Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

PENYAKIT PADA DARAH

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Hendranata MT, M.Kes

DISUSUN OLEH:

1. Ilhamur Rahman (220205198)

2. Isnaini Miftakhul Jannah (220205199)

3. Kholifah Annas Rahmatika (220205200)

4. Lambang Prasetyo Wibowo (220205201)

PROGRAM STUDI D3-REKAM MEDIS DAN ILMU KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS DUTA BANGSA

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami aturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan

rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai

dengan apa yang kami harapkan.

Makalah ini membahas tentang penyakit pada darah. Makalah ini kami

buat dengan tujuan memenuhi tugas dosen yang diberikan kepada kami. Kami

berharap dengan makalah ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk

menambah wawasan pembaca mengenai penyakit pada darah.

Kami berharap apa yang kami perbuat dapat menjadi motivasi dan dapat

meningkatkan prestasi belajar para mahasiswa khususnya, dan masyarakat pada

umumnya. kami mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, oleh karena

itu saran yang baik sangat kami harapkan agar dapat meningkatkan kualitas

makalah selanjutnya.

Surakarta, 11 Oktober 2022

Tim Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii.

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

A. LATAR BELAKANG ...................................................................1

B. PERUMUSAN MASALAH...........................................................2

C. TUJUHAN......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3

A. PENGRTIAN PATOFISIOLOGI DARAH....................................3

B. PATOLOGI DARAH BAGIAN CAIR...........................................5

C. PATOLOGI SEL DARAH............................................................23

BAB III PENUTUP.............................................................................................. 36

A. SIMPULAN...................................................................................36

B. SARAN..........................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Darah memiliki peran vital bagi manusia. Darah berupa cairan

yang membawa nutrisi, oksigen, dan tempat pembuangan bagian yang

tidak diperlukan tubuh. Sel dan protein di dalam darah lebih kental dari air

murni. Manusia rata-rata memiliki lima liter darah setiap orangnya. Darah

tersusun dari empat komponen utama, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel

darah putih (leukosit), trombosit (keping darah), dan plasma darah.

Keempat komponen tersebut bisa bermasalah sehingga tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, mungkin akan mengalami

berbagai penyakit kelainan darah yang dapat bersifat akut dan kronis.

Darah terdiri dari cairan dan padatan. Bagian cair, yang disebut plasma,

terbuat dari air, garam, dan protein. Sementara itu, bagian padat dari darah

Anda mengandung sel darah merah, sel darah putih, dan

trombosit.Gangguan darah dapat menyerang salah satu atau lebih bagian

darah. Akibatnya, darah tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Gangguan darah adalah kondisi yang memengaruhi kemampuan

darah untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagian besar kelainan

darah menurunkan jumlah sel, protein, trombosit, atau nutrisi dalam darah,

atau mengganggu fungsi normalnya dalam tubuh. Kelainan darah dapat

1
diturunkan atau dialami dengan sendirinya seiring dengan pola hidup tidak

sehat yang dijalani. Terkadang penyakit disebabkan oleh infeksi, paparan

racun, efek samping obat, atau kekurangan nutrisi tertentu dalam makanan

seperti zat besi, vitamin K, atau vitamin B12.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian patofisiologi darah?

2. Apa saja patologi darah bagian cair?

3. Apa saja patologi sel darah?

C. TUJUHAN

1. Mengetahui pengertian patofisiologi darah

2. Mengetahui patologi darah bagian cair

3. Mengetahui patologi sel darah

4.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGRTIAN PATOFISIOLOGI DARAH

Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang gangguan

fungsi pada organisme yang sakit, mulai dari asal penyakit, permukaan

perjalanan dan akibat.Patofisiologi merupakan ilmu yang mempelajari

tentang perubahan fisiologis yang diakibatkan oleh proses patologi.

Patologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari penyakit yang disebabkan

oleh perubahan struktur dan fungsi dari sel dan jaringan

tubuh.Patofisiologi adalah studi tentang proses fisiologis yang tidak teratur

yang menyebabkan, akibat, atau terkait dengan penyakit atau

cedera.Patofisiologi merupakan ilmu yang bersifat integratif yang

mengambarkan konsep-konsep dari banyaknya ilmu dasar dan klinis,

termasuk anatomi, fisiologi, biokimia, biologi sel dan molekuler, genetika,

farmakologi, dan patologi.Dengan demikian, Patofisiologi adalah

pembahasan tentang perubahan atau gangguan fisiologis yang disebabkan

oleh suatu penyakit.

Patologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit dan proses

terjadinya suatu penyakit. lstilah patologi berasal

dari bahasa Yunani yaitu pathos yang berarti emosi, menderita atau gairah,

sedangkan ology artinya ilmu. Ilmu patologi disebut sebagai ilmu yang

3
paling mendasar dalam dunia kedokteran. Patologi akan

membantu dokter mendiagnosis berbagai jenis penyakit yang

diderita pasien. Selain itu, patologi juga diperlukan dalam menentukan

penyebab dan tingkat keparahan suatu penyakit, memutuskan langkah

pencegahan dan pengobatan yang tepat, serta memantau efektivitas

pengobatan yang telah diberikan. Patologi dapat menganalisis penyakit

yang disebabkan oleh karena ada perubahan struktur dan

fungsi sel dan jaringan tubuh. Tujuan utama patologi yaitu

mengidentifikasi penyebab penyakit untuk memberikan petunjuk

penentuan program pencegahan, pengobatan dan perawatan terhadap

pasien. Ilmu patologi berkembang sejak seorang ahli patologi yang

bernama Rudolf Virchow (1821-1902) menemukan bahwa bagian terkecil

yang membentuk tubuh manusia adalah sel. Perubahan perubahan sel yang

diamati melalui mikroskop memberikan pengetahuan tentang penyakit

yang terjadi pada seseorang. Perubahan tersebut dapat menyebabkan

kelainan struktur dan gangguan fungsi tubuh yang berwujud penyakit.

Jenis patologi ada dua yaitu :

1. Patologi anatomi, cabang ilmu patologi yang mendeteksi suatu

penyakit melalui pemeriksaan sampel jaringan atau organ tubuh

pasien. Pemeriksaan jaringan tubuh ini lantas disebut

pemeriksaan biopsi. Dokter patologi anatomi sering kali diminta

mengidentifikasi kelainan pada sel atau jaringan tubuh pasien.

4
Patologi anatomi selalu berkaitan dengan kelainan atau penyakit

dalam bentuk makro organ, jaringan, selular sitologimaupun

tingkat subselular yang lazim disebut molekular patologi.

2. Patologi klinik akan mendeteksi melalui pemeriksaan sampel

cairan tubuh. Mulai dari urine, darah, dahak, sumsum tulang,

cairan sendi, dan nanah. Selain itu sampel juga bisa diambil pada

cairan organ tertentu seperti cairan serebrospinal, otak, paru-

paru serta rongga perut. Pemeriksaan ini dilakukan untuk

menentukan kadar bahan kimiawi tertentu

seperti kolesterol, elektrolit, mineral, enzim, guladarah  antobodi  

hingga antigen (zat asing). Pemeriksaan ini juga bisa untuk

menentukan apakah ada penyakit pada tubuh pasien.

