Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN DOGMATIS TERHADAP PEMAHAMAN JEMAAT HKI

RESORT PERAWANG TENTANG GEREJA DAN


KAUM TUNAWISMA

Salomo B. Julius Matondang, Pardomuan Munthe


Sekolah Tinggi Teologi Abdi Sabda Medan
salomojulius14@gmail.com, munthepardomuan@sttabdisabda.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman warga jemaat HKI Perawang mengenai gereja dan
kaum tunawisma. Metode penelitian adalah dengan penelitian kepustakaan dengan menganalisa buku-buku
dan juga wawancara yang dilakukan untuk pengumpulan data jemaat HKI Perawang. Melalui hasil
penelitian ini terdapat temuan bahwa makna gereja belum dipahami dengan jelas sesuai dengan isi Alkitab,
ajaran Lutheran, dan gereja HKI. Oleh karena itu terdapat dua temuan, yaitu adanya pemahaman bahwa
kaum tunawisma adalah ciptaan yang berbeda hakikatnya di dunia ini dan bahwa Allah tidak turut bekerja
dalam pemeliharaan kehidupan kaum tunawisma sehingga gereja dianggap tidak perlu melayani kaum
tunawisma, karena mereka bukanlah bagian dari gereja. Manusia sebagai makhluk ciptaan yang sama di
hadapan Allah tidak boleh membedakan bahkan tidak peduli dengan apa yang terjadi terhadap sesamanya.
Oleh karena itu penting sekali untuk membahas bagaimana gereja dapat mewujudkan kasihnya terhadap
sesamanya. Dari temuan yang penulis dapatkan maka jemaat HKI Resort Perawang mendapat pemahaman
yang benar sesuai dengan ajaran Alkitab, supaya gereja juga sadar akan tugas dan tanggung jawabnya di
dunia.

Kata Kunci: Gereja, Tunawisma, Imago Dei, Dogmatis, Tugas Gereja

Abstract
This study aims to determine the understanding of the members of the HKI Perawang congregation about
the church and the homeless. The research method is library research by analyzing books and also
interviews conducted for data collection of the Perawang HKI congregation. Through the results of this
study, there are findings that the meaning of the church has not been clearly understood in accordance with
the contents of the Bible, Lutheran teachings, and the IPR church. Therefore, there are two findings, namely
there is an assumption that the homeless are creations of a different nature in this world and that God does
not participate in the maintenance of the lives of the homeless so that the church is deemed unnecessary to
serve the homeless, because they are not part of the church. Humans as created beings who are the same
before God should not differentiate or even care about what happens to each other. Therefore, it is very
important to discuss how the church can manifest its love for its neighbors. From the findings that the
author got, the HKI Resort Perawang congregation got the correct understanding according to the
teachings of the Bible, so that the church is also aware of its duties and responsibilities in the world.

