Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP STIGMA MASYARAKAT PADA


KLIEN SKIZOFRENIA DI DESA PANDANREJO KECAMATAN PAGAK
KABUPATEN MALANG

Disusun Oleh:

Erik Rizal
(192102120)

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN WIDYA CIPTA HUSADA


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI S1- ILMU KEPERAWATAN
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penulis
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan proposal ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan proposal ini.
Penulis tentu menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk proposal ini, supaya proposal ini nantinya dapat menjadi
proposal yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada proposal ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga proposal ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Rabu, 22 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 4
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum ...................................................................................................... 4
1.3.2. Tujuan Khusus ..................................................................................................... 4
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Teoritis .................................................................................................. 5
1.4.2. Manfaat Praktisi .................................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Skizofrenia ....................................................................................................... 6
2.2. Etiologi Skizofrenia ....................................................................................................... 6
2.3. Gejala Positif dan Negatif Skizofrenia .......................................................................... 7
2.4. Jenis-Jenis Skizofrenia .................................................................................................. 8
2.5. Tanda dan Gejala Skizofrenia ....................................................................................... 9
2.6. Penatalaksanaan Skizofrenia ......................................................................................... 9
2.7. Definisi Keluarga ......................................................................................................... 10
2.8. Fungsi Keluarga ........................................................................................................... 11
2.9. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan ................................................................... 11
2.10. Dukungan Keluarga .................................................................................................... 12
2.11. Aspek-Aspek Stigma .................................................................................................. 16
2.12. Mekanisme Stigma ..................................................................................................... 17
2.13. Dampak Stigma .......................................................................................................... 17
2.14. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stigma ...................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian .......................................................................................................... 20
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 20

iii
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................................... 20
3.4. Teknik Sampling .......................................................................................................... 21
3.5. Kriteria Sampel ............................................................................................................. 21
3.6. Variabel Penelitian ....................................................................................................... 22
3.7. Definisi Operasional ..................................................................................................... 22
3.8. Teknik Pengambilan Data ............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Skizofrenia merupakan penyakit yang serius, banyak orang yang masih
mengabaikan penyakit kejiwaan tersebut (Zahnia, 2013). Skizofrenia merupakan
sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, umumnya mempunyai
perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham
yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang terpadu dengan
situasi nyata atau sebenarnya dan autisme (Zahnia, 2013).
Penderita skizofrenia sering menarik diri dari lingkungan dan kenyataan, mereka
lebih sering bertahan dengan pikiran-pikiran dan fantasi-fantasi liar yang sebenarnya
tidak ada di dunia nyata. Penderita skizofrenia meyakini bahwa objek yang mereka
persepsi adalah objek yang nyata, padahal objek itu hanya ada di pikiran penderita saja.
Penderita skizofrenia kehilangan kemampuan berpikir dengan jernih dan cenderung
mempertahankan pikiran yang salah (Zahnia, 2013).
Manusia dengan gangguan mental dan keterbelakangan mental bukanlah suatu
kutukan dan hal yang menakutkan (Lubis, 2014). Perilaku dan tindakan mereka kerap
kali melanggar nilai dan norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka tidak
jarang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan hingga melanggar hak asasi
manusia (Lubis, 2014). Indonesia sendiri banyak kasus ditemukan yang memprihatinkan
seperti kasus pemasungan dan pengurungan terhadap mereka yang menderita gangguan
mental atau cacat mental (Lubis, 2014). Stigma dalam bentuk pemasungan terhadap
penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, di mana sekitar 20.000 hingga 30.000
penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia mendapat perlakuan tidak manusiawi
dengan cara dipasung, data Riskesdas 2013 menunjukkan data persentase rumah tangga
yang memiliki anggota rumah tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat yang pernah
dipasung di Indonesia sebesar 14,3%, persentase pemasungan antara 0-50% bervariasi di
antara seluruh provinsi, angka pemasungan di pedesaan sebesar 18,2%, lalu pada
perkotaan 10,7% (Lestari & Wardani, 2014).

1
Terdapat 21 juta orang terkena Skizofrenia (WHO, 2016), studi epidemiologi
pada tahun 2010 menyebutkan bahwa angka prevalensi Skizofrenia di Indonesia 0,3%
sampai 1% dan biasanya timbul pada usia 18–45 tahun, namun ada pula yang masih
berusia 11–12 tahun sudah menderita Skizofrenia. Insiden gangguan jiwa berat atau
Skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan jumlah tersebut 14,3% atau sekitar 57.000 orang pernah atau sedang
dipasung (Depkes RI, 2013). Jumlah kunjungan gangguan jiwa yang didalamnya
termasuk Skizofrenia di Puskesmas sebanyak 4.296.263 jiwa (Profil Kesehatan Jawa
Timur, 2016) dan penderita Skizofrenia pada tahun 2016 mencapai 2.238 jiwa (Dinas
Sosial Jawa Timur, 2016).
Kronologi terjadinya Skizofrenia yaitu dipengaruhi oleh faktor genetik,
lingkungan (seperti trauma di masalalu, masalah interpersonal, masalah keluarga,
kegagalan mencapai cita-cita, himpitan ekonomi), pola asuh keluarga yang tidak baik
seperti pola asuh otoriter dan penelantaran. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
skizofrenia antara lain faktor internal (riwayat pekerjaan, pendapatan keluarga); faktor
eksternal (penyakit penyerta); faktor somatik (riwayat keluarga); faktor psikososial
(masalah perkawinan, pola asuh keluarga, gagal mencapai citacita); faktor tipe
kepribadian (introvet dan ekstrovet) (Lestari & Wardani, 2014).
Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Gilang dkk pada tahun 2016 yang berjudul
"Gambaran Stigma Masyarakat Terhadap Klien Gangguan Jiwa Di Rw 09 Desa Cileles
Sumedang didapatkan bahwa, hasil penelitian bahwa lebih banyak responden yang
menganggap bahwa klien gangguan jiwa harus diperlakukan dengan kasar. Penelitian ini
bisa disimpulkan bahwa domain otoriterisme adalah domain stigma yang paling tinggi
dan pembatasan sosial adalah domain yang paling rendah. Hasil penelitian ini perlu di
tindak lanjuti dengan memberikan intervensi yang tepat sesuai dengan domain-domain
yang ada. Hasil penelitian tersebut lebih banyak responden yang menganggap orang
gangguan jiwa harus di perlakukan dengan kasar berarti stigma buruk di penelitian
tersebut tidak dijelaskan adanya desa siaga sehat jiwa, pada penelitian ini terdapat desa
siaga sehat jiwa, maka hal tersebut menjadi perbedaan penelitian mi pada stigma
masyarakat pada klien skazofrenia.