B. PATOLOGI DARAH BAGIAN CAIR

1. Albumin

Hipoalbuminemia merupakan kondisi penurunan kadar

serum albumin atau kurang dari 3,5 g/dL. Nilai normal kadar

serum albumin tergantung usia, pada orang dewasa berkisar

3,5−4,5 g/dL. Albumin merupakan protein plasma yang disintesis

oleh hepar, berfungsi sebagai protein pembawa serta pengikat

berbagai substansi, seperti obat-obatan, hormon, ion, bilirubin,

logam, dan asam lemak. Albumin plasma berkontribusi terhadap

80% tekanan onkotik koloid plasma normal, menjaga permeabilitas

5
vaskular, mempertahankan permeabilitas kapiler, eliminasi radikal

bebas, serta berperan sebagai antitrombosis. Kondisi

hipoalbuminemia disebabkan oleh berbagai keadaan, antara

lain sindrom nefrotik, sirosis hepatis, dan malnutrisi. Kadar

albumin serum dapat menjadi petunjuk morbiditas, prognosis, dan

mortalitas dari suatu penyakit akut maupun kronis. Kombinasi efek

inflamasi dengan rendahnya asupan protein menyebabkan

terjadinya hipoalbuminemia. Diagnosis hipoalbuminemia

ditegakkan melalui pemeriksaan kadar serum albumin dalam darah.

Manifestasi klinis hipoalbuminemia sangat bervariasi sesuai

keadaan penyakit yang mendasari. Pitting edema dan edema

sentral (asites dan efusi) merupakan salah satu manifestasi klinis

hipoalbuminemia akibat penurunan tekanan onkotik plasma.

hipoalbuminemia dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan

penyakit penyebab. Hipoalbuminemia dapat terjadi pada semua

usia, tetapi prevalensi meningkat pada usia di atas 65 tahun.

Beberapa penelitian melaporkan penurunan kadar serum albumin

pada wanita usia lanjut. Hipoalbuminemia juga sering ditemukan

pada pasien dengan penyakit kritis seperti systemic inflammation

responses syndrome (SIRS), sepsis, dan penyakit kanker. Kadar

serum albumin dapat memprediksi morbiditas, prognosis, dan

mortalitas dari suatu penyakit akut, penyakit kronis, maupun

penyakit kritis. Hal ini sejalan dengan penelitian insiden

6
hipoalbuminemia dengan studi observational retrospective pada

tahun 2018 di negara Italia yang melibatkan 9.428 pasien rawat

inap, rentang usia 18–80 tahun, dan frekuensi pasien pria sebesar

55,6% sedangkan wanita sebesar 44,4%. Kondisi hipoalbuminemia

ditemukan pada 19,8% pasien gangguan sistem saraf, 14,1% pasien

gangguan pernapasan, 12,9% pasien gangguan sistem sirkulasi,

10,2% pasien gangguan sistem gastrointestinal, serta sekitar 10,2%

pasien gangguan pada sistem hepatobilier.

hipoalbuminemia bervariasi tergantung dari penyakit yang

mendasari, usia, dan komplikasi yang terjadi. Komplikasi

hipoalbuminemia tersering adalah gangguan sirkulasi dan edema

anasarka. Komplikasi tersering akibat hipoalbuminemia adalah

penurunan tekanan onkotik plasma yang menyebabkan

perpindahan cairan ke ruang interstitial. Oleh karena itu,

hipoalbuminemia dapat menyebabkan edema anasarka maupun

edema lokalis, seperti edema tungkai atau periorbital, asites,

dan efusi pleura. Hipoalbuminemia juga dapat menyebabkan

komplikasi berat, seperti gangguan sirkulasi atau kegagalan

vaskular perifer yang dapat menyebabkan kegagalan organ. Selain

itu, terdapat juga risiko komplikasi dari underlying disease dan

penyakit kritis. hipoalbuminemia disebabkan oleh keadaan

inflamasi dan asupan protein yang tidak mencukupi kebutuhan

protein tubuh. Hipoalbuminemia pada penyakit kronis disebabkan

7
oleh keadaan inflamasi kronis sehingga sintesis albumin menurun,

disertai asupan kalori yang tidak memadai. Pada penyakit akut,

hipoalbuminemia dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas

kapiler sehingga terjadi redistribusi albumin dari vaskular ke ruang

interstisial. Kelainan pada organ hepar dan ginjal, inflamasi

sistemik, malnutrisi, serta infeksi dapat menyebabkan

hipoalbuminemia.

Penatalaksanaan hipoalbuminemia tidak hanya bertujuan

untuk mencapai kadar serum albumin yang normal melalui

pemberian terapi nutrisi. Fokus penatalaksanaan yang utama adalah

mengobati penyebab inflamasi dan penyakit yang mendasari.

Proporsi substansial dari kondisi hipoalbuminemia adalah

malnutrisi yang membutuhkan dukungan nutrisi melalui terapi

pemberian albumin. Terapi albumin secara oral maupun injeksi

diberikan pada pasien dengan kadar serum albumin <2,5 g/dL.

Terapi albumin oral berupa suplementasi ekstrak ikan gabus

(Ophiocephalus striatus) dengan dosis pemberian 2 kali 500 mg

per hari, selama 4-6 hari.

2. Globulin

Hipogammaglobulinemia adalah masalah dengan sistem

kekebalan tubuh di mana tidak cukup globulin gamma diproduksi

dalam darah (dengan demikian hipo- + gamma + globulin+ -emia ).

8
Ini menghasilkan jumlah antibodi yang lebih rendah, yang merusak

sistem kekebalan tubuh , meningkatkan risiko infeksi.

Hipogammaglobulinemia dapat terjadi akibat berbagai defek

sistem imun genetik primer, seperti imunodefisiensi variabel umum

, atau mungkin disebabkan oleh efek sekunder seperti obat-obatan,

kanker darah, atau gizi buruk, atau hilangnya gamma globulin

dalam urin, seperti pada proteinuria glomerulus nonselektif. Pasien

dengan hipogammaglobulinemia mengalami penurunan fungsi

imun; pertimbangan penting termasuk menghindari penggunaan

vaksin hidup , dan mengambil tindakan pencegahan saat bepergian

ke daerah dengan penyakit endemik atau sanitasi yang buruk

seperti menerima imunisasi, minum antibiotik di luar negeri, hanya

minum air yang aman atau matang, mengatur pertanggungan medis

yang sesuai sebelum perjalanan, dan memastikan kelanjutan infus

imunoglobulin yang diperlukan.

Gambaran hipogamaglobulinemia biasanya merupakan

riwayat klinis infeksi berulang, kronis, atau atipikal. Infeksi ini

termasuk tetapi tidak terbatas pada: bronkitis , infeksi telinga ,

meningitis , pneumonia , infeksi sinus , dan infeksi kulit . Infeksi

semacam itu berpotensi merusak organ, yang menyebabkan

komplikasi parah. Gejala lain dari hipogammaglobulinemia

termasuk diare kronis dan komplikasi dari menerima vaksin hidup.

