Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagaimana diatur dalam UU No. 16 tahun 1992, karantina adalah tempat
pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya
hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar Negeri dan dari suatu
area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah Negara
Republik Indonesia. Tujuan perkarantinaan adalah untuk mencegah masuk
keluarnya penyakit zoonosis, eksotik dan strategis atau bahan pangan yang
tercemar mikroba dan residu (antibiotika, logam berat, pestisida, dan bahan kimia
lainnya) yang dapat berakibat pada kematian atau gangguan kesehatan pada
manusia dan hewan. Pelaksanaan pencegahan dan penolakan hama penyakit
hewan karantina, dilakukan dengan menerapkan peraturan perundang-undangan
sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional. Kebijakan karantina hewan
adalah mempertahankan status bebas Indonesia dari beberapa penyakit hewan
menular utama, memberlakukan tindakan pengamanan maksimum, melakukan
pengawasan pemeriksaan lalu lintas hewan dan produknya dengan maksud
melindungi sumber daya alam hayati dan fauna dari ancaman penyakit hewan
berbahaya lainnya serta penyakit eksotik (UU No. 16 Tahun 1992 Pasal 1).
Brucellosis atau biasa dikenal dengan Keluron merupakan penyakit yang
disebabkan oleh kuman Brucella abortus yang menyerang ternak sapi. Penyakit
ini menyebar hampir diseluruh pulau Timor, Jawa, dan Sumatera, pulau yang
dinyatakan bebas Brucellosis adalah pulau Bali (Nazaruddin, 2009). Oleh karena
itu identifikasi Brucellosisn melalui Laboratorium Balai Karantina Pertanian
Kelas 1 Kupang yang ketat akan dapat mencegah penyebaran suatu penyakit dari
tempat yang satu ke tempat yang lain. Brucellosis berdampak pada kerugian
ekonomi secara makro bagi dunia peternakan nasional, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No.4026/Kpts/OT.140/3/2013 tentang Penetapan
Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis, brucellosis termasuk dalam daftar
penyakit hewan menular strategis yang memerlukan upaya bersama dalam

1
pengendalian dan penanggulangannya antara pemerintah, pemerintah daerah dan
pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
Brucellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang juga termasuk
dalam penyakit-penyakit ternak strategis di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Keberadaan penyakit brucellosis di NTT selain turut berpengaruh bagi
perkembangan ternak terutama sapi potong, juga membawa dampak pada
pembatasan pengeluaran ternak sapi bibit dari beberapa Kabupaten di NTT.
Kegiatan praktik lapang (PL) merupakan salah satu mata kuliah bagi mahasiswa
semester V Program Studi Kesehatan Hewan, Politeknik Pertanian Negeri
Kupang. Kegiatan praktik lapang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan lapangan, khususnya institusi terkait
seperti Karantina dan Laboratorium UPT Veteriner. Melalui kegiatan praktik
lapang ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
mengimplementasikan ilmu yang telah dipelajari di kampus sebagai bekal untuk
menjadi tenaga paramedis yang terampil. Berdasarkan kegiatan praktik lapang di
Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang yang dilaksanakan sejak 15 September
 02 Oktober 2018, maka penyusunan laporan ini berisikan Deteksi Brucellosis
pada Sapi Bali Dengan Metode Pengujian Rose Bengal Test (RBT) Di Balai
Karantina Pertanian Kelas I Kupang.
1.2. Tujuan
Tujuan diadakannya Praktek Lapang di Balai Karantina Pertanian Kelas 1
Kupang ini adalah untuk lebih memantapkan pemahaman mahasiswa mengenai
teknik penanganan dan pengendalian penyakit, sehingga mahasiswa tidak hanya
mengetahui teori saja akan tetapi juga dapat mengetahui secara langsung
mengenai pengendalian penyakit hewan.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari praktek lapang ini antara lain adalah
1. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang upaya pengendalian penyakit
hewan yang dilakukanoleh Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang.
2. Untuk teknik pengambilan sampel darah pada sapi potong dan metode
pemeriksaan Rose Bengal Test (RBT).
3. Sebagai salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan pendidikan D3
Kesehatan Hewan.
4. Memperkenalkan mahasiswa pada situasi kerja yang sebenarnya.

2
1.3. Manfaat
Manfaat dari Praktek Lapang di Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang
adalah :
1. Mahasiswa mendapat ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktek
beserta aplikasi kerja khususnya Ilmu Penyakit Bakterial Mikal.
2. Mahasiswa mendapat bimbingan tentang dunia kerja yang akan diterapi setelah
menyelesaikan studi.
3. Mahasiswa mendapatkan pengalaman akademis yang berharga sebagai bekal
setelah lulus studi.
4. Memberikan informasi bagi mahasiswa dan masyarakat tentang peran
karantina dalam pengawasan penyakit Brucellosis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Karantina


Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya
pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme
pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau
keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia(UU RI No.16 Tahun
1992). Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No.82 Tahun 2000
tentang karantina hewan, media pembawa hama penyakit hewan karantina yang
selanjutnya disebut media pembawa adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan
asal hewan dan atau benda lain yang dapat membawa hama penyakit hewan
karantina. Permentan No.70/Permentan/KR.100/12/2015 tentang Instalasi
Karantina juga menjelaskan bahwa tindakan karantina hewan yang selanjutnya
disebut tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama
dan penyakit hewan karantina (HPHK) masuk di wilayah tersebut dan/atau keluar
wilayah Negera Republik Indonesia (ketentuan Permentan No.
70/permentan/KR.100/12/2015 pasal 1 Ayat 7).

