TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit
2.3.1 Definisi Kulit
Kulit adalah organ terbesar tubuh manusia yang menutupi seluruh permukaan
luar tubuh. Pada tubuh manusia dewasa, kulit membentuk sekitar 16 % dari berat
badan dan meliputi area seluas 1,5 sampai 2 m2 . Kulit dan struktur asesorisnya
membentuk sistem integumen. Sistem integumen rentan terhadap berbagai
penyakit, gangguan, dan cedera. Kulit memberikan perlindungan menyeluruh bagi
tubuh dan bertanggung jawab lebih dari sekedar estetika tubuh. Kulit terdiri dari
tiga lapisan, epidermis, dermis, dan hipodermis, anatomi dan fungsi dari ketiganya
sangat bervariasi (Kolarsick et al., 2011; Biga et al., 2020).
2.3.2 Fungsi Kulit
Kulit dan struktur aksesorinya memiliki berbagai fungsi penting, seperti
melindungi tubuh dari invasi mikroorganisme, bahan kimia, dan faktor lingkungan
lainnya; mencegah dehidrasi; bertindak sebagai organ sensorik; memodulasi suhu
tubuh dan keseimbangan elektrolit; dan mensintesis vitamin D. Hipodermis yang
mendasari peran penting dalam menyimpan lemak, membentuk "bantalan" di atas
struktur di bawahnya, dan menyediakan sistem isolasi dari suhu dingin (Biga et al.,
2020). Berikut penjelasan tentang fungsi sistem integumen menurut Biga et al.
(2020).
1) Perlindungan
Kulit melindungi seluruh tubuh dari elemen dasar alam seperti angin, air,
dan sinar UV dengan bertindak sebagai penghalang fisik, kimia, dan biologis.
Kulit bertindak sebagai penghalang atau pelindung terhadap hilangnya air dari
tubuh. Hal ini terjadi karena adanya lapisan keratin dan glikolipid di lapisan
epidermis. Hal ini juga merupakan garis pertahanan pertama terhadap aktivitas
abrasif karena kontak dengan pasir, mikroba, atau bahan kimia yang berbahaya.
Keringat yang dikeluarkan dari kelenjar keringat mencegah mikroba
mengkolonisasi permukaan kulit secara berlebihan dengan menghasilkan
dermicidin yang memiliki sifat antibiotik. Kulit memiliki lingkungan yang
gersang dengan pH asam yang membuatnya tidak ramah bagi mikro organisme.
6
7
2) Fungsi Sensorik
Ilustrasi menggambarkan fakta bahwa seseorang bisa merasakan semut
merayap di kulinya, kemudian akan timbul keinginan untuk menjentikkannya
sebelum digigit oleh semut. Hal ini terjadi karena kulit terutama rambut yang
menonjol dari folikel rambut di kulit dapat merasakan perubahan lingkungan.
Pleksus akar rambut yang mengelilingi pangkal folikel rambut dapat
merasakan gangguan, dan kemudian mengirimkan informasi tersebut ke saraf
pusat sistem (otak dan sumsum tulang belakang) yang kemudian dapat
merespon dengan mengaktifkan otot rangka mata seseorang untuk melihat
semut dan otot rangka tubuh untuk melawan semut. Kulit bertindak sebagai
organ indera karena epidermis, dermis, dan hipodermis mengandung saraf
sensorik khusus struktur yang mendeteksi sentuhan, suhu permukaan, dan
nyeri. Reseptor ini lebih terkonsentrasi di ujung jari, yang paling sensitif
terhadap sentuhan, terutama sel darah Meissner (sel sentuhan) yang merespon
sentuhan ringan, dan sel darah Pacinian (sel darah lamellated), yang merespon
getaran.
Gambar 2.1 Mikrograf Cahaya Sel Darah Meissner (Biga et al., 2020)
Sel darah Meissner adalah sejenis reseptor sentuh yang terletak di dekat
papilla dermal ke membran basal dan stratum basale dari epidermis atasnya.
Selain reseptor khusus ini, terdapat saraf sensorik terhubung ke setiap folikel
8
rambut, reseptor rasa sakit dan suhu yang tersebar di seluruh kulit, dan saraf
motorik mempersarafi otot dan kelenjar arrector pili. Persarafan yang kaya ini
membantu seseorang merasakan lingkungan dan memberikan reaksi yang
sesuai.
