Anda di halaman 1dari 28

KONSEP COMUNITY POLICING DI INDONESIA MENUJU POLISI YANG HUMANIS

MAKALAH

DISUSUN OLEH :

ELENA KRISTIANTO

2019330050028

HUKUM KEPOLISIAN

FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS JAYABAYA
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis bisa menyelesaikan Makalah yang berjudul “ KONSEP COMUNITY POLICING DI
INDONESIA MENUJU POLISI YANG HUMANIS ”

Tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Kristiawanto selaku dosen
untuk mata kuliah Hukum Kepolisian yang telah membantu saya dalam mengajarkan materi -
materi agar terciptanya Makalah ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang telah memberikan masukan dalam pembuatan Makalah ini.

Saya menyadari ada kekurangan pada Makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa
diharapkan demi perbaikan Makalah ini. Saya juga berharap agar Makalah ini dapat
memberikan pengetahuan tentang Hukum Kepolisian kepada Masyarakat umum.

Jakarta, 16 Oktober 2022

Elena Kristianto
Latar Belakang

Arus globalisasi membawa perubahan tatanan dunia dan dampaknya telah


berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat Internasional, Regional dan
Nasional. Selain dampak positif globalisasi yang dapat diterima masyarakat
terutama kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta
transportasi, namun juga muncul dampak negatif yang tidak terhindarkan
terkait perubahan budaya masyarakat yang cenderung bersifat
konsumerisme dan individualisme.

Nila-nilai kekeluargaan yang mencerminkan kebersamaan dan toleransi


perubahan drastis dengan munculnya tindakan anarkis melalui pembakaran
dan perusakan serta pemusnahan etnis tertentu dengan latar belakang
SARA yang bersifat Primodialisme sempit. Penanggulangan berbagai aksi
kerusuhan masal melalui tindakan represif aparat keamanan dengan
mengedepankan isu stabilitas atau pendekatan keamanan menjadikan
institusi Polri semakin ditinggalkan dan dijauhi masyarakat akibat pola kerja
polisi yang bersifat keras dan destruktif sebagai akibat dari militerisasi
institusi Polri maka menjadikan masyarakat selalu takut kepada polisi
apabila ditangkap dan dimasukkan kedalam rumah tahanan. Apabila
penangkapan dan penahanan tersebut dilakukan tanpa alasan yang jelas,
sehingga sangat dimungkinkan tindak penganiayaan yang dilakukan angota
Polri terhadap tersangka.
Keberadaan Polri sebagai bagian dari TNI/ ABRI tidak terjadi dengan
sendirinya namun didasarkan pada realita sejarah dan perkembangan
pemerintahan negara dan bangsa Indonesia pada saat itu. Pada tahun
1961 Polri dinyatakan sebagai bagian dari ABRI dan bertanggung jawab
langsung kepada presiden selaku panglima tertinggi ABRI sesuai sistem
yang dianut UUD 1945. Penyatuan institusi Polri ke dalam tubuh TNI/ ABRI
tidak dapat dilepaskan dari terjadinya peristiwa G30 S/PKI pada tahun
1965 yang disusul jatuhnya Soekarno sebagai presiden dan munculnya
ketua Presidium kabinet, Jendral Soeharto yang dikemudian hari diangkat
sebagai presiden pada tahun 1967 dan ditetapkan sebagai presiden pada
tahun 1968 melalui sidang umum MPRS.

Pada masa pemerintahan Soeharto dikenal dengan rezim ” Orde Baru”


yang berkuasa lebih dari 32 tahun. Pada saat itu integrasi TNI/ABRI
diperketat dengan alasan apabila institusi ABRI pecah maka negara akan
ikut pecah. Oleh karena itulah jabatan panglima TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL
dan Polri dihapus dan diciptakan jabatan Mentri Pertahanan Dan Keamanan
(Menhamkam ) serta panglima ABRI secara terpisah.