2.2. Sejarah Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang


Balai Karantina Kelas I Kupang didirikan pada tahun 1952, pada mulanya
kegiatan karantina ditangani oleh Dinas Peternakan Kabupaten Dati II Kupang
melalui Seksi Kesehatan Hewan. Operasi awal karantina terbukti dengan
pengiriman sapi potong ke luar negeri melalui pelabuhan Tenau, dimana saat itu
fasilitas dermaga atau pelabuhan belum ada sehingga kegiatan transportasi hewan
menggunakan rakit dari pantai ke kapal.Sejarah organisasi kelembagaan Stasiun
Karantina Hewan Tenau dari awal berdiri merupakan Unit Pelaksana Teknis dari
Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian yang pelaksanaan
operasionalnya oleh Dinas Peternakan Kabupaten Dati II Kupang. Karantina
Hewan Tenau kemudian bergabung dengan Karantina Hewan, Ikan dan Karantina
Tumbuhan di bawah Pusat Karantina Pertanian, Departemen Pertanian dimana
pembinaan administrasi oleh Sekretaris Jenderal sedangkan pembinaan teknis oleh
Dirjen Peternakan.

4
2.3. Landasan Hukum Karantina Hewan
Dalam melaksanakan pencegahan dan penolakan hama penyakit hewan
karantina,diimplementasikan peraturan perundang-undangan diantaranya:
a. Undang-undang No.6 Tahun1967tentang Pokok-pokok Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
b. Undang-undang No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan
dan Tumbuhan.
c. Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Oraganitation.
d. Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan.
e. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
f. Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1978 tentang Penolakan,
Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan.
g. Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1983 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
h. Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.
i. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu
dan Gizi Pangan.
2.4. Tugas Pokok dan Fungsi Karantina
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2000 tentang karantina
hewan, tugas pokok karantian adalah:
a. Mencegah masuknya hama dan penyakit hewan karantina dari
wilayah luar negeri (eksotik) ke dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
b. Mencegah menyebarnya dan meluasnya hama dan penyakit hewan
karantina dari suatu area ke area lain di wilayah Republik Indonesia
c. Mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari wilayah
Republik Indonesia ke luar negeri.
d. Melakukan pengawasan lalu lintas hewan dan produk hewan dengan
melakukan tindakan karantina.

5
Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang berdasarkan surat Keputusan
Menteri Pertanian No.22/Permentan/OT.140/4/2008, tentang Organisasi dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian tanggal 3 April 2008
melaksanakan tugas pokok sebagai berikut:

a. Memberikan pelayanan teknis operasional karantina hewan,


pengawasan keamanan hayati hewani dan sarana teknis serta
pengelolaan sistem informasi dan dokumentasi.
b. Memberikan pelayanan teknis operasional karantina tumbuhan,
pengawasan keamanan hayati nabati dan sarana teknis serta
pengelolaan sistem informasi dan dokumentasi.
c. Melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan perundangan di bidang karantina hewan dan karantina
tumbuhan serta keamanan hayati hewani dan nabati.
d. Melakukan penyiapan bahan penyusunan rencana, evaluasi dan
pelaporan serta urusan tata usaha dan rumah tangga.

Pelaksanaan tugas pokok Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang


didasarkan pada fungsinya, sebagai berikut:

a. Pelaksanaan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan,


penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan media pembawa
hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina (OPTK).
b. Pelaksanaan pemantauan daerah sebar HPHK maupun OPTK
c. Pelaksanaan pembuatan koleksi HPHK dan OPTK.
d. Pengelolaan laboratorium untuk pemeriksaan komoditi hewan
komoditi tumbuhan dan keamanan hayati hewan/nabati. Pelaksanaan
pelayanan teknis kegiatan operasional perkarantinaan
hewan/tumbuhan.
e. Pelaksanaan pengawasan dan penindakan pelanggaran peraturan
perundang-undangan perkarantinaan hewan/tumbuhan tingkat Balai.
f. Melakukan koordinasi penyelenggaraan fungsi penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS) dengan instansi terkait/korwa.