2
Skizofrenia dihubungkan dengan stigma bahwa gangguan ini bersifat menetap
dan tidak dapat disembuhkan (Ariananda, 2015). Stigma yang melekat pada penderita
skizofrenia membuat keluarga dan masyarakat tidak memberikan dukungan sosial dan
kasih sayang yang hal ini akan membuat proses pengembalian keberfungsian sosial
pasien terhambat dan meningkatkan resiko kekambuhan penderita (Ariananda, 2015).
Stigma merupakan tanda yang dibuat pada tubuh seseorang untuk diperlukan dan
menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang mempunyai tanda
tersebut merupakan seorang budak, kriminal atau seorang penghianat serta suatu
ungkapan ketidakwajaran dan keburukan status moral yang dimiliki oleh seseorang,
stigma ini mengacu kepada atribut yang memperburuk citra seseorang (Purnama, 2016).
Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa khususnya pasien skizofrenia
merupakan masalah yang sangat serius hal ini sebabkan semakin tingginya angka
prevalensi dari tahun ke tahun serta kurangnya dukungan dari lingkungan. Stigma ini
juga muncul akibat masyarakat berpikir bahwa seseorang dengan gangguan jiwa
berbahaya, hal tersebut akan membuat seseorang individu akan mengalami public stigma
(Purnama, 2016).
Bentuk-bentuk perilaku penghindaran oleh masyarakat terhadap penderita
skizofrenia yaitu masyarakat lebih memilih untuk tidak berdekatan dan berlari apabila
kebetulan bertemu dengan penderita skizofrenia. Bentuk perilaku pelecehan terhadap
penderita skizofrenia ditampilkan antara lain dengan mengejek, dijadikan bahan lelucon,
atau bahkan dilempari dengan batu. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa,
tetapi anak-anak juga ikut melakukanya. Sedangkan bentuk perilaku buruk yang
berikutnya adalah diskriminasi. Bentuk perilaku yang menunjukan diskriminasi pada
penderita skizofrenia antara lain tidak memberikan kesempatan bekerja, dan termasuk
juga orang tua yang mengajarkan pada anaknya bahwa penderita skizofrenia berbahaya,
mendeskripsikan mereka sebagai orang yang tidak baik sehingga harus dihindari (Asti,
2016).
Litfiah (2009) mengungkapkan bahwa “skizofrenia merupakan gangguan
psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan mayoritas masyarakat tentang
gila atau sakit mental. Hal inilah yang paling sering menimbulkan rasa takut ,
kesalahpahaman, dan penghukuman, bukanya simpati dan perhatian”. Berdasarkan

3
kutipan tersebut, masih banyak anggapan dari masyarakat yang mengatakan bahwa
skizofrenia sama dengan pengertian dari gila.“Gila merupakan istilah yang biasa
digunakan dibidang hukum dan mengindikasikan seseorang yang mengalami gangguan
mental yang serius sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi masalah atau
melihat dan memikirkan akibat konsekuensinya dari tindakanya”. Berdasarkan ciri
simtomnya, skizofrenia lebih bisa digolongkan sebagai psikopatologi. Istilah
psikopatologi merujuk pada gangguan perilaku yang parah, berat, kronik, dan
berkepanjangan (Liftiah, 2009).
Pandangan mayoritas masyarakat tentang gila membuat masyarakat enggan untuk
berinteraksi dengan penderita skizofrenia. Disatu sisi penderita skizofrenia
membutuhkan penerimaan lingkungan untuk mengurangi resiko kekambuhan dan
menekan munculnya halusinasi serta waham. Disisi lain keluarga dan masyarakat tidak
memberi dukungan dan perhatian pada penderita skizofrenia. Tidak adanya dukungan
dari keluarga misalkan kadang keluarga pasien tidak segera membawa penderita
gangguan jiwa berobat kerumah sakit jiwa dan malah memberikan perlakuan yang
membuat pasien merasa menderita seperti dikucilkan dari keluarga atau perilaku
pemasungan. “Bukti-bukti menunjukan bahwa program intervensi keluarga yang
terstruktur dapat mengurangi friksi dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada
pasien skizofrenia, dan bahkan mengurangi rata-rata kekambuhan” (Bustilo dkk., 2001).
Perlakuan masyarakat yang kurang baik juga memicu terjadinya kekambuhan pada klien
skizofrenia (Pratama, 2015). Jumlah kekambuhan pasien skizofrenia baik di negara maju
maupun berkembang yakni sekitar 50-92% (Harjanti & Wulandan, 2019).
1.2. Rumusan Masalah
“Bagaimana gambaran stigma yang ada di masyarakat pada klien skizofrenia di
Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang?”.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui stigma masyarakat pada klien skizofrenia di desa Desa Pandanrejo,
Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

