Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit
2.3.1 Definisi Kulit
Kulit adalah organ terbesar tubuh manusia yang menutupi seluruh permukaan
luar tubuh. Pada tubuh manusia dewasa, kulit membentuk sekitar 16 % dari berat
badan dan meliputi area seluas 1,5 sampai 2 m2 . Kulit dan struktur asesorisnya
membentuk sistem integumen. Sistem integumen rentan terhadap berbagai
penyakit, gangguan, dan cedera. Kulit memberikan perlindungan menyeluruh bagi
tubuh dan bertanggung jawab lebih dari sekedar estetika tubuh. Kulit terdiri dari
tiga lapisan, epidermis, dermis, dan hipodermis, anatomi dan fungsi dari ketiganya
sangat bervariasi (Kolarsick et al., 2011; Biga et al., 2020).
2.3.2 Fungsi Kulit
Kulit dan struktur aksesorinya memiliki berbagai fungsi penting, seperti
melindungi tubuh dari invasi mikroorganisme, bahan kimia, dan faktor lingkungan
lainnya; mencegah dehidrasi; bertindak sebagai organ sensorik; memodulasi suhu
tubuh dan keseimbangan elektrolit; dan mensintesis vitamin D. Hipodermis yang
mendasari peran penting dalam menyimpan lemak, membentuk "bantalan" di atas
struktur di bawahnya, dan menyediakan sistem isolasi dari suhu dingin (Biga et al.,
2020). Berikut penjelasan tentang fungsi sistem integumen menurut Biga et al.
(2020).
1) Perlindungan
Kulit melindungi seluruh tubuh dari elemen dasar alam seperti angin, air,
dan sinar UV dengan bertindak sebagai penghalang fisik, kimia, dan biologis.
Kulit bertindak sebagai penghalang atau pelindung terhadap hilangnya air dari
tubuh. Hal ini terjadi karena adanya lapisan keratin dan glikolipid di lapisan
epidermis. Hal ini juga merupakan garis pertahanan pertama terhadap aktivitas
abrasif karena kontak dengan pasir, mikroba, atau bahan kimia yang berbahaya.
Keringat yang dikeluarkan dari kelenjar keringat mencegah mikroba
mengkolonisasi permukaan kulit secara berlebihan dengan menghasilkan
dermicidin yang memiliki sifat antibiotik. Kulit memiliki lingkungan yang
gersang dengan pH asam yang membuatnya tidak ramah bagi mikro organisme.

6
7

2) Fungsi Sensorik
Ilustrasi menggambarkan fakta bahwa seseorang bisa merasakan semut
merayap di kulinya, kemudian akan timbul keinginan untuk menjentikkannya
sebelum digigit oleh semut. Hal ini terjadi karena kulit terutama rambut yang
menonjol dari folikel rambut di kulit dapat merasakan perubahan lingkungan.
Pleksus akar rambut yang mengelilingi pangkal folikel rambut dapat
merasakan gangguan, dan kemudian mengirimkan informasi tersebut ke saraf
pusat sistem (otak dan sumsum tulang belakang) yang kemudian dapat
merespon dengan mengaktifkan otot rangka mata seseorang untuk melihat
semut dan otot rangka tubuh untuk melawan semut. Kulit bertindak sebagai
organ indera karena epidermis, dermis, dan hipodermis mengandung saraf
sensorik khusus struktur yang mendeteksi sentuhan, suhu permukaan, dan
nyeri. Reseptor ini lebih terkonsentrasi di ujung jari, yang paling sensitif
terhadap sentuhan, terutama sel darah Meissner (sel sentuhan) yang merespon
sentuhan ringan, dan sel darah Pacinian (sel darah lamellated), yang merespon
getaran.

Gambar 2.1 Mikrograf Cahaya Sel Darah Meissner (Biga et al., 2020)
Sel darah Meissner adalah sejenis reseptor sentuh yang terletak di dekat
papilla dermal ke membran basal dan stratum basale dari epidermis atasnya.
Selain reseptor khusus ini, terdapat saraf sensorik terhubung ke setiap folikel
8

rambut, reseptor rasa sakit dan suhu yang tersebar di seluruh kulit, dan saraf
motorik mempersarafi otot dan kelenjar arrector pili. Persarafan yang kaya ini
membantu seseorang merasakan lingkungan dan memberikan reaksi yang
sesuai.
3) Termoregulator
Sistem integumen membantu mengatur suhu tubuh melalui hubungan yang
erat dengan sistem saraf simpatis. Kelenjar keringat pada struktur aksesori kulit
bertugas mengeluarkan air, garam, dan zat lain untuk mendinginkan tubuh saat
suhu tubuh menjadi hangat. Jika tubuh menjadi terlalu hangat karena suhu
tinggi, aktivitas yang kuat atau kombinasi kedua kondisi tersebut, kelenjar
keringat akan dirangsang oleh sistem saraf simpatis untuk menghasilkan
jumlah keringat yang besar, sebanyak 0,7 hingga 1,5 L per jam untuk orang
yang aktif. Saat keringat menguap dari permukaan kulit, maka tubuh
didinginkan saat panas tubuh telah hilang. Selain berkeringat, arteriol di dermis
membesar sehingga panas berlebih yang dibawa oleh darah dapat hilang dari
kulit dan lingkungan sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya
kemerahan pada kulit, ditinjau dari pengalaman seseorang saat berolahraga.
Jika suhu kulit turun terlalu banyak (seperti suhu lingkungan di bawah titik
beku), konservasi panas inti tubuh bisa mengakibatkan kulit benar-benar
membeku, suatu kondisi yang disebut radang dingin (frostbite).

