Untuk menganalisis penyebab terjadinya stuck pipe, berikut aspek-aspek
yang diperlukan untuk mengetahui apakah penyebabnya :
1. Mengevaluasi parameter lumpur
Melakukan evaluasi terhadap properti lumpur yang digunakan seperti tipe
lumpur, densitas, viskositas (vis), plastic viscosity (PV), yield point (YP) yang
dapat dilihat pada (Tabel 4.10). Di kedalaman 4.455,59 ft digunakan lumpur

Universitas Sriwijaya
73

dengan berat 10,08 ppg dan water-based mud (KCL polymer), namun pada bagian
yield point lumpur mengalami kenaikan lebih dari dari drilling program yang
berarti bahwa adanya cutting yang ikut tercampur sebagai lumpur, untuk itu perlu
untuk memperbaiki chemical treatment pada lumpur khusunya pada additive Kcl.
Tabel 4.10 Properti lumpur pada kedalaman 4.455,59 ft (PT.Pertamina EP, 2015)

DEPTH MUD MW VIS PV YP GEL STRENGTH SAND


PH CHLORIDE K+
TYPE CONTENT
(ft) (ppg) (sec/qt) (cps) (lbs/100ft) (sec lbs/100ft)
Kcl
4455,59 10,08 44 16 19 5/7 0,20 9,0 32k 26k
Polymer

Aspek lumpur pemboran yang digunakan ini juga meliputi perbedaan


tekanan (differential pressure) yang terjadi yang bisa menyebabkan terjadinya
jepitan differensial (differential pipe sticking). Untuk itu perlu untuk mengetahui
seberapa besar tekanan formasi dan tekanan hidrostatik lumpur untuk melihat
perbedaan tekanan dengan batas maksimal tekanan yaitu 200 psi.
Langkah pertama adalah mengetahui tekanan formasi menggunakan d-
exponent dengan menggunakan data sebagai berikut :
R = 10,6 min/m = 18,504 ft/hr
N = 89 rpm
W = 6k lbs
Db = 12 ¼”
MW = 10,08 ppg
D = 1.358 m = 4.455,598 ft
Log ( R / 60 N )
d (2-4)
Log (12W / 1.000db)
Keterangan :
d = harga d-exponent,
R = ROP, ft/hr
N = Rotary Speed, rpm
W = WOB, klb
Db = Bit Diameter, in
Log (18.504 / 60 x89)
d
Log (12 x6 / 1.000 x12,25)
d = 1,103

Universitas Sriwijaya
74

Setelah mendapatkan harga d-exponent, langkah selanjutnya menghitung


d-exponent terkoreksi dengan persamaan sebagai berikut :
9
dc  d (2-5)
MW
Keterangan :
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
MW = mud weight, ppg
9
dc  1,103
10,8
dc = 0,919
Sedangkan untuk menghitung besarnya equivalen mud weight adalah
sebagai berikut :
9d
EMW   0,3 (2-6)
dc
Keterangan :
EMW = Equivalen mud weight, lb/gal
dc = d-exponent koreksi,
d = harga d-exponent,
9x1,103
EMW   0,3
0,919
EMW = 10,5 ppg
dari EMW dapat dikethaui besarnya tekanan formasi dengan menggunakan
persamaan :
Pf = 0,052  EMW  D (2-7)
Keterangan :
Pf = Tekanan Formasi, psi
D = TVD, ft
EMW = Equivalen mud weight, lb/gal
Pf = 0,052  10,5  4.455,598 = 2.432,756 psi
Untuk menghitung besarnya tekanan hidrostatik lumpur pemboran
digunakan persamaan sebagai berikut :

Universitas Sriwijaya
75

Ph = 0,052  MW  D (2-8)
Keterangan :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur pemboran, psi
MW = berat jenis lumpur pemboran, lb/gal
D = tinggi kolom lumpur, ft
Ph = 0,052  10,08  4.455,598 = 2.335,446 psi
Sedangkan perbedaan tekanan (differential pressure) dihitung dengan
persamaan :
DP = Ph – Pf (2-9)
Keterangan :
DP = Perbedaan tekanan, psi
Ph = Tekanan hidrostatik, psi
Pf = Tekanan formasi, psi
DP = 2.335,446 – 2.432,756 = 97,31 psi
Agar operasi pemboran dapat berjalan dengan lancar maka diusahakan
adanya perbedaan tekanan sebesar 100 – 200 psi. Perbedaan tekanan ini sering
disebut sebagai overbalance pressure. Setelah dilakukan perhitungan di atas di
dapatkan tekanan formasi sebesar 2.432,756 psi dan tekanan hidrostatik sebesar
2.335,446 psi. Perbedaan tekanan yang terjadi tidak mencapai batas 200 psi yaitu
97,31 psi yang berarti untuk differential sticking bukan menjadi penyebanya.
2. Mengevaluasi Hidrolika
Melakukan evaluasi terhadap hidrolika yang dijalankan pada kedalaman
4.455,59 ft. untuk rangkaian pemboran yang digunakan adalah Bit PDC 12¼“ + 3
Drillcollar 8” + 3 Drillcollar 6¼“ + 20 Heavy weight Drill Pipe 5 “ + 116 Drill
Pipe 5” dan untuk parameter pemboran dapat dilihat pada (Tabel B.1). dari aspek
ini dapat memperhitungkan perbandingan dari annulus velocity dan critical
annulus velocity, lalu flowrate, RPM, dan WOB yang digunakan dan ukuran
rangkaian pipa pemboran yang digunakan dapat dilihat pada (Tabel 4.11)
Tabel 4.11 Ukuran Pipa dan Lubang kedalaman 4455,59ft(PT.Pertamina EP 2015)
OD ID OD dc ID dc OD ID OD ID Id ID
TVD
dc 8 dc 8 6 1/4 6 1/4 hwdp 5 hwdp 5 dp 5 dp 5 casing hole
(ft) in in in in in In in in in in
4.455,5 8 2,75 6,25 2 5 3 5 4,276 12,615 12,25

Universitas Sriwijaya
76

a) Annulus Velocity dan Critical Annulus Velocity


Untuk perhitungan annulus velocity dapat dihitung dengan persamaan berikut
24,5 xGPM (2-10)
AV 
OH2  OD 2

Keterangan :
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
GPM = debit pompa (GPM)
Dan untuk perhitungan critical annulus velocity dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan

97 x PV  97 PV 2  6,2 x ρ x (Dh - OD) 2 x YP


Vc  (2-11)
ρ x (Dh - OD)
Keterangan :
PV = Plastic viscosity
YP = Yield Point
ρ = MudWeight (ppg)
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat
diketahui bahwa annulus velocity tidak lebih besar daripada critical annulus
velocity sebagaimana tertera pada (Tabel 4.12). hal tersebut berarti aliran pada
annulus adalah aliran laminar.
Tabel 4.12 Annulus Velocity dan Critical Annulus Velocity kedalaman 4.455,59 ft
Drillstring Av Vc
Drill pipe Casing 127,853 362,092
Drill pipe lubang bor 137,131 363,231
Heavy Weight Drill pipe lubang bor 137,131 363,231
Drill collar 6 1/4" lubang bor 154,505 368,224
Drill collar 8" lubang bor 199,274 380,401

b) Critical Flowrate (GPM)


