Anda di halaman 1dari 3

*5 Alasan Hanya Cak Imin yang Cocok Jadi Ketum PBNU*

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial berbasis agama, yang lahir dari figur-figur waliyullah dan guru
bangsa. Tidak diragukan lagi, peran sang waliyullah Syaikhona Khalil Bangkalan bagi NU sangat sentral.
Sementara Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari adalah inspirasi putra-putri bangsa sepanjang zaman, sejak
fatwa resolusi jihad yang masyhur itu. Semenjak itu, citra NU sebagai organisasi para wali dan pahlawan
terus melekat di benak masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, NU berkembang dari organisasi yang berlevel domestik menjadi organisasi
lintas nasionaliti. Berbagai cabang istimewa dibentuk di berbagai negara, baik benua Eropa, Amerika,
China, Timur Tengah, dan lainnya. Pada titik inilah, NU sebagai organisasi semakin membutuhkan
keterlibatan lebih aktif para waliyullah dan pahlawan-pahlawan bangsa. Tentu peran para waliyullah ini
cukup melalui munajat dan doa-doa mereka secara kultural. Tetapi, secara struktural, kualitas dan
kapabilitas pengurus PBNU adalah syarat utama yang tidak dapat ditawar.

Dalam sudut pandang sosiologi politik, PBNU membutuhkan figur pemimpin yang ideal. Penulis melihat
kualitas itu terdapat pada figur Drs. H. Abdul Muhaimin Iskandar, M.Si. (55), untuk memimpin NU di
level struktural. Setidaknya ada lima sudut pandang yang bisa dipertimbangkan: relasi masyarakat
dengan negara, perilaku individu, suara pemilih, identitas sosial, dan partisipasi politik. Lima aspek ini
sebagai indikator mengukur kualitas dan kapabilitas leader PBNU masa depan.

Pertama, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dalam membangun relasi yang kuat antara
masyarakat dan negara. Relasi ini dibutuhkan bukan semata agar rakyat aktif mengawal kebangsaan
melainkan juga menangani konflik politik dan kepentingan. Sementara NU adalah ormas terdepan dalam
mengawal isu kebangsaan dan harmoni masyarakat, karena pemimpin yang mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam bernegara dan terlibat aktif dalam menangani konflik politik yang terus
meruncing, sangat diperlukan.

Cak Imin (panggilan akrab Abdul Muhaimin Iskandar) telah membuktikan kualifikasi tersebut. Internal
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sempat dihantui oleh perpecahan dan konflik. Namun, nyatanya Pilpres
2019 kemarin menampilkan citra PKB yang berhasil mengatasi riak-riak perpecahan politik dengan baik.
KH. Ma’ruf Amin diantarkan oleh PKB sebagai simbol yang mampu menyatukan suara politik banyak
kubu. Ini kredit point untuk menilai kemampuan politis Cak Imin merekatkan seluruh masyarakat dan
mengatasi konflik kepentingan.
Dengan tampilnya KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden, semangat kaum santri dan komunitas
pesantren, sebagai basis utama massa PKB, semakin bergelora. Sehingga pada pagelaran Pilpres 2024
nanti, target utama bukan lagi Wakil Presiden melainkan mengembalikan romantisme era Gus Dur, yakni
menduduki kursi RI 1 sebagai Presiden Republik Indonesia. Cak Imin telah mencalonkan dirinya sebagai
RI 1.

Kedua, perilaku politik individu Cak Imin. Penulis juga melihat ada karakter yang ulet, lincah, bahkan
‘licin’ bagaikan belut. Sekalipun gagal mencalonkan diri jadi Wakil Presiden pada Pilpres 2019, Cak Imin
tetap berhasil mendelegasikan KH. Ma’ruf Amin jadi Wakil Presiden. Jadi, tidak penting Cak Imin gagal
lagi mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pilpres 2024 nanti, selama memang berhasil mengantarkan
salah satu kadernya jadi RI 1.

Satu hal yang perlu diingat selalu, bahwa politik adalah persoalan strategi, rekayasa, bahkan kamuflase.
Jangan heran bila ada orang yang sejati baik namun kalah strategi maka ia akan jatuh pada jebakan
politik lawan dan hancur karier politiknya. Sebaliknya, jangan heran pula jika ada orang yang bersalah,
melanggar hukum, tetapi sangat sulit ditangkap. Semua itu berkaitan dengan soal strategi masing-
masing individu. Realitas politik semacam ini perlu dipahami dan didekati dengan realisme politik, bukan
semata-mata idealisme. Penulis melihat, konflik politik yang mengarah pada destruktif sering muncul
dari pertempuran antara golongan realis dan idealis; antara yang memahami lapangan dan mencita-
citakan visi ideal.