Gambar 2.2 Mekanisme termoregulasi kulit (Biga et al., 2020)


9

4) Sintesis Vitamin D
Lapisan epidermis kulit mensintesis vitamin D saat terkena radiasi UV.
Saat terpapar sinar matahari kulit membentuk vitamin D3 yang disebut
cholecalciferol yang disintesis dari turunan kolesterol steroid di kulit. Hati
mengubah kolekalsiferol menjadi kalsidiol, yang kemudian diubah menjadi
kalsitriol (bentuk kimia aktif vitamin) di ginjal. Vitamin D penting untuk
penyerapan normal kalsium dan fosfor, yang dibutuhkan untuk kesehatan
tulang. Tidak adanya paparan sinar matahari dapat menyebabkan kekurangan
vitamin D dalam tubuh, sehingga menyebabkan kondisi yang disebut rakhitis.
Kondisi dimana tulang cacat karena kekurangan kalsium, menyebabkan kaki
bengkok. Lansia yang menderita kekurangan vitamin D dapat menyebabkan
kondisi yang disebut osteomalacia. Saat ini, vitamin D ditambahkan sebagai
suplemen dalam makanan termasuk susu dan jus jeruk untuk mengimbangi
kebutuhan akan paparan sinar matahari
2.3.3 Anatomi Kulit

Gambar 2.3 Anatomi kulit manusia (Yousef, Alhajj and Sharma, 2020)
10

2.3.4 Lapisan Kulit

Gambar 2.4 Lapisan kulit (Biga et al., 2020)


Menurut Yousef, Alhajj dan Sharma (2020) kulit tersusun atas tiga lapisan utama
yaitu:
2.1.4.1 Epidermis

Gambar 2.5 Lapisan Epidermis (Biga et al., 2020)


11

Lapisan epidermis terdiri dari empat lapisan meliputi stratum basale (bagian
terdalam dari epidermis), stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum,
dan stratum korneum (bagian paling dangkal dari epidermis).
1) Stratum basale
Stratum basale (stratum germinativum) adalah lapisan terdalam membran
basal (lamina basal) menjadi pemisah antara dipisahkan epidermis dan dermis
dan dilekatkan oleh hemidesmosom. Sel-sel yang ditemukan di lapisan ini
berbentuk kuboid hingga kolumnar sel induk aktif mitosis yang terus-menerus
memproduksi keratinosit. Lapisan ini juga mengandung sel melanosit yang
menghasilkan pigmen melanin. Melanin memberi warna pada rambut dan kulit,
dan juga membantu melindungi DNA dalam inti sel hidup dari epidermis dari
kerusakan radiasi ultraviolet (UV).
2) Stratum spinosum
Stratum spinosum juga dikenal sebagai lapisan sel prickle, mengandung
sel polihedral yang tidak teratur selama proses sitoplasma. Stratum spinosum
terdiri dari 8-10 lapisan keratinosit yang terbentuk sebagai hasil pembelahan
sel di stratum basale. Di antara keratinosit pada lapisan ini merupakan dapat
ditemukan jenis sel dendritik yang disebut sel Langerhans yang berfungsi
sebagai makrofag untuk fagosit bakteri, partikel asing, dan sel rusak yang
terjadi di lapisan ini.
3) Stratum Granulosum
Stratum Granulosum terdiri dari 3-5 lapis sel, berisi sel berbentuk diamond
dengan butiran keratohyalin dan butiran lamelar. Butiran keratohyalin
mengandung prekursor keratin yang akhirnya berkumpul, berikatan silang, dan
membentuk bundel. Butiran lamelar mengandung glikolipid yang disekresikan
ke permukaan sel dan berfungsi sebagai lem, menjaga sel-sel saling menempel.
4) Stratum Lucidum
Stratum Lucidum merupakan lapisan bening tipis yang terdiri dari eleidin
yang merupakan produk transformasi dari keratohyalin. Stratum Lucidum
terdiri dari 2-3 lapisan sel dan terletak tepat di atas stratum granulosum dan di
bawah stratum korneum. Terdapat pada kulit lebih tebal seperti di telapak
tangan dan telapak kaki. Sel-sel stratum Lucidum padat dengan eleiden, protein
12

bening yang kaya lipid, berasal dari keratohyalin, yang memberi sel-sel ini
penampilan transparan (bening) dan menjadi barrier to water.
5) Stratum Corneum
Stratum Corneum terdiri dari 20-30 lapisan sel. Stratum Corneum
merupakan lapisan paling atas, terdapat keratin dan sisik tanduk yang terdiri
dari keratinosit mati yang dikenal sebagai sel skuamosa anukleat. Stratum
Corneum adalah lapisan yang paling bervariasi ketebalannya. Dalam lapisan
ini, keratinosit yang mati mengeluarkan defensin yang merupakan bagian dari
pertahanan pertama tubuh seseorang.
2.1.4.2 Dermis
Lapisan dermis terletak dibawah lapisan epidermis. Lapisan ini terdiri dari dua
jaringan ikat yaitu :
1) Lapisan Papilar
Lapisan papilar adalah jaringan ikat areolar renggang yang terdiri dari
fibroblast, sel mast, dan makrofag. Pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh
darah yang berfungsi untuk memberikan nutrsi pada jaringan di sekitarnya.
2) Lapisan Retikular
Lapisan retikular, yaitu bagian yang menonjol ke arah subkutan. Lapisan
retikular tersusun atas jaringan ikat yang rapat, kolagan, serta serat elsatik.
Semakin bertambahnya usia maka fungsi lapisan retikular akan semakin
menurun sehingga dapat menyebabkan terjadinya keriput pada kulit.
2.1.4.3 Hipodermis
Lapisan hipodermis merupakan lapisan yang terletak di bawah lapisan
dermis. Tidak ada garis yang memisahkan kedua lapisan ini sehingga terlihat seperti
menyatu. Lapisan ini mengandung banyak sel berlemak dan bergantung pada lokasi
tubuh. Hipodermis berisi banyak sel saraf dan pembuluh darah yang mengangkut
nutrisi.
13