Keywords: Church, Homeless, Imago Dei, Dogmatic, Church Work


I. Pendahuluan
Gereja pada masa kini terus berkembang dan berwujud dalam berbagai format. Gereja sebagai
tubuh Kristus memiliki sejarah panjang dalam pertumbuhannya. Gereja selalu beradaptasi dengan
konteks masanya di dunia. Perubahan-perubahan model atau pola hidup gereja menunjukkan
bahwa gereja bersifat dinamis dan hidup. Keberadaan gereja yang mengutamakan ajaran gereja
lokal masing-masing yang berusaha menarik orang untuk datang ke gerejanya sebagai indikator
keberhasilan pelayanan gereja. Tetapi apakah yang kita bayangkan dalam mendengarkan kata
“gereja” itu? Tentu pertama-mata adalah sebuah gedung, tempat kita mengadakan kebaktian. Akan
tetapi dalam Pengakuan Iman tidaklah dimaksudkan suatu ruangan atau gedung dari kayu atau
batu-batu. Selanjutnya, gereja mengingatkan kita kepada suatu organisasi tertentu, baik suatu
organisasi setempat, maupun suatu organisasi yang meliputi wilayah yang lebih besar. Kata gereja
berasal dari bahasa Yunani yaitu ekklesia yang mula-mula berarti ‘mereka yang dipanggil ke luar’,
yaitu orang-orang merdeka yang oleh seorang bentara dipanggil berhimpun untuk menghadiri
rapat rakyat. Gereja terdapat dimana ada yang dipanggil. Dipanggil untuk berhimpun, yaitu oleh
Allah. Gereja bukanlah suatu organisasi orang-orang yang mau mendirikan suatu perkumpulan
guna suatu tujuan tertentu, melainkan orang-orang itu telah dipanggil berkumpul oleh Allah sendiri
(Rm. 9:24; Ef. 4:1; 2 Tim. 1:9) (Niftrik, 2017: 358).
Gereja berada ditengah-tengah dunia adalah untuk menyatakan kasih dan perbuatan Allah melalui
Anak-Nya Yesus Kristus. Oleh karena itu, keberadaan gereja di tengah-tengah dunia sangat
berhubungan erat dengan bagaimanakah gereja akan bersikap terhadap permasalahan di
lingkungannya. Salah satu permasalahan yang penyeminar lihat adalah dengan adanya keberadaan
kaum gelandangan yang tidak memiliki tempat tinggal atau dikenal dengan sebutan Tunawisma.
Tunawisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai
alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api,
atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai
pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran
seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai
dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada. Hampir di seluruh kota-kota besar
yang ada di Indonesia dijamuri dengan tunawisma atau gelandangan.Maraknya gelandangan dan
pengemis yang ada di Kabupaten Siak bukan sepenuhnya penduduk tetap, melainkan mereka
datang dari daerah tetangga Kota Pekanbaru, seperti Medan, Palembang, Padang, Bukit Tinggi,
Aceh, Jambi. Disini bisa kita lihat, para gelandangan masih berkeliaran bebas. Berdasarkan hal itu,
ketika penulis melihat persoalan adanya tunawisma ini, maka ada hal yang penulis lihat sebagai
tanggapan beberapa masyarakat terhadap pandangan mereka kepada tunawisma yang ada di
lingkungan tempat tinggal penulis yaitu di Perawang, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Memang
ada sebagian masyarakat yang peduli dengan kaum tunawisma ini dan memberikan sumbangsih
mereka untuk menopang kaum tunawisma. Namun dibalik itu ada juga persoalan lain yang
menganggap bahwa kaum tunawisma tidak perlu mendapatkan perhatian khusus karena ada
anggapan bahwa kaum tunawisma tidaklah sama hakikatnya dengan kehidupan manusia pada
umumnya. Dengan kata lain ada anggapan bahwa mereka dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang
harus diasingkan dan tidak perlu diperhatikan. Mereka berpendapat bahwa kehidupan tunawisma
adalah sebuah tanda bahwa Tuhan tidak bekerja atas hidup mereka karena kaum tunawisma
dianggap sebagai orang yang malas dan tidak mau berusaha di dalam kehidupannya. Atas dasar
ini, tentu sudah ada pandangan yang salah mengenai makna manusia yang adalah ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu, pandangan ini harus diluruskan supaya sesama manusia tetap mengerti siapakah
dia dan sesamanya di hadapan Tuhan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Hal inilah yang menjadi
alasan penulis melakukan penelitian di HKI Resort Perawang untuk melihat apakah pandangan
warga jemaat HKI Resort Perawang sama seperti pandangan masyarakat yang keliru dan salah
dalam memaknai kaum tunawisma yang merupakan ciptaan Allah.

II. Metode Penelitian


HKI Resort Perawang berlokasi di Jln. Empat Suku-Perawang, Kabupaten Siak, Provinsi Riau,
Indonesia. Saat ini HKI Resort Perawang dipimpin oleh Pdt. Eduard Pasaribu, M.Th. jumlah
anggota jemaat Ressort Perawang ada sebanyak 190 KK dengan jumlah keseluruhan sebanyak 732
jiwa. Dari data tersebut, penulis melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan
menentukan 10 orang menjadi sampel dari jumlah populasi yang ada, lalu memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang disusun untuk menggali permasalahan yang ada di lapangan secara akurat. Serta
dilakukan juga pengumpulan data melalui buku-buku yang relevan yang menjawab permasalahan-
permasalahan yang ditemukan dalam penelitian.

III. Penelitian dan Hasil Temuan


Hasil penelitian ini sangat ditentukan dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis. Maka
berikut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis: (1) Apa pandangan saudara/i tentang
tunawisma? (2) Menurut saudara/i apakah Allah turut bekerja dalam pemeliharaan kehidupan
kaum tunawisma? (3) Menurut saudara/i, apakah dengan adanya kaum tunawisma ini berdampak
negatif atau menjadi masalah bagi gereja? (4)Menurut saudara/i, apakah kaum tunawisma ini harus
dilayani oleh gereja?