Gejala tertentu dari kerusakan kronis mungkin berhubungan

9
dengan infeksi berulang. Misalnya, sesak napas , batuk kronis, dan

produksi sputum dapat menunjukkan adanyabronkiektasis . Nyeri

sinus, sekret hidung, dan postnasal drip dapat mengindikasikan

adanya sinusitis kronis . Diare dan steatorrhea dapat

mengindikasikan malabsorpsi . Tanda atau gejala lain yang

mungkin terjadi pada pasien adalah bercak-bercak pada warna

kulit, terutama terlihat di atas pinggang, pada lengan, leher, dan

daerah dada bagian atas, namun dapat terjadi di mana saja pada

kulit. Bayi dengan transien hypogammaglobulinemia (THI)

biasanya menunjukkan gejala 6 sampai 12 bulan setelah lahir,

dengan gejala biasanya terdiri dari infeksi telinga, sinus, dan paru-

paru yang sering. Gejala lain termasuk infeksi saluran pernapasan ,

alergi makanan , eksim , infeksi saluran kemih , dan infeksi usus.

Hipogammaglobulinemia dapat disebabkan oleh

imunodefisiensi primer atau sekunder . Imunodefisiensi primer

disebabkan oleh mutasi atau serangkaian mutasi pada genom.

Sebagai contoh, sebuah penelitian dari tahun 2012 menemukan

bahwa mutasi merugikan senyawa heterozigot pada gen CD21

dikaitkan dengan hipogammaglobulinemia. Analisis genetik

mengungkapkan pasien itu heterozigot untuk CD21, dengan alel

yang diturunkan dari pihak ayah (juga berbagi dengan satu saudara

perempuan) memiliki situs donor penyambungan yang terganggu

di ekson 6, sedangkan alel yang diturunkan secara maternal

10
memiliki mutasi yang mengakibatkan kodon stop prematurdi ekson

13. Tidak ada mutasi yang ditemukan pada 100 subjek kontrol

sehat, yang menunjukkan kelangkaan mutasi. Sekitar 300 gen yang

berbeda secara total telah diidentifikasi yang menjelaskan berbagai

bentuk imunodefisiensi primer (PID). Bentuk-bentuk yang berbeda

ini dapat mempengaruhi berbagai bagian sistem kekebalan tubuh,

termasuk produksi imunoglobulin. Imunodefisiensi primer

biasanya memiliki penundaan beberapa tahun antara presentasi

klinis awal dan diagnosis. Beberapa defisiensi imun primer

termasuk ataksia-telangiectasia (AT), autosomal resesif

agammaglobulinemia (ARA), common variable immunodeficiency

(CVID), sindrom hiper-IgM., Defisiensi subkelas IgG, defisiensi

imunoglobulin non-IgG terisolasi, imunodefisiensi kombinasi berat

(SCID), defisiensi antibodi spesifik (SAD), sindrom Wiskott-

Aldrich , atau agammaglobulinemia terkait-X . CVID adalah

bentuk imunodefisiensi primer yang paling umum. SCID dianggap

sebagai keadaan darurat medis dan kasus yang dicurigai

memerlukan rujukan pusat spesialis segera untuk diagnosis dan

perawatan. Lebih sering hipogammaglobulinemia berkembang

sebagai akibat dari kondisi lain, yang disebut defisiensi imun

sekunder atau didapat. Ini termasuk kanker darah seperti leukemia

limfositik kronis (CLL), limfoma , atau myeloma , HIV ,sindrom

nefrotik , gizi buruk, enteropati kehilangan protein , mendapatkan

11
transplantasi organ , atau terapi radiasi . Ini juga termasuk obat-

obatan yang dapat menyebabkan hipogamaglobulinemia seperti

kortikosteroid , obat kemoterapi , atau obat anti kejang .

Protokol untuk berbagai bentuk imunodefisiensi primer

sangat bervariasi. Tujuan perawatan yang dilaksanakan oleh pusat

spesialis biasanya untuk mengurangi risiko komplikasi. Salah satu

metode pengobatannya adalah dengan pemberian gamma globulin

parenteral , baik secara intravena setiap bulan , secara subkutan ,

atau baru-baru ini, dengan hipodermoklisis yang dilakukan sendiri

setiap minggu . Dalam kedua kasus, reaksi alergi ringan sering

terjadi, dan biasanya dapat diatasi dengan difenhidramin oral .

Bukti yang membandingkan penggantian imunoglobulin tanpa

pengobatan terbatas, dan pedoman untuk pengobatan karena itu

terutama berasal dari studi observasional . Antibiotikjuga sering

digunakan sebagai pengobatan. Bentuk pengobatan standar lainnya

termasuk bentuk terapi penggantian enzim yang disebut PEG-

ADA, dan pengobatan antibiotik yang diberikan untuk pencegahan

pneumonia Pneumocystis . Salah satu terapi yang muncul adalah

transplantasi sel induk hematopoietik , yang telah dianggap sebagai

pengobatan standar untuk banyak imunodefisiensi primer

gabungan termasuk SCID, defisiensi CD40, defisiensi ligan CD40,

dan sindrom Wiskott-Aldrich, tetapi telah diperluas ke defisiensi

imun sekunder selama dua dekade terakhir. Terapi lain yang

12
muncul adalah terapi gen , yang telah digunakan untuk mengobati

SCID terkait-X, SCID karena defisiensi adenosin deaminase , dan

penyakit granulomatosa kronis .

3. Fibrinogen

Hipofibrinogenemia kongenital adalah kelainan langka

di mana salah satu dari tiga gen yang bertanggung jawab

untuk memproduksi fibrinogen , faktor pembekuan darah

yang penting, tidak dapat membuat glikoprotein fibrinogen

fungsional karena mutasi yang diturunkan . Akibatnya, sel-sel

hati, tempat normal produksi fibrinogen, membuat sejumlah

kecil protein koagulasi kritis ini , kadar fibrinogen darah

rendah, dan individu dengan gangguan tersebut dapat

mengembangkan koagulopati , yaitu diatesis .atau

kecenderungan untuk mengalami episode perdarahan

abnormal. Namun, individu dengan hipofibringenemia

kongenital juga dapat mengalami episode pembentukan

bekuan darah abnormal, yaitu trombosis . Kecenderungan

yang tampaknya paradoks ini untuk mengembangkan

trombosis pada kelainan yang menyebabkan penurunan

protein penting untuk pembekuan darah mungkin

disebabkan oleh fungsi fibrin (produk split dari fibrinogen

13
yang merupakan dasar untuk membentuk bekuan darah)

untuk mempromosikan lisis atau disintegrasi gumpalan

darah. Tingkat fibrin yang lebih rendah dapat mengurangi

lisis deposisi untai fibrin awal dan dengan demikian

memungkinkan deposisi ini berkembang menjadi gumpalan.