2.2 Luka
2.2.1 Definisi Luka
Luka dapat diartikan sebagai gangguan pada kontinuitas lapisan epitel kulit
atau mukosa yang disebabkan oleh trauma fisik, kimiawi atau termal sehingga
mengakibatkan terganggunya fungsi dan anatomis normal dari kulit (Dhivya,
Padma dan Santhini, 2015; Tavakoli dan Klar, 2020). Angka kejadian luka
memiliki prevalensi mencapai jutaan kasus pertahunnya. Prevalensi pasien luka di
Indonesia dengan angka tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara yaitu 75,6%
dan jenis luka tertinggi yang dialami penduduk Indonesia adalah luka lecet sebesar
64,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, 2018).
2.2.2 Jenis-Jenis Luka
Berdasarkan sifat proses perbaikannya, Tavakoli dan Klar (2020)
mengklasifikasikan luka menjadi dua kategori utama sebagai berikut:
1) Luka Akut
Luka akut adalah luka yang dapat sembuh total dalam jangka waktu kurang
lebih 8-12 minggu. Luka akut sebagian besar disebabkan oleh cedera mekanis,
seperti kontak gesekan antara kulit dan permukaan keras (misalnya pisau),
penetrasi tembakan senjata, dan sayatan bedah. Sebaliknya, luka akut terutama
disebabkan oleh bahan kimia dan luka bakar setelah radiasi, bahan kimia
korosif, listrik, dan cedera termal.
2) Luka Kronis
Luka kronis didefinisikan sebagai luka yang menunjukkan penyembuhan
tertunda (lebih dari 12 minggu) setelah cedera awal. Luka kronis sebagian
besar disebabkan oleh kerusakan jaringan berulang atau kondisi fisiologis
seperti diabetes, gangguan angiogenesis dan persarafan. Luka kronis biasanya
terjadi akibat faktor lain dari pasien seperti penyakit kronis penyerta, infeksi,
dan perawatan primer yang buruk. Berdasarkan etiologi penyebabnya, Wound
Healing Society membagi luka kronis menjadi empat kategori yang berbeda
yaitu ulkus-pressure, ulkus diabetes, ulkus vena, dan ulkus insufisiensi arteri.
Berdasarkan tingkat kontaminasinya, menurut Herman dan Bordoni (2010)
menyatakan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
mengklasifikasikan luka menjadi empat kategori sebagai berikut:
14

1) Luka Class 1
Luka kelas 1 adalah luka bersih (clean wounds). Luka akibat pembedahan tidak
akan mengakibatkan infeksi, peradangan, dan utamanya luka dapat tertutup.
Selain itu, luka bersih tidak berhubungan dengan saluran pernapasan, saluran
pencernaan, genital, atau saluran kemih.
2) Luka Class 2
Luka kelas 2 adalah luka bersih terkontaminasi (clean contamined wounds).
Luka yang terjadi pada saluran pernapasan, saluran pencernaan, genital, atau
saluran kemih. Pada jenis luka ini memungkinkan adanya kontaminasi yang
disebabkan oleh flora normal yang hidup pada jaringan tersebut. Namun, luka
ini dalam kondisi dapat terkendali.
3) Luka Class 3
Luka kelas 3 adalah luka terkontaminasi (contamined wounds). Luka
terkontaminasi adalah luka baru dan terbuka yang dapat diakibatkan oleh
teknik pembedahan yang tidak benar atau kebocoran dari saluran pencernaan
ke dalam luka. Selain itu, sayatan yang dibuat menyebabkan peradangan
purulen akut.
4) Luka Class 4
Luka kelas 4 adalah luka terinfeksi (infected wounds). Luka ini biasanya
disebabkan oleh luka traumatis yang tidak dirawat dengan benar. Luka kelas 4
menunjukkan jaringan yang mengalami devitalisasi, dan paling sering terjadi
akibat mikroorganisme yang ada di visera berlubang atau bidang operasi. luka
ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi klinis.
Berdasarkan etiologinya, Ather dan Harding (2019) mengklasifikasikan luka
sebagai berikut:
1) Abrasi ialah luka yang terjadi pada permukaan epitel yang umumnya
disebabkan oleh gesekan dengan permukaan benda yang kasar seperti ketika
jatuh di aspal. Kulit akan mengalami lecet yang menandakan adanya kerusakan
pada permukaan kulit. Luka abrasi tidak berbahaya namun apabila abrasi yang
terjadi cukup dalam maka akan dapat meninggalkan bekas luka yang sulit
dihilangkan.
15

