Anda di halaman 1dari 13

TUGAS 4

Seni Budaya

Kliping Biografi Pelukis

Nama: Mauritsa Putri Dewanti

Kelas: Xl IPS 2

SMAN 1 SUMBER

Jalan Sunan Malik Ibrahim No.4


 Lukisan Karya Henk Ngantung

Judul : Tanah Lot


Media : Canvas , Acrylic paint
Tahun Pembuatan : 1935-1973
Dimensi Karya : cm x 143 cm x 84,5 cm
Alasan memilih lukisan ini: karena lukisan ini menarik dan nyata didunia.

Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau yang lebih dikenal dengan nama Henk Ngantung
adalah seorang pelukis Indonesia dan Gubernur Jakarta untuk periode 1964-1965. Henk
merupakan seorang pelukis dan budayawan dari organisasi Lekra yang pada saat itu
berafiliasi ke PKI. Sebagai pengurus Lekra ia juga memprakarsai berdirinya Sanggar Gotong
Royong. Karya-karya Henk yang masih bisa dinikmati khalayak seperti Dia juga pembuat
sketsa Tugu Tani sebelum bangunan monumen di Jalan Ridwan Rais itu berdiri. Karya
terakhir Henk adalah sebuah lukisan berjudul Ibu dan Anak. Lukisannya yang bejudul
‘Digiring Ke Kandang, mendapat Hadiah karya lukisan terbaik dari Keimin Bunka Sidosho
(1942)
Henk Ngantung tercatat sebagai orang etnis Tionghoa dan orang non-Muslim pertama
yang menjadi gubernur Jakarta. Sialnya, tak lama setelah Henk ditunjuk Presiden Soekarno
sebagai gubernur, ia dicopot tanpa sebab yang jelas.Padahal, Henk punya kedekatan
dengan Soekarno yang disinyalir berawal dari dunia seni.Henk seorang pelukis andal yang
beberapa kali diminta Soekarno mendesain sejumlah monumen, termasuk Tugu Selamat
Datang dan Monumen Pembebasan Irian Barat.Tahun 1965, aroma kekuasaan Soeharto
mulai jelas tercium.Karier Henk sebagai birokrat betul-betul tamat ketika ia dicap sebagai
“pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia)”. Cap yang kemudian jadi kegemaran rezim Orde
Baru di bawah Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan otoriternya.Tidak jelas dari mana
tuduhan “pengikut PKI” itu berasal.Label itu jadi semacam wabah sampar yang diceritakan
filsuf Perancis-Aljazair, Albert Camus. Cap “pengikut PKI” mampir begitu saja tanpa sebab,
melekat tanpa dapat disembuhkan, dan membunuh korbannya yang tak tahu apa-apa.
Dalam kasus cap PKI terhadap Henk, pria kelahiran Manado, 1 Maret 1921, itu tak pernah
disidang dan diberi kesempatan untuk membela diri. Cap PKI merontokkan karier Henk. Istri
Henk, Hetty Evelyn Ngantung Mamesah, mengenang betapa karier suaminya mendadak
punah medio 1965, era ketika ratusan ribu hingga jutaan orang dituduh komunis.“Pagi-pagi
di depan rumah kami di Tanah Abang II banyak RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan
Darat) sedang mengepung tangsi Tjakrabirawa. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kehidupan
kami selanjutnya menjadi susah hingga harus jual rumah,” kata Evelyn dalam berita harian
Kompas pada 9 Juni 2006.Tragedi yang menimpa kehidupan Henk dan istri bermula pada