Tabel 1. Rekap hasil wawancara

No Narasumber Status Jawaban


1 T.H. br Hotang IRT/60 tahun Tunawisma itu adalah orang-orang yang diciptakan
Tuhan, karena Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar dan rupa-Nya. Allah turut bekerja
karena Allah itu juga mengasihi mereka. Kehadiran
tunawisma tidak ada masalah, justru kepada
merekalah lebih digiatkan pelayanan supaya mereka
merasa terhibur dan tabah menghadapi kehidupan
mereka.
2 St.RF.Matondang Penatua/59 Kaum tunawisma adalah orang yang diciptakan oleh
tahun Allah. Jadi mereka tidak berbeda dengan orang-orang
lainnya. Semua manusia serupa di hadapan Allah.
Allah pasti turut bekerja, karena Allah tidak mau
melihat umatnya hidup dalam kesengsaraan. Tidak
ada masalah. Karena gereja memang sudah bertugas
untuk melayani, bukan membandingkan atau
mengasingkan orang yang punya rumah dengan
kaum tunawisma. Tentu harus di layani. Karena
gereja berada di tengah-tengah dunia
3 S. Hutagaol Karyawan/44 Di hadapan Allah semua manusia adalah sama. Allah
tahun itu turut bekerja, karena mereka pun sudah ditebus
oleh Allah. Tidak. Karena itu adalah bagian
pelayanan gereja kepada masalah-masalah sosial
Gereja harus melayani semua orang.
4 M.J.M. Sinaga Petani/57 Manusia diciptakan Allah menyerupai gambar dan
tahun rupa Allah, maka dari itu sebagai sesama ciptaan
Allah, mereka juga adalah saudara/i kita. Menurut
saya, Allah tentu memelihara kehidupan mereka
dengan memberikan mereka kesempatan untuk
memperbaiki kehidupannya. Ya, Manusia di hadapan
Allah adalah sama. Gereja sebagai wadah organisasi
keagamaan harus peka untuk membantu kehidupan
tunawisma paling tidak yang ada di lingkungannya.
Gereja memang seharusnya bersikap mengasihi
semua orang, karena Tuhan juga adalah Maha
pengasih
5 D. br. Siahaan IRT/53 tahun Tunawisma merupakan orang-orang yang
tersingkirkan dan tidak dipedulikan oleh orang
banyak. Dengan keadaan dan perbuatan yang
dilakukan orang-orang tunawisma, saya kurang
melihat bahwa Tuhan memelihara kehidupan mereka.
Mereka selalu sengsara. Ya tentu. Dengan adanya
orang-orang tunawisma ini, maka gereja/ warga
jemaat menganggap mereka tidak pantas berada di
lingkungan sekitar gereja dengan meminta-minta.
Gereja tidak perlu melayani kaum tunawisma secara
luas, karena mereka bukan anggota di dalam gereja.
6 T. br. Hutahaean Guru/40 Orang-orang tunawismadalah orang yang diciptakan
tahun Tuhan. Tidak ada bedanya dengan orang-orang
lainnya karena sesama ciptaan Tuhan. Gereja harus
membatasi pelayanan kepada kaum tunawisma.
7 S. Silalahi Karyawan/55Tunawisma ini adalah tipe orang yang tidak peduli
tahun dengan kehidupannya. Jadi berbeda dengan manusia
pada umumnya. Tentu Allah tidak bekerja dalam
memelihara kehidupannya. Karena ia hanya tahu
meminta, tanpa mau berusaha. Dampaknya ialah
banyak orang-orang tunawisma seperti pengemis
yang datang untuk meminta minta ke gereja.
Bukanlah tugas gereja merawat tunawisma karena itu
adalah tugas utama dari pemerintah.
8 St. B. Manalu Penatua/58 Tunawisma adalah ciptaan Tuhan sama seperti
tahun manusia lainnya. Hanya saja mereka memiliki
kehidupan yang berbeda dari orang-orang normal
biasanya yang sering mendapat perlakuan
pengucilan. Allah pasti tetap bekerja dalam
memelihara mereka dengan kesehatan dan
kesempatan yang Tuhan berikan. Gereja juga
bertugas melayani orang-orang yang tersingkirkan
dari lingkungan sekitar untuk dibawa masuk
mengenal kasih Allah. Sebagai orang Kristen, Tuhan
mengajarkan untuk tidak menyakiti orang lain
dengan status mereka. Melainkan memandang
mereka sebagai status yang sama di hadapan Allah
dan harus di layani.
9 Dulman Simbolon Petani/57 Orang-orang tunawisma adalah orang yang malas
tahun bekerja dan harus dijauhkan dari lingkungan. Tuhan
tidak memelihara kehidupan orang-orang yang malas
seperti orang-orang tunawisma. Gereja tidak perlu
melayani mereka, karena mereka sendiri bukan
bagian dari anggota gereja.
10 Mariasta Karyawan/ 50 Tunawisma merupakan ciptaan Tuhan, di mana
Simbolon tahun mereka merupakan orang-orang yang tidak memiliki
tempat tinggal menetap. Dengan situasi mereka
seperti itu, saya juga bingung apakah Tuhan
memelihara mereka. Dampaknya ke gereja di mana
gereja harus bisa mengambil sikap dengan adanya
orang-orang tunawisma itu. Tugas melayani itu harus
dibatasi juga. Karena tidak semua kaum tunawisma
itu adalah orang-orang Kristen yang harus di layani.
Dari 10 orang yang menjadi narasumber terkait penelitian ini, maka penulis menemukan 2 temuan
penelitian yaitu; (1) Terdapat pemahaman jemaat bahwa kaum tunawisma tidaklah sama
hakikatnya dengan manusia pada umumnya. (2) Terdapat pemahaman jemaat bahwa Allah tidak
turut bekerja dalam pemeliharaan kehidupan kaum tunawisma sehingga gereja dianggap tidak
perlu melayani kaum tunawisma, karena mereka bukanlah bagian dari gereja.

