PENDAHULUAN
Bagi kaum Muslimin, hadits diyakini sebagai sumber hukum pokok setelah
al-Qur‟an. Ia adalah salah satu sumber tasyri‟ penting dalam Islam. Urgensinya
„alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang
terkandung di dalamnya.
Berdasar hal ini umat Islam meyakini bahwa al-Qur‟an dan hadits
merupakan sumber hukum Islam yang tidak bisa dipisahkan dalam kepentingan
istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok yang satu, yaitu nash. Keduanya
Dalam konteks ini Imam Syatibi berkata: "Di dalam istinbath hukum, tidak
Sebab di dalam al-Qur‟an terdapat banyak hal-hal yang masih global seperti
keterangan tentang shalat, zakat, haji, puasa dan lain sebagainya, sehingga tidak
berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus, baik dari Rasulullah SAW
maupun para sahabat, berkaitan dengan penulisannya.
Bahkan secara resmi kodifikasi itu kemudian dilakukan sejak masa khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang waktunya
relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Namun hal itu bukan berarti Rasulullah tidak punya kepedulian terhadap
hadits. Beliau secara khusus telah memberikan anjuran untuk menghafalkan alHadits serta
menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya;
"Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu
Demikian juga para sahabat selalu punya perhatian besar terhadap setiap
secara otomatis akan terekam dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat. Ini
karena para sahabat terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi
menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak
Meski para sahabat menerima hadits dari Rasul SAW dengan jalan
menghafal, bukan berarti hadits yang diterima tersebut tidak ditulis oleh mereka.
Banyak riwayat yang sampai kepada kita bahwa di antara beberapa sahabat ada
yang memiliki catatan-catatan hadits. Salah satunya adalah Abdullah ibn „Amr,
2 Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-As‟asi al-Azdhi al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Bab Keutamaan
Menyebarkan Ilmu), (Dar al-Kitab Arabi, Beirut, Libanon,tth) juz III, hal. 360
kepada cucunya, yaitu „Amr ibn Syu‟aib. Imam Ahmad meriwayatkan sebagian
dengan Rasulullah dirasa perlu dicatat, maka ia akan mencatanya. Tentang adanya
pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai
berikut:
ُ ب َأ ْو ُزٌََٚ ت
ت ُ ْى ُز٠َ ب َُِٔٗ ش َف
َْ ب َو َّْ ِْٓػجْ ِذ ٍِٗاَ ٌ ث
ٍٚ ػ َ
"Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi
yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash,
Tentang penulisan hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa
ك ُ ش
ٌ ط ُِِْٕٗ اٌَِب َؽ ِ غِٟ ِز َٔ ْفٞ ٌَ َفاَٛ ت
ُ ْخ٠َ ِِٖذ َِب١َث ْ ْاو ُز
"Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: "Saya menulis setiap yang saya dengar
dengan berkata; "Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari
3 Nuruddin „Itr. Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadis (Dar al-Fikr, Damaskus, Syiriah. 1399 H/1979
M), hal.
46.
4 Abi Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Mughira al-Ju‟fi al-Bukhari, Shahih
Bukhari
(Kitabul Ilmi): Tahqiq, Muhammad Zahir Nasir ibnu al-Nasir, (Dar Taoqa al-Najah, Bairut,
Libanon, 1422 H)
Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan
yang pernah didengar dari beliau. Setiap berita yang datang dari seorang sahabat
menerimanya.
Dalam kondisi seperti inilah para sahabat mengambil sikap hati-hati dalam
meriwayatkan sebuah hadits. Mereka tidak menerima selain apa yang diketahui
para perawinya, yaitu melalui jalur sanad. Secara bahasa, sanad atau isnad artinya
sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawirawi yang
meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad merupakan
istilah ahli hadits dari sisi periwayatannya. Ia adalah rangkaian para periwayat
yang menyampaikan suatu khabar (berita) dari satu perawi kepada perawi
5 Ahmad Ibnu Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, Musnad Ahmad ibnu Hanbal, Tahqiq oleh Sueb
al-Arnut,
(Mu‟asasah al-Risalah, Beirut, Libanon, 1420 H/1999 M), juz XI, hal. 57.
diriwayatkan itu.6
dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam yakni
mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits),
rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan sahabat yang
sebutkan kepada kami para perawi kalian.!‟ Lalu dilihatlah riwayat ahlu al-Hadits
lantas diterima hadits mereka. Demikian pula, dilihatlah riwayat Ahli Bid‟ah, lalu
dengan melihat dan mempelajari matan (isi) dan sanad-nya sekaligus. Perhatian
kaum Muslimin terhadap kedua hal ini begitu tinggi. Sebab melalui cara ini
kemudian mereka bisa menilai apakah sebuah hadits itu otentik dan akurat, atau
tidak.