Hipofibrinogenemia kongenital harus dibedakan dari:

a. afibrinogenemia kongenital , kelainan langka di mana

kadar fibrinogen darah sangat rendah atau tidak

terdeteksi karena mutasi pada kedua gen fibrinogen

b. hipodisfibrinogenemia kongenital , kelainan langka di

mana satu atau lebih mutasi genetik menyebabkan

rendahnya kadar fibrinogen darah, setidaknya

beberapa di antaranya tidak berfungsi dan dengan

demikian berkontribusi pada perdarahan yang

berlebihan

c. hipofibrinogenemia didapat, suatu kelainan non-

herediter di mana kadar fibrinogen darah rendah

karena misalnya penyakit hati yang parah atau karena

konsumsi fibrinogen yang berlebihan akibat, misalnya

koagulasi intravaskular diseminata .

14
Mutasi gen tertentu yang menyebabkan hypfibrinogenemia

kongenital mengganggu kemampuan sel hati untuk

mensekresikan fibrinogen. Dalam kasus ini, gen yang tidak

bermutasi mempertahankan fibrinogen darah pada tingkat

yang berkurang tetapi gen yang bermutasi menghasilkan

fibrinogen yang terakumulasi dalam sel-sel hati kadang-

kadang sedemikian rupa sehingga menjadi beracun. Dalam

kasus terakhir, penyakit hati dapat terjadi dalam sindrom

yang disebut penyakit penyimpanan fibrinogen.

Tanda dan gejala Sunting Individu dengan

hypfibringenemia kongenital sering tidak memiliki gejala

yang terdeteksi oleh tes laboratorium rutin fibrinogen atau

ketika diuji untuk itu karena kerabat dekat memiliki gejala

hipofibrinogenemia. Memang, penelitian menunjukkan

bahwa, di antara anggota keluarga dengan mutasi

hipofibrinogenemia kongenital yang identik, beberapa tidak

pernah menunjukkan gejala dan mereka yang bergejala

mengembangkan gejala hanya sebagai orang dewasa.

a. Tidak ada penyakit liver Sunting Individu dengan

gangguan ini biasanya kurang bergejala dibandingkan

15
pasien dengan gangguan fibrinogen lainnya karena

kadar fibrinogen mereka umumnya cukup untuk

mencegah perdarahan spontan. Mereka yang memiliki

kadar fibrinogen darah yang sangat rendah (<0,5

gram/liter) dapat mengalami perdarahan serius

secara spontan dan banyak dengan gangguan

tersebut mengalaminya setelah trauma atau

pembedahan. Tergantung pada kadar fibrinogennya,

wanita dengan gangguan ini juga dapat mengalami

perdarahan berlebihan selama persalinan dan periode

postpartum ; dalam kasus yang jarang terjadi, mereka

mungkin memiliki peningkatan risiko mengalami

keguguran . Individu dengan gangguan tersebut juga

mengalami kejadian trombotik yang mungkin

termasuk penyumbatan arteri besar pada pasien yang

relatif muda yang memiliki tingkat faktor risiko

kardiovaskular yang tinggi . Trombus yang terbentuk

pada individu ini tidak stabil, cenderung menjadi

emboli , dan karena itu dapat menyebabkan kejadian

tromboemboli seperti emboli paru . Baik perdarahan

16
maupun kejadian trombotik dapat terjadi pada waktu

yang terpisah atau bahkan bersamaan pada individu

yang sama dengan gangguan tersebut.

b. Penyakit penyimpanan Fibrinogen Sunting Semua

individu dengan mutasi yang menyebabkan penyakit

penyimpanan fibrinogen memiliki kadar fibrinogen

darah yang rendah tetapi biasanya tidak memiliki

episode perdarahan yang parah, episode trombotik

atau penyakit hati. Individu yang memiliki penyakit

penyimpanan fibrinogen sering menjadi perhatian baik

karena mereka memiliki kerabat dekat dengan

penyakit tersebut, ditemukan hipofibrinogenemia

selama pengujian routing, atau menunjukkan bukti

klinis (misalnya penyakit kuning ) atau laboratorium

(misalnya peningkatan kadar enzim hati). penyakit

hati. Tidak seperti bentuk lain dari hipofibrinogenemia

kongenital, persentase yang relatif tinggi dari individu

dengan penyakit penyimpanan fibrinogen telah

didiagnosis pada anak-anak usia yang sangat muda.

17
Fibrinogen dibuat dan disekresikan ke dalam darah

oleh hepatosit hati . Protein akhir yang disekresikan terdiri

dari dua trimer yang masing-masing terdiri dari tiga rantai

polipeptida, Aα (juga disebut ) dikodekan oleh gen FGA , Bβ

(juga disebut ) dikodekan oleh gen FGB , dan dikodekan oleh

gen FGG . Ketiga gen tersebut terletak pada lengan panjang

atau "p" dari kromosom manusia 4 (masing-masing pada

posisi 4q31.3, 4q31.3, dan 4q32.1). Gen diurutkan FGB, FGA,

dan FGG dan ditranskripsi menjadimessenger RNA dalam

sinkronis yang ketat. RNA messenger berasosiasi dengan

retikulum endoplasma , diterjemahkan ke dalam polipeptida,

dan memasuki retikulum endoplasma di mana mereka

berkumpul bersama. Protein yang dirakit dilewatkan ke

aparatus Golgi di mana ia diglikosilasi , terhidroksilasi ,

sulfat, dan terfosforilasi untuk membentuk glikoprotein

fibrinogen matang yang disekresikan ke dalam darah.

Hipofibrinogenemia kongenital terjadi akibat mutasi bawaan

pada salah satu dari tiga rantai fibrinogen yang

mengakibatkan gangguan sintesis, perakitan, stabilitas,

pemrosesan melalui jalur aparatus retikulum endoplasma-

18
Golgi, dan/atau sekresi ke dalam darah. Ada> 25 mutasi

fibrinogen yang telah dikaitkan dengan hipofibrinogenemia.

Tabel berikut mencantumkan contoh mutasi yang

menyebabkan hipofibrinogenemia yang tidak terkait dengan

cedera hati. Tabel tersebut memberikan:

a. nama trivial setiap protein yang bermutasi

b. gen bermutasi (yaitu FGA, FGB, atau FGG ), situs

mutasinya (yaitu nukleotida bernomor pada gen yang

dimulai dengan basa nukleotida awal pada (kodon

awal) DNA genom (seperti yang ditunjukkan oleh

notasi "g." ), dan nama nukleotida (yaitu C , T , A , G )

di situs ini sebelum>setelah mutas

c. nama peptida fibrinogen yang diubah (Aα, Bβ, atau ),

posisi nomor asam amino yang diubah oleh mutasi

pada peptida sirkulasi dari fibrinogen yang bermutasi,

dan identitas asam amino sebelum-sesudah mutasi

menggunakan singkatan standar tiga huruf .