IV. Pembahasan
Adanya pemahaman bahwa kau tunawisma adalah ciptaan yang berbeda hakikatnya
dengan manusia pada umumnya dapat dijelaskan bahwa Allah menjadikan manusia menurut
gambar-Nya untuk memungkinkan hubungan timbal balik antara Dia dan manusia. Martabat
manusia terletak pada gambar Allah yang menunjukkan kesediaan dan undangan membuka diri
terhadap Allah dan sesama. Menurut Kejadian 1:26-28, Allah mengambil keputusan untuk
menjadikan manusia (bentuk tunggal), lalu membuat mereka (bentuk jamak). Laki-laki disebut
dengan kata sifat maskulin (zakar) dan perempuan dengan kata sifat feminim (nekabah). Tidak
ada manusia selain dalam jenis maskulin atau feminim, keduanya bersama-sama merupakan
manusia dan mencerminkan gambar Allah, keduanya juga diberkati dan diberikan kuasa. Dapat
disimpulkan bahwa Kejadian 1 dan 2 sepakat melihat manusia dalam bentuk laki-laki dan
perempuan sebagai mitra yang setingkat dan sederajat yang hendak saling tolong menolong, bukan
dalam keluarga saja, melainkan juga dalam masyarakat luas. Demikianlah manusia menurut
rencana Allah (Barth, 2011: 34). Dalam Perjanjian Lama, manusia tidak dilihat secara terpisah
atau sendiri-sendiri, tetapi sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dari satu keluarga
atau suku bangsa. Seorang individu adalah seorang anggota keluarga atau suku bangsa yang
termasuk dalam satu marga, dipersatukan dalam satu suku, yang semuanya berada dalam kesatuan
dari seluruh kaum Israel (Yos. 7:16-18). Panggilan Allah juga datang kepada individu-individu
untuk demi kepentingan kelompok. Abraham dipanggil untuk meninggalkan kesenangan hidup
keluarga dan negerinya agar menjadi berkat bagi sarana berkat bagi banyak orang (Kej. 12:1-
3). Musa dipanggil untuk hidup dekat dengan. Allah agar menjadi berkat bagi bangsa Israel (Kel.
24:2). Imam Besar masuk ke dalam ruang Maha Kudus seorang diri demi tugas untuk banyak
orang (Im. 16:17-19). Para nabi dipanggil untuk melayani bangsa Israel dan Yehuda (Maiaweng,
2011: 4). Para penulis kitab Perjanjian Lama juga memiliki banyak situasi yang mereka hadapi
lalu mereka menekankan ide bahwa Allah memperhatikan kaum miskin menginginkan bahwa
mereka diperlakukan dengan baik.Berdasarkan pada iman Yahudi bahwa semua manusia
diciptakan sama menurut gambar Allah dan sama dalam pandangan-Nya, dan berdasarkan hasil
penulisan serta gagasan para Nabi ini menyatakan bahwa mereka berbicara keras demi kaum
miskin yang tertindas dan menuntut perhatian bagi kaum miskin sebagai bagian dari agama
(Simon, 2000: 130).
Dalam ajaran Lutheranisme menekankan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, laki-laki dan
perempuan, menurut gambar-Nya, sama dengan perangai-Nya (Imago Dei), dengan martabat yang
sama, dan kepada mereka diberikan kuasa untuk menguasai, memelihara dan mengolah seluruh
ciptaan-Nya yang ada di dunia ini. Manusia diciptakan-Nya dalam kebebasan dan tanggungjawab
untuk melayani Allah dan seluruh ciptaan-Nya. Dengan ajaran ini Lutheranisme menolak pendapat
yang mengatakan bahwa manusia itu menjadi seperti budak, mesin atau hewan karena pekerjaan
dan karena harta miliknya. Harus ditekankan bahwa manusia adalah mitra kerja Allah dalam
Kerajaan Allah yang telah datang melalui kehadiran dan karya Yesus Kristus yang menyentuh
seluruh aspek kehidupan manusia. Solidaritas-Nya didemonstrasikan melalui tindakan nyata
ketika Yesus berinteraksi dengan orang-orang non Yahudi, orang-orang Samaria, orang-orang
berdosa, para penderita kusta, dan yang lainnya. Yesus menerobos pagar-pagar pemisah yang
selama ini telah terbangun selama beberapa waktu di dalam kehidupan Yahudi. Hal lain yang
dilihat ketika Yesus menunjuk seorang serdadu non Yahudi sebagai teladan iman (Luk.7:1-10),
ketika Yesus Mempersilahkan wanita menjadi pengikut-Nya (Luk.8:1-3), ketika Yesus memanggil
pemungut cukai menjadi murid-Nya (Mrk.2:13-14), Yesus telah mendemonstrasikan bahwa Kabar
Baik tentang keselamatan Allah tidak mengenal batasan dan sangat peduli dengan mereka yang
tidak mendapat tempat dalam masyarakat, misalnya karena faktor status sosialnya (pemungut
cukai, perempuan pelacur), atau karena faktor ekonomi (nelayan), atau karena faktor jasmaninya
(orang lumpuh, orang buta, orang kusta), atau karena faktor etnis orang-orang Samaria (Green,
2005: 178).
Dalam Tata Dasar HKI BAB II, Pasal 6 tentang Pengakuan, HKI berpedoman kepada Pengakuan
Iman Apostolikum. Oleh karena itu dalam bunyi Pengakuan Iman Apostolikum mengenai kalimat
‘Yang Maha Kuasa, khalik langit dan bumi’ menjelaskan bahwa seorang yang berkata ‘aku