Pada tanggal 1 Juli 1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI


dikembalikan menjadi Kepala Kepolisian Negara RI dan singkatannya
adalah KAPOLRI. Kedudukan Polri sebagi ABRI paada waktu itu masih tidak
berubah dengan alasan Integritas, sehingga segala hal ikwal yang berlaku
dilingkungan TNI/ABRI juga diberlakukan dilingkungan Polri. Misalnya,
masalah pendidikan sistem anggaran dan keuangan, materiil dan persoalan
lainnya serta hampir semua tugas-tugas Polri berdasarkan petunjuk dan
perintah panglima ABRI. Akibat model itu maka intervensi TNI terhadap
pelaksanaan tugas Polri terutama dalam penyidikan tidak dapat
dihindarkan, sehingga cita-cita menjadikan hukum sebagai panglima
cenderung hanya sebatas klise belaka sehingga meninggalkan ciri dan jati
diri Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat dan
sebagai aparat penegak hukum.
Mulai era reformasi Polri tahun 1998 menggugah semangat pembaharuan,
semangat perbaikan, penataan, pembenahan yang secara sadar menyoroti
berbagai ketimpangan, penyimpangan di tubuh institusi kepolisian
terutama merebut kepercayaan masyarakat, masyarakat tentunya ingin
melihat apa hasilnya sesudah Polri keluar dari ABRI, kalau semuanya masih
tetap sama saja maka perpisahan tersebut malah dapat menjadi bumerang
bagi Polri, maka kerja keras pertama-tama adalah bagaimana Polri merebut
hati masyrakat. Untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari
masyarakat dalam menciptakan dan menjaga Kamtibmas dan tentunya
Polri dapat bertindak sebagai polisi yang netral, jujur, terbuka dan
bertanggung jawab yang dicintai dan dihormati, dipercaya dan
dibanggakan oleh masyarakatnya. Selain itu tuntutan rakyat dalam rangka
mewujudkan institusi Polri yang profesional berdasarkan Pasal 13 UU
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polisi
yang mempunyai tugas sebagai aparat penegak hukum, pelindung,
pengayom masyarakat dengan harapan terbebas dari intervensi politik dan
pengaruh kekuasaan maka perlu diterapkan langkah strategis bagi Polri
dengan mengedepankan program-program yang terukur dan menyentuh
kehidupan masyarakat. Namun dalam proses seperti ini tidaklah mungkin
bagi Polri pada khususnya dan pemerintah pada umumnya, mengatasi
sendiri masalah-masalah Kamtibmas. Dibutuhkan penataan struktural dan
kualitas aparatur yang bukan saja mengendalikan kehidupan bangsa dan
negara yang selalu bergerak dan intervensi berkembangnya kekuatan-
kekuatan kemasyarakatan agar berperan lebih swakarsa terutama dalam
penyelenggaraan Kamtibmas.
Untuk itu, polisi bersama masyarakat harus mampu beradaptasi dengan
segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat untuk meningkatkan produktivitas, sehingga dapat tumbuh dan
berkembang menjadi bangsa yang maju dan beradab. Dengan prinsip
tersebut, masyarakat mengharapkan adanya polisi yang cocok dengan
masyarakatnya, yang berubah dari polisi yang antagonis dan represif
menjadi polisi yang protagonis dan demokratis. Dengan demikian, kegiatan
polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan
sosial masyarakat yang dirasakan sebagai beban atau gangguan yang
merugikan bagi masyarakat. Untuk mewujudkannya, mustahil dapat
dilakukan oleh polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara
pemolisian yang konvensional dengan birokrasi yang rumit, dan tanpa
memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang
satu dengan yang lain. Oleh karena itu, diperlukan implementasi kegiatan
public relations untuk memperbaikinya.
Maka Polri membuat grand strategi 2005-2025 konsepsi community
policing sebagai alternatif pemecahannya.

Community Policing adalah model penyelenggaraan fungsi kepolisian yang


menekankan pendekatan kemanusiaan (humanistic approach) sebagai
perwujudan dari kepolisian sipil dan yang menempatkan masyarakat
sebagai mitra kerja yang setara dalam upaya penegakan hukum dan
pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Terobosan Polri dalam
menjaga Kamtibmas mulai diperkenalkan kepada masyarakat oleh seluruh
anggota Polri berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol:
SKEP/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005, tentang kebijakan dan strategi
penerapan Polmas. Konsep Perpolisian masyarakat (polmas) yang tertuang
dalam Surat Keputusan Kapolri No.pol: SKEP/737/X/2005 tanggal 13
Oktober 2005 yang mengikuti gaya perpolisian negara Jepang yaitu koban
dan chuzhaio. Koban dalam istilah Kepolisian di Jepang adalah pos polisi
yang terbuka selama 24 jam untuk melindungi masyarakat.
Secara harfiah, Koban yang berarti terbuka, memiliki arti pos polisi yang
selalu terbuka untuk tukar pendapat secara bebas dengan masyarakat.
Chuzaiso adalah pos polisi di daerah pedesaan yang terbuka dengan
seorang petugas polisi ada di tengah masyarakat selama 24 jam. Sistem
Koban inilah yang menjadi cikal bakal munculnya model Community
Policing saat ini.

Dalam peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7


Tahun 2008, menjelaskan bahwa penerapan Community policing sebagai
falsafah dan strategi merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan
kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat melalui kemitraan dengan
warga masyarakat untuk mewujudkan pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat dalam era demokrasi dan penegakan hak asasi
manusia. Dan Community policing menuntut adanya komitmen dari
keseluruhan jajaran organisasi kepolisian terhadap filosofi Community
policing. Selain melaksanakan kegiatan pemolisian tradisional, polisi harus
menemukan cara untuk mengekspresikan filosofi Community policing
dengan cara menggali strategi-strategi proaktif yang ditujukan untuk
menyelesaikan suatu masalah sebelum tindak kejahatan muncul atau
sebelum masalah tersebut menjadi semakin serius.
RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa perpolisian humanis perlu dibangun?