2) Insisi merupakan luka yang diakibatkan oleh benda tajam seperti pisau, kater
dan gunting. Luka jenis ini biasanya didapatkan selama proses operasi ataupun
kecelakaan kerja seperti terkena pecahan kaca dan tersayat pisau. Luka ini
dapat berbahaya dan mengakibatkan kematian apabila luka tersebut berada
pada bagian leher atau pergelangan tangan.
3) Kontusio ialah luka yang disebakan oleh trauma benda tumpul atau suatu
ledakan dan dapat memperluas kerusakan jaringan di sekitarnya. Ketika
pembuluh darah dibawah kulit mengalami kerusakan maka bagian kulit
tersebut akan mengalami memar. Luka ini dapat menimbulkan infeksi dan
compartment syndromes.
4) Laserasi merupakan luka yang terjadi apabila kekuatan trauma yang dimiliki
melampaui kekuatan regang pada jaringan kulit yang seharusnya. Contohnya
robekan pada kulit kepala akibat trauma tumpul pada kepala. Laserasi bisa
terjadi pada permukaan kulit maupun pada jaringan yang lebih dalam.
2.3 Wound Healing
2.3.1 Definisi Wound Healing
Wound Healing adalah penyembuhan luka dari hasil interaksi antar sitokin,
faktor pertumbuhan, darah dan matriks ekstraseluler. Sitokin berperan dalam
penyembuhan melalui berbagai jalur seperti merangsang produksi komponen
membran dasar, mencegah dehidrasi, meningkatkan peradangan dan pembentukan
jaringan granulasi. Proses penyembuhan luka terjadi melalui empat fase:
hemostatis, inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Lamanya penyembuhan luka ini
sangat bergantung pada jenis luka, kondisi patologis yang terkait dan jenis bahan
pembalut luka (Dhivya, Padma dan Santhini, 2015). Apabila pada proses
penyembuhan luka tidak dilakukan dengan baik maka luka akan meluas lebih jauh
ke jaringan dan struktur lain seperti jaringan subkutan, otot, tendon, saraf,
pembuluh darah serta tulang (Okur et al., 2020). Pemilihan metode yang tepat untuk
tujuan manajemen penyembuhan luka adalah kunci dalam mencapai hasil yang
terbaik dalam penanganan luka akut maupun luka kronis (Naik dan Harding, 2019).
2.3.2 Mekanisme Wound Healing
Menurut Tavakoli dan Klar (2020) proses penyembuhan luka terjadi melalui empat
fase sebagai berikut :
16

Gambar 2.6 Fase-Fase Penyembuhan Luka (Tavakoli and Klar, 2020)


1) Homeostasis
Pada fase pertama ini, trombosit darah diaktifkan untuk membentuk bekuan
darah dan juga berperan dalam menginisiasi leukosit. Dalam beberapa menit
pertama setelah cedera, trombosit darah mulai menempel satu sama lain
kemudian menuju lokasi luka. Saat kontak dengan kolagen, trombosit berubah
menjadi bentuk amorf menghasilkan aktivasi dan agregasi. Selanjutnya,
trombin mulai diproduksi dan mengkatalisis inisiasi kaskade koagulasi. Proses
tersebut menghasilkan aktivasi fibrin, yang membentuk jaring yang mencegah
pendarahan lebih lanjut. Selain itu, trombosit memiliki peran penting dalam
perekrutan leukosit dan inisiasi serta perkembangan peradangan.
2) Inflamasi
Pada fase inflamasi, sel-sel kekebalan (terutama neutrofil dan makrofag)
masuk ke dalam luka, fagosit merusak sel-sel mati, bakteri, dan patogen lain.
Selain itu, sel-sel inflamasi bersama dengan platelet melepaskan berbagai
faktor pertumbuhan peptida, mendorong migrasi fibroblas ke lokasi luka dan
mengaktifkan angiogenesis.
3) Proliferasi
Fase ini terjadi di hari kedua atau ketiga sesudah terkena luka dan akan
berlangsung selama 3-4 minggu. Proliferasi ditandai dengan munculnya
fibroblast pada area luka dan tumpang tindih dengan fase inflamasi
17

dikarenakan prosesnya terjadi secara bersamaan. Pada fase ini terjadi proses
angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari
pembuluh darah sebelumnya. Dengan adanya pembuluh darah yang baru maka
akan mempermudah penghantaran nutrisi dan oksigen pada jaringan yang
rusak. Pada fase ini fibroblast mulai mensintesis kolagen dan sel epitel baru
sehingga luka akan tertutup dengan baik.
4) Maturasi (Remodeling)
Maturasi merupakan fase akhir dalam penyembuhan luka. Proses ini terjadi
pada hari ke-8 sampai 2 tahun. Lamanya fase ini bergantung pada tingkat
keparahan dan ukuran luka yang terbentuk. Sintesis kolagen yang berlebihan
dapat menyebabkan pembentukan bekas luka hipertrofik atau keloid. Fase ini
ditandai dengan pergantian kolagen tipe III ke kolagen tipe I. Serat kolagen
yang baru diatur sejajar dengan garis regangan pada luka. Selain itu juga terjadi
apoptis atau kematian sel secara terprogram seperti pada sel makrofag,
kreatinosit, fibroblast, dan mikrofibroblast yang sudah tidak terpakai.
Pembuluh darah yang sudah tidak dibutuhkan juga akan mati karena apoptis.
Semua faktor yang terjadi menyebabkan peningkatan elastisitas, eritema dan
jaringan parut sehingga menghasilkan bekas luka yang memudar.
2.3.3 Tipe-Tipe Wound Healing
Menurut Rajendran (2018) cara penyembuhan luka terbagi menjadi tiga tipe
sebagai berikut:
1) Primary intention dilakukan dengan menutup luka menggunakan jahitan,
staples, atau perekat lain. Luka akan menutup dengan cepat dan resiko bekas
luka yang ditimbulkan sangat kecil.
2) Secondary intention yaitu luka dibiarkan terbuka. Penyembuhan yang terjadi
akan dipicu oleh reepitelisasi dan kontraksi jaringan. Cara ini berlaku untuk
ukuran luka yang luas dan diperkirakan tidak akan kembali ke bentuk semula.
3) Tertiary healing yaitu terjadi apabila penutupan luka tertunda selama beberapa
hari. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi yang terjadi pada luka tersebut.
Sehingga diperlukan waktu tambahan untuk membersihkan luka dan
memastikan tidak ada bakteri, kuman, ataupun debris yang tersisa di dalam
luka.
18