3) Termoregulator
Sistem integumen membantu mengatur suhu tubuh melalui hubungan yang
erat dengan sistem saraf simpatis. Kelenjar keringat pada struktur aksesori kulit
bertugas mengeluarkan air, garam, dan zat lain untuk mendinginkan tubuh saat
suhu tubuh menjadi hangat. Jika tubuh menjadi terlalu hangat karena suhu
tinggi, aktivitas yang kuat atau kombinasi kedua kondisi tersebut, kelenjar
keringat akan dirangsang oleh sistem saraf simpatis untuk menghasilkan
jumlah keringat yang besar, sebanyak 0,7 hingga 1,5 L per jam untuk orang
yang aktif. Saat keringat menguap dari permukaan kulit, maka tubuh
didinginkan saat panas tubuh telah hilang. Selain berkeringat, arteriol di dermis
membesar sehingga panas berlebih yang dibawa oleh darah dapat hilang dari
kulit dan lingkungan sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya
kemerahan pada kulit, ditinjau dari pengalaman seseorang saat berolahraga.
Jika suhu kulit turun terlalu banyak (seperti suhu lingkungan di bawah titik
beku), konservasi panas inti tubuh bisa mengakibatkan kulit benar-benar
membeku, suatu kondisi yang disebut radang dingin (frostbite).
4) Sintesis Vitamin D
Lapisan epidermis kulit mensintesis vitamin D saat terkena radiasi UV.
Saat terpapar sinar matahari kulit membentuk vitamin D3 yang disebut
cholecalciferol yang disintesis dari turunan kolesterol steroid di kulit. Hati
mengubah kolekalsiferol menjadi kalsidiol, yang kemudian diubah menjadi
kalsitriol (bentuk kimia aktif vitamin) di ginjal. Vitamin D penting untuk
penyerapan normal kalsium dan fosfor, yang dibutuhkan untuk kesehatan
tulang. Tidak adanya paparan sinar matahari dapat menyebabkan kekurangan
vitamin D dalam tubuh, sehingga menyebabkan kondisi yang disebut rakhitis.
Kondisi dimana tulang cacat karena kekurangan kalsium, menyebabkan kaki
bengkok. Lansia yang menderita kekurangan vitamin D dapat menyebabkan
kondisi yang disebut osteomalacia. Saat ini, vitamin D ditambahkan sebagai
suplemen dalam makanan termasuk susu dan jus jeruk untuk mengimbangi
kebutuhan akan paparan sinar matahari
2.3.3 Anatomi Kulit
Gambar 2.3 Anatomi kulit manusia (Yousef, Alhajj and Sharma, 2020)
10
Lapisan epidermis terdiri dari empat lapisan meliputi stratum basale (bagian
terdalam dari epidermis), stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum,
dan stratum korneum (bagian paling dangkal dari epidermis).
1) Stratum basale
Stratum basale (stratum germinativum) adalah lapisan terdalam membran
basal (lamina basal) menjadi pemisah antara dipisahkan epidermis dan dermis
dan dilekatkan oleh hemidesmosom. Sel-sel yang ditemukan di lapisan ini
berbentuk kuboid hingga kolumnar sel induk aktif mitosis yang terus-menerus
memproduksi keratinosit. Lapisan ini juga mengandung sel melanosit yang
menghasilkan pigmen melanin. Melanin memberi warna pada rambut dan kulit,
dan juga membantu melindungi DNA dalam inti sel hidup dari epidermis dari
kerusakan radiasi ultraviolet (UV).
2) Stratum spinosum
Stratum spinosum juga dikenal sebagai lapisan sel prickle, mengandung
sel polihedral yang tidak teratur selama proses sitoplasma. Stratum spinosum
terdiri dari 8-10 lapisan keratinosit yang terbentuk sebagai hasil pembelahan
sel di stratum basale. Di antara keratinosit pada lapisan ini merupakan dapat
ditemukan jenis sel dendritik yang disebut sel Langerhans yang berfungsi
sebagai makrofag untuk fagosit bakteri, partikel asing, dan sel rusak yang
terjadi di lapisan ini.