4
1. Mengidentifikasi stigma masyarakat berdasarkan umur masyarakat pada
klien skizofrenia di Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.
2. Mengidentifikasi stigma masyarakat pada klien skizofrenia di Desa
Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat sebagai pertimbangan masukan bagi perkembangan
ilmu keperawatan dan menambah pertimbangan masukan bagi tenaga kesehatan
lainnya khususnya keperawatan jiwa.
1.4.2. Manfaat Praktisi
1. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil dari pemelitian ini diharapkan bisa dijadikan tambahan untuk
pembelajaran tentang stigma yang ada di masyarakat pada klien dengan
skizofrenia.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi petugas
kesehatan untuk melakukan tindakan preventif pada masalah stigma
masyarakat pada klien skizofrenia.
3. Bagi Peneliti
Diharapkan mampu meningkatkan pemahaman peneliti terkait stigma
masyarakat pada klien skizofrenia.
4. Bagi Responden
Diharapkan responden dapat menambah pengetahuan tentang stigma pada
klien skizofrenia.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Skizofrenia


Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi atau
terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang
mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan
perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2008).
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang
mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif,
mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015). Gangguan jiwa
skizofrenia sifatnya adalah ganguan yang lebih kronis dan melemahkan dibandingkan
dengan gangguan mental lain (Puspitasari, 2009).
Stuart (2007) menjelaskan bahwa skizofrenia merupakan penyakit otak yang
persisten dan juga serius yang bisa mengakibatkan perilaku psikotik, kesulitan dalam
memproses informasi yang masuk, kesulitan dalam hubungan interpersonal, kesulitan
dalam memecahkan suatu masalah.
2.2. Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel dan saling
berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1) Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur
angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak
dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua
menderita skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%.
Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif.
(Lumbantobing, 2007).
2) Gangguan Anatomik
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan, yaitu : Lobus
temporal, system limbic dan reticular activating system. Ventrikel penderita

6
skizofrenia lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukkan hilangnya
atau 9 kemungkinan budaya atau adat yang dianggap terlalu berat bagi seseorang
dapat menyebabkan seseorang menjadi gangguan jiwa.
3) Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Anna, 2008). Factor presipitasi
terjadinya gangguan halusinasi adalah :
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk yang ada di dalam
otak, yang dapat mengakibatkan
b. Stress Lingkungan
c. Sumber Koping
2.3. Gejala Positif dan Negatif Skizofrenia
1) Gejala positif
Merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh oranglain, yaitu :
a. Delusi atau waham, suatu keyakinan yang tidak rasional atau tidak masuk akal
meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya tidak rasional,
namun penderita tetap meyakini keyakinannya.
b. Halusinasi, pengalaman panca indera tanpa rangsangan atau stimulus. Misalnya
penderita mendengar suara atau bisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber
pada bisikan tersebut.
c. Kekacauan alam pikir, bisa dilihat dari isi pembicaraannya misalnya bicaranya
kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
e. Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya.
f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap
dirinya.

7
g. Menyimpan dendam.
2) Gejala Negatif
Merupakan kehilangan ciri khas atau fungsi normal seseorang, termasuk kurang atau
tidak mampu mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan
untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan
kurangnya kemampuan berbicara, misalnya :
a. Afek tumpul atau datar, gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya
yang tidak menunjukkan ekspresi
b. Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau kontak dengan
oranglain, suka melamun
c. Kotak emosional, sukar diajak bicara, pendiam
d. Tidak ada inisiatif, tidak ada daya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton dan
serba malas (Alang, 2011).
2.4. Jenis-Jenis Skizofrenia
1) Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama
ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan
keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam
kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada
orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau
“penjahat” (Maramis, 2008).
2) Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2008)
permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25
tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan
dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan
sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.
3) Skizofrenia katatonik

8
Menurut Maramis (2008) skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia,
timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor
katatonik.
a. Stupor katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali
terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau
perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan
bergerak.
b. Gaduh gelisah katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak disertai
dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
4) Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan
katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau
gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia
paranoid yang jalannya agak konstan (Maramis, 2008).
5) Episode skizofrenia akut
Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi.
Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan
dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang
khusus baginya. Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya
kurang dari enam bulan penderita sudah baik.
2.5. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
1) Gejala primer. Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir, gangguan emosi,
gangguan kemauan serta autisme.
2) Gejala sekunder. Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi, dan gejala
katatonik maupun gangguan psikomotor yang lain.
2.6. Penatalaksanaan Skizofrenia

9
Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini
diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif cukup
lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi.
Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi
keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari,
2009).
WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan masalah gangguan
jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan kebijakan seperti puskesmas dan
rumah sakit.
1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga
2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di masyarakat
3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas
4) Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas
2.7. Definisi Keluarga
Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial.
Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat
oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam dimensi hubungan
sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling
berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya,
walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Effendy, 2005).
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan
seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homoestatis
akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan
dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari gangguan-gangguan mental
dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehtan mental sebaiknya
dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan
mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi
anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental (Effendy, 2005).
Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya,
keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan
berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi

10
mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan langsung
ataupun media massa (Effendy, 2005).
2.8. Fungsi Keluarga
Menurut Effendy ( 2005 ), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan keluarga:
a. Fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan
menyekolahkan anak unuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila
kelak dewasa nanti.
b. Fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah
bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
c. Fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak dan anggota keluarga dari tindakan-
tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindungi dan merasa
aman.
d. Fungsi perasaan, keluarga menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana
anak dan anggota lainya dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan lainya
sehingga ada saling pengertian satu sama lain.
e. Fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota keluarga dalam
kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada kekuatan lainya yang
mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain setelah dunia ini.
f. Fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber kehidupan dalam
memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya.
g. Fungsi biologis, keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus
2.9. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan
Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki tugas dalam
pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara. Tugas kesehatan yang
harus dilakukan oleh keluarga (Effendy, 2005) yaitu :
a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. Keluarga
mengenal perkembangan emosional dari anggota keluarganya dan tingkah laku
ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat hubungannya
dengan pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah keluarga
mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak sesuai dengan normal maka

11
sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang harus dilakukan untuk
keseimbangan anggota keluarganya dengan segera membawanya ke petugas
kesehatan.
c. Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak
dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena penderita
gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya.
d. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang
kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman
dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga.
e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembagalembaga
kesehtan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitasfasilitas kesehtan
yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus memiliki
banyak informasi mengenai kesehtan jiwa anggota keluarganya dari lembaga petugas
kesehatan yang ada.
2.10. Dukungan Keluarga
Sistem dukungan adalah segala fasilitas berupa dukungan yang diberikan
kepada klien yang bersumber dari keluarga, teman dan masyarakat disekitarnya
(Stuart & Sundeen’s, 1998). Model terapi dukungan merupakan model psikoterapi
baru yang mulai digunakan diberbagai negara seperti rumah sakit, klinik psikiatri
atau kehidupan masyarakat. Model perawatan “supportive therapy” ini berbeda
dengan model-model lain karena tidak bergantung pada konsep dan teori. Teori
tersebut menggunakan teori psikodinamis untuk memahami perubahan pada
seseorang (Stuar & Sundeen’s,1998).
Keluarga merupakan suatu sistem terbuka yang terdiri dari semua unsur
dalam sistem, mempunyai struktur tujuan atau fungsi dan mempunyai organisasi
internal, seperti sistem yang lain. Bila salah satu anggota keluarga mengalami
gangguan, hal ini akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain (Stuar &
Sundeen’s,1998).
Keluarga juga merupakan suatu matriks dari perasaan beridentitas dari
anggota-anggotanya, merasa memiliki dan berbeda. Tugas utamanya adalah

12
memelihara pertumbuhan psikososial anggotanya dan kesejahteraan selama
hidupnya (Friedman & Marllyn, 1998).
Secara umum keluarga juga membentuk unit sosial yang paling kecil
mentransmisikan tuntutan-tuntutan dan nilai-nilai dari suatu masyarakat, dan
dengan demikian melestarikannya. Keluarga harus dapat beradaptasi dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat sementara keluarga juga membantu
perkembangan dan pertumbuhan anggotanya sementara itu semua menjaga
kontuinitas secara cukup untuk memenuhi fungsinya sebagai kelompok referensi
dari individu.
Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh anggota keluarga
saling tergantung dan selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Seluruh
anggota keluarga berusaha untuk menghilangkan gangguan-gangguan baik yang
bersifat fisik atau psikis yang ada pada anggota keluarga yang lain. Berdasarkan
hal ini keluarga selalu menjaga yang satu dengan yang lain tidak hanya dalam
keadaan sehat, tetapi juga dalam keadaan sakit dan menghadapi kematian.
Keluarga juga berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan
anggota keluarganya (Dwi, 2001).
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan social berbeda dalam berbagai tahap-
tahap siklus kehidupan. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan social
internal, seperti dukungan dari suami, istri atau dukungan dari saudara kandung,
dan dapat juga berupa dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan
sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian
dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi
keluarga (Dwi, 2001).
Caplan menerangkan bahwa keluarga memiliki empat fungsi suportif,
antara lain :
1) Dukungan informasional : keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
penyebar informasi tentang dunia. Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi
dan tanggung jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan solusi dari
masalah yang dihadapi pasien di rumah atau rumah sakit jiwa, memberikan

13
nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh
seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan
tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi
individu untuk melawan stressor. Pada dukungan informasi keluarga sebagai
penghimpun informasi dan pemberi informasi.
2) Dukungan penilaian : keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan
balik, membimbing dan menangani pemecahan masalah dan sebagai sumber
dan validator identitas keluarga.
3) Dukungan instrumental: keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan
praktis dan kongkrit. Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah
seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya
pengobatan, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Suport/material
Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan
masalah kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang
membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan fasilitas,
menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan
masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk mencapai
tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan sumber-sumber
yang tercukupi dapat member dukungan dalam bentuk uang atau perhatian
yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata akan
lebih efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan
nyata berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang,
malah akan menambah stresss individu.
4) Dukungan emosional : keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai
untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi
(Caplan & Sadock, 1995). Dukungan emosional memberikan pasien perasaan
nyaman, merasa dicintai meskipun saat mengalami suatu masalah, bantuan
dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu
yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga
menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat kepada pasien yang
dirawat di rumah atau rumah sakit jiwa. Jenis dukungan bersifat emosional