Ketiga, aspek voting. Kemampuan Cak Imin dalam mengartikulasikan opini-opini politisnya sehingga
mampu mendekatkan kaum santri ke kancah politik nasional, berpengaruh pada peningkatan suara
pemilih. Kecerdikan ini diakui langsung oleh Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, politisi senior Golkar,
yang memuji 21 tahun perjuangan PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin, karena telah menunjukkan
tren positif. Perolehan suara PKB dinilai terus meningkat. Walaupun, kata Jusuf Kalla, belum sampai
seperti Golkar (Kompas,2019). Artinya, Jusuf Kalla menantang Cak Imin agar PKB menaklukkan suara
Golkar.

Keempat, peningkatan jumlah partisipant PKB tidak lepas dari aspek kemampuan Cak Imin dalam
meramu identitas sosial basis massanya. Penulis melihat, ketika NKRI dan Pancasila terancam oleh isu
Islam transnasionalis, seperti Khilafah dan radikalisme, partai politik PKB di bawah kepemimpinan Cak
Imin berhasil menawarkan substansi perjuangan PKB untuk kepentingan bangsa dan negara. Cak Imin
menjadi “King Maker”, yang salah satunya bisa dilihat dari keberhasilannya mendorong Gus Yaqut
sebagai Kementerian Agama. Nyatanya, terbukti Kemenag besar perannya dalam meredam radikalisme
agama.

Kelima, tantangan Jusuf Kalla pada Cak Imin berpeluang terjawab jika syarat terakhir terpenuhi, yakni
partisipasi politik orang-orang NU di PKB menjadi lebih besar. Warga NU berdasar angka lembaga survei
terhitung 108 juta. Dari angka ini, terdapat 13,5 juta warga adalah partisipan PKB. Artinya, ada 14%
potensi NU sudah berafiliasi pada PKB. Tantangan ke depan adalah 86% tersisa yang harus
diperjuangkan PKB untuk mendapatkan dukungan NU. Di titik inilah, Cak Imin menemukan pijakan
politis dan strategisnya untuk mengawinkan kepentingan NU dan PKB. Perkawinan tersebut adalah
kekuatan politik yang sangat berharga. Ditambah lagi, dari sudut pandang trah keluarga, Cak Imin adalah
ponakan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pendiri PKB sekaligus cucu pendiri NU. Jadi, pada
pribadi Cak Imin, ruh PKB dan NU menemukan akar muasal yang sama.

Kesimpulan penulis, sampai saat ini belum ada tokoh politisi dari Nahdliyin yang sekaliber Cak Imin, yang
matang memimpin partai politik. Sementara basis massa NU bagaikan ombak di samudera yang masih
berupa riak-riak kecil, belum menggulung dan mampu menghancurkan karang kekuasaan. Cak Imin
adalah satu-satunya figur unggulan dari Nahdliyin yang dapat mengubah politik kebangsaan NU menjadi
politik kekuasaan; mengantarkan peran kebangsaan komunitas santri ke titik pusaran arus kekuasaan.
Dan jika bukan Cak Imin, figur mana lagi yang mampu membuat Nahdliyin berperan sentral dalam
pembangunan bangsa dan negara? Ataukah, selamanya akan menjadi Guru Bangsa di wilayah
pinggiran?.

Naiknya Cak Imin ke jabatan Ketua Umum juga berdampak pada sosok pemimpin Rais ‘Amm PBNU pada
periode selanjutnya, yaitu figur Kiai Said Aqil Siraj. Sebab, di bawah kepemimpinan Kiai Said, PBNU dan
PKB betul-betul bisa berjalan harnonis. Kolaborasi Kiai Said (Rais ‘Amm) dan Cak Imin (Ketum PBNU)
akan mengubah hubungan NU-PKB menjadi relasi strategis. Dua kader terbaik dari Nahdliyin ini semakin
menciptakan chemistri dan harmoni di lingkungan PBNU. Wallahu a’lam bis shawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept.
Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni
Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina
Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok
Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*

Anda mungkin juga menyukai