2. Bagaimana upaya membangun perpolisian humanis berdasarkan
refleksi pemikiran O.Notohamidjojo ?
PEMBAHASAN

Menurut O.Notohamidjojo, Hukum ialah komplex peraturan yang tertulis


dan tidak tertulis yang bersifat memaksa bagi kelakukan manusia dalam
masyarakat, yang berlaku dalam berjenis lingkungaan hidup dan
masyarakat-negara (antar negara) yang mengarah kepada keadilan, demi
tata serta damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam
masyarakat. Keadilan sendiri adalah suatu konsep yang dinamis,
senantiasa berubah. Tujuan hukum untuk mendatangkan tata dan damai
dalam masyarakat merupakan segi regular sebagai tujuan hukum yang
lahiriah. Tujuan hukum lebih mantap apabila tidak hanya tercantum segi
regular ini, namun juga segi keadilan, justitia. Dari segi regular ke segi
justitia makin didalami esensia tujuan hukum. Tegas dinyatakan oleh
O.Notohamidjojo bahwa tujuan hukum yang paling dalam dan paling
esensiil ialah menjaga supaya manusia diperlakukan sebagai
manusia…Memanusiakan manusia dalam segala hakekat dan relasinya
merupakan tujuan yang terakhir dan yang paling mulia bagi hukum
O.Notohamidjojo, 1975 : 89-90). Artinya, institusi hukum tidak menjadi
sesuatu yang dogmatis dan tertutup kepada pencerahan demi harkat dan
martabat kemanusiaan itu sendiri. Singkatnya, cara berhukum yang
humanis akan lebih memiliki karakter yang “openmindednes” yang
memungkinkan karakter manusia menjalankan dialog dengan dunia,
sesama dan Tuhan dalam penjiwaan hukum itu. Titik berat
O.Notohamidjojo pada manusia karena O.Notohamidjojo beranggapan
bahwa apapun kajian seperti tujuan pendidikan, hukum, politik, dan
sebagainya ditentukan oleh pandangan seseorang tentang manusia.
Pandangan seseorang tentang manusia mendasari segala sikap dan
tingkah lakunya. Pandangan manusia /antropologi itu motif dasar yang
menentukan ideologi dan perbuatan politik, cita-cita dan tindakan sosial,
ekonomi, dan kebudayaan, dan menentukan pula semua kerja kita di
perguruan tinggi di bidang ilmu, pendidikan, pembinaan dan pelayanan.
Jadi, kearifan manusia dalam memperlakukan hukum merupakan entry
point penting.
Hati nurani ini bahkan dinyatakan oleh O.Notohamidjojo sebagai salah satu
ukuran untuk taat atau melawan hukum positif. (O.Notohamidjojo, 1975 :
81).Tegas disampaikan oleh O.Notohamidjojo bahwa hukum itu tergantung
pada sebuah keputusan budi nurani.

Inilah karakter humanis yang berpedoman bahwa pemberlakukan hukum


memerlukan suatu kesadaran diri dan hati nurani manusia. Berdasar
pemikiran O.Notohamidjojo tersebut di atas, yakni bagaimana hukum harus
diperjuangkan untuk memenuhi esensi tujuan hukum yakni memanusiakan
manusia, serta bagaimana penggembala hukum harus memiliki perjuangan
untuk mewujudkan tujuan hukum itu dengan menunjung norma-norma
yang ada, maka dalam penelitian ini dikaji bagaimana penggembala hukum
dalam hal ini Polisi sebagai salah satu penggembala hukum bekerja dalam
masyarakat untuk mewujudkan tujuan hukum itu yakni sebagaimana
gagasan O.Notohamidjojo yakni memanusiakan manusia dalam kerangka
membangun reformasi POLRI yang lebih mengedepankan aspek
humanisme. Sebagaimana tertera dalam visi dan misi POLRI.

Visi dan misi Kepolisian RI dapat dikaji dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 13 UU
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam
Pasal 4 dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi HAM. Dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa Polisi disebut sebagai alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Adapun tugas POLRI dinyatakan pada Pasal 13 bahwa Tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada


masyarakat.

Dalam KUHAP, Polisi memiliki tugas sebagai penyelidik dan penyidik.


Penyelidik artinya orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP
(Pasal 1 butir 5). Sedangkan Penyelidikan merupakan tindakan tahap
pertama permulaan penyidikan. Oleh karena itu penyelidikan bukan
tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan
merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi
penyidikan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan,pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan
penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Dalam konteks pengukuhan humanisme yang menunjang akuntabilitas


Polisi, maka perlu ditegaskan dan didiseminasikan sebagai nilai dalam
korps Kepolisian hasil Symposium On The Role of The Police In The
Protection of Human Rights 1990 di Den Haag yang merekomendasi
supaya Polisi mengutamakan “The Police were a part of and not separate
from the community and than the mayority of policemen’s time was spent
on service oriented task rather than on law enforcement duties.
“(WarsitoHadi,2005: 173).
Dengan demikian, dalam penelitian ini dielaborasi bagaimana Polisi
merealisasikan aspek humanisme dalam melakukan pekerjaannya
khususnya dalam penanggulangan kejahatan. Baik melalui penyidikan
sebagai sarana represif maupun upaya Polisi dalam membangun citra
birokrasi humanis. Hal ini akan dikaitkan dengan keseluruhan konteks
pembangunan masyarakat yang demokratis dan penghormatan hak asasi
manusia.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh deskripsi mengenai kinerja


perpolisian dari sudut pencari keadilan maupun dari sudut polisi itu sendiri.