14
atau menjaga keadaan emosi atau ekspresi. Yang termasuk dukungan
emosional ini adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian kepada
individu. Memberikan individu perasaan yang nyaman, jaminan rasa
memiliki, dan merasa dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam bentuk
semangat, kehangatan personal, cinta, dan emosi. Jika stres mengurangi
perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka dukungan dapat
menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan kembali perasaan dicintai
tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol maka akan
berakibat hilangnya harga diri.
Pada keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan penyakit kejiwaan,
mempunyai tuntutan pengorbanan ekonomi, sosial, psikologis yang lebih besar
dari pada keluarga yang normal. Dukungan keluarga dalam mencegah terjadinya
kekambuhan pada penderita gangguan jiwa antara lain :
a. Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi penderita
b. Mencintai dan menghargai penderita
c. Membantu dan memberi penderita
d. Memberi pujian kepada penderita untuk segala perbuatannya yang baik dari
pada menghukumnya pada waktu berbuat kesalahan
e. Menghadapi ketegangan dan tenang serta menyelesaikan masalah kritis /
darurat secara tuntas dan wajar yang berhubungan dengan keadaan penderita
f. Menunjukkan empati serta memberi bantuan kepada penderita
g. Menghargai dan mempercayai pada penderita
h. Mau mengajak berekreasi bersama penderita dengan anggota keluarga lainnya
i. Mengikutkan penderita untuk kegiatan kebersamaan dengan sesame anggota
keluarga
Tugas keluarga dalam mengatasi kekambuhan penderita halusinasi antara lain :
a. Mengenal adanya gejala kekambuhan sedini mungkin
b. Mengambil keputusan dalam mencari pertolongan
c. Memberikan perawatan bagi penderita yang sedang mengalami kekambuhan
d. Memanfaatkan sumber yang ada dimasyarakat dalam memberikan
pertolongan.

15
2.11. Aspek-Aspek Stigma
Menurut (Heatherton, 2013) aspek stigma adalah sebagai berikut:
a. Perspektif
Perspektif merupakan pandangan orang dalam menilai orang lain.
Misalnya, seseorang yang memberikan stigma pada orang lain. Perspektif
yang dimaksudkan dalam stigma berhubungan dengan pemberi stigma
(perceiver) dan penerima stigma (target). Seseorang yang memberikan stigma
pada orang lain termasuk dalam golongan nonstigmatized atau dalam bahasa
sehari-hari disebut dengan orang normal. Seseorang yang memberikan stigma
ini melibatkan aktivitas persepsi, ingatan atau pengalaman, interpretasi, dan
pemberian atribut (Heatherton, 2013). Proses perilaku ini dapat menegaskan
dan memperburuk seseorang yang dikenai stigma.
b. Identitas
Aspek stigma yang berikutnya adalah identitas. Identitas ini terdiri dari
dua hal, yakni identitas pribadi dan identitas kelompok. Stigma dapat
diberikan pada orang yang memiliki ciri-ciri pribadi. Misalnya perbedaan
warna kulit, cacat fisik, dan hal lain yang menimbulkan kenegatifan. Hal yang
lain adalah identitas kelompok. Seseorang dapat diberi stigma karena dia
berada di dalam kelompok yang memiliki ciri khusus dan berbeda dengan
kelompok kebanyakan.
c. Reaksi
Aspek reaksi terdiri dari 3 sub aspek yang prosesnya berjalan bersamaan
Aspek tersebut yakni aspek kognitif, afektif, dan behavior. Aspek kognitif
prosesnya lebih lambat dikarenakan ada pertimbangan dan tujuan yang jelas.
Aspek kognitif ini meliputi pengetahuan mengenai tanda-tanda orang yang
dikenai stigma. Misalnya, pada orang dengan skizofrenia cenderung
dipersepsikan membahayakan, merugikan, sehingga dalam kognisi orang yang
memberi stigma penderita skizofrenia harus dihindari. Aspek berikutnya
adalah aspek afektif. Sifat dari aspek afektif yakni primitive, spontan,
mendasar dan tidak dipelajari. Aspek afektif pada orang yang memberikan
stigma ini misalnya adalah perasaan-perasaan tidak suka, merasa terancam,

16
dan jijik. Sehingga pada prakteknya dimungkinkan seseorang yang merasa
demikian akan menunjukan perilaku menghindar.
Hasil akhir dari kedua proses tersebut adalah aspek behavior. Aspek
behavior didasarkan oleh kognitif dan afektif. Pada kenyataanya seseorang
yang memiliki pikiran buruk dan perasaan terancam pada orang yang terkena
stigma akan menunjukan perilaku penghindaran dan tidak bersedia
berinteraksi.
2.12. Mekanisme Stigma
Mekanisme stigma dikemukakan oleh Major & O’Brien (2014), yakni meliputi:
1) Perilaku stereotype dan diskriminasi
Seseorang yang dikenai stigma pada mulanya mendapatkan perlakuan yang
negatif dari lingkunganya. Kemudian berlanjut pada adanya diskriminasi.
Diskriminasi ini secara terus menerus dapat menimbulkan stigma.
2) Proses pemenuhan harapan
Menjadi orang yang di stereorype menyebabkan orang tersebut distigma.
Sebaiknya tidak terlalu terpengaruh dengan perilaku seterotip atau prasangka
yang ditujukan apabila ingin mengembangkan diri.
3) Perilaku stereotype muncul otomatis
Stigma muncul karena ada budaya atau stereotype yang berkembang di dalam
masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengetahui bahwa objek yang
dikenai stigma memiliki hal yang membuat masyarakat enggan untuk
menjalin interaksi. Stigma dapat mempengaruhi kelompok lain untuk
memberikan stigma.
4) Stigma sebagai ancaman terhadap identitas
Perspektif ini berasumsi bahwa stigma membuat seseorang terancam identitas
sosialnya. Orang yang menjadi objek stigma meyakini bahwa prasangka dan
stereotype terhadap dirinya itu benar dan merupakan identitas pribadi.
2.13. Dampak Stigma
Menurut Phulf (Indriani & Damalita, 2015) menemukan ada beberapa dampak
atau akibat dari stigma, yaitu :
a. Stigma sulit mencari bantuan