Critical GPM Dapat diketahui dengan menggunakan persamaan berikut
CV x (OH 2  OD 2 )
GPMc = (2-12)
24,51

Universitas Sriwijaya
77

Keterangan :
CV = Critical Annulus Velocity (ft/min)
OH = diameter lubang (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat
diketahui bahwa GPM yg digunakan yaitu 700 GPM tidak melebihi critical GPM
yang telah dihitung sebagaimana tertera pada (Tabel 4.13). sehingga dengan
menggunakan 870 GPM maka aliran pada annulus tidak akan berubah menjadi
aliran turbulent.
Tabel 4.13 Critical GPM kedalaman 4455,59 ft

Drillstring Critical GPM GPM digunakan


Drill pipe Casing 1981,656 700
Drill pipe lubang bor 1853,393 700
Heavy Weight Drill pipe lubang bor 1853,393 700
Drill collar 6 1/4" lubang bor 1667,600 700
Drill collar 8" lubang bor 1335,714 700

c) Critical Rotation Per Minute (RPM)


Untuk mengetahui Critical RPM dapat dicari dengan menggunakan
persamaan berikut
3.3055
CritRPM = 2
x OD 2  ID 2 (2-13)
L
Keterangan :
L = panjang satu joint pipa (ft)
ID = diameter dalam pipa (inch)
OD = diameter luar pipa (inch)
Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A) dapat
diketahui bahwa RPM yang digunakan sebesar 89 RPM melebihi critical RPM
sebagaimana tertera pada (Tabel 4.14). hal ini berarti dengan menggunakan RPM
tersebut maka menimbulkan efek getaran pada drilllstring.
Tabel 4.14 Critical RPM kedalaman 4.455,59 ft
Drillstring Critical RPM RPM Digunakan
Drill pipe 222,903 89
Heavy Weight Drill pipe 203,497 89
Drill collar 6 1/4" 242,634 89
Drill collar 8" 297,765 89

Universitas Sriwijaya
78

d) WOB maximum Drilling


Weight on bit maximum yang diperbolehkan saat operasi pemboran
dilaksanakan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan
65.4−𝑀𝑊
BF = (2-14)
65.4

MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF (2-15)


Keterangan :
MW : Mud weight
BF : Bouyancy factor
Berdasarkan hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran A)
dapat diketahui bahwa WOB maximum pada saat kedalaman 4.455,59 ft adalah
sebesar 45,627k lbs, sedangkan WOB pada saat operasi pemboran adalah sebesar
1- 7k lbs. Hal tersebut berarti WOB yang diterapkan tidak melebihi batas WOB
maximum.
3. Aspek Geometri Lubang Bor
Pada aspek geometri lubang bor dilihat bentuk atau arah dari lubang bor
tersebut. Perubahan sudut kemiringan lubang yang mendadak (dog leg) perlu
diteliti untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya key seat. Persamaan untuk
menghitung perubahan sudut keseluruhan (), adalah :
cos DL  cos( I 2  I1 )  sin I1 x sin I 2 x(1  cos( A2  A1 )) (2-16)
Keterangan :
DL = Dogleg angle, derajat
I = perubahan sudut inklinasi, derajat
A = perubahan sudut arah, derajat
Maka dapat dihitung dog leg severity pada interval kedalaman 3.289,82 ft
sampai dengan 4.510,35 ft dengan data sebagai berikut :
 (1.002,90 mTVD – 1.374,69 mTVD/3.289,82 ft – 4.510,35 ft).
I1 = 0,4 ; I2 = 0,9 ; A1 = 134,70 ; A2 = 7,70 ; ∆S = 1220,54 ft
dengan menggunakan persamaan 2-16 maka besarnya dogleg angle (DL) =
cos DL  cos(0,9  0,4)  sin 0,4 x sin 0,9 x(1  cos(7,70  134,70))
Didapat DL = 1,18º

Universitas Sriwijaya
79

Sedangkan dog leg severity dapat dihitung dengan menggunakan


persamaan sebagai berikut :
DL 100
 (2-17)
S
Keterangan :
 = dog leg severity, derajat / 100 ft
S = jarak antar titik survey, ft
Selanjutnya dengan menggunakan persamaan 2-17 didapat besarnya harga
dog leg severity (  ) sebesar :
1,18 100
 = 0,096º/100ft
1220,54
Dog leg yang dihasilkan (true dog leg) tidak boleh melebihi dog leg severity agar
mengurangi kemungkinan terjadinya key seat. Pada perhitungan diatas didapatkan
nilai dogleg 1,18º sedangkan nilai dogleg severity 0,096º yang berarti dogleg lebih
besar daripada dogleg severity yang berpotensi menyebabkan keyseat.
4. Mengetahui indikasi terjadinya stuck.
Pada saat melakuka ream up, rangkaian mengalami stuck di kedalaman
4.455,59 ft sehingga rangkaian tidak bisa diputar, namun sirkulasi tetap lancar dan
aliran pompa normal. Dari indikasi tersebut potensi untuk terjadinya stuck pipe
bisa disebabkan oleh dogleg, differential sticking, dan keyseat.
5. Lithologi batuan
Dari pembacaan mudlog (Lampiran C). Lithologi pada kedalaman 4.101,25
sampai 4.593,4 ft menembus formasi talang akar (TAF) denan lapisan batuan
didominasi oleh shale, lalu terdapat sandstone dan ada sisipan dari limestone di
kedalaman 4.455,59 ft. Shale yang bersifat reaktif dan plastic yang akan mudah
terlarut dan mengembang oleh hidrasi air, sandstone memiliki kekerasan yang
lebih tinggi dengan dominan butiran kwarsa, porous dan permeable, sedangkan
limestone keras, brittle dan memiliki porositas dan permeabilitas yang baik. Dari
lithologi ini, hal yang berpotensi untuk menyebabkan stuck pipe adalah ledges dan
dogleg saat lapisan shale ke limestone, sandstone yang dapat menyebabkan loss
hingga differential sticking.