6
2.5. Peran Karantina
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi untuk pencegahan dan penolakan
masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, maka karantina hewan
melakukan pengawasan lalu lintas perdagangan hewan dan produknya sesuai
dengan aturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kebijakan karantina hewan
dalam hal ini adalah :
a. Mempertahankan status bebasnya Indonesia dari beberapa penyakit
hewan menular utama (majorepizooticdisease) dari kemungkinan
masuk dan tersebarnya agen penyakit dari luar negeri.
b. Mengimplementasikan kebijakan pengamanan maksimum (maximum
security policy) dengan menerapkan kebijakan pelarangan atau
pelarangan sementara jika terjadi wabah penyakit hewan menular,
yang dalam pelaksanaannya memantau perkembangan situasi wabah
melalui berbagai informasi resmi baik dari OfficeInternational des
Epizootis (OIE) maupun dengan mencermati pelaporan negara yang
bersangkutan atau melalui komunikasi langsung dengan negara
tersebut.
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan lalu lintas hewan dan
produknya dengan menerapkan CIA (Controlling, Inspection and
Approval) untuk melindungi sumber daya alam hayati fauna dari
ancaman penyakit hewan berbahaya lainnya serta penyakit eksotik.

Peran Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang sejalan dengan peran Badan
Karantina Pertanian antara lain dari aspek protektif dan aspek promotif. Dari
aspek protektif BKP Kelas I Kupang diharapkan berperan banyak dan mampu
melindungi wilayah dari intersepsi penyakit hewan/tumbuhan, mencegah
keluarnya serta mencegah penyebarannya dari satu area ke area lainnya. Dari
aspek promotif dengan pelaksanaan tindakan karantina baik terhadap
hewan/tumbuhan masyarakat merasa aman dan terlindungi dari ancaman
HPHK/OPTK.

7
2.6. Tindakan Karantina
Sebagaimana diketahui pelaksanaan tindakan karantina didasarkan atas UU
No.16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan, sejalan dengan
pelaksanaan perjanjian SPS-WTO (Sanitary and Phytosanitari - World Trade
Organization) dengan tujuan untuk mencegah masuk, tersebar dan keluarnya
hama penyakit berbahaya yang dapat mengancam keamanan dan kesehatan
manusia, hewan, ikan dan tumbuhan, serta kelestarian lingkungan hidup.
Secara umum pelaksanaan tindakan karantina khususnya terhadap media
pembawa hama dan penyakit hewan karantina dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan
Dilakukan untuk mengetahui kelengkapan isi dokumen dan
mendeteksi hama dan penyakit hewan karantina, status kesehatan dan
sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana prasarana karantina,
alat angkut. Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa
dilakukan secara fisik dengan cara pemeriksaan klinis pada hewan
atau pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada
bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain.
b. Pengasingan
Dilakukan terhadap sebagian atau seluruhnya media pembawa untuk
diadakan pengamatan, pemeriksaan dan perlakukan dengan tujuan
untuk mencegah kemungkinan penularan hama penyakit hewan
karantina selama waktu tertentu yang akan dipergunakan sebagai
dasar penetapan masa karantina.
c. Pengamatan
Mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina dengan cara
mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan karantina pada
media pembawa selama diasingkan dengan mempergunakan sistem
semua masuk – semua keluar.
d. Perlakuan
Merupakan tindakan untuk membebaskan dan mensucihamakan
media pembawa dari hama penyakit hewan karantina, atau tindakan
lain yang bersifat preventif, kuratif dan promotif.

8
e. Penahanan
Dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi
persyaratan karantina atau dokumen yang dipersyaratkan oleh Menteri
lain yang terkait atau dalam pemeriksaan masih diperlukan konfirmasi
lebih lanjut.
f. Penolakan
Dilakukan penolakan apabila media pembawa tersebut berasal dari
daerah/negara terlarang karena masih terdapat/tertular atau sedang
wabah penyakit hewan karantina golongan I, atau pada waktu
pemeriksaan ditemukan gejala adanya penyakit hewan karantina
golongan I, atau pada waktu pemeriksaan tidak dilengkapi dengan
dokumen karantina (sertifikat kesehatan).
g. Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan apabila media pembawa yang ditahan tersebut
melewati batas waktu yang ditentukan dan pemilik/kuasanya tidak
dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan, atau terhadap media
pembawa tersebut ditemukan adanya hama dan penyakit hewan
karantina golongan I atau golongan II tetapi telah diobati ternyata
tidak dapat disembuhkan, atau hewan yang ditolak tidak segera di
berangkatkan/tidak mungkin dilakukan penolakan dan media
pembawa tersebut berasal dari daerah terlarang atau daerah yang tidak
bebas dari penyakit hewan karantina golongan I.
h. Pembebasan
Pembebasan dilakukan apabila semua kewajiban dan persyaratan
untuk memasukkan/mengeluarkan media pembawa tersebut telah
dipenuhi dan dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya/dugaan
adanya gejala hama dan penyakit hewan karantina, atau selama
pengasingan dan pengamatan tidak ditemukan adanya hama dan
penyakit hewan karantina. Pembebasan untuk masuk diberikan
dengansertifikatpelepasan/pembebasan,sedangkan pembebasan keluar
diberikan dengan sertifikat kesehatan.