17
b. Stigma membuat semakin sulit memulihkan kehidupan karena stigma dapat
menyebabkan erosinya self-confidence sehingga menarik diri dari masyarakat
c. Stigma menyebabkan diskriminasi sehingga sulit mendapatkan akomodasi dan
pekerjaan
d. Masyarakat bisa lebih kasar dan kurang manusiawi
e. Keluarganya menjadi lebih terhina dan terganggu.
Dampak berbahaya dari stigma dapat menimbulkan perasaan dan emosi
negatif seperti malu, putus asa, dan terisolasi. Tidak mau mencari pertolongan
atau pengobatan karena kurang pengertian dari keluarga, teman atau orang lain.
Dampak stigma dapat merusak kohesi sosial dan mendorong terjadinya
kemungkinan isolasi sosial terhadap kelompok, yang dapat berkontribusi pada
situasi yang justru lebih memungkinkan, bukan mencegah, penyebaran penyakit.
Hal ini dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang lebih parah dan kesulitan
mengendalikan wabah penyakit (WHO, UNICEF, & IFRC, 2020). Stigma dapat
Mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit untuk menghindari
diskriminasi, Mencegah orang mencari perawatan kesehatan segera, dan
Mencegah mereka untuk mengadopsi perilaku sehat. Stigma dari beberapa
penyakit dan kelainan merupakan isu sentral dalam kesehatan masyarakat
(Septiawan, Mulyani, & Susanti, 2018). Para penderita dari beberapa penyakit
tertentu sering mendapatkan stigma yang memberikan rasa rendah diri.
Dampak sosial dari stigma masyarakat yaitu: Mendorong orang untuk
menyembunyikan penyakit yang diderita untuk menghindari diskriminasi,
Mencegah orang mencari perawatan kesehatan segera ketika mengalami gejala,
mencegah mereka untuk mengembangkan perilaku sehat dan berkontribusi pada
masalah kesehatan yang lebih berat (Setiawati et al., 2020).
2.14. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Stigma
Menurut (Maharani, 2017) faktor-faktor yang menjadi terbentuknya stigma
sebagai berikut:
a. Pengetahuan
Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan tentang
skizofrenia dan kesalahpahaman. Pengetahuan adalah hasil tahu dari informasi

18
yang ditangkap oleh panca indera. Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor
pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya.
b. Aspek Budaya
Budaya merupakan pedoman-pedoman bagi seseorang untuk berperilaku
dalam dalam kehidupan bermasyarakat. Aspek budaya dalam penulisan ini
adalah hasil akal budi manusia dalam proses interaksi sosial masyarakat
tertentu yang berwujud pedoman- pedoman atau patokan-patokan tingkah laku
manusia dalam hidup bermasyarakat. Sebagai suatu hasil dari proses interaksi
menyebabkan segala aspek yang terdapat dalam masyarakat akan ikut pula
berinteraksi.
c. Persepsi
Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat
mempengaruhi perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Stigma bisa
berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan orang.
d. Kepatuhan Agama
Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Seseorang yang patuh pada nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam
kinerja bekerja dalam pelayanan kesehatan khususnya terkait skizofrenia.

19
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi
permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data dan mengidentifikasi
struktur dimana penelitan dilakukan (Nursalam, 2016). Desain yang digunakan adalah
deskriptif yaitu suatu rumusan masalah yang berkenaan dengan pertanyaan terhadap
keberadaan variabel mandiri, baik hanya satu variabel atau lebih (variabel yang berdiri
sendiri). Penelitian ini peneliti tidak membuat perbandingan variabel itu pada sampel
lain, dan mencari hubungan variabel itu dengan dengan variabel lain (Sugiono, 2012).
Pendekatan cross sectional suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara
faktor-faktor dengan afek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus paa satu waktu (point time approach) (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian
ini, peneliti menggambarkan stigma masyarakat pada klien skizofrenia di Desa
Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Menjelaskan tempat penelitian atau lokasi tersebut dilakukan, lokasi penelitian ini
sekaligus membatasi ruang lingkup penelitian tersebut, misalnya di tingkat provinsi,
kabupaten, kecamatan atau tingkat institusi tertentu (Notoatmodjo, 2010).
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subyek (misalnya manusia, klien) yang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2016).
3.3.2. Sampel
Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses menyeleksi
porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2016).
Penentuan besar sampel menggunakan rumus sebagai berikut:
N
n =
1+ Ne ²