dilakukan oleh umat Islam. Pada tradisi di luar Islam, semisal Yahudi dan
Nasrani, tidak mengenal kajian tersebut. Mereka hanya mengenal kajian isi (teks)
Faruq Hamadha, al-Manhaj al-Islaami fi al-Jarh wa al-Ta‟dil Dirasah Manjhajia fi Ulumil Hadits,
(Darul
7 Muslim Ibnu al-Hajaj Abu al-Hasan al-Qusairi al-Naisaburi, al-Musnad al-Shahih al-Muhtashar
binaqli alAdal ani al-Adli ila Rasulillah Shalallhu alaiwasalam, Tahqiq M.Fawaid Abdul Baqi (Dar
Ihya al-Turats,
semata dan tidak mengenal kajian sanad. Ini membuktikan bahwa kajian tentang
sanad atau periwayatan merupakan salah satu keistimewaan umat Islam yang
Allah kepada umat ini, yang tidak ada di agama lain. Adapun riwayat mursal atau
kita sampai Rasulullah. Riwayat orang-orang Yahudi itu hanya sampai pada orang
yang antara dia dengan Musa yang jaraknya lebih dari 30 masa. Mereka hanya
yang tidak dikenal, maka hal ini banyak ditemui di periwayatan Yahudi dan
Nashrani.”8
Pernyataan Ibnu Hazm ini diperkuat adanya bukti sejarah bahwa keempat
penulis kitab Injil yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, tidak pernah
bertemu dengan Nabi Isa alaihissalam. Sejarah tidak dapat memberikan jawaban
siapa yang meriwayatkan injil-injil tersebut dari Nabi Isa a.s. Lagi pula, tidak
Ini berbeda dengan Islam, setiap sumbernya memiliki sanad yang jelas.
Setiap hadits yang diklaim berasal dari Rasulullah SAW mempunyai sanad
8 Abdurahman ibnu Abu Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sarah Taqrib al-Nawawi, Tahqiq Abdul
Wahab
Abdul Latif, (Maktabah Ar-Riyadh al-Hadits, Riyadh, Saudi Arabiyah, tth), juz II, hal. 159
Sulaiman al-Nadwi, al-Risalah al-Muhammadiyyah, (Darul Aman, Kairo, Mesir, cet.1, 1995 M),
hal. 30
Studi sanad hadits yang dimaksud adalah mempelajari mata rantai para
perawi yang ada dalam sanad hadits yang menitikberatkan pada mengetahui
rantai sanad antara seorang perawi dengan yang lain bersambung atau terputus,
dengan mengetahui waktu lahir dan wafat mereka, dan mengetahui segala sesuatu
10
Melalui jalur ini, dimungkinkan penelitian terhadap kebenaran haditshadits dan berita-berita
dengan mengenali para perawinya. Sebab, dalam sanad
adil, tsiqaat dan dhobit. Dan dari sinilah keshahihan suatu berita yang
diriwayatkan menjadi kokoh. Cara ini memberikan rasa tenteram dan percaya
pada berita yang diriwayatkan. Bahkan setelah mempelajari semua unsur yang
tersebut di atas, kemudian memberikan hukum kepada sanad hadits apakah
Karena itulah para ulama menetapkan sanad sebagai bagian penting dalam
dari agama. Sebab tanpa sanad, orang bisa berbicara apa saja sesuai yang
dikehendakinya.11
(keotentikan) suatu nash (teks) atau berita, serta melenyapkan kepalsuan dan
10 Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, tth), hal.9-10
11 Abdul Bary Yahya, The Chain of Command, (al-Magriby Institute, Maryland, Amerika Serikat
tth), hal.
112
kebohongan yang mungkin ada padanya. Dengan cara ini bisa diketahui siapasiapa yang
meriwayatkan sebuah berita. Bila yang meriwayatkan itu orang yang
lebih utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan tanpa
sanad. Alasannya, sanad dalam suatu riwayat dapat digunakan untuk melacak
dilakukan dengan cara yang jauh lebih sempurna dibanding dengan khabar-khabar
mengetahuinya sama dengan mengetahui satu bagian yang besar dalam ilmu-ilmu
Islam. Imam Ali bin al- Madini berkata: "Kefahaman yang mendalam tentang
makna-makna hadits adalah separuh ilmu dan mengenali para perawi adalah
separuh ilmu.”