percaya’ kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, khalik langit dan bumi menyatakan pada dunia
bahwa orang tersebut menyatukan percayanya kepada Allah yang dipanggil sebagai Bapa. Dialah
yang menyediakan langit dan bumi, Dialah satu-satunya yang Mahakuasa, tidak ada yang lain.
Dalam pengakuan tersebut terkandung makna bahwa seluruh hidup manusia dan seanteronya ada
dalam genggaman tangan Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala-galanya. Seluruh pergumulan
dan masalah dapat disampaikan dan diselesaikan oleh Allah karena karena Dia Bapa kita. Segala
sesuatu berasal dari pada-Nya karena Dialah khalik langit dan bumi. Maka manusia harus
berterimakasih dan mengembalikan syukur pada-Nya. Tugas gereja terhadap kaum tunawisma
yaitu memberi pengertian serta memimpin mereka kepada Allah di dalam Kristus dan mengimani
Kristus yang selalu menyertai mereka di tengah penderitaan yang mereka alami, dan juga tujuan
yang ingin dicapai adalah agar mereka dapat menerima keadaan sebagai ciptaan serta memiliki
kemauan bertemu dan bercakap-cakap kepada Tuhan tentang keadaannya, sampai pada keadaan
di mana mereka berdamai terhadap kekurangan yang disandangnya akan menghantar iman mereka
bahwa penderitaan adalah sebagai suatu yang memperkaya hidupnya. Satu hal yang perlu diingat
dalam melayani kaum tunawisma haruslah dilakukan seperti pelayanan kepada manusia biasa
dalam arti pelayanan tidak dibeda-bedakan, sebab pelayanan yang dilakukan bukan dilihat sebagai
kecacatan, tetapi dilihat dari sudut pandang Allah (Almanak HKI, 2021: 315).
Melalui tinjauan dalam temuan pertama ini maka penulis menyimpulkan bahwa manusia
sebagai ciptaan Allah memiliki satu hakikat atau status yang sama di hadapan Allah. Meskipun di
dalam kehidupan manusia ada orang yang susah, tetapi itu tidak boleh dipandang sebagai
ketidaksetaraan di hadapan Allah. Karena Allah menciptakan manusia itu adalah sama yaitu
menurut gambar dan rupa-Nya, oleh karena itu Allah juga memberikan tugas dan tanggung jawab
yang sama bagi manusia untuk memelihara keutuhan ciptaan Allah di bumi.
Kemudian terkait hasil temuan yang kedua dengan adanya pemahaman bahwa Allah tidak turut
bekerja dalam pemeliharaan kehidupan kaum tunawisma sehingga gereja dianggap tidak
perlu melayani kaum tunawisma, karena mereka bukanlah bagian dari gereja.Secara biblis
dapat dijelaskan bahwa pemeliharaan Allah (Providentia Dei) dinyatakan dalam semua aspek
hidup ciptaan-Nya yang didasarkan pada kebijaksanaan-Nya. Allah bukanlah Allah yang pemalas
(deus otiosus), tetapi Allah bekerja dan menghadirkan pemeliharaan-Nya di tengah dunia. Tuhan
Yesus disebut Raja shalom (Yes 9:5), di mana pada kelahiran-Nya malaikat mengatakan damai
sejahtera (shalom) di antara manusia” (Luk. 2:14). Dengan kehadiran Yesus, maka dimulailah
suatu zaman baru di mana Allah bersedia merestorasi kembali keberadaan manusia. Jika dua orang
atau kelompok berdamai kembali setelah beberapa waktu terputus atau renggang, maka dikatakan
antara kedua orang atau kelompok itu terdapat shalom yang berarti keselarasan (Ismail, 1999: 14-
15). Kehadiran Yesus penting untuk melihat kedudukan-Nya sebagai Juruselamat dunia, Yesus
harus menjadi manusia sungguh-sungguh supaya dapat menggenapkan nubuatan sebagai Anak
Domba Allah untuk mati sebagai tebusan dosa dunia (Yoh. 1:29; 1 Ptr. 3:18). Tujuan Yesus
memiliki sifat kemanusiaan adalah agar Dia dapat menyatakan Allah kepada manusia (Yoh. 1:18),
dan sebagai teladan manusia sempurna (Yoh. 13:15) menyatakan rasa simpati-Nya kepada
manusia (Ibr. 2:18). Jadi, kemanusiaan Kristus yang utama adalah menyatakan Kristus sebagai
teladan sempurna bagi manusia, menggenapi penebusan dosa manusia, sehingga manusia
memperoleh hidup, Roh Kudus, dan dapat percaya kepada Allah (Nielsen, 2009: 75-76). Dalam
Matius 25:35-36 menjelaskan tentang siapakah orang yang diberkati itu dan apa alasan mereka
mewarisi Kerajaan? Pertanyaan itu dijawab dalam dua ayat ini. Mereka yang disebut ‘yang
diberkati’ sebab “ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan”. Daftar perbuatan yang berkenan
kepada Allah tercantum pula dalam Yes. 58:6-7. Di antaranya kesediaan menerima tamu,
mengasuh anak yatim piatu (bnd. Mat. 18:5), menebus orang Israel yang diperbudak. Tegasnya,
dalam nats ini Anak Manusia, selaku Raja dan Hakim menempatkan diri bersama mereka yang
sedang menderita dan yang memerlukan pertolongan (Djadi, 2009: 55).
Tuhan memelihara segenap makhluk dan mengarahkannya ke tujuan yang Ia rencanakan bahkan
Tuhan menjaga serta menopang segala yang ada dan memelihara segala yang percaya pada-Nya.