Pada 2016, ada enam mutasi yang ditemukan terkait

dengan akumulasi fibrinogen yang bermutasi di retikulum

endoplasma dan perkembangan akibat cedera hati yang

19
dapat menyebabkan sirosis hati , yaitu penyakit

penyimpanan fibrinogen. Mutasi fibrinogen lainnya juga

menyebabkan akumulasinya di retikulum endoplasma tetapi

belum dikaitkan dengan cedera hati mungkin karena

fibrinogen ini kurang toksik terhadap hati dibandingkan yang

menyebabkan cedera hati. Tabel berikut mencantumkan 6

mutasi tersebut. Perhatikan bahwa semua 6 mutasi ini

terjadi pada gen FGG , bahwa semua mutasi adalah mutasi

missense kecuali untuk mutasi delesi dari fibrinogen Anger,

dan bahwa Tabel melaporkan situs mutasi gen seperti yang

ditemukan padakloning (seperti yang dinotasikan dengan

"c.") daripada DNA genom. Fibrinogen Aguadilla adalah

mutasi paling umum yang diketahui menyebabkan penyakit

penyimpanan fibrinogen.

Diagnosis hipofibrinogenemia diindikasikan pada

individu yang memiliki kadar fibrinogen plasma yang rendah

(<1,5 gram/liter) sebagaimana ditentukan oleh kedua

metode imunologis (misalnya imunoelektroforesis dan (yaitu

dapat dibekukan). ~1.0 diuji dengan uji waktu tromboplastin

parsial , waktu tromboplastin parsial teraktivasi , waktu

20
trombin , dan waktu reptilase .Tes ini digunakan untuk

membedakan hipofibrinogenemia dari

hipodisfibrinogenemia, gangguan yang biasanya lebih parah

di mana kadar fibrinogen plasma rendah dan fibrinogen ini

mencakup setidaknya sebagian fibrinogen disfungsional.

Rasio fibrinogen imunologis/fungsional untuk plasma

individu dengan hipodisfibrinogenemia untuk semua tes

yang disebutkan biasanya <0,7. Jika tersedia, analisis lebih

lanjut direkomendasikan; ini termasuk analisis gen fibrinogen

dan rantai protein untuk mutasi dan studi khusus individu in

vitro diinduksi bekuan darah untuk stabilitas dan kerentanan

terhadap lisis. Diagnosis penyakit penyimpanan fibrin

memerlukan biopsi hati dan penemuan badan inklusi

fibrinogen yang dapat dideteksi secara imunologis dalam

hepatosit.

Pengobatan yang direkomendasikan untuk

hipofibrinogenemia kongenital asimtomatik sebagian

bergantung pada harapan terjadinya perdarahan dan/atau

komplikasi trombotik seperti yang ditunjukkan oleh riwayat

pribadi individu dan anggota keluarga yang terkena. Jika

21
memungkinkan, penentuan mutasi yang tepat yang

menyebabkan gangguan dan kecenderungan jenis mutasi ini

untuk mengembangkan komplikasi ini dapat membantu.

Individu dengan kadar fibrinogen >1,0 gram/liter biasanya

tidak mengalami episode perdarahan atau trombosis.

Individu dengan kadar fibrinogen 0,5-1,0 gram/liter

memerlukan suplementasi fibrinogen lebih disukai dengan

konsentrat fibrinogen yang diturunkan dari plasma untuk

mempertahankan kadar fibrinogen >1 gram/liter sebelum

pembedahan besar. Individu dengan kadar fibrinogen <0,5

gram/liter memerlukan suplementasi fibrinogen untuk

mempertahankan kadar fibrinogen

a. >1 sampai 2 gram/liter pada akhir kehamilan dan

selama periode postpartum

b. > 1 gram/liter sebelum operasi besar

c. > 0,5 sampai 1 gram/liter selama dua trimester

pertama kehamilan

d. >0,5 gram/liter sebelum operasi kecil.

Asam traneksamatdapat digunakan sebagai pengganti

suplementasi fibrinogen sebagai pengobatan profilaksis

22
sebelum operasi kecil dan untuk mengobati episode

perdarahan ringan.

Individu dengan hipofibrinogenemia yang memiliki

riwayat perdarahan berlebihan harus dirawat di pusat yang

khusus menangani hemofilia dan menghindari semua obat

yang mengganggu fungsi trombosit normal. Selama episode

perdarahan, pengobatan dengan konsentrat fibrinogen atau,

jika tidak tersedia infus plasma beku segar dan/atau

kriopresipitat (fraksi plasma kaya fibrinogen) untuk

mempertahankan tingkat aktivitas fibrinogen >1 gram/liter.

Individu dengan hipofibrinogenemia yang mengalami

trombosis episodik juga harus dirawat di pusat yang khusus

menangani hemofilia . Rekomendasi standar untuk individu-

individu ini adalah bahwa mereka menggunakan agen

antitrombotik dan diinstruksikan tentang metode perilaku

antitrombotik dalam situasi berisiko tinggi (misalnya

perjalanan panjang dengan mobil dan penerbangan udara).

Episode trombosis vena akut harus diobati dengan heparin

dengan berat molekul rendahuntuk waktu yang tergantung

pada riwayat pribadi dan keluarga peristiwa trombosis.

23
Pengobatan profilaksis sebelum operasi kecil harus

menghindari suplementasi fibrinogen dan menggunakan

tindakan antikoagulasi; sebelum operasi besar, suplementasi

fibrinogen harus digunakan hanya jika terjadi perdarahan

serius; jika tidak, tindakan antikoagulan profilaksis

direkomendasikan.

Penyakit penyimpanan Fibrin Ada terlalu sedikit

kasus penyakit penyimpanan fibrinogen untuk menetapkan

pengobatan yang optimal untuk penyakit hati.

Penatalaksanaan gangguan ini didasarkan pada

rekomendasi umum untuk pasien dengan penyakit hati ,

khususnya penyakit hati yang berhubungan dengan

defisiensi antitripsin Alpha 1 . Pada penyakit yang terakhir,

autophagy , jalur yang digunakan sel untuk membuang

komponen yang tidak berfungsi atau disimpan secara

berlebihan termasuk protein, telah ditargetkan menggunakan

obat peningkat autophagy, misalnya carbamazepine , vitamin

E , dan asam ursodeoxycholic. Obat ini telah diuji pada

pasien individu dengan penyakit penyimpanan fibrin dengan

beberapa keberhasilan dalam mengurangi bukti cedera hati,

24
yaitu penurunan kadar enzim hati darah. Ini dan obat

peningkat autofagi lainnya disarankan untuk dipelajari lebih

lanjut pada penyakit penyimpanan fibrinogen.

C. PATOLOGI SEL DARAH

1. Eritrosit

Anemia hemolitik adalah destruksi prematur sel darah

merah, yang dapat bersifat kronik atau mengancam nyawa. Pasien

dengan anemia hemolitik dapat datang dengan gejala anemia,

ikterus, hematuria, dyspnea, takikardia, dan terkadang hipotensi.