9
2.7. Sapi Potong
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil
domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng) (Hardjosubroto,1994) dan
merupakan sapi asli Pulau Bali (Payne dan Rollinson, 1974). Sapi Bali menjadi
primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi
tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang (Moran,
1990), persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi
pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan
presentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Tanari, 2001). Namun ada juga
beberapa kekurangannya yaitu pertumbuhannya lambat, rentan terhadap
penyakit Jembrana, penyakit Ingusan (malignant catarrhal fever) dan Bali ziekte
(Darmadja, 1980).
Menurut Copland, (1974) sapi Bali (Bos-bibos banteng) yang berasal dari
domestikasi Banteng dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan setempat.
Demikian pula dengan penyebaran pada lingkungan di luar wilayah Indonesia
(tropis dan sub tropis), sapi Bali tidak mengalami kesulitan dalam arti fungsi
reproduksi dan berjalan secara normal sebagaimana pada daerah asalnya.Sampai
saat ini penyebaran populasi sapi Bali telah meluas yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia, termasuk di Pulau Jawa kecuali Propinsi DKI Jakarta.
Konsentrasi sapi Bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan
Lombok (Tanari, 2001). Jumlah sapi Balidi Sulawesi Selatan dan Pulau Timor
telah jauh melampaui populasi sapi Bali ditempat asalnya Pulau Bali (Soehadji,
1990). Sapi Bali juga dapat ditemukan di kebun-kebun binatang dan Taman Safari
di luar negeri, secara liar dan terpelihara juga dapat dilihat pada hutan-hutan tropis
dan negara-negara Asia Tenggara dan Australia Utara (Talib, 1998).

2.8. Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme dalam
genus Brucella yang merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis,
karena penularannya yang relatif antar daerah dan lintas batas serta memerlukan
pengaturan lalu lintas ternak yang ketat. Penyakit brucellosis dapat
mengakibatkan kerugian yang besar, dan di Indonesia penyakit tersebut pada sapi

10
dimasukan dalam daftar penyakit menular yang harus dicegah dan diberantas
sejak tahun 1959 (Subronto, 2003).
a. Etiologi
Menurut Agasthya (2007), Brucellosis merupakan salah satu penyakit
zoonosis utama yang berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan
perekonomian dibanyak bagian dunia. Agen utama pada sapi adalah genus
Brucella abortus (Crawford, 1990). Brucellosis disebabkan oleh infeksi dari
berbagai spesies dari genus brucella, termasuk pada bakteri gram negatif
coccobasilus fakultatif intraseluler atau berbatang pendek (Bret, 2007).
Organisme ini biasanya aerobik tetapi beberapa jenis memerlukan lingkungan
yang mengandung karbondioksida 5-10%. Pertumbuhan Brucella sp lambat,
kadang-kadang memakan waktu 2-3 hari dengan memerlukan media enriched
dengan suhu 37°C (Puto, 2010). Sepesies Brucella diketahui memiliki 6 spesies,
yang menimbulkan masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3 spesies yaitu:
B. melitensis yang menyerang kambing, B. abortus yang menyerang sapi dan B.
suis yang menyerang babi dan sapi. Penularan pada terjadi melalui saluran
pencernaan, saluran kelamin, dan melalui selaput lender atau kulit yang luka. Pada
sapi dan kambing penularan sering terjadi melalui perkawinan (Anonimous,
2000).
b. Epidemiologi Brucellosis di Indonesia
Di Indonesia secara serologis, Brucellosis dikenal pertama kali pada tahun
1925, yang ditemukan pada sapi perah di Grati Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Bakteri Brucella dari janin sapi yang abortus berhasil diisolasi oleh Krischner
didaerah Bandung (Sudibyo dan Ronohardjo, 1989), kemudian tahun 1927 di
Aceh dan Sumatera Utara (Kranveld, 1927) sampai akhirnya brucellosis semakin
menyebar terutama di peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur dengan jumlah reaktor yang bervariasi (Soeroso dan Taufani, 1972).
Hingga kini brucellosis telah menyebar di 26 Provinsi di Indonesia, kecuali Bali
dan Lombok yang dinyatakan bebas penyakit brucellosis pada tahun 2002.
Beberapa daerah telah bebas brucellosis yaitu pulau Lombok di Provinsi NTB
(SK MentanNo.444/Kpts/TN.540/7/2002),Pulau Bali (SK Mentan No.
443/Kpts/TN.540/7/2002), pulau Sumbawa di Provinsi NTB (SK Metan No.