2.4 Sediaan Topikal


2.4.1 Definisi Sediaan Topikal
Sediaan topikal adalah obat yang diformulasikan untuk pengobatan di kulit
(Öztürk dan Yenilmez, 2018). Target terapi obat yang diberikan secara topikal
melalui kulit terbagi dalam dua kategori umum yaitu memberikan efek lokal dan
sistemik. Tindakan lokal diberikan melalui permukaan kulit yaitu tindakan yang
bekerja di stratum korneum, dan dapat memodulasi fungsi epidermis dan/atau
dermis. Produk umum dalam kategori pertama meliputi krim, gel, salep, pasta,
suspensi, losion, foam, spray, aerosol, dan larutan. Krim, salep, dan gel umumnya
disebut sebagai bentuk sediaan semipadat. Produk obat yang paling umum
diterapkan pada kulit untuk efek sistemik disebut sebagai transdermal drug delivery
systems (TDS) atau transdermal patches (USP38/NF33, 2015; Benson et al., 2019).
Sediaan topikal memiliki keuntungan antara lain penghantaran obat non-invasif,
tanpa melalui metabolisme lintas pertama, durasi kerja obat lama, frekuensi dosis
dapat diatur, tingkat obat konstan dalam plasma, penurunan toksisitas/efek samping
dari obat, peningkatan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, dan lain-lain
(Bolla et al., 2020).
2.4.2 Mekanisme Transpor Sediaan Topikal
Fungsi utama kulit adalah bertindak sebagai penghalang (barrier) antara
tubuh dan lingkungan eksternal yang relatif tidak bersahabat. Stratum korneum
adalah lapisan terluar kulit yang kaya lipid terstruktur yang meminimalkan keluar
masuknya air, oksigen dan bahan kimia. Terapi produk sediaan topikal
menargetkan beberapa lapisan yang berbeda (yaitu epidermis, dermis dan
hipodermis), pelengkap kulit (misalnya, folikel rambut dengan kelenjar sebaceou,
keringat kelenjar dan kuku), dan jaringan di bawahnya. Wilayah target utama untuk
sebagian besar produk topikal adalah epidermis dan termasuk saraf, keratinosit,
melanosit, sel Langerhans dan folikel rambut (Gambar 2.7). Produk transdermal
menargetkan sirkulasi sistemik. Pengembangan secara berkelanjutan untuk
penghantaran obat sediaan topikal dan transdermal telah menyediakan teknologi
baru untuk dosis terkontrol, lokasi spesifik penghantaran obat yang ditargetkan,
dan/atau peningkatan penetrasi kulit, sehingga memperluas jangkauan senyawa
terapeutik yang dapat dioleskan melalui kulit (Benson et al., 2019).
19

Gambar 2.7 Ilustrasi diagram kulit manusia (Benson et al., 2019)

Gambar 2. 8 Obat transdermal dan tempat aplikasi yang direkomendasikan;


(Benson et al., 2019)

2.5 Gel
2.5.1 Definisi Gel
Gel (kadang-kadang disebut Jeli) merupakan sistem semipadat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel
20

kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase. Dalam sistem dua
fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-
kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit). Gel fase tunggal
terdiri dari makromolekul organik yang tersebar merata dalam suatu cairan
sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang
terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
(misalnya Karbomer) atau dari gom alam (misalnya Tragakan). Sediaan tragakan
disebut juga musilago. Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol dan
minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa. Gel dapat digunakan untuk obat
yang pemberiannya secara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh
(USP38/NF33, 2015; Depkes RI, 2020). Contoh Voltaren gel, bioplasenton.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, dalam bermulut lebar terlindung dari
cahaya dan ditempat sejuk (Murtini, 2016). Konsentrasi gelling agent sebagian
besar kurang dari 10%, biasanya dalam kisaran 0,5% hingga 2,0%, dengan
beberapa pengecualian. Thixotropy gel adalah reversibel tanpa terjadi perubahan
volume atau suhu, berupa aliran non-Newtonian (Rathod dan Mehta, 2015).
2.5.2 Struktur Gel

Gambar 2.9 Representasi Struktur Gel (Sharma dan Singh, 2018)


Sharma dan Singh (2018) menyatakan terdapat empat macam struktur gel yaitu :
1) Partikel flokulasi dalam struktur gel dua fase.
2) Jaringan partikel atau bentuk batang yang memanjang membentuk struktur
gel.
3) Serat kusut seperti yang ditemukan dalam sabun gel.
4) Daerah kristal dan amorf dalam gel karboksimetil selulosa (CMC)
21

2.5.3 Sifat Sediaan Gel


1) Idealnya, gelling agent harus inert, aman dan tidak bereaksi dengan formulasi
bahan lain.
2) Gelling agent harus menghasilkan sifat padat yang baik pada saat
penyimpanan, tidak mudah pecah saat terkena geseran kekuatan yang
dihasilkan dengan menggetarkan botol atau pada saat aplikasi topikal.
3) Sediaan gel harus memiliki agen anti-mikroba yang sesuai untuk mencegah
aktivitas mikroba.
4) Gel topikal tidak boleh lengket.
5) Gel oftalmik harus steril.
6) Viskositas sediaan gel meningkat dengan adanya peningkatan efektif
kepadatan ikatan silang gel. Namun, apabila terjadi peningkatan suhu maka
dapat meningkatkan atau menurunkan viskositas, tergantung pada interaksi
molekuler antara polimer dan pelarut.
7) Terdapat ikatan yang kuat antara fase terdispersi dan media air sehingga gel
tetap homogen dan tidak mengendap dengan bebas (Rathod and Mehta, 2015;
Sharma and Singh, 2018)