3) Stratum Granulosum
Stratum Granulosum terdiri dari 3-5 lapis sel, berisi sel berbentuk diamond
dengan butiran keratohyalin dan butiran lamelar. Butiran keratohyalin
mengandung prekursor keratin yang akhirnya berkumpul, berikatan silang, dan
membentuk bundel. Butiran lamelar mengandung glikolipid yang disekresikan
ke permukaan sel dan berfungsi sebagai lem, menjaga sel-sel saling menempel.
4) Stratum Lucidum
Stratum Lucidum merupakan lapisan bening tipis yang terdiri dari eleidin
yang merupakan produk transformasi dari keratohyalin. Stratum Lucidum
terdiri dari 2-3 lapisan sel dan terletak tepat di atas stratum granulosum dan di
bawah stratum korneum. Terdapat pada kulit lebih tebal seperti di telapak
tangan dan telapak kaki. Sel-sel stratum Lucidum padat dengan eleiden, protein
12
bening yang kaya lipid, berasal dari keratohyalin, yang memberi sel-sel ini
penampilan transparan (bening) dan menjadi barrier to water.
5) Stratum Corneum
Stratum Corneum terdiri dari 20-30 lapisan sel. Stratum Corneum
merupakan lapisan paling atas, terdapat keratin dan sisik tanduk yang terdiri
dari keratinosit mati yang dikenal sebagai sel skuamosa anukleat. Stratum
Corneum adalah lapisan yang paling bervariasi ketebalannya. Dalam lapisan
ini, keratinosit yang mati mengeluarkan defensin yang merupakan bagian dari
pertahanan pertama tubuh seseorang.
2.1.4.2 Dermis
Lapisan dermis terletak dibawah lapisan epidermis. Lapisan ini terdiri dari dua
jaringan ikat yaitu :
1) Lapisan Papilar
Lapisan papilar adalah jaringan ikat areolar renggang yang terdiri dari
fibroblast, sel mast, dan makrofag. Pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh
darah yang berfungsi untuk memberikan nutrsi pada jaringan di sekitarnya.
2) Lapisan Retikular
Lapisan retikular, yaitu bagian yang menonjol ke arah subkutan. Lapisan
retikular tersusun atas jaringan ikat yang rapat, kolagan, serta serat elsatik.
Semakin bertambahnya usia maka fungsi lapisan retikular akan semakin
menurun sehingga dapat menyebabkan terjadinya keriput pada kulit.
2.1.4.3 Hipodermis
Lapisan hipodermis merupakan lapisan yang terletak di bawah lapisan
dermis. Tidak ada garis yang memisahkan kedua lapisan ini sehingga terlihat seperti
menyatu. Lapisan ini mengandung banyak sel berlemak dan bergantung pada lokasi
tubuh. Hipodermis berisi banyak sel saraf dan pembuluh darah yang mengangkut
nutrisi.
13
2.2 Luka
2.2.1 Definisi Luka
Luka dapat diartikan sebagai gangguan pada kontinuitas lapisan epitel kulit
atau mukosa yang disebabkan oleh trauma fisik, kimiawi atau termal sehingga
mengakibatkan terganggunya fungsi dan anatomis normal dari kulit (Dhivya,
Padma dan Santhini, 2015; Tavakoli dan Klar, 2020). Angka kejadian luka
memiliki prevalensi mencapai jutaan kasus pertahunnya. Prevalensi pasien luka di
Indonesia dengan angka tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara yaitu 75,6%
dan jenis luka tertinggi yang dialami penduduk Indonesia adalah luka lecet sebesar
64,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, 2018).
2.2.2 Jenis-Jenis Luka
Berdasarkan sifat proses perbaikannya, Tavakoli dan Klar (2020)
mengklasifikasikan luka menjadi dua kategori utama sebagai berikut:
1) Luka Akut
Luka akut adalah luka yang dapat sembuh total dalam jangka waktu kurang
lebih 8-12 minggu. Luka akut sebagian besar disebabkan oleh cedera mekanis,
seperti kontak gesekan antara kulit dan permukaan keras (misalnya pisau),
penetrasi tembakan senjata, dan sayatan bedah. Sebaliknya, luka akut terutama
disebabkan oleh bahan kimia dan luka bakar setelah radiasi, bahan kimia
korosif, listrik, dan cedera termal.