Jadi Allah tidak pernah membiarkan dunia dan seisinya, tetapi selalu memelihara segala sesuatu.
Tuhan memakai manusia sebagai alat-Nya seperti yang diperintahkan-Nya (Kej 1:26-28; 2:15),
tetapi pada dasarnya Ia sendiri yang mengarahkan segala perkembangan menuju penggenapan
rencana-Nya. Manusia harus bekerja, itulah perintah Allah dan manusia diberi segala kecakapan
untuk melakukan perintah itu. Tapi Allah yang menentukan hasilnya dan Ia yang memerintah. Jadi
manusia tidak boleh hanya menyerah saja, tetapi ia tahu bahwa segala sesuatu akan terjadi menurut
kehendak Allah (Soedarmo, 2013: 76). Allah dalam masa Perjanjian Lama menyatakan diri-Nya
sebagai “pembela” orang miskin dan yang lemah. Terlihat perintah-Nya, “Jangan menindas orang
asing, janda atau anak yatim, dan orang miskin” (Kel. 22: 21-25). Kaum miskin dan lemah harus
diperlakukan dengan adil dan baik, tidak boleh ditindas dan tidak diperlakukan sewenang-
wenang.Perjanjian Lama memberikan pengajaran ketika masa panen tiba, tanaman yang siap
dipanen di tepi ladang harus ditinggalkan untuk orang miskin, orang asing, termasuk orang lemah
yang tidak berdaya (Sosipater, 2010: 44). Perlu dipahami bahwa gereja berada di tengah-tengah
masyarakat untuk menjadi saksi Kristus bagi masyarakat di sekitarnya. Dengan meyakini hal itu,
maka ada harapan akan melihat transformasi besar yang tampak dalam masyarakat dan budaya di
mana gereja itu berada. Makna Amanat Agung Yesus Kristus bukan hanya terkait pada
penginjilan, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial untuk memperjuangkan dan melayani
anggota masyarakat yang lemah (Simamora, 2021: 70).Gereja sebagai persekutuan umat Tuhan
sama seperti ciptaan hidup dalam keanekaragaman sehingga sangat penting memberitakan
kebersamaan. Perbedaan termasuk dalam hal negatif misalnya antara si kaya dan si miskin, antara
si bodoh dan si pintar keduanya harus saling membutuhkan. Maka sikap Gereja juga harus tegas
dalam hal kaum tunawisma ini dan umat Tuhan termasuk di dalam gereja harus berjuang
meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang ada sehingga terjalin kebersamaan yang saling
membutuhkan. Ingat bahwa tembok pemisah itu justru masih ada bahkan semakin berkembang di
tengah-tengah zaman yang maju dan modern ini. Sikap gereja sebagai umat Allah harus berjuang
menghapus setiap diskriminasi dalam misinya sekaligus dalam dirinya termasuk dalam struktur
organisasi keagamaan. Gereja harus berupaya hidup berdampingan dengan sesama yang berbeda
budaya, golongan dan kasta. Pada tingkat ekonomi, politik dan pembangunan, gereja perlu
memperlihatkan pelayanannya dengan mencari jalan keluar untuk membangun pribadi kaum
tunawisma itu sendiri. Sasaran perjuangan ini adalah untuk mendorong atau menciptakan rasa
kasih dan kebersamaan di antara umat manusia khususnya bagi orang-orang yang tidak berdaya
(Saragih, 2015:63-64).Perjumpaan dan pelayanan Kristus terhadap orang-orang yang
tersingkirkan dari masyarakat sudah menjadi kelaziman dan suatu pembebasan-Nya terhadap
pendiskriminasian yang dilakukan orang-orang Yahudi Atau para ahli agama terhadap orang-
orang miskin atau tunawisma. Pertanyaan yang sering muncul bagi kaum tunawisma dan
keluarganya adalah pertanyaan teodise: mengapa penderitaan ini terjadi padaku? Mengapa aku
terlahir seperti ini, adilkah Allah? Di manakah Allah yang terang di tengah kegelapanku?.
Pertanyaan demikian muncul sebagaimana yang dirasakannya kepada Allah yang dianggapnya
berkuasa. Teologi
sudah selayaknya memberikan pandangannya dan memberi jawab terhadap penyandang dis
abilitas, karena secara Iman Kristen,
Yesus sangat memberikan keramahan, perhatian dan pelayanan kepada orang-orang miskin
yang tertindas. Yesus antusias dan tanggap terhadap orang lumpuh (Mrk. 2:1-12). Nilai-nilai
kerajaan Allah yang dilakukan Yesus adalah teladan dan pelajaran bagi gereja-gereja masa kini
untuk mengaktualisasikan secara terus-menerus. Kehadiran Yesus sebagai pembebas terhadap
orang-orang miskin adalah salah satu bagian integral dalam pelayanan-Nya. Konstruksi teologi
tentang Kristus bagi orang-orang miskin atau tunawisma harus perlu dikaji dan dikembangkan,
sehingga gereja dapat memahami teladan Yesus yang peduli dengan kaum tunawisma agar tidak
lagi ada pendiskriminasian terhadap kaum tunawisma (Panjaitan, 2021: 36).
Dalam ajaran Lutheranisme menekankan bahwa Luther sendiri dalam banyak tulisan dan
khotbahnya memberi perhatian pada hubungan antara iman dan kasih, buah iman yang hidup yang
menjadi nyata dalam pelayanan untuk yang miskin dan menderita. Justru pelayanan kepada sesama