Universitas Sriwijaya
80

Dari aspek yang telah dibahas, dapat dianalisis jika penyebab Stuck Pipe
pada kedalaman 4.455,59 ft ini bisa disebabkan karena Ledges dan Dogleg dan
differential sticking. Pada saat terjadi Stuck pipe, sirkulasi masih lancar, tetapi
rangkaian tidak bisa diputar ataupun di angkat setelah satu meter. Untuk
differential sticking tidak dapat dinyatakan sebagai penyebabnya karena lapisan
shale tidak memiliki porositas dan permeabilitas yang baik, dan pada saat usaha
melepaskan rangkaian dengan menggunakan solar yang berguna untuk
menurunkan densitas dari lumpur dan melumasi lubang bor pada titik terjadinya
stuck tidak memberikan hasil dan untuk shale instability di antisipasi dengan
menggunakan lumpur KCL polymer yang akan menahan sifat reaktif dari shale,
Namun setelah dillihat pada mudlog (Gambar C.2) terlihat bahwa dengan
kedalaman tersebut yang didominasi oleh shale tidak dapat diatasi oleh jumlah
penggunaan Kcl Polymer dengan kalium sejumlah 26.000 mg/l yang
menyebabkan terdispersinya lapisan Shale karena ion dari kalium tidak dapat
menutupi sifat reaktif shale dengan mineral clay sehingga air yang teradsorbsi
oleh shale membuat lapisan shale pada kedalaman 4.455,59 ft terdispersi menjadi
bagian dari lumpur pemboran yang menyebabkan berubahnya properti lumpur
dengan naiknya yield point lumpur gaya yang dibutuhkan drillstring untuk
bergerak pada lumpur bertambah. Pada kedalaman tersebut yang lapisan dengan
dominan shale juga terdapat sisipan dari limestone, ROP pada saat kedalaman
4.429,35 ft sampai 4.494,97 ft terjadi peningkatan tetapi untuk WOB yang
diterapkan tetap sama seperti sebelumnya. Saat drillstring sedang menembus
lapisan shale yang mana terdapat sisipan limestone, dibagian ini karena dengan
menggunakan tiga buah DC dan menyebabkan DC menjadi pendulum untuk
meluruskan kembali arah lubang bor, lalu arah lubang bor menjadi terbelok
karena pada sisipan limestone tersebut rangkaian arah dari bit terpengaruh oleh
gaya pendulum dari DC, sehingga lubang bor mengalami penyimpangan arah
karena perubahan lapisan batuan dari shale lembut dan terjadinya sloughing shale
tersebut ke limestone yang lebih keras. begitu saat melakukan cabut rangkaian,
bagian sambungan atau stabilizers pada titik kedalaman dimana adanya sisipan
limestone ini terjepit, hal ini yang menyebabkan terjadinya Stuck Pipe pada
kedalaman 4.455,59 ft. dapat disimpulkan bahwa penyebab stuck pipe pada

Universitas Sriwijaya
81

kedalaman 4.455,59 ft ini disebabkan oleh dogleg yang terjadi akibat adanya
sisipan limestone dan sloughing shale yang mengakibatkan bertambahnya yield
point lumpur.
4.2.4. Pencegahan Stuck Pipe
Setelah dilakukannya analisis terhadap penyebab stuck pipe, lalu tindakan
pencegahan yang seharusnya dilakukan terhadap penyebab stuck pipe pada
kedalaman 4.455,59 ft ini seharusnya dilakukan dengan cara seperti berikut :
1. Ledging akan berkurang dengan menjalankan packed hole assembly.
2. Meminimalkan perubahan arah pada lubang bor.
3. Meminimalkan perubahan konfigurasi BHA ketika di formasi yang mungkin
dapat menghasilkan ledges.
4. Pertimbangkan untuk melakukan reaming.
5. Perhatikan selalu parameter pemboran yang digunakan jika terdapat anomali.
6. Perhatikan lithologi formasi yang ditembus, apabila lapisan shale yang
ditembus memiliki kedalaman yang panjang maka pertimbangkan menaikkan
kalium guna menahan sifat reaktif dari shale.
4.2.5. Penanggulangan Stuck Pipe yang dilakukan
Usaha yang pertama dilakukan dengan menambahkan lubricant ke lumpur
dan memompakan lovis dan hivis, lalu sirkulasi lumpur 700-750 GPM sambil
dilakukannya jar down, tetapi jar tidak dapat bergerak atau bekerja. Dan WOP
140-130k lbs (berat string normal + block 140k lbs) sambil menahan torsi di 11-
12k ftlbs. Rangkaian belum berhasil dibebaskan dari stuck. melanjutkan usaha
untuk mengatasi stuck pipe dengan melakukan sirkulasi 750 gpm sambil WOP 30-
140k lbs dan menahan torsi di 11-12k ftlbs. Saat usaha untuk melepaskan jepitan
ini, sambil melakukan mixing 70 bbl black magic dengan berat 9,996 ppg. lalu
lanjut Spot 60 bbls solar didasar dan rendam selama 1 jam. Usaha lakukan jar
down kembali, tetapi jar masih belum bisa bekerja dan WOP 30-140k lbs sambil
menahan torsi di 12k lbfts masih belum berhasil. Lanjutkan usaha untuk
mengatasi stuck dengan sirkulasi 750 gpm sambil WOP 80-140k lbs dan tahan
torsi 15-20k ft.lbs. lalu spot 60 bbl black magic dengan di annulus dan
menyisakan 10 bbls Black magic didalam string. Penggunaan black magic ini
bertujuan untuk meluruhkan lapisan yang menyebabkan terjadinya stuck pipe.

Universitas Sriwijaya
82

Rendam black magic selama 12 jam, lalu coba usaha beri torsi putar kanan 11k
ftlbs tetapi rangkaian masih tidak dapat bergerak. Lanjutkan perendaman black
magic dengan tahan torsi 11k ftlbs dan tiap 1 jam pompakan 1 bbls black magic
dari string. Lepaskan torsi dan lanjutkan usaha jepitan dengan melakukan jar up
satu kali, jar up bekerja dan rangkaian akhirnya berhasil lepas dari jepitan. Buang
sisa black magic di annulus dan segera lakukan ream untuk perbaikan lubang dari
4.396,54 – 4.488,40 ft, lanjut sirkulasi bersih lubang dan kondisikan lumpur
dengan berat 9,99 ppg. amati kegiatan ini apakah lancar atau masih ada potensi
terjadinya stuck pipe.