2) Luka Kronis
Luka kronis didefinisikan sebagai luka yang menunjukkan penyembuhan
tertunda (lebih dari 12 minggu) setelah cedera awal. Luka kronis sebagian
besar disebabkan oleh kerusakan jaringan berulang atau kondisi fisiologis
seperti diabetes, gangguan angiogenesis dan persarafan. Luka kronis biasanya
terjadi akibat faktor lain dari pasien seperti penyakit kronis penyerta, infeksi,
dan perawatan primer yang buruk. Berdasarkan etiologi penyebabnya, Wound
Healing Society membagi luka kronis menjadi empat kategori yang berbeda
yaitu ulkus-pressure, ulkus diabetes, ulkus vena, dan ulkus insufisiensi arteri.
Berdasarkan tingkat kontaminasinya, menurut Herman dan Bordoni (2010)
menyatakan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
mengklasifikasikan luka menjadi empat kategori sebagai berikut:
14
1) Luka Class 1
Luka kelas 1 adalah luka bersih (clean wounds). Luka akibat pembedahan tidak
akan mengakibatkan infeksi, peradangan, dan utamanya luka dapat tertutup.
Selain itu, luka bersih tidak berhubungan dengan saluran pernapasan, saluran
pencernaan, genital, atau saluran kemih.
2) Luka Class 2
Luka kelas 2 adalah luka bersih terkontaminasi (clean contamined wounds).
Luka yang terjadi pada saluran pernapasan, saluran pencernaan, genital, atau
saluran kemih. Pada jenis luka ini memungkinkan adanya kontaminasi yang
disebabkan oleh flora normal yang hidup pada jaringan tersebut. Namun, luka
ini dalam kondisi dapat terkendali.
3) Luka Class 3
Luka kelas 3 adalah luka terkontaminasi (contamined wounds). Luka
terkontaminasi adalah luka baru dan terbuka yang dapat diakibatkan oleh
teknik pembedahan yang tidak benar atau kebocoran dari saluran pencernaan
ke dalam luka. Selain itu, sayatan yang dibuat menyebabkan peradangan
purulen akut.
4) Luka Class 4
Luka kelas 4 adalah luka terinfeksi (infected wounds). Luka ini biasanya
disebabkan oleh luka traumatis yang tidak dirawat dengan benar. Luka kelas 4
menunjukkan jaringan yang mengalami devitalisasi, dan paling sering terjadi
akibat mikroorganisme yang ada di visera berlubang atau bidang operasi. luka
ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi klinis.
Berdasarkan etiologinya, Ather dan Harding (2019) mengklasifikasikan luka
sebagai berikut:
1) Abrasi ialah luka yang terjadi pada permukaan epitel yang umumnya
disebabkan oleh gesekan dengan permukaan benda yang kasar seperti ketika
jatuh di aspal. Kulit akan mengalami lecet yang menandakan adanya kerusakan
pada permukaan kulit. Luka abrasi tidak berbahaya namun apabila abrasi yang
terjadi cukup dalam maka akan dapat meninggalkan bekas luka yang sulit
dihilangkan.
15
2) Insisi merupakan luka yang diakibatkan oleh benda tajam seperti pisau, kater
dan gunting. Luka jenis ini biasanya didapatkan selama proses operasi ataupun
kecelakaan kerja seperti terkena pecahan kaca dan tersayat pisau. Luka ini
dapat berbahaya dan mengakibatkan kematian apabila luka tersebut berada
pada bagian leher atau pergelangan tangan.
3) Kontusio ialah luka yang disebakan oleh trauma benda tumpul atau suatu
ledakan dan dapat memperluas kerusakan jaringan di sekitarnya. Ketika
pembuluh darah dibawah kulit mengalami kerusakan maka bagian kulit
tersebut akan mengalami memar. Luka ini dapat menimbulkan infeksi dan
compartment syndromes.
4) Laserasi merupakan luka yang terjadi apabila kekuatan trauma yang dimiliki
melampaui kekuatan regang pada jaringan kulit yang seharusnya. Contohnya
robekan pada kulit kepala akibat trauma tumpul pada kepala. Laserasi bisa
terjadi pada permukaan kulit maupun pada jaringan yang lebih dalam.
2.3 Wound Healing
2.3.1 Definisi Wound Healing
Wound Healing adalah penyembuhan luka dari hasil interaksi antar sitokin,
faktor pertumbuhan, darah dan matriks ekstraseluler. Sitokin berperan dalam
penyembuhan melalui berbagai jalur seperti merangsang produksi komponen
membran dasar, mencegah dehidrasi, meningkatkan peradangan dan pembentukan
jaringan granulasi. Proses penyembuhan luka terjadi melalui empat fase:
hemostatis, inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Lamanya penyembuhan luka ini
sangat bergantung pada jenis luka, kondisi patologis yang terkait dan jenis bahan
pembalut luka (Dhivya, Padma dan Santhini, 2015). Apabila pada proses
penyembuhan luka tidak dilakukan dengan baik maka luka akan meluas lebih jauh
ke jaringan dan struktur lain seperti jaringan subkutan, otot, tendon, saraf,
pembuluh darah serta tulang (Okur et al., 2020). Pemilihan metode yang tepat untuk
tujuan manajemen penyembuhan luka adalah kunci dalam mencapai hasil yang
terbaik dalam penanganan luka akut maupun luka kronis (Naik dan Harding, 2019).
2.3.2 Mekanisme Wound Healing
Menurut Tavakoli dan Klar (2020) proses penyembuhan luka terjadi melalui empat
fase sebagai berikut :
16
dikarenakan prosesnya terjadi secara bersamaan. Pada fase ini terjadi proses
angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari
pembuluh darah sebelumnya. Dengan adanya pembuluh darah yang baru maka
akan mempermudah penghantaran nutrisi dan oksigen pada jaringan yang
rusak. Pada fase ini fibroblast mulai mensintesis kolagen dan sel epitel baru
sehingga luka akan tertutup dengan baik.
4) Maturasi (Remodeling)
Maturasi merupakan fase akhir dalam penyembuhan luka. Proses ini terjadi
pada hari ke-8 sampai 2 tahun. Lamanya fase ini bergantung pada tingkat
keparahan dan ukuran luka yang terbentuk. Sintesis kolagen yang berlebihan
dapat menyebabkan pembentukan bekas luka hipertrofik atau keloid. Fase ini
ditandai dengan pergantian kolagen tipe III ke kolagen tipe I. Serat kolagen
yang baru diatur sejajar dengan garis regangan pada luka. Selain itu juga terjadi
apoptis atau kematian sel secara terprogram seperti pada sel makrofag,
kreatinosit, fibroblast, dan mikrofibroblast yang sudah tidak terpakai.
Pembuluh darah yang sudah tidak dibutuhkan juga akan mati karena apoptis.
Semua faktor yang terjadi menyebabkan peningkatan elastisitas, eritema dan
jaringan parut sehingga menghasilkan bekas luka yang memudar.
2.3.3 Tipe-Tipe Wound Healing
Menurut Rajendran (2018) cara penyembuhan luka terbagi menjadi tiga tipe
sebagai berikut:
1) Primary intention dilakukan dengan menutup luka menggunakan jahitan,
staples, atau perekat lain. Luka akan menutup dengan cepat dan resiko bekas
luka yang ditimbulkan sangat kecil.
2) Secondary intention yaitu luka dibiarkan terbuka. Penyembuhan yang terjadi
akan dipicu oleh reepitelisasi dan kontraksi jaringan. Cara ini berlaku untuk
ukuran luka yang luas dan diperkirakan tidak akan kembali ke bentuk semula.
3) Tertiary healing yaitu terjadi apabila penutupan luka tertunda selama beberapa
hari. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi yang terjadi pada luka tersebut.
Sehingga diperlukan waktu tambahan untuk membersihkan luka dan
memastikan tidak ada bakteri, kuman, ataupun debris yang tersisa di dalam
luka.
18
2.5 Gel
2.5.1 Definisi Gel
Gel (kadang-kadang disebut Jeli) merupakan sistem semipadat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel
20
kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase. Dalam sistem dua
fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-
kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit). Gel fase tunggal
terdiri dari makromolekul organik yang tersebar merata dalam suatu cairan
sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang
terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
(misalnya Karbomer) atau dari gom alam (misalnya Tragakan). Sediaan tragakan
disebut juga musilago. Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol dan
minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa. Gel dapat digunakan untuk obat
yang pemberiannya secara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh
(USP38/NF33, 2015; Depkes RI, 2020). Contoh Voltaren gel, bioplasenton.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, dalam bermulut lebar terlindung dari
cahaya dan ditempat sejuk (Murtini, 2016). Konsentrasi gelling agent sebagian
besar kurang dari 10%, biasanya dalam kisaran 0,5% hingga 2,0%, dengan
beberapa pengecualian. Thixotropy gel adalah reversibel tanpa terjadi perubahan
volume atau suhu, berupa aliran non-Newtonian (Rathod dan Mehta, 2015).