sekitar Gerakan 30 September (G30S) 1965. Peristiwa itu juga yang memaksa Henk dan
Evelyn melego rumah mereka di kawasan cukup elite, Jalan Tanah Abang II, Jakarta. “Kami
jual rumah itu karena tidak punya uang lagi. Kan sejak Pak Henk dicopot sebagai gubernur
tahun 1965, Pak Henk tidak diberi pensiun. Sampai akhirnya tahun 1980, baru diberi uang
pensiun oleh pemerintah,” ujar Evelyn (harian Kompas edisi 14 Oktober 2012). Uang hasil
penjualan rumah di Jalan Tanah Abang II itu digunakan untuk membeli rumah di
permukiman padat penduduk di pinggir Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, seharga Rp 5,5
juta.
Sejak 12 Desember 1991, Evelyn tetap tinggal di rumah mereka di gang sempit Jalan
Dewi Sartika. Henk telah tutup usia saat itu. Istri mantan gubernur Jakarta itu mesti tidur di
kolong atap rumah yang hampir seluruhnya bocor. “Saya bertahan di rumah ini karena
penuh kenangan dengan Pak Henk,” tutur Evelyn (Kompas 14 Oktober 2012). Banyak
ruangan di rumah itu yang tak bisa lagi dipakai. Beberapa foto dan lukisan (Henk seorang
pelukis) akhirnya hanya ditaruh di kursi karena tidak aman jika dipajang di dinding. Begitu
pula dengan tumpukan sketsa karya tangan Henk mangkrak dalam lemari. Salah satunya
sketsa Tugu Selamat Datang. Satu-satunya ruangan yang aman ialah dapur. Saban hari,
Evelyn tidur di sini. “Hanya tinggal ruangan ini yang aman untuk tidur. Yang lain sudah bocor
atapnya,” ujarnya. Lima belas tahun sejak dicopot dari jabatannya, Henk kemudian diberi
uang pensiun oleh pemerintah. Jumlahnya “hanya” Rp 850.000 per bulan. Uang itu tak
cukup buat sekadar menambal aneka kerusakan di rumah tersebut.Setelah Henk meninggal,
hanya uang pensiun inilah yang diandalkan Evelyn buat melanjutkan hidup. Baru pada 24
April 2013 Pemprov DKI Jakarta berjanji akan memugar atap rumah Henk yang rusak parah.
Ketika Henk Ngantung menjadi Gubernur DKI Jakarta, bidang seni dan budaya Ibu Kota
menjadi melesat. Sebelum jadi gubernur, Henk Ngantung dikenal sebagai pelukis tanpa
pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut medirikan Gelanggang.
Henk Ngantung juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok
pada 1955-1958. Henk Ngantung diangkat sebagai Gubernur Jakarta pada 1964, ia dianggap
memiliki bakat artistik sehingga diharapkan mampu untuk menjadikan Jakarta sebagai kota
budaya.
Tugu Selamat Datang yang menggambarkan sepasang pria dan perempuan yang sedang
melambaikan tangan yang berada di bundaran Hotel Indonesia merupakan hasil sketsa
Henk Ngantung. Ide pembuatannya berasal dari Presiden Soekarno dan desain awalnya
dikerjakan oleh Henk Ngantung yang saat itu merupakan wakil Gubernur DKI Jakarta. Henk
juga membuat sketsa lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad namun ironisnya, hal
tersebut belum diakui oleh pemerintah.
 Lukisan Karya Basuki Abdullah