11
97/Kpts/PO.660/2/2006), Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan
Riau (SK Mentan No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009), dan pulau Kalimantan (SK
Mentan No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009). Namun selama tahun 2010 kasus
Brucellosis telah ditemukan di 16 Provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Utara,
Aceh, Bengkulu, jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI
Jakarta, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Perkembangan
brucellosis sangat cepat, pada awal tahun 2010 brucellosis hanya terdeteksi di 15
Provinsi tetapi pada akhir tahun 2010 kasus brucellosis telah terdeksi di 10
Provinsi walaupun hewan yang terjangkit penyakit tersebut langsung dipotong
(test and slaughter) (Ditjennakeswan, 2010).
c. Penularan
Anonimous (2000), penularan pada hewan terjadi melalui saluran pencernaan,
saluran kelamin, dan melalui selaput lender atau kulit yang luka. Pada sapi dan
kambing, penularan melalui perkawinan. Penularan penyakit terjadi bila hewan
menelan/menjilat pakan/air yang tercemar karena bahan atau organ abortusan dari
betina terinfeksi Brucellosis. Cemaran lingkungan dapat melalui cairan/ lendir
yang menyertai anak baru lahir dari induknya yang terinfeksi Brucellosis.
Penyakit juga dapat menular melalui semen dari pejantan terinfeksi, oleh karena
itu untuk kawin alam atau cara penularan brucellosis pada manusia dapat melalui
konsumsi susu dan produk susu yang tidak dipasteurisasi. Daging mentah dan
sumsum tulang juga diimplikasikan dapat menularkan kuman Brucellake
manusia. Penularan brucellosis melalui aerosol, kontaminasi kulit yang luka dan
membran mukosa biasanya terjadi pada pekerja rumah potong hewan dan
peternak. Dokter hewan biasanya dapat tertular ketika melakukan vaksinasi
dengan vaksin Brucella abortus dan Brucella melitensis ke hewan. Sedangkan,
pekerja laboratorium mikrobiologi dapat terekspos secara aerosol pada waktu
memproses spesimen (Noor, 2006).
d. Gejala klinis
Menurut OIE (2011), manifestasi yang paling sering Brucellosis pada sapi
adalah aborsi, biasanya trisemester kedua kebuntingan. Tanda-tanda klinis lainnya
antara lain anak sapin ketika dilahirkan dalam keadaan mati (stillbirth) atau mati
lemah dan gejala lainnya seperti retensi plasenta, penurunan produksi susu

12
(estimasi kerugian 20-25%), orchitis, epididimitis, dan infertilitas.Sapi sering
mengalami aborsi pada kebuntingan pertama setelah terinfeksi pertama kali oleh
B. abortus. Kebuntingan berikutnya biasanya normal, meskipun diperkirakan 10-
25 % dari sapi yang terinfeksi akan aborsi kedua kalinya. Hewan yang mampu
bertahan akan menjadi karier dan berpotensi mnegeluarkan bakteri. Brucella
abortus juga dapat ditemukan dalam, urin, susu segar, air mani, tinja dan cairan
higroma (Capparelli, 2008).
d. Pencegahan
Soeharsono (2002), menyatakan bahwa tindakan pencegahan dapat dilakukan
berdasarkan tinggi rendahnya prevelensi penyakit disuatu daerah. program
vaksinasi terhadap sapi telah dilakukan diberbagai daerah di Indonesia dengan
prevalensi penyakit >2%, dengan menggunakan vaksin B. abortus RB51. Apabila
prevalensinya <2% lazimnya diterapkan teknik test and slaughter, artinya setiap
hewan diuji secara serologi danyang bereaksi positif (reaktor) harus dieliminasi .
Vaksin RB51 dikembangkan sejak tahun 1991 diderivasi dari koloni B. abortus
strain 2308 (Schurig, 1991). Vaksin B. abortus RB51 tersebut mempunyai tingkat
proteksi yang tidak berbeda dengan vaksin B. abortus S19, tidak menimbulkan
reaksi post vaksinasi seperti abortus dan antibodi yang dihasilkan tidak terdeteksi
dengan uji serologis standar Rose Bengal Test dan Complement Fixation Test,
sehingga tidak mengacaukan diagnosis dengan infeksi brucellosis secara alami
(Schurig, 1991).
f. Pengobatan
Menurut Suharsono (2002), pengobatan brucellosis pada hewan, khususnya
sapi, umumnya tidak berespon baik terhadap pengobatan. Dharma dan Putra
(1997) brucellosis memang sangat sulit diobati, namun dapat diberikan antibiotika
atau preparat sulfat yang sesuai, di bawah pengawasan Dokter Hewan yang
berwenang.