2.5.2 Struktur Gel
5) Rheology, larutan gelling agent dan dispersi padatan yang diflokulasi bersifat
semu, yaitu mengikuti sifat aliran Non-Newtonian yang ditandai dengan
penurunan viskositas dengan peningkatan laju geser (Sharma dan Singh, 2018).
2) Rigid gels
Rigid gels merupakan makromolekul gel. Dalam silika gel, molekul asam
silikat ditahan oleh ikatan Si-O-Si-O untuk menghasilkan struktur polimer
yang memiliki jaringan pori-pori.
2.5.5.4 Berdasarkan Sifat Reologi
Pada umumnya, gel menunjukkan sifat aliran non-Newtonian. Berdasarkan sifat
reologinya, gel dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis
1) Plastic gels
Plot rheogram memberikan yield value di atas distorsi gel elastis dan mulai
mengalir, misalnya suspensi flokulasi aluminium hidroksida, badan Bingham,
menunjukkan aliran plastis.
2) Pseudo plastic gels
Terjadi penurunan viskositas gel jenis ini dengan peningkatan laju geser, tanpa
yield value, misalnya dispersi cairan dari tragakan, natrium alginat, Na CMC,
dll menunjukkan aliran plastis semu.
3) Thixotropic gels
Pada gel jenis ini, ikatan antar partikel sangat lemah dan dapat dipecah dengan
cara digoyang-goyang. Larutan yang dihasilkan akan membentuk kembali gel
karena tumbukan partikel dan mengikat kembali (transformasi gel-sol-gel
isotermal reversibel), misalnya bentonit dan agar.
2.5.6 Kegunaan Gel
1) Sebagai sistem penghantaran obat yang diberikan secara topikal.
2) Untuk obat topikal yang dioleskan langsung ke kulit, selaput lendir atau mata.
3) Sebagai obat injeksi long acting secara intramuskuler.
4) Sebagai pengikat dalam granulasi tablet, koloid pelindung dalam suspensi,
pengental dalam cairan oral dan basis supositoria.
5) Sebagai kosmetik seperti sampo, produk wewangian, pasta gigi, sediaan
perawatan kulit dan rambut.
6) Gel NaCl untuk elektrokardiografi Sodium fluoride dan gel asam fosfat untuk
profilaksis perawatan gigi
7) Basis untuk patch testing
8) Pelumas (lubricant) untuk kateter (Sharma dan Singh, 2018).
24
Polimer ini ditemukan secara alami dan dapat disintesis oleh makhluk hidup,
misalnya protein seperti kolagen, gelatin dll dan polisakarida seperti agar,
tragakan, pektin dan permen karet dll.
2) Polimer semi sintetik
Jenis polimer ini adalah sebagian besar dibentuk dari polimer alami dengan
modifikasi kimia, seperti turunan selulosa : karboksimetilelulosa,
metilselulosa, hidroksipropil selulosa dan selulosa hidroksietil.
3) Polimer sintetis
Polimer yang dibuat dalam kondisi in-vitro disebut polimer sintetik. Ini juga
dikenal sebagai polimer buatan manusia, misalnya Karbomer karbopol 940,
karbopol 934, Poloksamer, Poliakrilamida, Polivinil alkohol dan Polietilen.
4) Zat anorganik - Aluminium hidroksida dan Besitonite
5) Surfaktan - Alkohol sebrotearyle dan Brij-96.
Tabel II.1 Klasifikasi umum dan berbagai bentuk gel yang digunakan
Berikut macam-macam gelling agent menurut (Rowe, Sheskey and Quinn, 2009).
1) Aluminum stearate
2) Carbomers
3) Carboxymethylcellulose sodium
4) Carrageenan
5) Chitosan
6) Colloidal silicon dioxide
7) Gelatin
8) Glyceryl monooleate
9) Glyceryl palmitostearate
10) Guar gum
26