20
Keterangan :
 n adalah jumlah sampel yang dicari
 N adalah jumlah populasi
 e adalah margin eror yang ditoleransi
3.4. Teknik Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi dari populasi untuk dapat mewakili populasi.
Tenik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel
(Nursalam, 2016). Menggunakan non probability sampling pengambilan sampel bukan
secara acak atau non random adalah pengambilan pengambilan sampel yang tidak
didasarkan atas kemungkinan yang dapat diperhitungkan tetapi semata-mata hanya
berdasarkan kepada segi-segi kepraktisan. Menggunakan purposive sampling
pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang
diat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumya (Notoatmodjo, 2010).
3.5. Kriteria Sampel
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target
yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2016). Dalam penelitian ini yang
termasuk kriteria inklusi yaitu:
a. Masyarakat Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang yang
berpendidikan menengah dan tinggi (SMA, SMK, Sederajat, diploma, sarjana
sampai jenjang doktor)
b. Masyarakat Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang yang
kooperatif selama dilakukan penelitian
c. Masyarakat Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang yang
berdomisili tetap di Desa
2. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi
kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2016). Dalam penelitian
ini yang termasuk kriteria eksklusi yaitu:

21
a. Masyarakat Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang yang sedang
sakit
b. Masyarakat Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang dengan
keterbatasan seperti tuli, bisu
c. Masyarakat yang mempunyai anggota keluarga dengan skizofrenia
3.6. Variabel Penelitian
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap
sesuatu (Nursalam, 2016). Variabel dependen dalam penelitian ini stigma masyarakat
sub variabel (tanda atau isyarat, sterotip, prasangka, diskriminasi), variabel indepeden
skizofrenia.
3.7. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah variabel secara operasional berdasarkan karakteristik
yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan obsevasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Notoatmodjo, 2010).
3.8. Teknik Pengumpulan Data
3.8.1. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan dalam penelitian (Arikunto,
2006) Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Kuesioner adalah pengumpulan data secara formal kepada subyek untuk
menjawab pertanyaan secara tertulis (Nursalam, 2016).
a. Kuesioner data demografi
Data demografi responden diperoleh dengan menyebarkan kuesioner, data
yang di dapatkan meliputi usia, pendidikan.
b. Kuesioner stigma masyarakat
Alat pengumpulan data untuk kuesioner stigma masyarakat, sebelum
dilakukan penyebaran pada responden peneliti terlebih dahulu membuat kisi-
kisi kuesioner, dan membuat item pertanyaan dengan cara uji reabilitas dan
validitas. Kuesioner ini terdiri dari 12 pertanyaan.
Kuesioner untuk pengukuran stigma masyarakat pada penelitian ini
menggunakan pengukuran skala guttman, skala guttman merupakan skala
pengukuran yang membutuhkan jawaban tegas dari respondennya seperti

22
jawaban ya atau tidak, benar atau salah dan lain sebagainya. Penyataan dalam
mengukur stigma masyarakat hanya terdapat pernyataan unfavourable untuk
hal yang tidak memihak pada subjek.
3.8.2. Pengujian Instrumen
1. Uji validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar benar
mengukur apa yang diukur. Kuesioner yang kita susun tersebut mampu
mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi
antara skors (nilai) tiap-tiap item (pernyataan) dengan total kuesioner. Dalam
melakukan uji validitas data, peneliti akan menguji valid kuisioner stigma
masyarakat menggunakan content validity index atau CVI yang digunakan
untuk memperbaiki alat ukur dengan memeriksa item-item pengukuran dalam
instrumen. Cara untuk menguji instrumen ini adalah dengan cara
mengkonsultasikan instrumen kepada para ahli, dimana peneliti meminta
pendapat dari para ahli yaitu 3 penguji ahli atau expert dalam bidang
keperawatan untuk mengukur validitas instrumen yang telah disusun oleh
peneliti (Waltz, 2010).
(CVI) digunakan untuk mengukur tingkat kesepakatan antara para ahli
(judge) dimana untuk menghitung CVI, 3 penguji spesialis konten diberi
tujuan dan item kemudian masing-masing ahli diminta untuk menilai relevansi
tiap item menggunakan rating skala 4 poin: (1) tidak relevan, (2) kurang
relevan, (3) cukup relevan, (4) sangat relevan (Waltz, 2010). Peneliti dapat
menghitung Content Validity Index (CVI) yang mengindikasikan tingkat
persetujuan ahli yang mana disarankan nilai CVI yaitu 0,80 atau lebih tinggi
sebagai standar untuk menetapkan mutu dalam skala validitas isi dari
instrumen tersebut (Polit, d, f, Beck, 2014).
2. Uji reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Hal ini berarti menunjukan sejauh
mana hasil pengukuran itu tetap jika dilakukan pengukuran dilakukan dua kali
atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang

23
sama. Membandingkan nilai "cronbach's alpha dengan nilai konstanta (0,6)",
ketentuan bila cronbach's alpha > konstanta (0,6), maka pertanyaan tersebut
reliabel. Hasil uji reabilitas terhadap kuesioner stigma masyarakat dari 12
pertanyaan yang memiliki untuk hasil up reliabilitas instrum dengan nilai
ralpha (0,674, maka 12 pertanyaan mengenai stigma masyarakat tersebut
dinyatakan reliabel.
3.8.3. Cara pengumpulan data
Jenis data yang dikumpulkan peneliti adalah data primer dan sekunder. Data
primer adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung oleh peneliti
terhadap responden. Metode pengambilan data primer dilakukan dengan
menggunakan wawancara dan kuesioner pada responden. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari orang lain atau tempat lain, bukan dilakukan sendiri.
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil catatan riwayat Puskesmas
Desa Pandanrejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Pengumpulan data
dilakukan dengan kuesioner, dengan langkah langkah sebagai berikut:
1. Langkah administrasi
a. Mengajukan permohonan penelitian pada pihak ITKM Widya Cipta
Husada.
b. Mengajukan permohonan ijin penelitian pada pihak Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik kabupaten Malang
c. Mengajukan permohonan ijin penelitian pada dinas kesehatan kabupaten
Malang
d. Mengajukan permohonan ijin penelitian pada pihak Puskesmas
e. Mengajukan permohonan ijin penelitian pada pihak kecamatan
f. Mengajukan permohonan ijin penelitian pada pihak kepala desa
2. Mengajukan permohonan ijin penelitian pada pihak kepala desa
a. Menentukan calon responden penelitian sesuai kriteria inklusi dan eksklusi
b. Mencari responden dengan cara door to door, mengikuti kegiatan
masyarakat, mengumpulkan masyarakat.
c. Menemui dan menjelaskan maksud, manfaat, tujuan, dan meminta izin,
lama waktu pengisian kuesioner kepada calon responden dengan

24
memberikan lembar persetujuan sebagai responden, dan jika setuju maka
calon responden akan menandatangani lembar persetujuan sebagai
responden (informed concent).
d. Mendiskusikan waktu pelaksanaan penelitian dengan responden.
e. Membagikan lembar kuesioner.
f. Mengucapkan terimakasih atas partisipasi sebagai responden penelitian.
g. Mengecek kembali kelengkapan data/kuesioner.
3.8.4. Cara pengolahan data
Pengolalahan data merupakan suatu proses pendekatan kepada subjek dan
proses pengumpulan karateristik subjek yang di perlukan dalam suatu penelitian.
Langkah-langkah dalam penumpulan data bergantung pada rancangan penelitian
dan tehnik instrumen yang digunakan (Nursalam, 2016). Tehnik pengumpulan
pengelolaan data pada penelitian ini diperoleh melalui kuesioner. Setelah data
terkumpul melalui lembar kuesioner tersebut yang telah diisi kemudian langkah
berikutnya sebagai tahapan penelitian ialah:
1. Pemeriksaan data (Editing)
Upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau
dikumpulkan. Editing dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah
data terkumpul, untuk pengecekan formulir atau kuesioner.
2. Pemberian kode (Coding)
Pemberian Kode merupakan mengubah data berbentuk kalimat atau huruf
menjadi data angka ataupun bilangan. Dalam variabel stigma masyarakat:
Ya :2
Tidak :1
Dewasa awal :1
Dewasa madya :2
Dewasa lanjut :3
3. Pemberian skor (Skoring)
Langkah ini peneliti memberikan nilai data dengan nilai yang telah di isi
responden atau peneliti. Adapun dalam penelitian ini skoring untuk setiap

25
pernyataan atau pertanyaan yaitu: stigma masyarakat dan di interpretasikan
dengan skala:
a. Sub variabel tanda atau isyarat
Skor minimum 3
Skor maksimum 6
b. Sub variabel sterotip
Skor minimum 3
Skor maksimum 6
c. Sub variabel prasangka
Skor minimum 2
Skor maksimum 4
d. Sub variabel diskriminasi
Skor minimum 4
Skor maksimum 8
4. Tabulasi (Tabulating)
Sedangkan tahap tabulasi merupakan tabel-tabel data, yang sesuai dengan
tujuan penelitian ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ariananda, R.E., 2015. Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Skizofrenia . Skripsi.

Asti, 2016. Publik Stigma Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Di Kabupaten Kebumen.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 12(3), pp. 176-188. Georgeo, B., 2013. General
Psychology (psikologi kepribadian, persepsi, kognisi, emost, & perilaku) 1st ed.,
jogjakarta: Prisma sophie.

Caplan Halord, Sadock Benjamin, 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. EGC. Jakarta.

Effendy, Nasrul. 2005. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta.

Harjanti & Wulandari, L, 2019. Analisis Angka Kejadian Readmission Kasus Skizofrenia. Jurnal
Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 6(2), p.169.

Kemenkes, 2016. Peran Keluarga Dukungan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kesehatan, K. & Indonesia, R., 2014, Stop stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan
gangguan jiwa (odgj)., (18), pp.2-3.

Lubis, 2014. Pemahaman Masyarakat Mengenai Gangguan Jiwa Dan Keterbelakangan Mental.

Lestari, W. & Wardhani, Y.F., 2014. Stigma and Management on People with Severe Mental
Disorders with "Pasung" (Physical Restraint ). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17(2
April 2014), pp. 157-166.

27
Nursalam, 2016. Metodologi Penelman Ilmu Keperawatan 4th ed., Jakarta Selatan. Salemba
Medika
Purnama, 2016. Gambaran Stigma Masyarakat Terhadap Klien Gangguan Jiwa Di Rw 09 Desa
Cileles Sumedang. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia, 2(1), pp.29-37.

Polit, d, f, Beck, C., 2014. Nursing Research; General and Assesing Evidence for Nursing
Pratice, Philadelphia: Lippincott Company.

Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar.

Stuart, Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. EGC. Jakarta.

Sugiono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D 17th ed., Bandung: Alfabeta.

Waltz, et al, 2010, Mesurement In Nursing Health Reserach 4th ed., New York: Springer
Publishing Company.

Zahnia, 2013. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 5,


p.2.

28

Anda mungkin juga menyukai