13
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Peralatan yang digunakan untuk pemeriksaan cemaran bakteri Brucellosis
adalah sebagai berikut :
 Jarum venoject
 Holder
 Tabung darah EDTA
 Box plastik
 Cawan porselen RBT
 Micropipet 10-100 ml
 Tusuk gigi
 Timer/stopwatch
 Kaca pembesar
 Sentrifuse
 Spatula kaca

3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan cemaran bakteri Brucellosis adalah
sebagai berikut :
 Sampel serum darah
 Antigen Brucella (PUSVETMA)
 Micropit
 Serum kontrol positif Brucellosis
 Serum kontrol negatif Brucellosis

14
3.2. Metode
3.2.1. Pengambilan sampel darah pada sapi potong

Sapi Potong di handling pada kandang


jepit

bendung pembuluh darah pada vena


jugularis

Jarum venoject ditusukkan pada vena jugularis dengan sudut


30°

lakukan aspirasi untuk mengambil darah yang dibutuhkan

Darah ditampung dalam tabung EDTA

Jarum dikeluarkan dari vena jugularis

Darah dalam tabung EDTA disimpan


pada box plastik

Sampel dikirim ke laboratorium guna


untuk pengujian RBT

15
3.2.3. Pemisahan serum dari sampel darah

Spesimen darah

Tabung anti koagulan (EDTA)

Sentrifius dengan kecepatan 2000 Rpm


selama 5 menit

Terbentuk dua lapisan

Endapan sel berwarna jernih Endapan sel berwarna merah gelap


kekuningan (lapisan atas) (lapisan bawah)

Terbentuk sel darah

Tuang serum ke dalam microtip

16
3.2.2. Uji Rose Bengal Test (RBT)

Ambil 25-30µl serum menggunakan


mikropipet

Tambahkan ke dalam plate RBT

Tambahkan antigen brucella


dengan volume yang sama

Buat Serum kontrol positif dan serum


kontrol negatif

antigen dan serum dicampur


menggunakan spatula kaca

biarkan selama 4 menit pada temperatur


ruangan

Setelah 4 menit lihat adanya aglutinasi


atau tidak

Hasilnya bandingkan dengan serum kontrol


positif dan serum kontrol negatif

17
3.2.4. Analisis Data
Hasil pemeriksaan sampel serum sapi berjumlah 151 tabung, dengan hasil
pengambilan pada hari pertama berjumlah 111 tabung dan hari kedua 40 tabung.
Dari jumlah 151 Sampel serum tersebut setelah dilakukan pengujian dengan
metode pengujian Rose Bengal Test (RBT) dikatakan negatif brucellosis karena
tidak ada aglutinasi antara campuran antigen dengan serum tetap homogen dan
berwarna ungu kemerahan. Hasil sampel serum negatif dikemas dalam microtube
dan disimpan pada freezer sebagai arsip bagian administrasi. Setiap microtube
diberi label angka dan huruf untuk menandai asal serum tersebut.

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Praktikum


Hasil Praktikum Lapang (PL) dilakukan dalam 2 tahap yaitu pengambilan
sampel darah pada sapi potong dan pengujian Rose Bengal Test (RBT) di Balai
Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang.
4.1.1. Hasil Pengambilan sampel darah
Lokasi pengambilan sampel darah sapi potong dilakukan di Balai Karantina
Pertanian Kelas 1 Kupang yang memiliki 4 kandang. Pengambilan darah
dilakukan pada kandang 1 dan kandang 4 yang sudah ada ternak sapi didalam
kandang tersebut. Populasi sapi pada kandang yang pertama berjumlah 75 ekor
sapi potong dengan jumlah sampel darah yang diambil sebanyak 3 mL dengan
jumlah 75 tabung dan Kandang yang ke empat berjumlah 76 ekor dengan jumlah
sampel darah sebanyak 3 mL dengan jumlah 76 tabung. Pengambilan sampel
darah sapi potong diambil pada vena jugularis menggunakan venoject dan darah
tersebut ditampung dalam tabung antikoagulan (EDTA). Total hasil pengambilan
sampel darah pada sapi berjumlah 151 tabung yang berisikan 3 mL sampel darah
pada masing-masing tabung tersebut.

Gambar 1. Pengambilan darah pada vena jugularis

19
4.1.2. Pemisahan Serum
Serum dalam tabung venoject yang sudah dipisahkan dari sel-sel darah
setelah disentrifius dengan kecepatan 2000 Rpm selama 5 menit. pemisahan
ditandai dengan adanya lapisan endapan sel berwarna jernih kekuningan pada
lapisan bagian atas dan endapan sel berwarna merah gelap pada lapisan bagian
bawah. Lapisan endapan serum tersebut dipisahkan dan dimasukkan ke dalam
microtip.

Gambar 2. Pemisahan Serum

4.1.3. Hasil uji Rose Bengal Test (RBT)


Tabel 1. Hasil uji RBT di Laboratorium Balai Karantina Pertanian Kelas I
Kupang Pada tanggal 19 September – 20 September 2018.