I. Masyarakat pencari keadilan : LSM dan / korban, dan tersangka :

a. Proses intimidasi sewaktu proses penyidikan masih mewarnai kinerja


perpolisian.

b. Polisi sangat bersifat dogmatis dan positivistic, semata menerapkan


perundangundangan dengan tanpa melihat dalam konteks kemanfaatan
kemasyarakatan dan keadilan. Sebagaimana kasus Mpok Minah yang
mencuri 3 biji kakao dan ditahan,serta kasus-kasus kecil (kerugian kecil)
lain yang sebenarnya dapat dilakukan suatu diskresi dengan tetap
mengedepankan hak-asasi manusia dan konteks keadilan masyarakat.

c. Dalam pelayanan kepada masyarakat, polisi masih mengedepankan


pemikiran dogmatis. Misalnya polisi menolak memberikan salinan BAP
Korban kepada korban dengan alasan tidak ada kewajiban polisi
menyerahkan salinan BAP kepada korban.

d. Dalam beberapa pendampingan hukum, hukum seringkali diterapkan


secara tajam bagi masyarakat bawah, namun tumpul apabila berhadapan
dengan masyarakat kelas atas atau memiliki status social ekonomi yang
tinggi.

e. Integritas sebagian Polisi masih dipertanyakan misalnya dengan


penanganan kasus yang berlarut-larut.
f. Penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan
anak sering dilakukan dengan cara kompromistis antara pelaku dengan
penegak hukum, dengan melalaikan hak korban untuk didengar
pendapatnya

g. Polisi melakukan penjeratan pasal yang tidak sesuai dengan fakta


hukum yang ada, supaya dapat dipaksakan model penyelesaian secara
perdamaian. Yakni seharusnya delik biasa menjadi delik aduan yang bisa
dicabut dan masuk kategori tindak pidana ringan saja.
2. Polisi

Menurut Polisi, Polisi humanis adalah Polisi yang tidak arogan, menjunjung
tinggi nilai hak asasi manusia, tidak melakukan kekerasan. Polisi humanis
juga diartikan sebagai Polisi yang murah senyum, tidak arogan dan
simpatik. Menurut Polda Jateng, sudah ada pelaksanakan Rencana
strategis tahun 2010 - 2012 ini antara lain dengan beberapa program,
yakni:

- penuntasan kasus menonjol

- program khusus untuk memantapkan kemitraan dengan masyarakat


(tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dll).

- perubahan mind set/culture set guna perubahan perilaku melalui


pelatihanpelatihan, kampanye/promosi integritas melalui banner, maupun
program terobosan kreatif yang diserahkan pada masing-masing satuan
kerja.

- penekanan pada transparansi dan akuntabilitas

- penataan sumberdaya manusia /assesment individu.

- penataan mekanisme pengawasan.

- pembinaan perubahan perilaku.

- mewujudkan pelayanan prima dengan prinsip justice for all, keadilan bagi
korban/restorative justice, dengan model penyelesaian secara ADR
(alternative dispute resolution) pada tindak pidana tipiring ataupun delik-
delik aduan.

Contoh

di aras Polres ada program berteman.

- Perubahan mind set/culture sert dengan orientasi remove the road


blocks,menyingkirkan ketakutan, melakukan perubahan dari keinginan
untuk mempertahankan status quo.
- Don’t forget the customer, yaitu merubah persepsi customer ke arah lebih
baik tentang organisasi Kepolisian.

- target opinion leader, yaitu melakukan isu-isu perubahan oleh tokoh-


tokoh.

Perubahan bisa berjalan jika muncul dari pemimpin lebih dulu dan
didukung oleh bawahannya.

- underpin words with actions, yaitu mengandung makna bahwa kata


perubahan harus diikuti tindakan.

- inject new blood yaitu melakukan outsourcing bila personal tidak mampu
melaksanakan konsep-konsep baru perbuahan mind set.

- pada kinerja penyidik /reserse diprogramkan transparansi penyidikan


yakni dengan profesionalisasi penyidikan, proporsional, objektif dan
transparan, penyerahan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyidikan) yaitu dengan pelaporan kepada pelapor tentang tahapan
proses penyidikan sejak penilaian laporan sampai dengan penyerahan
berkas perkara. Atau apabila ada SP3. Penyidik juga memberikan contact
person kepada pelapor/saksi dalam rangka kelancaran komunikasi untuk
mengetahui perkembangan sidik perkara. Dilakukan pula upaya
memberdayakan pengawasan penyidikan dalam rangka pengendalian
penyidikan dan pengawasan pemberian SP2HP sesuai tahapan.

- program “Neuro associative conditioning yakni dengan pelatihan


perubahan mind set (semacam ESQ).

- penataan Polmas Desa.Polmas sebagai wadah ADR(alternative dispute


resolution) dengan syarat mengutamakan kepentingan korban dan
menggali kearifan lokal (penggalian mekanisme sosial masyarakat) dan
diawasi pelaksanaan Polmas supaya tidak disalahgunakan (integritas
polmas).
- peningkatan kualitas penyidik juga dilakukan oleh Polda dengan cara :

Melakukan pendidikan kejuruan reserse bagi penyidik dan penyidik


pembantu.

pelatihan perubahan mind set dan culture set (Pelatihan Out bound,
pelatihan NAC).