inilah merupakan pernyataan kebebasan orang Kristen. Perintah pelayanan ini ditunjukkan kepada
perorangan, tetapi perorangan itu berada dalam jemaat. Pada hakikatnya jemaat adalah
persekutuan manusia yang saling dihubungkan oleh Kristus. Dalam pelayanan saat Tuhan
memanggil kita, raja, dan pengemis adalah sesama saudara. Yang pertama harus mengasihi yang
terakhir sebagai mahkotanya. Yang menarik perhatian Luther adalah contoh Perjanjian Baru dan
gereja mula-mula, yang di dalamnya diaken, selain pengawas menjadi contoh bagi jemaat dalam
pelayanan kasih. Namun langkah untuk kembali kepada diakonia bersama tidak dilakukan Luther.
Meskipun Luther berpendapat bahwa diakonia sesuai 2 Kor. 8 dan 9 adalah tugas jemaat, namun
waktunya belum tepat. Luther ingin menunggu sampai Tuhan Allah kita sendiri menjadikan orang-
orang Kristen yang sejati. Luther dan kawan-kawannya mendapatkan jalan keluar sementara.
Pembaruan urusan pemeliharaan orang miskin tetap menjadi tugas pemerintah. Mereka mengurusi
keuangan yang dananya didapatkan dari kolekte-kolekte gereja, juga pendapatan dari segala usaha
gereja dan biara diperuntukkan bagi tujuan ini. Organisasi pelayanan kasih ini mendapat bentuk
dalam apa yang disebut “peraturan keuangan dan peraturan orang miskin”. Para pendeta
diperintahkan memotivasi jemaat melalui khotbah-khotbahnya, sehingga orang suka memberi
derma dan tergerak hatinya bagi orang-orang miskin (Noordegraf, 2004: 85-87).Secara bersamaan,
Allah memakai ciptaan-Nya sebagai cara mendukung dan menopang satu sama lain. Firman Tuhan
kepada Nuh, “segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah
memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau” (Kej. 9:3; Mzm.
104:14). Allah memberi kita makan setiap hari, namun kita harus bekerja untuk memperolehnya.
Bahkan di Taman Eden manusia tidak punya alasan untuk menghabiskan waktu bermalas-malasan,
melainkan harus memelihara dan menjaga Taman itu (Kej. 2:15). Sesudah kejatuhan manusia ke
dalam dosa, bekerja menjadi sesuatu yang melelahkan (Kej. 3:19), dan sampai hari ini Allah
menghendaki agar manusia bekerja. Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan (2 Tes.
3:10). Agar pekerjaan tidak sia-sia, hal lain diadakan: tanah, matahari, cuaca, musim, udara, dan
lain-lain. Dengan demikian, segala ciptaan adalah hasil karya Allah yang menakjubkan, yang
masing-masing saling melayani seutuhnya, saling mendukung dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Hal ini seturut dengan Pengakuan Iman Rasuli yang dikemukakan Luther yang secara
bersama kita mengakuinya, menegaskan bahwa “aku percaya kepada Allah yang telah menjadikan
aku dan semua ciptaan, bahwa Dia memberikan kepadaku tubuh dan jiwa, mata, telinga, dan semua
anggota tubuhku, pengertianku, dan semua dalam pikiranku, dan semua tersedia, pakaian dan
sepatu, makanan dan minuman, rumah dan tempat tinggal, isteri dan anak-anak, ladang, binatang,
dan semua hartamu, bahwa Dia setiap hari menyediakan kekayaanku dan mendukung semua yang
kubutuhkan untuk tubuh dan kehidupan (Koehler, 2010: 41).
Dalam Tata Dasar Gereja HKI BAB III Pasal 10 mengenai tugas pelayanan (diakonia) dijelaskan
bahwa pelayanan (diakonia) adalah salah satu dari tri tugas gereja sesuai dengan perintah Tuhan
Yesus Kristus yang mengatakan: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia
menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia
menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:
26b-28). Dan sebagaimana dianjurkan oleh Rasul Petrus: “Layanilah seorang akan yang lain,
sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih
karunia Allah'' (1 Ptr. 4:10). Dari situ dapat dipahami bahwa tugas pelayanan (diakonia) adalah
tugas untuk menyalurkan anugerah dan kasih karunia Yesus Kristus kepada seluruh umat manusia,
dengan menggunakan semua talenta, tenaga, dan harta yang dianugerahkan Tuhan kepada HKI,
sehingga dunia ini menjadi dunia yang layak huni bagi umat Tuhan dan semua umat manusia
menikmati damai sejahtera (syalom) yang dari Allah (Almanak HKI, 2021: 316).
Melalui tinjauan dari temuan kedua ini maka penulis menyimpulkan bahwa pemeliharaan
Allah adalah pemeliharaan yang bersifat menyeluruh bagi seluruh ciptaan termasuk seluruh
manusia. Oleh karena itu sebagai orang-orang percaya yang telah menerima penebusan Kristus,
seharusnya manusia juga harus sadar akan lawatan kasih Allah itu dan manusia harus menyebarkan
pemeliharaan Allah itu di dalam setiap aspek kehidupannya. Yesus memerintahkan kepada gereja
untuk menyampaikan kasih karunia Allah kepada seluruh manusia yang ada di bumi tanpa
terkecuali.

V. Kesimpulan dan Saran


Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis menemukan bahwa di dalam
pemahaman beberapa warga jemaat HKI Resort Perawang mengenai keterkaitan gereja dan kaum
Tunawisma itu adalah salah. Berdasarkan hal itu maka pemahaman mereka harus diluruskan
dengan berdasarkan ajaran Alkitab. Manusia tidak dilihat secara terpisah atau sendiri-sendiri,
tetapi sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dari satu keluarga atau suku bangsa.
Seorang individu adalah seorang anggota keluarga atau suku bangsa, yang termasuk dalam satu
marga, dipersatukan dalam satu suku, yang semuanya berada dalam kesatuan dari seluruh kaum
Israel (Yos. 7:16-18). Panggilan Allah juga datang kepada individu-individu untuk demi
kepentingan kelompok. Umat Tuhan termasuk di dalam gereja harus berjuang meruntuhkan
tembok-tembok pemisah yang ada sehingga terjalin kebersamaan yang saling membutuhkan.
Saran saya: Gereja harus berupaya hidup berdampingan dengan sesama yang berbeda budaya,
golongan dan kasta. Sasaran perjuangan ini adalah untuk mendorong atau menciptakan rasa kasih
dan kebersamaan di antara umat manusia khususnya bagi orang-orang yang tidak berdaya. Dalam
hal ini, gereja yang adalah orangnya yang tidak boleh mempertahankan bahwa tunawisma itu tidak
memiliki hakikat yang sama seperti manusia pada umumnya dan dianggap bukanlah bagian dari
gereja. Ini berarti bahwa semua manusia yang adalah ciptaan Allah haruslah menjalin hubungan
kasih yang baik dan menyadari bahwa tugas mereka sebagai ciptaan itu adalah sama di hadapan
Allah. Pemahaman inilah yang seharusnya dilakukan gereja masa kini dan juga warga jemaat HKI
Resort Perawang.
Referensi
Almanak HKI. (2021). Tata Dasar HKI BAB III Pasal 11 Ayat B. Pematangsiantar: Kalportase
HKI.
Barth, Chritoph, (2011). Teologi Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Djadi, Jeremia, (2009). Diktat Angelologi, Antropologi, dan Hamartologi. Makassar: STT Jaffray.
Green, Joel B. (2005). Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul. Jakarta: Persekutuan Pembaca
Alkitab.
Koehler, Edward W.A. (2010). Intisari Ajaran Kristen. Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI.
Maiaweng, Peniel. (2011). Diktat Teologi Perjanjian Lama. Makassar: STT Jaffray Makassar.
Nielsen, J.T. (2009). Tafsiran Alkitab: Kitab Injil Matius 23-28. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Niftrik, G.C. van, & B.J. Boland. (2017).Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Noordegraf, A. (2005). Orientasi Diakonia Gereja, Teologi dalam Perspektif Reformasi. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Simon & Christofer Danes. (2000). Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman
Kristen. Yogyakarta: Kanisius.
Soedarmo, R. (2013).Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sosipater, Karel. (2010). Etika Perjanjian Lama. Jakarta: IKAPI.
Panjaitan, J., & Munthe, P. (2021). Kajian Teologi-Dogmatis Terhadap Pemahaman Kristologi
Disabilitas di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera. In Theos: Jurnal Pendidikan dan
Teologi, 1(2), 32-39. https://journal.actual insight.com/index.php/intheos/article/view/197.
Saragih, Agus Jetron. (2015).Teologi Perjanjian Lama Dalam Isu-Isu Kontekstual. Medan: Bina
Media Perintis.
Simamora, N. N. (2021). Gereja yang Sehat dan Tugas Pemberdayaan Jemaat. PROSIDING STT
Sumatera Utara, 1(1), 63-75. http://stt-su.ac.id/e-journal/index.php/prosiding/article/view/52.

Anda mungkin juga menyukai