Hasil
JumlahSampe
Tanggal Jenis Komoditi Jenis Uji Positif Negatif
l
(+) (-)
19/09/2018 Sapi potong 50 RBT (-)
19/09/2018 Sapi potong 25 RBT (-)
19/09/2018 Sapi potong 10 RBT (-)
20/09/2018 Sapi potong 15 RBT (-)
20/09/2018 Sapi potong 25 RBT (-)
20/09/2018 Sapi potong 15 RBT (-)
20/09/2018 Sapi potong 11 RBT (-)

20
4.2. Pembahasan
Kategori ternak untuk deteksi penyakit Brucellosis dari kegiatan Praktik
Lapang (PL) ini adalah ternak sapi potong yang berasal dari pulau Timor seperti :
Kabupaten Belu, Kabupaten Atambua, dan Kabupaten Malaka yang rentan
terhadap penyakit Brucellosis di wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas 1
Kupang. Salah satu mata rantai penularan dari penyakit Brucellosis ini adalah dari
daerah dengan populasi padat ternak sapi potong yang pernah ada kejadian
abortus dengan gejala klinis mengarah pada Brucellosis. Ternak sapi potong yang
berasal dari daerah dengan faktor resiko yang cukup tinggi terhadap penyakit
Brucellosis, sehingga perlu dilakukan kegiatan monitoring dan surveilans yang
baik, salah satunya adalah melakukan deteksi penyakit Brucellosis dengan
menggunakan metode pengujian Rose Bengal Test (RBT) pada Laboratorium
Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang.
Dalam mendeteksi penyakit Brucellosis, maka kegiatan pengambilan darah
pada sapi potong dilakukan di kandang Balai Karantina Pertanian Kelas 1
Kupang yang dilaksanakan pada tanggal 19 September  20 september 2018. Sapi
potong yang sudah dihandling dan direstrain menggunakan tali pada kandang jepit
dibendung pada vena jugularis dan dimasukkan jarum venoject pada vena
jugularis, agar darah dapat tertampung dalam tabung EDTA dan disimpan pada
box plastik agar dikirimkan ke Laboratorium Balai Karantina Pertanian Kelas 1
Kupang. Jumlah sampel dari hasil surveilans dan monitoring yang diperoleh
sebanyak 151 tabung sampel yang dikirim ke Laboratorium Balai Karantina
Pertanian Kelas 1 Kupang untuk pengujian. Rose Bengal Test (RBT) merupakan
uji yang cukup baik dan banyak digunakan untuk penyaringan adanya antibodi
Brucellosis. uji ini akan membentuk reaksi antara antigen Brucella terhadap serum
darah yang mengandung antibodi Brucella (Subronto, 2003).
Berdasarkan hasil pengujian Rose Bengal Test (RBT) yang dilakukan pada
tanggal 19 September  20 September, dari jumlah 151 tabung sampel serum
ditemukan negatif Brucellosis dan tidak mengandung antibodi Brucella. Reaksi
negatif Brucellosis ditandai dengan tidak terjadinya aglutinasi antara campuran
antigen dengan serum tetap homogen, dan berwarna ungu kemerah - merahan.
Oleh karena itu tindakan yang diambil karantina adalah pembebasan untuk

21
mengeluarkan sapi potong tersebut, karena tidak ditemukan adanya/dugaan
adanya gejalah penyakit Brucellosis.
Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang terus menerus setiap tahunnya
melakukan kontrol terhadap masuknya ternak baru ke wilayah kerja Balai
Karantina Pertanian kelas I Kupang dalam rangka mempertahankan status bebas
dari Brucellosis dan menunjukan bahwa wilayah kerja Balai Karantina Pertanian
Kelas I Kupang bebas dari penyakit Brucellosis. Kontrol ini dilakukan melalui
koordinasi dan kerja sama dengan Dinas Peternakan setempat untuk melakukan
pemeriksaan Laboratorium dengan uji Rose Bengal Test (RBT) sehingga ternak
sapi potong tersebut dipastikan bebas negatif Brucellosis. Survelians Brucellosis
masih harus tetap dilakukan untuk tahun-tahun mendatang mengingat adanya
perpindahan ternak antar Desa/Kecamatan yang sulit dikontrol sehingga dengan
adanya monitoring dan surveilans terhadap penyakit Brucellosis secara kontinyu
bisa tetap mempertahankan status bebas dari penyakit Brucellosis. Disamping itu
juga dapat mendeteksi secara dini masuknya reaktor dari penyakit Brucellosis ke
wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang.

22
BAB V
PENUTUP
4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kegiatan praktik lapang yang dilaksanakan di Balai


Karantina Pertanian Kelas I Kupang, dapat disimpulkan bahwa Laboratorium
Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang memegang peranan penting dalam
tindakan Pemeriksaan terhadap brucellosis pada sapi potong dengan melakukan
uji Rose Bengal Test (RBT). Pada kegiatan praktik lapang ini juga dilakukan
deteksi penyakit Brucellosis dengan jumlah serum sebanyak 151 tabung yang
dinyatakan negatif Brucella abortus.