Penerbitan SP2HP setiap penyidik pembantu yang melakukan penyidikan


wajib membuat dan mengirimkan SP2HP kepada pelapor atau korban.

Penyidik membuat lapju penyidikan secara periodic yaitu laporan


kemajuan penyidikan kasus yang ditangani

penyidik wajib melakukan gelar perkara. Penyidik Polda memiliki PIN


pelayanan prima anti KKN dan kekerasan untuk mengingatkan anggota
dalam melaksanakan tugas tidak melakukan penyimpangan dan tidak
melakukan kekerasan kepada tersangka.

Pemberlakuan SOP /Standar operasional prosedur. Apabila ada


pelanggaran SOP akan dikenakan sanksi mielalui sidang kode etik profesi
Profesi Polri, sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Berdasarkan elaborasi dari refleksi pemikiran O.Notohamidjojo tersebut di


atas, maka Saat dikemukakan analisis terhadap rumusan masalah yang
dikaitkan dengan hasil penelitian dan kerangka teoretik yang ada.
1. Perpolisian dengan cara berhukum humanis merupakan suatu
kebutuhan hukum.

Berdasar hasil penelitian, dapat diketemukan adanya praktek-praktek


adanya kerawanan-kerawanan ketidakhumanisnya Polisi, yakni dengan
gejala-gejala sosial sebagai

berikut :

a. Polisi melakukan kekerasan dalam penyidikan.

b. Polisi melakukan ketidakprofesionalan dalam penyidikan, dan semata-


mata mencari pengakuan tersangka.

c. Polisi diduga menerima suap (pólice corruption).

d. Polisi yang berlarut-larut menangani penyidikan suatu perkara dengan


tidak ada kejelasannya,

e. Model penyelesaian perdamaian di hadapan Polisi yang rentan dengan


pelanggaran hak asasi korban, karena penyelesaian pedamaian dicapai
dengan bentuk kompromisitas yang dikondisikan oleh Polisi dan pelaku.
Pemaknaan humanisme oleh Polisi ternyata memiliki makna yang
ambivalen. Dengan demikian pada satu sisi, seakan terkesan polisi
mewadahi kepentingan dan hak korban, namun pada sisi lain bentuk
perdamaian ini sebenarnya dikondisikan sebagai hasil kompromi antara
Polisi dan pelaku.

f. Rekayasa Polisi bahwa kasus yang dilaporkan adalah bukan tindak


pidana dalam kategori delik biasa, tetapi delik aduan yang nanti akan
diproses dalam sidang tipiring (tindak pidana ringan).

g. Polisi bersikap diskriminatif. Polisi terlalu memihak pada kepentingan


pelaku tindak pidana yang sebenarnya tidak sesuai dengan fakta hukum.

h. Polisi kurang peka terhadap aspek sosial masyarakat yang seharusnya


menjadi bahanbahan pertimbangan hukum oleh Polisi dalam menentukan
kebijakannya.
i. Pelayanan polisi kepada korban hanya semata berlandaskan kewajiban
pada KUHAP yang sebenarnya memiliki keterbatasan dalam mengakomodsi
perlindungan korban. Misalnya hak korban untuk didengar pendapatnya,
acces to justice and fair treatment.

Berangkat dari data-data penelitian, maka dapat diketemukan karakter


realitas Polisi yang tidak humanis di kalangan perpolisian yakni :

a. Adanya pólice brutality/ pólice violence

b. adanya crimes of the pólice sehingga memunculkan victim of abuses of


power.

c. Adanya police misconduct yang meliputi : pelanggaran prosedur yang


berlaku di Kepolisian /pelanggaran standard of profession/violations of
pólice procedures, ilegal use of forcé, atau illegal abuses of public power).

Berangkat dari pemahaman tersebut, maka dapat dielaborasi lebih


mendalam lagi mengapa masih ada sikap/perilaku Polisi yang tidak
berlandaskan pada humanisme?

Polisi memiliki peran ganda yang diembannya sekaligus. Yakni sebagai


penegak hukum dan sebagai pelayan. Pada paradigma pelayanan, maka
sikap Polisi diharapkan protagonis yang sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat akan mengedepan. Paradigma pelayanan ini, menjadikan
bekerjanya Polisi tidak semata-mata menjalankan prosedur UU, seperti
menahan, dan menangkap. Pada tataran ini, menegakkan hukum bukan
berarti otomatis menegakkan keadilan.
Apabila mengkaji latar belakang sosial yang menggambarkan mengapa
masih saja terjadi fenomena Polisi yang tidak humanis, maka dapat
dikemukakan dalam beberapa kajian

sebagai berikut :

a. Fenomena police corruption ataupun police malpractice terjadi karena


akibat dari suatu situasi yang tentu berkorelasi dengan hubungan antara
Polisi dan masyarakat (the result of particular encounters between the
pólice and citizens). Birokrasi Polisi sebagai birokrasi yang rentan pengaruh
lingkungan. Kepolisian merupakan bagian dari sistem peradilan pidana
merupakan “open system”, dan bukan sebagai lembaga steril yang tidak
terpengaruh berbagai interest, sebab besarnya pengaruh lingkungan.
Hukum bekerja dalam suatu konteks sosial. Dengan demikian secara
sosiologis, Kepolisian tidak bisa mengklaim dirinya sebagai badan yang
sepenuhnya bebas dan mandiri.