Judul : Lukisan Fadjar


Media : Oil paint , Canvas
Tahun Pembuatan : 1940-1960
Dimensi Karya : cm x 200 cm x 100 cm
Alasan memilih lukisan ini : lukisan ini terlihat sangat nyata dan cantik
Basoeki Abdullah lahir di Desa Sriwidari, Surakarta (Solo) Jawa Tengah pada Tanggal 27
Januari 1915, dari pasangan R. Abdullah Suryosubroto dan Raden Nganten Ngadisah.
Kakeknya adalah dokter Wahidin Sudirohusodo (1857-1917), salah seorang tokoh sejarah
Kebangkitan Nasional Indonesia, pada awal tahun 1900-an. Bakat melukis Basoeki Abdullah
terwarisi dari ayahnya Abdullah Suryosubroto.
Basuki Abdullah merupakan pelukis beraliran realis dan naturalis, yang pernah
memenangi sayembara melukis Ratu Juliana pada 1948, mengalahkan 87 pelukis Eropa. Ia
pun sempat dipilih oleh Presiden Soekarno sebagai pelukis langganan istanaBerkat
keahliannya dalam bidang seni lukis, Basuki Abdullah mendapatkan panggilan untuk melukis
raja, kepala negara, dan mengadakan pameran lukisanya di mancanegara, seperti di
Singapura, Italia, Portugal, Inggris, dan beberapa negara lainnya.Peran Basuki Abdullah
dalam kancah internasional itu membuatnya disebut sebagai duta seni lukis Indonesia.
Pada 1939, karya yang telah dihasilkan oleh Basuki Abdullah di Eropa dibawa ke
Indonesia untuk dipamerkan.Pameran itu dilakukan di beberapa kota, di antaranya di
Surakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan Medan.Pada masa
pendudukan Jepang di Indonesia, ia bergabung dalam organisasi Putera atau Pusat Tenaga
Rakyat yang dibentuk pada 19 Maret 1943.Dalam organisasi ini, ia bertugas sebagai guru
seni lukis. Beberapa muridnya adalah Kusnadi dan Zaini.Selain itu, Basuki juga aktif dalam
Keimin Bunka Shidoso (Lembaga Kebudayaan buatan Jepang) bersama maestro pelukis
lainnya, yaitu Affandi, S Sudjojono, Otto Djaya, dan Basuki Resobowo.
Selama masa kemerdekaan hingga beberapa tahun setelahnya, Basuki diketahui tinggal
di Eropa dan aktif menggelar pameran di Belanda dan Inggris antara 1945-1949.Pada 1948,
dilakukan sayembara melukis saat penobatan Ratu Juliana di Belanda. Basuki menjadi salah
satu pesertanya.Bahkan, Basuki berhasil memenangkan sayembara melukis Ratu Juliana,
mengalahkan 87 pelukis Eropa yang menjadi peserta dalam kompetisi tersebut.Sejak saat
itu, namanya semakin mencuat. Pada 1949, ia sempat melukis Bung Hatta, M. Roem, dan
Sultan Hamid II, dalam rangka Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.Basuki
Abdullah terkenal dengan lukisan potret. Selain itu, ia juga senang menggambar
pemandangan alam, flora, dan fauna.Karya Basuki Abdullah berhasil membuat banyak pihak
terkesima. Ia pun mendapatkan panggilan untuk melukis raja, kepala Negara, dan
mengadakan pameran lukisannya di beberapa negara.
Pameran tunggalnya pernah diselenggarakan di Singapura (1951 dan 1958), Italia
(1955), Portugal dan Inggris (1956), Malaysia (1959), Jepang (1959), dan Thailand
(1960).Basuki Abdullah juga pernah mendapatkan penghargaan dan menjadi pelukis istana
kerajaan Thailand. Bahkan, total ada sekitar 22 negara yang memiliki lukisan karyanya.Berkat
perannya dalam mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, Basuki Abdullah
disebut-sebut sebagai duta seni lukis Indonesia.Ia pun dipilih oleh Presiden Soekarno sebagai
pelukis langganan istana.
 Lukisan Karya Barli Sasmitawinata

Judul : Di Pasar
Medium : Oil paint , Canvas
Tahun Pembuatan : 2004
Dimensi Karya : cm x 40 cm x 30 cm
Alasan memilih lukisan ini : lukisan ini relate karena seperi kehidupan
ekonomi di kehidupan nyata.

Barli Sasmitawinata lahir pada 18 Maret 1921 di Kota Bandung. Ia mengejar karier di
dunia seni berkat dorongan kakak iparnya.Pada awalnya, ia diminta untuk belajar seni lukis
di studio milik Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia, yang menetap di Bandung.Di
bawah bimbingan Jos Pluimentz, Barli mempelajari berbagai macam teknik melukis, salah
satunya adalah realis atau naturalis saat itu sedang naik daun di dunia seni lukis. Selain
belajar dengan Pluimentz, ia juga sempat berguru kepada seniman asal Italia yang bernama
Luigi Nobili.Ketika berada di bawah bimbingan Luigi Nobili inilah, Barli bertemu dengan
Affandi, yang saat itu menjadi model lukis Nobili.