4.2. Saran
1. Balai karantina perlu menambahkan metode uji Complement Fixation Test
(CFT), agar pengujian terfokuskan pada satu tempat sehingga dapat
meminilisir waktu.
2. penyidikan masalah penyakit reproduksi menular atau Brucellosis pada
sapi potong perlu terus dilakukan untuk mendukung keberhasilan
pengembangan usaha agribisnis sapi potong di wilayah NTT.
3. Perlu adanya kerja sama yang baik antar pihak keamanan seperti
Kepolisian dan TNI untuk mengawasi masuk keluarnya hewan, bahan asal
hewan dan hasil bahan asal hewan yang berpotensi membawa hama dan
penyakit hewan karantina (HPHK).
4. Pengawasan lalu lintas ternak sapi potong perlu mendapat perhatian serius,
untuk hal tersebut peran aktif dari Balai Karantina Pertanian Kelas 1
Kupang sangat diperlukan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Agasthya, A. S., Isloor,S., Prabhudas, K. 2007. Brucellosis In High Risk Group


Individual. Ind. J. Med. Microbiol. 25(1):28-31.

Anonimous, 2000. Pedoman Surveilans dan Monitoring Brucellosis pada Sapi


dan Kerbau. Direktorat Keswan Dirjen Produksi Peternakan Deptan.
Jakarta.

Bret, K. P., David, L. H., Arthur, M. F, 2007, Brucellosis. Medical Aspecta of


Biological Chatter 9 : INS-197.

Capparelli R, Parlato M, Iannaccone M, Roperto S, Marabelli R, Roperto F,


Iannelli D. 2008.Heterogeneous shedding of Brucella abortus in milk and
its effect on the control of animal brucellosis.Journal of Applied
Microbiology 1311: 1364-5072.

Craword, R. P., Huber, J. D., Adams, B. S., 1990. Epidemiologi and Surveilance.
Animal Disease Research Institut Agriculture. Canada.

Copland, R.S. 1974. Observation on Banteng cattle in Sabah. Tropical Animal


Health and Production 6: 89.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta:


PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Moran. J. B., 1990. Performans dari sapi-sapi Pedaging di Indonesia dalam


Kondisi Pengelolaan Tradisional dan Diperbaiki.Laporan Seminar
Ruminansia II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak.

Noor, S. M., 2006. Epidmiology dan Pengendalian Brucellosis pada Sapi Perah di
Pulau Jawa.Procceding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
Pengendalian Penyakit Strategis pada ternak ruminansia Besar.

OIE.2011.Chapter2.3.1,Article2.3.1.2.http://www.oie.int/index.php?
id=169&L=0&htmfile=chapitre_1.3.2.htm. Diakses 21 Februari 2019.

Pane, I. 1990.Upaya peningkatan mutu genetik sapi Bali di P3 Bali.Prosiding


Seminar Nasional Sapi Bali. Bali, 20-22 September 1990.

Peraturan Pemerintah RI. (2002). Peraturan Pemerintah No.82 tahun2000 tentang


Karantina Hewan.

Puto K, Papa S, Hila N, 2010. Impact of livestock migration on distribution of


Brucella melitensis in Southern Albania Pasture. Natura Montenegrina
Podgorica,9(3): 705-717.

24
Schuring,G.G., Roop, R.M.,Bagchi, T. Boyle, S.Buhram, D. and Ssiranganathan,
N. 1991. Biological Properties Of RB51; a stable rough strain of Brucella
abortus. Vet. Microbiol. 28: 171-188.

Subronto.2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta. 528-549.

Sudibyo, A. P., Ronohardjo,Patten, B. DanMukmin, Y. 1991. Status Brucellosis


pada Sapi Potong di Indonesia. Penyakit Hewan. 23 (41) : 18-22.

Supartono. 2004. Isolasi dan Identifikasi Brucella abortus penyebab keguguran


pada sapi. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian.
Balai Penelitian Veteriner. Bogor.

Soehadji, 1990. Kebijaksanaan pemuliaan ternak (breeding policy) khusus sapi


bali dalam pengembangan peternakan. Prosiding Seminar Nasional Sapi
Bali. Denpasar, 20-22 September 1990.

Soeroso, M. dan Taufani, F. M. 1972. Brucellosis di Indonesia. Bull. LPPH. 3 (3-


4): 24-30.

Surat Keputusan Menteri Pertanian No.22/Permentan/OT.140/4/2008,tentang


Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian.

Tanari, M. 2001. Usaha Pengembangan Sapi bali sebagai Ternak Lokal dalam
Menunjang Pemenuhan Kebutuhan Protein asal Hewani di Indonesia.
http://rudyct.250x.com/sem1_012/m_tanari.htm. Diakses 21 Februari 2018.

Todar, K. 2008. Textbook of Bacteriology.University of Wisconsin. Science


Magazine. P. 304.

Talib, C., Bamualim, A. dan Pohan.A. 1998. Problematika pengembangan sapi


bali dalam pemeliharaan di padang penggembalaan. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner.Bogor, 1-2 Desember 1998.

Undang-Undang RI No.16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan


Tumbuhan.

25

Anda mungkin juga menyukai