b. Adanya penyalahgunaan profesi hukum. Kecenderungan yang ada


profesi hukum menjadi profesi bisnis. Perilaku pengemban profesi hukum
yang tidak sadar dan tidak memiliki kepedulian moral.

c. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktek judicial


corruption.

d. Rendahnya kualitas penegak hukum itu sendiri.

e. Fenomena kultur polisi yang masih dirasa saat ini memiliki karakter
paramiliteristik,antagonis, legalistic, tertutup. Kultur polisi yang demikian ini
tidak bersesuaian dengan tuntutan masyarakat agat polisi lebih bersifat
protagonis dan dialogis dengan masyarakat.Praktek perpolisian masih
diwarnai paradigma positivisme legisme yang berhenti pada prosedur dan
peraturan, melepaskan aspek sosial dan moral dari hukum, terlepas dari
kebutuhan sosial masyarakat.
Mengacu pada hasil penelitian, program reformasi birokrasi Polisi memang
sudah menunjukkan adanya perubahan orientasi perpolisian menuju
perpolisian yang lebih humanis.

Program-program seperti Quick Win, SOP (standard Operating Procedure)


dalam penyidikan,Program ESQ merupakan program yang cukup bagus.
Namun, realitas implementasi akan hal inipun sangat dipengaruhi oleh
integritas petugas polisi di lapangan.

“Legal spirit” bagi Polisi selain self regulation dalam kode etik, bersumber
pula standar moral yang tercermin dalam hukum nasional dan aspirasi
hukum internasional. Due Process of law sebagai prinsip yang ada dalam
prose peradilan yang adil dan layak dan berkaitan dengan etika antara lain
juga diacu KUHAP, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Tetapi aturan ini dalam beberapa kasus hanya ditempatkan “di luar
manusia sana “, dan belum masuk dalam pribadi pengemban profesi.
Peranan manusia polisi memegang titik central dalam mengartikulasikan
visi dan misi organisasi penegak hukum.
2. Upaya Membangun Perpolisian Humanis Berdasarkan Refleksi
Pemikiran O.Notohamidjojo.

Paradigma baru yang sedang dikembangkan Polri saat ini berorientasi


kepada pemecahan masalah-masalah masyarakat (problem solver
oriented), dengan berbasis pendekatan pada masyarakat yang lebih
manusiawi (humanistic approach). Dengan paradigma baru ini diharapkan
lahirnya Polisi sipil yang humanis. Mengacu pada refleksi pemikiran
O.Notohamidjojo, maka karakter memanusiakan manusia, merupakan segi
esensiil tujuan hukum, dan bukannya segi regular untuk semata-mata
menegakkan Pasal-pasal di dalam KUHP. Ini artinya, Polisi humanis
bukanlah Polisi yang mengekslusifkan hukum, tetapi tetap
menginklusifkannya dalam konteks kenyataan kemasyarakatan dan pada
akhirnya memanusiakan manusia.

Ciri-ciri Polisi humanis berdasat penelitian di atas, yang sesuai harapan


O.Notohamidjojo untuk dikedepankan sebagai penggembala hukum
adalah:

1. Respect for human rights and human dignity.Dengan demikian tidak ada
lagi sinyalemen sebagaimana penelitian di atas yakni intimidasi, penahanan
yang tidak sah, pengumpulan alat bukti yang dianggap tidak sah, dan
sebagainya. Tidak ada pula yang disebut ”unfair investigation”. Oleh
karena itu, perlu ditegakkanya ”the prevention of torture and Other forms
cruel, Inhuman or degrading treatment or punishment.

Dengan demikian, Polisi menjadi sosok yang selalu berusaha menjamin ”


the greater security and protection of the rights of all people or the
fundamental human rights.
2. Perubahan peran Polisi yang berorientasi pada community oriented
policing. Dengan mengedepankan pelayanan kepada mayarakat. Karakter
perpolisian humanis menekankan pada Paradigma baru yang berorientasi
kepada pemecahan masalah-masalah masyarakat (problem solver
oriented), dengan habitus perpolisian yang dekat dengan masyarakat dan
dengan menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi (humanistic
approach).

3. Perhatian pada hak-hak korban bahkan hak tersangka dengan


memberikan ’acces to justice and fair treatment”.