2.5.4 Karakteristik Sediaan Gel


1) Swelling, yaitu ketika zat pembentuk gel dibiarkan bersentuhan dengan cairan
yang melarutkannya, maka sejumlah besar cairan diserap oleh zat tersebut dan
volumenya akan meningkat. Proses ini disebut swelling (pembengkakan).
Fenomena ini terjadi sebagai hasil penetrasi pelarut ke dalam matriks.
2) Syneresis, yaitu terjadinya kontraksi secara spontan di dalammassa gel dan
media cairan yang terjerap didalamnya akan dikeluarkan. Sineresis terjadi
peningkatan seiring dengan penurunan konsentrasi gelling agent.
3) Ageing, biasanya sistem koloid secara alami menunjukkan agregasi yang
lambat. Proses ini dikenal sebagai ageing. Dalam gel, agieng menyebabkan
pembentukan jaringan gelling agent secara bertahap.
4) Structure, sifat kekakuan gel terjadi karena adanya jaringan yang dibentuk oleh
interlinking partikel gelling agent. Sifat partikel dan tegangan, mengokohkan
dan mengurangi hambatan aliran.
22

5) Rheology, larutan gelling agent dan dispersi padatan yang diflokulasi bersifat
semu, yaitu mengikuti sifat aliran Non-Newtonian yang ditandai dengan
penurunan viskositas dengan peningkatan laju geser (Sharma dan Singh, 2018).

2.5.5 Klasifikasi Gel


Menurut Sharma dan Singh (2018) gel dapat diklasifikasikan berdasarkan fase
koloid, sifat pelarut yang digunakan, sifat fisik dan sifat reologi gel.
2.5.5.1 Berdasarkan Sifat Koloid
1) Sistem Dua Fase (Anorganik)
Dalam tipe ini, ukuran partikel fase terdispersi cukup besar dan membentuk
struktur tiga dimensi di seluruh gel dan pasti thixotropic, yaitu bentuk setengah
padat saat berdiri dan berubah menjadi cair saat diaduk.
2) Sistem Fase Tunggal (Organik)
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang diedarkan secara
seragam di dalam cairan sedemikian rupa sehingga tidak ada batas yang terlihat
ditemukan antara makromolekul terdispersi dan cairan.
2.5.5.2 Berdasarkan Sifat Pelarut yang Digunakan
1) Hydrogel (berbahan dasar air)
Dalam hidrogel, air berperan sebagai fase cair kontinyu. Misalnya gelatin,
turunan selulosa, gel poloxamer.
2) Gel Organik (pelarut non-air)
Gel organik menggunakan pelarut non-air sebagai fase kontinyu. Misalnya gel
Plastibase olag dan dispersi logam dalam minyak.
3) Xerogels
Xerogel merepresentasikan gel padat dengan konsentrasi pelarut yang lebih
rendah. Xerogel diproduksi oleh penguapan pelarut yang meninggalkan
kerangka gel, misalnya tragacanth ribbons, selulosa kering, dan polistiren.

2.5.5.3 Berdasarkan Sifat Fisik


1) Elastic gel
Molekul berserat bergabung secara bersamaan pada titik persimpangan dengan
ikatan yang relatif lemah, yaitu ikatan hidrogen dan interaksi dipol. Gel agar,
pektin, guar gum, dan alginat menunjukkan sifat elastis.
23

2) Rigid gels
Rigid gels merupakan makromolekul gel. Dalam silika gel, molekul asam
silikat ditahan oleh ikatan Si-O-Si-O untuk menghasilkan struktur polimer
yang memiliki jaringan pori-pori.
2.5.5.4 Berdasarkan Sifat Reologi
Pada umumnya, gel menunjukkan sifat aliran non-Newtonian. Berdasarkan sifat
reologinya, gel dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis
1) Plastic gels
Plot rheogram memberikan yield value di atas distorsi gel elastis dan mulai
mengalir, misalnya suspensi flokulasi aluminium hidroksida, badan Bingham,
menunjukkan aliran plastis.
2) Pseudo plastic gels
Terjadi penurunan viskositas gel jenis ini dengan peningkatan laju geser, tanpa
yield value, misalnya dispersi cairan dari tragakan, natrium alginat, Na CMC,
dll menunjukkan aliran plastis semu.
3) Thixotropic gels
Pada gel jenis ini, ikatan antar partikel sangat lemah dan dapat dipecah dengan
cara digoyang-goyang. Larutan yang dihasilkan akan membentuk kembali gel
karena tumbukan partikel dan mengikat kembali (transformasi gel-sol-gel
isotermal reversibel), misalnya bentonit dan agar.
2.5.6 Kegunaan Gel
1) Sebagai sistem penghantaran obat yang diberikan secara topikal.
2) Untuk obat topikal yang dioleskan langsung ke kulit, selaput lendir atau mata.
3) Sebagai obat injeksi long acting secara intramuskuler.
4) Sebagai pengikat dalam granulasi tablet, koloid pelindung dalam suspensi,
pengental dalam cairan oral dan basis supositoria.
5) Sebagai kosmetik seperti sampo, produk wewangian, pasta gigi, sediaan
perawatan kulit dan rambut.
6) Gel NaCl untuk elektrokardiografi Sodium fluoride dan gel asam fosfat untuk
profilaksis perawatan gigi
7) Basis untuk patch testing
8) Pelumas (lubricant) untuk kateter (Sharma dan Singh, 2018).
24