Universitas Sriwijaya
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diuraikan dalam analisis penyebab
stuck pipe dan penanggulangannya pada sumur PDW-07 lapangan Pagardewa,
maka penulis dapat mengambil kesimpulan antara lain:
1. Indikasi terjadinya stuck pipe pada kedalaman 1.131.94 ft adalah rangkaian
mengalami overpull, aliran lumpur pada flowline mengecil hingga sirkulasi
lumpur berhenti. Untuk kedalaman 4.455.59 ft indikasinya adalah rangkaian
tidak bisa diputar dan digerakkan pada satu titik kedalaman yaitu 4.455.59 ft
namun tekanan pompa sebesar 1.500 psi dan sirkulasi lumpur normal.
2. Aspek-aspek yang dianalisis dalam menentukan penyebab stuck pipe adalah
aspek lumpur pemboran diketahui pada 1.131.94 ft terjadi perubahan plastic
viscosity sebesar 17 cps dan pada 4.455.59 ft terjadi perubhana yield point
sebesar 19 lbs/100ft namun perbedaan tekanan tidak melebihi batas 200 psi.
Pada aspek hidrolika pemboran diketahui bahwa annulus velocity, flowrate,
RPM dan WOB yang diterapkan tidak melebihi batas maksimal. Pada aspek
geometri lubang bor diketahui bahwa pada 1.131.94 ft dan 4.455.59 ft
memiliki dogleg yang melebihi dogleg severity. Pada aspek lithologi diketahui
1.131.94 ft menembus lapisan yang dominan batubara, dan pada 4.455.59 ft
terdapat sisipan limestone dan dengan dominan shale. aspek indikasi stuck
pipe pada 1.131.9 ft terjadi drag dan sirkulasi lumpur mengecil dan pada
4.455.59 ft rangkaian tidak bisa diputar namun sirkulasi lumpur normal.
3. Pada Analisis yang dilakukan melalui aspek dalam menentukan penyebab
stuck pipe, dapat diketahui bahwa penyebab stuck pipe pada kedalaman
1.131.94 ft disebabkan oleh settled cutting dari rontokan batubara yang
berlebihan dan pada kedalaman 4.455.59 ft disebabkan oleh dogleg yang
terjadi akibat tersangkutnya subs atau stabilizer pada sisipan limestone.
4. Pencegahan stuck pipe dilakukan untuk menghindari problem stuck pipe saat
melanjutkan operasi pemboran. Untuk problem seetled cutting dicegah dengan

83 Universitas Sriwijaya
84

mengoptimalkan sifat lumpur dengan menjaga densitas lumpur, drag tidak


mendekati batas maksimal, memaksimalkan annulus velocity dan mechanical
agitation dari cutting beds, sedangkan untuk problem dogleg dapat dicegah
dengan meminimalkan perubahan arah lubang bor menggunakan packed hole
assembly, melakukan reaming, meminimalkan adanya perubahan konfigurasi
BHA ketika di formasi yang mungkin menghasilkan dogleg, dan perhatikan
selalu parameter pemboran jika terjadi anomali.
5. Untuk penanggulangan stuck pipe pada kedalaman 1.131.94 ft yang
disebabkan Seetled cutting ditanggulangi dengan menambahkan densitas
lumpur yang digunakan dari 9.83 ke 9.99 ppg hingga aliran lumpur normal
kembali dan mulai terdapat cutting lalu lakukan melakukan backream saat
lanjut cabut rangkaian. Sedangkan pada kedalaman 4.455.59 ft yang
disebabkan dogleg ditanggulangi dengan menambahkan spotting fluid agent
yaitu perendaman fluida black magic sambil diberikan torsi pada rangkaian
sebesar 11k ftlbs dan pompakan black magic 1 bbl per 1 jam, lalu dilakukan
jar-up hingga jar bekerja dan rangkaian terbebas dari jepitan.

5.2. Saran
1. Kualitas dari properti lumpur seperti densitas lumpur, viskositas lumpur, solid
content dan additive seharusnya tetap dijaga dengan baik untuk meminimalisir
potensi akan terjadinya stuck pipe pada saat operasi pemboran.
2. Sebaiknya tambahkan densitas lumpur dan pertahankan pH lumpur pada saat
trayek 17½“ untuk mengatasi batubara yang rentan akan stabilitasnya.
3. Desain hidrolika seperti annulus velocity, flowrate, rpm, dan weight on bit
perlu untuk disesuaikan dengan operasi pemboran yang akan dilakukan dan
meminimalisir string dalam kondisi diam.
4. Konfigurasi rangkaian pemboran seharusnya sesuai dengan formasi yang akan
ditembus yang dapat dilihat melalui korelasi antar sumur sebelumnya.
5. Sebelum melakukan operasi pemboran, dianjurkan untuk perhatikan drilling
hazard yang telah diketahui melalui korelasi sumur sebelumnya dan lakukan
pencegahan yang sesuai dengan hazard yang akan dihadapi.
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN HIDROLIKA

Berikut merupakan perhitungan hidrolika yang diterapkan saat operasi pemboran:


Tabel A.1 Mud Properties kedalaman 1.131,94 ft dan 4.455,59 ft
MD TVD MW Q PV YP
(ft) (ft) (ppg) (gpm) (cps) (lbs/100ft)
1.131,94 1.131,94 9,8294 850 11 19
4.455,59 4.455,59 9,5795 700 16 19

Tabel A.2 diameter pipa dan lubang bor kedalaman 1.131,94 ft dan 4.455,59 ft

OD ID OD dc ID dc OD ID OD ID OD Id ID
TVD
dc 8 dc 8 6 1/4 6¼ hwdp 5 hwdp 5 dp 5 dp 5 casing casing hole
(ft) in in in In in in in in in in in
1.131,94 8 3 6,25 3 5 3 5 4,276 20 19,124 17,5
4.455,59 8 2,75 6,25 2 5 3 5 4,276 13,375 12,615 12,25

 Perhitungan Annulus Velocity pada kedalaman 1.131,94 ft:


1. Antara Drillcollar 8” dengan lubang bor
24,5 x Q
Va =
Dh 2  OD 2
24,5 x 850
Va = = 85,965 ft/min
17,5 2  8 2
2. Antara Drillcollar 6¼“ dengan lubang bor
24,5 x 850
Va = = 77,94 ft/min
17,5 2  6,25 2
3. Antara HWDP 5” dengan Lubang bor
24,5 x 850
Va = = 74,044 ft/min
17,5 2  5 2
4. Antara HWDP 5” dengan casing
24,5 x 850
Va = = 61,119 ft/min
19,124 2  5 2
5. Antara DP 5” dengan casing
24,5 x 850
Va = = 61,119 ft/min
19,124 2  5 2

A-1
A-2

 Perhitungan Critical Annulus Velocity pada kedalaman 1.131,94 ft :


1. Antara Drillcollar 8” dengan lubang bor

97 x PV  97 PV 2  6,2 x ρ x (Dh - OD) 2 x YP


Vc 
ρ x (Dh - OD)

97 x 11  97 112  6,2 x 9,83 x (17,5 - 8) 2 x 19


Vc  =347,421 ft/min
9,83 x (17,5 - 8)
2. Antara drillcollar 6¼“ dengan lubang bor

97 x 11  97 112  6,2 x 9,83 x (17,5 - 6,25) 2 x 19


Vc  = 345,587 ft/min
9,83 x (17,5 - 6,25)
3. Antara HWDP 5” dengan lubang bor

97 x 11  97 112  6,2 x 9,83 x (17,5 - 5) 2 x 19


Vc  = 344,596 ft/min
9,83 x (17,5 - 5)
4. Antara HWDP 5” dengan casing

97 x 11  97 112  6,2 x 9,83 x (119,124 - 5) 2 x 19


Vc  = 343,573 ft/min
9,83 x (19,124 - 5)
5. Antara DP 5” dengan casing

97 x 11  97 112  6,2 x 9,83 x (119,124 - 5) 2 x 19


Vc  = 343,573 ft/min
9,83 x (19,124 - 5)
 Perhitungan Annulus Velocity pada kedalaman 4.455,59 ft
1. Antar Drillcollar 8” dengan lubang bor
24,5 x Q
Va =
Dh 2  OD 2
24,5 x 700
Va = =199,274 ft/min
12,25 2  8 2
2. Antara Drillcollar 6¼“ dengan lubang bor
24,5 x 700
Va = = 154,505 ft/min
12,25 2  6,25 2
3. Antara HWDP 5” dengan Lubang bor
24,5 x 700
Va = = 137,131ft/min
12,25 2  5 2
A-3

4. Antara Drillpipe 5” dengan lubang bor


24,5 x 700
Va = = 137,131 ft/min
12,25 2  5 2
5. Antara Drillpipe 5” dengan casing
24,5 x 700
Va = = 127,853 ft/min
12,615 2  5 2
 Perhitungan Critical Annulus Velocity pada kedalaman 4.455,59 ft
1. Antara Drillcollar 8” dengan lubang bor

97 x PV  97 PV 2  6,2 x ρ x (Dh - OD) 2 x YP


Vc 
ρ x (Dh - OD)

97 x 16  97 16 2  6,2 x 9,58 x (12,25 - 8) 2 x 19


Vc  = 380,402 ft/min
9,58 x (12,25 - 8)
2. Antara Drillcollar 6¼“ dengan lubang bor

97 x 16  97 16 2  6,2 x 9,58 x (12,25 - 6,25) 2 x19


Vc  = 368,224 ft/min
9,58 x (12,25 - 6,25)
3. Antara HWDP 5” dengan lubang bor

97 x 16  97 16 2  6,2 x 9,58 x (12,25 - 5) 2 x 19


Vc  = 363,232 ft/min
9,58 x (12,25 - 5)
4. Antara Drillpipe 5” dengan lubang bor

97 x 16  97 16 2  6,2 x 9,58 x (12,25 - 5) 2 x 19


Vc  = 363,232 ft/min
9,58 x (12,25 - 5)
5. Antara Drillpipe 5” dengan casing

97 x 16  97 16 2  6,2 x 9,58 x (12,615 - 5) 2 x 19


Vc  = 362,092 ft/min
9,58 x (12,615 - 5)
 Critical GPM pada kedalaman 1.131,94 ft
1. Antara Drillcollar 8” dengan lubang bor
CV x (OH 2  OD 2 )
GPMc =
24,51

347,421 x (17,5 2  8 2 )
GPMc = = 3.433,81 GPM
24,51
A-4

2. Antara Drillcollar 6¼“ dengan lubang bor


345,587 x (17,5 2  6,25 2 )
GPMc = = 3.767,31 GPM
24,51
3. Antara HWDP 5” dengan Lubang bor
344,596 x (17,5 2  5 2 )
GPMc = = 3.954,21 GPM
24,51
4. Antara HWDP 5” dengan casing
343,573 x (19,124 2  5 2 )
GPMc = = 4.776,21 GPM
24,51
5. Antara DP 5” dengan casing
343,573 x (19,124 2  5 2 )
GPMc = = 4.776,21 GPM
24,51
 Critical GPM pada kedalaman 4.455,59 ft
1. Antara Drillcollar 8” dengan lubang bor
CV x (OH 2  OD 2 )
GPMc =
24,51

347,421 x (17,5 2  8 2 )
GPMc = = 1.335,71 GPM
24,51
2. Antara Drillcollar 6¼“ dengan lubang bor
345,587 x (17,5 2  6,25 2 )
GPMc = = 1.667,6 GPM
24,51
3. Antara HWDP 5” dengan Lubang bor
344,596 x (17,5 2  5 2 )
GPMc = = 1.853,39 GPM
24,51
4. Antara DP 5” dengan lubang bor
343,573 x (19,124 2  5 2 )
GPMc = = 1.853,39 GPM
24,51
5. Antara DP 5” dengan casing
343,573 x (19,124 2  5 2 )
GPMc = = 1.981,66 GPM
24,51
A-5

 Critical RPM pada kedalaman 1.131,94 ft


1. Drillcollar 8”
33055
RPMc = 2
x OD 2  ID 2
L
33055
RPMc = x 8 2  3 2 = 300,612 RPM
9,34 2
2. Drillcollar 6¼“
33055
RPMc = 2
x 6,25 2  32 = 242,634 RPM
9,113
3. HWDP 5”
33055
RPMc = 2
x 5 2  3 2 = 203,584 RPM
9,38
4. DP 5”
33055
RPMc = 2
x 5 2  4,276 2 = 222,903 RPM
9,52
 Critical RPM pada kedalaman 4455,59 ft
1. Drillcollar 8”
33055
RPMc = x 8 2  3 2 = 297,765 RPM
9,34 2
2. Drillcollar 6¼“
33055
RPMc = 2
x 6,25 2  32 = 242,634 RPM
9,113
3. HWDP 5”
33055
RPMc = 2
x 5 2  3 2 = 203,497 RPM
9,38
4. DP 5”
33055
RPMc = 2
x 5 2  4,276 2 = 222,903 RPM
9,52
 WOB Maximum Drilling pada kedalaman 1.131,94 ft
A-6

65,4 - MW
BF =
65,4
65,4 - 9,83
BF = = 0,85
65,4
MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF
MaxWOB = (22.528,56 + 8.127,05 + 28.822,82) x 0,85
MaxWOB = 50.539 lbs = 50,539 k lbs
 WOB Maximum Drilling pada kedalaman 4.455,59 ft
65,4 - MW
BF =
65,4
65,4 - 9.58
BF = = 0,85
65,4
MaxWOB = (weight of DC + HWDP) x BF
MaxWOB = (13.833,903 + 8.127,05 + 31.496,60) x 0,85
MaxWOB = 45.627 lbs = 45,627 k lbs
LAMPIRAN B
PARAMETER PEMBORAN

Berikut merupakan Parameter Pemboran yang digunakan :


Tabel B.1 Parameter Pemboran Kedalaman 1131.94 sampai 1312.4 ft (PT.
Pertamina EP, 2015)

TVD ROP WOB HKLD TSPM SPP TORQ RPM MW ECD MF


(m) (min/m) (Klbs) (klbs) (psi) (ftlbs) (ppg) (ppg) (gpm)
1131.94 2.9 4.1 80.36 256 1733 3428 83 9.41 9.57 850
1141.78 3.6 4.8 79.63 257 1727 3412 83 9.41 9.57 853
1148.35 3.3 5 79.45 258 1714 3358 83 9.41 9.57 855
1154.91 8.2 3.9 82.49 256 1752 2907 75 9.41 9.57 849
1161.47 4.5 3.9 82.49 257 1755 2920 74 9.41 9.57 854
1168.03 4.5 4.4 81.98 258 1755 2851 74 9.41 9.57 855
1174.59 4.2 4.6 81.77 257 1758 3211 74 9.41 9.57 852
1181.16 2.5 3.8 82.63 256 1762 3079 74 9.41 9.57 851
1187.72 8.1 3.6 82.77 257 1758 2747 74 9.41 9.57 851
1194.28 4 3.7 82.66 257 1759 2720 74 9.41 9.57 851
1200.84 4.1 3.8 82.57 256 1757 2698 74 9.41 9.57 849
1207.40 2.8 3.6 82.84 256 1759 2881 74 9.41 9.57 850
1213.97 3.8 3.8 82.59 256 1753 2775 74 9.41 9.57 850
1220.53 5.9 4.2 82.24 256 1757 2831 74 9.41 9.57 850
1227.09 8.3 4.4 82.02 256 1754 2887 74 9.41 9.57 849
1233.65 8.5 3.2 81.81 257 1741 3608 80 9.41 9.57 852
1240.21 6.4 3.2 81.82 257 1735 3523 80 9.41 9.57 852
1246.78 5.4 2.5 83.93 256 1702 3502 89 9.41 9.57 850
1253.34 6.3 4.9 84.7 257 1733 3354 89 9.41 9.57 852
1259.90 3.9 3.5 85.35 260 1719 3497 88 9.41 9.57 862
1266.46 4.2 4 85.06 259 1723 3369 89 9.41 9.57 861
1273.02 5.7 4.7 84.39 257 1739 3462 89 9.41 9.57 854
1279.59 6.7 4.5 84.57 258 1730 3175 89 9.41 9.57 855
1286.15 12.1 5.1 84.53 257 1736 3309 89 9.41 9.57 853
1292.71 7.6 5.4 84.2 258 1735 3449 89 9.41 9.57 855
1299.27 18.9 4.8 84.78 257 1734 3106 89 9.41 9.57 854
1305.83 20.8 5 84.58 257 1730 3239 89 9.41 9.57 853
1312.40 3.4 7.6 82 257 1722 4004 88 9.41 9.57 854

B-1
B-2

Tabel B.2 Parameter pemboran pada kedalaman 4439.19 sampai 4494.97 ft (PT.
Pertamina EP, 2015)

TVD ROP WOB HKLD TSPM SPP TORQ RPM MW ECD MFI
(Mtr) (min/m) (Klbs) (Klbs) (psi) (ftlbs) (ppg) (ppg) (gpm)
4439.19 6.1 2 134 200 1556 5652 90 10.07 10.32 701
4442.47 4.8 4 134 201 1567 5518 90 10.07 10.32 703
4445.75 4.1 6 133 200 1560 5753 90 10.07 10.32 702
4449.03 4.3 5 134 200 1562 5212 91 10.07 10.32 701
4452.31 10.5 5 133 200 1549 5296 90 10.07 10.32 703
4455.59 10.6 6 133 200 1542 5987 89 10.07 10.32 702
4458.87 6.5 6 133 200 1556 5523 91 10.07 10.32 702
4462.16 9.4 4 134 200 1536 5302 91 10.07 10.32 702
4465.44 10.1 4 134 200 1541 5455 90 10.07 10.32 701
4468.72 7 3 136 200 1539 4762 91 10.07 10.32 701
4472.00 8.6 4 134 200 1538 6050 88 10.07 10.32 701
4475.28 5 6 133 200 1530 6178 90 10.07 10.32 702
4478.56 7 6 132 203 1543 5176 90 10.07 10.32 710
4481.84 7.3 6 134 200 1536 4847 91 10.07 10.32 701
4485.12 4.4 3 134 200 1536 5974 90 10.07 10.32 701
4488.40 4.1 5 132 200 1536 5621 90 10.07 10.32 700
4491.68 4 4.8 132.9 218 1612 5009 89 10.07 10.32 763
4494.97 6.4 3.9 134.4 218 1635 5108 91 10.07 10.32 764
LAMPIRAN C
MUDLOG

Berikut merupakan Mudlog pada trayek 17½“ dan 12¼“ :

Gambar C.1 Mudlog pada Kedalaman 1082.73 – 1738.93 ft (PT. Pertamina


EP,2015)
C-1
C-2

Gambar C.2 Mudlog pada Kedalaman 4068.44 – 4659.02 ft (PT. Pertamina


EP,2015)
LAMPIRAN D
DAILY OPERATIONS REPORT

Berikut merupakan Parameter Pemboran yang digunakan :


Tabel D.1 Daily Operations Report 8 Januari 2015 (PT. Pertamina EP, 2015)
Daily Operations Report
08-Jan-2015 D R IL L IN G D E P A R T M E N T

Operator PT. PERTAMINA-EP Contractor PT. PDSI (N80-B1/27) Rpt. # 9


Well Name PDW-07 Type Development Field PRABUMULIH Env. Onshore
Latitude X = 404781.15 E Longitude Y = 9577688.79 N WD ft
General Drilling Parameters AFE
Rig Type / Name Land Rig N80-B1/27 Avg WOB klbs AFE Number 14-3982
Rig Power hp 1000 HP Avg ROP ft/hs AFE Cost US 5,802,281.27
KB Elevation ft 20 Avg RPM Daily Cost US 68,741.98
Current MD ft 2412 Torque lb.ft Cum. Cost US 981,018.62
Progress MD ft 210 Stand Pipe Press Psi Daily Mud Cost US 21,088.85
PTMD ft 5358 Flow Rate gpm Cum. Mud Cost US 102,102.30
Spud Date 31-Dec-2014 String Weight lbs Day Supervisor T. Bambang Hariyanto
Release Date Rotating Weight lbs Night Supervisor T. Bambang Hariyanto
Planned Days 38 Total Drilling Time hrs Engineer Oktaviano S / Irwan Y
Days from Spud 9 Circulating Press psi Geologist Yudi Herdiana

Lanjut bor trayek 17-1/2" sampai CP 13-3/8" di 735 m (WOB/GPM/SPP/RPM/TQ/ROP : 1-7 klbs/870 gpm/1760 psi/80-90 RPM/3200-5500 ft.lbs/6.6 mpm. Litho di 735 m : 75%
24 Hours Summary
SHST, 25% SST. BG/MG di 723 m : 30-50/359 unit). Sirkulasi bersih, sweep Hi-Vis. Cabut PDC 17-1/2" + BHA Rotary sampai permukaan, DG : 1/1/PN/N/I/X/NO/TD.