Gejala yang muncul akan merefleksikan penyebab yang mendasari

hemolisis. Normalnya, sel darah merah memiliki usia sekitar 120

hari. Mekanisme yang dapat menyebabkan destruksi prematur sel

darah merah adalah deformabilitas sel yang buruk, sehingga

menyebabkan sel terperangkap di pembuluh darah kecil dan limpa,

serta merangsang fagositosis sel. Mekanisme lain yang dapat

menyebabkan anemia hemolitik antara lain destruksi yang

dimediasi antibodi, fragmentasi akibat mikrotrombi atau trauma

mekanis, oksidasi, atau destruksi seluler langsung. Beratnya

manifestasi klinis anemia hemolitik tergantung pada onset

hemolisis dan derajat kerusakan eritrosit yang terjadi. Bila

hemolisis ringan, pasien dapat tanpa gejala. Sedangkan pada

25
hemolisis yang berat, pasien dapat mengalami komplikasi

kardiopulmonal yang mengancam nyawa. 

Epidemiologi anemia hemolitik diperkirakan sebesar 5%

dari total kejadian anemia. Data epidemiologi menunjukkan bahwa

anemia hemolitik tidak memiliki kecenderungan jenis kelamin dan

ras. Hanya saja, pada Autoimmune Hemolytic Anemia angka

kejadianya dilaporkan sedikit lebih tinggi pada wanita

dibandingkan pria. Selain itu, defisiensi glukosa-6-fosfat

dehidrogenase (G6PD) lebih banyak ditemukan pada laki-laki

karena diturunkan secara X resesif. Pada defisiensi G6PD,

perempuan menjadi karier. Prognosis pada anemia hemolitik

tergantung pada penyebab hemolisis. Komplikasi yang dapat

timbul adalah angina dan gangguan kardiopulmonal pada anemia

hemolitik berat. Pada anemia hemolitik berat, bila tidak ditangani

maka dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti aritmia,

kardiomiopati, dan gagal jantung.

Secara patofisiologi, anemia hemolitik dapat dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu ekstravaskular dan intravaskular.

Hemolisis ekstravaskular lebih sering terjadi dibandingkan

intravaskular. Mekanisme primer dari hemolisis ekstravaskular

adalah sekuestrasi dan fagositosis akibat deformabilitas sel darah

merah yang buruk. Mekanisme intravaskular meliputi destruksi sel

26
secara langsung, fragmentasi, dan oksidasi. Destruksi sel secara

langsung dapat disebabkan oleh toksin dan trauma. Hemolisis

fragmentasi terjadi jika faktor ekstrinsik menyebabkan luka dan

ruptur pada sel darah merah. Hemolisis oksidatif timbul jika terjadi

kegagalan pada mekanisme protektif sel. Autoimmune hemolytic

anemia dan hereditary spherocytosis adalah contoh hemolisis

ekstravaskular. Disebut ekstravaskular karena sel darah merah

yang memiliki perubahan struktur permukaan membran sel

dihancurkan di luar pembuluh darah, yaitu di limpa dan hati

dengan bantuan makrofag. Sementara hemolisis intravaskular

adalah keadaan hemolisis yang terjadi di dalam pembuluh darah

yang mengakibatkan keluarnya isi sel ke dalam plasma. akibat

defek pada sel darah merah. Defek dapat berupa defek enzim,

dinding sel, hemoglobin, ataupun akibat trauma dan infeksi yang

menyebabkan terjadinya degradasi membran sel dan destruksi

spontan. 

Diagnosis anemia hemolitik sebaiknya dipandu keluhan

pasien dan riwayat penyakit keluarga. Pemeriksaan penunjang

dapat membantu mencari penyebab hemolisis, misalnya apusan

darah tepi dan direct antiglobulin test (DAT). Dari data dasar ini,

pemeriksaan penunjang dapat diarahkan lebih spesifik untuk

mengonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.

Gejala anemia hemolitik bervariasi tergantung dari derajat

27
kompensasi anemia, perawatan yang telah dilakukan sebelumnya,

dan penyebab yang mendasari anemia hemolitik. Pasien yang

mengalami anemia ringan atau telah menderita anemia dalam

jangka waktu lama bisa saja asimptomatik karena telah mengalami

kompensasi. Jika muncul keluhan, maka dapat berupa pucat,

ikterik, pembesaran abdomen akibat splenomegali, rasa cepat lelah,

takikardia, dyspnea, angina, dan fatigue. Etiologi anemia hemolitik

dapat dibagi menjadi penyebab korpuskular dan ekstrakorpuskular.

Penyebab korpuskular dari anemia hemolitik antara lain kelainan

pada membran sel darah merah, hemoglobinopati, dan

abnormalitas enzim. Penyebab ekstrakorpuskular antara lain

penyebab imunologikal, mekanikal, infeksi, dan toksin. Kelainan

pada membran sel darah merah dapat dibagi menjadi penyebab

herediter dan didapat. Contoh penyebab herediter yang bisa

menyebabkan anemia hemolitik adalah hereditary

spherocytosis, elliptocytosis, dan hereditary stomatocytosis.

Contoh penyebab didapat adalah paroxysmal nocturnal

hemoglobinuria dan acanthocytosis.

Penatalaksanaan anemia hemolitik sangat tergantung pada

etiologi yang mendasarinya. Tujuan utama dari terapi farmakologi

adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.

Kortikosteroid diindikasikan  pada anemia hemolitik yang

disebabkan oleh faktor imunitas. Terutama pada anemia hemolitik

28
autoimun (AIHA). Pada tahap awal dapat diberikan prednison oral

1–2 mg/kg/hari. Bila respon terapi per oral kurang adekuat, maka

dapat diberikan methylprednisolone intravena dengan dosis 0,8–1,6

mg/kg/hari. Penurunan dosis steroid harus dilakukan dengan

perlahan.

2. Leukosit

Leukemia adalah kanker yang terjadi pada sel hematopoetik

pembentuk sel darah di sumsum tulang yang bisa menyebabkan

infiltrasi atau penyebaran ke peredaran darah, sistem limfatik, atau

organ lainnya.Leukimia diklasifikasikan menurut waktu

progresifitasnya dan jenis sel sel darah putih yang abnormal  Acute

MyeloidLeukemia (AML), AcuteLymphoidLeukemia (ALL), Chron

icMyeloidLeukemia (CML),dan ChronicLymphoidLeukemia (CLL)

.Pada leukemia akut, sel hematopetik sumsum tulang bersifat

imatur sehingga tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan

sangat cepat perkembangannya. Pada leukemia kronis, sel bersifat

lebih matur sehingga masih bisa menjalankan fungsinya meskipun

tidak optimal dan pertambahannya lebih perlahan. Diagnosis

leukemia akut (AML dan ALL) dimulai dengan tanda dan gejala

anemia dan neutropenia, seperti lemas, mudah lelah, demam tanpa

sebab infeksi yang jelas, risiko infeksi saluran napas atas atau

pneumonia. Pada leukemia kronis (CML dan CLL), gejala

29
dibedakan menjadi tiga fase, fase kronik, akselerasi, dan blast.