2.5.7 Formulasi Sediaan Gel


1) Pelarut (Vehicle / Solvent)
Biasanya air yang dimurnikan digunakan sebagai pelarut. Untuk meningkatkan
kelarutan agen terapeutik dalam bentuk sediaan dan / atau untuk meningkatkan
penetrasi obat ke seluruh kulit, kosolvent dapat digunakan, misalnya alkohol,
gliserol, PG, PEG 400, dll
2) Gelling Agent
Gelling Agent merupakan agen pembentuk gel yang berperan penting dalam
pembuatan sediaan gel.
3) Larutan Penyangga (Buffer)
Buffer mungkin terlibat dalam gel berbasis air dan hidroalkohol untuk
mengontrol pH formulasi, misalnya, Fosfat, sitrat, dll.
4) Pengawet
Penambahan bahan pengawet meningkatkan stabilitas atau umur simpan gel,
misalnya Parabens, fenolat, dll.
5) Antioksidan
Ini dapat digabungkan dalam formulasi untuk meningkatkan stabilitas kimiawi
dari agen terapeutik yang rentan terhadap degradasi oksidatif. Antioksidan
yang larut dalam air umumnya digunakan karena mayoritas gel berbahan dasar
air, misalnya Sodium metabisulphite, sodium formaldehyde sulfoxylate, dll.
6) Sweetening agents
Perasa (mis. Butterscotch, apricot, peach, vanilla, wintergreen mint, cherry,
mint, dll.) Dan zat pemanis (mis. Sukrosa, glukosa cair, gliserol, sorbitol, dll.)
Hanya disertakan dalam gel yang dimaksudkan untuk pemberian ke dalam oral.
rongga (misalnya untuk pengobatan infeksi, peradangan, ulserasi, dll.) (Sharma
dan Singh, 2018).
2.5.8 Jenis-Jenis Gelling Agent
Menurut Sharma dan Singh (2018) basis pembentuk gel atau polimer
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Polimer alami
25

Polimer ini ditemukan secara alami dan dapat disintesis oleh makhluk hidup,
misalnya protein seperti kolagen, gelatin dll dan polisakarida seperti agar,
tragakan, pektin dan permen karet dll.
2) Polimer semi sintetik
Jenis polimer ini adalah sebagian besar dibentuk dari polimer alami dengan
modifikasi kimia, seperti turunan selulosa : karboksimetilelulosa,
metilselulosa, hidroksipropil selulosa dan selulosa hidroksietil.
3) Polimer sintetis
Polimer yang dibuat dalam kondisi in-vitro disebut polimer sintetik. Ini juga
dikenal sebagai polimer buatan manusia, misalnya Karbomer karbopol 940,
karbopol 934, Poloksamer, Poliakrilamida, Polivinil alkohol dan Polietilen.
4) Zat anorganik - Aluminium hidroksida dan Besitonite
5) Surfaktan - Alkohol sebrotearyle dan Brij-96.

Tabel II.1 Klasifikasi umum dan berbagai bentuk gel yang digunakan

Berikut macam-macam gelling agent menurut (Rowe, Sheskey and Quinn, 2009).
1) Aluminum stearate
2) Carbomers
3) Carboxymethylcellulose sodium
4) Carrageenan
5) Chitosan
6) Colloidal silicon dioxide
7) Gelatin
8) Glyceryl monooleate
9) Glyceryl palmitostearate
10) Guar gum
26

11) Hydroxyethyl cellulose


12) Hydroxymethyl cellulose
13) Pectin
14) Polyethylene alkyl ethers
15) Polyethylene glycol
16) Polyethylene oxide
17) Polymethacrylates
18) Propylene carbonate
19) Sodium ascorbate
20) Sorbitol
21) Xanthan gum
22) Zinc acetate
2.5.9 Sediaan Gel yang Baik
Sediaan Gel untuk dermatologis harus thixotropic, tidak berminyak, mudah
dilepas, tidak menodai, larut dalam air atau larut dan kompatibel dengan sejumlah
bahan. Mereka juga harus memiliki sifat demulcent, emollient dan spreadability
yang baik (Sharma dan Singh, 2018).
2.6 Studi Literatur
2.6.1 Definisi Studi Literatur
Menurut Melfianora (2019) studi literatur merupakan istilah lain dari kajian
pustaka, tinjauan pustaka, kajian teoritis, landasan teori, telaah pustaka (literature
review), dan tinjauan teoritis. Data studi literatur merupakan data-data yang dapat
diperoleh dari sumber pustaka atau dokumen tidak harus bertemu dengan responden
atau penelitian lapangan. Penelitian studi literatur adalah penelitian yang
persiapannya sama dengan penelitian lainnya akan tetapi yang membedakan dari
keduanya adalah sumber dan metode pengumpulan data dengan cara mengambil
data di pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian. Selain data,
beberapa hal yang harus ada dalam sebuah penelitian agar dapat dikatakan ilmiah,
juga memerlukan hal lain seperti rumusan masalah, landasan teori, analisis data,
dan pengambilan kesimpulan. Variabel pada penelitian studi literatur bersifat tidak
baku.
27