Lanjut masuk PDC 17-1/2"(RR) + BHA trip sampai 735 m. Sirkulasi bersih. Drop totco survey. Cabut PDC 17-1/2"(RR) + BHA trip sampai permukaan. Masuk casing 13-3/8", K-55,
24 Hours Forecast
54.50 PPF, BTC, R-3.
Time Breakdown
Time hh:mm Measured Depth Length Task
Operation
Start End Elapsed Start End ft Category P NPT Code
Drilling
Lanjut bor formasi lubang 17-1/2" dari 671 m sampai 735 m (Casing point).
00:00 11:00 2201.551 2411.535 209.984 Y P 2. Drill Actual WOB/GPM/SPP/RPM/TQ/ROP : 1-7 klbs/870 gpm/1760 psi/85 rpm/3200-5500 ft.lbs/6.6
mpm. Last Litho @ 735 m: 75% SHST, 25% SST. BG/MG @723 m: 30-50/359 unit

11:00 13:30 2411.535 2411.535 0 Drilling Y P 5. Condition Mud & Sirkulasi


Circulate bersih kondisikan SG in/out : 1.18 sweep hivis 30 bbls, Flow check (ok)
Drilling Cabut rangkaian pahat PDC 17-1/2" + BHA rotary dari 735 m sampai 345 m. OP 20 Klbs
13:30 17:30 2411.535 2411.535 0 Y P 6. Trips @595 m, 422 m, 353 m (cabut sambil pump out @345 m indikasi pack off aliran mengecil
dan jepit) usaha bebaskan rangkaian (Ok) dan aliran normal
Drilling Sirkulasi bersih sambil naikkan SG lumpur dari 1.18 ke 1.20 SG, FR/SPP/RPM/TQ : 690-
17:30 19:30 2411.535 2411.535 0 Y P 5. Condition Mud & Circulate
760 gpm/930-1100 psi/30-40 rpm/700-5200 ft-lb
Drilling Lanjut cabut rangkaian pahat PDC 17-1/2" + BHA rotary dari 345 m - permukaan (cabut
19:30 24:00 2411.535 2411.535 0 Y P 6. Trips
sambil back ream), Bit gradding : 1/1/PN/N/I/X/NO/CP
0
0
0
0 Status Pagi , 09 Januari 2015
Drilling M/U & RIH PDC 17-1/2" (RR) + BHA Trip (BS w/ float & totco ring + 5 jts DC 8" + X/O + 3
00:00 04:00 2411.535 2411.535 0 Y P 2. Drill Actual jts DC 6-1/4" + 16 jts HWDP 5" + Jar + 3 Jts HWDP 5") dari permukaan sampai 462 m,
Break sirkulasi @ 310 m
Bit Record BHA - 1 BHA - 2 Casing
Bit - 1 Bit - 2 BHA Number BHA Run BHA Number BHA Run Last Size in 20
Bit Number OD Length OD Length Set MD ft 393.72
Component Component
Bit Size in in ft in ft Next Size in 13,3/8
Bit Run Set MD ft 2411.535
Manufacturer Last LOT EMW ppg
IADC Code TOL ft
Jets Mud Volumes
Serial # Start bbl 609
Depth Out ft Lost Surface bbl
Depth In ft Lost DH bbl
Meterage ft Dumped bbl 110
Bit Hours hrs Built bbl
Nozzles in Ending bbl 499
Dull Grade Gas
Cumulative Max. Gas
Footage ft Conn. Gas
Bit Hours hrs Trip Gas
ROP ft/hrs Back Gas
Drilling Fluid Mud Additive
1 2 3 1 2 3 Type Amount Hydraulic Analysis
Mud Type Gel Water Gel Water Solids % KCL 150 Annular Velocity ft/min
Time HH:MM 14:00 22:00 Sand % KOH 10 Pb psi
MW in ppg 9.83 10.00 Water % PAC-L 18 Sys HHP
MW out ppg 9.83 10.00 Oil % PAC-R 12 HHPb hp
Temp in degF HGS % SOLTEX 13 HSI hp/in2
Temp out degF LGS % UNIBAR 320 %psib %
Pres. Grad psi/ft 0.5111 0.5198 LTLP bbl UNISTARCH 25 Jet Velocity ft/sec
Visc sec 42 58 HTHP bbl XCD PLYMER 9 Impact force lbs
PV cP 14 20 Cake mm UNILUBE 1 IF/area lb/in2
YP lbf/100ft2 20 25 E Stb V
Gels 10 sec 4 5 PF
Gels 10 min 7 9 MF
Fluid Loss mL/30min PM
pH 9 9 ECD ppg
Bulk Materials
Type Material Name UOM Received Consumed Returned Adjust Ending
LIQUID Diesel Oil 36286 10759 25527

D-1
D-2

Tabel B.2 Daily Operations Report 16 Januari 2015 (PT. Pertamina EP, 2015).

Daily Operations Report


16-Jan-2015 D R IL L IN G D E P A R T M E N T

Operator PT. PERTAMINA-EP Contractor PT. PDSI (N80-B1/27) Rpt. # 17


Well Name PDW-07 Type Development Field PRABUMULIH Env. Onshore
Latitude X = 404781.15 E Longitude Y = 9577688.79 N WD ft
General Drilling Parameters AFE
Rig Type / Name Land Rig N80-B1/27 Avg WOB klbs AFE Number 14-3982
Rig Power hp 1000 HP Avg ROP ft/hs AFE Cost US 5,802,281.27
KB Elevation ft 20 Avg RPM Daily Cost US 60,227.46
Current MD ft 4488 Torque lb.ft Cum. Cost US 1,559,839.10
Progress MD ft 564 Stand Pipe Press Psi Daily Mud Cost US 14,770.80
PTMD ft 5358 Flow Rate gpm Cum. Mud Cost US 162,670.85
Spud Date 31-Dec-2014 String Weight lbs Day Supervisor Herry Prabowo
Release Date Rotating Weight lbs Night Supervisor Herry Prabowo
Planned Days 38 Total Drilling Time hrs Engineer Oktaviano S / Irwan Y
Days from Spud 17 Circulating Press psi Geologist Rulliyansyah / Soffan Hadi
Lanjut bor trayek 12-1/4" sampai 1368 m. (WOB/GPM/SPP/RPM/TQ/ROP : 5-9 klbs/700 gpm/1540 psi/85-90 rpm/4600-6800 ft.lbs/4.2 mpm. Litho di 1368 m : 100% Shale.
24 Hours Summary BG/MG di 1197 m: 20-30/131 unit). Ream dan wash down di kedalaman 1357 m, torsi naik dan rangkaian terjepit (aliran normal). Usaha atasi jepitan dengan WOP dan coba
lakukan jar down (jar tidak bekerja). Lakukan WOP 30-140 klbs sambil tahan torsi di 11-12k ft.lbs, belum berhasil.
Rendam dengan BM. Bebaskan jepitan. Lanjut bor trayek 12-1/4" sampai CP 9-5/8" est di 1494 m. Sirkulasi. Short trip. Sirkulasi. Drop totco survey. Cabut PDC 12-1/4" + BHA
24 Hours Forecast
Rotary sampai permukaan.
Time Breakdown
Time hh:mm Measured Depth Length Task
Operation
Start End Elapsed Start End ft Category P NPT Code

Lanjut bor trayek 12-1/4" dari 1196 m sampai 1368 m. (WOB/GPM/SPP/RPM/TQ/ROP : 5-


9 klbs/700 gpm/1540 psi/85-90 rpm/4600-6800 ft.lbs/ 4.2 mpm. Last Litho di 1368 m:
00:00 18:00 18:00 3924.076 4488.408 564.332 Drilling Y P 2. Drill Actual 100% SHL. BG/MG di 1197 m: 20-30/131 unit ). Pada saat ream up di kedalaman 1357 m,
rangkaian stall / tidak bisa diputar ( aliran pompa normal dengan gpm 700 / SPP 1500 psi
), indikasi rangkaian terjepit.

Usaha atasi jepitan dengan sirkulasi GPM 700 - 750 sambil lakukan jar down ( jar tidak
mau bekerja ) dan WOP 140 - 30 klbs ( berat string normal + blok 140 klbs ) sambil tahan
18:00 24:00 6:00 4488.408 4488.408 0 Drilling N NP 23. Other torsi 11-12k ft.lbs, belum berhasil. ( Note : Sistem lumpur sudah ditambah lubricants dan
pompakan tandem lovis + hivis, belum berhasil ).

0
Status Pagi , 17 Januari 2015

Sedang usaha atasi jepitan dengan sirkulasi 750 GPM sambil WOP 30-140klbs dan tahan
00:00 04:00 04:00 4488.408 4488.408 0 Drilling N NP 23. Other
torsi di 11-12k ft.lbs, (belum berhasil). Mixing 40 bbls BM SG 1.20 progress 40 %.

Bit Record BHA - 1 BHA - 2 Casing


Bit - 1 Bit - 2 BHA Number BHA Run BHA Number BHA Run Last Size in 13-3/8"
Bit Number 3 OD Length OD Length Set MD ft 2404.973
Component Component
Bit Size in 12,25 in ft in ft Next Size in 9-5/8"
Bit Run 1 Sub totco 8 2.9529 Set MD ft 4934.624
Manufacturer NOV Drill Collar 8 91.73676 Last LOT EMW ppg 10.4125
IADC Code PDC Stabilizer 12.25 5.61051 TOL ft
Jets Crossover 6.25 2.13265 Mud Volumes
Serial # A193085 Drill Collar 6.25 89.73535 Start bbl 1224
Depth Out ft Crossover 6.25 1.50926 Lost Surface bbl 90
Depth In ft 735 Heavy Weight Drill Pipe (HWDP)5 464.5896 Lost DH bbl
Meterage ft Jar 6.5 23.19667 Dumped bbl 10
Bit Hours hrs Heavy Weight Drill Pipe (HWDP)5 154.5351 Built bbl 200
Nozzles in 2x20, 3x16 Ending bbl 1324
Dull Grade Gas
Cumulative Max. Gas 131
Footage ft Conn. Gas
Bit Hours hrs Trip Gas
ROP ft/hrs Back Gas 30-40
Drilling Fluid Mud Additive
1 2 3 1 2 3 Type Amount Hydraulic Analysis
Mud Type Gel Water Gel Water Solids % 8.0 8.0 KCL 120.00 Annular Velocity ft/min
Time HH:MM 14:00 00:00 Sand % 0,1 0,1 KOH 4.00 Pb psi
MW in ppg 1.21 1.21 Water % 92.0 92.0 PAC-L 16.00 Sys HHP
MW out ppg 1.21 1.21 Oil % PAC-R 2.00 HHPb hp
Temp in degF HGS % SOLTEX 18.00 HSI hp/in2
Temp out degF LGS % UNIBAR 175.00 %psib %
Pres. Grad psi/ft 0.0629 0.0629 LTLP bbl UNISTARCH 20.00 Jet Velocity ft/sec
Visc sec 44 42 HTHP bbl XCD PLYMER 6.00 Impact force lbs
PV cP 16 16 Cake mm UNILUBE IF/area lb/in2
YP lbf/100ft2 19 18 E Stb V DESCO
Gels 10 sec 5 4 PF SODA ASH 2.00
Gels 10 min 7 5 MF
Fluid Loss mL/30min 5 5 PM
pH 9 10 ECD ppg
Bulk Materials
Type Material Name UOM Received Consumed Returned Adjust Ending
LIQUID Diesel Oil 41588 8427 33161
DAFTAR PUSTAKA

Adam, J. Neal., (1985), Drilling Engineering A Complete Well Planning


Approach, PenWell Publishing Company, Tulsa, Oklahoma.

Arabi Hamed. Hosseinali M., Morteza Rahimarbabi. And Reza Khalili (2013).
Operational Decision Making to Prevent Stuck-Pipe Incidents in One Of
The Iranian Gas Field; A Case Study. Petroleum and Coal Journal. 55(3).
226-233.

Anonim., (1995), Drilling Engineering workbook, Baker Hughes INTEQ, USA.

Bowes, Colin and Procter, Ray., (1997), Driller Stuck Pipe Handbook,
Schlumberger, Scotland.

Darley, H. C. H. and Gray, R. George., (1983), Composition and Properties of


Drilling and Completion Fluids : Fifth Edition, Gulf Professional
Publishing, Houston, Texas.

Hussain Rabia., (1985), Well Engineering and Construction, Graham & Trotman
Inc., London, UK.

Moore Preston L. (1986), Drilling Practice Manual, Penwell Publishing


Company, First Edition, NewYork.

Muhajir Khairul, (2012), Analisa Perbandingan Pengukuran Tekanan Annulus


teori dan Langsung Pada Proses Pengeboran Minyak Bumi. Jurnal
Teknologi Technoscientia. 4 (2). 184-192
Naraghi Morteza E., Peyman Ezzatyar, Saeid Jamshidi. (2013). Prediction of
Drilling Pipe Sticking by Active Learning Method (ALM). Journal of
Petroleum and Gas Engineering. 4(7). 173-183.
Pertamina., (2015), Laporan Akhir Sumur PDW-07 Lapangan Pagardewa, PT.
Pertamina EP.

Rajagukguk, T. P. Rainheart. (2012). Evaluasi Dan Penanggulangannya


Mengatasi Stuck Pipe Pada Pemboran Directional Di Sumur BG-A3
Lapangan Pertamina EP. UPN “Veteran”, Yogyakarta.

Rudi, R., (1993) “Teknik Pemboran I-II”, Jurusan Teknik Perminyakan, Institut
Teknologi Bandung.

Anda mungkin juga menyukai