13
Sebab, hadits yang diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti siapa yang
yang dapat diterima atau ditolak dan mana yang shahih atau tidak. Abdullah bin
al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari
12 Akrom Dhia‟ul Umary, Dirasat Tarikhiyah, (Maktabah al- 'Ubaikaan Riyadh, KSA, cet. 3, tth),
hal 26
13 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih al-Sunnah wa 'Ulum al-Hadits, (Maktab al-
Mathbu'at
agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata
atau tidak. Dengan sanad, para ahli hadits bisa membedakan mana hadits yang
Dengan sanad pula, muncul kesadaran dari umat Islam akan kedudukan
ditetapkan dengan jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian detil, yang
Untuk memenuhi hal itu kemudian para ulama hadits mengarang kitab
yang membahas tentang al-jarh wa al-ta‟dil serta biografi para perawi. Mereka
periwayatan dan keadaan para perawi hadits yang akan menentukan jalur
periwayatannya.
Meski kaum muslimin sepakat bahwa sanad itu penting, namun diantara
ini muncul akibat pergolakan politik di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada
10
masa itu umat Islam terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Khowarij, Syiah dan
Adapun Syiah adalah golongan umat Islam yang sangat mencintai Ali bin
mayoritas umat islam yang tidak mengikuti pendirian Khowarij dan Syiah.15
Perpecahan yang bersifat politis ini membawa pengaruh yang tidak kecil
terhadap jalannya perundang-undangan Islam. Sebab, Khowarij tidak mau
Muawiyah dan sahabat lain yang mendukung pendirian salah satu di antara
mereka. Demikian pula golongan Syiah tidak mau menerima hadits-hadits yang
Ahlussunnah atau Sunni sebagai mayoritas umat Islam menerima setiap hadits
shahih yang diriwayatkan oleh rawi yang kepercayaan dan jujur dengan tidak
15 Abdul Wahhab Khollaf, Khulasoh Tarikh Tasyri' Islam, (Dar al-Qolam, Kuwait, tth), hal. 46-47
16 Ibid hal. 48
11
baik. Demikian juga kaum Syiah masih menyimpan kitab hadits yang sampai
Syi‟ah, dalam kajian ini adalah sekte Imamiyyah atau Itsna „Asyariyah
hadits Syiah ini menarik untuk diteliti dalam sebuah kajian komparasi dengan
kitab hadits Sunni. Dengan membandingkan keduanya, akan diketahui mana yang
17Rafidhah, diambil dari kata yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna, meninggalkan
(al-Qamus alMuhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang
menolak imamah
(kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar, berlepas diri dari keduanya, dan mencela mereka.
(Badzlul Majhud fi
Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah al-Jumaili) Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal
berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab:
„Mereka adalah
orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (Ash-Sharimul Maslul „Ala Syatimir Rasul hal.
567, karya
Ibnu Taimiyyah). Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin
Abu
Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan
di tahun 121
H. (Badzlul Majhud, 1/86). Asy-Syaikh Abul Hasan al-Asy‟ari berkata: “Zaid bin Ali adalah
seorang yang
melebihkan „Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan
Umar, dan
memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia
muncul di Kufah, di
tengah-tengah para pengikut yang membai‟atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan
terhadap Abu
Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya)
meninggalkannya.
Maka ia katakan kepada mereka:“Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan
mereka
1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‟
Fatawa (13/36).
Rafidhah pasti Syi‟ah, sedangkan Syi‟ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi‟ah
membenci Abu
18 Itsna „asyariyah sebuah term dalam bahasa Arab berarti angka dua belas yang diambil dari
jumlah Imam
yang diyakini sebagai kuantitas kepemimpinan yang mutlak. Walaupun terdapat perbedaan
pendapat namun
mereka sepakat bahwa akan muncul Imam yang ke-dua belas sebagai Imam “al Muntadzar”.
Kelompok ini
merupakan Syi‟ah terbesar saat ini. Ia merupakan pecahan dari Syi‟ah Imamiyah. (Lihat
Muhammad bin
12
memilih jalur periwayatan kitab hadits Syiah ini sebagai objek kajian penelitian
3. Sebagai salah satu firqah yang masih eksis sampai sekarang, Syiah Itsna
Kitab ini di satu sisi dianggap sebagai alternatif oleh kalangan tertentu di dunia
Islam, terutama penganut dan pengagum Syiah, tetapi di sisi lain cukup
hadits yang berbeda dengan mayoritas kaum Muslimin. Ini tentu saja tidak
13
Perbedaan ini tidak pelak memunculkan perbedaan dengan Sunni dalam persoalan
periwayatan sendiri sehingga kitab rijalnya juga berbeda dengan Sunni. Perbedaan