2.6.2 Tujuan Studi Literatur


Sebuah literature riview membutuhkan perencanaan dan penulisan yang
jelas, hal tersebut memerlukan penulisan berulang. Kaidah penulisan yang baik
berlaku saat menulis literature riview (misalnya, struktur penyusunan yang jelas,
pengantar, kesimpulan, dan transisi antar bagian). Selain itu, mengingat tujuan
melakukan review saat menulis, dan mengomunikasikan dengan jelas dan efektif
(Djamba and Neuman, 2014). Menurut (Djamba and Neuman, 2014) menyatakan
beberapa tujuan peneliti menulis literature riview sebagai berikut :
1) Untuk mendemonstrasikan sejauhmana peneliti mengenali kumpulan ilmu
pengetahuan dan menunjukkan kredibilitasnya (dibidang tersebut). Sebuah
review memberi informasi kepada pembaca sejauhmana peneliti mengenal para
peneliti lain di bidang diteliti itu dan mengenali isu-isu pokok di dalam bidang
tersebut. Sebuah review yang baik akan memberi kesan pada pembacanya
tentang latar belakang, kemampuan dan kompentensi peneliti di bidang yang
akan diteliti.
2) Untuk menunjukkan jejak penelitian terdahulu dan menunjukkan bahwa
penelitian yang sedang dilakukan itu memiliki kaitan dengan penelitian-
penelitian sebelumnya. Sebuah review memberi outline mengenai arah
pertanyaan penelitian dan menunjukkan perkembangan dari pengetahuan yang
kita kaji. Sebuah review yang baik semestinya menempatkan penelitian
tersebut dalam konteks dan mendemonstrasikan relevansinya dengan membuat
hubungan dengan body of knowledge-nya.
3) Untuk mengintegrasikan dan merangkumkan hal yang telah diketahui dalam
bidang yang akan diteliti. Sebuah review akan mengumpulkan dan sekaligus
mensistematisasikan hasil-hasil/temuan yang beragam. Sebuah review yang
baik akan menunjukkan letak kesepahaman dan ketidaksepahaman topik dalam
penelitian serta menunjukkan letak pertanyaan utama yang belum
terjawab. Dengan kata lain, review akan menunjukkan hal yang telah diketahui
pada satu titik tertentu dan mengindikasikan arah penelitian selanjutnya.
4) Untuk mempelajari para peneliti lain dan menstimulasi ide-ide baru. Sebuah
review akan memberitahu hal-hal yang telah ditemukan peneliti lain, dengan
demikian peneliti bisa memperoleh manfaat dari hasil penelitian yang
28

dilakukan peneliti sebelumnya. Dengan mengetahui mengenai desain riset dan


prosedur yang dilakukan sebelumnya, peneliti pun bisa mengajukan fokus atau
menggali lebih jauh dengan sudut pandang yang berbeda.

2.6.3 Jenis-Jenis Studi Literatur


Menurut (Djamba and Neuman, 2014) menyatakan terdapat enam jenis literatur
review sebagai berikut :
1) Context review adalah sebuah review yang umum dilakukan dalam kajian
literatur. Pada jenis kajian literatur ini penulis melakukan kajian dengan
menghubungkan satu topik kajian khusus kepada isi pengetahuan yang lebih
luas.
2) Historical Review adalah bentuk review yang melacak satu topik atau satu issue
tertentu sepanjang masa. Integrative review adalah satu jenis review yang
umum, dimana penulis menyajikan dan meringkaskan keadaan tentang satu
topik tertentu, memberi masukan tentang saran dan kritikan terhadap topik
tersebut .
3) Integrative Review adalah jenis literatur review yang umum disajikan penulis.
Penulis merangkum suatu permasalahan pengetahuan yang terjadi saat ini
tentang suatu topik, serta mengemukakan fokus kesepakatan dan
ketidaksepakatan di dalamnya. Jenis review ini sering dikombinasikan dengan
context review.
4) Methodological review adalah review yang membandingkan dan mengevaluasi
kekuatan relatif metodologi dari berbagai kajian. Pada jenis ini penulis
memperlihatkan berbagai metode yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan
hasil.
5) Self-study review merupakan hasil review yang menggabungkan tujuan
pembuatan review yang pertama dan keempat sebagaimana diuraikan di atas.
Yakni membuat review yang menunjukkan sejauhmana peneliti mengenali
bidang kajian yang hendak diteliti, kemudian mempelajari hah-hal yang telah
diketahui oleh peneliti sebelumnya dan kemudian mengajukan sebuah gagasan
atau ide barunya.
6) Theoretical review adalah sebuah review khusus dimana penulis menyajikan
beberapa teori atau konsep yang berfokus pada satu topik yang sama dan
29

membandingkan teori atau konsep tersebut atas dasar-dasar asumsi, konsistensi


logis, dan ruang lingkup penjelasannya.
2.7 Aplikasi NVivo 12 Plus
NVivo adalah sebuah perangkat lunak (software) untuk program analisis data
kualitatif maupun secara kuantitatif dengan cepat dan efektif. Perangkat lunak
kualitatif ini sangat membantu dalam mengelola dan mengatur pengkategorian data.
Meskipun beberapa program cenderung lebih linier dan kurang fleksibel dalam
kapasitasnya untuk mencerminkan temuan nonlinier, secara keseluruhan program
tersebut sangat membantu saat mengelola kumpulan data kualitatif dalam jumlah
yang besar. Salah satu keuntungan menggunakan perangkat lunak kualitatif
(NVivo) adalah untuk melakukan analisis kategorikal yang memberikan
kemampuan untuk berkolaborasi dengan jumlah peneliti yang banyak selama
proses penelitian berlangsung. Karena semakin banyak peneliti mengapresiasi
metode kualitatif, peneliti dari berbagai institusi, disiplin ilmu, negara, dan budaya
akan melakukan lebih banyak upaya kolaboratif yang memerlukan berbagai analisis
dengan memeriksa konsep kategorikal (Given, 2008).
Aplikasi ini sudah disempurnakan oleh QSR internasional yang bekerjasama
dengan universitas dan perusahaan besar di dunia. Versi terbaru NVivo ialah NVivo
12 Plus yang dapat mengelola data riset dengan metode kualitatif dan kuantitatif
secara optimal (Given, 2008). Tools yang disediakan oleh NVivo assist sebagai
berikut:
1) Melacak dan mengelola sumber data dan informasi tentang sumber tersebut
2) Melacak dan menautkan ide yang terkait dengan atau berasal dari sumber data
3) Mencari istilah atau konsep
4) Mengindeks atau mengkodekan teks atau informasi multimedia untuk
pengambilan yang mudah
5) Mengorganisir kode untuk memberikan kerangka kerja konseptual untuk
sebuah penelitian
6) Menanyakan hubungan antara konsep, tema, atau kategori
7) Membangun dan menggambar model visual dengan tautan ke data (Given,
2008).

Anda mungkin juga menyukai