Pemeriksaan penunjang leukemia berupa pemeriksaan hematologi

seperti pemeriksaan darah lengkap, apusan darah tepi, fungsi liver,

fungsi pembekuan darah, pungsi lumbal, serta aspirasi sumsum

tulang. Pemeriksaan sitogenetik dan immunophenotyping juga

dapat dilakukan untuk membantu diagnosis leukemia.

Epidemiologi leukemia secara global prevalensi 13.7 per

100.000 populasi dengan tingkat mortalitas 6.8 per 100.000

populasi per tahun. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar tahun

2013 menunjukkan bahwa leukemia merupakan salah satu kanker

yang paling banyak ditemui pada anak-anak. Menurut data statistic

kanker Surveillance, Epidemiology, and End Results Program

National Cancer Institute prevalensi leukemia sebesar 13.7 per

100.000 populasi per tahun, dan jumlah kematian leukemia sebesar

6.8 per 100.000 populasi per tahun. Pada tahun 2017 diperkirakan

sebanyak 62.130 kasus baru leukemia dan 24,500 orang akan

meninggalan karena leukemia. Leukemia berada di urutan ke-9

dilihat dari prevalensi kejadiannya, yaitu sebesar 3.7% dari seluruh

kanker di United States.   Prognosis leukemia paling buruk

pada acute myeloid leukemia (AML). Komplikasi yang dapat

terjadi di antaranya adalah osteonekrosis sendi dan perdarahan

intrakranial. Patofisiologi leukemia berupa abnormalitas genetik

disertai paparan zat karsinogenik yang menyebabkan kerusakan

30
DNA pada sel-sel hematopoetik, sehingga terjadi proliferasi tidak

terkontrol dan penurunan apoptosis sel. Pertumbuhan sel-sel

abnormal melebihi jumlah seharusnya namun tidak bisa berfungsi

sebagaimana mestinya.Leukemia diklasifikasikan menurut waktu

progresifitas dan jenis sel darah putih yang abnormal.

Diagnosis leukemia dapat ditegakkan lewat anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis leukemia dibedakan antara leukemia akut dan kronis.

Etiologi leukemia akut berhubungan dengan obesitas dan merokok.

Kelainan genetik seperti Down Syndrome dan Li Fraumeni

Syndrome juga berperan meningkatkan risiko leukemia akut.

Pasien yang mendapat terapi imunosupresan dan/atau kemoterapi

meningkatkan risiko terjadinya acute myeloid

leukemia (AML). Acute lymphocytic leukemia pada pasien dewasa

berhubungan dengan infeksi virus T-lymphotropic tipe 1, Epstein

Barr, dan keadaan imunodefisiensi, misalnya yang diakibatkan

oleh HIV. Etiologi chronic lymphocytic leukemia masih belum

diketahui sementara chronic myeloid leukemia diketahui

berhubungan dengan paparan benzena dan radiasi. Radiasi dapat

menyebabkan mutasi, delesi, atau translokasi DNA. Hal ini

dibuktikan dengan meningkatnya insiden leukemia akut pada

kelompok yang berhasil selamat dari bom atom dan radiografer

yang terpapar radiasi tinggi. Pasien dengan kecurigaan leukemia

31
harus dirujuk ke dokter hematoonkologi untuk penegakan

diagnosis pasti sehingga terapi awal dapat dimulai. Pilihan terapi

untuk leukemia akut meliputi kemoterapi, radiasi, antibodi

monoklonal, atau transplantasi stem selhematopoetik. Tipe terapi

diberikan tergantung subtipe leukemia, sitogenik dan penemuan

molekularnya, usia pasien dan kondisi komorbid yang

menyertai.Secara garis besar modalitas dari terapi leukemia

meliputi kemoterapi, penanganan suportif, dan transplantasi stem

sel hematopoetik. Studi juga saat ini sedang mempelajari opsi

terapi baru, misalnya chimeric antigen receptor (CAR) sel T.

a) Kemoterapi: regimen kemoterapi disesuaikan dengan

keadaan pasien dan subtipe leukemia yang diderita

b) Penanganan suportif:

 Pemberian transfusi komponen darah yang diperlukan

 Pemberian komponen untuk meningkatkan kadar

leukosit

 Pemberian nutrisi yang baik dan memadai

 Pemberian antibiotik, antifungi, dan antivirus bila

diperlukan

 Pendekatan psikososial

 Perawatan di ruang yang bersih

 Kebersihan oro-anal (mulut dan anus)

c) Transplantasi stem sel hematopoetik

32
3. Thrombosit  

Trombositopenia merupakan kondisi dimana kadar

trombosit kurang dari 150.000/µL. Nilai normal kadar trombosit

pada orang dewasa berkisar 150.000/µL – 400.000/µL.

Trombositopenia berkaitan dengan berbagai kondisi seperti

autoimun dan infeksi. Risiko yang terjadi mulai dari yang ringan

dan asimptomatik seperti pada gestasional trombositopeniahingga

yang menimbulkan perdarahan atau trombosis yang dapat

mengancam jiwa sepertiheparin-induced thrombocytopenia (HIT).

Trombositopenia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan antara

lain autoimmune disorder seperti Lupus dan Immune

thrombocytopenic purpura (ITP), infeksi seperti demam

denguedan malaria, Systemic Inflammation Responses

Syndrome (SIRS), kanker, Vaksin COVID-19 AstraZeneca,

dan sirosis hepar. Trombositopenia juga dapat disebabkan oleh

konsumsi obat-obat yang dapat menginduksi penurunan kadar

trombosit seperti sitostatika seperti busulfan, antibiotik seperti

trimethoprim-sulfamethoxazole dan penisilin, diuretik thiazide,

OAINS seperti ibuprofen, dan heparin. Trombositopenia jenis ini

biasa dikenal dengan drug-induced trombositopenia.

Trombositopenia dari data epidemiologi sering ditemukan

pada penyakit kritis sepertiSystemic Inflammation Responses

33
Syndrome (SIRS), sepsis, penyakit autoimun, penyakit kanker,

serta pada pasien pasca operasi. Prevalensi trombositopenia yang

tinggi juga ditemukan pada infeksi virus, seperti demam berdarah

dan malaria, menjadikan penyakit-penyakit tersebut sebagai 2

penyebab trombositopenia paling sering di Indonesia.

Trombositopenia meningkat seiring bertambahnya usia dan lebih

banyak terjadi pada laki-laki. Selain itu prevalensi trombositopenia

juga dipengaruhi oleh penyakit penyebabnya (underlying disease).