Pertemuan Barli Sasmitawinata dengan Affandi di studio lukis milik Luigi Nobili
membawanya berkenalan dengan beberapa seniman lainnya. Mereka kemudian
membentuk kelompok seni yang dinamai Kelompok Lima Bandung, pada 1930-an.Kelompok
Lima Bandung dianggap sebagai salah satu kelompok seni yang berpengaruh besar terhadap
perkembangan seni rupa di Indonesia.Hal ini dibuktikan dengan munculnya seniman-
seniman berbakat dari Kelompok Lima Bandung pada saat itu.Kelompok Lima Bandung
terkesan santai, tetapi sangat fokus ketika berurusan dengan seni lukis.

Pada 1948, Barli Sasmitawinata bersama rekannya, Karnedi dan Sartono, mendirikan
studio lukis Jiwa Mukti.Dua tahun berselang, ia mendapatkan beasiswa dan berkesempatan
untuk belajar di Academie Grande de la Chaumiere, Paris, Perancis.Selepas menamatkan
pendidikannya di Perancis pada 1956, Barli meneruskan studinya di Rijksacademie voor
Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda.Selama belajar di Perancis dan Belanda, Barli juga
sempat bekerja sebagai ilustrator untuk beberapa majalahDi sana, ia mendapatkan
pengetahuan di bidang seni lukis realistik. Ilmu ini seperti prinsip melukis anatomi secara
intensif, yang menjadi pelajaran penting bagi pelukis Eropa.Setelah menamatkan
pendidikannya di Eropa, Barli Sasmitawinata kembali ke Bandung pada 1958 dan langsung
mendirikan sanggar lukis Rangga Gempol.

Sanggar seni ini masih bertahan hingga sekarang, tetapi berubah nama menjadi Bale
Seni Barli di Padalaran, Barli kemudian menjadi dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Tekologi Bandung (ITB).Barli juga berperan dalam berdirinya program studi
pendidikan seni rupa di IKIP Bandung, yang sekarang berubah menjadi Universitas
Pendidikan Indonesia.Beberapa muridnya yang terkenal adalah But Mochtar, Srihadi
Sudarsono, AD Pirous,Abas Alibasyah, Suparto, Popo Iskandar, Anton Huang, Roedyat, Rudi
Pranadjaya, dan sederet nama lain.

Ia juga pernah menerima penghargaan Satyalancana Kebudayaan dari presiden pada


tahun 2000.Pada 2004, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengadakan pameran di
Galeri Nasional yang ditujuan sebagai bentuk penghargaan kepada Barli
Sasmitawinata.Selain itu bentuk penghargaan lain pernah ditunjukkan oleh PT POS Indonesia
dengan menerbitkan perangko bergambar Barli.Setelah lama berkecimpung di dunia seni
lukis, Barli Sasmitawinata meninggal pada 8 Februari 2007 di Bandung.

 Lukisan Karya S Sudjojono


Judul : Makan Nasi
Media : Canvas , Oil paint
Tahun Pembuatan : 1956
Dimensi Karya : cm x 81 cm x 99 cm
Alasan memilih lukisan ini : unik dari segi judul

Soedjojono lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, Mei 1913. Ayahnya,
Sindudarmo, adalah mantri kesehatan di perkebunan karet Kisaran, Sumatra Utara. Sang ibu
bernama Marijem yang bekerja sebagai seorang buruh perkebunan. Sewaktu kecil,
Sudjojono mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School atau sekolah kolonial
Belanda, tahun 1925. Setamatnya dari HIS, ia lanjut bersekolah di Sekolah Menengah
Pertama di Cimahi dan menyelesaikan sekolah guru di Taman Guru, Perguruan Taman Siswa,
Yogyakarta. Sewaktu di Yogyakarta, ia sempat belajar sebagai montir sebelum belajar
melukis kepada RM Pirngadie selama beberpa bulanKemudian, ketika berada di Jakarta,
Sudjojono belajar kepada pelukis Jepang, Chioyi Yazaki.
Setelah belajar melukis, Sudjojono akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kariernya
sebagai seorang pelukis. Ia menjadi pelukis dan juga pemikir yang melalui karya dan tulisan-
tulisannya dapat membangun seni rupa Indonesia yang beridentitas Indonesia.Menurut
Sudjojono, lukisan jangan hanya menggambarkan sawah-sawah yang menguning dan
gunung yang biru, tetapi realitas keadaan pada saat itu. Santy Saptari, kurator Pameran
Mukti Negeriku mengatakan bagi Sudjojono, seni harus berperan dalam kehidupan
masyarakat"Seni itu harus berperan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan harus
membantu memecahkan masalah-masalah sosial, politik, intinya demi kesejahteraan
masyarakat," kata Santy.Selain sebagai pelukis, Sudjojono juga dikenal sebagai salah satu
kritikus seni rupa pertama di Indonesia. Lukisannya memiliki ciri khas kasar, goresan, dan
sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol kepada kondisi
faktual bangsa Indonesia yang diekspresikan secara jujur apa adanya. "S"Sudjojono itu
ternyata mempunyai kemampuan riset yang sangat unik, cara kerjanya juga sangat rapi, dan
sistematis", ujar Santy.Sepanjang kariernya sebagai pelukis, Sudjojono telah menyusun
perbendaharaan potret diri yang cukup besar, 10-20 karya dalam rentang waktu hampir 30
tahun.Dalam karyanya, Sudjojono ingin mencerminkan isi hati dan pikirannya dalam
berbagai periode hidupnya, serta gambaran bagaimana ia melihat dirinya sendiri.
S Sudjojono juga tentunya sangat aktif terlibat dalam organisasi-organisasi seni pertama
di Indonesia, seperti Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), tahun 1940.Kemudian,
Poetra dan Seniman Indonesia Muda (SIM) tahun 1946.Peran dari masing-masing organisasi
ini memang berbeda, tetapi tetap berperan penting dalam usaha membangun semangat
nasionalisme saat itu sewaktu menuju kemerdekaan.Pada masa Orde Lama, ia pernah
tergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra) dan Partai Komunis Indonesia
(PKI).Namun, tahun 1957, ia dipecat dari partai karena melakukan pelanggaran etik
mengenai ketidaksetiaannya terhadap keluarga/istri.Tahun 1959, Sudjojono bercerai dari
istri pertamanya, Mia Bustam, karena telah secara sembunyi-sembunyi menjalin hubungan
selama beberapa tahun dengan Rosalina Poppeck, seorang penyanyi,Pada akhirnya,
keduanya menikah, nama Rosalina pun berubah menjadi Rose Pandanwangi.
 Lukisan Karya Bagong Kussudiardja