4. Dalam pencitraan Polisi humanis, maka aspek “services oriented task „


lebih diutamakan daripada “law enforcement duties”. Dengan demikian,
sebagai orientasi perpolisian humanis, maka hasus diingat bahwa Polisi
adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Pekerjaan Polisi tidak hanya
sekedar membaca peraturan, namun juga membaca dinamika masyarakat.
Sehingga pekerjaan Polisi sarat dengan pilihan. Roger Cotterel mengutip
Alderson mengungkapkan bahwa sosok Polisi adalah sebagai “as a social
diagnosticians“ /pendiagnosis social. Dikatakan bahwa secara objektif,
fungsi utama Polisi bukanlah menegakkan hukum. Pada Polisi modern,
tugas Polisi diemergensikan pada menjaga perdamaian dan ketertiban
social. Menegakkan hukum dan menjaga ketertiban adalah dua scope yang
berbeda. Menegakkan hukum yakni menerapkan bunyi peraturan, dan
menjaga ketertiban bukanlah selalu berarti menerapkan prosedur hukum
acara pidana, seperti menahan, dsb. Tugas Kepolisian sebagai pekerja
social berorientasi pada aspek sosial atau aspek kemasyarakatan yang
bersifat pelayanan dan pengabdian sebenarnya jauh lebih banyak dalam
mengedepankan aspek ketertiban dalam masyarakat. Hanya sebagian kecil
saja tugas Polisi di bidang juridis sebagai penegak hukum di bidang
peradilan pidana.
5. Karakter Polisi humanis adalah karakter Polisi yang menjadikan dirinya
friends, partners and defenders of citizens. Bukannya karakter Polisi yang
“cold and distant representatives of authority (anggota penguasa yang
acuh dan tidak ramah).

6. Polisi humanis memiliki karakter kejujuran yakni tidak melakukan


perbuatan yang koruptif. Polisi harus menentang dan melawan perbuatan
yang mengarah pada police corruption.

Dengan demikian, tindakan Polisi yang humanis, tidak mengarah semata


pada aspek prosedur untuk mengurangi secara kuantitas terjadinya
kejahatan, namun dalam menjalankan pekerjaannya Polisi mengedepankan
aspek keadilan substansial. Repression of crime atau pemberantasan
kejahatan memang menjadi bentuk artikulasi dari perlindungan
masyarakat. Namun, dengan karakter humanis aspek perlindungan
masyarakat dari kejahatan juga diarahkan pada penerapan perspektif
penghormatan akan nilai nilai humanistic dalam penegakannya. Dalam
konteks konsepsi modern, maka karakter humanis ini muncul dalam format
“the modern conception of social defence “yakni “the prevention of crime
and the treatment of offenders”. Adapun upaya untuk membangun
perpolisian humanis, apabila dikoherensikan dengan pemikiran
O.Notohamidjojo, maka tak lepas dari norma-norma yang harus ditegakkan
oleh penegak hukum.

Yakni :kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran.

Dalam konteks membangun perpolisian humanis, maka keempat norma


tersebut haruslah menjiwai karakter Polisi. Dengan menjunjung keadilan,
kepatutan, dan kejujuran, di samping juga norma kemanusiaan merupakan
keempat norma yang pada akhirnya menjunjung keadilan substansial yang
pada akhirnya memenuhi harkat dan martabat manusia untuk memperoleh
perlindungan hukum.
Aspek norma yang harus diemban Polisi, merupakan aspek value atau ide
nilai atau mind set yang merupakan suatu budaya hukum dari Polisi.
Dengan demikian mereformasi budaya hukum dari Polisi merupakan syarat
untuk diwujudkannya perpolisian humanis.

Penting pula dalam kontkes mengelaborasi pemikiran O.Notohamidjojo


bahwa manusia juga harus hidup tidak hanya sebagai makhluk individu,
tetapi juga makhluk sosial, dan juga makhluk rohani yang memiliki Tuhan.
Sebagaimana dikemukakan oleh O.Notohamidjojo bahwa manusia menurut
O.Notohamidjojo pada satu pihak mewujudkan objek,dan pada pihak lain
mewujudkan subjek yang lebih hakiki. Segi lain manusia ialah bahwa ia
mempunyai relasi aku-engkau. Relasi aku-engkau mempunyai pihak bawah
(alam semesta), fihak atas (Tuhan), dan pihak samping (sesama manusia
dalam masyarakat). Lihat pula C.A.Van Peursen , 1988: 220-225).
Mengeliminir perilaku individual Polisi yang tidak mencerminkan
refleksivitas hati nurani, merupakan langkah terciptanya Polisi humanis.
Bagaimanakah lalu aplikasi dari sebuah keputusan hati nurani untuk
memanusiakan manusia dalam hukum? lalu Para penggembala hukum
menurut O.Notohamidjojo dituntut untuk menunaikan tanggungjawabnya
sebagai jurist dalam lima asas yakni (O.Notohamidjojo, 1975: 64-
66),(O.Notohamidjojo,1970 : 83-86).

1. Melakukan justitialisasi (mengadilkan) hukum. Keputusan jurist yang


dalam prakteknya memperhitungkan kemanfaatan (doelmatigheid) perlu
diadilkan, dan dijustitiakan.

2. Penjiwaan hukum atau merohanikan hukum. Pejabat hukum harus taat


dan kasih akan Allah sebagai sumber segala nomos. Berhukum tidak boleh
morosot menjadi suatu adat yang hampa tiada berjiwa.

3. Pengintegrasian hukum. Keputusan hukum tidak hanya perlu diadilkan,


dan dijiwakan melainkan juga perlu diintegrasikan dalam system hukum
yang sedang berkembang oleh perundang-undangan, peradilan dan
kebiasaan.
4. Totalisasi Hukum. Menempatkan hukum dalam keseluruhan kenyataan.
Jurist melihat ke bawah segi hukum, kenyataan ekonomi dan social, di
atasnya ia melihat segi moral dan religi yang menuntut nilai kebaikan dan
kesucian.