Prevalensi trombositopenia pada penelitian yang dilakukan

oleh Institute of Clinical MedicineDenmark tahun 2018

menunjukkan bahwa prevalensi pasien trombositopenia yang

dirawat inap di bangsal interna adalah 6,8% dengan persentase

trombositopenia ringan, sedang dan berat masing-masing adalah

5,04%, 1,76%, dan 0,5%. Dalam penelitian ini juga menunjukkan

prevalensi  trombositopenia meningkat seiring bertambahnya usia

dan lebih banyak terjadi pada laki-laki (9,02%) daripada

perempuan (4,61%).   Prognosis trombositopenia bervariasi

tergantung dari penyakit yang mendasari mulai dari yang dapat

mengancam jiwa seperti Heparin-induced thrombocytopenia (HIT)

hingga yang beresiko rendah seperti trombositopenia

gestasional tanpa gejala. Prognosis trombositopenia juga

dipengaruhi oleh usia dan komplikasi yang muncul. Insiden

trombositopenia yang berkembang selama masa perawatan di

34
ruang ICU adalah sebesar 14% sampai 44%. Komplikasi yang

dapat terjadi pada kondisi trombositopenia adalah perdarahan

internal dan trombosis. Namun secara umum, risiko perdarahan

tidak meningkat hingga jumlah trombosit turun jauh dibawah

100.000/µL, meskipun hal tersebut tergantung pada penyebab

trombositopenia.

Patofisiologi trombositopenia meliputi dua mekanisme

utama yaitu penurunan produksi trombosit misal pada kanker dan

peningkatan destruksi trombosit yang diperantarai oleh komplemen

serta dimediasi oleh autoantibodi misal pada Immune

Thrombocytopenic Purpura (ITP). Trombosit berasal dari

fragmentasi megakariosit yaitu sel hematopoietik yang berada di

sumsum tulang. Trombosit memiliki waktu paruh 8 hari untuk

berada pada sirkulasi darah, kemudian trombosit akan mengalami

apoptosis. Trombopoiesis merupakan proses pembentukan

trombosit yang berlangsung di dalam sumsum tulang belakang.

Megakariosit merupakan sel prekursor dari trombosit. Regulasi

kunci dari trombopoiesis adalah thrombopoietin (TPO). TPO

merupakan hormon yang disintesis oleh hepar dan berfungsi untuk

stabilisasi keberlangsungan hidup dari megakariosit serta

proliferasi megakariosit. Diagnosis trombositopenia ditegakkan

melalui pemeriksaan kadar trombosit dalam darah, yaitu kurang

dari 150.000/µL. Namun terdapat 2,5% populasi umum yang

35
memiliki jumlah trombosit kurang dari 150.000 sel/µL sebagai

jumlah trombosit normal fisiologis dan tidak bergejala. Tujuan dari

diagnosis trombositopenia adalah untuk mencari penyebab yang

mendasari penurunan kadar trombosit dan untuk menentukan risiko

perdarahan, trombosis, dan komplikasi potensial lainnya.

Trombositopenia dapat bersifat simptomatik maupun

asimptomatik. Di Indonesia yang mana merupakan negara endemis

malaria dan demam berdarah, kedua penyakit ini harus dicurigai

pada setiap kasus dengan trombositopenia.

Etiologi trombositopenia disebabkan oleh berbagai faktor,

seperti reaksi autoantibodi misal pada Immune Thrombocytopenic

Purpura (ITP), reaksi imunitas pada kondisi infeksi misal infeksi

demam dengue dan malaria, kondisi sepsis maupun karena dipicu

oleh obat-obatan seperti heparin. Supresi sumsum tulang juga

dapat menurunkan produksi trombosit misal pada kondisi kanker

dan kemoterapi. Beberapa obat dapat meningkatkan klirens

trombosit sehingga menyebabkan trombositopenia seperti thiazide,

chloramphenicol, heparin, aspirin, dan ibuprofen. Defisiensi

mikronutrien seperti vitamin B12 dan folat juga dapat

menimbulkan kondisi trombositopenia. Penatalaksanaan

trombositopenia meliputi terapi farmakologi seperti pemberian

kortikosteroid, Intravenous Immunoglobulin (IVIg) dan agen

thrombomimetic. Selain bertujuan untuk mencapai jumlah

36
trombosit yang normal melalui pemberian transfusi trombosit,

dalam penatalaksanaan perlu juga untuk mengobati underlying

disease yang menyebabkan penurunan jumlah trombosit. Terapi

suportif dan terapi farmakologi bertujuan untuk menormalkan

kadar trombosit dan memperbaiki keadaan umum pasien. Indikasi

pemberian trombosit pekat adalah kasus perdarahan yang

ditimbulkan akibat trombositopenia (jumlah trombosit

<50.000/µL), dapat juga diberikan pada pasien yang menjalani

prosedur operasi maupun prosedur invasif lainnya dengan jumlah

trombosit <50.000/µL.

37
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang gangguan

fungsi pada organisme yang sakit, mulai dari asal penyakit, permukaan

perjalanan dan akibat. .Patofisiologi merupakan ilmu yang mempelajari

tentang perubahan fisiologis yang diakibatkan oleh proses patologi.

Patologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari penyakit yang disebabkan

oleh perubahan struktur dan fungsi dari sel dan jaringan tubuh.

Patologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit dan proses terjadinya

suatupenyakit.lstilahpatologi berasal dari bahasa Yunani yaitu pathos yang

berarti emosi, menderita atau gairah, sedangkan ology artinya ilmu.

Jenis patologi ada dua yaitu :

1. Patologi anatomi

2. Patologi klinik

PATOLOGI DARAH BAGIAN CAIR

1. Albumin

Hipoalbuminemia merupakan kondisi penurunan kadar

serum albumin atau kurang dari 3,5 g/dL. Nilai normal kadar

serum albumin tergantung usia, pada orang dewasa berkisar

3,5−4,5 g/dL.

38
2. Globulin

Hipogammaglobulinemia adalah masalah dengan sistem

kekebalan tubuh di mana tidak cukup globulin gamma diproduksi

dalam darah (dengan demikian hipo- + gamma + globulin+ -emia ).

3. Fibrinogen

Hipofibrinogenemia kongenital adalah kelainan langka

di mana salah satu dari tiga gen yang bertanggung jawab

untuk memproduksi fibrinogen , faktor pembekuan darah

yang penting, tidak dapat membuat glikoprotein fibrinogen

fungsional karena mutasi yang diturunkan .

PATOLOGI SEL DARAH

1. Eritrosit

Anemia hemolitik adalah destruksi prematur sel darah

merah, yang dapat bersifat kronik atau mengancam nyawa.

2. Leukosit

Leukemia adalah kanker yang terjadi pada sel hematopoetik

pembentuk sel darah di sumsum tulang yang bisa menyebabkan

infiltrasi atau penyebaran ke peredaran darah, sistem limfatik, atau

organ lainnya.

39
3. Thrombosit  

Trombositopenia merupakan kondisi dimana kadar trombosit

kurang dari 150.000/µL.

B. SARAN

Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi para

mahasiswa lainnya dan semoga penyusunan makalah selanjutnya dapat

membahas lebih detail tentang anatomi pada system kardiovaskuler

manusia.Penyusun menyarankan agar makalah ini dapat dimanfaatkan

dengan sebaik-baiknya.

40
DAFTAR PUSTAKA

drg. Janti Sudiono MDSc, d. B. (2001). Penuntun praktikum patologi anatomi.


Jakarta: EGC.

Firani, N. K. (2018). Mengnal sel darah dan kelainan darah. Malang: UB Press.

Tambayong, d. J. (1999). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit buku


kedokteran EGC.

41

Anda mungkin juga menyukai