Judul : Tulang Belulang Berserakan


Media : Oil paint , Canvas
Tahun Pembuatan : 1970
Dimensi Karya : cm x 295 cm x 225 cm
Alasan memilih lukisan ini : lukisan ini seperti menggambarkan tentang kehidupan
zaman purba.
Bagong Kussudiardja lahir di Yogyakarta 9 Oktober dari pasangan Orang tua bernama
RB Tjondro Sentono dan Siti Aminah. Dari hasil perkawinan RB Tjondro Sentono dan Siti
Aminah, lahirlah Kus Sumarbirah, Bagong Kussudiardja, Handung Kussudyarsana, dan
terakhir Lilut Kussudyarto. Kakeknya, Gusti Djuminah konon adalah putra mahkota Sultan HB
VII yang karena membelot, terpaksa harus menjalani hukuman kurantil (pengasingan). Masa
kecilnya yang sulit, kendati ia cucu G.P.H. Djuminah, kakak Sri Sultan Hamengkubuwono VIII,
membuat Bagong suka bekerja keras. Ayahnya, pelukis wayang dan penulis aksara Jawa,
kurang mampu menopang kehidupan keluarga. Bagong harus melakoni berbagai pekerjaan
seperti menambal ban dan jadi kusir andong.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Bagong Kussudiardja mengukuhkan diri
untuk megembangkan pemahamannya tentang seni klasik. Dia mempejari tarian Jepang dan
India. Bagong memulai kariernya sebagai penari Jawa klasik di Yogyakarta pada 1954. Ia
berkenalan dengan seni tersebut melalui Sekolah Tari Kredo Bekso Wiromo, yang dipimpin
oleh Pangeran Tedjokusumo, seniman tari ternama. Selama 1957-1958, dia berlatih di
Amerika Serikat di bawah asuhan Martha Graham. Gurunya itu adalah seorang pakar tari
legendaris yang terkenal degan tekniknya yang mendobrak batasan-batasankala itu. Setelah
menempa diri di Amerika Serikat dan kembali ke Tanah Air, Bagong Kussudiardja
menggabungkan gerakan-gerakan modern yang dipelajarinya untuk mengangkat pamor
tarian tradisional Indonesia. Bagong mendirikan Pusat Latihan Tari (PLT) pada 5 Maret 1958
dan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja pada 2 Oktober 1978. Selama hidupnya, lebih dari
200 tari telah diciptakan, dalam bentuk tunggal atau massal, diantaranya; tari Layang-layang
(1954), tari Satria Tangguh, dan Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih (1968), juga Bedaya
Gendeng (1980-an).
Kakek enam cucu ini juga pelukis, bahkan termasuk perintis seni lukis batik
kontemporer. Ia dikenal dengan lukisan batik cat minyak dan cat airnya. Dia mengerjakan
berbagai gaya termasuk impresionisme, abstrak, dan realisme. Semua lukisannya
mencitrakan aspek mitos dan mistik dari kultur Jawa, pemandangan, dan tentu saja tari Bali
dalam guratannya yang penuh warna.Untuk lukisan abstraknya yang dipamerkan di Dacca, ia
beroleh medali emas dari pemerintah Bangladesh pada 1980. Ia juga pernah bermain film,
antara lain dalam Kugapai Cintamu.

Pentas Seni
 Pada Desember 1984, Bagong memulai perjalanan lima bulan ke tujuh negara Eropa.
Bersama 14 penari, ia mengadakan 69 kali kegiatan: pentas tari, seminar, lokakarya,
pameran batik, dan demonstrasi melukis batik.
 Pada Hari Kebangkitan Nasional di Jakarta, 20 Mei 1985, ia mempertunjukkan Pawai
Lintasan Sejarah Indonesia, didukung 710 penari dan figuran.

 Juni 1985, Bagong beserta 100 penari muncul di pesisir Parangtritis, 27 km di selatan
Yogyakarta. Pentas tari kreasinya berjudul Kita Perlu Berpaling ke Alam dan Bersujud
pada-Nya.
 Agustus 1985, ia dengan 15 penari manggung di Malaysia, mementaskan tari Gema
Nusantara, Igel-igelan, dan Ratu Kidul.
 Pada 5 Oktober 1985 di Jakarta, ia menampilkan Pawai Lintasan Sejarah ABRI yang
melibatkan 8.000 seniman, militer, hansip, dan veteran.

Pada 1985, ia menerima Hadiah Seni Pemerintah RI, dan penghargaan Sri Paus Paulus VI
atas fragmennya Perjalanan Yesus Kristus.
Bagong Kussudiardja meninggal di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta pada 15 Juni 2004.
Dia meninggalkan 3 anak laki-laki dan 4 anak perempuan yaitu Butet Kertaradjasa, Djaduk
Ferianto, Otok Bima Sidharta, Elia Gupita, Rondang Ciptasari, dan Ida Manutranggana.

Anda mungkin juga menyukai