5. Personalisasi hukum. Mengkhususkan keputusan pada persona


(kepribadian) daripada pihak-pihak yang mencari keadilan dalam proses.

Oleh karena itu, polisi memiliki akuntabilitas memuncak sebagai pelindung


dari manusia pencari keadilan yang memiliki “dignity of man”. Hukum tidak
bernurani cenderung mengadopsi kesalahan dari pemikiran positivisme/
legisme/dogmatisme. Menurut Scholten adalah bahwa positivisme hanya
melihat undang-undang, peraturan-peraturan. Ia melupakan bahwa di
belakang bahan-bahan positif ini terdapat sesuatu yang lain, yang juga
demikian pentingnya, bahwa hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual
(rokhaniah, kejiwaan)manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan.
(Paul Scholten, 2005: 18).Seyogyanya juga harus dikaji kendala/evaluasi
terhadap pelaksanaan program refomasi birokrasi Polisi menuju Polisi
humanis Mengingat sebenarnya yang terpenting dalam membangun
perpolisiian bukanlah hanya sekedar program melainkan action dari
program tersebut guna lebih menunjukkan akuntabilitas polisi. Ini berarti
membangun perpolisian humanis dimulai dengan membangun manusia-
manusia yang bertugas di kepolisian untuk mewujudkan tugas polisi untuk
to serve and to protect dengan berbasis pada nilai memanusiakan manusia.
KESIMPULAN

Berdasarkan adagium O.Notohamidjojo bahwa hukum bukan untuk


melayani dirinya sendiri, tetapi hukum untuk manusia, memproyeksikan
Model perpolisian humanis yakni :

a. Polisi bertindak sebagai “agents of the publik”, yang memiliki karakter


institusi responsif untuk menunjukkan Polisi yang lebih humanis dalam
pelayanan pada masyarakat .

b. Polisi bertindak sebagai pelayan masyarakat dan bukan penguasa ( c i v


i l i a n police). cara berhukum humanis menganjurkan to learn from the
people, mengajak para pengkaji hukum agar juga menggali dan meneliti
makna-makna hukum dari perspektif para pencari keadilan, guna mencari
hakekat hukum demi keadilan substansial dan kemanusiaan.

c. cara berhukum dari Polisi yang lebih humanis dan responsif, dengan
pertimbangan hati nurani dan respect kepada “the dignity of man”..

d. Polisi menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan


mengkoherensikan implementasi ketentuan perundangan dengan
pemenuhan nilai nilai keadilan substansial demi memajukan harkat dan
martabat manusia.

Oleh karena itu, membangun perpolisian humanis yang dielaborasi dari


pemikiran O.Notohamidjojo pada hakekatnya mereformasi Polisi melalui
mereformasi reputasi Polisi ke arah fairness, civility, and integrity untuk
lebih respek pada harapan masyarakat akan tercitranya polisi yang
humanis.
SARAN

1. Dalam kerangka membangun perpolisian humanis, perlu dieleminir


karakter paramiliteristik yang masih mewarnai perpolisian, dan digantikan
dengan paradigma sipil yang mengedepankan pelayanan.

2. Dalam menafsirkan hukum, polisi perlu merefleksi bahwa hukum


bukanlah institusi yang tidak bernurani. Hukum merupakan suatu institusi
yang bermoral, yaitu moral kemanusiaan dan keadilan. Hukum yang
bercita rasa keadilan adalah hukum yang bukan melayani dirinya sendiri,
melainkan berusaha mencapai makna hukumnya yang esensiil yaitu demi
menjunjung harkat kemanusiaan itu sendiri,dan bukan pada dehumanisasi
manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Hoogenboom, A.B. ;.Meiboom, M.J;. Schoneveld, D.C.M;.Stoop, J.W.M ,


1997, Policing The Future , 13 th European Policing Executive Conference
International Association of Chiefs o Police, London, Boston, Kluwer Law
International.

Indah . C.Maya ,Refleksi Pemikiran O.Notohamidjojo Untuk Mewujudkan


Cara berhukum Humanis, seminar Nasional Refleksi Pemikiran
O.Notohamidjojo Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia, 24
Nopember 2011, BU-UKSW, Salatiga

Moleong, Lexy, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, , Bandung, Remaja


Rosdakarya.

Muhajir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, ed. III, Yogyakarta,


Rakesarasin.

Notohamidjojo, O, 1975, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum,Jakarta Pusat,


BPK Gunung Mulia,

Notohamidjojo,O, 1975, Demi Keadilan Dan Kemanusiaan, Jakarta Pusat,


BPK Gunung Mulia.

Skolnick, Jerome H, 1966, Justice Without Trial, Law Enforcement In


Democratic Society,New York, John wiley & sons Inc, New York.

Van Peursen, C.A.1988, Orientasi Di Alam Filsafat, terj. dari Filosofische


Orientatie,Jakarta, Gramedia.

Warsito Hadi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta,


Prestasi Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai